Dampak Kebodohan terhadap Tauhid


Dampak Kebodohan terhadap Tauhid


Tauhid menurut ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah dapat dibagi menjadi tiga bagian. Sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Imam Ibnu Abi al-'Izz ra, "Sesungguhnya tauhid itu mencakup tiga bagian, yaitu:

  1. Tauhid yang menjelaskan sifat-sifat Allah.
  2. Tauhid rububiyyah, yaitu tauhid yang menjelaskan bahwa hanya Allah SWT pencipta segala sesuatu.
  3. Tauhid uluhiyyah, yaitu tauhid yang menjelaskan bahwa hanya Allah SWT Tuhan yang berhak disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Dari pembagian tersebut yang akan menjadi perhatian kita dalam pembahasan ini adalah toleransi (pemberian maaf) karena kebodohan (ketidaktahuan) tentang hal-hal yang berkaitan dengan masing-masing bagian dari ketiga bagian tersebut di atas yang secara keseluruhan merupakan hakikat tauhid yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Batasan Toleransi (Pemberian Maaf) karena Kebodohan (ketidaktahuan) yang Berkaitan dengan Tauhid Rububiyah
Berkenaan dengan tauhid ini, maka tidak satu kelompok pun dari keturunan Adam (manusia) yang menentangnya. Bahkan, pengakuan hati yang suci tentang hal ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pengakuannya kepada yang lainnya. Hal itu sebagaimana yang telah dikatakan oleh para rasul--semoga keselamatan tercurah kepada mereka-- dalam permasalahan yang telah dijelaskan oleh Allah SWT yang berkaitan dengan mereka, "Berkata rasul-rasul mereka: 'Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi'?" (Ibrahim: 10).
Orang yang sangat terkenal kebodohannya yang mengingkari keberadaan Allah sebagai pencipta adalah Fir'aun, walaupun dalam hatinya dia meyakini-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Musa as, "Musa menjawab: 'Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata." (Al-Isra': 102). Allah SWT berfirman berkenaan dengan nabi Musa as dan kaumnya, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-Nya." (An-Naml: 14).
Tidak pernah ada satu kelompok pun yang mengatakan, sesungguhnya alam ini memiliki dua pencipta yang memiliki kesamaan dalam sifat dan perbuatannya. Sedangkan aliran dualisme dari kalangan Majusi dan para penyembah benda-benda hanya mengatakan tentang dua sumber, yaitu cahaya dan kegelapan, dan alam ini keluar dari keduanya, di mana mereka sepakat bahwa cahaya itu lebih utama dari kegelapan, dan dia merupakan tuhan yang terpuji, sementara kegelapan itu merupakan kejelekan yang tercela. Mereka berbeda pendapat dalam masalah kegelapan ini, apakah ia merupakan sesuatu yang qadim (sudah ada sejak dulu dan keberadaannya itu tidak didahului dan diakhiri dengan ketiadaan) atau hadits (adanya itu baru dan keberadaannya itu didahului dan diakhiri dengan ketiadaan)? Mereka tidak pernah menetapkaan adanya dua tuhan yang serupa (memiliki kesamaan dalam sifat dan perbuatannya).
Adapun orang-orang Nasrani yang mengatakan tentang trinitas, sebenarnya mereka tidak menetapkan bahwa alam ini memiliki tiga tuhan yang terpisah antara yang satu dengan lainnya. Bahkan, mereka sepakat untuk menetapkan bahwa pencipta alam ini adalah satu. Mereka mengatakan bahwa tuhan bapak, tuhan anak, dan roh yang qudus itu adalah tuhan yang satu.
Sedangkan orang-orang musyrik Arab mengakui tentang tauhid rububiyah ini, di mana mereka menetapkan bahwa tuhan pencipta langit dan bumi itu adalah satu. Hal ini sebagaimana telah disinyalir oleh Allah SWT dalam firman-Nya, "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah'." (Luqman: 25). Allah SWT berfirman, "Katakanlah: 'Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" (Al-Mukminun: 84 -- 85).
Dengan demikian, maka tidak perlu diragukan lagi bahwa keimananan itu ditujukan hanya kepada Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan hanya Dia (Allah)-lah yang berhak atas ketuhanan yang merupakan fitrah manusia sejak mereka berada di alam benih. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam frman-Nya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-oang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." Atau agar kamu tidak mengatakan; "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dulu." (Al-A'raf: 172 -- 173).
Al-Hafidz Ibnu katsir ra berkata: "... Allah SWT telah menunjukkkan bahwa fitrah yang dimiliki oleh manusia itu memiliki kecenderungan untuk mengesakan-Nya.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi saw , "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
Ibnu Abi Al-'Izz ra berkata: "Tidak dapat dikatakan bahwa pengertian hadis tersebut menunjukkan bahwa anak itu dilahirkan dalam keadaan polos yang tidak mengetahui perbedaan tauhid dan syirik, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang.
Selain itu, Nabi saw bersabda, "Allah SWT berfirman, 'Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan fitrah (suci), lalu setan mengotorinya ...'."
Bertitik tolak dari keterangan di atas yang bersumber dari dalil-dalil syariah dan bukti-bukti yang bersifat realitas menunjukkan bahwa manusia itu diciptakan dengan memiliki kecenderungan untuk mengesakan Allah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dalil yang menunjukkan akan keesaan Allah SWT dan menunjukkan kemadirian-Nya dari makhluk sudah sangat jelas bagi mereka, yaitu dalil yang menolak seseorang yang mengingkari ketuhanan Allah SWT atau menyekutukan-Nya dengan sesuatu atau dengan lainnya atau mengaku tidak mengetahui tentang hal itu.
Dengan demikian, maka jika kita bermaksud membatasi batasan sampainya dalil kepada manusia dalam masalah tauhid rububiyah ini, maka kita mesti mengambil ungkapan yang pasti tentang permasalahan ini, dan bahwa tauhuid rububiyah ini merupakan sesuatu yang fitrah. Karena itulah, maka perlu didatangkan dalil syar'i untuk mengingatkan akidah yang bersifat fitrah ini. Demikian juga halnya dengan dalil menciptakan yang sesuai dengan dalil-dalil yang menunjukkan tentang keesaan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur.
Ibnu Qayyim ra berkata berkenaan dengan ayat pengakuan di dalam surah Al-A'raaf: "Ketika ayat Al-A'raaf ini dikategorikan sebagai ayat makiyah (yang diturunkan di Mekah), maka di dalamnya diceritakan perjanjian dan pengakuan yang bersifat umum bagi seluruh orang mukallaf (dewasa) yang termasuk dari orang-orang yang mengakui kerububiyan Allah, ke-Esa-an-Nya, dan batalnya perbuatan syirik. Perjanjian dan pengakuan yang dimaksud adalah perjanjian dan pengakuan yang menunjukkan dalil bagi mereka, putusnya toleransi (pemberian maaf), patutnya mendapatkan siksaan dan berhaknya mendapatkan kehancuran bagi orang yang menentangnya. Dengan demikian, maka sudah semestinya bagi orang-orang mukallaf untuk mengingat dan mengetahuinya, karena hal itu merupakan sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah bagi mereka, berupa pengakuan akan kerububiyahan (ketuhanan) Allah, dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan yang menciptakan mereka, serta mereka harus mengakui bahwa mereka itu merupakan makhluk yang diatur oleh-Nya. Selanjutnya, Allah mengutus para rasul kepada mereka yang bertugas untuk mengingatkan mereka tentang sesuatu yang sesuai dengan fitrah dan akal mereka, dan memberitahukan mereka tentang perintah, larangan, janji, dan ancaman Allah SWT.
Syekh al-Hukami Rahimahullahu berkata berkenaan dengan penjelasan tentang berbagai macam perjanjian yang telah dibuat oleh Allah SWT dengan Bani Adam (manusia), sehingga dapat ditentukan mengenai batasan sampainya dalil kepada manusia, seraya beliau berkata: "? seluruh perjanjian ini telah diciptakan oleh Alquran dan Sunnah:

  1. Perjanjian yang diambil oleh Allah SWT dari manusia ketika mereka dikeluarkan dari tulang punggung bapaknya yaitu Nabi Adam as dan mereka bersaksi kepada diri mereka sendiri: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." Inilah perjanjian yang dikatakan oleh mayoritas mufasir dalam ayat ini, sedangkan perjanjian yang didasarkan kepada nash hadis sebagaimana terdapat dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim terdapat pula dalam hadis-hadis lainnya.
  2. Perjanjian yang bersifat fitrah, di mana Allah SWT telah menjadikan manusia sebagai saksi atas perjanjian yang diambil-Nya dari mereka berkenaan dengan perjanjian yang pertama tadi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah." (Ar-Ruum: 30).
  3. Perjanjian yang dibawa oleh para rasul dan yang dikandung oleh kitab-kitab suci Allah dengan tujuan untuk memperbaharui perjanjian yang pertama dan mengingatkannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nisaa': 165).

Dengan demikian, maka orang yang menemukan perjanjian ini dan dia tetap pada fitrahnya, yang mengakui sesuatu yang telah ditetapkan pada perjanjian yang pertama, maka dia akan menerima perjanjian tersebut sejak awal dan tidak akan berhenti, karena hal itu akan sesuai dengan sesuatu yang ada dalam fitrahnya dan sesuatu yang Allah telah ciptakan baginya. Sehingga, dengan hal tersebut, keyakinannya akan semakin bertambah dan keimanannya akan semakin kuat, tanpa melalui proses pertimbangan yang seksama dan keraguan. Sedangkan orang yang menemukan perjanjian tersebut, sementara fitrahnya sudah mengalamiperubahan dari sesuatu yang Allah ciptakan, berupa pengakuan terhadap sesuatu yang telah ditetapkan perjanjian yang pertama disebabkan disesatkan oleh setan atau diyahudikan, dinasranikan, dan dimajusikan oleh kedua orang tuanya, maka jika Allah SWT memperbaikinya dengan cara memberikan rahmat-Nya, niscaya dia akan kembali kepada fitrahnya dan membenarkan sesuatu yang dibawa oleh para rasul dan yang dikandung oleh kitab-kitab suci, sehingga perjanjian yang pertama dan yang kedua akan memberikan manfaat baginya. Akan tetapi, jika dia mendustakan perjanjian yang ini, niscaya dia pun akan mendustakan perjanjian yang pertama, sehingga pengakuannya pada hari di mana perjanjian itu diminta pertangungjawabannya oleh Allah darinya, maka tidak akan memberikan manfaat baginya sekiranya dia menjawab "benar," sebagai jawaban atas firman Allah SWT: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" dan telah disampaikannya dalil Allah kepadanya, telah ditetapkan penderitaan yang akan menimpanya, dan telah ditetapkannya siksaan baginya. Karena, orang yang dihinakan oleh Allah, niscaya tidak akan ada seorang pun yang akan memuliakannya dan sesungguhnya Allah akan melaksanakan sesuatu yang dikehendaki-Nya.
Adapun orang yang tidak menemukan perjanjian tersebut dikarenakan dia meninggal ketika masih kecil sebelum dikenai kewajiban, maka dia dianggap meninggal berdasarkan perjanjian pertama menurut fitrahnya. Seandainya dia termasuk seorang anak dari orang-orang muslim, maka dia disertakan beserta orang tuanya (dihukumi sebagai orang Islam), dan seandainya dia seorang anak dari orang-orang musyrik, maka Allah Maha Mengetahui tentang perbuatan yang akan dilakukan anak tersebut seandainya dia menemui perjanjian tersebut. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra seraya berkata, "Rasulullah saw ditanya mengenai anak-anak dari orang-orang musyrik, maka beliau menjawab: 'Allah SWT yang telah menciptakan mereka Maha Mengetahui terhadap apa yang akan diperbuat oleh mereka'."
Dengan demikian, maka berkenaan dengan tauhuid rububiyah ini, dalil yang ada telah memutuskan
adanya toleransi (pemberian maaf). Oleh karena itu, maka inti sari ajaran Muhammad saw itu adalah menyeru kepada kemestian tauhid ini, yaitu tauhid uluhiyah (tauhid yang menjelaskan akan ketuhanan Allah SWT), yang mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah SWT semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Pada umumnyan manusia itu menyimpang dalam tauhid jenis ini. Karena itulah mereka sudah selayaknya tunduk kepada seruan para rasul yang menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah SWT semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu'." (An-Nahl: 36).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku." (Adz-Dzaariyat: 56).
Syekh Abdurrahman bin Hasan ra berkata, "Yang dimaksud dengan tauhid di sini bukanlah hanya tauhid rububiyah, di mana seseorang hanya meyakini bahwa hanya Allah-lah Pencipta alam, sebagaimana yang disangka oleh ahli kalam dan tasawuf, di mana mereka menyangka bahwa apabila mereka telah menetapkan hal itu berdasarkan dalil, maka mereka dianggap telah menetapkan tujuan dari tauhid, dan mereka menyangka bahwa apabila mereka telah mengakui hal ini dan telah membahasnya dianggap telah membahas tujuan tauhid. Padahal, seandainya seseorang mengakui tentang sesuatu yang menjadi hak Allah SWT berupa sifat-sifat-Nya dan membersihkan-Nya dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya, serta mengakui bahwa hanya Allah-lah Pencipta segala sesuatu, maka dia belum disebut sebagi orang yang bertauhid sehingga dia harus bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, lalu dia mengakui bahwa hanya Allah-lah Tuhan yang berhak disembah, dan dia mengharuskan ibadah itu hanya kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun."
Sebagai kesimpulan bahwa walaupun orang-orang musyrik mengakui tauhid rububiyah, tetapi hanya mengakui sebagian rinciannya, maka yang pantas diperbuat oleh orang-orang Islam adalah mengakuinya secara menyeluruh. Dengan demikian, maka tidak layak bagi seorang muslim untuk tidak mengetahui tauhid ini dan merasa samar dalam sebagian rinciannya, terlebih-lebih tidak layak baginya seandainya dia mengingkari sesuatu yang menjadi kekhususan bagi Allah SWT seperti tunggal dalam keesaan-Nya, Pencipta, Pengatur, atau menisbahkan keagungan dan kemulyaan-Nya kepada kekurangan, seperti menisbahkan anak, teman, kelemahan, dan kekurangan lainnya kepada-Nya, padahal Allah SWT Maha Tinggi dan Maha Agung dari penisbahan tersebut atau mencaci Allah SWT. Semuanya ini merupakan sesuatu yang tidak pantas bagi seorang muslim untuk tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, apabila ada sesuatu dari kekufuran ini yang keluar dari seorang muslim, dia dikategorikan sebagai orang kafir, dan tidak ada toleransi baginya, baik karena kebodohannya atau karena sebab yang lainnya. Akan tetapi, di antara orang-orang Islam itu ada orang yang tidak mengetahui tauhid uluhiyah. Hal ini merupakan sesuatu yang mungkin terjadi, bahkan bisa jadi telah terjadi, dan hal ini merupakan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Karena itulah kita harus melihat batasan sesuatu yang dapat dimaafkan apabila dilakukan oleh seorang muslim berkenaan dengan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan tauhid uluhiyah ini.

Kriteria-Kriteria yang Membedakan antara Masalah-Masalah yang Ushul (Pokok) dengan yang Furu' (Cabang)


Kriteria-Kriteria yang Membedakan antara Masalah-Masalah yang Ushul (Pokok) dengan yang Furu' (Cabang)


Mayoritas ulama membedakan antara masalah-masalah agama yang dikategorikan sebagai masalah ushul dengan masalah-masalah agama yang dikategorikan sebagai masalah furu'. Dengan pemisahan tersebut mereka dapat menetapkan batasan kesalahan dan lainnya yang dapat ditoleransi (dimaafkan), apabila kesalahan itu berkaitan dengan masalah-masalah furu', sedangkan kesalahan yang berkaitan dengan masalah-masalah ushul, mereka tidak menoleransinya.
Pemisahan ini digunakan juga oleh mereka dalam memisahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu-ilmu syariat, dimana masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu akidah dan ilmu ushul dikelompokkan sebagai masalah yang ushul, masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu fikih dikelompokkan ke dalam masalah furu'. Tetapi, sebagian ulama menolak adanya pengelompokkan masalah syariah ke dalam masalah ushul dan furu'.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengelompokan antara masalah-masalah agama, atau antara ilmu-ilmu syariat ini, tidak adanya kesepakatan di antara para ulama dalam menentukan kriteria-kriteria yang jelas yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam pengelompokan ini. Karena itulah, maka sebagian ulama menolak pengelompokan ini, dan mereka mengritik dan menolak pandangan para ulama yang mengatakannya.
Di antara para ulama yang secara tegas menolak dan mengritik pengelompokan ini adalah Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan diikuti muridnya, Imam Ibnu Qoyyim Rahimahullah.
Ibnu Taimiyyah berkata, "Adapun pengelompokan antara bagian yang disebut dengan masalah-masalah ushul dengan masalah-masalah furu' merupakan pengelompokkan yang tidak ada dasar hukumnya, baik dari para sahabat, para tabi'in, dan para imam yang benar-benar memegang ajaran Islam. Pengelompokkan ini bersumber dari orang-orang Mu'tazilah dan aliran lainnya yang teramasuk ke dalam kelompok orang-orang yang suka menciptakan kebid'ahan, yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab yang dikarang oleh fuqaha' (ahli fikih) mereka. Karena masalah pengelompokkan ini dianggap menyimpang, maka kepada orang yang mengelompokkan masalah-masalah agama ke dalam dua kelompok (ushul dan furu') dapat diajukan pertanyaan: "Apa batasan dalam masalah-masalah ushul, di mana apabila seseorang melakukan kekeliruan atau kesalahan dihukumi sebagai orang kafir dan apa bedanya antara masalah-masalah ushul dengan masalah-masalah furu?" Apabila dia menjawab, "Masalah-masalah ushul adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah, sedangkan masalah-masalah furu' adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan amal perbuatan." Selanjutnya, dapat diajukan pertanyaan kepadanya,"Bagaimana dengan pertentangan yang terjadi di antara manusia berkenaan dengan Nabi Muhammad saw, apakah beliau pernah melihat Allah atau tidak? Dan apakah Ustman ra itu lebih baik dari Ali ra atau Ali ra yang lebih baik dari Ustman ra? Demikian juga berkenaan dengan makna-makna Alquran dan kesahihan sebagian hadis, di mana semuanya itu termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah, di mana menurut kesepakatan para ulama tidak diperbolehkan untuk mengafirkannya. Sementara, berkenaan dengan kewajiban salat, zakat, puasa, dan haramnya perbuatan keji dan khamar (minuman keras) termasuk masalah yang berkaitan dengan amal pebuatan, tetapi para ulama telah sepakat untuk menghukumi kafir bagi orang yang mengingkarinya.
Apabila dia menjawab, "Masalah-masalah pokok itu adalah masalah-masalah yang qath'i (pasti), maka dapat dikatakan kepadanya, 'Kebanyakan dari masalah-masalah yang berkaitan dengan amal perbuatan itu bersifat qath'i, sementara kebanyakan dari masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan justru bersifat dzanni (dugaan). Pengelompokan masalah-masalah ke dalam qath'iyyah dan dzanniyyah sifatnya relatif. Terkadang satu masalah bagi seseorang dianggap qath'i, karena sudah jelasnya dalil yang menunjukkan keqath'iyyannya baginya, seperti seseorang yang mendengar suatu nash dari Rasulullah saw dan dia meyakini bahwa nash tersebut berasal dari beliau, sementara bagi orang lain masalah tersebut dianggap dzanni, jauh dari anggapan qath'i, karena belum sampainya nash tersebut kepadanya, atau tidak adanya ketetapan yang diketahuinya, atau tidak memiliki ilmu yang memungkinkannya untuk mengetahui dalil-dalilnya.
Imam Ibnu Qoyyim berkata, "Mereka mengelompokkan masalah-masalah agama kepada masalah-masalah yang bersifat ilmiyyah dan masalah-masalah yang bersifat amaliyyah, dan mereka menyebutnya dengan ushul dan furu'. Mereka berkata, "Yang benar dalam dalam masalah ushul itu hanya satu, dan orang yang mengingkarinya dihukumi sebagai orang kafir atau orang fasik. Sedangkan dalam masalah-masalah furu', tidak ada hukum Allah yang bersifat tertentu dan tidak dapat ditentukan kesalahannya, sehingga setiap hukum yang ditetapkan mujtahid dianggap sesuai dengan hukum Allah. Seandainya melihat istilah yang dipakai, maka pengelompokkan ini tidak dapat membedakan secara jelas antara masalah ushul dengan masalah furu'. Bagaimana bisa dibedakan, sementara mereka menetapkan hukum-hukum berdasarkan akal dan pandangan mereka sendiri, di antaranya, menetapkan hadis ahad sebagai masalah furu' bukan masalah ushul, dan lain sebagainya. Padahal setiap pengelompokan ini tidak didasarkan kepada Alquran, sunnah, dan sumber-sumber syariat lainnya, sehingga pengelompokan masalah ini dianggap suatu keliruan yang wajib diabaikan."
Namun demikian, jika masalah ini dikaji secara mendalam, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak semua pengelompokan ini ditolak (salah), bahkan dapat dibenarkan jika di dalamnya mengandung dua persyaratan, yaitu:

  1. Mengembalikan pandangan dalam penetapan kiteria-kriteria yang membedakan antara masalah ushul dan furu' berdasarkan kriteria-kriteria yang pengertiannya dapat dibenarkan oleh syari'at.
  2. Dihasilkan melalui penelitian ilmiyyah berkenaan dengan penetapan hukum-hukum yang berkaitan dengan setiap masalah ushul dan furu'.

Adapun metode yang ditempuh oleh para ulama dalam menetapkan kiteria-kriteria pengelompokan masalah ke dalam ushul dan furu' ini terdapat beberapa metode, di antaranya:

  1. Masalah yang dalilnya bersifat akli (bersumber dari akal) dikelompokkan ke dalam ushul, sedangkan masalah yang dalilnya bersifat naqli (bersumber dari Alquran dan sunnah) dikelompokkan ke dalam furu'.
  2. Masalah yang dalilnya bersifat qath'i (pasti) dikelompokkan ke dalam ushul, sedangkan masalah yang dalilnya bersifat dzanni dikelompokkan ke dalam furu'.
  3. Masalah-masalah ushul itu berkaitan dengan ilmu pengetahuan, sedangkan masalah-masalah furu' itu berkaitan dengan amal perbuatan.
  4. Masalah-masalah ushul itu berkaitan dengan tuntutan (perintah dan larangan), sedangkan masalah-masalah furu' itu bersifat berita.

Perlu diketahui bahwa tidak ada suatu pendapat pun dari pendapat-pendapat tersebut di atas, kecuali di dalamnya terdapat kontradiksi, sehingga tidak ada satu pendapat pun yang terhindar dari pertentangan, walaupun pada sebagiannya terdapat pandangan yang dianggap layak dan patut dipertimbangkan. Metode yang dianggap tepat dalam menentukan kriteria-kriteria yang membedakan antara masalah ushul dan furu' adalah bahwa segala masalah yang sudah jelas dalilnya dikelompokkan ke dalam masalah furu', baik berkaitan dengan ilmu pengetahuan maupun berkaitan dengan amal perbuatan. Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, "Yang benar, bahwa setiap masalah yang sudah jelas dalilnya, baik yang berkaitan dengan masalah ilmu pengetahuan maupun yang berkaitan dengan amal perbuatan dikelompokkan ke dalam masalah ushul, sedangkan masalah yang belum jelas dalilnya dikelompokkan ke dalam masalah-masalah furu'. Pengetahuan tentang beberapa kewajiban seperti rukun Islam yang lima, dan beberapa hal yang diharamkan, merupakan masalah yang sudah jelas dan diriwayatkan secara mutawatir. Demikian juga halnya dengan pengetahuan bahwa Allah SWT Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Alquran sebagai Kalam Allah, dan lain sebagainya merupakan masalah yang dianggap sudah jelas dan diriwayatkan secara mutawatir. Oleh karena itu, maka orang yang mengingkari dan menentang hukum-hukum tersebut di atas (yang sudah jelas wajib dan haramnya) dihukumi sebagai orang kafir. Demikian juga, dihukumi sebagai orang kafir, orang yang mengingkari pengetahuan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang terakhir.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka ada beberapa pembahasan yang berkaitan dengan masalah yang terdapat dalam bab ini yang mencakup beberapa masalah yang sudah jelas dalilnya, baik masalah yang berkaiatan dengan ilmu pengetahuan maupun yang berkaitan dengan amal perbuatan, yang di dalamnya mencakup masalah tauhid dan macam-macamnya, menolong orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, masalah-masalah agama yang sudah diketahui secara pasti. Semua masalah ini terkait erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, amal perbuatan, atau dengan keduanya secara bersamaan, dan semuanya itu sudah jelas, sehingga masalah ini dikelompokkan ke dalam masalah-masalah ushul. Hanya kepada Allahlah kita memohon pertolongan.

Dampak yang Ditimbulkan karena Kebodohan dalam Masalah Pokok-Pokok Akidah (Keyakinan)


Dampak yang Ditimbulkan karena Kebodohan dalam Masalah Pokok-Pokok Akidah (Keyakinan)


Pokok-Pokok Keyakinan
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Pokok-pokok keyakinan itu mencakup masalah-masalah yang wajib diyakini, wajib diucapkan dan wajib diamalkan, seperti masalah tauhid, sifat-sifat, kekuasaaan Allah, kenabian, hari akhir, atau dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut." Selanjutnya, beliau berkata,"Keimanan itu mewajibkan hal-hal yang sudah nyata wajibnya dan diriwayatkan secara mutawatir, dan mengharamkan hal-hal yang sudah nyata haramnya dan diriwayatkan secara mutawatir. Hal ini merupakan pokok keimanan dan ketentuan agama yang sangat penting."
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullahu telah menjelaskan bahwa pokok-pokok keimanan yang wajib diketahui, diyakini, diimani dan diamalkan oleh manusia dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kewajiban seorang hamba untuk mengenal Tuhannya, agamanya, dan Nabinya, yaitu Muhammad saw.
Adapun rincian masalah pokok-pokok keimanaan ini adalah sebagai berikut:

  1. Mentauhidkan Allah berdasarkan pengetahuan dan ketetapan. Hal ini mencakup tauhid rububiyah (ketuhanan), nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT.
  2. Mentauhidkan Allah dalam tuntutan dan tujuan. Hal ini mencakup keharusan mentauhidkan Allah dalam segala ibadah, seperti mentauhidkan Allah dalam doa, khauf (merasa takut akan siksa Allah), raja' (mengharap rahmat Allah), tawakkal, kecintaan, ketakutan, kekhusyuan, kekhawatiran, penyerahan diri, memohon pertolongan, memohon perlindungan, memohon petunjuk, menyembelih binatang, dan nadzar.
    Allah SWT berfirman yang artinya:
    "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56).
    "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 21).
    "Dan Tuhanmu berfirman: 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah Aku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dan dihinakan'." (Al-Mu'min: 60).
    "Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (Al-Maidah: 23).
    "Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya." (Az-Zumar: 54).
    "Katakanlah, 'Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta Alam." (Al-An'aam: 162).
    Selain mencakup hal-hal tersebut di atas, tauhid jenis ini mencakup pula kewajiban untuk mengikuti sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya berupa hukum halal dan haram, dan mengingkari syariat-syariat lainnya yang dikategorikan syariat jahiliyah. Karena mengikuti atau tunduk kepada makhluk dalam masalah hukum halal dan haram yang tidak didasarkan kepada ketetapan Allah termasuk syirik besar, yang menyebabkann pelakunya dianggap sebagai orang yang murtad (keluar dari agama). Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Allah SWT dalam firman-Nya, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31).
    Allah berfirman, "Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?" (Asy-Syuraa: 21).

    Allah SWT berfirman, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al-Maidah: 50).
  3. Beriman kepada Rasulullah saw, dan membenarkan berita yang dibawanya. Keimanan jenis ini mencakup beriman kepada para nabi, para rasul, kitab-kitab suci yang diturunkan, para malaikat, hari akhir (hari kiamat), takdir yang baik dan buruk. Demikian juga dalam ketaatan kepada Rasulullah saw mencakup ketaatan kepada perintah dan larangannya, dan mengikuti syariat yang dibawanya.
  4. Menolong orang beriman dan memusuhi orang-orang kafir, dan membebaskan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang melakukan kemusyrikan. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, "Orang yang menaati Rasulullah saw dan mentauhidkan Allah, maka tidak diperbolehkan baginya untuk menolong orang yang menentang (mengingkari) Allah dan Rasul-Nya, walaupun orang itu termasuk keluarganya yang paling dekat sekalipun. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, 'Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari pada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung'." (Al-Mujadilah: 22).

Semua pokok-pokok keimanan tersebut di atas tercakup dalam jawaban Rasulullah saw ketika Jibril as bertanya kepadanya tentang masalah iman, maka beliau menjawab, "Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan qadha yang baik maupun yang buruk."

Keterkaitan antara 'Udzr (Ampunan) dan Jahl (Kebodohan)


Keterkaitan antara 'Udzr (Ampunan) dan Jahl (Kebodohan)


Kebodohan adalah suatu terminologi (istilah) umum untuk menyebut seseorang yang tidak mempunyai ilmu atau pengetahuan, yaitu keyakinan terhadap sesuatu yang bukan sebenarnya atau melakukan suatu perbuatan yang berbeda dengan perbuatan yang seharusnya dilakukan. Perbedaan tersebut terjadi baik karena orang yang bersangkutan mempunyai keyakinan yang benar ataupun salah. Setiap tindakan yang dilakukan berdasarkan ukuran ini jauh dari kebenaran atau merupakan tindakan yang salah.
Ketika seseorang yang bodoh mengatakan sesuatu atau meyakini suatu keyakinan yang berlawanan dengan kebenaran tanpa berdasarkan pengetahuan dan tidak bermaksud menyeleweng dari kebenaran, ia telah melakukan kesalahan dalam perkataan dan keyakinan tersebut.
Dari bab ini kami katakan bahwa kebodohan dengan pengertian yang kedua dan ketiga dengan kesalahan adalah sama. Hal ini disebabkan karena kesalahan tersebut secara etimologis (dari segi bahasa) adalah lawan dari kebenaran. Pakar bahasa mengatakan,"Orang yang keliru (al-mukhthi'u) adalah seseorang yang bermaksud melakukan sesuatu yang benar tetapi melakukan sesuatu yang sebaliknya. Sedangkan orang yang bersalah (al-khathi') adalah seseorang yang sengaja melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan... dan kesalahan (al-khathi'ah) adalah dosa yang dilakukan dengan sengaja."
Ar-Raghib, dalam bukunya al-Mufradat, menjelaskan pengertian "salah" (al-khatha') sebagai sesuatu yang keluar dari jalur yang seharusnya. Selanjutnya, ia memberikan beberapa contoh tentang "salah" sebagaimana dia definisikan, ia mengatakan, "... seseorang bermaksud melakukan suatu kebaikan, tetapi dalam kenyataannya ia melakukan sesuatu yang ia tidak kehendaki. Orang seperti ini dikatakan bahwa ia keliru melakukan suatu perbuatan dan ia disebut orang yang keliru (al-mukhthi'u), karena ia telah bertindak benar dalam niatnya, tetapi keliru dalam tindakannya. Pengertian ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw, "Ruf'ia 'an ummati al-khatha'u wan nisyaanu (Umatku dimaafkan karena salah dan lupa)...." Secara umum dapat dikatakan bahwa seseorang yang menghendaki sesuatu kemudian ia mendapatkan sesuatu yang berlainan, maka orang itu disebut "salah" dan jika ia melakukan sesuatu sesuai dengan yang ia kehendaki, ia disebut "benar". Kadang-kadang disebutkan pula bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak baik atau berniat sesuatu yang tidak baik pula, maka orang tersebut juga dikatakan "salah".
Al-Jahl (orang bodoh atau orang yang tidak tahu) adalah sama pengertiannya dengan al-mukhthi'u (orang yang keliru). Banyak nash-nash Alquran dan sunnah yang menoleransi dan memaafkan keduanya, karena mereka dipandang sebagai orang-orang yang berada dalam wilayah hukum orang yang belum menerima khithab syar'i atau perintah agama. Oleh karena itu, ketika kami mengatakan bahwa orang bodoh yang keliru dalam melakukan suatu amalan agama, maka pengertiannya adalah bahwa orang tersebut dosa dan kekeliruannya dimaafkan, sehingga pengertian 'uzdr di sini adalah tidak ada penghukuman dosa, yakni ampunan.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, dalam menjelaskan hadis dari seseorang laki-laki Bani Israel yang berlebih-lebihan, mengatakan, "Orang laki-laki ini berkeyakinan bahwa Allah tidak berkuasa menggabungkan seandainya ia melakukan sesuatu atau ragu-ragu, dan bahwa Allah tidak mengutusnya.
Kedua keyakinan ini adalah kekafiran yang berlaku bagi orang yang sudah menerima hujjah, tetapi ia tidak mengetahui hal itu dan tidak pula mendapatkan ilmu yang dapat menghilangkan ketidaktahuannya, sedangkan ia memiliki keimanan kepada Allah dan perintah-Nya serta larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya, sehingga ia takut akan siksa-Nya dan Allah pun mengampuninya karena ketakutannya. Dengan demikian, jika dari kalangan orang-orang yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, hari akhir, dan amal yang shaleh ada seseorang yang keliru dalam mengaplikasikan (melaksanakan) beberapa persoalan akidah tidak lebih buruk dari orang yang bodoh, dan Allah memaafkan kekeliruannya, atau Dia akan mengazabnya jika orang tersebut lalai dalam mengikuti agama sesuai dengan tingkat pemahaman keagamaannya. Sedangkan klaim kafir terhadap orang yang telah mengetahui masalah akidah dan ia menyleweng, masalah tersebut adalah masalah besar ...."
Maka, kewajiban manusia adalah berusaha dan mencurahkan segala kemampuannya untuk mengetahui ajaran agama. Manusia tidak diwajibkan mencapai ketepatan atau kesesuaian dalam melaksanakan hukum Allah dari segi batin jika ia tidak mampu mencapai hal tersebut. Tetapi, ia diwajibkan berusaha atau berijtihad. Jika ia tidak berusaha dengan alasan lalai dan meremehkan kemudian ia salah, maka ia telah melakukan dosa.
Ibnu Taimiyyah berkata, "Kesalahan seseorang karena kelalaiannya dalam melaksanakan kewajibannya untuk mengikuti Alquran dan beriman umpamanya, atau karena ia melanggar hukum-hukum Allah dengan cara yang dilarang-Nya, atau karena mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah, maka ia adalah orang yang zalim (berbuat dosa) pada dirinya sendiri dan termasuk orang yang mendapatkan ancaman Allah. Berbeda dengan orang yang telah berusaha untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, baik secara batin maupun lahir yang dituntut oleh agama sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kesalahan orang ini dapat dimaafkan."
Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah menjelaskan, "Adapun mengenai pengafiran adalah sebagai berikut: Kebenaran dalam melaksanakan ajaran agama adalah bahwa seseorang di antara umat Muhammad telah berusaha menaati perintah agama tetapi ia keliru, maka ia tidak dapat dikafirkan, tetapi kekeliruannya dimaafkan. Sedangkan orang yang telah mengetahui seruan Rasul kemudian ia meninggalkannya dan menempuh cara selain cara orang-orang mukmin, maka ia adalah kafir. Adapun orang yang mengikuti hawa nafsunya dan lalai dalam mencari kebenaran serta berbicara tanpa berdasarkan pengetahuan adalah orang yang berdosa, kemudian kadang-kadang ia menjadi fasik, dan kadang-kadang pula ada kebaikannya yang dapat menghapus keburukannya."
Toleransi atas kekeliruan dan tidak adanya dosa sebagaimana dijelaskan di atas sama sekali tidak berarti mendapatkan pahala. Tetapi, pengertiannya adalah bahwa seseorang yang berusaha dan berijtihad melakukan atau mengatakan sesuatu dan keliru dalam larangan, sedangkan ia tidak mengetahui larangan itu, dan perbuatan atau perkataan itu merupakan jenis syari'at yang diperintahkan, maka ia mendapatkan pahala karena perbuatannya jika ia tidak mengetahui larangannya. Sedangkan perbuatan yang jenisnya tidak termasuk yang disyari'atkan atau perbuatan tersebut dilarang seperti syirik kepada Allah, maka tindakan itu tidak mendapat pahala, seperti halnya ia tidak mendapat siksa sampai datangnya hujjah syar'iyyah kepadanya.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah kembali berkata, "Setiap orang yang melaksanakan suatu perbuatan yang dilarang tetapi ia tidak mengetahui larangan itu, dan perbuatan tersebut termasuk jenis perbuatan yang diperintahkan seperti orang yang melaksanakan salat pada waktu-waktu yang dilarang, dan ia telah mengetahui perintah salat secara umum tetapi tidak mengetahui larangan salat pada waktu-waktu tertentu..., maka jika ia masuk dalam wilayah perintah salat yang umum dan tidak mengetahui larangan pada waktu tertentu, ia mendapatkan pahala... Berbeda dengan jenis perbuatan yang dilarang seperti syirik kepada Allah, maka kekeliruannya tidak mendapat pahala, meskipun Allah juga tidak mengazab pelakunya sampai ia mengetahui larangan tersebut. Allah SWT berfirman, "Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul." (Al-Israa: 15).
Pelakunya tidak akan diazab sebagaimana pula ia tidak mendapatkan pahala, tetapi perbuatannya tersebut adalah seperti debu sebagaimana firman Allah, "Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan debu yang berterbangan, " (Al-Furqan: 23).

Ibnu al-Mubarak mengatakan, "Perbuatan-perbuatan tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan bukan untuk Allah." Mujahid menyebutnya sebagai perbuatan yang tidak diterima. Allah SWT berfirman, "Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang." (Ibrahim: 18). Perbuatan mereka adalah perbuatan yang salah (bathil) yang tidak mendapatkan pahala...."
Ibnu Taimiyyah melanjutkan, "Seorang yang beriman dan berijtihad mencari kebenaran kemudian ia salah, sesungguhnya Allah memaafkan kesalahannya, baik dalam masalah-masalah teoritis maupun praktis. Ijtihad inilah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi saw dan jumhur ulama Islam."
Dengan demikian, orang bodoh yang salah dan menyalahi perintah Allah SWT dengan melakukan sesuatu yang haram dan meninggalkan kewajiban, jika ia telah mencurahkan segala kemampuannya dan berijtihad dalam lingkup dalil yang umum yang tidak mengetahui nasikhnya (dalil yang menghapus dalil yang lain) atau mukhassisnya (dalil yang mengkhususkan dalil yang lain), ia mendapatkan pahala atas perbuatannya melakukan suatu jenis perintah. Jika perbuatan itu termasuk yang dilarang, ia tidak mendapatkan pahala seperti halnya ia tidak mendapatkan siksa sampai ditegakkannya hujjah melalui penjelasan. Adapun jika ia melalaikan dan meremehkannya, ia tidak dimaafkan jika melakukan dosa atau sesuatu yang menyebabkannya kafir, tetapi termasuk orang-orang yang berdosa dan ingkar dari golongan kaum kafir.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa orang-orang bodoh dan pengikut-pengikut para pembesar dan pemimpin yang kafir dan sesat, jika mereka tidak berusaha mencari ilmu yang diwajibkan kepada mereka, mereka akan dihisab dan diadzab sesuai dengan perbuatan mereka dan termasuk orang-orang yang lalai dan ingkar. Hal demikian adalah karena sebagian besar siksaan dan azab ditimpakan kepada orang-orang yang lalai dan meninggalkan usaha mencari ilmu yang telah diwajibkan, dan Allah tidak memerintahkan kewajiban kepada manusia kecuali yang sesuai dengan kemampuannya.
Para ahli ushul telah menjelaskan mengenai kebenaran dan kesalahan para mujtahid. Dasar pendapat mereka dalam masalah ini adalah dibedakannya antara akidah dan syari'at serta pengafiran orang yang salah dalam masalah akidah, karena mereka memandang kesalahan dalam ijtihad mengenai masalah-masalah akidah berhubungan dengan dosa. Mengingat persoalannya demikian, saya tidak mau terjebak dalam lingkaran pendapat mereka mengenai masalah ini, karena saya melihat pendapat mereka tidak mempergunakan pemikiran dari pembahasan ini. Kemudian, pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah juga sering terjebak pada lingkaran pendapat mereka yang tidak didasarkan pada dalil-dalil Alquran dan sunnah.
Dari pembahasan ini, kami berusaha menjelaskan hubungan antara ampunan ('udzr) dan kebodohan (jahl), dan maksud masing-masing dari kata tersebut. Apakah perbuatan dosa menuntut hukum pengafiran atau berbuat dosa selain kekafiran menuntut adanya siksa? Selanjutnya, apakah ampunan menuntut adanya pahala, jika perbuatan yang menyalahi ketentuan tersebut berdasarkan dalil meskipun lemah, atau ampunan itu hanya menghapus siksa saja?
Setelah menganalisa nash-nash dari Alquran, Sunnah dan pendapat para ulama yang berdasarkan nash-nash tersebut, kami mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebodohan (jahl) dan kesalahan (khatha') mempunyai pengertian yang sama dilihat dari segi keyakinan yang berbeda, dari kenyataan yang seharusnya atau dilakukannya perbuatan yang semestinya tidak dilakukan tanpa bermaksud menyalahi hukum.
2. Siksa dapat ditiadakan dan dihapus karena kesalahan yang dilakukan orang bodoh selama ia tidak bermaksud mendustakannya dan menentang nash-nash.
3. Ijtihad dan mencurahkan segala kemampuan untuk mengetahui hukum Allah, meskipun salah dan tidak mencapai kebenaran, dosa dan kesalahannya diampuni.
4. Kelalaian dan sikap meremehkan, jika dosa yang dilakukannya masalah kekafiran, maka hal itu tidak diampuni. Jika perbuatan tersebut tidak menyebabkan kafir, maka hal itu sebagai alasan dikenakannya dosa dan siksaan, baik di dunia jika berkenaan dengan hukuman, maupun di akhirat jika pelakunya belum bertaubat.
5.Perbuatan bid'ah, jika termasuk jenis perbuatan yang diperintahkan, kemudian seseorang melakukannya berdasarkan ijtihadnya dan ia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang, maka ia mendapatkan pahala.
6.Perbuatan bid'ah, jika termasuk jenis perbuatan bukan perbuatan yang diperintahkan, seperti semedi di kuburan, jika seseorang melakukannya berdasarkan ijtihad tanpa dalil, dosanya diampuni, tetapi ia tidak mendapatkan pahala karena perbuatan tersebut bukan perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
7. Pendapat yang mengatakan adanya hubungan antara kesalahan dan dosa adalah pendapat orang-orang yang suka mengada-ada (ahlu bid'ah) dan orang-orang sesat.
Sumber: Al-Jahlu Bi Masaailil 'I'tiqaad wa Hukmuhu, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy

Hukum Tidak Mengetahui Masalah Agama yang Jelas Dalil-dalilnya


Hukum Tidak Mengetahui Masalah Agama yang Jelas Dalil-dalilnya


Semua penjelasan yang dibutuhkan manusia untuk mengetahui, meyakini, dan mempercayai masalah-masalah tauhid, kenabian, dan hari akhir, masalah halal dan haram telah dijelaskan Allah dan Rasul-Nya. Karena, masalah-masalah tersebut merupakan masalah-masalah yang paling penting yang harus disampaikan oleh Rasulullah saw dengan jelas dan beliau telah menjelaskannya.
Hal itu juga merupakan hujjah terbesar yang ditegakkan Allah bagi hamba-hamba-Nya melalui Rasul-Nya yang menyampaikan dan menjelaskannya kepada mereka. Kitab Allah (Alquran) yang diriwayatkan para sahabat dan tabi'in dari Rasulullah saw baik lafal maupun maknanya, dan hikmah yang merupakan sunnah Rasulullah saw yang juga diriwayatkan dari beliau saw telah mencakup semua persoalan di atas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa syar'i (Pembuat Syari'at), dalam hal ini adalah Rasulullah saw, telah menjelaskan semua hal yang dapat menjaga manusia dari berbagai kerusakan dan tidak ada yang lebih merusak manusia selain kekafiran dan kemaksiatan. Beliau telah memberikan penjelasan tersebut yang menggugurkan alasan untuk tidak mempercayai beliau.
Allah SWT berfirman: "Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberikan petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang mereka harus jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (At-Taubah: 115).
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepada nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamu. Maka, barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang." (Al-Maidah: 3).
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nisa: 165).
"Katakanlah: 'Ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul, dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapatkan petunjuk. Dan tiada lain kewajiban Rasul hanya menyampaikan (amanah Allah dengan terang)." (An-Nuur: 54).
Abu Dzarr berkata: "Rasulullah saw telah wafat dan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya dan tidak menyampaikan ilmu kepada kita." Di dalam shahih Muslim dikatakan, "Sebagian orang-orang musyrik berkata kepada Salman: "Nabi kamu telah mengajarkan kepadamu segala sesuatu, hingga persoalan buang air." Salman menjawab: Betul demikian...."
Berdasarkan hal di atas, maka masalah-masalah tersebut (Meng-Esakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya, penetapan kenabian dan kerasulan, pengharaman riba dan judi, dan lain-lain) adalah pengetahuan-pengetahuan dan petunjuk-petunjuk yang pasti. Oleh karena itu, orang yang hidup di Daar al-Islam (negara Islam) dan dalam lingkungan keimanan, ia tidak mempunyai alasan untuk tidak mengetahui dan menentang perintah-perintah Allah tersebut.
Imam as-Syafi'i mengatakan, "Ilmu itu terdiri dari dua macam: pertama, ilmu umum, yaitu ilmu yang pasti diketahui oleh seorang yang sudah baligh yang tidak hilang akalnya (gila)... seperti salat lima waktu, kewajiban puasa Ramadhan, haji bagi orang yang mampu, zakat harta, diharamkannya zina, pembunuhan, pencurian dan khamr, serta persoalan-persoalan lain yang masuk dalam pengertian ini yang telah diperintahkan kepada hamba-hamba Allah untuk mengetahuinya dan mengamalkannya, mentaatinya dengan jiwanya dan hartanya dan mencegah dari hal-hal yang telah diharamkan bagi mereka."
"Bentuk pengetahuan ini secara keseluruhan terdapat dalam kitab Allah dan diketahui secara umum di kalangan kaum muslimin, orang-orang awam sekarang mengetahinya dari orang-orang terdahulu, mereka meriwayatkan dari Rasulullah saw dan tidak ada pertentangan dalan cerita mereka dan tidak pula dalam hal kewajiban yang diperintahkan kepada mereka. Ilmu umum ini merupakan ilmu yang tidak mungkin salah dalam pemberitaannya dengan penafsirannya, dan tidak boleh bertentangan dalam kasus ini...."
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan, "Secara umum Allah dan Rasul-Nya tidak meninggalkan masalah halal-dan haram tanpa menjelaskan keduanya. Akan tetapi, sebagiannya lebih jelas dari sebagian yang lain. Maka, masalah yang keterangannya telah jelas, terkenal di kalangan masyarakat dan diketahui secara umum sebagai ajaran agama sesuai kebutuhan, tidak ada keraguan di dalamnya
sehingga tidak ada pula alasan bagi siapapun yang hidup di negeri Islam untuk tidak mengetahuinya."
Oleh karena itu, ketika para ulama ushul memperbincangkan masalah 'kebodohan' (ketidaktahuan dalam masalah agama), yang dapat dijadikan alasan dan yang tidak, mereka mengatakan bahwa kebodohan akan Pencipta Yang Maha Tinggi dan kenabian Muhammad saw merupakan kebodohan yang bathil (sesat) yang tidak dapat dijadikan alasan berpaling dari Islam.
Ketentuan-ketentuan syariat yang tidak mungkin menjadikan kebodohan terhadapnya dipandang sebagai alasan untuk mengingkarinya, secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama, kebodohan dalam masalah pokok-pokok agama (Ushulud Din) dan masalah-masalah akidah yang global, seperti kebodohan orang kafir terhadap Dzat Allah SWT dan sifat-sifat kesempunaan-Nya, serta kenabian Muhammad saw.
Kedua, masalah agama yang secara niscaya diketahui, diikuti selanjutnya seluruh hukum syari'at yang telah diketahui dan tersebar di negara-negara Islam, seperti salat, zakat, puasa, haji, haramnya zina, pembunuhan, khamr dan pencurian.
Beberapa pejelasan mengenai masalah ini:
1.Tidak ada alasan bagi kebodohan dalam pengakuan keislaman secara global dan kebebasan yang umum dari setiap agama yang ditentangnya. Maka, setiap orang yang tidak memeluk agama Islam adalah kafir, baik sebagai pengingkaran maupun kebodohan.
Ibnu Qayyim ra menjelaskan, "Islam adalah agama tauhid (mengesakan) Allah, ibadah hanya kepada-Nya yang tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengikuti ajarannya. Maka seorang hamba yang tidak melaksanakan hal itu bukanlah muslim, jika ia bukan kafir karena ingkar, maka ia adalah kafir karena kebodohannya."
Tingkat tertinggi dari golongan ini adalah orang-orang kafir yang bodoh yang tidak ingkar, tetapi tidak adanya pengingkaran dari mereka tidak lantas mengeluarkan mereka dari kekafiran. Sebab, orang yang kafir adalah oang yang mengingkari keesaan Allah dan mendustakan Rasul-Nya, baik karena keingkarannya maupun karena kebodohannya dan taklidnya kepada orang-orang yang mengingkarinya.
2. Kebodohan yang tidak dapat dijadikan alasan dalam masalah ini mensyaratkan adanya penegakan hujjah dan penyampaiannya, seperti terwujudnya bentuk konkret secara syar'i dari penegakan hujjah, seperti Daar Islam dan lingkungan ilmu dan iman, tempat terdapat para da'i dari kalangan para ahli yang mengetahui Alquran dan sunnah, sehingga masalah-masalah tersebut menjadi umum dan dikenal di kalangan kaum muslimin.
Mengenai syarat ini, banyak dalil-dalil Alquran dan sunnah yang menjelaskannya, dan karena alasan kebodohan tetap berlaku bagi seorang hamba hingga hujjah Allah ditegakkan dan orang yang meninggalkannya akan dihukum sesuai dengan pelanggarannya. Allah SWT berfirman, "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu." (An-Nisaa': 165).
Firman-Nya yang lain, "Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra': 15).
Pendapat yang mengatakan bahwa kebodohan dalam masalah-masalah yang besar (pokok)ini yang dalil-dalilnya telah jelas tidak dapat dimaafkan secara mutlak meskipun belum ditegakkan hujjah adalah tidak benar. Dalil-dalil Alquran maupun sunnah juga menolak pendapat tersebut. Ini merupakan mazhab imam-imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan, "Pokok-pokok agama (ushulud din) yang telah dijelaskan oleh Allah dan ditetapkan dalam kitab-Nya (Alquran) adalah hujjah, dan karena itulah hujjah Allah adalah Alquran. Maka, orang yang telah mengetahui Alquran, ia telah mengetahui hujjah."
Syekh Hamad bin Mu'ammar ra berkata, "Setiap orang yang sampai kepadanya Alquran, tidak ada alasan baginya untuk meninggalkannya. Karena, pokok-pokok besar yang merupakan pokok agama Islam telah dijelaskan oleh Allah di dalam kitab-Nya dan dengannya Allah menegakkan hujjah bagi hamba-hamba-Nya."
3. Kebodohan orang-orang awam yang mengikuti dan bergabung dengan beberapa golongan yang sesat, seperti golongan sufi yang sesat yang pada hakikatnya mazhab mereka adalah kafir dan mengingkari pokok-pokok agama Islam yang sudah jelas.
Golongan sufi yang sesat meyakini bahwa sampainya pada derajat keyakinan menjadikan kewajiban-kewajiban mereka gugur dan larangan-larangan dibolehkan bagi mereka. Mereka juga bependapat bahwa mereka tidak wajib mengikuti Nabi Muhammad saw.
Imam al-Asy'ari di dalam 'Maqaalat'nya mengatakan, "Ada segolongan kaum yang berkeyakinan bahwa ibadah mereka telah sampai pada satu tingkatan yang menjadikan mereka tidak wajib menjalankan ibadah-ibadah yang lain dan perkara-perkara yang dilarang bagi orang lain seperti zina dan lain-lain, dibolehkan untuk mereka.
Abu Muhammad bin Hazm mengatakan, "Suatu golongan dari kaum Sufi menganggap bahwa di antara wali-wali Allah terdapat seseorang yang lebih utama daripada nabi-nabi dan rasul-rasul secara keseluruhan. Mereka mengatakan, orang yang sudah mencapai puncak kewalian, maka gugurlah semua kewajibannya seperti salat, puasa, zakat, dan lain-lain, dan dihalalkan untuknya perkara-perkara yang diharamkan seperti zina, khamr, dan lain-lain, dan dengan alasan ini pula mereka membolehkan berhubungan dengan istri-istri orang lain. Dan mereka mengatakan, "Kami melihat Allah dan berbicara dengan-Nya dan segala sesuatu yang kamu ucapkan dari hati kami adalah benar."
Tidak diragukan lagi, keyakinan seperti ini sangat bertentangan dengan syariat dan merupakan kekafiran terhadap Allah SWT.
4.Kebodohan orang-orang yang hidup di daerah terpencil mengenai sebagian amalan yang bercampur dengan ibadah selain kepada Allah.
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penjelasan di atas adalah bahwa kebodohan atau ketidaktahuan dalam masalah agama, dan orang bersangkutan tidak dapat menghindarinya, maka kebodohan itu dapat dijadikan alasan dan dimaafkan sampai datang penjelasan agama baginya. Dalam konteks ini tidak dapat dibedakan, apakah kebodohan itu mengenai masalah-masalah agama yang sudah jelas dalil-dalilnya ataupun masalah-masalah lain yang tidak dikenal secara umum (belum jelas dalilnya). Arus utama dalam pembicaraan di sini adalah tentang tegaknya hujjah syar'iyyah dan kemungkinan mendapatkan ilmu tentang agama dan mencapai pemahaman terhadapnya.
Syekh Muhammad Shalih al-Utsaimin mengatakan, "Kebodohan sebagai alasan telah ditetapkan bagi hamba Allah, karena Allah telah befirman: 'Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu'. " (At-Taubah: 115).
Rasulullah saw bersabda, "Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini yang mendengar tentang diriku, baik yahudi maupun Nashrani, kemudian ia tidak beriman kepada apa yang aku bawa, tidak lain ia adalah termasuk penghuni neraka."
Nash-nash yang menjelaskan masalah ini banyak kita temukan. Dengan demikian, orang yang tidak mengetahui agama, ia tidak akan disiksa karena kebodohannya dalam masalah apa pun dari agama ini.
Sumber: Al-Jahlu bi Masa'il al-I'tiqaad wa Hukmuhu, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy