NASEHAT MENJELANG IDUL FITRI

NASEHAT MENJELANG IDUL FITRI

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى(14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى(15) بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا(16) وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى(17) (الاعلى: 14-17)
Artinya: “Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia mengerjakan shalat. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”  (QS. Al-A’la: 14-27).
Dari Ibnu Mas`ud ra., bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila mereka itu berpuasa bulan Ramadhan dan keluar untuk menunaikan Shalat ‘Id (shalat hari raya), maka Allah Ta`ala berfirman: “Hai para malaikat Ku, tiap-tiap orang yang beramal akan mendapatkan upahnya; dan para hamba-Ku yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan keluar menunaikan Shalat ‘Id ,juga mengharapkan pahalanya. Maka oleh karena itu saksikanlah, bahwa sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka”.
Banyak orang yang salah kaprah dalam menyikapi Idul-Fithri. Secara lahiriah seolah-olah hari raya adalah pesta pora, bersenang-senang bahkan berpoya-poya. Lebaran Idul-Fithri dilakukan dengan “lebar kabeh”, yakni habis semuanya, menghambur-hamburkan uang dan menghambur-hamburkan waktu untuk bersenang-senang. Padahal tidaklah demikian cara umat Islam dalam merayakan Idul-Fithri. Dari Wahab bin Munabbib bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Raja Iblis berteriak-teriak marah ketika hari raya Idul-Fithri, hingga suaranya memenuhi seantero langit dan bumi. Mendengar teriakan itu seluruh pengikut dan kawan si Raja Iblis berkumpul, mereka bertanya: “Wahai baginda, siapa yang telah membuat anda marah?, akan kami musnahkan ia”. Si Raja Iblis menjawab: “bukan apa-apa, akan tetapi Allah Ta’ala telah mengampuni umat Islam pada hari Idul-Fithri ini, sehingga aku sangat jengkel dan bingung”. Kemudian Raja Iblis menugaskan kepada seluruh pengikutnya: “Wahai pengikutku, tugas kalian semua adalah membuat umat Muhammad lalai kembali, goda mereka dengan berbagai kelezatan, kenikmatan syahwat, terlena dengan kegembiraan dan bahkan minuman keras sehingga Allah akan murka lagi dengan mereka”. Jadi apabila kita berlebarang dengan kesia-siaan, terlena, melupakan ibadah dan berfoya-foya maka justeru Iblis yang berlebaran. Coba kita renungkan kelalaian kita, salah satu contohnya, banyak orang yang berbondong-bondong mendatangi shalat sunah Idul-Fithri, namun melupakan shalat wajib lima waktu. Padaha tidak ikut serta dalam shalat ‘Id tidaklah berdosa, sedangkan tidak ikut serta shalat lima waktu sekali saja sama seperti kehilangan langit dan bumi dan seiisinya.
Pada hari raya Idul-Fithri kita memang mesti bahagia karena pada hari itu umat Islam mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala. Untuk merayakannya kita dianjurkan oleh Nabi SAW untuk memakai baju baru, saling berkunjung maaf-memaafkan, bahkan boleh (atau jaiz) menghidangkan makanan atau kue kepada saudara muslim yang datang berkunjung. Tetapi kita juga harus bersedih di hari raya Idul Fithri jika ternyata kita belum mendapatkan ampunan dari Allah. Ada beberapa golongan manusia yang tidak akan mendapatkan ampunan pada hari raya Idul-Fithri, yakni antara lain: (1) Orang yang memelalaikan shalat lima waktu; (2) Orang yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan; (3) Orang yang tidak menunaikan zakat; (4) Orang yang meminum khamer (minuman keras); (5) Orang yang durhaka dan belum berbakti kepada kedua orang tua; (8) Orang yang memutuskan tali silaturahmi dan suka bermusuhan; (9) Orang yang enggan memaafkan; dan (10) Orang yang ucapan dan tingkah lakunya suka menyakiti orang lain. Jika kita termasuk diantara kesepuluh golongan tersebut maka kita seharusnya bersedih dan meraung menangis pada hari raya Idul-Fithri. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ جِبْرَئِيْلَ عَرَضَ لِى فَقَالَ: بَعُدَ مَنْ اَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ, قُلْتُ: آمِيْنَ.
Artinya: “Sesungguhnya Jibril telah datang kepadaku lalu berkata: “Celakalah orang yang melewatkan Ramadhan begitu saja, sedangkan dosanya belum diampuni”, aku kemudian mengatakan: “Aamiin” (HR. Al-Bukhari, Al-Hakim, dan Ath-Thabrani).
Bagi kita, yang paling penting adalah menghayati makna Idul-Fithri. Pada dasarnya Idul-Fithri berarti “kembali kepada kesucian” dan “syawal” artinya “peningkatkan”. Jadi makna Idul-Fithri pada bula Syawal ini adalah kembali pada kesucian dengan disertai upaya meningkatkan ketakwaan, ibadah dan amal shaleh. Sebagaimana yang digambarkan dalam salah satu ungkapan utama:
لَيْسَ عِيْدُ لِمَنْ لُبْسُهُ الْجَدِيْدُ, بَلْ عِيْدُ لِمَنْ تَقْوَـهُ الْيَزِيْدُ
Artinya: “Bukanlah hari raya itu untuk orang yang berpakaian baru, tetapi sebenarnya hari raya itu untuk orang yang bertambah ketakwaaannya”.
Untuk memahami hakikat makna Idul-Fithri  mari kita renungkan perkataan Anas bin Malik, beliau mengungkapkan bahwa orang yang beriman itu mempunyai lima hari raya, yakni:
1. Tiap-tiap hari yang dilalui orang yang beriman dan tidak dicatat baginya satu dosa pun, maka hari itu adalah hari raya.
2. Hari ketika seorang mukmin keluar dari dunia, yakni ketika mati dengan berbekal iman, dan amal shaleh, maka hari itu adalah hari raya.
3. Hari ketika seorang mukmin menyeberang  Shirathal Mustaqim dan dia selamat, maka itu adalah hari raya.
4. Hari ketika seorang mukmin masuk kedalam sorga dan selamat dari neraka jahim, maka itu adalah hari raya.
5. Hari ketika seorang mukmin bisa melihat Tuhannya, maka itu adalah hari raya. (dari Kitab Tabîhul Ghafilîn).
Bagi orang yang berakal hendaknya bisa menahan dirinya pada hari raya dari segala macam nafsu-syahwat dan dari semua yang dilarang, bahkan supaya selalu taat. Oleh karena itu Nabi SAW bersabda: “Bersungguh-sungguhlah kamu sekalian berhari raya idul fitri dengan bersedekah dan amalan-amalan yang baik, yakni dengan shalat, zakat, bertasbih, dan tahlil, karena sesungguhnya hari ini Allah ta`ala mengampuni semua dosa kamu sekalian, mengabulkan do`a kalian dan melihat kamu sekalian dengan kasih sayang”.
Mensucikan Diri
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى , “Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan diri”
            Ayat tersebut akan menjadi pusat kajian kita pada bagian ini. Untuk meniindak lanjuti hari raya Idul Fithri kita mesti senantiasa mensucikan diri. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’la ayat 14-17 yang telah disebutkan diawal. Bahwa sungguh beruntung orang-orang yang senantiasa mensucikan dirinya. Yakni orang-orang yang senantiasa menyebut asma Allah, senantiasa mendirikan shalat, mampu menahan diri di dunia dan senantiasa merindukan kehidupan akherat.
Ada banyak penafsiran terhadap kalimat “qad aflaha man tazakkâ”, “Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan diri”. Antara lain yang dimaksud orang yang mensucikan diri adalah: (1) Orang yang meninggalkan kecintaan pada dunia; (2) Orang yang banyak mengingat Allah; (3) Orang yang sabar terhadap musibah; (4) Orang yang berbakti kepada kedua orang tua; (5) Orang yang meninggalkan perbuatan aniaya dan sia-sia; (6) Orang yang meninggalkan ghibah; (7) Orang yang menunaikan zakat; (8) Orang yang senantiasa dituntun oleh Al-Qur’an; (9) Orang yang beramal dengan ikhlas dan (10) Orang yang menahan diri dari hawa nafsu.


NASEHAT AKHIR RAMADHAN

NASEHAT AKHIR RAMADHAN

Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

لَوْتَعْلَمُ اُمَّتىِ مَا فِى رَمَضَانَ لَتَمَنَّوْا اَنْ تَكُوْنَ السَّنَةُ كُلُّهَا رَمَضَانَ, لِأَنَّ الْحَسَنَةَ فِيْهِ مُجْتَمِعَةُُُُ وَالطَّاعَةِ مَقْبُلَةُ وَالدَّعَوَاةِ مُسْتَجَابَةُ وَالذُّنُوْبَ مَغْفُوْرَةُ وَاْلْجنَّةُ مُشْتَاقَةُ لَهُمْ.
Artinya: “Kalau sekiranya umatku mengetahui segala (kebaikan) didalam bulan suci Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar semua tahun itu menjadi Ramadhan”, dikarenakan semua kebaikan itu berkumpul di bulan suci Ramadhan, ketaatan bisa diterima, semua doa dikabulkan, semua doasanya diampuni dan surga senantiasa merindukan mereka” (HR. Ahmad).
            Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa Ramadhan pada hari kiamat nanti akan datang dalam bentuk wajah yang sangat bagus, kemudian sujud tersungkur dihadapan Allah Ta’ala. Kemudian Allah berfirman: “Wahai Ramadhan, mintalah apa keinginanmu dan tolonglah orang yang telah menunaikan hakmu”. Maka Ramadhan pun berkeliling di padang yang luas dan mengajak orang-orang yang telah menunaikan haknya, kemudian berhenti di hadapan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Ramadhan apa yang engkau kehendaki?”. Ramadhan menjawab: “Saya menghendaki agar Tuhan berkenan memberikan untuknya mahkota kebesaran”. Kemudian Allah memberikan seribu mahkota kepadanya dan memberikan pengampunan. Allah Ta’ala kemudian berfirman: “Mau apalagi engkau, hai Ramadhan?”. Ramadhan kemudian menjawab: “Mohon tempatkanlah ia disamping nabi-Mu”, maka Allah pun menempatkannya di surga firdaus (Zahratur-Riyâdhi).
Yang dimaksud orang yang menunaikan hak Ramadhan adalah orang-orang yang menjalankan puasa di bulan suci Ramadhan. Mereka ini adalah sahabat Ramadhan dan mereka akan ditolong oleh Ramadhan tersebut untuk mendapatkan ampunan Allah Ta’ala.
            Jika memperhatikan begitu banyak keutamaan bulan suci Ramadhan, maka sungguh merugi orang-orang yang hadir di bulan suci ini namun mereka telah menyia-nyiakannya. Sungguh merugi orang-orang yang tidak sempat mendapatkan ampunan. Sungguh merugi orang-orang yang tidak sempat bertaubat. Sungguh merugi orang-orang yang tidak bertambah amalnya. Bahkan sangat merugi orang-orang yang tidak ikut serta berpuasa dan tidak ikut serta memperbanyak shalat tarawih.
Jadi wajar jika para Sahabat menangis apabila hendak berpisah dengan bulan suci Ramadhan, mereka takut jika tidak mendapatkan ampunan. Jika pada bulan Ramadhan saja mereka tidak mendapatkan ampunan apalagi pada bulan-bulan yang lain. Bulan Ramadhan memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan yang lain. Yaitu Rahmat dikucurkan, pintu surga telah dibuka, pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu. Sedangkan pada bulan-bulan yang lain keistimewaan ini tidak didapatkan. Apakah masih mungkin jika kita gagal diampuni di bulan Ramadhan dapat memperolah ampunan pada bulan yang lain?.
Hadirin, Jama'ah Jum'ah, Rahimakumullah.
            Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah ra., dia berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda, “Mendekatlah kalian ke mimbar”. Lalu kami mendekatinya. Maka apabila beliau naik tangga pertama, beliau berkata “amin”, lalu ketika naik ke tangga yang kedua beliau berkata “amin”. Dan ketika naik pada tangga yang ketiga beliau juga berkata “amin”. Maka ketika beliau turun kami berkata: "Wahai Rasulullah, sungguh hari ini kami telah mendengar dari engkau sesuatu yang belum pernah kami dengar?".
Rasulullah SAW menjawab: “Sesungguhnya Jibril telah datang kepadaku lalu berkata: "celakalah orang-orang yang melewatkan bulan Ramadhan begitu saja sedangkan dosanya belum diampuni". Aku berkata, “Aamiin”. Lalu ketika aku naik tangga yang kedua, Jibril berkata, celakalah orang yang mendengar namamu disebut, tetapi dia tidak mengucapkan shalawat untukmu. Aku berkata “Aamiin”. Bila aku melangkah naik ke tangga yang ketiga, Jibril berkata, celakalah orang-orang yang bersama kedua orang tuanya hingga tua atau salah satunya hingga tua, namun mereka tidak dapat memasukkannya ke surga. Aku berkata “Amin”. (HR. Al-Hakim, dengan sanad yang Shahih).

Tidak Sekedar Lapar dan Dahaga

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ اِلاَّ الْجُوْعِ وَالْعَطَسِ

Artinya: “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga” (HR. An-Nasa’i).

            Yang dimaksud oleh hadits ini adalah bahwa puasa tidak sekedar menahan diri dari makan dan minum. Namun yang terpenting adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan amaliah atau pahala berpuasa. Sebutan lain dari puasa adalah “imsak ‘anil-hawa”, yaitu menahan diri dari hawa nafsu. Pada saat berpuasa semua nafsu dikekang atau dikendalikan.
Nafsu-nafsu yang baik saja banyak yang dilarang untuk disalurkan apalagi nafsu yang buruk. Makan, minum, hubungan suami-istri adalah nafsu yang baik namun dilarang untuk ditunaikan pada bulan suci Ramadhan. Apalagi nafsu yang buruk seperti berbohong, mencuri, korupsi, ghibah (mengumpat), mencaci maki, bertenglkar, marah-marah, berkelahi, sombong, iri, dengki dan lain sebagainya. Termasuk juga melihat perempuan yang bukan muhrim dengan penuh syahwat. Kita harus menyadari bahwa tontonan dan iklan di bulan suci Ramadhan ini masih banyak yang mengumbar auratnya. Masih banyak wanita yang berkeliaran disiang hari dengan pakaian terbuka (na’udzubillah). Keadaan ini dapat merusak amaliah orang yang berpuasa. Kedadaan semacam ini sulit dihindari karena merupakan tanda bahwa zaman telah rusak. Oleh karena itu, siapa pun baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam budaya telanjang, membuka aurat, mengobral kemolekan, memamer-mamerkan tubuh maka mereka telah menjadi penyakit zaman dan merupakan musuh Allah dan musuh orang-orang beriman.
Rasulullah SAW bersabda:          

خَمْسُ خِصَالٍ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ وَيَنْقُضُ الْوُضُوْءَ اَلْكِذْبُ, وَاْلغَيْبَةُ, وَالنَّمِيْمَةُ, وَالنَّظَرُ بِشَهْوَةٍ, وَالْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ
Artinya: “Lima perkara yang dapat membatalkan puasa dan wudhu seseorang yaitu: berdusta, ghibah, mengadu domba, melihat perempuan yang bukan muhrimya dengan syahwat dan sumpah palsu” (HR. Ad-Dailami).
Termasuk pula yang dapat menjadikan puasa sia-sia adalah meninggalkan perintah Allah, seperti orang yang meninggalkan shalat. Orang yang malas shalat atau meninggalkan shalat maka ia termasuk memperturutkan hawa nafsunya. Itu berarti sia-sialah puasanya, karena Allah tidak akan menerima puasa orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya.

Beribadah Pada Malam Lailatul Qadr

Beribadah Pada Malam Lailatul Qadr


Lailatul Qadar
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ(1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ(2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ(3) تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ(4) سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ(5)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”. (QS. Al-Qadr: 1-5).
            Lailatul Qadar disebut “qadar” yang artinya ketentuan, keputusan atau takdir. Karena pada malam itu ditentukan segala urusan, hukum-hukum, ketentuan rezeki dan waktu kematian. Dan Allah Ta’ala menentukan kejadian-kejadian bagi setiap hamba, kaum atau bangsa pada setiap masa dan tempat. Pada malam itu diputuskan semua ketentuan Allah terhadap makhluk-Nya dari tahun tersebut hingga tahun yang akan datang.
            Disebutkan dalam kitab Misykatul Anwar, bahwa setelah semua urusan ditetapkan maka kemudian dikumpulkan menurut daftarnya masing-masing. Daftar rahmat dan siksa diberikan kepada Malaikat Jibril; daftar tumbuh-tumbuhan dan rizki diberikan kepada Malaikat Mika’il; daftar hujan dan angin diserahkan kepada Malaikat Israfil; daftar ajal atau pencabutan ruh diserahkan kepada Malaikat Izra’il, dan begitulah seterusnya. Sebagaimana firman Allah:

فِيْمَا يُفْرَقُ كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍ

Artinya: “Di dalamnya dipisah-pisahkan (dibagi-bagikan) tiap-tiap perkara yang pasti”.
            Ada juga yang menyebutkan bahwa arti qadar” adalah sempit. Karena bumi menjadi sempit pada malam itu sebab banyaknya malaikat yang turun. Para Malaikat yang dipimpin oleh Jibril diturunkan ke bumi untuk mengatur segala urusan yang telah diputuskan oleh Allah Ta’ala. Selain itu, menurut riwayat Imam Bukhari, Allah mengizinkan para malaikat turun ke bumi untuk membuktikan bahwa meskipun banyak hamba-hamba  Allah yang lalai, tetapi masih ada orang-orang yang istiqamah dan sabar dalam mengingat Allah. Malaikat akan terkagum-kagum terhadap mereka, sehingga mereka bershalawat, mengharapkan berkah dan ampunan bagi orang-orang yang beriman.
            Allah Ta’ala mengutus Malaikat Jibril untuk menjumpai Nabi Muhammad SAW. Jibril menyampaikan surat dari Allah untuk Nabi SAW, yakni surat Al-Qadr. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku menurunkan Lailatul Qadar yang lebih baik dibanding seribu bulan”. Allah Ta’ala berfirman lagi: “Hai Muhammad, telah Aku berikan kepadamu dan kepada umatmu akan Lailatul Qadar; apabila ada yang beribadah pada malam itu maka lebih baik daripada beribadah selama tujuh puluh ribu bulan”.
            Disebutkan pula, bahwa sebab turunnya surat Al-Qadr adalah ketika telah dekat saatnya Nabi SAW akan berpisah dengan umatnya. Nabi SAW bersedih lalu berujar: “Kalau saya meninggal dunia, maka siapakah yang menyampaikan salam (keselamatan) dari Allah untuk umat saya”. Kemudian Allah Ta’ala menjawabnya, bahwa telah diturunkan para Malikat dan Jibril untuk menyampaikan salam (rahmat) dan berita gembira kepada umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini berlaku selamanya pada setiap masa dan tempat.

Beribadah Pada Malam Lailatul Qadr

كَانَ النَّبِىُّ ص يَجْتَهِدُ فِى عَشْرِ اْلاَ خِيْرِ مَالاَ يَجْتَهِدُفِى غَيْرِهِ كَانَ النَّبِىُ ص يَخُصُّ الْعَشْرَ اْلاَوَاخِرَ فِى رَمَضَانَ بِاْلاَعْمَالِ لاَ يَعْلَمُهَا فِى بَقِيَّةِ الشَّهْرِ
Artinya: “Adalah Nabi SAW. Lebih bersemangat dalam beribadah pada sepuluh hari yang terakhir dengan ibadah yang belum pernah dikerjakan dengan sangat sungguh-sungguh di bulan lain, beliau menkhususkan sepuluh hari yang terakhir dari bulan ramadhan dengan amal perbuatan ibadah yang tidak dikerjakan pada bulan yang lain”. (HR. Muslim).
            Pintu-pintu langit dibuka pada malam Lailatul-Qadar. Apabila ada hamba yang mengerjakan shalat pada malam itu, maka dari tiap-tiap takbirnya, Allah akan  menumbuhkan satu pohon di surga. Dari setiap rekaat shalatnya, Allah akan membangunkan istana di surga yang terbuat dari mutiara, batu permata merah, batu permata hijau dan berlian. Dari setiap bacaan yang dibacanya dalam shalat akan diberikan mahkota di surga. Dan dengan tiap-tiap duduknya, maka akan diangkat derajatnya di surga. Dan dari tiap-tiap salamnya akan diberikan perhiasan gemerlap disurga (Zubdatul Wa’idzin).
Disebutkan dalam sebuah hadits, “Adalah Rasulullah SAW, beri`tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan ramadhan sehingga wafat. Kemudian istrinya beri`tikaf setelah beliau meninggal dunia” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dan dalam hadits yang lain disebutkan, “Barang siapa yang beri`tikaf pada malam Lailatul Qadar dengan keimanan dan semata-mata hanya mengharap keridhaan Allah, maka akan diampuni segala dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang” (HR. Ad-Dailami).

Kapan Terjadinya Lailatul-Qadar?

Para sahabat termasuk para ulama banyak berbeda pendapat tentang kapan terjadinya malam Lailatul-Qadar. Namun sebagai gambaran umum dapat diambil dari hadits Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda: “Carilah Lailatul Qadar pada malam sepuluh hari yang terakhir, karena sesungguhnya malam Lailatul Qadar jatuh pada malam yang ganjil, malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dua puluh sembilan, atau pada akhir malam bulan ramadhan. Maka barang siapa yang mengisi malam tersebut dengan beberapa ibadah dengan disertai keimanan dan bertujuan mencari ridha Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang” (HR. Ath-Thabrani).

Apa Ciri-ciri Lailatul Qadar?

   Ada banyak sekali ciri-ciri atau tanda-tanda khusus malam Lailatul Qadar, yang setiap orang menjumpainya dengan ciri-ciri dan keajaiban yang berbeda-beda. Namun berdasarkan hadis Nabi SAW, ada beberapa ciri atau tanda-tanda yang bersifat umum dari malam Lailatul Qadar. Rasulullah SAW bersabda: “Lailatul Qadar adalah malam yang terang benderang, tidak seberapa panas, tidak seberapa dingin, tidak ada awan, tidak ada hujan, tidak berangin kencang, tidak ada bintang yang dilemparkan (meteor). Sebagian tandanya adalah pada siang harinya matahari tidak bersinar terang” (HR. Ath-Thabrani).
Do’a
Imam An-Nasa’i meriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mendapati malam Lailatul Qadar?, Apakah kiranya yang harus aku baca?, Nabi SAW menjawab, “bacalah:
اَللّهُمَّ اِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Artinya: “Wahai Allah, sesungguhnya Enkau Maha Pema’af, mencintai kema’afan, maka maafkanlah (seluruh kesalahan) ku” (HR. An-Nasa’i)

Lailatul Qadar

Lailatul Qodar


Lailatul Qadar
 
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ(1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ(2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ(3) تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ(4) سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ(5)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”. (QS. Al-Qadr: 1-5).
            Lailatul Qadar disebut “qadar” yang artinya ketentuan, keputusan atau takdir. Karena pada malam itu ditentukan segala urusan, hukum-hukum, ketentuan rezeki dan waktu kematian. Dan Allah Ta’ala menentukan kejadian-kejadian bagi setiap hamba, kaum atau bangsa pada setiap masa dan tempat. Pada malam itu diputuskan semua ketentuan Allah terhadap makhluk-Nya dari tahun tersebut hingga tahun yang akan datang.
            Disebutkan dalam kitab Misykatul Anwar, bahwa setelah semua urusan ditetapkan maka kemudian dikumpulkan menurut daftarnya masing-masing. Daftar rahmat dan siksa diberikan kepada Malaikat Jibril; daftar tumbuh-tumbuhan dan rizki diberikan kepada Malaikat Mika’il; daftar hujan dan angin diserahkan kepada Malaikat Israfil; daftar ajal atau pencabutan ruh diserahkan kepada Malaikat Izra’il, dan begitulah seterusnya. Sebagaimana firman Allah:

فِيْمَا يُفْرَقُ كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍ

Artinya: “Di dalamnya dipisah-pisahkan (dibagi-bagikan) tiap-tiap perkara yang pasti”.
            Ada juga yang menyebutkan bahwa arti qadar” adalah sempit. Karena bumi menjadi sempit pada malam itu sebab banyaknya malaikat yang turun. Para Malaikat yang dipimpin oleh Jibril diturunkan ke bumi untuk mengatur segala urusan yang telah diputuskan oleh Allah Ta’ala. Selain itu, menurut riwayat Imam Bukhari, Allah mengizinkan para malaikat turun ke bumi untuk membuktikan bahwa meskipun banyak hamba-hamba  Allah yang lalai, tetapi masih ada orang-orang yang istiqamah dan sabar dalam mengingat Allah. Malaikat akan terkagum-kagum terhadap mereka, sehingga mereka bershalawat, mengharapkan berkah dan ampunan bagi orang-orang yang beriman.
            Allah Ta’ala mengutus Malaikat Jibril untuk menjumpai Nabi Muhammad SAW. Jibril menyampaikan surat dari Allah untuk Nabi SAW, yakni surat Al-Qadr. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku menurunkan Lailatul Qadar yang lebih baik dibanding seribu bulan”. Allah Ta’ala berfirman lagi: “Hai Muhammad, telah Aku berikan kepadamu dan kepada umatmu akan Lailatul Qadar; apabila ada yang beribadah pada malam itu maka lebih baik daripada beribadah selama tujuh puluh ribu bulan”.
            Disebutkan pula, bahwa sebab turunnya surat Al-Qadr adalah ketika telah dekat saatnya Nabi SAW akan berpisah dengan umatnya. Nabi SAW bersedih lalu berujar: “Kalau saya meninggal dunia, maka siapakah yang menyampaikan salam (keselamatan) dari Allah untuk umat saya”. Kemudian Allah Ta’ala menjawabnya, bahwa telah diturunkan para Malikat dan Jibril untuk menyampaikan salam (rahmat) dan berita gembira kepada umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini berlaku selamanya pada setiap masa dan tempat.

Beribadah Pada Malam Lailatul Qadr

كَانَ النَّبِىُّ ص يَجْتَهِدُ فِى عَشْرِ اْلاَ خِيْرِ مَالاَ يَجْتَهِدُفِى غَيْرِهِ كَانَ النَّبِىُ ص يَخُصُّ الْعَشْرَ اْلاَوَاخِرَ فِى رَمَضَانَ بِاْلاَعْمَالِ لاَ يَعْلَمُهَا فِى بَقِيَّةِ الشَّهْرِ
Artinya: “Adalah Nabi SAW. Lebih bersemangat dalam beribadah pada sepuluh hari yang terakhir dengan ibadah yang belum pernah dikerjakan dengan sangat sungguh-sungguh di bulan lain, beliau menkhususkan sepuluh hari yang terakhir dari bulan ramadhan dengan amal perbuatan ibadah yang tidak dikerjakan pada bulan yang lain”. (HR. Muslim).
            Pintu-pintu langit dibuka pada malam Lailatul-Qadar. Apabila ada hamba yang mengerjakan shalat pada malam itu, maka dari tiap-tiap takbirnya, Allah akan  menumbuhkan satu pohon di surga. Dari setiap rekaat shalatnya, Allah akan membangunkan istana di surga yang terbuat dari mutiara, batu permata merah, batu permata hijau dan berlian. Dari setiap bacaan yang dibacanya dalam shalat akan diberikan mahkota di surga. Dan dengan tiap-tiap duduknya, maka akan diangkat derajatnya di surga. Dan dari tiap-tiap salamnya akan diberikan perhiasan gemerlap disurga (Zubdatul Wa’idzin).
Disebutkan dalam sebuah hadits, “Adalah Rasulullah SAW, beri`tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan ramadhan sehingga wafat. Kemudian istrinya beri`tikaf setelah beliau meninggal dunia” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dan dalam hadits yang lain disebutkan, “Barang siapa yang beri`tikaf pada malam Lailatul Qadar dengan keimanan dan semata-mata hanya mengharap keridhaan Allah, maka akan diampuni segala dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang” (HR. Ad-Dailami).

Kapan Terjadinya Lailatul-Qadar?

Para sahabat termasuk para ulama banyak berbeda pendapat tentang kapan terjadinya malam Lailatul-Qadar. Namun sebagai gambaran umum dapat diambil dari hadits Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda: “Carilah Lailatul Qadar pada malam sepuluh hari yang terakhir, karena sesungguhnya malam Lailatul Qadar jatuh pada malam yang ganjil, malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dua puluh sembilan, atau pada akhir malam bulan ramadhan. Maka barang siapa yang mengisi malam tersebut dengan beberapa ibadah dengan disertai keimanan dan bertujuan mencari ridha Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang” (HR. Ath-Thabrani).

Apa Ciri-ciri Lailatul Qadar?

   Ada banyak sekali ciri-ciri atau tanda-tanda khusus malam Lailatul Qadar, yang setiap orang menjumpainya dengan ciri-ciri dan keajaiban yang berbeda-beda. Namun berdasarkan hadis Nabi SAW, ada beberapa ciri atau tanda-tanda yang bersifat umum dari malam Lailatul Qadar. Rasulullah SAW bersabda: “Lailatul Qadar adalah malam yang terang benderang, tidak seberapa panas, tidak seberapa dingin, tidak ada awan, tidak ada hujan, tidak berangin kencang, tidak ada bintang yang dilemparkan (meteor). Sebagian tandanya adalah pada siang harinya matahari tidak bersinar terang” (HR. Ath-Thabrani).
Do’a
Imam An-Nasa’i meriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mendapati malam Lailatul Qadar?, Apakah kiranya yang harus aku baca?, Nabi SAW menjawab, “bacalah:
اَللّهُمَّ اِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Artinya: “Wahai Allah, sesungguhnya Enkau Maha Pema’af, mencintai kema’afan, maka maafkanlah (seluruh kesalahan) ku” (HR. An-Nasa’i)

Antara "Nafsu" & "Hawa" (Syahwat)

Antara "Nafsu" & "Hawa" (Syahwat)

Dalam bahasa keseharian kita mengenal istilah "hawa nafsu". Yang dirangkai dari dua kata yakni "Hawa" dan "Nafsu". Istilah ini telah lumrah kita sebut dalam percakapan sehari-hari. Namun demikian, jika dirujuk ke dalam  kaidah bahasa Arab, ternyata padanan istilah ini kurang tepat. Antara hawa dan dan nafsu adalah dua kata yang sama sekali berbeda. Secara sederhana "hawa" pegertiannya adalah keinginan, kehendak atau hasrat. Istilah "hawa" ini lebih identik dengan istilah "syahwat". Sedangkan nafsu secara sederhana artinya adalah "jiwa" atau "diri" manusia.
Menurut bahasa (lughawiy) "al-hawâ" pengertiannya antara lainnya adalah "Saqatha min 'ulwin" (terjatuh dari atas ke bawah); "al-Mailu" (keinginan dan kesenangan); dan "al-Hubb" (cinta). Dari sini terbentuk beberapa istilah seperti " 'ala hawâhu " (artinya menurut seleranya, cocok dengan kemauannya atau kesenangannya); "Ittaba'a  hawâhu" (mengikuti dan memperturutkan keinginan syahwatnya); dan "Fil-Hawâ" (jatuh cinta atau diliputi oleh syahwatnya). Jadi istilah "hawa" ini lebih tepat jika disamakan dengan "syahwat". Syahwat artinya segala sesuatu yang diingini, yang digemari, yang disukai, yang menarik hati dan yang mendorong hasrat seksual. Sebagaimana Firman Allah Ta'ala: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada "syahwat" (apa-apa yang diingini), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)" (Q.S. Ali Imran: 14).
Sesuai dengan pengertiannya, "hawa" atau "syahwat" inilah yang banyak menyebabkan manusia terjatuh dari derajat yang tinggi ketempat yang rendah (Saqatha min 'ulwin). Ada beberapa istilah yang menggambarkan posisi manusia yang telah jatuh ini, yakni antara lain: "Inkasârat Tâjir" (Jatuh bangkrut); "Inkasâral 'Aduww" (Jatuh hancur, kalah); dan "Inkasâral Qalb" (Patah hati-putus asa). Jadi orang yang memperturutkan syahwatnya akan bangkrut, hancur, kalah, dan terhinakan dihadapan Allah Ta'ala kelak  serta akan digelayuti rasa putus asa dan hati yang hancur luluh.
Sedangkan "nafsu" menurut bahasa  pengertiannya antara lainnya adalah: "an-Nafs" jamaknya "anfusun- wa nufûsun" (artinya jiwa, diri atau ruh);  "an-Nafsiyyu" (artinya jiwa terdalam, batin, atau rohani); dan "al-'Izz" (artinya kemuliaan). Berdasarkan pengertian ini nafsu berarti "jiwa" yang merupakan bagian dari ruh manusia. Ia pada mulanya bersifat mulia dan bersih. Jadi pada dasarnya nafsu dengan hawa sama sekali berbeda. Oleh karena itu, menjadi kurang tepat jika kita sering menyebut "nafsu" identik atau meyerupai "hawa" dan "syahwat". Namun karena telah "terlanjur" dipakai dan malah telah dibakukan dalam bahasa Indonesia, maka istilah nafsu ini dalam benak orang Indonesia sama persis dengan "syahwat".
Kita tidak akan mempersoalkan lebih jauh istilah ini, karena kami hanya ingin mengabarkan bahwa penggunaan istilah "nafsu" dan "hawa" atau "syahwat" harus kita bedakan dalam tulisan ini. Namun yang akan dipertegas disini adalah bahwa selalu terjadi hubungan tarik menarik antara jiwa dan hawa-syahwat. Keduanya saling mempengaruhi, saling mendominasi dan berusaha untuk saling mengalahkan. Inilah yang akan menjadi pusat perhatian kita kali ini.
Mengendalikan Hawâ-Syahwat  (وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى)
Al-Hawa atau syahwat adalah tabiat yang telah ada sejak awal pada diri manusia. Syahwat (atau yang lumrah disebut hawa nafsu) ini tidak dapat dimusnahkan, karena ia telah tertanam pada diri manusia. Oleh karena itu manusia tidak diperintahkan membunuh syahwarnya. Namun manusia diperintahkan untuk memimpin hawa nafsunya dengan kebenaran dan akal sehat. Agar hawa nafsu tersebut dapat dikendalikan dan diarahkan sesuai dengan aturan Allah Ta'ala. Dalam hal ini Allah Ta'ala memerintahkan kita agar menempa jiwa dan berupaya mengendalikan atau mengekang hawa nafsu. Sebagaimana Firman Allah Ta'ala yang artinya:
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan Jiwanya dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)". (QS. An-Nazi’at: 40-41).
Pusat pembahasan kita pada ayat diatas adalah kalimat  “Wa nahan-nafsa 'anil-hawâ" ("menahan" Jiwa dari keinginan hawa-nafsu atau syahwat). Menurut Tafsîr Al-Jalâlain bahwa yang dimaksudkan adalah orang yang senantiasa mengendalikan diri dari mengikuti kehendak hawa nafsunya. Kemudian menurut Tafsir Ibnu Katsîr, yang dimaksudkan adalah orang-orang yang senantiasa takut dengan Allah ‘Azza wa Jalla dan dengan ketentuan hukum-Nya. Sehingga ia mengendalikan jiwanya (atau dirinya) dari kungkungan syahwat-nya dan berusaha untuk senantiasa taat kepada Allah Ta'ala.
Sedangkan dalam Tafsîr Al-Qurthubî disebutkan bahwa yang dimaksud orang yang menahan dirinya dari hawa nafsunya adalah orang yang menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan perbuatan yang diharamkan. Sahabat Sahal r.a., berkata: "Bahwameninggalkan hawa nafsu adalah "kunci" pembuka pintu surga". Berkaitan dengan ayat ini pula, Abdullah bin Mas’ud r.a., berkata: “Kalian sedang berada pada zaman dimana manusia mendahulukan kebenaran (al-Haqq) diatas hawa nafsunya, dan akan datang suatu zaman dimana manusia mendahulukan hawa nafsunya diatas kebenaran, maka kami berlindung dari zaman yang demikian”.
Allah Ta'ala juga menjajikan pahala dalam ayat ini bahwa bagi siapapun yang yang mampu memimpin jiwanya dan mampu mengendalikan hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.
Puasa Adalah Perisai
Puasa dalam bahasa Arab disebut "Shoum" atau "Shiyâm" yang asal katanya adalah "Shâma, Yashumu, Shawman-wa Shiyâman" yang artinya "menahan" dan "mengekang". Menurut pengertian secara bahasa saja telah tergambarkan bahwa puasa bertujuan untuk menahan jiwa dari hawa nafsu (atau syahwat). Hal ini sejalan dengan Firman Allah Ta'ala surat an-Nazi'at ayat 40 diatas. Dengan berpuasa kita akan belajar dan melatih diri bagaimana upaya mengendalikan syahwat atau keinginan. Pada saat berpuasa secara lahiriah tampak bahwa kita menahan diri agar tidak makan dan minum, baik yang halal maupun yang haram. Sedangkan secara batiniyah, puasa akan menempa jiwa kita agar tangguh dalam menguasai dan mengekang kehendak syahwat. Oleh karena itu Rasulullah SAW menamai puasa sebagai "perisai", yakni perisai jiwa dari rongrongan hawa nafsu (syahwat).
Dalam momentum bulan suci Ramadhan kali ini mari kita jadikan puasa sebagai media untuk menempa jiwa dan mengekang hawa nafsu. Rasulullah SAW bersabda: “Terangilah hatimu dengan lapar (puasa), terangilah jiwamu dengan lapar dan haus, ketuklah pintu surga dengan lapar pula. Dan pahala orang yang puasa itu seperti jihad di jalan Allah. Sesungguhnya tidak ada amal yang dicintai Allah selain seperti lapar dan haus. Sedangkan orang yang memenuhi perutnya tidak akan mampu memasuki kerajaan langit (surga) dan tidak pula mampu merasakan manisnya ibadah"

Bertaubat

Bertaubat


لَوْتعلم امتى ما فى رمضان لتمنوا ان تكون السنة كلها رمضان, لأن الحسنة فيه مجتمعة والطاعة مقبلة والدعواة مستجابة والذنوب مغفورة والجنة مشتاقة لهم
Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Kalau sekiranya umatku mengetahui segala (kebaikan) didalam bulan suci Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar semua tahun itu menjadi Ramadhan”, dikarenakan semua kebaikan itu berkumpul di bulan suci Ramadhan, ketaatan bisa diterima, semua doa dikabulkan, semua doasanya diampuni dan surga senantiasa merindukan mereka” (Zubadatul Wâ’izhîn).
            Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa Ramadhan pada hari kiamat nanti akan datang dalam bentuk wajah yang sangat bagus, kemudian sujud tersungkur dihadapan Allah Ta’ala. Kemudian Allah berfirman: “Wahai Ramadhan, mintalah apa keinginanmu dan tolonglah orang yang telah menunaikan hakmu”. Maka Ramadhan pun berkeliling di padang yang luas dan mengajak orang-orang yang telah menunaikan haknya, kemudian berhenti dihadapan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Ramadhan apa yang engkau kehendaki?”. Ramadhan menjawab: “Saya menghendaki agar Tuhan berkenan memberikan untuknya mahkota kebesaran”. Kemudian Allah memberikan seribu mahkota kepadanya dan memberikan pengampunan. Allah Ta’ala kemudian berfirman: “Mau apalagi engkau, hai Ramadhan?”. Ramadhan kemudian menjawab: “Mohon tempatkanlah ia disamping nabi-Mu”, maka Allah pun menempatkannya di surga firdaus (Zahratur-Riyâdhi). Yang dimaksud orang yang menunaikan hak Ramadhan adalah orang-orang yang menjalankan puasa di bulan suci Ramadhan. Mereka ini adalah sahabat Ramadhan dan mereka akan ditolong oleh Ramadhan tersebut untuk mendapatkan ampunan Allah Ta’ala.
            Jika memperhatikan begitu banyak keutamaan bulan suci Ramadhan, maka sungguh merugi orang-orang yang hadir di bulan suci ini namun mereka telah menyia-nyiakannya. Sungguh merugi orang-orang yang tidak sempat mendapatkan ampunan. Sungguh merugi orang-orang yang tidak sempat bertaubat. Sungguh merugi orang-orang yang tidak bertambah amalnya. Bahkan sangat merugi orang-orang yang tidak ikut serta berpuasa dan tidak ikut serta memperbanyak shalat tarawih. Jadi wajar jika para Sahabat menangis jika akan berpisah dengan bulan suci Ramadhan, mereka takut jika tidak mendapatkan ampunan. Jika pada bulan Ramadhan saja mereka tidak mendapatkan ampunan apalagi pada bulan-bulan yang lain. Bulan Ramadhan memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan yang lain. Yaitu Rahmat dikucurkan, pintu surga telah dibuka, pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu. Sedangkan pada bulan-bulan yang lain keistimewaan ini tidak didapatkan. Apakah masih mungkin jika kita gagal diampuni di bulan Ramadhan dapat memperolah ampunan pada bulan yang lain.
            Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah ra., dia berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda, “Datanglah kalian ke mimbar”. Lalu kami mendatanginya. Maka apabila beliau naik tangga pertama, beliau berkata “amin”, lalu ketika naik ke tangga yang kedua beliau berkata “amin”. Dan ketika naik pada tangga yang ketiga beliau juga berkata “amin”. Maka ketika beliau turun kami berkata: ‘Wahai Rasulullah, sungguh hari ini kami telah mendengar dari engkau sesuatu yang belum pernah kami dengar’. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Jibril telah datang kepadaku lalu berkata, celakalah orang-orang yang melewatkan bulan Ramadhan begitu saja sehingga dosanya tidak diampuni. Aku berkata, “Amin”. Lalu ketika aku naik tangga yang kedua, Jibril berkata, celakalah orang yang mendengar namamu disebut, tetapi dia tidak mengucapkan shalawat untukmu. Aku berkata “Amin”. Bila aku melangkah naik ke tangga yang ketiga, Jibril berkata, celakalah orang-orang yang bersama kedua orang tuanya telah tua atau salah satunya hingga tua, namun mereka tidak dapat memasukkannya ke surga. Aku berkata “Amin”. (HR. Al-Hakim, dengan sanad yang Shahih).

Tidak Sekedar Lapar dan Dahaga

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ اِلاَّ الْجُوْعِ وَالْعَطَاسِ

Artinya: “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga” (HR. An-Nasa’i).
            Yang dimaksud oleh hadits ini adalah bahwa puasa tidak sekedar menahan diri dari makan dan minum. Namun yang terpenting adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan amaliah atau pahala berpuasa. Sebutan lain dari puasa adalah “imsak ‘anil-hawa”, yaitu menahan diri dari hawa nafsu. Pada saat berpuasa semua nafsu dikekang atau dikendalikan. Nafsu-nafsu yang baik saja banyak yang dilarang untuk disalurkan apalagi nafsu yang buruk. Makan, minum, hubungan suami-istri adalah nafsu yang baik namun dilarang untuk ditunaikan pada bulan suci Ramadhan. Apalagi nafsu yang buruk seperti berbohong, mencuri, korupsi, ghibah (mengumpat), mencaci maki, bertenglkar, marah-marah, berkelahi, sombong, iri, dengki dan lain sebagainya. Termasuk juga melihat perempuan yang bukan muhrim dengan penuh syahwat. Kita harus menyadari bahwa tontonan dan iklan di bulan suci Ramadhan ini masih banyak yang mengumbar auratnya. Masih banyak wanita yang berkeliaran disiang hari dengan pakaian terbuka (na’udzubillah). Keadaan ini dapat merusak amaliah orang yang berpuasa. Kedadaan semacam ini sulit dihindari karena merupakan tanda bahwa zaman telah rusak. Oleh karena itu, siapa pun baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam budaya telanjang, membuka aurat, mengobral kemolekan, memamer-mamerkan tubuh maka mereka telah menjadi penyakit zaman dan merupakan musuh Allah dan musuh orang-orang beriman.
Rasulullah SAW bersabda:        
خَمْسُ خِصَالٍ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ وَيَنْقُضُ الْوُضُوْءَ اَلْكِذْبُ, وَاْلغَيْبَةُ, وَالنَّمِيْمَةُ, وَالنَّظَرُ بِشَهْوَةٍ, وَالْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ
Artinya: “Lima perkara yang dapat membatalkan puasa dan wudhu seseorang yaitu: berdusta, ghibah, mengadu domba, melihat perempuan yang bukan muhrimya dengan syahwat dan sumpah palsu” (HR. Ad-Dailami).
Termasuk pula yang dapat menjadikan puasa sia-sia adalah meninggalkan perintah Allah, seperti orang yang meninggalkan shalat. Orang yang malas shalat atau meninggalkan shalat maka ia termasuk memperturutkan hawa nafsunya. Itu berarti sia-sialah puasanya, karena Allah tidak akan menerima puasa orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya.

Menggapai Rahmat-Nya

 Menggapai Rahmat-Nya     

 'Dan apabila dibacakan al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al A’raaf {7}: 204)

 Kata ' Rahmat ' dalam Al Qur`an berjumlah sekitar 143 kata dalam 42 surat. Jumlah ini menunjukan bahwa Allah lebih mengedepankan sifat-Nya ini daripada sifat yang lainnya. Bukankah seseorang itu termasuk merugi andaikan tiada rahmat dari-Nya. '… maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi.' (QS. Al Baqoroh {2}: 64). Dan sebaliknya bukankah orang yang mendapatkan rahmat-Nya termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk-Nya, 'Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.' (QS. Al Baqoroh {2}: 157). Lalu dengan apakah kita akan mendapatkan rahmat-Nya dan bagaimanakah cara meraih rahmat-Nya ?. Diantara cara untuk meraih rahmat-Nya adalah :


Taat kepada Allah dan Rosul-Nya tanpa reserve, ketaatan yang tidak dihinggapi keraguan.

Adapun bentuk ketaatan kita terhadap Allah dan Rosul-Nya adalah menjadikan perkataan keduanya (Al Qur`an dan As Sunah) sebagai way of live kita. 'Dan ta'atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.' (QS. Ali ‘Imran {3}: 132).



Ketaqwaan.

Allah berfirman, ' ...Bertaqwalah agar kamu diberi rahmat.' (QS. Al An’aam {6}: 155). Dalam ayat lain, ' … Bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.' (QS. Al Hujuraat {49}: 10).



Berbuat baik.

Dalam hal ini beragam bentuk kebaikan telah Allah SWT ajarkan kepada Rosulullah SAW dan umatnya, diantaranya, ' Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu ...' (QS. An Nissaa` {4}: 36). ingatlah janji Allah SWT,' Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik.' (QS. An Nahl {16}: 30).


Peduli terhadap Al Qur`an.

Bentuk kepedulian ini adalah kita membaca, mendengar, menyimak dan memahami (QS. Al A’raaf {7} : 204) serta mengamal-kannya. Allah berfirman, 'Dan al-Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat.' (QS. 6:155). Dengan datangnya bulan suci ini kepedulian kita terhadap Al Qur`an harus kita tingkatkan lagi sehingga kita mampu meraih rahmat-Nya, bukankah bukankah Allah telah memberikan jamainan kepada kita ?, 'Sesungguhnya di dalam (al-Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.' (QS. 29:51).



Takut akan siksaan Allah.

Allah berfirman, 'Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Takutlah kamu akan siksa yang dihadapanmu dan siksa yang akan datang supaya kamu mendapat rahmat.' (QS. 36:45)



Selalu istigfar.

Allah berfirman, 'Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat'. (QS. 27:46).



Mendirikan sholat dan menunaikan zakat.

Allah berfirman,'Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ta'atlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. 24:56). Bila kita menyimak Al Qur`an maka kita dapatkan dua kewajiban tersebut (shalat dan zakat) selalu bergandengan. Andaikan seseorang melakukan yang satu dan meninggalkan yang lain maka wajib untuk diperangi sebagaimana contoh yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar terhadap sekelompok orang yang tidak mau menunaikan zakat.


Itulah beberapa wasilah yang dapat kita lakukan, Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin

Wallohu a’alam.

AL-QUR'AN BACAAN YANG SEMPURNA

AL-QUR'AN BACAAN YANG SEMPURNA

Al-Quran  yang  secara  harfiah  berarti  "bacaan  sempurna" merupakan  suatu  nama  pilihan  Allah  yang  sungguh tepat,karena tiada satu bacaan pun sejak  manusia  mengenal  tulis baca  lima  ribu  tahun  yang  lalu  yang  dapat  menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan  juta orang  yang  tidak  mengerti  artinya  dan  atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal  huruf  demi  huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Tiada bacaan melebihi   Al-Quran  dalam  perhatian  yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi  ayat,  baik  dari segi masa, musim, dan saat turunnya,sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang  dipelajari  bukan  hanya susunan  redaksi  dan  pemilihan  kosakatanya,  tetapi  juga kandungannya yang tersurat, tersirat  bahkan  sampai  kepada kesan  yang  ditimbulkannya.  Semua  dituangkan dalam jutaan jilid  buku,  generasi  demi  generasi.  Kemudian  apa  yang dituangkan   dari   sumber   yang  tak  pernah  kering  itu, berbeda-beda   sesuai   dengan   perbedaan   kemampuan   dan kecenderungan  mereka,  namun  semua  mengandung  kebenaran. Al-Quran layaknya sebuah  permata  yang  memancarkan  cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Tiada   bacaan   seperti   Al-Quran   yang  diatur  tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan,  dipertebal atau  diperhalus  ucapannya,  di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti,  bahkan  diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.
Tiada  bacaan  sebanyak  kosakata  Al-Quran  yang  berjumlah 77.439 (tujuh  puluh  tujuh  ribu  empat  ratus  tiga  puluh sembilan)  kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu  lima  belas)  huruf  yang seimbang  jumlah kata-katanya,  baik  antara  kata  dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.
Sebagai contoh  -sekali  lagi  sebagai  contoh-  kata  hayat terulang  sebanyak  antonimnya maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang 115  kali  sebanyak  kata  dunia;  malaikat terulang   88   kali   sebanyak   kata   setan;  thuma'ninah (ketenangan)  terulang   13   kali   sebanyak   kata   dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.
 Kata  infaq  terulang  sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan) masing-masing  73  kali;  kikir  sama dengan  akibatnya  yaitu  penyesalan  masing-masing 12 kali; zakat  sama  dengan   berkat   yakni   kebajikan   melimpah, masing-masing   32  kali.  Masih  amat  banyak  keseimbangan lainnya, seperti kata yaum  (hari)  terulang  sebanyak  365, sejumlah   hari-hari   dalam  setahun,  kata  syahr  (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah  bulan-bulan  dalam  setahun.
Demikian:
  "Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."
 Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk  seperti  itu?  Al-Quran menantang:
"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).
 Orientalis H.A.R. Gibb  pernah  menulis  bahwa:  "Tidak  ada seorang   pun  dalam  seribu  lima  ratus  tahun  ini  telah memainkan 'alat' bernada nyaring  yang  demikian  mampu  dan berani,  dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)."  Demikian  terpadu dalam    Al-Quran    keindahan   bahasa,   ketelitian,   dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya,  serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
 "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
Mengapa iqra,  merupakan  perintah  pertama  yang  ditujukan kepada  Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?
Iqra' terambil dari akar  kata  yang  berarti  "menghimpun," sehingga tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis dengan aksara tertentu."
Dari  "menghimpun"  lahir   aneka   ragam   makna,   seperti menyampaikan,  menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca?  "Ma  aqra'?" tanya  Nabi  -dalam  suatu riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki  agar beliau  dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.  
Iqra'  berarti  bacalah,  telitilah,  dalamilah,  ketahuilah ciri-ciri  sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang  tertulis  dan  tidak  tertulis. Alhasil  objek  perintah  iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam  cara  yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.
Pengulangan  perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak  diperoleh kecuali  mengulang-ulangi  bacaan,  atau  membaca  hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal  kemampuan,  tetapi juga  untuk  mengisyaratkan  bahwa  mengulang-ulangi  bacaan Bismi  Rabbika  (demi  karena   Allah)   akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu juga.
Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin.  Berulang-ulang  "membaca"  alam  raya, membuka   tabir  rahasianya  dan  memperluas  wawasan  serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang  kita  baca dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian, namun   pemahaman,   penemuan   rahasianya,  serta  limpahan kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan  itulah  pesan  yang dikandung   dalam  Iqra'  wa  Rabbukal  akram  (Bacalah  dan Tuhanmulah  yang  paling  Pemurah).  Atas   kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.
Sungguh,  perintah  membaca  merupakan  sesuatu  yang paling berharga  yang  pernah  dan  dapat  diberikan  kepada   umat manusia.   "Membaca"  dalam  aneka  maknanya  adalah  syarat pertama dan utama pengembangan  ilmu  dan  teknologi,  serta syarat  utama  membangun  peradaban.  Semua  peradaban  yang berhasil bertahan  lama,  justru  dimulai  dari  satu  kitab (bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir  dengan  hadirnya Kitab  Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton  (1641-1727)  dan  berakhir  dengan  filsafat   Hegel (1770-1831).   Peradaban   Islam   lahir   dengan  kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita yakin  bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya

  "Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).
Pengetahuan  dan  peradaban  yang  dirancang  oleh  Al-Quran adalah  pengetahuan  terpadu  yang melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran  menjelaskan  dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
Setiap  pengetahuan  memiliki  subjek dan objek. Secara umum subjek  dituntut  berperan  guna   memahami   objek.   Namun pengalaman   ilmiah   menunjukkan   bahwa   objek  terkadang memperkenalkan  dirinya  kepada  subjek  tanpa  usaha   sang subjek.  Komet  Halley,  memasuki  cakrawala,  hanya sejenak setiap 76 tahun. Dalam kasus  ini,  walaupun  para  astronom menyiapkan   diri   dan  alat-alatnya  untuk  mengamati  dan mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang lebih berperan  adalah kehadiran komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.
Wahyu,  ilham,  intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya  atau  apa  yang  diduga  sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan  dengan  kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.

  "Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena)  apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)
Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran  sejak  dini  memadukan usaha  dan  pertolongan  Allah,  akal  dan  kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa  kalbu  menjadikan  manusia seperti  robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita  di  tangan  bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.
Al-Quran    sebagai    kitab    terpadu,   menghadapi,   dan memperlakukan   peserta   didiknya   dengan    memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.
Ketika  Musa  a.s.  menerima  wahyu  Ilahi,  yang menjadikan beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:

  "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS Thaha [20]: 17).

Musa sadar sambil menjawab,

  "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku, disamping keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).
Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut  dalam  alam material,  Al-Quran  menggunakan  benda-benda  alam, sebagai tali penghubung untuk mengingatkan  manusia  akan  kehadiran Allah  Swt.  dan  bahwa segala sesuatu yang teriadi –sekecil apa  pun-  adalah  di  bawah  kekuasaan,  pengetahuan,   dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.

  "Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia    mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).

  "Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).
Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat  yang  membentuk tenunan  kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu seringkali pada saat Al-Quran  berbicara tentang  satu  persoalan  menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun mempelajarinya  akan menemukan  keserasian  hubungan  yang amat mengagumkan, sama dengan  keserasian  hubungan  yang  memadukan  gejolak   dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan  kacau,  menjadi  terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung pangkalnya.
 Salah satu tujuan  Al-Quran  memilih  sistematika  demikian, adalah  untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin- bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah  satu  kesatuan  terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Keharaman  makanan  tertentu  seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban  menegakkan  hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban puasa, hubungan  suami-istri,  dikemukakan  Al-Quran  secara berurut   dalam   belasan  ayat  surat  Al-Baqarah.  Mengapa demikian? Mengapa  terkesan  acak?  Jawabannya  antara  lain adalah,  "Al-Quran  menghendaki  agar  umatnya  melaksanakan ajarannya secara terpadu." Tidakkah  babi  lebih  dianjurkan untuk  dihindari  daripada  keengganan menyebarluaskan ilmu. Bersedekah tidak  pula  lebih  penting  daripada  menegakkan hukum  dan  keadilan.  Wasiat sebelum mati dan menunaikannya tidak kalah dari  berpuasa  di  bulan  Ramadhan.  Puasa  dan ibadah  lainnya  tidak  boleh menjadikan seseorang lupa pada kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu  adalah  hubungan  seks antara    suami-istri.    Demikian    terlihat   keterpaduan ajaran-ajarannya.