Jika Tidak Berkepentingan, Jangan Sibukkan Diri Anda

Jika Tidak Berkepentingan, Jangan Sibukkan Diri Anda
Mukaddimah

Mencari informasi dan berita, selama ia berguna bagi seseorang, maka tidak jadi masalah asalkan didapat secara akurat dan terjamin validitasnya, tetapi terkadang kita sering menjumpai orang yang pekerjaannya hanya ingin tahu urusan orang lain dengan mengorek-ngorek informasi dan berita darinya, untuk kemudian menyebarkannya. Dia begitu antusias ke sana ke mari dan kasak-kusuk untuk mencari ‘menu makanan’-nya tersebut hanya sekedar memenuhi nafsu keingintahuannya padahal bukan menjadi urusannya.

Islam sebagai agama yang menyeluruh, senantiasa menyoroti segala aspek kehidupan manusia dan menatanya dengan baik, untuk kemudian menciptakan interaksi yang serasi dan berkesinambungan antar sesama yang jauh dari hal-hal yang dapat meretakkan hubungannya.

Karena itulah, salah satu prinsip yang disodorkan oleh Islam adalah “tidak mengurusi urusan yang bukan menjadi urusannya.” Hal ini teruntai dalam sebuah hadits yang dianggap sebagai Jawâmi’ al-Kalim (ungkapan yang padat isi sekalipun ringkas).
Bagaimanakah sesungguhnya makna dari untaian tersebut? Berikut ulasan singkatnya.
Dari Abu Hurairah RA., dia berakata, “Rasulullah SAW., bersabda, ‘Di antara kebaikan (kelengkapan dan kesempurnaan) keislaman seseorang adalah (sikapnya) meninggalkan hal yang bukan menjadi kepentingannya (baik urusan dien maupun dunia).” (HR.at-Turmudzy)

Takhrij Global

Dikeluarkan oleh Imam at-Turmudzy (2317) dan Ibn Mâjah (3976). Sedangkan Ibn ‘Ma’in, Ahmad, al-Bukhari dan ad-Dâruquthny menguatkan bahwa hadits ini adalah Mursal.

Hadits ini dinilai Hasan oleh Imam an-Nawawy dengan menyatakan bahwa para periwayatnya adalah orang-orang yang Tsiqât. Ibn ‘Abd al-Barr berkata, “Periwayatan hadits ini dengan sanad ini adalah riwayat yang terjamin dari az-Zuhry yang meriwayatkannya dari para periwayat Tsiqât dan ini sesuai dengan penilaian Hasan oleh tuan Syaikh (yakni Imam an-Nawawy). Sedangkan kebanyakan para imam, tidak menganggapnya terjamin dengan sanad ini tetapi riwayat yang terjamin adalah dari az-Zuhry dari ‘Aly bin Husain dari Nabi SAW., secara Mursal. Demikian juga, hadits ini diriwayatkan oleh para periwayat Tsiqât dari az-Zuhry, di antaranya Imam Malik di dalam kitabnya al-Muwaththa`, Yunus, Ma’mar dan Ibrahim bin Sa’d, hanya saja redaksinya berbunyi (artinya), ‘Termasuk Keimanan seseorang adalah (sikapnya) meninggalkan apa yang bukan menjadi urusannya.’ Di antara ulama yang menilai bahwa ia tidak shahih kecuali dari ‘Aly bin Husain secara Mursal adalah Imam Ahmad, Yahya bin Ma’în, al-Bukhary dan ad-Dâruquthny.’ (Tuhfah al-Ahwadziy Syarh Sunan at-Turmudzy oleh al-Mubarakfûry)

Urgensi Hadits

Abu Daud berkata, “Pokok-pokok as-Sunan di dalam setiap seni ada empat hadits…” lalu beliau menyebutkan salah satunya hadits ini.

Ibn Rajab berkata, “Hadits ini merupakan pokok yang agung dari sekian pokok-pokok adab.”

Beberapa Pesan Hadits
  • Hadits ini menunjukkan bahwa seorang Muslim hendaknya menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang berguna bagi dirinya baik untuk diennya maupun urusan duniawinya. Sehingga dia bisa berguna bagi dirinya, keluarganya, masyarakat dan umatnya.
     
  • Islam sangat merespons akan wajibnya bagi seorang Muslim untuk meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, menyibukkannya dari kepentingan dien ataupun akhiratnya atau hal-hal yang tidak satupun menjadi kepentingannya.
     
  • Bila masing-masing individu menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang menjadi kepentingannya, maka hal ini dapat menjadi faktor persatuan, permufakatan, persahabatan dan solidaritas di antara sesama individu masyarakat Islam secara keseluruhan.

     
  • Sibuk dengan hal-hal yang berguna merupakan faktor tumbuh-kembangnya suatu masyarakat, semakin kokohnya bangunannya serta kemajuannya di kalangan berbagai masyarakat (komunitas) sehingga keuntungan hal itu semua akan kembali kepada masing-masing individunya.
     
  • Seorang Muslim akan selalu bersungguh-sungguh sehingga baginya tiada tempat untuk berleha-leha, berbuat sia-sia, membuang-buang waktu atau sibuk dengan urusan-urusan orang lain seperti menggunjing (ghibah), mengadu domba, berdusta, melakukan pemalsuan dan semisalnya yang merupakan hal yang dapat merusak Maruah (harga dan kesucian diri) seorang Muslim dan diennya.
     
  • Sibuk dengan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna merupakan faktor lemahnya dien, mendapatkan keburukan dan dosa, keretakan hubungan sosial, menumbuhkan kebencian dan dengki serta merupakan faktor penghalang masuk surga.
     
  • Semangat (dedikasi) seorang Muslim hendaklah menjulang tinggi, yaitu dengan cara menyibukkan diri dengan hal-hal yang bernilai tinggi/mulia dan utama serta dapat menghasilkan kemanfa’atan dan daya guna bagi dirinya dan orang lain.

Kehormatan Seorang Muslim

Kehormatan Seorang Muslim
Mukaddimah

Dapat dikatakan bahwa tidak ada agama yang memberikan perhatian yang demikian besar dan penghormatan yang sangat tinggi terhadap kemanusiaan manusia selain Islam.
Kehormatan seorang muslim adalah segala-galanya yang karenanya tidak boleh seorangpun melanggarnya kecuali dengan haknya alias dengan cara yang memang dibenarkan oleh syari’at.
Dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah SAW., bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan –Yang haq disembah- selain Allah, bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Jika mereka melakukan hal itu, maka niscaya mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku (dari pengikutku alias mendapat penjagaan dan perlindungan) kecuali berdasarkan hak Islam sedangkan perhitungan atas mereka adalah hak Allah.” (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Kosa Kata

Makna Aku diperintahkan : yakni diperintahkan Rabbku
Makna kecuali berdasarkan hak Islam : yakni bahwa darah dan harta mereka tidak akan mengalami apa-apa (dinodai) kecuali terhadap hal yang diwajibkan
Allah atas mereka seperti bila seseorang diantara mereka melakukan suatu perkara yang konsekuensinya adalah dibunuh atau dicambuk, maka dia dibunuh atau dicambuk karenanya.
Makna Dan perhitungan atas mereka adalah hak Allah : yakni terhadap hal-hal yang mereka pendam di hati mereka karena Allah Ta’ala lah Yang Maha Mengetahui apa yang terpendam di hati dan perasaan hamba-Nya.

Pengarahan Hadits
  • Hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya hal-hal yang disebutkan tersebut, yaitu syahadatain, mendirikan shalat dan membayar zakat.
     
  • Secara eksplisit hadits tersebut menyatakan bahwa orang yang mendapatkan penjagaan (jaminan) atas darah dan hartanya hanyalah orang yang menjalankan ketiga rukun Islam tersebut. Sementara terdapat pada beberapa hadits yang lain bahwa orang yang melafazhkan syahadatain sudah divonis sebagai Muslim, seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW., bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Lâ ilâha Illallâh. Barangsiapa yang mengucapkan Lâ ilâha Illallâh berarti dia telah menjaga harta dan jiwanya dariku kecuali berdasarkan haknya (hak kalimat tauhid tersebut), sedangkan perhitungannya adalah hak Allah.” (HR.al-Bukhari dan Muslim.
     
  • Sebenarnya tidak terjadi pertentangan (kontradiksi) antara hadits-hadits tersebut sebab masing-masingnya saling memperkuat makna satu sama lainnya. Seseorang terhitung masuk Islam begitu mengucapkan dua syahadat akan tetapi kewajiban-kewajiban dan rukun-rukun Islam yang lain masih tetap wajib dilakukannya, di antaranya shalat dan zakat.
     
  • Bila ada sekelompok orang yang menolak kewajiban shalat, maka mereka diperangi karenanya, demikian juga bila menolak zakat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ketika memerangi orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
     
  • Bila yang menolak kewajiban shalat itu bersifat individu, maka dia diminta untuk bertaubat dulu, bila bersedia maka tidak dikenakan sanksi dan bila dia tidak mau, maka sanksinya dihukum bunuh. Sedangkan bila dia menolak zakat, maka terjadi perselisihan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum bunuh atasnya namun pendapat yang benar adalah tetap dihukum bunuh juga.
     
  • Hadits di atas mengindikasikan urgensi rukun-rukun Islam yang mulia tersebut, yang wajib dikomitmeni dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya serta diperhatikan secara serius.
     
  • Betapa besarnya kehormatan darah dan harta seorang Muslim, wajibnya untuk dijaga dan dihormati serta tidak boleh dilanggar kecuali dengan haknya yang telah disyari’atkan Allah Ta’ala.
     
  • Vonis hukum terhadap manusia didasarkan pada hal-hal yang bersifat lahiriah saja (perbuatan lahiriahnya) sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah, balasan (sanksi) dan perhitungan di akhirat maka semua itu menjadi hak Allah. Karena itu, tidak diperkenankan untuk mengorek-orek apa yang ada di dalam hati manusia dan niat-niat yang terpendam di dalamnya karena hal itu hanya Allah lah Yang Maha Mengetahuinya

Kedudukan Nasehat Dalam Agama

Kedudukan Nasehat Dalam Agama
Dari Tamîm ad-Dâriy bahwasanya Nabi SAW., bersabda, “(Pondasi/pilar) Agama itu (Islam) adalah nasehat.” Lalu kami bertanya, “Untuk siapa?.” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan seluruh pemimpin kaum Muslimin dan orang-orang awam mereka.” (HR.Muslim)

Kosa Kata

- Menurut pengertian bahasa, kata ÇáäÕíÍÉ berasal dari akar ÇáäÕÍ yang maknanya adalah ÇáÎáæÕ (Murni). Dalam penggunaannya sering diungkapkan dengan äóÕóÍúÊõ ÇúáÚóÓóáó ; yakni bila aku memurnikan dan menyaring madu dari sarang lebah.

Sedangkan menurut pengertian syari’at, makna nasehat adalah “Perhatian hati terhadap orang yang dinasehati.” “Suatu ungkapan untuk menyatakan keinginan berbuat baik terhadap orang yang dinasehati.”

- Makna kalimat ÃÆãÉ ÇáãÓáãíä : Para penguasa dan ulama kaum Muslimin

Pesan Hadits

1. Hadits di atas menunjukkan betapa seriusnya masalah nasehat di dalam Islam sebab Rasulullah SAW., telah menjadikannya sebagai agama (dien).

2. Konsep tentang nasehat dalam Dienul Islam adalah konsep yang universal, yaitu untuk Allah Ta’ala, Kitab-Nya, Rasul-Nya para Imam (pemimpin) kaum Muslimin dan kaum awam mereka.


3. Yang dimaksud dengan nasehat untuk Allah Ta’ala adalah beriman kepada-Nya, mengesakan-Nya di dalam hal rububiyyah, uluhiyyah dan Asma` dan Sifat –Nya. Demikian pula, menjadikan niat ikhlas semata karena-Nya di dalam beribadah, melakukan perbuatan ta’at, menjauhi perbuatan maksiat serta di dalam mengemban kewajiban-kewajibannya secara sempurna.

4. Yang dimaksud dengan nasehat untuk kitab-Nya adalah beriman kepada semua kitab-kitab Samawi yang diturunkan dari sisi Allah Ta’ala secara global, beriman kepada al-Qur’an al-Karim secara rinci, mengimani bahwa ia adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yang bernilai ibadah membacanya, terpelihara dari penambahan maupun pengurangan, tidak dapat didatangkan oleh tangan batil baik dari hadapannya maupun dari belakang. Ia adalah al-Qur’an yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji. Kemudian juga dengan cara membacanya, menghafal, merenungi, mentadabbur maknanya, memahami ayat-ayatnya dan mengamalkannya. Pokoknya belajar, mengajarkan dan menjadikannya sebagai pemutus (hakim).

5. Yang dimaksud dengan nasehat untuk Rasul-Nya adalah membenarkannya dan risalahnya, beriman kepada segenap wahyu yang dibawanya baik secara global maupun terperinci, mena’ati perintahnya, beriman kepada berita yang dibawanya, berhenti dari melakukan apa yang dilarangnya, tidak beribadah kecuali sesuai dengan apa yang disyari’atkannya. Kemudian, juga dengan mencintainya, mengamalkan sunnahnya, mempraktikkan dan menyiarkannya serta membela dan mempertahankannya.


6. Yang dimaksud dengan nasehat untuk para pemimpin kaum Muslimin adalah merasa senang bila mereka dalam kondisi baik, mendapat petunjuk dan berlaku adil, umat bersatu untuk mendukung mereka, ta’at kepada mereka selama bukan dalam perbuatan maksiat, memberikan masukan dan sumbangsaran (musyawarah) yang bermanfa’at kepada mereka, berdoa untuk kebaikan mereka; agar mereka mendapat petunjuk dan berjalan di jalan yang tepat. Tidak lupa, antusias membantu mereka di dalam menegakkan syari’at Allah.

7. Yang dimaksud dengan nasehat untuk orang-orang awam kaum Muslimin adalah nasehat yang diberikan oleh para penguasa terhadap orang yang di bawah kekuasaan mereka dengan cara menegakkan keadilan di antara mereka, berlemah-lembut terhadap mereka, selalu berusaha memberikan hal yang bermashlahat bagi mereka, membela hak-hak mereka serta tidak berlaku zhalim terhadap mereka.

8. Nasehat juga dapat dilakukan oleh orang-orang awam/biasa dari kalangan kaum Muslimin terhadap sebagian mereka melalui amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kepada kebajikan, menunjukkan jalan ke arah itu, menutup aib mereka, tidak berbuat ghibah terhadap (menggunjing) mereka serta senang mereka mendapatkan kebaikan sebagaimana bila hal itu terjadi pada dirinya.

9. Tingkatan nasehat yang paling tinggi adalah memberikannya di kala memang dibutuhkan. Rasulullah ketika menjelaskan hak-hak seorang Muslim bersabda, “…Dan bila dia meminta nasehatmu, maka berilah ia nasehat.” (HR.Muslim)

10. Perlu disinggung di sini, bahwa hal yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan etika memberikan nasehat yang wajib bagi seorang penasehat untuk memilikinya, diantaranya:
- Menjadikan nasehat itu semata-mata ikhlas karena Allah Ta’ala
- Hendaknya terjadi secara rahasia antara pemberi nasehat dan orang yang dinasehat
- Diucapkan dengan ucapan yang manis dan rasa tawadlu yang tinggi

Bila dilakukan demikian, tentunya nasehat tersebut akan mudah direspons secara positif oleh si ternasehat, plus mendapatkan pahala yang lebih banyak dari Allah Ta’ala.

Hukum Bid’ah

Hukum Bid’ah
Mukaddimah

Bilamana seorang Muslim ingin amalannya diterima oleh Allah Ta'ala, maka hendaknya dia melakukannya sesuai dengan yang diperintahkan-Nya dan Rasul-Nya dan tidak mengada-adakan sesuatu ibadahpun dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya padahal tidak ada landasannya.
Sebab, amalan seperti ini pasti tertolak karena termasuk perbuatan bid'ah. Nah, apa hukumnya bid'ah itu? Dan apa implikasinya?
Dari 'Aisyah radliyallâhu 'anha dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-ada (memperbuat sesuatu yang baru) di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan bersumber padanya (tidak disyari'atkan), maka ia tertolak." (HR.al-Bukhari)
Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk urusan kami (agama), maka ia tertolak."
Urgensi Hadits

Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata, "Hadits ini layak sekali untuk diingat dan dijadikan sebagai saksi/bukti terhadap kebatilan semua perbuatan munkar."


Beberapa Arahan Hadits
  • Hadits ini mengandung makna bahwa Dienullah adalah dien yang sempurna, tidak menerima penambahan ataupun pengurangan. Dan inilah yang dapat disimpulkan dari firman-Nya (artinya), "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu." (Q.s.,al-Mâ`idah:3). Oleh karena itu, wajib bagi seorang Muslim untuk mengamalkan wahyu yang berasal dari Allah melalui Rasul-Nya, tanpa menambah atau menguranginya.
     
  • Barangsiapa yang menambahkan sesuatu ke dalam Dienullah padahal bukan berasal darinya, maka ia tidak diterima di sisi Allah dan tertolak atas pelakunya. Barangsiapa, misalnya, yang beribadah kepada Allah Ta'ala dengan melakukan shalat yang tidak disyari'atkan-Nya, maka ia tidak akan diterima, pelakunya berdosa dan dijuluki sebagai Mubtadi' (pelaku bid'ah).
     
  • Seorang Muslim wajib menyuriteladani Rasulullah di dalam semua perbuatan, prilaku dan tindakannya.
     
  • Hukum asal di dalam semua praktik ibadah itu adalah bersifat Tawqîfiyyah. Artinya, bahwa pentasyri'an (penggodokan syari'at) hanya sebatas apa yang dibawa oleh Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, disertai penyerahan diri atas hal itu dan meyakini amalan ini sebagai pembawa kebaikan yang mutlak, baik untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini, Allah Ta'ala berfirman (artinya), "Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (Q.s.,an-Nisâ`:65)
     
  • Suatu ibadah tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat:
    Pertama, Menjadikannya ikhlash semata-mata karena Allah Ta'ala.
    Kedua, Hendaknya ia sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits dalam kajian ini.
     
  • Siapa saja yang telah keluar dari manhaj Ittibâ' (mengikuti) Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam maka berarti dia telah masuk ke dalam manhaj Ibtidâ' (berbuat bid'ah) dan Ihdâts (mengada-ada) di dalam agama. Padahal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam telah bersabda (artinya), "Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sementara seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu berada di neraka." (HR.an-Nasa`iy dari hadits yang diriwayatkan Jabir bin 'Abdullah)

     
  • Diantara implikasi dari perbuatan Bid'ah adalah:
     
    • Menuduh Rasullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam telah menyembunyikan sesuatu terhadap umat manusia dengan tidak menyampaikannya kepada mereka.
       
    • Siapa saja yang berjalan di atas rel manhaj Ibtidâ' , berarti dia telah menganggap baik manhaj ini dan telah menjadi orang yang menambahi sesuatu yang tidak diizinkan Allah di dalam dien-Nya.
       
    • Pelaku bid'ah selalu berupaya keras di dalam mengamalkan kebid'ahannya dan hal ini semua akan hilang percuma bahkan akan menjadi dosa yang akan dipikulnya kelak.

Silsilah Hadits-Hadits Masyhur-7 (“Ya Allah, Hidupkanlah Aku Sebagai Orang Miskin…”)

Silsilah Hadits-Hadits Masyhur-7 (“Ya Allah, Hidupkanlah Aku Sebagai Orang Miskin…”)
Mukaddimah

Hadits dengan makna seperti ini sering sekali kita dengarkan dari para penceramah namun hendaknya kita mengetahui pula bagaimana kualitasnya sehingga dapat dipertanggung jawabkan dan hati menjadi tenang atau paling tidak kita dapat bersikap hati-hati.
Untuk itu, terkait dengan hadits ini terdapat dua pendapat ulama; ada yang menyatakan ia dapat meningkat kepada Hasan (di bawah Shahih) dengan alasan ada riwayat penguatnya, diantaranya pendapat Syaikh al-Albaniy dan Imam as-Suyuthiy sendiri, pengarang asli buku yang menjadi rujukan kita dalam kajian ini. Pendapat lainnya, yaitu penahqiq buku yang kami paparkan ini, Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh dan didukung oleh berbagai referensi lainnya yang kami cantumkan di bawah nanti, menyatakan bahwa hadits ini adalah Dla'îf (Lemah). Wallahu a'lam.
"Ya, Allah! Hidupkanlah aku sebagai orang miskin dan matikanlah aku sebagai orang miskin serta kumpulkanlah aku bersama golongan orang-orang miskin (kelak)."

Penjelasan:

Hadits dengan redaksi seperti ini disebutkan oleh Imam as-Suyûthiy di dalam kitabnya ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah (buku yang kami gunakan sebagai rujukan dalam kajian ini), dengan menyatakan bahwa ia diriwayatkan oleh Imam at-Turmudziy dari Anas, dan Ibn Majah dari Abu Sa'id (al-Khudriy) serta ath-Thabaraniy dari 'Ubadah bin ash-Shamit. Beliau juga membantah klaim Ibn al-Jawziy dan Ibn Taimiyyah bahwa ia hadits Mawdlû' .
Namun penahqiq (analis) atas buku tersebut, yaitu Syaikh. Muhammad Luthfy ash-Shabbâgh memberikan beberapa anotasi berikut:
"Hadits ini kualitasnya Dla'îf (lemah). Untuk itu, perlu merujuk kepada buku-buku berikut:
  • Ahâdîts al-Qushshâsh karya Ibn Taimiyyah, h.50
  • al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah 'Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.84
  • Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr 'Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba', h.29
  • Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs 'Amma isytahara Min al-Ahâdîts 'Ala Alsinah an-Nâs, karya al-'Ajlûniy, Jld.I, h.181
  • Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzhabiy, jld.IV, h.427
  • al-Fawâ`id al-Maudlû'ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû'ah karya al-Karmiy, Hal.63
  • al-Fawâ`id al-Majmû'ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû'ah karya asy-Syawkaniy, Hal.240
  • al-Mughny 'An Hamlil Asfâr Fi al-Asfâr karya al-'Irâqiy, Jld.III, h.229
  • al-Mawdlû'ât karya Ibn al-Jawziy, Jld.III, h.141
  • al-La`âliy al-Mashnû'ah Fi al-Ahâdîts al-Mawdlû'ah karya as-Suyûthiy, Jld.II, H.324
  • Tanzîh asy-Syarî'ah al-Marfû'ah 'An al-Akhbâr asy-Syanî'ah al-Mawdlû'ah karya Ibn 'Irâq, tahqîq 'Abdullah Ali'Abdullathîf, Jld.II, h.304
  • Sunan at-Turmudziy, Jld.III, h.271
  • Sunan Ibn Mâjah, Jld.II, No.4126
  • al-Bidâyah Wa an-Nihâyah karya Ibn Katsir, VI, h.50
  • Talkhîsh al-Habîr Fî Takhrîj Ahâdîts ar-Râfi'i al-Kabîr, karya Ibn Hajar, Jld.III, h.109
  • Fatâwa Ibn Taimiyyah, Jld.XVIII, h.326
  • Tadzkirah al-Mawdlû'ât karya al-Fitniy, h.59
  • Asna al-Mathâlib karya Muhammad bin ad-Darwîsy al-Hût, h.52
  • al-Mustadrak karya al-Hâkim, Jld.IV, h.322
  • Sunan al-Baihaqiy, Jld.VII, h.12
  • Târîkh Ibn 'Asâkir
  • al-Bashâ`ir Wa adz-Dzakhâ`ir karya Abu Hayyân at-Tawhîdiy, Jld.I, h.214
  • Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah karya Syaikh Nashiruddin al-Albâniy, No.308 (Dalam hal ini, Syaikh al-Albaniy menilai hadits ini bisa meningkat kualitasnya menjadi Hasan karena terdapat Syâhid (penguat dari sisi sanad) -red.,)
  • Lihat juga di dalam anotasi kami (Syaikh ash-Shabbâq-red.,) di dalam kitab Mukhtashar al-Maqâshid, no.153 dimana kami menguatkan bahwa ia adalah Hadits Dla'îf (lemah).

Ihsan Dan Bentuk-Bentuknya

Ihsan Dan Bentuk-Bentuknya
Mukaddimah

Subhanallah, demikian agung agama ini yang memerintahkan agar penganutnya berbuat kebaikan (Ihsân) dalam segala hal dan terhadap segala sesuatu; manusia, binatang, dan hal-hal lainnya.
Apa makna Ihsân yang sebenarnya? Apa sajakah bentuk-bentuknya? Termasuk Ihsan kah bila kita memperlakukan binatang dengan baik?
Dari Syaddâd bin Aws, dia berkata, "Dua hal yang telah aku ingat-ingat berasal dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, beliau bersabda, 'Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mewajibkan agar berbuat ihsan (baik) terhadap segala sesuatu. Bila kamu membunuh, maka bunuhlah secara baik dan bila kamu menyembelih, maka sembelihlah secara baik dan hendaklah salah seorang diantara kamu menajamkan mata pisaunya, lantas menenangkan binatang sembelihannya.'" (HR.Muslim)


Penjelasan
  • Islam sangat antusias untuk mengajak manusia agar melakukan semua jenis kebaikan dan melarang mereka untuk melakukan semua jenis kejahatan.
     
  • Allah Ta'ala telah mewajibkan agar berbuat Ihsân (kebaikan) dalam setiap hal dan menjadikannya sebagai suatu prinsip dari beberapa prinsip yang diserukan-Nya sebagaimana firman Allah (artinya), "Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berlaku adil dan berbuat ihsan (kebaikan)." (Q.s.,an-Nahl:90)
     
  • Tingkatan Ihsân yang paling tinggi adalah Ihsân di dalam beribadah kepada Allah Ta'ala. Inilah tingkatan dien yang paling tinggi. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam telah menafsirkannya -sebagaimana terdapat di dalam hadits Jibril yang amat masyhur- yaitu "Bahwa engkau (beribadah) menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu."

    Bila seseorang menghimpun hati dan perasaannya ketika sedang melakukan peribadatan dan merasakan bahwa Allah melihatnya, maka akan tercapailah tingkatan yang paling tinggi dalam agama tersebut.
     
  • Berbuat Ihsân bisa berlaku terhadap manusia, binatang dan hal-hal lainnya, di antara bentuk-bentuknya adalah sebagai berikut:  
    • Tingkatan Ihsân paling tinggi terhadap manusia adalah Birrul Walidain (berbakti kepada kedua orangtua) dan menjalankan hak-hak keduanya, baik yang berupa ucapan, perbuatan, harta maupun hal lainnya. Dalam hal ini, Allah Ta'ala berfirman (artinya), "Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah kecuali kepada-Nya, dan agar berbuat baik (Ihsân) kepada kedua orangtua." (Q.s.,al-Isrâ`:23)
       
    • Berbuat Ihsân kepada seluruh manusia, mulai dari terhadap orang-orang yang memiliki hubungan terdekat, yang memiliki ikatan rahim ataupun para tetangga. Yaitu dengan cara memberikan hak-hak mereka, mengunjungi, bertanya tentang kondisi mereka, memberikan hadiah, mengasihi anak-anak kecil mereka, bersedekah kepada para kaum faqir mereka, memberikan bantuan kepada orang-orang yang berhajat di kalangan mereka dan sebagainya, kemudian juga terhadap semua kaum Muslimin.
       
    • Berbuat Ihsân kepada orang-orang Kafir dengan cara mendakwahi mereka agar memeluk Islam, berinteraksi dengan cara yang paling baik serta berbudi pekerti dengan budi pekerti yang baik terhadap mereka. Hal ini sebagaiman firman-Nya (artinya), "Dan katakanlah kepada manusia dengan perkataan yang baik." (Q.s.,al-Baqarah:83)
       
    • Berbuat Ihsân kepada binatang dengan cara tidak menyakitinya, menghilangkan rasa lapar dan dahaganya serta hal yang semisal itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam (artinya), "Dan pada setiap hati, terdapat basahan (tetesan) pahala." (HR.Bukhari).
      Dalam hadits yang lain, "Seorang wanita masuk neraka hanya gara-gara seekor kucing betina yang tidak dia beri makan dan tidak pula dia lepas agar makan sendiri dari serangga-serangga bumi." (HR.Bukhari)
       
    • Berbuat Ihsân terhadap hal-hal lainnya seperti menekuni pekerjaan yang dilimpahkan untuk kepentingan orang banyak. Hal ini sebagaimana bunyi sebuah Atsar, "Sesungguhnya Allah mencintai apabila salah seorang diantara kamu melakukan suatu pekerjaan lantas menekuninya." (Dikeluarkan oleh Abu Ya'la di dalam Musnad-nya. Al-Bûshiry berkata di dalam buku al-Ithâf: Sanadnya lemah.)
     
  • Hadits di atas menunjukkan bahwa diantara bentuk-bentuk berbuat Ihsân kepada binatang adalah berbuat Ihsân terhadapnya kala menyembelihnya dengan cara menajamkan mata pisau dan membuat sembelihan itu tenang serta tidak menampakkan pisau ke arahnya kecuali ketika akan menyembelih.
     
  • Diantara bentuk-bentuk berbuat Ihsân lainnya adalah berbuat Ihsân ketika membunuh di dalam suatu peperangan. Oleh karena itu, para ulama menyimpulkan tidak bolehnya melakukan tindakan sadis seperti menyayat-nyayat dan memotong-motong jasad korban, baik sebelum dibunuh ataupun setelah dibunuh.
     
  • Betapa agung dan besarnya ganjaran pahala berbuat Ihsân di sisi Allah Ta'ala. Hal ini sebagaimana firman-Nya (artinya), "Tidak ada balasan berbuat Ihsân (kebaikan) selain Ihsân itu sendiri?." (Q.s.,ar-Rahmân:60)
    Demikian juga di dalam firman-Nya yang lain (artinya), "Sesungguhnya rahmat Allah itu sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat Ihsân (kebaikan)." (Q.s.,al-A'râf:56)
Imbauan

Oleh karena itu, hendaknya seorang Muslim berbuat Ihsân di dalam ibadah dan mu'malatnya dengan orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengannya ataupun hubungan jauh agar meraih Mahabbah (kecintaan) Allah, rahmat dan keridlaan-Nya.

Sebab-Sebab Allah Mengampuni Dosa Hamba-Nya

Sebab-Sebab Allah Mengampuni Dosa Hamba-Nya
Dari Anas bin Malik, dia berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, 'Allah Ta'ala berfirman, 'Wahai Anak Adam (manusia)! Sesungguhnya apa yang kamu minta dan harapkan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni dosa-dosamu dan Aku tidak peduli. Wahai Anak Adam! Andaikata dosa-dosamu mencapai awan di langit (sejauh mata memandang ke langit), kemudian kamu meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku akan mengampunimu. Wahai Anak Adam! Sesungguhnya andaikata kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa-dosa (kecil) sepenuh isi bumi, kemudian kamu bertemu dengan-Ku (mati dengan memohon ampun dan tanpa berbuat syirik), tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan mendatangkan ampunan kepadamu sepenuh isinya pula." (HR,at-Turmudziy, dia berkata: Hadits Hasan)

Urgensi Hadits

Ini merupakan hadits yang agung karena di dalamnya terbuka pintu 'pengharapan' bagi seorang Muslim, yaitu dengan cara beramal dan bersungguh-sungguh agar meraih ampunan dan rahmat Allah bagi hamba-Nya yang Dia sendiri menyebutkannya.

Petunjuk Hadits
  • Penjelasan akan kemaha-Muliaan dan Maha-Baik Allah Ta'ala yang berkenan untuk mengampuni dan merahmati para hamba-Nya bila mereka melakukan sebab-sebabnya yang sebenarnya amat mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah.
     
  • Diantara tabi'at alami manusia adalah memiliki keterbatasan, kesalahan dan ketergelinciran akan tetapi wajib bagi seorang Muslim agar tidak ngotot di dalam melakukan keterbatasan dan kesalahan tersebut. Bahkan harus kembali kepada-Nya dan meminta ampunan-Nya.
     
  • Di dalam hadits di atas disebutkan beberapa sebab-sebab mendapatkan ampunan dari Allah, diantaranya:

    a. Berdoa dan berharap kepada Allah
    Mengenai hal ini, terdapat banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan urgensi dan keniscayaan berdoa kepada Allah Ta'ala, diantaranya firman-Nya (artinya),
    "Dan Rabb kamu berfirman, 'mintalah (berdoalah) kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu." (Q.s.,Ghafir/Mu`min:60)

    Hal yang paling penting untuk diperhatikan di dalam berdoa adalah:
    Pertama, Ikhlas semata karena Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
    Ke-dua, Khusyu', tunduk, menampakkan kehinadinaan dan kebutuhan diri.
    Ke-tiga, Tidak memakan hal yang haram dan bermu'amalat dengannya.
    Ke-empat, Ngotot dan terus berharap dikabulkan ketika berdoa.
    Ke-lima, Tidak terburu-buru minta dikabulkan.

    b. Istighfar dan melakukannya secara kontinyu.
    Sebab, bila seorang hamba berbuat dosa dan meminta ampun, pasti Allah akan mengampuninya betapapun banyak dan besar dosanya. Dalam hal ini, Allah Ta'ala berfirman (artinya),
    "Dan minta ampunlah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.s.,al-Baqarah:199)
    "Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (Q.s.,an-Nisa`:110)
    Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam memohon ampun (beristighfar) adalah:
    Pertama, Niat yang tulus
    Ke-dua, Menghadirkan istighfar tersebut ketika akan melakukannya.
    Ke-tiga, Merasakan keagungan Allah Ta'ala saat beristighfar.
    Ke-empat, Melakukannya secara kontinyu dan memperbanyak frekuensinya.
    Ke-lima, Merasakan akan dikabulkannya istighfar tersebut oleh Allah Ta'ala.

    c. Bertauhid dan tidak berbuat syirik kepada Allah
    Ini merupakan faktor paling penting diampuninya dosa-dosa, sebab Allah tidak menciptakan makhluk dan mengutus para Rasul serta menurunkan kitab-kitab kecuali agar melakukan kewajiban bertauhid sebagaimana firman Allah (artinya),
    "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu." (Q.s.,an-Nahl:36)

    "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Q.s.,adz-Dzariyat:56)

    Tauhid artinya menerapkan persaksian bahwa Tiada Tuhan -yang haq- selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.
    Siapa saja yang mati dalam kondisi bertauhid tersebut, maka dia berhak mendapatkan keselamatan dan masuk surga. Mengenai hal ini, terdapat hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bahwa beliau bersabda (artinya),
    "Barangsiapa yang akhir ucapannya di dunia (ketika mati) adalah 'Lâ ilâha Illallâh' maka wajahnya diharamkan atas api neraka (untuk disentuh)."
     
  • Hadits di atas menunjukkan betapa besar ampunan Allah dan betapa luas rahmat-Nya. Oleh karena itu, yang diminta dari seorang hamba hanyalah melakukan sebab-sebab pengampunan tersebut sehingga Allah mengampuninya.
     
  • Konsekuensi dari berbuat syirik, apapun jenisnya, adalah mendapatkan kemurkaan dan kemarahan dari Allah Ta'ala serta tidak mendapatkan ampunan-Nya.

    Diantara hal yang termasuk kesyirikan dan kekufuran adalah:
    a. Menyembah (beribadah) selain Allah seperti berhala, bebatuan, dan sebagainya.
    b. Mengalihkan apapun jenis 'ibadah kepada selain Allah, seperti berdoa (meminta), meminta ampun, memohon pertolongan kepada selain-Nya, menyembelih untuk selain-Nya, dan sebagainya.
    c. Berhukum kepada syari'at Allah sekaligus kepada sistem-sistem selain syari'at Allah dengan meyakini bahwa ia sama saja atau bahkan lebih baik daripada syari'at Allah.
    d. Melakukan perbutan sihir dan berinteraksi dengannya (melakukan ataupun meminta untuk dilakukan).
    e. Tidak beriman kepada Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, bahwa beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul.

Etika Memakai Sandal Dan Sepatu

Etika Memakai Sandal Dan Sepatu
Mukaddimah

Islam adalah satu-satunya agama yang banyak sekali memperhatikan aspek akhlaq dan etika, dari hal yang sebesar-besarnya hingga sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, pantaslah pula apa yang dikatakan 'Aisyah radliyallâhu 'anha ketika ditanya tentang akhlaq Rasulullah bahwa akhlaq beliau adalah al-Qur'an.

Bila kita mengamati kandungan al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi, maka sangat sulit kita untuk tidak mengatakan bahwa di dalamnya selalu terkait dengan akhlaq dan etika itu.
Salah satu hal yang nampaknya sepele tetapi besar artinya yang diberikan perhatian oleh Islam adalah masalah etika memakai sandal atau sepatu.
Nah, apa urgensinya? Bagaimana etikanya?…Pada kajian kali ini, kita akan membahasnya, Insya Allah.
Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Bila salah seorang diantara kamu memakai sandal, maka hendaklah dia memulainya dengan kaki kanan dan bila dia melepasnya, maka hendaklah dia memulainya dengan kaki kiri. Jadikanlah kaki kanan yang pertama dari keduanya dipakai dan yang terakhir dari keduanya yang dilepas (dicopot)." (HR.Bukhari)


Kandungan Hadits
  • Terdapat hadits yang diriwayatkan 'Aisyah di dalam kitab ash-Shahîhain bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sangat suka menganan (memakai dengan memulai yang kanan), baik ketika memakai sandal atau sepatu (atau sandal dan yang semaknanya), menyisir, bersuci dan seluruh urusannya. Beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam senantiasa memulai dengan kanan dan mendahulukannya terhadap sesuatu yang baik dan mengakhirkannya terhadap yang selain itu. bila memakai sandal, beliau mendahulukan kaki kanan; bila memakai pakaian, beliau mendahulukan sebelah kanan dan bila masuk masjid, beliau mendahulukan kaki kanan.
    Beliau mendahulukan yang kiri untuk selain hal itu; ketika masuk WC, keluar dari Masjid, melepas kedua sandal, pakaian dan semisalnya.
     
  • Beliau mengkhususkan yang kanan di dalam makan, minum, berjabat tangan dan mengambil sesuatu yang baik. Dan beliau mengkhususkan yang kiri terhadap kotoran dan sesuatu yang tidak disukai. Inilah sunnah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang beliau sukai dan senang melakukannya.
     
  • Di dalam masalah thaharah (bersuci), beliau mendahulukan untuk mencuci tangan kanan dan kaki kanan. Ketika mencukur di dalam manasik haji, beliau mendahulukan bagian sebelah kanan dari kepalanya atas bagian kirinya, demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
     
  • Menurut syari'at, akal dan estetika bahwa mendahulukan yang kanan terhadap sesuatu yang baik dan mengkhususkannya serta mengkhususkan yang kiri terhadap sesuatu yang tidak disukai adalah lebih utama. Oleh karena itu, kaidah syari'at yang kemudian diambil dari sunnah beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam adalah mendahulukan yang kanan terhadap setiap sesuatu yang pernah beliau lakukan dalam rangka memuliakan beliau dan yang selain itu, dianjurkan untuk memulainya dengan yang kiri.
     
  • Ibn al-'Arabi (bukan Ibn 'Arabi, tokoh Sufi yang sesat-red.,) berkata, "Memulai dengan yang kanan disyari'atkan terhadap semua amal shalih karena keutamaannya secara estetika lebih kuat dan secara syari'at lebih dianjurkan untuk mendahulukannya."
     
  • al-Hulaimi berkata, "Sesungguhnya memulai dengan yang kiri ketika melepas (sandal atau sepatu-red.,) karena memakai itu adalah suatu kehormatan dan juga karena ia (dalam posisi) menjaga (melindungi). Manakala yang kanan lebih mulia dan terhormat daripada yang kiri, maka dimulailah dengannya ketika memakai dan dikemudiankan ketika melepas (mencopot) sehingga kehormatannya tetap ada dan jatahnya dari hal itu lebih banyak."

Barangsiapa Yang Berhaji Tetapi Belum Berziarah Kepadaku, Maka Dia Telah Menjauhiku

Barangsiapa Yang Berhaji Tetapi Belum Berziarah Kepadaku, Maka Dia Telah Menjauhiku
Mukaddimah

Barangkali ada sebagian jema'ah haji kita yang pernah mendengar hadits tentang hal ini, lalu memaksakan diri untuk dapat berziarah ke kubur Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sekalipun kondisinya berdesak-desakan. Padahal sebenarnya, yang dianjurkan Rasulullah adalah shalat di masjid beliau yang pahalanya amat besar dan hal itulah yang perlu diniatkan ketika akan datang ke Madinah. Baru kemudian, bila memungkinkan bagi jema'ah haji laki-laki bisa menyempatkan berziarah ke kubur Rasulullah sembari memberi salam kepada beliau dan dua orang shahabat beliau yang juga dikuburkan di situ.

Semoga saja, bagi pembaca yang kebetulan akan melaksanakan haji tahun ini atau ada keluarganya yang berhaji dan meyakini bahwa hadits yang berkenaan dengan hal ini adalah shahih, dapat mengetahui informasi ini atau menginformasikannya. "Maka, hendaklah yang hadir (membaca/menyaksikan) menyampaikan kepada yang ghaib."
(Man Hajja Wa Lam Yazurnî Fa Qad Jafânî)
"Barangsiapa yang berhaji tetapi belum berziarah kepadaku, maka dia telah menjauhiku."

Imam as-Suyûthiy mengatakan,
"Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn 'Adiy dan ad-Dâruquthniy di dalam kitabnya "al-'Ilal", Ibn Hibbân di dalam kitabnya "adl-Dlu'afâ`" serta al-Khathîb al-Baghdâdiy di dalam ktabnya "Ruwâtu Mâlik" dengan Sanad Dla'if (Lemah) Sekali dari Ibn 'Umar."

Catatan:

Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbaq (penahqiq) buku ad-Durar al-Muntatsirah Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyûthiy (buku yang kita kaji ini) berkata,
KUALITASNYA MAWDLU' (PALSU);
Silahkan lihat,
  • al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah 'Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.419
     
  • Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr 'Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba', h.165
     
  • Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs 'Amma isytahara Min al-Ahâdîts 'Ala Alsinah an-Nâs, karya al-'Ajlûniy, Jld.II, h.262
     
  • al-Khulâshah Fî Ushûl al-Hadîts, karya ath-Thîbiy, tahqiq, Shubhiy as-Sâmurâ`iy, h.84
     
  • Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzhabiy, jld.IV, h.265

Jangan Beberkan Rahasia Rumah Tangga Anda!

Jangan Beberkan Rahasia Rumah Tangga Anda!
Mukaddimah


Kita sering menyaksikan ada sekelompok ibu-ibu yang berkumpul, lalu 'nyerempet-nyerempet' bercerita tentang hal-hal yang amat sensitif dan pribadi dari rahasia rumah tangganya, seperti menbeberkan masalah hubungan seksualnya dengan sang suami tanpa sedikitpun rasa malu apalagi canggung. Atau membeberkan 'aib sang suami yang tidak boleh diketahui orang lain. Demikian pula sebaliknya, terkadang ada sekelompok bapak-bapak yang membeberkan hal seperti itu.
Apakah hal seperti dibolehkan? atau adakah kondisi yang membolehkannya?
Dari Abu Sa'id al-Khudriy, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukanna di Hari Kiamat, adalah seorang laki-laki (suami) yang bercampur (bersetubuh) dengan isterinya, kemudian membeberkan rahasia (isteri)-nya tersebut." (HR.Muslim)



Intisari Hadits

Ada beberap poin yang dapat ditarik dari hadits diatas, diantaranya:
  • Masing-masing dari kedua pasangan suami-isteri memiliki rahasia yang berkenaan dengan hubungan seksual. Rahasia ini biasanya berupa masalah 'pemanasan' yang terjadi antara keduanya ketika akan memulai hubungan seksual atau berkenaan dengan 'aib yang ada pada anggota-anggota badan yang terkait dengan hubungan seksual. Hal ini semua merupakan hal yang paling rahasia diantara keduanya dan keduanya tentu tidak akan menyukai seorangpun mengetahuinya.
     
  • Oleh karena itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memberikan label sebagai manusia yang paling jelek di sisi Allah dan paling rendah martabatnya terhadap salah seorang dari kedua pasangan suami-isteri yang mengkhianati amanah yang seharusnya dipegangnya. Yaitu tindakan membeberkan kepada orang-orang hubungan seksual yang terjadi antara keduanya atau membeberkan a'ib dari salah seorang diantara mereka.
     
  • Hadits diatas menunjukkan hukum HARAM terhadap tindakan membeberkan rahasia suami-isteri yang amat khusus, yaitu hubungan seksual yang terjadi diantara keduanya sebab orang yang membeberkannya adalah tipe manusia yang paling jelek di sisi Allah.
     
  • Islam menganggap hubungan seksual antara suami-isteri sebagai hal yang terhormat dan memiliki tempatnya tersendiri. Oleh karena itu, wajib menjaganya dan hendaknya salah seorang diantara keduanya tidak melampaui batas terhadap hal tersebut dengan membeberkan rahasia salah seorang diantara mereka karena masing-masing sudah saling membebankan amanah agar menjaganya.
     
  • Dari sisi yang lain, 'pemanasan' antara suami-isteri ketika akan melakukan hubungan badan merupakan sesuatu yang bebas dilakukan karena hal itu dapat membuat masing-masing saling merespon dan dapat membangkitkan gairah. Karena itu pula, di dalam hal ini dibolehkan berdusta. Namun bilamana salah seorang dari keduanya mengetahui bahwa rahasia-rahasia tersebut akan disebarluaskan dan mengapung di hadapan orang sehingga menjadi ajang ejekan atau kecaman, maka sebaiknya menahan hal itu dan merahasiakannya. Akibat dari hal seperti ini (tidak ada rasa saling percaya antara satu dengan yang lain karena takut dibocorkan rahasianya), jadilah hubungan seksual tersebut dingin dan kurang bergairah bahkan bisa berujung kepada kegagalan sebuah rumah tangga atau kegagalan di dalam menyelesaikan hubungan seksual tersebut.
     
  • Para ulama berkata, "Hanya sekedar menyinggung perihal jima' hukumnya makruh bila tidak ada keperluannya dan dibolehkan bila ada perlunya seperti si suami menyebutkan isterinya sudah berpaling darinya atau sang isteri mengklaim bahwa si suami tidak mampu melakukan hubungan seksual, dan semisalnya."
     
  • Di dalam hasil keputusan yang dikeluarkan oleh al-Mujamma' al-Fiqh al-Islamiy (Lembaga Pengkajian Fiqih Islam) yang diadakan di Bandar Sri Begawan, Brunei, pada muktamar ke-8, tanggal 1-7 Muharram 1414 H bertepatan dengan 21-27 Juni 1993, disebutkan beberapa poin, diantaranya:

    - Bahwa hukum asal dalam rumah tangga itu adalah larangan membeberkan rahasia tersebut dan pembeberannya dengan tanpa adanya keperluan yang dianggap shah, mengandung konsekuensi diberlakukannya sanksi secara syar'i.

    - Menjaga rahasia itu lebih ditegaskan terhadap pekerjaan/profesi yang justeru membeberkannya akan menyebabkannya cacat hukum, yaitu profesi kedokteran.

    - Ada beberapa kondisi yang dikecualikan di dalam menyimpan rahasia tersebut, yaitu bilamana menyimpan rahasia tersebut akan berakibat fatal dan berbahaya bagi orang yang bersangkutan melebihi bahaya bilamana hal itu dibeberkan. Atau terdapat mashlahat yang lebih kuat di dalam membeberkannya ketimbang bahaya menyimpannya. Dua kondisi ini adalah:

    Pertama, Kondisi wajib dibeberkan. Yaitu bertolak dari kaidah "Melakukan salah satu yang paling ringan dari dua bahaya sehingga dapat menghindarkan yang paling berat bahayanya dari keduanya"

    dan kaidah "Merealisasikan mashlahat umum yang konsekuensinya harus melakukan bahaya yang berskala khusus guna mencegah adanya bahaya yang berskala umum bila memang menjadi kemestian mencegahnya"

    Kondisi ini ada dua macam:
    a. Mencegah suatu kerusakan terhadap masyarakat
    b. Mencegah suatu kerusakan terhadap individu

    Kedua, Kondisi boleh dibeberkan, karena:
    a. Mengandung mashlahat bagi masyarakat
    b. Dapat mencegah kerusakan yang berskala umum

    Di dalam kondisi-kondisi tersebut, wajib berkomitmen dengan prinsip-prinsip syari'at dan prioritasnya dari sisi menjaga dien, jiwa, akal, harta dan keturunan.
    Pengecualian-pengecualian terkait dengan kondisi wajib atau boleh dibeberkan tersebut harus dibuat secara tertulis dan legal di dalam kode etik menjalankan profesi terkait, baik kedokteran ataupun lainnya secara jelas dan transparan serta rinci. Wallahu a'lam.

Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Berpuasa Di Bulan Ramadlan Tanpa 'Udzur Syar'i

Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Berpuasa Di Bulan Ramadlan Tanpa 'Udzur Syar'i
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa mendapatkan rukhshoh (keringanan) dan juga tanpa adanya sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya)." (HR.at-Turmudziy)

Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa adanya alasan ('udzur) ataupun sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya)." (HR.al-Bukhariy secara Ta'liq)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa adanya alasan ('udzur), maka tidak ada artinya puasa selama setahun hingga dia bertemu dengan Allah; jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya dan bila Dia menghendaki, maka Dia akan menyiksanya." (Lihat, Fathul Bâriy, Jld.IV, h.161)

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahiliy radliyallâhu 'anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, 'Tatkala aku sedang tidur, tiba-tiba datang dua orang kepadaku, lantas meraih kedua lengan atasku, kemudian membawaku pergi ke bukit yang terjal. Keduanya berkata, 'Naiklah.' Lalu aku berkata, 'Aku tak sanggup.' Keduanya berkata lagi, 'Kami akan membimbingmu supaya lancar.' Maka akupun naik hingga bilamana aku sudah berada di puncak gunung, tiba-tiba terdengar suara-suara melengking, maka akupun berkata, 'Suara-suara apa ini?.' Mereka bekata, 'Ini teriakan penghuni neraka.' Kemudian keduanya membawaku pergi, tiba-tiba aku sudah berada di tengah suatu kaum yang kondisinya bergelantungan pada urat keting (urat diatas tumit) mereka, sudut-sudut mulut (tulang rahang bawah) mereka terbelah sehingga mengucurkan darah.' Aku bertanya, 'Siapa mereka itu?.' mereka menjawab, 'Merekalah orang-orang yang berbuka (tidak berpuasa) sebelum dihalalkannya puasa mereka (sebelum waktu berbuka).' " . (HR.an-Nasa`iy, di dalam as-Sunan al-Kubro sebagaimana di dalam buku Tuhfatul Asyrâf, Jld.IV, h.166; Ibn Hibban di dalam kitab Zawâ`id-nya, No.1800; al-Hâkim, Jld.I, h.430 . Dan sanadnya adalah Shahîh. Lihat juga, Kitab Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, No.995, Jld.I, h.420)

Demikianlah gambaran yang amat mengenaskan dari azab yang kelak akan dialami oleh mereka-mereka yang melanggar kehormatan bulan suci Ramadlan dan mengejek syi'ar yang suci ini dengan tidak berpuasa di siang bolong secara terang-terangan. Sungguh, mereka akan digantung dari ujung kaki mereka layaknya binatang yang digantung saat akan disembelih dimana posisi kakinya diatas dan kepala di bawah. Ditambah lagi, sudut-sudut mulut mereka juga akan terbelah dan mengucurkan darah. Kondisi tersebut benar-benar menjadi gambaran yang sadis dan mengenaskan.

Apakah setelah itu, mereka yang telah berbuat zhalim terhadap diri mereka sendiri, melanggar kehormatan bulan yang diberkahi ini, tidak mengindahkan kehormatan waktu dan hak Sang Khaliq dan menghancurkan rukun ke empat dari rukun Islam tanpa mau ambil peduli untuk apa mereka sebenarnya diciptakan tersebut, mau menjadikannya sebagai pelajaran berharga?

Ucapan Para Ulama

Sementara para ulama menyatakan bahwa orang yang berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadlan tanpa 'udzur, maka dia telah melakukan salah satu dari perbuatan dosa besar (Kaba`ir).
Berikut beberapa ucapan para ulama:
  • Imam adz-Dzahabiy berkata, "Dosa besar ke-enam adalah orang yang berbuka pada akhir Ramadlan tanpa 'udzur.." (al-Kabâ`ir:49)
     
  • Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, "Bilamana orang yang muntah dianggap sebagai orang yang diterima 'udzurnya, maka apa yang dilakukannya adalah boleh hukumnya. Dengan begitu, dia termasuk kategori orang-orang sakit yang harus mengqadla puasa dan tidak termasuk pelaku dosa-dosa besar yang mereka itu berbuka (di bulan Ramadlan) tanpa 'udzur…" (Majmu' Fatawa:XXV/225)
     
  • al-Quffâl berkata, "…Dan barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadlan selain karena jima' tanpa 'udzur, maka wajib baginya mengqadla dan menahan diri dari sisa harinya. Dalam hal ini, dia tidak membayar kaffarat (tebusan) namun dia dita'zir oleh penguasa (diberi sanksi yang pas menurut mashlahat yang dipandangnya). Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Daud azh-Zhahiriy…" (Hilyah al-Awliyâ`:III/198)
     
  • Syaikh Abu Bakar al-Jazâ`iriy sebagai yang dinukilnya dari Imam adz-Dzahabiy berkata, "…Sebagai yang sudah menjadi ketetapan bagi kaum Mukminin bahwa barangsiapa yang meningglkan puasa bulan Ramadlan bukan dikarenakan sakit atau 'udzur maka hal itu lebih jelek daripada pelaku zina dan penenggak khamar bahkan mereka meragukan keislamannya dan menganggapnya sebagai Zindiq atau penyeleweng…" (Risalah Ramadlan:66)
Seruan

Sesungguhnya orang-orang yang dengan terang-terangan berbuka (tidak berpuasa) di siang bolong pada bulan Ramadlan sementara kondisi mereka sangat sehat dan tidak ada 'udzur yang memberikan legitimasi pada mereka untuk tidak berpuasa adalah orang-orang yang sudah kehilangan rasa malu terhadap Allah dan rasa takut terhadap para hamba-Nya, otak-otak mereka telah dipenuhi oleh pembangkangan, hati mereka telah dipermainkan dan disentuh oleh syaithan dan gelimang dosa.
Mereka tidak menyadari bahwa dengan tidak berpuasa tersebut, berarti mereka telah menghancurkan salah satu dari rukun-rukun dien ini. Mereka adalah orang-orang yang fasiq, kurang iman dan rendah derajat. Kaum Muslimin akan memandang mereka dengan pandangan hina. Mereka termasuk para pelaku maksiat yang besar dan kelak di hari Kiamat, siksaan Allah Yang Maha Perkasa Lagi Kuasa telah menunggu mereka.
Semoga Allah menjauhkan kita dari hal itu, nau'ûdzu billâhi min dzâlik. Wallahu a'lam

Berpuasa Bagi Musafir ( 2 -Habis )

Berpuasa Bagi Musafir ( 2 -Habis )
Mukaddimah

Pada bagian yang lalu, kita telah mengkaji hadits-hadits seputar berpuasa bagi musafir, yaitu hadits-hadits yang intinya membolehkan berpuasa.
Dan sebagai yang telah kami janjikan, bahwa pada kajian kali ini kita akan membahas hadits seputar perbedaan pendapat di kalangan ulama berkenaan dengan hal itu.
Semoga bermanfa'at.
Dari Abi ad-Dardâ` radliyallâhu 'anhu, dia berkata, "Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada bulan Ramadlan saat temperatur sedemikian panas, hingga membuat salah seorang diantara kami sampai meletakkan tangannya diatas kepalanya saking panasnya. Dan tidak ada seorang diantara kami yang berpuasa selain Rasulullah dan 'Abdullah bin Rawahah." (HR.Muslim)

Makna Global

Pada bulan Ramadlan, di hari-hari yang demikian panas, Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam keluar bersama para shahabatnya. Karena temperatur yang demikian panas tersebut, tidak ada seorangpun diantara mereka yang berpuasa selain Nabi dan 'Abdullah bin Rawahah al-Anshoriy radliyallâhu 'anhu.
Mereka berdua sanggup menahan panas tersebut dan berpuasa.

Kandungan Hadits

Kebolehan berpuasa di dalam perjalanan sekalipun kondisinya sangat sulit bahkan sampai membuat badan celaka.
Dari Jabir bin 'Abdullah radliyallâhu 'anhum, dia berkata, Pernah dalma satu perjalanan, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam melihat desak-desakan dan seorang laki-laki yang dinaungi (dipayungi), lalu beliau bersabda, "Ada apa dengan orang ini?." Mereka menjawab, "Dia sedang berpuasa." Beliau bersabda, "Bukanlah termasuk 'Birr' (kebajikan) berpuasa di dalam perjalanan." (HR.Bukhari)
Dalam riwayat Muslim disebutkan (sabda beliau), "Hendaklah kalian mengambil rukhshoh (dispensasi/keringanan) yang diberikan oleh Allah kepada kalian."
(HR.Muslim)

Makna Global

Pada salah satu perjalanannya, Rasulullah pernah melihat manusia saling berdesak-desakan dan seorang laki-laki yang dipayungi, maka beliau bertanya kepada mereka perihal orang tersebut. Mereka menjawab bahwa dia sedang berpuasa dan dahaga sedemikan mencekik dirinya. Maka beliau yang demikian pengasih dan mulia hatinya bersabda, "Sesungguhnya berpuasa di dalam perjalanan bukanlah termasuk perbuatan kebajikan akan tetapi hendaknya kalian mengambil rukhshoh yang Allah berikan kepada kalian." Karena Allah Ta'ala tidak menghendaki untuk menyiksa kalian manakala kalian beribadah kepadanya.

Pelajaran Dari Hadits

Diantara pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini:
1. Kebolehan berpuasa di dalam perjalanan dan kebolehan mengambil rukhshoh juga, yaitu dengan berbuka (tidak berpuasa)
2. Berpuasa di dalam perjalanan bukan termasuk perbuatan kebajikan akan tetapi yang mengerjakannya mendapatkan pahala dan telah gugurlah kewajibannya
3. Bahwa yang lebih utama adalah memilih rukhshoh-rukhshoh yang telah diberikan Allah, yang dengannya beban para hamba menjadi ringan.

Pendapat Para Ulama

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum berpuasa di dalam perjalanan. Setidaknya, ada dua pendapat:

I. Menyatakan harus berbuka (tidak puasa)

Sebagian ulama Salaf sangat keras berpendapat bahwa bilamana seorang Musafir berpuasa, maka puasanya tersebut tidak mendapatkan pahala apa-apa. Ini adalah pendapat Imam az-Zuhriy, an-Nakha'iy. Pendapat ini juga diriwayatkan dari para shahabat seperti 'Abdurrahman bin 'Auf, Abu Hurairah dan Ibn 'Umar serta merupakan madzhab Ahli Zhahir.

Dalil
  • Firman Allah Ta'ala dalam surat al-Baqarah, ayat 185, yaitu (artinya),
    "Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."
    Arahan ayat:
    Mereka berkata bahwa dalam ayat ini Alllah tidak mewajibkan puasa kecuali atas orang yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) dan telah mewajibkan atas orang yang sakit dan Musafir pada hari-hari yang lain.
     
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pernah keluar pada tahun penaklukan Mekkah ('Am al-Fath) di bulan Ramadlan. Ketika itu beliau berpuasa hingga sampai di suatu tempat bernama Kirâ' al-Ghamîm. Orang-orang yang ikut serta ketika itu juga berpuasa. Kemudian beliau mengambil sebuah bejana air, lalu mengangkatnya hingga orang-orang melihatnya, kemudian beliau meminumnya. Setelah itu, ada yang bertanya, "Sesungguhnya ada sebagian orang di sini yang masing berpuasa."
    Maka beliau menjawab, "Mereka itulah para pembangkang (pelaku maksiat karena menentang Rasulullah), mereka itulah para pembangkang."
    Dalam hadits ini, beliau menyatakan "mereka itulah para pembangkang" karena tindakan mereka berpuasa.
     
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhariy dari Jabir, di dalamnya disebutkan "Bukanlah termasuk kebajikan, berpuasa di dalam perjalanan."
II. Boleh berpuasa ataupun tidak berpuasa.

Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama, diantaranya ulama Empat Madzhab.
Dalil
Jumhur ulama juga mengemukakan dalil-dalil yang kuat, diantaranya hadits-hadits yang telah kita bahas:
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Hamzah al-Aslamiy, "Jika kamu mau, silahkan berpuasa dan jika kamu mau, silahkan berbuka."
     
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Anas, "Kami pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam namun tidak ada orang yang berpuasa mencela orang yang tidak berpuasa, demikian juga tidak ada orang yang tidak berpuasa mencela orang yang berpuasa."
     
  • Hadits Abu Dardâ` diatas, yang menyatakan bahwa Rasulullah dan 'Abdullah bin Rawahah tetap berpuasa.
Bantahan Mereka Terhadap Pendapat Pertama
  • Terhadap argumentasi dengan ayat diatas, orang yang karenanya ayat tersebut turun (alias Rasulullah) sesudah turunnya ayat tersebut juga pernah berpuasa sementara beliau adalah manusia yang paling mengetahui maknanya. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa maknanya bukan seperti yang kalian sebutkan itu.

    Kebanyakan para ulama menyebutkan bahwa di dalam ayat tersebut ada yang dbuang (tidak dinampakkan), seharusnya ada kata "lalu ia berbuka (tidak puasa)". Jadi, bunyinya, "…dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka)…" (Dalam hal ini, persis seperti pada terjemah al-Qur'an oleh DEPAG-red.,)
     
  • Adapun argumentasi mereka dengan sabda Rasulullah, "Mereka itulah para pembangkang" , maka hal itu merupakan kondisi khusus, yaitu terhadap orang-orang yang merasa kesulitan untuk meneruskan puasa sehingga beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pun berbuka agar mereka mengikuti beliau namun mereka tidak mau, maka disabdakanlah demikian karena ketidakmauan mereka mengikuti tuntunan beliau.
     
  • Adapun jawaban terhadap hadits, "Bukan termasuk kebajikan berpuasa di dalam perjalanan", maka maknanya adalah bahwa berpuasa di dalam perjalanan bukan termasuk kebajikan yang dimaksudkan untuk berlomba-lomba di dalamnya. Alias bila ingin berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan kondisi dalam perjalanan ini tempatnya.
    Sebab bisa jadi berbuka (tidak berpuasa) di dalam perjalanan adalah lebih utama bila di sana terdapat kesulitan atau ia dapat membantu untuk berjihad sementara Allah suka bila rukhshoh-rukhshoh yang diberikannya diambil oleh hamba-Nya sebagaimana Dia benci bilamana perbuatan-perbuatan maksiat dilakukan terhadap-Nya.
Masalah: Mana Yang Lebih Utama, Berpuasa atau Berbuka?

Setelah sependapat dalam hal kebolehan berpuasa atau tidak berpuasa di dalam perjalanan, Jumhur ulama berbeda pendapat seputar; mana yang lebih utama, berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa)?

Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
  • Menyatakan bahwa berpuasa lebih utama bagi orang yang mendapatkan kesulitan di dalam perjalanan
    Ini merupakan pendapat tiga imam madzhab, yaitu Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'iy

    Dalil

    Ada beberapa hadits, diantaranya:
    - Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Salamah bin al-Muhbiq dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, beliau bersabda (artinya), "Barangsiapa yang memiliki kendaraan yang menyebabkannya dalam kondisi kenyang (tidak mendapatkan kesulitan apapun), maka hendaklah dia berpuasa kapanpun dia mendapatkannya."
     
  • Menyatakan bahwa berbuka di bulan Ramadlan adalah lebih utama sekalipun tidak mendapatkan kesulitan di dalam perjalanan.
    Ini adalah pendapat Imam Ahmad. Juga merupakan pendapat Sa'id bin al-Musayyib, al-Awza'iy dan Ishaq bin Rahawaih.

    Dalil

    Mereka berdalil dengan hadits-hadits:
    1. Hadits yang kita bahas, "Bukan termasuk kebajikan, berpuasa di dalam perjalanan."
    2. hadits, "Sesungguhnya Allah suka bila rukhshoh-rukhshohnya dijalankan."
FAEDAH

Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan standar perjalanan yang dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) dan meringkas shalat (Qashar).

Pendapat yang tepat adalah bahwa tidak ada standar khusus sebagaimana yang biasa disebutkan oleh para ulama karena tidak satupun ada dalil yang menguatkan hal itu, yang berasal dari asy-Syâri' (Allah Ta'ala).

Allah Ta'ala bahkan telah menyebutkan kata Safar (bepergian/perjalanan) secara mutlaq (tanpa mengait-ngaitkan dengan sesuatu) sehingga kita juga patut menjadikannya seperti itu.
Artinya, sesuatu yang dianggap sebagai Safar maka dibolehkan padanya rukhshoh-rukhshoh yang berkenaan dengan Safar tersebut.

(Diambil dari kitab Taysîr al-'Allâm Syarh 'Umdah al-Ahkâm karya Syaikh 'Abdullah Al-Bassam, Jld.I, h.426-430)

Berpuasa Bagi Musafir (1)

Berpuasa Bagi Musafir (1)

Dari 'Aisyah radliyallâhu 'anha, isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bahwasanya Hamzah bin 'Amr al-Aslamiy berkata kepada Nabi, "Apakah aku boleh berpuasa di dalam perjalanan?." - Dia seorang yang banyak berpuasa - lalu Beliau bersabda, "Jika kamu mau, silahkan berpuasa dan jika kamu mau, silahkan berbuka (tidak puasa)." (HR.Muslim)

Makna Global

Para shahabat telah menyadari bahwa Allah Ta'ala Yang Maha Pengasih tidaklah memberikan keringanan (rukhshoh) berbuka (tidak berpuasa) di dalam perjalan melainkan semata sebagai rahmat dan welas-asih-Nya kepada mereka.
Hamzah al-Aslamiy termasuk orang yang sangat tahan dan kuat fisiknya sehingga mampu berpuasa, dia seorang yang suka terhadap kebaikan dan banyak berpuasa. Lantas dia bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, Apakah dia boleh berpuasa?. Lantas beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memberikan alternatif kepadanya antara terus berpuasa dan berbuka (tidak berpuasa), maka beliaupun menjawab, "Jika kamu mau, silahkan berpuasa dan jika kamu mau, silahkan berbuka (tidak puasa)."

Kandungan Hadits

Ada beberapa kandungan hadits, diantaranya:
  • Dispensasi (rukhshoh/keringanan) untuk berbuka di dalam perjalanan karena ia merupakan kondisi yang dimungkinkan mengalami kesulitan di dalamnya.
     
  • Terdapat alternatif (pilihan) antara berpuasa dan berbuka (tidak berpuasa) bagi orang yang memiliki fisik yang kuat untuk tetap berpuasa. Yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah puasa bulan Ramadlan. Dan hal ini didapat dari penjelasan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan al-Hâkim bahwasanya Hamzah bin 'Amr berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya kendaraan (onta) yang aku pergunakan untuk bepergian dan menyewakannya, siapa tahu aku nantinya bertemu dengan bulan ini, yakni Ramadlan sementara aku memiliki kekuatan (fisik) untuk berpuasa dan aku mendapatkan berpuasa bagi diriku lebih ringan ketimbang mengakhirkannya (mengqadlanya) sehingga lantaran itu menjadi hutang bagiku." Maka, beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Yang demikian itu yang kamu maui wahai Hamzah?."

Dari Anas bin Malik, dia berkata, "Kami pernah bepergian bersama Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam ; namun beliau tidak pernah mencela orang yang tetap berpuasa (dengan mengutamakan) orang yang berbuka dan juga (tidak mencela) orang yang berbuka (dengan mengutamakan) orang yang tetap berpuasa."

Makna Global

Para shahabat pernah bepergian bersama Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam ; sebagian mereka berbuka (tidak berpuasa) dan sebagian yang lain tetap berpuasa sementara beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam menyetujui hal itu semua sebab hukum asalnya adalah berpuasa sementara berbuka adalah sebagai Rukhshoh, sehingga tidak perlu mengingkari orang yang meninggalkan Rukhshoh.
Oleh karena itu, beliau tidak mencela sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam hal berpuasa ataupun berbuka.

Kandungan Hadits

Diantara kandungannya adalah:
  • Bolehnya berbuka (tidak berpuasa) di dalam perjalanan
     
  • Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memberikan persetujuan terhadap tindakan para shahabat baik yang berpuasa ataupun berbuka (tidak berpuasa) di dalam perjalanan. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua-duanya adalah boleh hukumnya.
Adapun mengenai perbedaan ulama seputar hal ini, akan dibicarakan pada kajian yang akan datang, insya Allah.

(Diambil dari kitab Taysîr al-'Allâm Syarh 'Umdah al-Ahkâm karya Syaikh 'Abdullah Al-Bassam, Jld.I, h.424-426)

Larangan Menikah Tanpa Wali

Larangan Menikah Tanpa Wali
Mukaddimah

Salah satu fenomena yang amat mengkhawatirkan dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan pintas’ dimana seorang wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya, seperti orangtua angkat, kenalannya dan sebagainya.

Ini tentunya sebuah masalah pelik yang perlu dicarikan akar permasalahan dan solusinya secara tuntas, sehingga tidak berlarut-larut dan menjadi suatu trendi sehingga norma-norma agama diabaikan sedikit demi sedikit bahkan dilabrak.

Tidak luput pula dalam hal ini, tayangan-tayangan di berbagai media televisi yang seakan mengamini tindakan tersebut dan dengan tanpa kritikan dan sorotan menyuguhkan adegan-adegan seperti itu di hadapan jutaan pemirsa yang notabenenya adalah kaum Muslimin.
Hal ini menunjukkan betapa umat membutuhkan pembelajaran yang konfrehensif dan serius mengenai wawasan tentang pernikahan yang sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya mengingat tidak sedikit tradisi di sebagian daerah (untuk tidak mengatakan seluruhnya) yang bertolak belakang dengan ajaran agama dan mentolerir pernikahan tanpa wali tersebut bilamana dalam kondisi tertentu seperti tradisi ‘kawin lari’. Dengan melakukan tindakan ini dengan cara misalnya, menyelipkan sejumlah uang di bawah tempat tidur si wanita, seakan kedua mempelai yang telah melakukan hubungan tidak shah tersebut -karena tanpa wali yang shah- menganggap sudah tidak ada masalah lagi dengan pernikahannya sekembalinya dari melakukan pernikahan ala tersebut.

Sebagai dimaklumi, bahwa tradisi tidak dianggap berlaku bilamana bertabrakan dengan syari’at Islam.
Mengingat demikian urgen dan maraknya masalah ini, sekalipun sudah menjadi polemik di kalangan ulama fiqih terdahulu, maka kami memandang perlu mengangkatnya lagi dalam koridor kajian hadits, semoga saja bermanfa’at bagi kita semua dan yang telah terlanjur melakukannya menjadi tersadar, untuk selanjutnya kembali ke jalan yang benar.

Naskah Hadits
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu 'anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.”
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu 'anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”

Takhrij Hadits Secara Global

Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).

Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah).
Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy. Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulâshah berkata, “Sesungguhnya Imam al-Bukhariy telah menilainya shahîh dan juga dijadikan argumentasi oleh Ibn Hazm.” Al-Hâkim berkata, “Riwayat mengenainya telah shahih berasal dari ketiga isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam; ‘Aisyah, Zainab dan Ummu Salamah.” Kemudian dia menyebutkan 30 orang shahabat yang semuanya meriwayatkannya.

Syaikh al-Albaniy berkata, “Tidak dapat disangkal lagi, hadits tersebut berkualitas Shahîh sebab hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa tersebut dinilai shahih oleh banyak ulama. Jika, digabungkan lagi dengan riwayat pendukung dari sisi matan (Tâbi’) dan sebagian riwayat pendukung dari sisi sanad (Syâhid) yang kualitasnya tidak lemah sekali, maka hati kita menjadi tenang untuk menerimanya.”

Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.

Hadits ini dinilai shahih oleh Ibn Ma’in, Abu ‘Awânah dan Ibn Hibban. Al-Hâkim berkata, “Hadits ini sesuai dengan syarat yang ditetapkan asy-Syaikhân (al-Bukhariy dan Muslim), diperkuat oleh Ibn ‘Adiy dan dinilai Hasan oleh at-Turmudziy. Hadits ini juga dinilai Shahîh oleh Ibn al-Jawziy akan tetapi beliau menyatakan bahwa terdapat ‘illat, yaitu al-Irsâl akan tetapi Imam al-Baihaqiy menguatkannya dan membantah statement Ibn al-Jawziy tersebut. Maka berdasarkan hal ini, hadits ini kualitas isnadnya Hasan. Wallahu a’lam.”

Beberapa Pelajaran dari Hadits-Hadits Tersebut
  • Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan syarat shahnya sehingga tidak shah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang melaksanakan ‘aqad nikah. Ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab; Malik, asy-Syaf’iy dan Ahmad serta jumhur ulama.
    Dalil pensyaratan tersebut adalah hadits diatas yang berbunyi (artinya), “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
    Al-Munawiy berkata di dalam kitab Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, “Hadits tersebut hadits Mutawatir.” Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hâkim dari 30 sumber. Sedangkan hadits ‘Aisyah diatas (no.3 dalam kajian ini) sangat jelas sekali menyatakan pernikahan itu batil tanpa adanya wali, dan bunyinya (artinya), “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil (tiga kali).”
     
  • ‘Aqad nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa manfa’at pernikahan tersebut dan mudlaratnya, perlu perlahan, pengamatan yang seksama dan musyawarah terlebih dahulu. Sementara wanita biasanya pendek pandangannya dan singkat cara berpikirnya alias jarang ada yang berpikir panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan pertimbangan akan ‘aqad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi hukumnya. Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘aqad berdasarkan nash yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama.
     
  • Seorang wali disyaratkan sudah mukallaf, berjenis kelamin laki-laki, mengetahui manfa’at pernikahan tersebut dan antara wali dan wanita yang di bawah perwaliannya tersebut seagama. Siapa saja yang tidak memiliki spesifikasi ini, maka dia bukanlah orang yang pantas untuk menjadi wali dalam suatu ‘aqad nikah.
     
  • Wali adalah seorang laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si wanita; sehingga tidak boleh ada wali yang memiliki hubungan jauh menikahkannya selama wali yang lebih dekat masih ada. Orang yang paling dekat hubungannya tersebut adalah ayahnya, kemudian kakeknya dari pihak ayah ke atas, kemudian anaknya ke bawah, yang lebih dekat lagi dan lebih dekat lagi, kemudian saudara kandungnya, kemudian saudaranya se-ayah, demikian seterusnya berdasarkan runtut mereka di dalam penerimaan warisan. Disyaratkannya kedekatan dan lengkapnya persyaratan-persyaratan tersebut pada seorang wali demi merealisasikan kepentingan pernikahan itu sendiri dan menjauhi dampak negatif yang ditimbulkannya.
     
  • Bila seorang wali yang memiliki hubungan jauh menikahkan seorang wanita padahal ada wali yang memiliki hubungan lebih dekat dengannya, maka hal ini diperselisihkan para ulama:
    Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan tersebut Mafsûkh (batal).
    Pendapat Kedua menyatakan bahwa pernikahan itu boleh.
    Pendapat Ketiga menyatakan bahwa terserah kepada wali yang memiliki hubungan lebih dekat tersebut apakah membolehkan (mengizinkan) atau menfasakh (membatalkan) nya.
    Sebab Timbulnya Perbedaan
    Sebab timbulnya perbedaan tersebut adalah:
    “Apakah tingkatan perwalian yang paling dekat dalam suatu pernikahan merupakan Hukum Syar’iy yang murni dan mutlak hak yang terkait dengan Allah sehingga pernikahan tidak dianggap terlaksana karenanya dan wajib difasakh (dibatalkan)”,
    Ataukah “ia merupakan Hukum Syar’iy namun juga termasuk hak yang dilimpahkan kepada wali sehingga pernikahan itu dianggap terlaksana bilamana mendapatkan persetujuan si wali tersebut; bila dia membolehkan (mengizinkan), maka boleh hukumnya dan bila dia tidak mengizinkan, maka pernikahan itu batal (fasakh).”
     
  • Perbedaan Para Ulama
    Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa adanya seorang wali merupakan syarat shah suatu akad nikah. Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, diantaranya Tiga Imam Madzhab.
    Sementara Imam Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa hal itu bukanlah merupakan syarat.
    Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat terakhir ini banyak sekali namun masih dalam koridor permasalahan khilafiyyah yang amat panjang.
    Diantara dalil mereka tersebut adalah mengqiyaskan (menganalogkan) nikah dengan jual beli. Dalam hal ini, sebagaimana seorang wanita berhak untuk memanfa’atkan dan menjual apa saja yang dia maui dari hartanya, demikian pula dia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Namun para ulama mengatakan bahwa ini adalah Qiyâs Fâsid (Qiyas yang rusak alias tidak sesuai dengan ketentuan) karena tiga faktor:
    Pertama, karena ia merupakan Qiyas yang bertentangan dengan Nash sehingga menurut kaidah ushul, Qiyas seperti ini tidak boleh dan tidak berlaku.
    Kedua, Dalam Qiyas itu harus ada kesamaan antara dua hukum dari kedua hal yang diqiyaskan tersebut, sementara disini tidak ada. Dalam hal ini, nikah merupakan hal yang serius, perlu pandangan yang tajam dan kejelian terhadap konsekuensi-konsekuensinya, namun berbeda halnya dengan jual beli yang dilakukan dengan apa adanya, ringan dan kecil permasalahannya .
    Ketiga, bahwa akad terhadap sebagian suami bisa menjadi ‘aib dan cela bagi seluruh keluarga, bukan hanya terhadap isterinya semata. Jadi, para walinya ikut andil di dalam proses persemendaan (perbesanan), baik ataupun buruknya.

    Dalam hal ini, Abu Hanifah membantah hadits ini dengan beragam jawaban:
    Pertama, Terkadang beliau mengeritik sanad (jalur transmisi) hadits yang menurutnya terdapat cacat, yaitu adanya perkataan Imam az-Zuhriy kepada Sulaiman bin Musa, “Saya tidak mengenal hadits ini.”
    Kedua, mereka mengatakan bahwa lafazh “Bâthil” di dalam teks hadits tersebut dapat dita’wil dan maksudnya adalah “Bishodadil Buthlân wa mashîruhu ilaihi.” (Maka pernikahannya akan menuju kebatilan dan berakibat seperti itu).
    Ketiga, mereka berkata bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan wanita (Mar`ah) di dalam teks hadits tersebut adalah wanita yang gila atau masih kecil (di bawah umur)…
    Dan bantahan-bantahan lainnya yang tidak kuat dan sangat jauh dimana para ulama juga menanggapinya satu per-satu.

    Tanggapan Terhadap Bantahan Tersebut

    Terhadap Bantahan Pertama, bahwa sebenarnya hadits tersebut memiliki banyak jalur yang berasal dari para Imam-Imam Besar Hadits dan periwayat, bukan seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah melalui perkataan Imam az-Zuhriy tersebut.
    Terhadap Bantahan Kedua, bahwa ta’wil tersebut tidak tepat dan amat jauh dari sasaran.
    Terhadap Bantahan Ketiga dan seterusnya, bahwa nash-nash tentang hal itu amat jelas sehingga tidak membutuhkan ta’wil-ta’wil semacam itu. wallahu a’lam.

    Dalil-Dalil Pensyaratan Wali

    Diantara dalilnya adalah hadits yang telah dipaparkan diatas, dan mengenainya:
    a. ‘Aliy al-Madiniy berkata, “Shahîh”. Pensyarah berkata, “Ia dinilai Shahîh oleh al-Baihaqiy dan para Huffâzh .”
    Adl-Dliyâ` berkata, “Sanad para periwayatnya semua adalah Tsiqât.”
    b. Hadits tersebut juga telah dikeluarkan oleh al-Hâkim dan bersumber dari 30 orang shahabat.
    c. Imam al-Munawiy berkata, “Ia merupakan hadits Mutawatir.”

    Dalil lainnya:
    - Bagi siapa yang merenungi kondisi ‘aqad nikah dan hal-hal yang dibutuhkan padanya seperti perhatian serius, upaya mencari mashlahat dan menjauhi dampak negatif dari pergaulan suami-isteri, kondisi suami dan ada tidaknya kafâ`ah (kesetaraan), pendeknya pandangan dan dangkalnya cara berfikir wanita serta mudahnya ia tergiur oleh penampilan, demikian pula bagi siapa yang mengetahui kegigihan para walinya dan keinginan mereka untuk membahagiakannya serta pandangan kaum lelaki yang biasanya jauh ke depan….barangsiapa yang merenungi hal itu semua, maka tahulah kita akan kebutuhan terhadap apa yang disebut Wali itu.
     
  • Manakala kita mengetahui bahwa pernikahan tanpa wali hukumnya Fâsid (rusak), lalu jika ia terjadi juga, maka ia tidak dianggap sebagai pernikahan yang sesuai dengan syari’at dan wajib difasakh (dibatalkan) melalui hakim ataupun thalaq/cerai oleh sang suami.
    Sebab, pernikahan yang diperselisihkan hukumnya perlu kepada proses Fasakh atau Thalaq, berbeda dengan pernikahan Bâthil yang tidak membutuhkan hal itu.

    Perbedaan Antara Pernikahan Bâthil Dan Fâsid

    - Bahwa terhadap pernikahan Bâthil, para ulama telah bersepakat hukumnya tidak shah, seperti menikah dengan isteri ke-lima bagi suami yang sudah memiliki empat orang isteri, atau menikah dengan saudara wanita kandung dari isteri (padahal saudaranya itu masih shah sebagai isteri)…Pernikahan seperti ini semua disepakati oleh para ulama kebatilannya sehingga tidak perlu proses Fasakh.
    - Sedangkan pernikahan Fâsid adalah pernikahan yang diperselisihkan oleh para ulama mengenai shah nya seperti pernikahan tanpa wali atau tanpa para saksi ; Ini semua harus melalui proses Fasakh (pembatalan) oleh pihak Hakim atau proses Thalaq oleh sang suami.
     
  • Bila seorang suami mencampuri isterinya melalui Thalaq Bâthil atau Fâsid, maka dia berhak untuk mendapatkan mahar utuh (sesuai yang disebutkan dalam aqad nikah, tidak boleh kurang) sebagai konsekuensi dari telah dicampurinya tersebut (dihalalkan farjinya).
     
  • Bila seorang wanita tidak memiliki wali dari kaum kerabatnya, atau mantan budak wanita tidak mendapatkan mantan majikannya sebagai wali; maka yang bertindak menjadi walinya ketika itu adalah sang Imam (penguasa) atau wakilnya, sebab Sultan (penguasa) adalah bertindak sebagai wali orang yang tidak memiliki wali.
     
  • Perselisihan Para Ulama Mengenai Pensyaratan Keadilan Wali
    Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama:
    1. Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya berpendapat bahwa seorang wali harus seorang yang adil secara zhahirnya, sebab hal ini merupakan Wilâyah Nazhoriyyah (perwalian yang memerlukan sudut pandang) sehingga si wanita ini tidak dizhalimi oleh wali yang fasiq.
    2. Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa keadilan itu bukan merupakan syarat bagi seorang wali bahkan perwalian orang yang fasiq boleh hukumnya karena dia boleh menjadi wali bagi pernikahan dirinya sendiri sehingga perwaliannya atas orang selainnya shah hukumnya.
    Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari dua riwayat yang berasal dari Imam Ahmad. Juga merupakan pendapat pilihan pengarang kitab al-Mughniy (Ibn Qudamah), pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim. Sedangkan dari ulama kontemporer, pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’diy.
    Pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr berkata, “Dalil yang shahih dan yang banyak diamalkan adalah bahwa ayahnya-lah yang memiliki wanita tersebut sekalipun kondisinya tidak baik selama dia bukan kafir. Saya tegaskan, berdasarkan pendapat inilah kaum Muslimin mengamalkannya.”
Rujukan
- CD al-Mawsû’ah al-Hadîtsiyyah
- Al-Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, Tawdlîh al-Ahkâm, (Mekkah: Maktabah wa mathba’ah an-Nahdlah al-Haditsah, 1414 H), Cet. 2
- ath-Thahhân, Mahmud, Taysîr Mushtholah al-Hadîts, (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H), Cet.IX

Keutamaan Tasbih

Keutamaan Tasbih
Mukaddimah

Secara bahasa, kata Tasbîh berasal dari kata kerja Sabbaha Yusabbihu yang maknanya menyucikan. Dan secara istilah, kata Tasbîh adalah ucapan ÓõÈúÍóÇäó Çááåö . Ucapan ini merupakan dzikir kepada Allah yang merupakan ibadah yang agung.

Dalam hal ini, terdapat banyak kaidah di dalamnya dimana secara global dapat dikatakan bahwa setiap kaidah yang digunakan untuk menolak perbuatan bid’ah dan berbuat sesuatu yang baru di dalam agama, maka ia adalah kaidah yang cocok untuk diterapkan pula pada beberapa parsial (bagian) penyimpangan di dalam berdzikir dan berdoa, karena dzikir, demikian juga doa, adalah murni masalah ‘ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Sedangkan kaidah dari semua kaidah di dalam hal tersebut adalah bahwa semua ‘ibadah bersifat tawqîfiyyah, yang diformat dalam ungkapan, “Melakukan ibadah hanya sebatas nash dan sumbernya.”

Kalimat tersebut direduksi dari nash-nash yang beragam, diantaranya hadits shahih yang menyatakan bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
“Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang baru di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka ia tertolak.”

Dan hadits shahih yang lainnya bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
“Setiap sesuatu yang baru (diada-adakan) maka ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan (tempat pelakunya) adalah di neraka.”

Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati di dalam melakukan suatu bentuk ibadah dan harus selalu mengacu kepada dalil-dalil yang jelas dan shahih serta kuat yang terkait dengannya sebab bila tidak, maka dikhawatirkan amal yang dilakukan tersebut justeru menjerumuskan pelakunya ke dalam hal yang disebut dengan Bid’ah tersebut sekalipun dalam anggapannya hal tersebut adalah baik.

Tentunya, di dalam kita melakukan apapun bentuk ibadah, termasuk dalam hal ini, dzikir, harus mengikuti (mutaba’ah) kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sehingga kita tidak menyimpang dari manhaj yang telah digariskannya.

Perlu diketahui bahwa mutâba’ah tersebut tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara:

Pertama, sebab
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak).
Contoh: ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam (dinaikkkan ke atas langit). Shalat tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini – yaitu: ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah namun sebenarnya adalah bid’ah.

Kedua, jenis
Artinya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima.
Contoh: seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan qurban yaitu onta, sapi dan kambing.

Ketiga, kadar (bilangan)
Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan raka’atnya.
Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak shah.

Keempat, kaifiyyah (cara)
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhu’nya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syar’ait.

Kelima, waktu
Apabila ada orang menyembelih binatang qurban pada hari pertama bulan dzul hijjah, maka tidak shah karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Misalnya, ada orang yang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid’ah karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai qurban, denda haji dan ‘aqiqah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam idul Adhha adalah bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.

Keenam, tempat
Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak shah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushallla di rumahnya, maka tidak shah I’tikafnya karena empat melakukannnya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at.

Contoh lainnya: seseorang yang melakukan thawaf di luar masjid haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, thawafnya tidak shah karena tempat melakukan thawaf adalah dalam baitullah tersebut, Allah berfiman: “dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf”. (Q.S. al-Hajj: 26).

Terkait dengan kajian hadits kali ini, tema yang kami angkat adalah masalah keutamaan Tasbih, yaitu ucapan seperti yang disebutkan dalam hadits di bawah ini, dan lafazh semisalnya yang terdapat di dalam hadits-hadits yang lain.
Lafazh Tasbih dalam hadits kita kali ini, bukanlah satu-satunya lafazh yang memiliki nilai amal yang tinggi, ada lagi lafazh-lafazh yang lainnya yang bisa di dapat di dalam buku-buku tentang dzikir atau bab-bab tentang dzikir dalam kitab-kitab hadits.

Dzikir kita kali ini adalah dzikir yang terdapat di dalam hadits yang shahih dan telah disebutkan kapan waktunya, yaitu bisa dilakukan setiap hari namun tidak disebutkan lebih lanjut kapan tepatnya, sehingga dapat dikategorikan mengenai waktu yang tepatnya ini ke dalam dzikir yang mutlak alias kapan saja, di luar dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktunya.

Semoga kita dapat memaknai, menghayati dan mengamalkannya sehingga tidak luput dari pahala yang sedemikian besar ini. Amin.

Naskah Hadits
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan ‘Subhânallâhi Wa Bihamdihi’ di dalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya akan dihapus semua dosa-dosa (kecil)-nya sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR.al-Bukhariy)

Faedah Hadits
  • Hadits diatas menyatakan keutamaan dzikir ÓõÈúÍóÇäó Çááåö æóÈöÍóãúÏöåö (Subhânallâhi wa bihamdihi) yang mengandung makna Tasbih (penyucian) terhadap Allah Ta’ala dan penyucian terhadap-Nya pula dari hal-hal yang tidak layak dan pantas bagi-Nya, seperti memiliki kekurangan-kekurangan, cacat-cela dan menyerupai semua makhluk-Nya.
     
  • Hadits tersebut juga mengandung penetapan segala pujian hanya kepada-Nya baik di dalam Asma` maupun shifat-Nya. Dia-lah Yang Maha Hidup sesempurna hidup; kehidupan yang tiada didahului ketiadaan (yakni bukan dalam arti; sebelumnya tidak ada kehidupan lalu kemudian ada) dan tiada pula kehidupan itu akan pernah hilang/sirna.
     
  • Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah dan memuji-Nya sebanyak seratus kali di dalam sehari semalam, maka dia akan mendapatkan pahala yang maha besar ini. Yaitu, semua dosa-dosa (kecil)-nya dihapuskan dengan mendapatkan ma’af dan ampunan-Nya, sekalipun dosa-dosa tersebut sebanyak buih di lautan. Tentunya, ini merupakan anugerah dan pemberian yang demikian besar dari-Nya.
     
  • Para ulama mengaitkan hal ini dan semisalnya sebatas dosa-dosa kecil saja sedangkan dosa-dosa besar tidak ada yang dapat menghapus dan menebusnya selain Taubat Nashuh (taubat dengan sebenar-benarnya).
     
  • Imam an-Nawawiy berkata, “Sesungguhnya bila dia tidak memiliki dosa-dosa kecil, maka semoga diharapkan dapat meringankan dosa-dosa besarnya.”
Rujukan:
  • Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Jld.VI, Hal.409)
     
  • Tashhîh ad-Du’â’ karya Syaikh Bakr Abu Zaid, Hal. 39
     
  • Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah

Seputar Ta'addud (poligami) : merelakan giliran kepada madu

Seputar Ta'addud (poligami) : merelakan giliran kepada madu
Mukaddimah

Islam telah mensyari’atkan Ta’addud (polygami) sebagai salah satu pemecahan bagi problematika rumah tangga, khususnya manakala sebuah rumah tangga sudah diambang kehancuran.

Bila sebuah rumah tangga sudah tidak lagi harmonis dan hubungan suami-isteri selalu diwarnai oleh pertengkaran bahkan pengkhianatan (baca: perselingkuhan), maka kehancurannya hanya tinggal menunggu waktu. Secara logika, dalam kondisi yang sudah sampai ke taraf demikian itu, sangat sulit untuk memulihkan kembali hubungan tersebut seperti semula dan kalaupun bisa, maka akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Maka, jalan satu-satunya – bila masih menghendaki tetap utuhnya rumah tangga dan tidak menghendaki kehancuran itu – adalah dengan cara berdamai dan mengalah tetapi halal.

Dalam hal ini, kita mendapatkan keteladanan dari salah seorang Ummul Mukminin, yaitu Saudah binti Zam’ah.

Dia memiliki sikap yang perlu di tiru oleh setiap wanita shalihah, sikap yang menampilkan sosok seorang isteri shalihah, seorang Ummul Mukminin yang menyadari bahwa dirinya harus menjadi suriteladan yang baik bagi kaum Mukminat di dalam mempertahankan keutuhan sebuah rumah tangga.

Singkatnya, bahwa Rasulullah sebagai manusia biasa memiliki perasaan suka dan tidak suka secara alami. adalah Saudah wanita pertama yang dinikahinya setelah wafatnya, Khadijah. Dia seorang janda dan sudah berusia, namun karena ketabahan dan keimanannya-lah, beliau Shallallâhu 'alaihi wa sallam kemudian menikahinya dan memuliakannya sebagai Ummul Mukminin.

Setelah beberapa lama berumah tangga, dan Rasulullah juga setelah itu sudah memiliki isteri-isteri yang lain, tampak ada perubahan sikap dari diri beliau terhadapnya seakan-akan sudah tidak menginginkan serumah lagi dengannya alias ingin menceraikannya. Sikap ini ditangkap dengan baik oleh Saudah dan gelagat yang tidak menguntungkan dirinya ini dia manfa’atkan momennya, yaitu dengan suka rela dia mau berdamai dan mengalah, demi keutuhan rumah tangga dan mempertahankan martabatnya yang telah dimuliakan sebagai Ummul Mukminin. Artinya, dia dengan rela dan ikhlash memberikan jatah gilirnya kepada isteri Rasulullah yang lain, yaitu ‘Aisyah radliyallâhu 'anha.

Menyadari akan maraknya fenomena yang tidak mendidik bahkan menyesatkan, khususnya, tayangan-tayangan dalam media elektronik seperti sinetron-sinetron yang berusaha merusak tatanan rumah tangga kaum Muslimin dan sengaja memprovokasi kaum ibu agar melawan ‘pengungkungan’ terhadap hak wanita – dalam anggapan mereka – dengan memilih ‘cerai’ ketimbang ‘dimadu’, dan sebagainya; maka kami memandang perlunya mengangkat tema ini, paling tidak, guna menggugah kaum wanita secara keseluruhan dan para isteri-isteri shalihah secara khusus. Semoga bermanfa’at dan dapat dijadikan bahan renungan dan pertimbangan oleh setiap kaum wanita. Wallahu a’lam. (red.)

Naskah Hadits
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
“Dari ‘Aisyah –radliallâhu 'anha- bahwasanya Saudah binti Zam’ah – radliallâhu 'anha - telah memberikan jatah gilirnya kepada ‘Aisyah, dan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam telah menggilir ‘Aisyah (pada jatah gilirnya) plus jatah gilir Saudah”. (Muttafaqun ‘alaih)

Takhrij Hadits Secara Global

Di dalam kitab Bulûghul Marâm karya Syaikh Ibn Hajar al-‘Asqalâny menyebutkan bahwa hadits diatas, diriwayatkan secara sepakat oleh Imam Bukhari dan Muslim. Namun, kami tidak mendapatkan riwayat dari Imam Muslim yang sama seperti lafazh tersebut.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.

Beberapa Pelajaran Dari Hadits

Saudah binti Zam’ah al-Qurasyiyyah al-‘Âmiriyyah adalah isteri kedua dari Rasulullah disamping isteri-isteri yang lain. Beliau menikahinya setelah Khadijah wafat. Saat telah berumah tangga dengan beliau, usianya sudah tua dan kondisinya semakin lemah. Karenanya, dia khawatir, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam akan menceraikannya sehingga dirinya akan kehilangan martabat yang mulia dan nikmat yang agung sebagai salah seorang isteri Rasulullah. Dari itu, dia dengan ikhlas merelakan jatah gilirnya kepada ‘Aisyah asalkan dapat tetap menjadi isteri beliau. Beliau-pun menerima cara yang dia lakukan ini. Dan tatkala Rasulullah wafat, dia masih tetap berpredikat sebagai salah seorang dari Ummahâtul Mukminîn.

Abu Dâwud ath-Thayâlisy meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, dia berkata: “Saudah khawatir dithalaq oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, lalu dia berkata kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah! Janganlah engkau menthalaqku dan jadikanlah jatah gilirku untuk ‘Aisyah!’. Beliau pun setuju melakukan itu sehingga turunlah ayat ini:
---------------------------- Huruf Arab ----------------------------
“Dan jika seorang wanita (isteri) khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”.(Q.,s.an-Nisâ`/04:128)

Dan di dalam kitab ‘ash-Shahîhain’ (Shahîh Bukhâry dan Muslim) dari ‘Aisyah, dia berkata: “Tatkala usia Saudah sudah senja (tua), maka dia memberikan (secara sukarela) jatah gilirnya kepada ‘Aisyah. Lalu, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam membagikan jatah gilirnya tersebut untuk ‘Aisyah”.

Hadits diatas mengindikasikan kebolehan berdamai antara suami-isteri. Hal ini bisa dilakukan ketika si isteri merasa suaminya sudah mulai menjauhi atau berpaling darinya sementara dia sendiri takut untuk diceraikan seperti bilamana terputus seluruh haknya atau sebagiannya dari pembagian nafkah, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya yang semula adalah bagian dai kewajiban suami terhadapnya. Sedangkan suami, boleh menerima hal itu darinya dan si isteri tidak berdosa dengan memberikan jatah gilirnya. Demikian pula, dia tidak berdosa bila menerimanya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: “maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”. Artinya, bahwa perdamaian itu lebih baik daripada berpisah dan bercerai.

Tindakan yang dilakukan oleh Ummul Mukminin, Saudah radliallâhu 'anha adalah tindakan yang bijaksana sekali. Karenanya, berdasarkan riwayat yang shahih, ‘Aisyah pernah mengomentarinya: “Tidak ada orang yang aku lebih suka menjadi selumur (kulit luar selongsong ular) baginya (selain) dari Saudah”. Hal itu diucapkannya karena sedemikian kagumnya dia terhadap sikap Saudah. Saudah wafat pada akhir masa kekhalifahan ‘Umar radliallâhu 'anhu.

Para ulama berkata: “Bila seorang isteri memberikan jatah gilir hari dan malamnya untuk salah seorang isteri yang lain (madu) dari suaminya, maka hal itu tidak menjadi keniscayaan bagi hak sang suami dan tidak berpengaruh besar. Jadi, dia boleh saja mendatangi si pemberi jatah gilirnya ini atau tidak rela bersamanya karena sudah cukup dengan isteri yang lainnya. Tetapi jika dia (suami) rela maka hal itu boleh”.

Jika si suami memiliki banyak isteri (tiga orang atau empat orang), lalu isteri yang merelakan jatah gilirnya ini menentukan kepada salah seorang diantara madu-madunya tersebut, maka hal itu dianggap berlaku secara hukum sebagaimana dengan kisah Saudah terhadap ‘Aisyah diatas. Tetapi, jika dia membiarkan jatahnya itu tanpa menentukan kepada siapa diantara madu-madunya itu yang dia beri, maka hendaknya si suami menyamakan jatah yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, tidak memasukkan lagi jatah gilir si pemberi tersebut.

Isteri yang telah memberikan jatah gilirnya kepada madunya boleh saja menarik kembali pemberiannya itu dari suaminya kapanpun dia menghendaki sebab hukum asal semua pemberian (Hibah) adalah dibolehkan menarik/mengambilnya kembali selama belum dipegang (disepakati perjanjiannya) baik untuk yang sekarang maupun untuk yang akan datangnya. Wallahu a’lam.