Larangan Menikah Tanpa Wali
Mukaddimah
Salah satu fenomena yang amat
mengkhawatirkan dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan pintas’ dimana
seorang wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau
merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk
menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan
kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya, seperti orangtua
angkat, kenalannya dan sebagainya.
Ini tentunya sebuah masalah pelik
yang perlu dicarikan akar permasalahan dan solusinya secara tuntas, sehingga
tidak berlarut-larut dan menjadi suatu trendi sehingga norma-norma agama
diabaikan sedikit demi sedikit bahkan dilabrak.
Tidak luput pula dalam
hal ini, tayangan-tayangan di berbagai media televisi yang seakan mengamini
tindakan tersebut dan dengan tanpa kritikan dan sorotan menyuguhkan
adegan-adegan seperti itu di hadapan jutaan pemirsa yang notabenenya adalah kaum
Muslimin.
Hal ini menunjukkan betapa umat membutuhkan pembelajaran yang
konfrehensif dan serius mengenai wawasan tentang pernikahan yang sesuai dengan
tuntunan ajaran agamanya mengingat tidak sedikit tradisi di sebagian daerah
(untuk tidak mengatakan seluruhnya) yang bertolak belakang dengan ajaran agama
dan mentolerir pernikahan tanpa wali tersebut bilamana dalam kondisi tertentu
seperti tradisi ‘kawin lari’. Dengan melakukan tindakan ini dengan cara
misalnya, menyelipkan sejumlah uang di bawah tempat tidur si wanita, seakan
kedua mempelai yang telah melakukan hubungan tidak shah tersebut -karena tanpa
wali yang shah- menganggap sudah tidak ada masalah lagi dengan pernikahannya
sekembalinya dari melakukan pernikahan ala tersebut.
Sebagai dimaklumi,
bahwa tradisi tidak dianggap berlaku bilamana bertabrakan dengan syari’at Islam.
Mengingat demikian urgen dan maraknya masalah ini, sekalipun sudah menjadi
polemik di kalangan ulama fiqih terdahulu, maka kami memandang perlu
mengangkatnya lagi dalam koridor kajian hadits, semoga saja bermanfa’at bagi
kita semua dan yang telah terlanjur melakukannya menjadi tersadar, untuk
selanjutnya kembali ke jalan yang benar.
Naskah Hadits
---------------------------- Huruf Arab
----------------------------
Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu
'anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak
(shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
---------------------------- Huruf Arab
----------------------------
Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah)
pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.”
---------------------------- Huruf Arab
----------------------------
Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu 'anha, dia berkata, Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa
idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan
badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari
dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim
dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
Takhrij Hadits Secara Global
Hadits pertama dari kajian
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab
as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut
dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang
menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai
jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy
berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).
Hadits kedua dari kajian ini
diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain
secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah).
Menurut Syaikh ‘Abdullah bin
‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh
Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim,
al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn
al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim
serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy. Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab
al-Khulâshah berkata, “Sesungguhnya Imam al-Bukhariy telah menilainya shahîh dan
juga dijadikan argumentasi oleh Ibn Hazm.” Al-Hâkim berkata, “Riwayat
mengenainya telah shahih berasal dari ketiga isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa
Sallam; ‘Aisyah, Zainab dan Ummu Salamah.” Kemudian dia menyebutkan 30 orang
shahabat yang semuanya meriwayatkannya.
Syaikh al-Albaniy berkata,
“Tidak dapat disangkal lagi, hadits tersebut berkualitas Shahîh sebab hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Musa tersebut dinilai shahih oleh banyak ulama. Jika,
digabungkan lagi dengan riwayat pendukung dari sisi matan (Tâbi’) dan sebagian
riwayat pendukung dari sisi sanad (Syâhid) yang kualitasnya tidak lemah sekali,
maka hati kita menjadi tenang untuk menerimanya.”
Sedangkan hadits yang
ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan
oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah,
ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang
banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari
‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan)
tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.
Hadits ini
dinilai shahih oleh Ibn Ma’in, Abu ‘Awânah dan Ibn Hibban. Al-Hâkim berkata,
“Hadits ini sesuai dengan syarat yang ditetapkan asy-Syaikhân (al-Bukhariy dan
Muslim), diperkuat oleh Ibn ‘Adiy dan dinilai Hasan oleh at-Turmudziy. Hadits
ini juga dinilai Shahîh oleh Ibn al-Jawziy akan tetapi beliau menyatakan bahwa
terdapat ‘illat, yaitu al-Irsâl akan tetapi Imam al-Baihaqiy menguatkannya dan
membantah statement Ibn al-Jawziy tersebut. Maka berdasarkan hal ini, hadits ini
kualitas isnadnya Hasan. Wallahu a’lam.”
Beberapa Pelajaran dari
Hadits-Hadits Tersebut
- Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan syarat shahnya sehingga
tidak shah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang melaksanakan ‘aqad
nikah. Ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab; Malik, asy-Syaf’iy dan Ahmad serta
jumhur ulama.
Dalil pensyaratan tersebut adalah hadits diatas yang berbunyi
(artinya), “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
Al-Munawiy berkata
di dalam kitab Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, “Hadits tersebut hadits Mutawatir.”
Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hâkim dari 30 sumber. Sedangkan hadits ‘Aisyah
diatas (no.3 dalam kajian ini) sangat jelas sekali menyatakan pernikahan itu
batil tanpa adanya wali, dan bunyinya (artinya), “Siapa saja wanita yang menikah
tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil (tiga kali).”
- ‘Aqad nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara
jelas apa manfa’at pernikahan tersebut dan mudlaratnya, perlu perlahan,
pengamatan yang seksama dan musyawarah terlebih dahulu. Sementara wanita
biasanya pendek pandangannya dan singkat cara berpikirnya alias jarang ada yang
berpikir panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan
pertimbangan akan ‘aqad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi hukumnya.
Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘aqad berdasarkan nash
yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama.
- Seorang wali disyaratkan sudah mukallaf, berjenis kelamin laki-laki,
mengetahui manfa’at pernikahan tersebut dan antara wali dan wanita yang di bawah
perwaliannya tersebut seagama. Siapa saja yang tidak memiliki spesifikasi ini,
maka dia bukanlah orang yang pantas untuk menjadi wali dalam suatu ‘aqad nikah.
- Wali adalah seorang laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si
wanita; sehingga tidak boleh ada wali yang memiliki hubungan jauh menikahkannya
selama wali yang lebih dekat masih ada. Orang yang paling dekat hubungannya
tersebut adalah ayahnya, kemudian kakeknya dari pihak ayah ke atas, kemudian
anaknya ke bawah, yang lebih dekat lagi dan lebih dekat lagi, kemudian saudara
kandungnya, kemudian saudaranya se-ayah, demikian seterusnya berdasarkan runtut
mereka di dalam penerimaan warisan. Disyaratkannya kedekatan dan lengkapnya
persyaratan-persyaratan tersebut pada seorang wali demi merealisasikan
kepentingan pernikahan itu sendiri dan menjauhi dampak negatif yang
ditimbulkannya.
- Bila seorang wali yang memiliki hubungan jauh menikahkan seorang wanita
padahal ada wali yang memiliki hubungan lebih dekat dengannya, maka hal ini
diperselisihkan para ulama:
Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan
tersebut Mafsûkh (batal).
Pendapat Kedua menyatakan bahwa pernikahan itu
boleh.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa terserah kepada wali yang memiliki
hubungan lebih dekat tersebut apakah membolehkan (mengizinkan) atau menfasakh
(membatalkan) nya.
Sebab Timbulnya Perbedaan
Sebab timbulnya perbedaan
tersebut adalah:
“Apakah tingkatan perwalian yang paling dekat dalam suatu
pernikahan merupakan Hukum Syar’iy yang murni dan mutlak hak yang terkait dengan
Allah sehingga pernikahan tidak dianggap terlaksana karenanya dan wajib difasakh
(dibatalkan)”,
Ataukah “ia merupakan Hukum Syar’iy namun juga termasuk hak
yang dilimpahkan kepada wali sehingga pernikahan itu dianggap terlaksana
bilamana mendapatkan persetujuan si wali tersebut; bila dia membolehkan
(mengizinkan), maka boleh hukumnya dan bila dia tidak mengizinkan, maka
pernikahan itu batal (fasakh).”
- Perbedaan Para Ulama
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa
adanya seorang wali merupakan syarat shah suatu akad nikah. Dan ini adalah
pendapat Jumhur Ulama, diantaranya Tiga Imam Madzhab.
Sementara Imam Abu
Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa hal itu bukanlah merupakan syarat.
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat terakhir ini banyak sekali namun
masih dalam koridor permasalahan khilafiyyah yang amat panjang.
Diantara
dalil mereka tersebut adalah mengqiyaskan (menganalogkan) nikah dengan jual
beli. Dalam hal ini, sebagaimana seorang wanita berhak untuk memanfa’atkan dan
menjual apa saja yang dia maui dari hartanya, demikian pula dia berhak untuk
menikahkan dirinya sendiri. Namun para ulama mengatakan bahwa ini adalah Qiyâs
Fâsid (Qiyas yang rusak alias tidak sesuai dengan ketentuan) karena tiga faktor:
Pertama, karena ia merupakan Qiyas yang bertentangan dengan Nash sehingga
menurut kaidah ushul, Qiyas seperti ini tidak boleh dan tidak berlaku.
Kedua, Dalam Qiyas itu harus ada kesamaan antara dua hukum dari kedua hal
yang diqiyaskan tersebut, sementara disini tidak ada. Dalam hal ini, nikah
merupakan hal yang serius, perlu pandangan yang tajam dan kejelian terhadap
konsekuensi-konsekuensinya, namun berbeda halnya dengan jual beli yang dilakukan
dengan apa adanya, ringan dan kecil permasalahannya .
Ketiga, bahwa akad
terhadap sebagian suami bisa menjadi ‘aib dan cela bagi seluruh keluarga, bukan
hanya terhadap isterinya semata. Jadi, para walinya ikut andil di dalam proses
persemendaan (perbesanan), baik ataupun buruknya.
Dalam hal ini, Abu
Hanifah membantah hadits ini dengan beragam jawaban:
Pertama, Terkadang
beliau mengeritik sanad (jalur transmisi) hadits yang menurutnya terdapat cacat,
yaitu adanya perkataan Imam az-Zuhriy kepada Sulaiman bin Musa, “Saya tidak
mengenal hadits ini.”
Kedua, mereka mengatakan bahwa lafazh “Bâthil” di
dalam teks hadits tersebut dapat dita’wil dan maksudnya adalah “Bishodadil
Buthlân wa mashîruhu ilaihi.” (Maka pernikahannya akan menuju kebatilan dan
berakibat seperti itu).
Ketiga, mereka berkata bahwa sesungguhnya yang
dimaksud dengan wanita (Mar`ah) di dalam teks hadits tersebut adalah wanita yang
gila atau masih kecil (di bawah umur)…
Dan bantahan-bantahan lainnya yang
tidak kuat dan sangat jauh dimana para ulama juga menanggapinya satu per-satu.
Tanggapan Terhadap Bantahan Tersebut
Terhadap Bantahan
Pertama, bahwa sebenarnya hadits tersebut memiliki banyak jalur yang berasal
dari para Imam-Imam Besar Hadits dan periwayat, bukan seperti yang dikatakan
oleh Abu Hanifah melalui perkataan Imam az-Zuhriy tersebut.
Terhadap
Bantahan Kedua, bahwa ta’wil tersebut tidak tepat dan amat jauh dari sasaran.
Terhadap Bantahan Ketiga dan seterusnya, bahwa nash-nash tentang hal itu
amat jelas sehingga tidak membutuhkan ta’wil-ta’wil semacam itu. wallahu a’lam.
Dalil-Dalil Pensyaratan Wali
Diantara dalilnya adalah
hadits yang telah dipaparkan diatas, dan mengenainya:
a. ‘Aliy al-Madiniy
berkata, “Shahîh”. Pensyarah berkata, “Ia dinilai Shahîh oleh al-Baihaqiy dan
para Huffâzh .”
Adl-Dliyâ` berkata, “Sanad para periwayatnya semua adalah
Tsiqât.”
b. Hadits tersebut juga telah dikeluarkan oleh al-Hâkim dan
bersumber dari 30 orang shahabat.
c. Imam al-Munawiy berkata, “Ia merupakan
hadits Mutawatir.”
Dalil lainnya:
- Bagi siapa yang merenungi
kondisi ‘aqad nikah dan hal-hal yang dibutuhkan padanya seperti perhatian
serius, upaya mencari mashlahat dan menjauhi dampak negatif dari pergaulan
suami-isteri, kondisi suami dan ada tidaknya kafâ`ah (kesetaraan), pendeknya
pandangan dan dangkalnya cara berfikir wanita serta mudahnya ia tergiur oleh
penampilan, demikian pula bagi siapa yang mengetahui kegigihan para walinya dan
keinginan mereka untuk membahagiakannya serta pandangan kaum lelaki yang
biasanya jauh ke depan….barangsiapa yang merenungi hal itu semua, maka tahulah
kita akan kebutuhan terhadap apa yang disebut Wali itu.
- Manakala kita mengetahui bahwa pernikahan tanpa wali hukumnya Fâsid (rusak),
lalu jika ia terjadi juga, maka ia tidak dianggap sebagai pernikahan yang sesuai
dengan syari’at dan wajib difasakh (dibatalkan) melalui hakim ataupun
thalaq/cerai oleh sang suami.
Sebab, pernikahan yang diperselisihkan
hukumnya perlu kepada proses Fasakh atau Thalaq, berbeda dengan pernikahan
Bâthil yang tidak membutuhkan hal itu.
Perbedaan Antara Pernikahan
Bâthil Dan Fâsid
- Bahwa terhadap pernikahan Bâthil, para ulama
telah bersepakat hukumnya tidak shah, seperti menikah dengan isteri ke-lima bagi
suami yang sudah memiliki empat orang isteri, atau menikah dengan saudara wanita
kandung dari isteri (padahal saudaranya itu masih shah sebagai
isteri)…Pernikahan seperti ini semua disepakati oleh para ulama kebatilannya
sehingga tidak perlu proses Fasakh.
- Sedangkan pernikahan Fâsid adalah
pernikahan yang diperselisihkan oleh para ulama mengenai shah nya seperti
pernikahan tanpa wali atau tanpa para saksi ; Ini semua harus melalui proses
Fasakh (pembatalan) oleh pihak Hakim atau proses Thalaq oleh sang suami.
- Bila seorang suami mencampuri isterinya melalui Thalaq Bâthil atau Fâsid,
maka dia berhak untuk mendapatkan mahar utuh (sesuai yang disebutkan dalam aqad
nikah, tidak boleh kurang) sebagai konsekuensi dari telah dicampurinya tersebut
(dihalalkan farjinya).
- Bila seorang wanita tidak memiliki wali dari kaum kerabatnya, atau mantan
budak wanita tidak mendapatkan mantan majikannya sebagai wali; maka yang
bertindak menjadi walinya ketika itu adalah sang Imam (penguasa) atau wakilnya,
sebab Sultan (penguasa) adalah bertindak sebagai wali orang yang tidak memiliki
wali.
- Perselisihan Para Ulama Mengenai Pensyaratan Keadilan Wali
Dalam hal ini
terdapat dua pendapat ulama:
1. Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad dalam riwayat
yang masyhur dari keduanya berpendapat bahwa seorang wali harus seorang yang
adil secara zhahirnya, sebab hal ini merupakan Wilâyah Nazhoriyyah (perwalian
yang memerlukan sudut pandang) sehingga si wanita ini tidak dizhalimi oleh wali
yang fasiq.
2. Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa keadilan itu
bukan merupakan syarat bagi seorang wali bahkan perwalian orang yang fasiq boleh
hukumnya karena dia boleh menjadi wali bagi pernikahan dirinya sendiri sehingga
perwaliannya atas orang selainnya shah hukumnya.
Pendapat ini juga merupakan
salah satu riwayat dari dua riwayat yang berasal dari Imam Ahmad. Juga merupakan
pendapat pilihan pengarang kitab al-Mughniy (Ibn Qudamah), pengarang kitab
asy-Syarh al-Kabîr, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim. Sedangkan
dari ulama kontemporer, pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh ‘Abdurrahman
as-Sa’diy.
Pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr berkata, “Dalil yang shahih
dan yang banyak diamalkan adalah bahwa ayahnya-lah yang memiliki wanita tersebut
sekalipun kondisinya tidak baik selama dia bukan kafir. Saya tegaskan,
berdasarkan pendapat inilah kaum Muslimin mengamalkannya.”
Rujukan - CD al-Mawsû’ah al-Hadîtsiyyah
- Al-Bassam, ‘Abdullah
bin ‘Abdurrahman, Tawdlîh al-Ahkâm, (Mekkah: Maktabah wa mathba’ah an-Nahdlah
al-Haditsah, 1414 H), Cet. 2
- ath-Thahhân, Mahmud, Taysîr Mushtholah
al-Hadîts, (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H), Cet.IX