Sepucuk Surat buat Akhi


Sepucuk Surat buat Akhi

Assalammualaikum Warahmatulah hiwabarokatuh,
Akhi, untuk kesekian kalinya kita bercakap-cakap. Walaupun tidak saling bertatap muka, walaupun isi pembicaraannya tidak melewati batas2 kewajaran, tapi hati merasakan sesuatu.
Sejujurnya, dihati ini ana menolak. Ana takut dibalik niat baik kita tsb (Insya Allah), syeitan selalu menanti kelengahan kita. Ana takut, yang semula niat suci hanya untuk minta keridhoan Allah SWT, tercemari oleh nafsu-nafsu dunia. Dibalik percakapan-percakapan tsb, timbul rasa senang.
Syeitan sudah memasang perangkapnya di hati ini. Ana takut hati yang semula ikhlas, menjadi timbul penyakit-penyakit hati. Sedangkan Allah telah berfirman:
"Dan janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu yang buruk." (Al-Isra:32)

Dulu, hati ini pernah mengalami hal seperti itu. Sekarang ana ingin menata hati ini yang telah terpecah-pecah hanya untuk mengharap ridhoNya.
Mungkin antum bisa menjaga hati antum. Tapi ana? Ana butuh perjuangan keras agar jangan sampai terjatuh untuk ke dua kalinya. Padahal ana sudah meminta antum agar bisa membicarakan persoalan melalui email. Dengan email, hanya pokok persoalan saja yang tertuang, Tidak ada senda gurau, kalaupun ada mungkin hanya sebuah simbol senyum. Awalnya, antum terima saran ana ini. Selanjutnya mungkin antum lupa pesan ana tsb. Ana hanya bisa bersuudzan, karena hanya alternatif 'lupa' itu saja yang bisa ana temukan. Karena ana teringat akan sepotong kalimat:
"Berikan penafsiran terbaik ttg apa yang engkau dengar, dan apa yang diucapkan saudaramu, sampai engkau menghabiskan semua kemungkinan dalam arah itu."

Akhi, kalau memang sudah ditakdirkanNYa, saat-saat itu hanya beberapa bulan lagi. Insya ALlah. Bersabaralah akh, janganlah antum torehkan sebersit garis hitam selama penantian itu. Ana yakin, antum tidak bermaksud untuk menorehkan noda itu.
Kelak, bila masa tsb telah tiba, semuanya milik antum. Yang dulunya diharamkan oleh Allah, menjadi halal bagi antum. Tetapi tunggulah untuk beberapa saat. Sebentar lagi. Selama menunggu, ada kesempatan untuk menata hati. Melalui suatu ikatan, Allah memberikan banyak keindahan & kemuliaan.

Akhi, semula ana menerima antum karena dien yang antum miliki. Bukan karena harta atau keluarga antum . Ana ingin kelak antum bisa membimbing ana untuk selalu bisa berjalan dijalanNya. Ana ingin kelak bisa berdakwah bersama antum. Ana ingin.. ingin... dan semua keinginan muncul, setelah antum meminta kesediaan ana untuk menemani antum dalam menempuh kehidupan ini. Ana khawatir, semuanya akan kandas ditengah jalan sebelum masa tsb telah tiba. Tentu antum tidak mengharapkan hal itu terjadi.

Bantu ana akh, bantu untuk tidak terlalu sering berhubungan. Hati ini masih rapuh sekali, retakan2 hati ini masih basah, belum merekat dengan erat. Jangan sampai retakan-retakan itu kembali menjadi puing-puing.
Sungguh, sulit sekali bagi ana untuk menatanya lagi.
Akhi, ana mohon periksalah hati ini. Sudahkan niat diikhlaskan hanya untuk mendapatkan ridho Allah? Atau karena ada yang lain? Karena kekecewaan terhadap seseorang atau lingkungan yang tidak sesuai dengan harapan? Allah Maha Pengampun akh, menangislah mohon ampunan apabila niat tsb sudah berubah kejalannya syeitan. Istighfar akhi.

Ana juga berkaca di diri ini, mungkin tindakan ana selama ini salah. Membantu antum merasa yakin atas tindakan antum sendiri.
Afwan akhi, bukan maksud ana menjerumuskan antum ke jalan syeitan. Ana juga ber-istighfar dan mohon ampun ke Yang Maha Besar AmpunanNya dan Maha Pedih siksaanNya atas kesalahan yang tidak ana sadari ini.

Malam ini, ana bermunajat kepadaNya. Mohon diluruskan jalan yang akan ana tempuh. Mohon ampun atas segala kekhilafan yang telah ana lakukan sebagai makhluk yang tidak luput dari segala kealpaan. Ya Rabbi, bersihkan hati ini dari kotoran-kotoran yang membuat hamba lalai dalam beribadah. Dari kejahatan-kejahatan yang terselubung yang tiada hamba sadari. Ampuni hamba ya Allah. Amin.

Akhi, semoga ini mewakili ana yang tidak berani untuk menghubungi antum. Dan semoga antum mengerti alasan mengapa selama ini ana jarang sekali untuk memulai suatu pembicaraan. Sekali lagi afwan, bila hal ini menganggu antum, ini semata2 ana lakukan buat kemaslahatan kita bersama.

Jazakummullah khairan katsira.
Wassalamu'alaikum warohmatulah hiwabarokatuh,

Tawakal ilaAllah


Tawakal ilaAllah

Pernahkah kita dalam mencapai suatu perkara, setelah kita berpenat lelah dan seratus peratus meletakkan tenaga dan keupayaan kita dan setelah kita yakin kita telah memberikan seluruh sumber yang ada namun hati kita masih resah seolah dunia masih tidak mengiktiraf usaha kita? Mungkin kerana kealpaan kita, kita terlupa yang Dia lah penentu segalanya. Dialah yang menentukan nilai rezeki dan setiap sesuatu untuk setiap daripada kita. Firman Nya :
Dan Dia memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya. Sungguh, Allah telah menentukan bagi setiap sesuatu” QS 65:3.
Tawakal daripada suku kata perkataan arabnya bermaksud mewakilkan urusan kepada pihak yang lain. Dan maksud ini dapat kita perluaskan lagi sebagai kepercayaan hati kepada wakil satu-satunya.
Dalam kita meletakkan perwakilan bagi suatu urusan kita, pastinya wakil kita itu diyakini kebenarannya (muntahal-hidayah), diyakini yang paling kuat (muntahal-quwwah), diyakini paling lancar (muntahal-fashahah) dan juga diyakini paling perhatian dan kasih sayang (muntahas-syafaqah). Bukankah semua sifat ini hanyalah milik Dia? Adakah makhluk yang diciptakanNya mempunyai semua sifat dia atas untuk kita sandarkan kepercayaan kita? Mana mungkin kerana hanya dari Dialah segalanya datang, dan kepadaNya segalanya kembali.
Di dalam kita menghadapi cabaran, Allah telah menyuruh kita untuk berserah kepadaNya. Namun ini bukanlah bermakna kita tidak perlu melakukan apa-apa dalam kita mencapai sesuatu itu. Firmannya lagi:
ketika dua golongan dari pihak kamu ingin mundur kerana takut, padahal Allah adalah Penolong mereka. Kerana itu, hendaklah kepada Allah sahaja orang-orang mukmin bertawakkal” QS 3;122
Bila kita hendak capai sesuatu, keinginan dan cita-cita tu hanya akan jadi mimpi dan angan-angan kosong yang tidak bernilai kalau kita tidak sertakan sekali dengan usaha. Rezeki tidak datang bergolek kalau kita tidak ikhtiar untuk cari. Dan pada usaha itulah hasil kita akan terjadi.
Tetapi usaha semata tidak bernilai di sisi Allah jika kita hanya mengharapkan usaha kita sedangkan kita lupa untuk meletakkan Allah sebagai yang Menentu. Jangan sekali kita meletakkan usaha kita menjadi neraca hasil kerana bukankah itu seolah kita mengiktiraf diri kita bagaikan berkuasa dan tidak perlu mengharap pada Ilahi?.Andai inilah yang kita lakukan, secara sendirinya kita menghitamkan hati kita dengan riya’ dan takabbur. Sedangkan hasil suatu itu adalah ketentuanNya, nikmatnya untuk memberikan menurut pertimbanganNya. Mungkin terjadi, mungkin tidak.
Namun Allah menjanjikan nikmat yang tidak disangka-sangka bagi mereka yang bertawakkal. Rasulullah bersabda :
Jika kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal maka Allah memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung, pagi keluar sarang dalam keadaan lapar, dan petangnya pulang ke sarang dalam keadaan kenyang.” HR At Tirmidziy.
Dalam bertawakal ada peringkat-peringkat yang boleh dijadikan kayu ukur kebergantungan kita;
a. Ketergantungan seseorang kepada Allah atas perlindungan dan pemenuhan keinginannya, sebagaimana keterikatan seorang pelanggan kepada pengacaranya. Ia menyerahkan sesuatu namun tiba suatu saat ia dapat mengambil kembali perjanjian, dan menyerahkannya kepada pihak lain, yang lebih dipercayai.
b. Kebergantungan seseorang kepada Allah bagaikan kebergantungan seoran bayi terhadap ibunya. Ia tidak mengenal orang lain selain ibunya, tidak merengek dan meminta susu kecuali kepada ibunya, ia tidak berserah diri kecuali kepada ibunya. Namun bayi itu dapat juga berbuat sesuatu yang diinginkannya di luar pengetahuan orang tuanya. Kebergantungannya kepada orang tau karena ketergantungan adanya keinginan yang tiada pada orang lain, selain ibunya.
c. Kebergantungan seseorang kepada Allah bagaikan kebergantungan seorang jenazah terhadap orang yang memandikannya. Si arwah tidak tahu lagi apa pun yang diperbuat oleh orang yang memandikannya. Ia menyerah terhadap perlakuan apapun yang diberikan kepadanya.
Maka kita jejaki kembali tawakkal kita, adakah sudah kita benar-benar mengharapkan dari Ilahi yang sepenuh-penuh takwa seperti yang dituntut ke atas kita.
Bila kita melakukan tawakkal, bukankah itu lebih tenang di hati kerana kita yakin Allah telah menentukan rezeki untuk setiap kita yang masing-masing ada bahagian sendiri. Bila kita yakin suatu rezeki itu ditentukan untuk kita, maka tidak perlu kita takut untuk orang lain mendapatnya pula.
Namun kita tidak akan tahu apa rezeki yang akan diberikan kepada kita kerana suatu usaha itu mungkin tidak mendatangkan hasil seperti yang kita harapkan. Mungkin lebih dari kita harapkan atau mungkin lebih teruk daripada jangkaan kita. Tapi bagi seorang yang hidupnya penuh dengan tawakkal kepada Allah tahu dan yakin bahawa itulah rezeki yang ditetapkan untuknya yang datang bukan sebagai ganjaran atau balasan kepada dia, namun sekadar ujian untuk menguji secebis iman di dada. Ini kerana dia yakin, segala apa yang dilakukan di dunia adalah kerana untuk memetik ganjarannya di syurga sana. Kita hanyalah penyemai benih keimanan dan diindahkan dengan tawakkal kerana tawakkal itu satu daripada pembuktian iman, yang meyakini Dialah segalanya, yang dinantikan bukan hasil dan ganjaran di muka bumi, tetapi adalah ganjaran abadi syurga firdausi. Dan kerana itulah orang yang benar bertawakkal, dia tidak akan takut untuk berusaha kerana tahu rezekinya datang dengan tidak disangka-sangka, dia akan terus berusaha untuk masa depannya, terus berusaha untuk mengatasi masalah yang dihadapinya disamping berusaha mengelak musibah kepada dirinya kerana dia yakin, setiap usaha yang dilakukannya hanyalah wasilah yang akan membenarkan dia untuk menggapai cinta Ilahi di jannah Ilahi..
Suatu tawakkal dan keyakinan yang kuat tanpa ikhtiar yang mengiringinya maka tidaklah sempurna, dan setinggi-tinggi ikhtiar akan sia-sia tanpa tawakkal, meyerah kepadaNya. Tawakkal yang benar adalah ikhtiar yang semaksimum mungkin disertakan keyakinan bahawa Dia lah penentu segalanya.”
Moga kita bertawakkal dengan sebenar tawakkal, diiringi dengan keikhlasan semata untukNya.
Wallahua’lam..

Tawakal ilaAllah

Tawakal ilaAllah

Pernahkah kita dalam mencapai suatu perkara, setelah kita berpenat lelah dan seratus peratus meletakkan tenaga dan keupayaan kita dan setelah kita yakin kita telah memberikan seluruh sumber yang ada namun hati kita masih resah seolah dunia masih tidak mengiktiraf usaha kita? Mungkin kerana kealpaan kita, kita terlupa yang Dia lah penentu segalanya. Dialah yang menentukan nilai rezeki dan setiap sesuatu untuk setiap daripada kita. Firman Nya :
Dan Dia memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya. Sungguh, Allah telah menentukan bagi setiap sesuatu” QS 65:3.
Tawakal daripada suku kata perkataan arabnya bermaksud mewakilkan urusan kepada pihak yang lain. Dan maksud ini dapat kita perluaskan lagi sebagai kepercayaan hati kepada wakil satu-satunya.
Dalam kita meletakkan perwakilan bagi suatu urusan kita, pastinya wakil kita itu diyakini kebenarannya (muntahal-hidayah), diyakini yang paling kuat (muntahal-quwwah), diyakini paling lancar (muntahal-fashahah) dan juga diyakini paling perhatian dan kasih sayang (muntahas-syafaqah). Bukankah semua sifat ini hanyalah milik Dia? Adakah makhluk yang diciptakanNya mempunyai semua sifat dia atas untuk kita sandarkan kepercayaan kita? Mana mungkin kerana hanya dari Dialah segalanya datang, dan kepadaNya segalanya kembali.
Di dalam kita menghadapi cabaran, Allah telah menyuruh kita untuk berserah kepadaNya. Namun ini bukanlah bermakna kita tidak perlu melakukan apa-apa dalam kita mencapai sesuatu itu. Firmannya lagi:
“ ketika dua golongan dari pihak kamu ingin mundur kerana takut, padahal Allah adalah Penolong mereka. Kerana itu, hendaklah kepada Allah sahaja orang-orang mukmin bertawakkal” QS 3;122
Bila kita hendak capai sesuatu, keinginan dan cita-cita tu hanya akan jadi mimpi dan angan-angan kosong yang tidak bernilai kalau kita tidak sertakan sekali dengan usaha. Rezeki tidak datang bergolek kalau kita tidak ikhtiar untuk cari. Dan pada usaha itulah hasil kita akan terjadi.
Tetapi usaha semata tidak bernilai di sisi Allah jika kita hanya mengharapkan usaha kita sedangkan kita lupa untuk meletakkan Allah sebagai yang Menentu. Jangan sekali kita meletakkan usaha kita menjadi neraca hasil kerana bukankah itu seolah kita mengiktiraf diri kita bagaikan berkuasa dan tidak perlu mengharap pada Ilahi?.Andai inilah yang kita lakukan, secara sendirinya kita menghitamkan hati kita dengan riya’ dan takabbur. Sedangkan hasil suatu itu adalah ketentuanNya, nikmatnya untuk memberikan menurut pertimbanganNya. Mungkin terjadi, mungkin tidak.
Namun Allah menjanjikan nikmat yang tidak disangka-sangka bagi mereka yang bertawakkal. Rasulullah bersabda :
Jika kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal maka Allah memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung, pagi keluar sarang dalam keadaan lapar, dan petangnya pulang ke sarang dalam keadaan kenyang.” HR At Tirmidziy.
Dalam bertawakal ada peringkat-peringkat yang boleh dijadikan kayu ukur kebergantungan kita;
a. Ketergantungan seseorang kepada Allah atas perlindungan dan pemenuhan keinginannya, sebagaimana keterikatan seorang pelanggan kepada pengacaranya. Ia menyerahkan sesuatu namun tiba suatu saat ia dapat mengambil kembali perjanjian, dan menyerahkannya kepada pihak lain, yang lebih dipercayai.
b. Kebergantungan seseorang kepada Allah bagaikan kebergantungan seoran bayi terhadap ibunya. Ia tidak mengenal orang lain selain ibunya, tidak merengek dan meminta susu kecuali kepada ibunya, ia tidak berserah diri kecuali kepada ibunya. Namun bayi itu dapat juga berbuat sesuatu yang diinginkannya di luar pengetahuan orang tuanya. Kebergantungannya kepada orang tau karena ketergantungan adanya keinginan yang tiada pada orang lain, selain ibunya.
c. Kebergantungan seseorang kepada Allah bagaikan kebergantungan seorang jenazah terhadap orang yang memandikannya. Si arwah tidak tahu lagi apa pun yang diperbuat oleh orang yang memandikannya. Ia menyerah terhadap perlakuan apapun yang diberikan kepadanya.
Maka kita jejaki kembali tawakkal kita, adakah sudah kita benar-benar mengharapkan dari Ilahi yang sepenuh-penuh takwa seperti yang dituntut ke atas kita.
Bila kita melakukan tawakkal, bukankah itu lebih tenang di hati kerana kita yakin Allah telah menentukan rezeki untuk setiap kita yang masing-masing ada bahagian sendiri. Bila kita yakin suatu rezeki itu ditentukan untuk kita, maka tidak perlu kita takut untuk orang lain mendapatnya pula.
Namun kita tidak akan tahu apa rezeki yang akan diberikan kepada kita kerana suatu usaha itu mungkin tidak mendatangkan hasil seperti yang kita harapkan. Mungkin lebih dari kita harapkan atau mungkin lebih teruk daripada jangkaan kita. Tapi bagi seorang yang hidupnya penuh dengan tawakkal kepada Allah tahu dan yakin bahawa itulah rezeki yang ditetapkan untuknya yang datang bukan sebagai ganjaran atau balasan kepada dia, namun sekadar ujian untuk menguji secebis iman di dada. Ini kerana dia yakin, segala apa yang dilakukan di dunia adalah kerana untuk memetik ganjarannya di syurga sana. Kita hanyalah penyemai benih keimanan dan diindahkan dengan tawakkal kerana tawakkal itu satu daripada pembuktian iman, yang meyakini Dialah segalanya, yang dinantikan bukan hasil dan ganjaran di muka bumi, tetapi adalah ganjaran abadi syurga firdausi. Dan kerana itulah orang yang benar bertawakkal, dia tidak akan takut untuk berusaha kerana tahu rezekinya datang dengan tidak disangka-sangka, dia akan terus berusaha untuk masa depannya, terus berusaha untuk mengatasi masalah yang dihadapinya disamping berusaha mengelak musibah kepada dirinya kerana dia yakin, setiap usaha yang dilakukannya hanyalah wasilah yang akan membenarkan dia untuk menggapai cinta Ilahi di jannah Ilahi..
Suatu tawakkal dan keyakinan yang kuat tanpa ikhtiar yang mengiringinya maka tidaklah sempurna, dan setinggi-tinggi ikhtiar akan sia-sia tanpa tawakkal, meyerah kepadaNya. Tawakkal yang benar adalah ikhtiar yang semaksimum mungkin disertakan keyakinan bahawa Dia lah penentu segalanya.”
Moga kita bertawakkal dengan sebenar tawakkal, diiringi dengan keikhlasan semata untukNya.
Wallahua’lam..

Antara Egoisme dan Sikap Mendahulukan Kepentingan Orang Lain


Antara Egoisme dan Sikap Mendahulukan Kepentingan Orang Lain


Apakah manusia adalah sosok egois yang mencintai dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain? Ataukah ia adalah sosok yang mementingkan orang lain di bandingkan dirinya dan mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan dirinya sendiri?
Ini adalah kajian yang menghabiskan banyak lembaran kajian psikologi, ilmu akhlak dan sosiologi. Kebanyakan pakar ilmu pengetahuan hampir sepakat bahwa secara alami manusia adalah egois dan mementingkan dirinya sendiri, dan ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya sendiri. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh lagi, bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang adalah tidak lebih dari suatu bentuk egoisme yang dibungkus dengan topeng. Orang yang mengorbankan dirinya dalam medan perjuangan untuk membela aqidahnya atau mempertahankan negaranya, ia melakukan hal itu untuk mendapatkan pahala Allah atau pujian manusia, atau juga kehormatan negeri yang ia tempati sehingga ia dapat mengambil manfaat dari kehormatan negeri tersebut. Namun demikian, di samping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan menyendiri, dan hal itu pada gilirannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebagian haknya untuk orang lain, sehingga dari kerjasamanya dengan mereka itu ia dapat mengambil manfaat berupa perwujudan kehormatan dan kepentingannya. Oleh karena itu, beberapa macam pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi bagian dari keharusan dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia. Jika Anda tidak membatasi kebebasan Anda saat berkendaraan di jalan raya dengan rambu-rambu jalan, niscaya Anda tidak akan dapat berkendaraan di jalan dengan aman, baik bagi jiwa Anda maupun bagi tubuh Anda. Jika Anda tidak membatasi perilaku Anda dalam bermu`amalah, dan menahan tangan Anda dari harta manusia, nisacya Anda tidak akan dapat menjamin keuntungan dan keamanan atas harta dan kekayaan Anda. Oleh karena itu, semangat undang-undang adalah dari satu segi untuk menjamin hak individu, dan dari segi lain untuk membatasi kebebasannya. Tunduk kepada undang-undang ini adalah suatu bentuk pendahuluan kepentingan orang lain dan pengorbanan. Dalam pandangan syari`ah, ia mungkin tidak mendapatkan pahala, dan dalam pandangan ahli etika dan moral ia barangkali tidak layak mendapatkan pujian, namun demikian hal itu adalah jaminan bagi keberaturan hidup dalam masyarakat yang mulia dan bahagia.
Sedangkan mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri Anda yang lebih dari itu, inilah yang dipuji oleh syari`ah dan oleh prinsip-prinsip akhlak. Ia adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain yang berdasarkan kesadaran pribadi, bukan karena paksaan undang-undang. Dan tidak didorong oleh kepentingan duniawi atau kenikmatan yang instan. Malah dalam tindakannya itu ia memilih untuk tidak mendapatkan daripada mendapatkan kesenangan pribadi, memilih payah daripada santai, memilih lapar daripada kenyang, dan memilih mati daripada hidup. Keindahan pengorbanannya itu tidak dirusak oleh keinginan untuk mendapatkan pahala atau pujian, karena pahala dan pujian itu adalah suatu perkara maknawi yang diharapkan dari alam ghaib. Siapa yang memberikan sesuatu manfaat material kepada manusia dengan harapan mendapatkan balasan maknawi, maka ia berarti telah memberikan suatu bukti bagi jiwa yang lebih banyak memberi dibandingkan mengambil. Sungguh, hal ini adalah kemuliaan dan ketinggian yang paling utama dan petunjuk kebaikan dan keutamaan yang paling kuat.
Kita berhutang budi dalam setiap kenikmatan hidup material maupun non-material terhadap orang-orang yang telah berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain. Kita berhutang dalam menikmati fasilitas listrik, mobil, kapal terbang dan radio terhadap para ilmuan jenius yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam laboratorium dan rumah mereka dan terus meneliti siang malam hingga mereka dapat memberikan kepada manusia hasil dari kerja keras dan penderitaan yang mereka tanggung. Berupa kenikmatan, pengetahuan, dan kesehatan yang dinikmati oleh milyaran manusia di Timur dan Barat.
Kita berhutang budi dalam bidang kelezatan ilmu pengetahuan kepada para pengarang, seperti sastrawan, ulama, muhadditsin, mufassirin dan filosof yang dengan tekun menghabiskan usia mereka untuk menulis dan memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan hikmah dan ilmu pengetahuan. Sementara orang lain sedang nyenyak tidur atau sedang sibuk dengan syahwat mereka. Ungkapan Az Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang mereka lakukan itu:
Aku bergadang untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan,
lebih ni`mat bagiku
Dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang
dengan wanita yang cantik
Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan
Lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat
Kita berhutang budi dalam memanfaatkan tanah negeri kita, hasilnya, dan lembaga-lembaga sosialnya, terhadap orang-orang tua kita yang telah mengolahnya dengan usaha dan jerih payah mereka, serta mereka tebus dengan darah dan arwah mereka, sehingga negeri ini sampai kepada kita dalam keadaan mulia dan bermartabat.
Kita juga berhutang budi dalam masalah aqidah dan agama kita yang kita banggakan ini, dan yang kita terus bicarakan tentang ni`mat Allah SWT kepada kita atas hidayah dan ajaran etika-Nya yang dianugerahkan kepada kita melalui agama ini, kepada generasi salaf saleh yang menanggung bermacam kesulitan dan derita dalam membawa risalah ini pada masa pertamanya, dan yang telah mengorbankan darah dan arwah mereka menghadapi musuh-musuh Islam untuk menyampaikan agama ini kepada orang-orang setelah mereka, mereka pula yang telah menghilangkan banyak rintangan yang disebarkan oleh para pencela, pengingkar dan pendusta agama ini. Para syuhada Masihiah di tiga abad pertama dari kelahiran Al Masih a.s adalah orang-orang yang telah berjasa kepada seluruh penganut Masihi yang merasakan kelezatan tunduk kepada Al Masih dan ajaran-ajarannya. Dan para syuhada Islam pada masa Rasul dan pada masa khalifah-khalifah setelah beliau, adalah orang-orang yang telah berjasa kepada seluruh umat manusia atas ni`mat Islam dan peradabannya yang abadi.
Demikianlah, kita sebagai generasi masa kini telah berhutang budi kepada generasi-genersai sebelumnya dalam seluruh apa yang kita ni`mati saat ini sebagai hasil dari pengorbanan, perjuangan dan sikap mereka yang mendahulukan kepentingan orang lain. Maka sepatutnyalah jika kita melanjutkan rangakaian pengorbanan mereka itu sehingga kita dapat menyampaikan keni`matan ini kepada generas-generasi berikutnya seperti yang telah dilakukan oleh generasi-generasi sebelum kita. Apakah generasi kita saat ini menghargai makna pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain? Apakah generasi kita berakhlak seperti ini, yang telah diperintahkan oleh syari`at Allah dan aturan-aturan akhlak?
Sebenarnya, kehidupan yang kita jalani saat ini hampir telah menghapus sisa-sisa akhlak manusiawi yang indah ini. Kemanapun Anda berjalan dan di manapun Anda perhatikan sisii-sisi kehidupan sosial kita saat ini, niscaya Anda akan menemukan egoisme yang telah mengalahkan segala hal. Anda dapati egoisme seorang Bapak yang menguasainya dalam hubungannya dengan anak-anaknya, egoisme suami/isteri yang menguasainya dalam hubungannya dengan isteri/suaminya, egoisme pemimpin yang menguasainya dalam hubungannya dengan masyarakat yang ia pimpin, egoisme orang-orang kaya dan orang berpunya yang amat tampak dalam sikap mereka terhadap orang-orang miskin, para pekerja dan para petani.
Egoisme telah menguasai seluruh elemen bangsa. Kalangan pedagang hanya mementingkan keuntungan perdagangannya, kalangan petani hanya mementingkan p ertaniannya, dan kalangan pegawai pemerintah hanya mementingkan pekerjaannya; egoisme inilah yang telah mencabut rasa percaya satu sama lain di antara masyarakat, yang memutuskan ikatan kasih sayang antar anggota keluarga, dan melemahkan ikatan kemanusiaan antar manusia. Sehingga seorang tetangga menjauh dengan tetangganya, dan seorang sahabat menghindar dari sahabatnnya, pada saat kita sedang amat membutuhkan kerjasama untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dan problem kehidupan. Namun demikian, dalam masyarakat kita masih ada sisa-sisa sipat mementingkan orang lain yang memberikan harapan akan lenyapnya egoisme ini dalam masyarakat kita.
Yaitu mereka yang telah menyerahkan jiwa mereka untuk menjadi syahid dalam membebaskan Palestina, mereka yang telah mengorbankan arwah mereka dalam perjuangan kemerdekaan negeri kita, mereka yang telah membantu lembaga-lembaga sosial dengan dana dan usaha mereka, dam mereka yang menyediakan diri mereka sebagai pembawa obor reformasi masyarakat saat masyarakat berada dalam kealpaan mereka. Mereka itu adalah pionir-pionir pembawa semangat pengorbanan dan sipat mementingkan orang lain. Kita berharap semoga bilangan mereka itu terus bertambah secara kualitas dan kuantitas dengan berjalannya waktu.

Pembaca yang budiman!

Kita berada di bulan yang mulia, yang mengajak kepada kebaikan dan mendorong kepada sikap mementingkan orang lain. Oleh karena itu, marilah kita memperhatikan prinsip-prinsip sikap ‘iitsar’ mementingkan orang lain dalam aqidah kita, dan pengaruh hal itu dalam sejarah kita. Dari situ kita dalam dapat menyingkap semerbak kemanusiaan yang mulia, yang pada saat ini telah ditutupi oleh ambisi dan hawa nafsu.
Saat Rasulullah Saw dan para sahabat beliau melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau mempersaudarakan antara kaum mu`minin dari kalangan Muhajirin dengan kaum mu`minin dari kalangan Anshar. Yaitu dengan menjadikan bagi setiap individu dari Anshar seorang saudara dari kalangan Muhajir. Maka saudara dari kalangan Anshar itu membawa saudaranya yang berasal dari kalangan Muhajirin ke rumahnya, untuk kemudian membagi dua semua yang ia miliki dengan saudaranya dari muhajirin itu; ia membagi dua hartanya, pakaiannya, makanannya, kendaraannya, dan memperlakukannya di hadapan dirinya dan keluarganya sebagai seorang kekasih terhadap kekasihnya. Ia tidak segan-segan membantunya, dan memberikan nasihat serta uluran tangan. Sehingga kalangan muhajirin melupakannya penderitaan mereka yang telah meninggalkan kampung halamannya, keluarganya dan kekayaannya. Sehingga Al Quran mencatat fenomena iitsaar ‘mementingkan orang lain’ yang terpuji ini untuk dijadikan pelajaran abadi bagi generasi-generasi berikutnya. Bacalah firman Allah SWT berikut ini:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr: 9)
Allah berfirman tentang orang-orang yang mengorbankan arwah mereka dalam membela kebenaran dan kebaikan, sebagai berikut:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Ali Imraan: 169.)
Dan berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang melakukan kebaikan tidak karena tujuan mendapatkan pujian dan balasan dari orang lain, sebagai berikut:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al Insaan: 8-9)
Saat Rasulullah Saw memutuskan untuk melakukan hijrah dari rumah beliau yang telah dikepung oleh kaum Musyrikin dan mereka berniat untuk membunuh beliau, tempat tidur beliau digantikan oleh anak paman beliau, Ali bin Abi Thalib r.a. Ia memilih untuk menjadi korban bagi Rasulullah Saw, dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng hidup menghadapi pedang-pedang kalangan Musyrikin yang siap memotong tubuhnya dan menghilangkan nyawanya. Dengan begitu, ia telah rela mengorbankan dirinya bagi Rasulullah Saw pembawa hidayah bagi seluruh umat manusia.
Saat manusia mengalami derita kelaparan dan kekeringan pada masa Umar r.a., Umar hanya sempat tidur sekejap dan hanya dapat beristirahat sebentar. Seluruh perhatiannya ditujukan untuk menghilangkan bencana kelaparan itu dari rakyatnya. Usahanya itu terus membebaninya, sehingga tubuhnya berubah menjadi hitam, dan melemah. Sehingga orang yang melihat dirinya seperti itu ada yang berkata: “seandainya bencana kelaparan ini terus berlangsung beberapa bulan lagi, niscaya Umar bisa mati karena sedih dan menderita melihat penderitaan rakyatnya”.
Suatu hari datang kafilah pembawa barang dari Mesir yang membawa daging, minyak samin, makanan, dan bahan pakaian, kemudian ia membagi-bagikan semua itu sendiri kepada masyarakat, dan tidak mau sedikitpun mengambil bagian. Ia kemudian berkata kepada kepala rombongan kafilah: “aku mengundangmu untuk makan dirumahku nanti”. Si kepala kafilah langsung membayangkan makanan yang lezat-lezat. Karena ia menyangka bahwa makanan yang dikonsumsi oleh Amirul Mu`minin tentunya lebih baik dan lebih lezat dari makanan rakyat biasa. Maka dengan semangat ia datang ke rumah Umar, sambil menahan lapar, haus dan rasa capai. Di sana, Umar segera menyiapkan makanan baginya. Namun yang membuat sang tamu tercengang adalah ternyata makanan yang dikonsumsi oleh Amirul Mu`minin bukanlah makanan yang berupa daging, minyak saming, daging bakar maupun manis-manisan. Makanannya ternyata tak lebih dari potongan-potongan roti hitam yang kering, dengan berlauk sepiring minyak. Hal itu membuat sang tamu amat terkejut, maka ia segera bertanya kepada Umar: “mengapa engkau melarangku untuk makan bersama orang lain berupa makanan dari daging dan minyak samin, malah engkau menghidangkan kepadaku makanan yang sama sekali tidak layak dikonsumsi ini?”. Umar menjawab: “Aku hanya memberikan makanan kepadamu dengan makanan yang biasa aku konsumsi”. Ia kembali bertanya: “apa yang menghalangimu untuk memakanan makanan yang sama dikonsumsi oleh masyarakat, padahal engkau sendiri yang telah membagi-bagikan daging kepada masyarakat?”. Umar menjawab: “aku telah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak memakan minyaki samin dan daging hingga kaum Muslimin seluruhnya telah kenyang dengan kedua macam makanan itu”.
Alangkah hebatnya sipat iitsaar ‘mementingkan orang lain’ yang telah diperlihatkan oleh Umar itu bukan? Dan apakah ada bandingnya sikapnya itu di dunia ini?
Sejarah telah menceritakan kepada kita sumbangsih dan pengorbanan yang telah diberikan oleh kaum wanita Paris pada saat perang tahun tujuh puluhan (abad 19). Hingga mereka dengan suka rela menyerahkan perhiasan-perhiasan mereka untuk membantu membayar denda yang dikenakan oleh Jermah atas penduduk Paris sebagai tebusan untuk membebaskan mereka dari kepungan militer. Sikap kaum wanita Paris adalah suatu contoh yang bagus tentang pendahuluan kepentingan umum dan pengorbanan. Namun, apakah tingkat pengorbanan mereka itu mampu menyamai besarnya pengorbanan kalangan wanita kaum Muslim pada masa Rasulullah Saw, saat Rasulullah Saw mendorong mereka untuk memberikan sumbangan dan shadaqah, dan secara spontan seluruh kaum wanita mencopot segala perhiasan mereka hingga tidak tersisa sedikitpun dan mereka berikan kepada Rasulullah Saw, untuk kemudian beliau pergunakan harta tersebut bagi kepentingan kaum Muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sumbangan pada saat perang untuk menghadapi gempuran musuh adalah suatu tindakan yang amat terpuji. Namun memberikan sumbangan pada saat damai sebagai sumbangsih bagi proyek-proyek kemaslahatan umum sambil mengharapkan balasan Allah SWT adalah suatu tindakan yang lebih terpuji lagi. Tidak aneh jika jasa kaum wanita kita yang mendermakan perhiasan-perhiasan mereka pada saat damai, adalah lebih abadi dan lebih terpuji dari tindakan wanita Paris yang telah mendermakan perhiasan mereka pada saat perang.

Para pembaca yang budiman

Di antara wanita kita yang saleh, adalah wanita ahli ibadah yang dikenal dalam sejarah dengan nama Rabi`ah `Adawiah. Di antara untaian kalimat munajatnya kepada Allah SWT yang ia lantunkan dalam ibadahnya adalah kalimat-kalimat yang abadi ini:
“Ya Allah, aku beribadah kepada-Mu bukan karena takut terhadap api neraka-Mu, juga bukan karena mengharapkan surga-Mu. Namun hal itu aku lakukan karena memang Engkau berhak untuk disembah”. Dan ia sering menyenandungkan sya`ir ini:
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta hawa nafsu
Dan cinta karena Engkau memang layak untuk dicintai
Lantas, mengapa kita tidak dapat mencapai ketinggian jiwa dan keagungan sikap mementingkan orang serta pengorbanan seperti yang dicapai oleh Rabi`ah `Adawiyah; yaitu kita mengerjakan kebaikan semata karena hal itu baik, dan untuk kepentingan umum manusia, dengan tidak mengharapkan pujian dan balasan dari mereka, namun hal itu kita lakukan semata karena Allah SWT ?. Mengapa kita tidak melakukan kebaikan bagi saudara-saudara kita, tetangga-tetangga kita dan manusia seluruhnya, kita mengingat kebutuhan mereka sebelum kebutuhan kita, dan kepentingan mereka sebelum kepentingan kita, tanpa menunggu bayaran dan balasan?
Wahai manusia, ingatlah selalu firman Allah SWT berikut ini:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al Insaan: 8-9)

Dosa Tanpa Taubat Hati Akan Hitam


Dosa Tanpa Taubat Hati Akan Hitam

HATI adalah organ yang paling utama dalam tubuh manusia dan nikmat paling agung diberikan oleh Allah. Hati menjadi tempat Allah membuat penilaian terhadap hamba-Nya. Pada hatilah letaknya niat seseorang. Niat yang ikhlas itu akan diberi pahala oleh Allah.

Hati perlu dijaga dan dipelihara dengan baik agar tidak rosak, sakit, buta, keras dan lebih-lebih lagi tidak mati. Sekiranya berlaku pada hati keadaan seperti ini, kesannya adalah membabitkan seluruh anggota tubuh badan manusia. Maka, akan lahirlah penyakit masyarakat berpunca dari hati yang sudah rosak itu.

Justeru, hati adalah amanah yang wajib dijaga sebagaimana kita diamanahkan untuk menjaga mata, telinga, mulut, kaki, tangan dan sebagainya daripada berbuat dosa dan maksiat.

Hati yang hitam ialah hati yang menjadi gelap kerana dosa. Setiap satu dosa yang dilakukan tanpa bertaubat itu akan menyebabkan terjadinya satu titik hitam pada hati. Itu baru satu dosa. Maka bayangkanlah bagaimana pula kalau sepuluh dosa? Seratus dosa? Seribu dosa? Alangkah hitam dan kotornya hati ketika itu.

Perkara ini jelas digambarkan dalam hadis Rasulullah bermaksud: “Siapa yang melakukan satu dosa, maka akan tumbuh pada hatinya setitik hitam, sekiranya dia bertaubat akan terkikislah titik hitam itu daripada hatinya.

Jika dia tidak bertaubat, maka titik hitam itu akan terus merebak hingga seluruh hatinya menjadi hitam.” (Hadis riwayat Ibn Majah).

Hadis ini selari dengan firman Allah yang bermaksud “Sebenarnya ayat-ayat Kami tidak ada cacatnya, bahkan mata hati mereka telah diseliputi kekotoran dosa dengan sebab perbuatan kufur dan maksiat yang mereka kerjakan.” (Surah al-Muthaffifiin, ayat 14).

Hati yang kotor dan hitam akan menjadi keras. Apabila hati keras, kemanisan dan kelazatan beribadat tidak dapat dirasakan. Ia akan menjadi penghalang kepada masuknya nur iman dan ilmu. Belajar sebanyak mana pun ilmu yang bermanfaat atau ilmu yang boleh memandu kita, namun ilmu itu tidak akan masuk ke dalam hati, kalau pun kita faham, tidak ada daya dan kekuatan kita untuk mengamalkannya.

Allah berfirman yang bermaksud “Kemudian selepas itu, hati kamu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Pada hal antara batu-batu itu ada yang terpancar dan mengalir sungai daripadanya, dan ada pula antaranya yang pecah-pecah terbelah lalu keluar mata air daripadanya.

“Dan ada juga antaranya yang jatuh ke bawah kerana takut kepada Allah sedang Allah tidak sekali-kali lalai daripada apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-Baqarah, ayat 74).

Begitulah Allah mendatangkan contoh dan menerangkan bahawa batu yang keras itu pun ada kalanya boleh mengalirkan air dan boleh terpecah kerana amat takutkan Allah.

Oleh itu, apakah hati manusia lebih keras daripada batu hingga tidak boleh menerima petunjuk dan hidayah daripada Allah.

Perkara yang paling membimbangkan ialah apabila hati mati akan berlakulah kemusnahan yang amat besar terhadap manusia.

Matinya hati adalah bencana dan malapetaka besar yang bakal menghitamkan seluruh kehidupan. Inilah natijahnya apabila kita lalai dan cuai mengubati dan membersihkan hati kita. Kegagalan kita menghidupkan hati akan dipertanggungjawabkan oleh Allah pada akhirat kelak.

Persoalannya sekarang, kenapa hati mati? Hati itu mati disebabkan perkara berikut:

Pertama: Hati mati kerana tidak berfungsi mengikut perintah Allah iaitu tidak mengambil iktibar dan pengajaran daripada didikan dan ujian Allah.

Allah berfirman bermaksud “Maka kecelakaan besarlah bagi orang yang keras membatu hatinya daripada menerima peringatan yang diberi oleh Allah. Mereka yang demikian keadaannya adalah dalam kesesatan yang nyata.” (Surah al-Zumar, ayat 22).

Kedua: Hati juga mati jika tidak diberikan makanan dan santapan rohani sewajarnya. Kalau tubuh badan boleh mati kerana tuannya tidak makan dan tidak minum, begitulah juga hati.

Apabila ia tidak diberikan santapan dan tidak diubati, ia bukan saja akan sakit dan buta, malah akan mati akhirnya.

Santapan rohani yang dimaksudkan itu ialah zikrullah dan muhasabah diri.

Oleh itu, jaga dan peliharalah hati dengan sebaik-baiknya supaya tidak menjadi kotor, hitam, keras, sakit, buta dan mati. Gilap dan bersihkannya dengan cara banyak mengingati Allah (berzikir).

Firman Allah bermaksud “Iaitu orang yang beriman dan tenteram hati mereka dengan mengingati Allah. Ketahuilah! Dengan mengingati Allah itu tenang tenteramlah hati manusia.” (Surah al-Ra'd, ayat 28)

Firman-Nya lagi bermaksud “Hari yang padanya harta benda dan anak-anak tidak dapat memberikan sebarang pertolongan, kecuali harta benda dan anak-anak orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat sejahtera daripada syirik dan munafik.” (Surah al-Syura, ayat 88 - 89)

Sucikanlah 4 hal dengan 4 perkara :
"Wajahmu dengan linangan air mata keinsafan,
Lidahmu basah dengan berzikir kepada Penciptamu,
Hatimu takut dan gementar kepada kehebatan Rabbmu,
..dan dosa-dosa yang silam di sulami dengan taubat kepada Dzat yang Memiliki mu."

"sampaikanlah walau satu ayat" al hadis

Etika Membaca Al-Qur'An:


Etika Membaca Al-Qur'An:

1.     Sebaiknya orang yang membaca Al-Qur'an dalam keadaan sudah berwudhu, suci pakaiannya, badannya dan tempatnya serta telah bergosok gigi.
2.     Hendaknya memilih tempat yang tenang dan waktunya pun pas, karena hal tersebut lebih dapat konsentrasi dan jiwa lebih tenang.
3.     Hendaknya memulai tilawah dengan ta`awwudz, kemudian basmalah pada setiap awal surah selain selain surah At-Taubah. Allah berfirman yang artinya:
"Apabila kamu akan membaca al-Qur'an, maka memohon perlindungan-lah kamu kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk". (An-Nahl: 98).
4.     Hendaknya selalu memperhatikan hukum-hukum tajwid dan membunyikan huruf sesuai dengan makhrajnya serta membacanya dengan tartil (perlahan-lahan). Allah berfirman yang artinya:
"Dan Bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan". (Al-Muzzammil: 4).
5.     Disunnatkan memanjangkan bacaan dan memperindah suara di saat membacanya. Anas bin Malik pernah ditanya:
Bagaimana bacaan Nabi (terhadap Al-Qur'an? Anas menjawab: "Bacaannya panjang (mad), kemudian Nabi membaca "Bismillahirrahmanirrahim" sambil memanjangkan Bismillahi, dan memanjangkan bacaan ar-rahmani dan memanjangkan bacaan ar-rahim". (HR. Al-Bukhari).
Dan Nabi juga bersabda:
"Hiasilah suara kalian dengan Al-Qur'an". (HR. Abu Daud, dan dishahih-kan oleh Al-Albani).
6.     Hendaknya membaca sambil merenungkan dan menghayati makna yang terkandung pada ayat-ayat yang dibaca, berinteraksi dengannya, sambil memohon surga kepada Allah bila terbaca ayat-ayat surga, dan berlindung kepada Allah dari neraka bila terbaca ayat-ayat neraka. Allah berfirman yang artinya:
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran." (Shad: 29).
Dan di dalam hadits Hudzaifah ia menuturkan:
"......Apabila Nabi terbaca ayat yang mengandung makna bertasbih (kepada Allah) beliau bertasbih, dan apabila terbaca ayat yang mengandung do`a, maka beliau berdo`a, dan apabila terbaca ayat yang bermakna meminta perlindungan (kepada Allah) beliau memohon perlindungan". (HR. Muslim).
Allah berfirman yang artinya:
7.     Hendaknya mendengarkan bacaan Al-Qur'an dengan baik dan diam, tidak berbicara. Allah berfirman yang artinya:
"Dan apabila Al-Qur'an dibacakan, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu men-dapat rahmat". (Al-A`raf: 204).
8.     Hendaklah selalu menjaga al-Qur'an dan tekun membacanya dan mempelajarinya (bertadarus) hingga tidak lupa. Rasulullah bersabda:
"Peliharalah Al-Qur'an baik-baik, karena demi Tuhan yang diriku berada di tangan-Nya, ia benar-benar lebih liar (mudah lepas) dari pada unta yang terikat di tali kendalinya". (HR. Al-Bukhari).
9.     Hendaknya tidak menyentuh Al-Qur'an kecuali dalam keadaan suci. Allah telah berfirman yang artinya:
"Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan". (Al-Waqi`ah: 79).
10.  Boleh bagi wanita haid dan nifas membaca al-Qur'an dengan tidak menyentuh mushafnya menurut salah satu pendapat ulama yang lebih kuat, karena tidak ada hadits shahih dari Rasulullah yang melarang hal tersebut.
11.  Disunnatkan menyaringkan bacaan Al-Qur'an selagi tidak ada unsur yang negatif, seperti riya atau yang serupa dengannya, atau dapat mengganggu orang yang sedang shalat, atau orang lain yang juga membaca Al-Qur'an.
12.  Termasuk sunnah adalah berhenti membaca bila sudah ngantuk, karena Rasulullah bersabda:
"Apabila salah seorang kamu bangun di malam hari, lalu lisannya merasa sulit untuk membaca Al-Qur'an hingga tidak menyadari apa yang ia baca, maka hendaknya ia berbaring (tidur)". (HR. Muslim). 

FUTUR


FUTUR

Dalam hidup akan banyak ditemui bermacam jalan. Kadang datar, kadang menurun. Kadang  pula meninggi. Begitu pula dalam perjalanan dakwah. Ada saatnya para Muharrik (orang yang bergerak) menemui jalam yang lurus dan mudah. Namun tidak jarang menjumpai onak dan duri. Hal demikian juga terjadi pada muharrik. Satu saat ia memilikikondisi iman yang tinggi. Di saat lain, iapun dapat mengalami degradasi iman. tabiat manusia memang menggariskan demikian.
            Dalam salah satu haditsnya Rosulullah SAW bersabda : “hati manusia itu bisa berkarat sebagaimana berkaratnya besi. Lalu sahabat bertanya, “bagaimana cara mengobatinya ya Rasulallah ?”. jawab Rasul : “Membaca Alquran dan ingat mati”. Syarah dari hadits ini mensiratkan satu hal. Iman manusia tidak konstan. Ia dapat berubah. Karena itu dalam hadits yang lain, Rosul menyuruh para sahabat dan kita sekalian untuk selalu memperbaharui iman.
            Dalam kondisi iman yang turun ini, para mutaharrik kadang terkena satu penyakit yang membahayakan kelangsungan harakah. Yaitu penyakit futur.

Makna Futur

            Secara bahasa Futur berarti putusnya kegiatan setelah kontinyu bergerak. Juga dapat berarti dalam diam setelah bergerak. Atau : malas, lamban dan santai setelah sungguh-sungguh. Penyakit futur ini menimpa orang-orang yang telah bergerak. Ia tidak menimpa orang yang tidak atau belum bergerak.
            Berjangkitnya penyakit futur pada diri muharrik dapat menimbulkan beberapa atsar (pengaruh), baik bagi diri muharrik itu sendiri maupun kepada harakah yang tengah berlangsung. Bagi para muharrik, futur menyebabkan sedikitnya simpanan taat yang dimiliki. Padahal, taat merupakan syarat bagi berlangsungnya amal yang ikhlas. Tanpa taat, sulit bagi muharrik melaksanakan program harakah yang notabene tidak pernah mengiminginya dengan balasan duniawi. Bagi harakah sendiri, futur menyebabkan panjangnya jalan yang harus ditempuh. Ini merupakan akibat logis dari tidak mustamirnya amal yang dilaksanakan. Harakah  yang tidak mustamir hanya menghasilkan bangunan islam yang juz’iyah (parsial). Bangunan yang seharusnya dapat diselesaikan dalam kurun waktu tetentu, menjadi terbengkalai karena terhentinya gerak pembangunan.
            Terjadinya futur bagi muharrik, sebenarnya merupakan hal yang wajar. Asal saja tidak mengakibatkan terlepasnya muharrik dari harokah dan jamaahnya. Hanya malaikat yang mampu kontinyu mengabdi kepeda Allah dengan kualitas terbaik.
Firman Allah : “dan kepunyaan-Nyalah segala apa yang dilangit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang di sisiNya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembahNya dan tidak pula mersa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada hentinya” (QS. Al-Anbiya:19-20).
Karena itu Rasulallah sering berdoa:
Artinya:”Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku akhirnya. Ya Allah,jadikanlah sebaik-baik amalku keridloan-Mu. Ya Allah,jadikahlah sebaik-baik hariku saat bertemu dengan-Mu”.

Penyebab Futur

            Walaupun futur merupakan hal yang mungkin terjadi bagi muharri, ada beberapa penyebab yang dapat menyegerakan timbulnya :



1.      berlebihan dalam din

berlebihan dalam din, dengan pemaksaan diri dalam melaksanakan ibadah, hanya mengakibatkan kelelahan fisik dan mental. Tubuh dan jiwa manusia hanya dapat memikul  beban berat untuk satu waktu tertentu. Jika ia didera untuk memikulnya, maka yang terjadi adalah pelanggaran terhadap fitrahnya sendiri. Dalam suatu hadits riwayat anas ra : Prenah datang serombongan sahabat yang terdiri dari tiga orang ke rumah Rasulullah. Mereka menanyakan perihal ibadah Rasulullah kepada istri-istri beliau. Setelah mendengarkan ketekunan ibadah Beliau, sadarlah mereka akan sedikitnya ibadah yang mereka lakukan selama ini. sehingga berkata seorang diantara mereka : “saya akan sholat sepanjang malam. Yang kedua berkata “ saya akan puasa selamanya. Yang ketiga menyambung “ saya akan menjauhi istri dan tidak akan kawin”. Mendengar itu semua, Nabi lalu mendatangi mereka. Seraya berkata : “ demi Allah saya lebih takut kepada Allah dari kamu, bahkan saya lebih bertaqwa. Namun saya berpuasa dan berbuka, saya sholat dan tidur. Juga saya kawin. Barang siapa mengabaikan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku”. (HR. Bukhari dan Muslim).
      Dalam hadits yang lain Rasul bersabda:
“ Sesungguhnya Din itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulitnya kecuali akan dikalahkan”. (HR. Muslim )
      Karena itu, amal yang paling di sukai Allah adalah yang sedikit dan kontinyu.

2.      Belebih-lebihan dalam hal yang mubah.

Mubah adalah sesuatu yang dibolehkan. Namun para sahabat sanagat menjaganya. Mereka lebih memilih untuk menjauhkan diri dari hal yang mubah karena takut terjatuh pada yang haram. Berlebihan dalam makanan menyebabkan seseornag menjadi gemuk. Kegemukan akan memberatkan badan. Sehingga orang menjadi malas. Malas membuat seseorang menjadi santai. Dan santai mengakibatkan kemunduran. Karena itu secara keseluruhan hal ini menghalangi untuk berharakah.


3.      Memisahkan diri dari jamaah

Jauhnya seseorang dari jamaah membuatnya mudah didekati syaitan. Rasul bersabda : “ Syaitan itu akan menerkam manusia yang menyendiri, seperti serigala menerkam domba yang terpisah dari kawanannya”. (HR. Ahmad)
Jika syaitan telah memasuki hatinya, maka tak sungkan hatinya akan melahirkan zhon ( prasangka ) yang tidak pada tempatnya kepadajamaah dan harakah. Jika berlanjut ,hal ini menyebabkan hilangnya siqoh (kepercayaan) kepada jamaah dan harakah.
Dengan jamaah, seseorang akan selalu mendapatkan adanya kegiatanyang selalu baru. Ini terjadi karena jamaah merupakan kumpulan pribadi, yang masing-masing memilii gagasan dan ide baru. Sedang tanpa jamaah seseorang dapat terperosok kepada kebosanan yang terjadi akibat kerutinan. Karena itu imam Ali berkata : “ sekeruh-keruh hidup berjamaah, lebih baik dari bergemingnya hidup sendiri”.

4.      Sedikit mengingat akhirat

Banyak mengingat kehidupan akhirat membuat seseorang giat beramal. Selalu diingat akan adanya hisab atas setiap amalnya. Kebalikannya, sedikit mengingat kehidupan akhirat menyulitkan seseorang untuk giat beramal. Ini disebabkan tidak adanya pemacu amal berupa keinginan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah pada hari yaumul hisab nanti. Karena itu Rasulullah bersabda : “jika sekiranya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan banyak menangis dan sedikit tertawa”.

5.      Melalaikan amalan siang dan malam

Pelaksanaan ibadah secara tekun, membuat seseorang selalu ada dalam perlindungan Allah. Selalu tejaga komunikasi sambung rasa antara ia dengan Allah. ini membuatnya mempersiapkan kondisi ruhiyah yang baik sebagai dasar untuk berharakah. Namun sebaliknya, kelalaian untuk melaksanakan amalan, berupa rangkaian ibadah baik yang wajib  maupun sunnah, dapat membuat seseorang terjerumus untuk dikit demi sedikit merenggangkan hubungannya dengan Allah. jika ini terjadi, maka sulit baginya menjaga kondisi ruhiyah dalam keadaan taat kepada Allah. kadang hal ini juga berkaitan dengan kemampuan untuk berbicara kepada hati. Harakah yang benar, selalu memulainya dengan memanggil hati manusia, sementara sedikitnya pelaksanaan ibadah membuatnya sedikit memiliki cahaya.
      Allah berfiman : “Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) Oleh Allah, tiadalah ia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS. 24:40)
      Barang siapa tidak memiliki (ruh), maka ia tidak dapat memberi.

6.      Masuknya barang haram ke dalam perut

7.      Tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan.

Setiap perjuangan sunnatullaNya selalau menghadapi tantangan. Al Haq dan Al Bathil selalu berusaha untuk memperbesar pengaruhnya masing-masing. Akan selalu ada orang-orang Pendukung islam. Di lain pihak akan selalu tumbuh orang-orang pendukung hawa nafsu. Dan dalam waktu yang Allah kehendaki akan bertemu dalam suatu “fitnah”. Dalam bahasa arab, kata “fitnah” berasal dari kata yang digunakan untuk menggambbarkan proses penyaringan emas dari batu-batu lainnya. Karena itu “fitnah” merupakan sunnatullah yang akan mengenai para muharrik. Dengan “fitnah” Allah juga menyaring siapa hamba yang masuk golongan shodiqin dan siapa yang kadzib (dusta). Dan jika fitnah itu datang, sementara iatidak siap menerimanya, besar kemungkinan akan terjadi pengubahan orientasi dalam harakahanya. Dan itu membuat futur. Allah Berfiman :
“ Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka hati-hatilah kamu terhadap mereka.” (QS. 64:14)

8.      Bersahabat dengan orang-orang yang lemah

Kondisi lingkungan (biah), dapat menentukan kualitas seseorang. Teman yang baik akan melahirkan lingkungan yang baik. Akan tumbuh suasana ta’awun dan saling menasehatkan. Sementara teman yang buruk dapat melunturkan hamazah (kemauan) yang semula telah menjadi tekad. Karena itu Rasulullah bersabda :
“Seseorang atas diri sahabtnya, hendaklah melihat salah seorang diantara kalian siapa ia berteman”. (HR. Abu Daud).

9.      Spontanitas dalam beramal

Amal yang tidak terencana – tidak memiliki tujuan sasaran dan sarana yang jelas tidak dapat melahirkan hasil yang diharapkan. Hanya akan timbul kepenatan dalam berharakah, sementara hasil yang ditunggu tak kunjung datang. Karena itu setiap amal harus memiliki minhajiatul amal ( Sistematika kerja ). Hal ini akan membuat ringan dan mudahnya suatu amal.

10.  Terjatuh ke dalam kemaksiatan

      Pebuatan maksiat membuat hati tertutup dengan kefasikan. Jika kondisi ini terjadi, sulit diharapkan seorang muharrik mampu beramal untuk jamaahnya. Bahkan untuk menjaga diri sendiripun sulit.


Pengobatannya

      Untuk mengobati penyakit futur ini, beberapa ulama memberikan beberapa resep.

1.      Jauh dari kemaksiatan

      Kemaksiatan akan mendatangkan kemungkaran Allah. Dan pada akhirnya membawa kepada kesesatan. Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan –Ku menimpamu. Dan barang siapa di timpa musibah oleh kemurkaan-Ku, makabinasalah ia”. (QS. 20;81)

Jauh dari kemaksiatan akan mendatangkan hidup yang akan lebih berkah. Dengan keberkahan ini orang dapat terhindar dari penyakit futur. Allah berfirman :
“ Jikalau penduduk negri-negri beriman dan bertaqwa, pastilah kami melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan dari bumi”. (QS. 7:96)

2.      Tekun mengamalkan amalan siang dan malam

Amalan sian dan malam dapat melindungi dan menjaga muharrik untuk selalu berhubungan dengan Allah WST. Hal ini dapat menjauhkannya dari perbuatan yang tidak mendapat restu dari Allah.
Allah berfirman ;
“ Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu, ialah orang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang (mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Robb mereka”. (QS. 25:63-64).

3.      Mengintai waktu-waktu yang baik

Dalam banyak hadits rosulullah banya menginformasikan adanya waktu-waktu tertentu dimana Allah lebih memperhatikan do’a hambanya. Sepertiga malam terakhir, bulan ramadhan dan bulan dzulqoidah, zulhijjah, muharram dan rajab. Waktu-waktu itu memiliki keistimewaan yang dapat mengangkat derajat seseorang dihadapan Allah.

4.      Menjauhi hal-hal yang berlebihan.

Berlebihan dalam kebaikan bukan merupakan tindakan bijaksana. Apalagi berlebihan

dalam keburukan. Allah memerintah manusia sesuai dengan kemampuannya.
            Firman Allah :
            “ Maka bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai dengan kesanggupanmu !”
(QS. 64:61)
Islam adalah Din tawazun (keseimbangan). Disuruhnya pemeluknya memperhatikan akhirat, namun jangan melupakan kehidupan dunia. Seluruh anggota tubuh dan jiwa mempunyai haknya masing-masing yang harus ditunaikan. Dalam ayat lain Allah berfiman :
“ Demikianlah kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat pertengahan (adil) dan pilihan”. (QS. 2:143).

5.      Melazimi Jamaah


“ Jamaah itu rahmat, Firqoh (pengelompokan) azad ” demikian sabda Rasulullah. Dalam hadits yang lain “Barangsiapa yang menghendaki tengahnya syurga, hendaklah ia melazimi jamaah”. Dengan jamaah seorang muharrik akan selalu berada dalam majlis dzikir dan pikir. Hal ini membuatnya selalu terikat dengan komitmennya semula. Juga jamaah dapat memberikan program dan kegiatan yang variatif. Sehingga terhindarlah ia dari kebosanan dan kerutinan.


6.      Mengenal kendala yang akan menghadang

Pengetahuan akan tabiat jalan  yang hendak dilalui serta rambu-rambu yang ada, niscaya membuat seorang muahrrik siap, minimal tidak gentar, untuk menjalani rintangan yang akan datang. Allah berfirman :
“ Dan beberapa banyak Nabi yang berpernag bersama mereka sebagian besar karena bencana yang menimpa di jalan Allah, dan tidak pula lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang orang yang sabar”. (QS. 3:146)

7.      Teliti dan Sistematik dalam kerja.

Dengan perencanaan yang baik, Pembagian tugas yang jelas, serta kesadaran akan tanggung jawab yang diemban, dapat membuat harakah menjadi harakatunnatijah (harakah yang berhasil). Perencanaan akan menyadarkan muaharrik, bahwa jalan yang ditempuh amat panjang. Tujuan yang akan dicapai amat besar. Karena itu juga dibutuhkan waktu, amal dan percobaan yang besar. Jika ini semua telah dimengerti insaya Allah akan tercapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan.

8.      Memilih teman yang shalih

9.      Menghibur diri dengan hal yang mubah

Bercengkerama dengan keluarga, mengambil secukupnya kegiatan rekreatif sertamemeberikan hak badan secara cukup mampu membuat diri menjadi segar kembali untuk melanjutkan amal yang sedang dikerjakan.

10.  Mengingat mati, syurga dan neraka


11.  Muhasabah (menghisab) diri