Dalil Disyariatkannya Keragaman Metode & Cara Dakwah Pada Masa Nabi & Rasul

Dalil Disyariatkannya Keragaman Metode & Cara Dakwah Pada Masa Nabi & Rasul

E-Mail This Post/Page Kirim ke teman | Print This Post/Page Print AL-ADILLATU ‘ALAA MASYRU’IYYATI AT-TANAWWU’IL WASAA’ILI WAL ASAALIBI AD-DA’AWIYATI FII ‘ASHR AL-ANBIYAA’I WAL MURSALIIN
Ikhwah wa akhawat fiddiin,
Berbagai uslub & iqtiraahaat (cara & metode) dakwah adalah merupakan sebuah ijtihad AL-IKHWAN dalam meletakkan prioritas dalam berdakwah berdasarkan kedekatan & kemudahan dalam perbaikan dan pembangunannya, oleh karena hal ini merupakan makaanul-ijtihaad (tempat ijtihad) maka ia sama sekali bukan hal yang bersifat qath’iy (tidak bisa berubah).
Mungkin ada yang akan mengatakan bahwa mereka akan atau ingin menggunakan metode dakwah & cara yang lain, maka kepada mereka kami katakan: Min fadhlika wa ihsaanika (Silakan).. Karena tujuan AL-IKHWAN membuat tahapan-tahapan dalam dakwah adalah hanya untuk menentukan skala prioritas & penetapan target-target yang terukur & terencana dengan baik. Bisa jadi ada yang menggunakan cara berbeda, maka itupun ijtihaad pula, yang penting tidak didasari semangat hizbiyyah (merasa hanya kelompoknya saja yang sesuai sunnah) atau ta’ashhubiyyah (fanatik terhadap kelompok/pemikiran sendiri)..
Jika dikatakan mengapa AL-IKHWAN berani mengatakan bahwa hal ini termasuk makaanul-ijtihaad? Dan apakah tidak cukup kita meniru salaful-ummah saja? Ana katakan jika kita melihat sirah para anbiyaa’ wal mursaliin -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada mereka semua- sebagai sebaik-baik salaful-ummah, maka antum akan dapatkan berbagai ijtihaad mereka dalam masalah ini & tidak hanya menggunakan 1 cara saja, yang kesemua ijtihaad mereka itu tercantum dalam KitabuLLAAH, bilaa naskh fiihaa (tanpa di-nasakh oleh ALLAAH), lihatlah ayat-ayat sebagai berikut:
1. MAWQIFU NUH: DAKWAH SECARA RAHASIA DAN TERANG-TERANGAN
ALLAAH - Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi - berfirman tentang Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sebagai berikut:
“Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.” (QS Nuh, 71/8-9)
Dalam ayat di atas digambarkan bagaimana berbagai metode dakwah telah ditempuh oleh Nabi Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- dalam mendakwahi kaum & ummatnya. Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- adalah 1 di antara ‘ulul-’azmi minar rusul (Rasul-rasul yang memiliki ‘azzam yang kuat yang merupakan Rasul-rasil yang paling tinggi derajatnya disisi ALLAH SWT [1]), dimana beliau ‘alaihish shalatu was salam telah melakukan berbagai metode dalam dakwahnya baik sirriyyah maupun ‘alaniyyah.
Berkata Imam at-Thabari [2] bahwa makna ASRARTU LAHUM ISRARA adalah: Hanya antara Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- dengan kaumnya secara rahasia. Berkata Imam Al-Qurthubi [3] bahwa maknanya adalah Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendatangi mereka satu persatu ke rumah-rumah mereka. Sementara Imam An-Nasafi [4] menyebutkan bagaimana Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mengoptimalkan semua potensi dan semua cara dalam berdakwah, pertama beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendakwahi kaumnya secara rahasia siang & malam, lalu beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendakwahi mereka secara terang-terangan, kemudian beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- menggabungkan cara rahasia dengan cara terang-terangan, demikianlah cara ber-amar ma’ruf nahyul munkar, hendaklah dimulai dengan rahasia & lembut lalu jika tidak berhasil maka barulah menggunakan cara terang-terangan & tegas.
Imam al-Maqrizi dalam kitabnya [5] menyitir pendapat ‘Urwah bin Zubair, Ibnu Syihab & Ibnu Ishaq tentang waktu antara awal kenabian (turunnya QS Al-’Alaq di gua Hira’) sampai turunnya ayat FASHDA’ BIMAA TU’MARU WA A’RIDH ‘ANIL MUSYRIKIIN [6] sampai pada WA ANDZIR ‘ASYIIRATAKAL AQRABIIN [7] dan ayat QUL INNII ANAN NADZIIRUL MUBIIN [8] adalah 3 tahun, Al-Baladziri [9] menyebutkan 4 tahun. Ada pula beberapa pendapat yang menganggap masa terputusnya wahyu tersebut sekitar 40 hari, 15 hari atau bahkan 3 hari [10].
Dalam sirah [11] disebutkan saat Abubakar -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi beliau- memulai dakwah maka ia mulai mengajak kepada ALLAH & Islam, yaitu orang yang diyakinkannya bisa merahasiakan & mendengarkan dakwah, melalui dakwahnya maka masuk Islamlah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, AbduRRAHMAN bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash & Thalhah bin ‘UbaidiLLAH -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi mereka-. Dalam riwayat masuk Islamnya Ammar -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi beliau- di antaranya disebutkan [12]: “… aku melihat RasuluLLAH -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sedang bersembunyi karena dimusuhi kaumnya…” Bukti lain atas masalah ini ialah perkataan Imam Ibnu Hajar dalam syarahnya atas Shahih Bukhari [13], beliau menyebutkan bahwa timbulnya perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih dulu masuk Islam disebabkan masing-masing sahabat -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi mereka- tidak tahu siapa saja yang sudah Islam. Bukti lain dakwah Nabi -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- secara rahasia pada periode awal tersebut adalah kisah masuk islamnya segolongan Jin yang diriwayatkan dalam hadits shahih [14] yaitu saat Nabi -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mengumpulkan para sahabatnya di luar Makkah.
Dalam sunnah Nabi muhammad -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- terlihat bahwa fase dakwah sirriyyah berakhir setelah Nabi -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendapatkan jaminan keamanan dari ALLAH -Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi- [15]. Demikianlah yang harus diikuti, yaitu pertimbangan sirriyyah & ‘alaniyyah dalam berdakwah adalah keamanan & perkiraan sampai serta diterimanya dakwah itu sendiri, setelah dakwah aman dilakukan secara jahriyyah, maka wajib bagi para da’i menyampaikannya secara jahriyyah, dan itulah yang dilakukan oleh para da’i AL-IKHWAN sesuai dengan as-sunnah yang shahih sampai saat ini, waliLLAHil hamdu wal minah.
Jika dikatakan bahwa peristiwa sirriyyah itu telah dihapuskan (di-nasakh) dengan ayat WA ANDZIR ‘ASYIIRATAKAL AQRABIIN [16] dan ayat YAA AYYUHAR RASUL BALLIGH MAA UNZILA ILAYKA MIN RABBIKA [17], maka saya katakan bahwa ayat ini sama sekali tidak menasakh dakwah sirriyyah, selain karena dakwah sirriyyah merupakan cara dakwah yang diakui dalam Al-Qur’an & tidak pernah dihapuskan hukumnya, selain itu nabi SAW-pun pernah melakukan dakwah sirriyyah ini sekalipun setelah ayat-ayat di atas diturunkan. Seperti saat peristiwa bai’ah Aqabah pertama [18], pada saat janji setia yang bukan janji untuk berperang ini beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Demikian pula saat peristiwa ‘Aqabah yang kedua [19], yang disebut sebagai janji setia untuk peperangan [20] juga dilakukan di malam hari dan secara sembunyi-sembunyi [21], bahkan sesama suku Aus & Khazraj yang musyrik sama sekali tidak saling tahu [22]. Saat peristiwa hijrah sebagian besar sahabat ber-hijrah secara sembunyi-sembunyi [23], bahkan beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- pun melakukannya dengan sembunyi-sembunyi [24] walaupun sebagian sahabat ra ada pula yang melakukannya secara terang-terangan [25]. Demikianlah baik sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan adalah bagian dari metode dakwah, keduanya dapat dilakukan sesuai dengan maslahat dakwah. SELESAI.
2. MAWQIFU YUSUF: BERKOALISI DENGAN PEMERINTAH SEKULAR
Sementara kita dapati ijtihad yang berbeda dari Nabi Yusuf -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sebagaimana dituturkan dalam ayat yang mulia berikut ini:
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku sebagai menteri perbendaharaan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.” (QS Yusuf, 12:55)
Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya atas ayat tersebut (VII/241). Berkata Ibnu Zaid tentang makna kalimat QAALAJ’ALNII…: bahwa Fir’aun Mesir tersebut memiliki banyak sekali pembantu-pembantu selain untuk urusan menteri perbendaharaan (pertanian), maka semua pembesar Mesir setuju pada pengangkatan Yusuf di posisi tersebut & mereka semua tunduk pada putusannya. Berkata Syaibah Adh-Dhabiy: Maksudnya mengurus urusan pangan. Adapun makna INNII HAFIIZHUN ‘ALIIM: Hafiizh (mampu amanah dalam mengurus) tugas tersebut & ‘aliim (tahu ilmunya) atas pekerjaan tersebut.
Berkata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (II/633). Dalam ayat ini menunjukkan dibolehkan bagi seseorang memuji dirinya sendiri (tentang kelebihan & potensinya), jika orang lain tidak tahu & hal tersebut dibutuhkan.
Imam Al-Baghawiy dalam tafsirnya (I/251) menyitir hadits Nabi SAW dari Ibnu Abbas ra: “Semoga ALLAH SWT merahmati akhi Yusuf as, seandainya ia menyatakan ANGKATLAH AKU SEBAGAI MENTERI PERBENDAHARAAN, saat pertama bertemu maka ia akan diangkat. Tetapi ia sengaja mengakhirkannya selama setahun, sehingga ia bisa bersama Raja Mesir tersebut di rumahnya.”
Berkata Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya (IX/181): Di dalam ayat ini ada beberapa hukum fiqh sebagai berikut:
PERTAMA, beliau (Yusuf a.s.) menjelaskan (memperkenalkan) siapa dirinya, yaitu orang yang mampu mengurus amanah tersebut & tahu ilmunya.
KEDUA, berkata sebagian ulama (di antaranya Imam Al-Mawardi) bahwa para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini, berkata sebagiannya bahwa dibolehkan bagi seorang yang memiliki keutamaan untuk bekerja pada seorang yang pendosa (fajir) atau penguasa yang kafir dengan syarat ia mengetahui hal-hal yang salah sehingga ia bisa memperbaikinya semampunya. Adapun jika yang dilakukannya tersebut untuk menuruti syahwat sang pendosa, maka hal yang demikian tidak diperkenankan. Dan berkata sebagian ulama lainnya, bahwa hukum ini hanya khusus untuk Yusuf a.s saja, & tidak berlaku bagi selainnya. Tetapi menurutku (Imam Al-Qurthubi) pendapat yang pertama lebih kuat, waLLAHu a’lam.
KETIGA, dalam ayat ini juga menunjukkan hukum dibolehkannya seseorang untuk menyampaikan keahliannya dalam sebuah pekerjaan. Ada yang menyatakan bahwa hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Muslim dari AbduRRAHMAN bin Samrah ra, dimana telah bersabda nabi SAW: “Wahai AbduRRAHMAN jangan engkau meminta kekuasaan, karena sesungguhnya jika engkau diberi karena engkau memintanya maka ia dibebankan seluruhnya padamu, sedangkan jika engkau diberi tanpa engkau memintanya maka engkau akan ditolong (ALLAH SWT).” Maka jawabanku (Imam Al-Qurthubi) atas hal ini 2 hal sebagai berikut: 1) ketika Yusuf a.s. meminta kekuasaan tersebut ia mengetahui tidak ada seorangpun yang lebih adil & lebih baik untuk menyantuni fakir-miskin untuk tugas tersebut, sehingga menjadi fadhu ‘ain baginya & bagi siapapun selain Yusuf a.s untuk menyampaikan kemampuannya, & maju ke depan mengambil jabatan tersebut. Adapun jika ia melihat ada orang lain yang lebih adil dari dirinya & lebih mampu maka wajib baginya menyerahkan pada orang lain tersebut sebagaimana hadits Muslim di atas. 2) Bahwa Yusuf a.s tidak memuji dirinya sendiri, ia tidak mengatakan bahwa ia orang baik atau ia tampan, melainkan ia hanya menyampaikan informasi yang benar tentang kemampuannya & tidak menyembunyikannya. Sehingga berkata Nabi SAW memuji Yusuf a.s: “AL-KARIIM, IBNUL KARIIM, IBNUL KARIIM, IBNUL KARIIM YUUSUF BIN YA’QUUB BIN ISHAAQ BIN IBRAHIIM.” 3) Bahwa beliau menyampaikan tentang hal tersebut karena orang-orang belum tahu, sehingga beliau a.s. menganggap fardhu ‘ain atas dirinya untuk menjelaskan agar mereka mengetahuinya, 4) Bahwa hal ini menjadi hukum bolehnya seseorang untuk mensifati dirinya tentang kemampuan & kelebihannya, berkata Imam Al-Mawardi bahwa maksudnya bukan seluruh kelebihannya disampaikan, melainkan hanya yang berkaitan dengan jenis pekerjaan yang sedang/akan dihadapi tersebut.
3. MAWQIFU HARUN: MEMBIARKAN KEMUSYRIKAN KARENA PERTIMBANGAN MASHLAHAT YANG JELAS & PASTI YANG LEBIH BESAR
Lalu kita dapati pula ijtihad lain dari Nabi Harun -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sebagaimana dituturkan dalam ayat yang mulia berikut ini:
“Harun menjawab’ “Hai putera ibuku, janganlah kamu tarik janggutku dan jangan (pula rambut) kepalaku; Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu Telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku”.” (QS Thaha, 20:94)
Berkata Imam At-Thabari [26] saat menafsirkan kalimat: “Sungguh aku takut kamu berkata… dst”; bahwa maknanya menurut sebagian ulama [27] adalah bahwa Harun kuatir sebagian kaumnya akan mengikutinya sementara sebagian yang lain akan menyelisihinya. Sementara menurut sebagian ulama yang lain [28] maknanya adalah Harun kuatir sebagian memerangi sebagian yang lain.
Catatan Kaki:
[1] Tafsir Ibnu Katsir, IV/219; At-Thabari XI/302
[2] Tafsir At-Thabari, XII/248
[3] Tafsir Al-Qurthubi, XVIII/120
[4] Tafsir An-Nasafi, IV/282
[5] Imta’ul Asma’, I/15 (ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Syakir)
[6] QS Al-Hijr, 15/94
[7] QS Asy-Syu’araa’, 26/214
[8] QS Al-Hijr, 15/89
[9] Ansab al-Asyraf, I/116
[10] Ini juga disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Ummu Jamil bin Harb tentang turunnya QS Adh-Dhuha.
[11] Sirah Ibnu Hisyam, I/262-269.
[12] Shahih Muslim, I/596
[13] Fathul Bari’, VII/84
[14] Shahih Muslim bis Syarh Nawawi, IV/168-170
[15] QS Al-Hijr, 15/95
[16] QS Asy-Syu’araa’, 26/214
[17] QS Al-Ma’idah, 5/67
[18] Sirah Ibnu Hisyam, II/41-42, lih. Juga dalam Fathul Bari’ I/66 & Shahih Muslim III/1333
[19] Ibid, I/438
[20] Ibid, II/63; lih. Juga Musnad Ahmad V/316
[21] Ibid, I/439-443, 447-448; lih. Juga Fathul Bari’ VII/221; Musnad Ahmad III/460
[22] Ibid.
[23] Ibid, I/468; juga Fathul Bari’ VII/260-261; Shahih Muslim II/632
[24] Fathul Bari’ , VII/226, 231-232, 389; Al-Bidayah wan Nihayah, III/179; Syarhul Mawahib liz Zarqani, I/323; Musnad Ahmad, I/248; lih. Juga tafsir QS Al-Anfal, 8/30; QS At-Taubah, 9/40.
[25] Fathul Bari’, VII/260
[26] Tafsir At-Thabari, XVIII/360
[27] Telah menceritakan Yunus, telah menceritakan Ibnu Wahhab dari Ibnu Zaid.
[28] Telah menceritakan Al-Qasim, telah menceritakan Al-Husein, telah menceritakan Hajjaj, dari Ibnu Juraij.

Dalil Disyariatkannya Tanzhim dalam Dakwah Islam Kontemporer


Dalil Disyariatkannya Tanzhim dalam Dakwah Islam Kontemporer


MASYRU’IYYATU AT-TANZHIM FI AD-DA’WAH AL-ISLAMIYYAH AL-MU’ASHIRAH
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar [217]; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Aali Imraan, 3/104)
[217] Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah, sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
MUQADDIMMAH
Salah satu dakwaan aneh dari para tokoh kaum Zhahiriyyah dari ummat ini, di antaranya adalah bahwa Islam tidak membenarkan tanzhim (struktur organisasi) dalam berdakwah, membuat tanzhim menurut mereka adalah adalah bid’ah yang tidak dikenal oleh generasi As-Salafus Shalih, maka oleh karena ia tidak ada dimasa As-Salafus Shalih, maka menurut mereka ia harus ditolak sejauh-jauhnya & para pelakunya yang menggunakan tanzhim dalam dakwah mereka dianggap Ahli Bid’ah sehingga harus di-tahdzir. Inna liLLAAHi wa inna ilaihi raaji’uun..
Tentunya dakwaan ini keluar tiada lain karena telah menyimpangnya mereka dari Al-Haqq dan karena sikap ekstrem (ghuluww) yang telah berurat berakar di antara mereka. Padahal Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- telah mengingatkan kita semua dari sikap ekstremitas ini dalam sabdanya: “Wahai sekalian manusia berhati-hatilah kalian pada sikap ekstrem dalam beragama, karena sesungguhnya yang telah mencelakakan ummat sebelum kalian adalah sikap ekstrem dalam beragama [1].”
Tanzhim dalam aktifitas dakwah adalah merupakan sebuah hal yang bersifat dharuriy (tidak bisa tidak) dalam fiqh, berdasarkan kaidah ushul-fiqh: Maa laa yatimmul waajib illa bihi fahuwa waajib (suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka yang lain itu menjadi wajib pula hukumnya), jangankan untuk berdakwah, sedangkan untuk memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut kita saja, tidak mungkin tercapai tanpa adanya tanzhim, coba anda bayangkan jika tidak ada pabrik pupuk, perusahaan cangkul, perusahaan pestisida, pasar, dsb. Apakah mungkin nasi itu bisa mencukupi untuk seluruh bangsa Indonesia ini?! Jika sekedar untuk urusan perut saja membutuhkan sebuah tanzhim, maka apatah lagi dalam urusan iqamatuddin dan ustadziyyatul-’alam!
Kebodohan macam apa lagi yang menimpa ummat ini, sehingga mereka bisa melahirkan orang-orang yang berfikir sepicik mereka itu?! Tetapi kita memang tidak perlu heran, karena mereka memang telah memunculkan banyak fatwa yang menggelikan & sekaligus membingungkan ummat, di antaranya bahwa kata mereka di dunia sekarang ini tidak ada ulama mujtahid kecuali hanya 3 orang saja, yaitu Ibni Baaz, Al-Albani & Ibnu Utsaimin. Terlepas dari pengakuan kita pada kapasitas keulamaan ketiga ulama tersebut, tapi adakah seorang yang berilmu membatasi ulama mujtahid hanya 3 orang saja? Lalu coba antum tanyakan kepada mereka: Lalu siapa yang bisa membatasi ulama cuma 3 orang itu saja?! Antum?! Fa man antum?!
Ikhwah wa akhwat rahimakumuLLAAH, membuat tanzhim dalam gerakan dakwah merupakan sebuah kemestian (hatmiyyah) yang tidak bisa ditawar-tawar & ditunda-tunda lagi, baik berdasarkan dharuriyyah-fiqhiyyah di atas, juga berdasarkan sunnah-kauniyyah (yaitu bahwa alam semesta ini merupakan sebuah nizham-’alamiyy, yang semuanya menempati posisi & fungsi yang berbeda-beda dan telah tetap & ditentukan), juga berdasarkan ihtiyajaat-basyariyyah (kebutuhan kemanusiaan, dalam segala hal dalam kemanusiaan kita memerlukan pengorganisasian yang rapi & terstruktur) serta dharuriyyah-harakiyyah (kebutuhan mendesak kebangkitan Islam kontemporer).
Sebenarnya logika sehat sederhana di atas sudah cukup bagi orang yang berakal untuk menunjukkan urgensi organisasi (ahamiyyah-tanzhim) dalam dakwah di era modern ini. Namun sebagaimana biasanya, maka kelompok zhahiriyyun-ghullat (tekstualis-ekstrem) itu tidak akan mau menerima kecuali bil-lughati qawmihim (hanya dengan bahasa kaumnya), maka supaya tidak dituduh ‘aqlaniyyin (kelompok yang menuhankan akal), maka ana akan menunjukkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih tentang Masyru’iyyatu Tanzhim fid-Dakwah Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah (Dalil-Dalil disyariatkannya tanzhim dalam Dakwah di Era Modern), supaya liyahlika man halaka ‘an bayyinah wa yahya man hayya ‘an bayyinah..
TAFSIR AYAT
Berkata Imam Abu Ja’far At-Thabari ketika mengawali tafsirnya atas ayat ini [2]: Berkata ALLAH Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji: WALTAKUN MINKUM wahai orang-orang beriman; UMMATUN yaitu Jama’ah [3]; YAD’UNA yaitu pada manusia; ILAL KHAYRI yaitu pada Islam & syariatnya yang telah ditetapkan-NYA bagi hamba-hamba-Nya; WA YA’MURUNA BIL MA’RUFI, yaitu memerintahkan manusia untuk mengikuti Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- dan agama yang dibawanya; WA YANHAUNA ‘ANIL MUNKARI, yaitu mencegah mereka dari kekafiran pada ALLAH -Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi- dan penentangan pada Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- dan dari agama yang dibawanya, yaitu melalui Jihad di jalan-NYA baik dengan tangan maupun anggota badan, sehingga mereka mengikuti dengan ketaatan… (Perhatikanlah bahwa Imam At-Thabari menyebutkan agar ada & terbentuknya suatu jama’ah di antara ummat ini)..
Imam Jalaluddin As-Suyuthi bahkan lebih maju lagi, beliau dalam tafsirnya [4] setelah menjelaskan berbagai hadits shahih berkaitan ayat ini, menyebutkan atsar dari Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin Hayyan: “Bahwa hendaklah ada suatu kaum, baik 1 atau 2 atau 3 kelompok atau lebih dari itu dan itulah baru disebut sebagai ummat.” Kemudian ia berkata lagi: “Lalu (hendaklah) ada imamnya yang memimpin untuk amar ma’ruf & nahi munkar.” Lebih jauh beliau menyitir hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Dzarr -semoga ALLAH Yang Maha Gagah lagi maha Tinggi meridhoinya-: “Dua orang lebih baik dari 1 orang, 3 orang lebih baik dari 2 orang, dan 4 orang lebih baik dari 3 orang, maka hendaklah kalian bersama Al-Jama’ah, karena ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku kecuali atas petunjuk [5].”
Imam -Muhyis Sunnah- Abu Muhammad Al-Baghawi menyebutkan dalam tafsirnya [6] bahwa huruf “lam” pada kata “waltakun” bermakna kewajiban.. sementara “min” dalam kata “minkum ummah” bermakna “shilah” dan bukan “lit-tab’idh” (menunjukkan sebagian) [7] sebagaimana dalam ayat: FAJTANIBUR RIJSA MINAL AWTSANI [8].. yang maknanya: Hendaklah mereka menjauhi semua berhala & bukan hanya sebagian berhala saja. Kemudian Imam Al-Baghawi menyebutkan beberapa hadits, di antaranya dari Umar -semoga ALLAH Yang Maha Suci laga Maha Tinggi meridhoinya- Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan puncaknya Jannah maka wajib atasnya menetapi Al-Jama’ah, karena sesungguhnya Syaithan itu bersama orang yang sendirian, dan terhadap 2 orang ia lebih menjauh [9].”
Imam Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya [10] bahwa makna “ummah” adalah jama’ah, kelompok, sebagaimana dalam ayat yang lain disebutkan: KULLAMAA DAKHALAT UMMATUN LA’ANAT UKHTAHA [11].. Karena asal kata “ummat” dalam bahasa Arab adalah sekelompok orang yang memiliki 1 tujuan yang sama, bisa berupa keturunan, atau agama, atau lainnya, dan kejelasannya diketahui melalui keterkaitannya (idhafah) dengan kata setelahnya, semisal: Ummatul-’Arab atau Ummatun-Nashara, dll.
Imam Abi AbduLLAH Syamsuddin Al-Qurthubi Al-Anshari Al-Khazraji dalam kitabnya [12] berpendapat bahwa “min” dalam kata “minkum ummah” bermakna “lit-tab’idh” (menunjukkan sebagian) [13], karena orang-orang yang memerintahkan yang ma’ruf itu haruslah berilmu, sementara tidak semua orang berilmu, maka kewajiban ini bersifat fardhu kifayah, jika sebagian kaum muslimin sudah melakukannya maka yang lain tidak berdosa [14].
Sayyid Quthb -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menjadikan beliau Syahid- menyatakan dalam tafsirnya [15]: “Tidak bisa tidak ayat ini memerintahkan agar terwujudnya sebuah Jama’ah Islamiyyah yang selalu berdakwah kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf & mencegah yang munkar. Dan hendaklah ada sebuah pemerintahan yang tegak berdiri di atas bumi ini melakukan hal tersebut, sehingga ayat ini tidak hanya berbunyi “yad’uuna ” (berdakwah saja) melainkan juga “ya’muruuna” (memerintah) dan “yanhauna” (melarang) yang keduanya itu tidak akan tegak kecuali adanya sebuah pemerintahan yang Islami..” Sampai kata beliau -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menjadikan beliau Syahid- pada akhir penjelasannya atas ayat tersebut: “…Untuk demi tercapainya hal tersebut di atas, maka tidak dapat tidak haruslah ada sebuah kelompok/jama’ah yang memiliki 2 kekuatan di atas [16] yaitu “Iimaanu biLLLAAH” (QS Aali-Imraan, 3/102) dan “Ukhuwwatu-fiLLAAH” (QS Aali-Imraan, 3/103) baru bisa mewujudkan ayat ini (QS Aali-Imraan, 3/104)…
Demikianlah maka berdasarkan dalil-dalil di atas bahwa tegaknya Al-Jama’ah merupakan dharurah-syar’iyyah, yang kesemuanya tidak akan dapat tegak dengan kerja infiradiyyah (sendiri-sendiri) dan hanya mengharapkan dari tarbiyyah & tashfiyyah saja, melainkan memerlukan suatu tanzhim yang kuat & rapi untuk menggapainya.. Jika dikatakan bahwa As-Salafus Shalih pasca generasi sahabat -semoga ALLAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka semua- tidak membuat tanzhim, maka saya jawab bahwa dimasa mereka sudah ada Al-Jama’ah & Al-Khilafah, maka haram hukumnya membuat kelompok baru yang berbeda dari Jama’ah kaum muslimin. Adapun sekarang, maka tidak ada Khilafah, tidak ada Al-Jama’ah & tidak ada Al-Hukumah, maka tiada jalan lain kecuali membentuk & mendirikannya.. Dan persoalan ini jauh lebih mendesak & lebih penting dari mendalami & bertele-tele dalam masalah ibadah-mahdhah, cukuplah sunnah para sahabat -semoga ALLAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka semua- yang sampai meninggalkan pengurusan & pemakaman jenazah Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- untuk memilih Khalifah menjadi dalil atas hal tersebut.
Saya akhiri penjelasan ini dengan sebuah hadits Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- berikut: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar yang disampaikan di depan penguasa yang zhalim [17].” ALLAAHu a’lamu bish Shawaab…
Catatan Kaki:
[1] Hadits ini di-takhrij oleh Imam An-Nasa’i, X/83; Ibnu Majah, IX/134; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra, V/85; Al-Hakim, IV/256; At-Thabrani dalam Al-Kubra, X/301 dan dalam Al-Awsath, V/234; Abu Ya’la, V/481; Shahih Ibnu Habban, XVI/243; Shahih Ibnu Khuzaimah, X/284. Dan hadits ini shahih. Jangan anda tertipu dengan orang yang menyatakan hadits ini telah di-dha’if-kan oleh Al-Albani dalam kitab Silsilah Ahaadits Adh-Dha’ifah; orang tersebut telah berdusta atas nama Al-Albani, bahkan hadits ini shahih & di-shahih-kan oleh Albani dalam berbagai kitabnya, diantaranya Silsilatu Ahaadits Ash-Shahihah, III/278 dan V/177; juga dalam kitabnya Shahih wa Dha’if Sunan An-Nasa’i, VII/129; juga dalam kitabnya Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah, VII/29; juga dalam kitabnya Shahih wa Dha’if Jami’ Shaghir, X/392.
[2] Jaami’ul Bayaan fi Ta’wiilil Qur’aan, VII/91
[3] Ini juga pendapat Imam Al-Biqa’iy, lih. Tafsirnya Nuzhmud Durar fii Tanaasubil Aayaati was Suwar, II/94
[4] Ad-Durrul Mantsur fit Ta’wili bil Ma’tsur, II/405
[5] Saya berusaha men-takhrij hadits ini, dan saya menemukannya bukan hanya dalam Musnad Ahmad (43/297); melainkan jg oleh Ibnu Asakir (38/206); berkata Al-Albani dalam Fii Zhilalil Jannah (80-84) bahwa hadits ini maudhu’ namun akhir kalimat dalam hadits ini terdapat syawahid dari hadits shahih.
[6] Ma’alimut Tanzil, II/84
[7] Ini juga pendapat Imam Ibnul Jauzy, lih. Zaadul Masiir, I/391. Tapi beliau juga menerima pendapat yang menyatakan kewajiban membentuk jama’ah ini fardhu kifayah, dan beliau menyamakan kedudukannya seperti jihad fi sabiliLLAAH.
[8] Al-Hajj, 22/30
[9] HR Tirmidzi, VI/383-386; Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, I/42 (dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam ta’liq-nya atas kitab tersebut); Al-Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, I/106-107; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, I/114; Ahmad dalam Al-Musnad, I/18.
[10] At-Tahriru wat Tanwiru, III/178
[11] QS Al-A’raaf, 7/38
[12] Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, I/1081
[13] Ini juga pendapat Imam An-Nasafiy, lih. Madrak at-Tanzil wa Haqa’iqu at-Ta’wil, I/174; demikian juga Al-Khazin, lih. Lubab at-Ta’wil fil Ma’ani at-Tanzil, I/434.
[14] Ini juga pendapat Imam Asy-Syaukani, lih. Fathul Qadir, II/8. Ada baiknya bagi yang berminat untuk merujuknya, ada ulasan beliau yang amat berharga tentang masyru’iyyah-nya ikhtilaf dalam masalah2 furu’ dikalangan para ulama salafus-shalih, dan mereka menamakan ikhtilaf tersebut sbg bentuk ijtihad (demikian pula paparan Imam Abu Sa’ud dalam kitabnya Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Qur’anil Kariem, I/432).
[15] Fii Zhilaalil Qur’an, I/413
[16] Maksud beliau -rahimahuLLAAH- adalah penjelasan beliau atas tafsir ayat sebelumnya (QS Aali-Imraan, III/102-103)
[17] HR Abu Daud, XI/419; Ibnu Majah, XII/15; Ahmad, XXII/261; Hakim, XIX/443; Thabrani dalam Al-Kabir, VII/327; Al-Baihaqi, dalam Syu’abul Iman, XVI/120; Abu Ya’la, III/107; Bahkan Imam Tirmidzi menulis 1 bab khusus tentang tema ini, yaitu : Maa Jaa’a Afdhalul Jihaad Kalimatu ‘Adlin ‘Inda Sulthanin Jaa’ir, VIII/82; Al-Albani men-shahih-kan hadits ini dalam Ash-Shaahihah, I/490 juga dalam Misykaatul Mashaabiih, II/343.

Kesaksian Wartawati Muslim Inggris, Ivone Ridley, tentang Al-Ikhwan Al-Muslimun

Kesaksian Wartawati Muslim Inggris, Ivone Ridley, tentang Al-Ikhwan Al-Muslimun

“Al-Ikhwanul muslimun adalah jamaah yang lurus dan Sayyid Qutb adalah seorang mujahid yang berhak mendapat pujian dan penghargaan” (Ivone Ridley)
Ivone Ridley (wartawati asal Inggris) berkata: “Ideologi Al-Ikhwanul Muslimun memberikan saham yang sangat besar dalam membina masyarakat, memuliakan nilai-nilainya sepanjang tahun yang lalu.”
Dalam keterangan khususnya kepada ikhwanonline dan dihadapan para peserta nadwah international pemuda Islam yang diselenggarakan di Cairo beliau menambahkan: “Al-Ikhwan, dengan ideologinya yang matang dan lurus sangat berperan dalam memberantas penyimpangan dan ekstrimitas yang terjadi di dunia Islam.”
Ivone Ridley juga menegaskan bahwa Asy-syahid Sayyid Qutb adalah seorang imam yang bersih terutama terhadap gagasan-gagasannya yang brilian yang ditulis dalam kitab tafsir “Fi Dzlilalil Quran” dan kitab “Ma’alim Fi At-thoriq”, beliau berkata: “Hal ini saya sampaikan setelah saya menyaksikan penangkapan setiap orang yang membaca buku ini, maka saya pun pergi mencari buku tersebut dan membacanya. Saya dapatkan pandangan yang sangat bernilai tinggi sehingga berhak mendapatkan pujian.” Dan dalam waktu yang sama beliau juga mengungkapkan bahwa buku tersebut adalah buku yang bagus tidak ada penyimpangan seperti yang dituduhkan oleh kebanyakan orang yang tidak paham akan buku beliau.
Dalam Nadwah yang diselenggarakan hari Selasa (21/11/2006), Ridley juga menyampaikan kritiknya dan mengecam statemen Menteri kebudayaan Mesir, bahkan beliau mengecapnya sebagai orang yang telah melecehkan agama karena statemennya yang sangat kontroversi tentang hijab, dan menganggap statemen tersebut merupakan suatu kebodohan dan kemunduran. Beliau juga meminta pada lembaga-lembaga agama lain untuk menolak bagi setiap orang atau lembaga yang digunakan untuk memerangi Islam dan memerangi setiap orang yang meneyeru kepadanya.
Ivone Ridley yang berumur 44 tahun adalah seorang wartawati asal Inggris. Beliau pernah ditangkap selama 10 hari oleh gerakan Taliban saat meliput perang yang dipimpin oleh Amerika dalam menjatuhkan pemerintahan Taliban. Beliau bekerja untuk majalah “Sunday Express”, dan beliau termasuk wartawati asal Inggris yang berpengalaman dalam meliput berita, dan pada waktu yang sama beliau juga bekerja untuk koran-koran terbesar di Inggris; diantaranya “Independent”, “Observeer”, dan “Sunday Times”. Masuknya beliau dalam agama Islam menjadi kisah yang menarik untuk diketahui, karena pada awalnya beliau sangat membenci dan memusuhi Islam apalagi terhadap gerakan Taliban. Namun setelah masuk Islam beliau membenci dan memusuhi Barat dan meminta maaf pada gerakan Taliban.
Ridley ditangkap pada tanggal 28 September 2001 bersama dua orang “guide” (penunjuk jalan) asal Afghanistan, yaitu di sebuah kota dekat dengan kota Jalal Abad – dengan mengenakan pakaian tradisional wanita Pastun – karena memasuki salah satu daerah Afghanistsan tanpa menggunakan jalur resmi. Kemudian setelah 10 hari berlalu beliau dibebaskan. Namun sebelum dibebaskan, gerakan Taliban mengajaknya untuk memeluk Islam sekembalinya nanti ke kota London, pada mulanya beliau menolak dan mengatakan: “Tidak mungkin.” Namun dia berjanji akan mempelajari lebih dahulu dan memahami ajaran Islam.
Di London Ivone Ridley mempelajari Al-Quran dan Al-hadits, kemudian mengarang buku tentang pengalamannya saat bersama gerakan Taliban dan kekagumannya terhadap Islam, dan kisah beliau mendapatkan muamalah yang baik dari seorang polisi Taliban, dalam tulisannya beliau memuji Taliban, beliau melihat bahwa tidak ada satu negara pun yang memiliki nidzam (sistem) Islam yang hakiki walaupun di negara muslim. Ini diungkapkan sebagai kritikan terhadap Barat yang memerangi Islam dengan dalih tidak ada hubungannya dengan agama.

Legalitas Poligami Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Legalitas Poligami Dalam Kehidupan Bermasyarakat

(ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ) (المؤمنون:96)
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan” (QS. al-Mu’minuun: 96)
Pendahuluan
Menikah adalah pola hidup para nabi, benteng para ahli taqwa dan kebanggaan para waliyullah. Itulah petikan beberapa bait yang sering dilantunkan oleh para penghulu (pencatat nikah) di setiap kelurahan di Indonesia ini, bahkan mereka meyakini untaian kalimat tersebut adalah khotbah nikah yang diucapkan oleh nabi Muhammad saw terlepas dari benar dan salahnya riwayat tersebut.
Menikah telah dipahami oleh masyarakat kita dengan sangat baik sebagai legalitas hubungan biologis pria-wanita yang sah. Sambutan mereka terhadap akad dan resepsi pernikahan terlihat sangat semarak dan khidmat. Waktu diluangkan, dana disumbangkan, dan dukungan dilimpahkan pada saat terdengar kabar bahwa seorang anggota keluarga atau anggota masyarakat akan menikah. Maha suci Allah yang maha agung.subhanallah….
Itulah pernikahan pertama yang dilakukan oleh seorang muslim di Indonesia… semarak, meriah, dan penuh dukungan. Lantas apakah hal sedemikian juga akan dialami oleh seseorang jika ia menikah untuk yang kedua, ketiga dan ke-empat pada saat istri pertama masih hidup…???
Ternyata tidak demikian kenyataan yang kita lihat… cercaan, hinaan, tuduhan, sindiran dan cemoohan akan menghiasi kehidupan seorang muslim yang berpoligami di tengah-tengah masyarakat muslim bahkan pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan SBY mempersiapkan diri untuk “mengkriminalkan” pelaku poligami, apalagi di saat yang bersamaan adegan zina dipertontonkan di berbagai media di Indonesia dan para pelakunya tidak dicerca atau tidak dihina dan pemerintah tidak mencampuri kasus MAJALAH PLAYBOY dengan berbagai alasannya, lebih dari itu para pezina di Indonesia mendapatkan simpatik pemerintah dan masyarakat muslim juga belas kasihan dan dukungan dari mereka, sangat fantastis sekaligus ironis… La haula wala quwwata illa billah.
Begitukah sikap masyarakat muslim menyikapi syariat mereka sendiri?? Terpujikah sikap seperti itu? Adakah sikap itu mencerminkan dan mewakili atau merepresentasikan ajaran Islam? Masihkah masyarakat muslim mampu menggaungkan Islam rahmatan lil’alamin dihadapan ummat agama lain?
Di sisi lain masyarakat muslim Indonesia juga telah mencatat berbagai cacat yang dilakukan oleh oknum muslim tertentu dalam melakukan poligami. Keretakan keharmonisan rumah tangga, keterlantaran anak-anak akibat kurang perhatian, dan kezaliman lain terhadap “istri tua” dan lain sebagainya.
Benarkah poligami dalam syariat Islam melahirkan kezaliman? Dapatkah poligami menjadi rahmatan lil’lamin dalam sorotan masyarakat muslim Indonesia? Mari kita pahami syari’at Allah swt ini dengan akal sehat di bawah sinaran cahaya contoh yang telah ditunjukan oleh nabi Muhammad saw.
Legalitas Poligami dalam Islam
Para ulama Islam di semua masa dan semua permukaan bumi ini telah berijma’ atau sepakat bahwa tidak ada halangan bagi seorang pria yang memiliki “citra adil” untuk menikahi wanita yang dipandang thoyyibah (bukan sekedar disenangi) untuk kali yang kedua, ketiga dan keempat. Kesepakatan mereka bukanlah dorongan naluriah para ulama itu yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki. Karena kesepakatan seperti itu “tertolak” secara ilmiyah, di samping itu kesepakatan “ijma” ulama harus memiliki landasan tekstual lebih dahulu.
Jangankan landasan naluriah perasaan yang tidak diterima sebagai ijma’, landasan ‘aqliyah semata pun tidak semua ulama menerimanya. Demikianlah gambaran kekuatan hukum dalam syariat Islam.
Para ulama melandasi kesepakatan mereka tentang poligami dengan dua buah ayat al-quran yang berbunyi:
)وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا) (النساء:3)
Artinya: “dan jika kalian khawatir untuk tidak dapat berlaku adil terhadap para yatim itu, maka (sebagai solusi) menikahlah dengan wanita yang kalian pandang thoyibah, boleh dua orang atau tiga orang atau empat orang, namun jika kalian juga khawatir untuk tidak dapat berlaku adil (terhadap) para istri itu maka cukuplah dengan menikahi satu orang wanita saja atau dengan menambah budak wanita (untuk mengurus para yatim) karena (solusi itu) menjadikan kalian tidak melanggar batas.” (QS. an-Nisaa: 3)
Selanjutnya, para ulama Islam juga tidak berbeda pendapat tentang kosa kata “adil” dalam aturan poligami itu, bahwa adil yang dituntut oleh syariat kepada suami untuk istrinya adalah adil secara lahir / yang terlihat (zahir), yaitu bersikap proporsional dalam mempergauli seluruh istri yang dinikahi pada seluruh aktifitas rumah tangga yang kasat mata, materi dan (bermalam) atau berhubungan seks. Sehingga sikap yang ditunjukkan oleh syariat adalah agar para suami tidak terlihat terlalu condong terhadap salah seorang dari mereka karena hal itu akan “melukai” perasaan istri yang lain.
Sedangkan menyamaratakan “kasih sayang di hati” suami untuk seluruh istri tidaklah menjadi tuntutan syariat yang memiliki konsekwensi dosa jika tidak dilakukan. Kenapa begitu, karena menjadi tidak manusiawi jika suami dibebankan akan hal yang tidak dikuasainya.
Begitu juga sesuatu di dalam hati yang tidak ditampakkan tidak akan melukai orang lain. Contoh: jika seseorang tidak suka terhadap prilaku orang lain namun ia tidak menampakkan ketidaksukaannya maka orang lain tidak pernah terlukai.
Uraian “adil” di atas adalah petunjuk Allah swt dalam ayat di bawah ini:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُوراً رَحِيماً) (النساء:129)
Artinya: “dan kalian sekali-kali tidak akan mampu bersikap adil dengan sempurna walaupun kalian inginkan (adil sempurna itu) maka (solusinya) janganlah kalian tampakkan kecenderungan kalian terhadap salah seorang dari istrimu yang akan berakibat (kezaliman) engkau meninggalkan istrmu itu seperti pakaian yang tergantung. Jika kalian mau memperbaiki (sikap) lalu bertaqwa kepada Allah maka sesungguhnya Allah maha pengampun dosa dan maha penyayang hambaNya.” (QS. an-Nisaa: 129)
Dengan memahami ayat-ayat di atas jelaslah di hadapan kita bahwa legalitas poligami bukanlah “tuntutan biologis” seorang ulama atau seluruh ulama seperti dituduhkan oleh orang-orang yang memiliki kedengkian terhadap syariat Islam. Walaupun demikian status hukum berpoligami hanyalah “ibahah”yaitu kebolehan yang tidak berarti kewajiban atau keutamaan (sunnah).
Aturan Teknis Berpoligami
Tentu tidak cukup bagi muslimin dan muslimat jika hanya memahami legalitas berpoligami saja, mereka juga wajib memahami syariat tentang tekhnis berpoligami itu sendiri. Hal ini penting untuk menekan angka kesalahan praktek berpoligami di tengah masyarakat muslim di seluruh dunia.
Termasuk rahmat dan kasih sayang Allah swt pada saat nabi Muhammad saw melakukan praktek poligami secara nyata karena maksud diturunkannya syariat Islam memang untuk mengatur kehidupan manusia dan nabi Muhammad adalah manusia yang berbeda dengan manusia lainnya hanya dari sudut menerima wahyu Allah swt saja.
Selebihnya beliau sama dengan manusia lain, makan, minum, menyukai wanita, sakit, sedih, gembira dan segala hal dalam dunia manusia sehingga manusia mudah mendapatkan contoh dalam segala hal yang disyariatkan untuk mereka.
Dengan demikian berpoligami tidak sekedar syariat yang legal tetapi tidak dapat dipahami dalam mempraktekkannya namun berpoligami adalah syariat yang telah jelas legalitas dan seluk beluknya. Nabi Muhammad adalah manusia percontohan dalam segala praktek kehidupan termasuk berpoligami.
Ada beberapa catatan penting dalam praktek poligami rasulullah saw yang dapat kita tiru dan kita teladani jika ingin merasakan rahmat berpoligami:
1. Adil dalam lingkup ekonomis: Rasulullah saw menyimpankan persediaan pangan untuk seluruh istrinya selama setahun penuh. Istri rasulullah tidak pernah kekurangan pangan walaupun beliau sering menderita lapar.
2. Adil dalam lingkup biologis: Rasulullah saw memiliki kekuatan jima’ yang setara dengan empat puluh laki-laki. Beliau mampu menyenangkan para istri secara biologis secara merata.
3. Adil dalam lingkup dakwah dan sosial: Rasulullah saw mendelegasikan para istrinya untuk menjelaskan banyak hal yang berkaitan dengan wanita dalam ibadah, akhalaq dan mu’amalah (pemberdayaan perempuan). Banyak suku yang tunduk dan berIslam karena Rasulullah menikahi salah seorang wanita terhormat dari kalangan sebuah suku.
4. Adil dalam lingkup ke-wanitaan: Rasulullah saw tidak pernah membandingkan pelayanan dan rupa seorang istrinya di hadapan istri yang lain. Beliau minta izin istri-istrinya jika ingin berada lebih lama dengan Aisyah binti Abu Bakr. Betapa rasulullah saw menjaga perasaan seorang wanita dengan sangat teliti.
5. Adil dalam lingkup keturunan: Rasulullah saw tidak pernah menelantarkan anak-anak yang lahir dari pernikahan beliau ataupun anak-anak yatim yang dibawa oleh para istri Rasulullah saw yang memang para janda.
Demikianlah secara singkat gambaran poligami yang ada dalam contoh teladan ummat Islam seluruh dunia sehingga penerjemahan ummat Islam akan syariat poligami tidak akan menjadi fitnah dan hidup bermasyarakat.
Begitu sempurna akhlaqmu wahai Rasulullah, tak seorangpun mampu melukai syariat yang engkau emban dari Tuhanmu karena keindahan prilaku yang engkau tunjukkan di hadapan manusia.
Tanya Jawab Kasus Poligami
1. Bolehkah berpoligami dengan wanita yang masih gadis belia? Ataukah berpoligami harus dengan janda tua yang banyak anaknya saja jika ingin dilakukan.?
Jawab: pada prinsipnya tidak ada ketentuan khusus dalam Islam yang mengatur kriteria khusus/status wanita bagi seseorang jika hendak berpoligami. Hal itu menunjukkan kebolehan berpoligami dengan wanita gadis atau janda, cantik atau tidak cantik dengan catatan tidak menjadikan kegadisan dan kecantikan sebagai tolok ukur memilih istri kedua dan seterusnya.
Kalau hal itu tidak diperhatikan maka maksud pensyariatan berpoligami dapat ternodai atau terancam kesucianya.
2. Benarkah berpoligami itu menyakiti perasaan wanita?
Jawab: Mari kita lihat masalah ini dengan kepala dingin dan rasional. Pertanyaan semacam ini secara tidak langsung telah memastikan adanya praktek menyakiti bersamaan dengan terjadinya poligami. Sesungguhnya hal itu dalam pandangan saya sangat tidak ilmiyah dan keliru. Jika benar adanya bahwa poligami menyakiti wanita, kenyataan di lapangan membuktikan sebaliknya dengan banyak wanita yang rela dan senang hati untuk diperistri oleh pria yang telah beristri. Adanya fenomena itu menunjukkan bahwa redaksi “wanita” dalam pertanyaan tidak dapat diterima.
Jika yang dimaksud adalah istri pertama, bisa jadi hal itu benar dan juga bisa salah karena dalam kenyataannya terlihat sangat relatif, ada istri pertama yang sakit hati ada juga yang senang jika suami menikah lagi dengan wanita lain.
Jika benar bahwa syariat poligami menyakiti wanita (bagaimana pun mempraktekkannya) berarti Allah swt telah menzalimi hambaNya padahal pria dan wanita sama-sama hamba Allah yang dimuliakan oleh Islam. Siapakah yang berani menuduh Allah dengan tuduhan keji seperti itu? Seorang mukmin tidak akan berpandangan serendah itu.
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ) (الانبياء:22) سُبْحَانَ رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ) (الزخرف:82)
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS. al-Anbiyaa’: 22)
“Maha Suci Tuhan Yang empunya langit dan bumi, Tuhan Yang empunya ‘Arsy, dari apa yang mereka sifatkan itu.” (QS. az-Zukhruf: 82)
3. Dapatkah redaksi “adil” dalam berpoligami dijabarkan (breakdown) dengan menciptakan aturan dan undang-undang?
Jawab: Tepat sekali untuk menjabarkan redaksi “adil” dalam praktek poligami dalam sebuah undang-undang. Namun penjabaran itu harus terjaga objektifitasnya, jauh dari penjabaran “adil” secara tidak adil. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam praktek poligami beliau sendiri dan beliau mengeluarkan ancaman kehinaan bagi pelaku poligami yang dilakukan ummat Islam secara tidak tepat.
4. Adakah hak bagi istri untuk menolak berpoligami yang akan dilakukan oleh suaminya?
Jawab: Penolakan istri dapat kita klasifikasikan dalam dua bagian, pertama: Penolakan material yaitu penolakan yang didasari oleh kekhawatiran pembagian waktu, kekayaan dan keperkasaan suami terhadap wanita lain (istri kedua) pada saat suami mampu melakukannya secara proporsional. Penolakan sejenis ini tidak mendapat dukungan syariat dan mempersulit terwujudnya salah satu hikmah poligami yaitu takaful dan saling menopang. Kedua: penolakan esensial/maknawi yaitu penolakan yang didasari oleh kenyataan banyaknya kelemahan seorang suami dalam berbagai hal seperti finansial, emosional dan moral sang suami. Penolakan istri seperti ini adalah legal dan istri berhak untuk menolaknya.
5. Bagaimanakah aturan Islam dalam pergaulan antar istri yang tergabung dalam poligami seorang laki-laki?
Jawab: aturan di situ sama dengan aturan akhlak bermasyarakat secara umum seperti yang lebih tua menyayangi yang muda dan yang muda menghormati yang tua. Seluruh prilaku tawadhu, saling memberi, saling merelakan, dan saling membantu kesulitan durrahnya. Begitu juga tidak bersikap sombong, merasa lebih cantik, lebih berjasa dari durrahnya, tidak membuka dan membicarakan hubungan seksual masing masing terhadap suami mereka, tidak mencurigai dan tidak memintai agar suami menceraikan durrahnya.
Penutup
Demikianlah terjemah syariat poligami yang dapat saya uraikan. Jika terdapat kecocokan pada fikiran dan pemahaman para pembaca maka pujilah Allah swt dan jika terdapat kekeliruan dan kesalahan ilmiyah maka berilah masukan konstruktif kepada penulis yang fakir ini. Wallahu’alam bisshowaab.

Mempersiapkan Ummat Menghadapi Rintangan

Mempersiapkan Ummat Menghadapi Rintangan

Segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam selalu tercurah atas pemimpin kita, nabi Muhammad saw, beserta keluarga dan sahabat. selanjutnya…
Akhir-akhir ini begitu banyak rintangan yang dihadapi oleh umat Islam, bahaya yang terus mengancam di sekitarnya, kepedihan dan kesedihan datang silih berganti, krisis dan bencana terus terjadi seakan enggan untuk berhenti…
Penjajah yahudi zionis hari demi hari terus menambah kekejamannya, mengepung saudara kita di bumi Palestina yang didukung langsung oleh rekan dekatnya Amerika, menghancurkan tanaman dan keluarga, melakukan kerusakan di muka bumi, menghancurkan rumah dan sarana umum, membuat terowongan bawah tanah, menangkap, memenjarakan, bahkan membunuh dan membunuh warga Palestina yang tidak berdosa, sementara itu di Bait Hanoun para wanita dengan gagah berani menjadi tameng hidup menghadapi permusuhan mereka hingga ajal menjemput mereka
Di Irak masih terus berkecamuk perang antara dua golongan (sunni dan Syiah), dimana para penjajah membuat warganya menjadi berkelompok-kelompok, saling menyerang antar kelompok, membantai anak-anak dan para ulama, merampas harta, dan melakukan polarisasi para penerusnya, yang kebanyakan dari keturunan Arab, menggunakan nama seperti nama-nama kita, berbicara dengan bahasa kita, namun mereka tetaplah kelompok jahat yang selalu memusuhi kita!! Memecah belah umat!! Memporak-porandakkan negara hingga mencapai titik kehancuran yang menyedihkan.
Di negara Sudan masih saja terjadi persekongkolan untuk memecah belah negara Sudan; dengan tujuan agar daerah selatan Sudan yang merupakan seperempat daerah subur negara Sudan berpisah darinya. Setelah itu di bagian barat Sudan (Darfour) adanya intervensi  negara luar (barat) sehingga terus berkobar perang disana, boleh jadi setelah itu bagian timur Sudan yang saat ini sedang mengalami kemajuan..
Di Afganistan Amerika berusaha menguasai dan mengokohkan pendudukannya disana; guna menguasai tempat tersebut secara ekonomi dan politik, mengeliminir keberadaan daerah yang berbatasan dengan iran, memutus eksistensi Rusia dan Cina, menguasai sumber minyak di lautan Qazwin dan Asia Tengah, dan bertujuan mengamankan perekonomian dan kemaslahatan perusahaan minyak Amerika.
Adapun secara internal mayoritas bangsa Arab dan negara Islam berada dalam kekuasaan diktator, yang eksis didukung oleh musuh-musuh kita, pekerjaannya hanya  memiskinkan umatnya, membodohi warganya dan melemahkan keberadaan mereka… politik, militer, ekonomi, ilmu dan seni.
Para pejabat dan pemimpin di negara-negara arab atau negara mayoritas penduduknya muslim selalu mempertahankan jabatan mereka (kursi singganasananya) hingga bertahun-tahun lamanya, hidup dengan penuh kemewahan dan kenikmatan, merampas kekayaan negara… didukung oleh kekuatan penjajah barat - dipimpin oleh  Amerika Serikat - menjajah umat Islam, merampas kekayaan negara, menghantam siapa saja yang menghalanginya; demi mendapatkan jati diri dihadapan persekutuan yang baru, satu misi dan visi.
Persekutuan ini telah mengakar dalam tubuh mereka, kediktatoran internal dengan kejahatan external sehingga umat menjadi terbelakang dalam bidang keilmuan, tidak memiliki kemampuan yang maksimal, mengharap akan makanan dan pakaian, hidup dengan kemiskinan ditengah kemajuan negara lain, sehingga keadaan ini menjadi jurang pemisah antara kami dengan bangsa lain. Demikianlah nasib kita sebagai warga Arab dalam bidang keilmuan yang tidak bisa meningkatkan kemampuan pendapatan lebih dari 3 dollar dibanding dengan pendapatan warga dinegara barat hingga mencapai 409 dollar perhari seperti negara Jerman, 601 Dollar di Jepang dan 681 Dollar di Amerika.
Persekutuan ini terus bertambah kekejamannya dengan ditangkapnya dan dipenjarakannya orang-orang yang berusaha melakukan perubahan secara bebas (terbuka), para pemegang prinsip Islam dan akhlak yang mulia dalam menghadapi kediktatoran yang telah menghancurkan nilai-nilai dan prilaku dari kehidupan mereka.
Persekutuan tersebut terus bercokol hingga terjadi benturan dengan tsawabit (keutuhan) islam dan nilai-nilainya, hingga muncul sekelompok orang yang memerangi hijab (jilbab) dengan menggunakan kekuasaan, menghalangi dakwah kepada Allah SWT dengan meggunakan undang-undang memangkas segala aktivitas kebajikan dengan menggunakan jabatan dan membiarkan kebebasan melalui kekuatan nafsu syahwani.
Persekutuan telah merambah pada penghapusan sejarah umat Islam, menghilangkan loyalitas para pemuda terhadap Islam, kecendrungan dan keterikatan mereka pada agama, umat dan negara.
Persekutuan ini telah melahirkan generasi yang kehilangan kepercayaan terhadap masa depannya, memandang masa depan dengan hampa, penuh ketakutan, kekhawatiran dan keraguan.
Menghadapi rintangan
Rintangan yang selalu kita pelajari setiap pagi dan sore ini, yang selalu mengancam eksistensi kita sebagai bangsa dan umat dan mengancam keyakinan (aqidah) dan syariat kita, sangatlah membutuhkan dari sekelompok umat yang mau mengerahkan segala potensinya, pengorbanannya, dan selalu berusaha untuk berada dijalan yang lurus dalam menghadapi ancaman ini.
Kami sangat membutuhkan adanya barisan yang lurus dan para mukhlisin dari generasi umat guna mengdapi dan menghadang  kedzaliman para penguasa dan penjajah eksternal (barat) dan para diktator internal (penguasa arab) dan menghancurkan persekutuan mereka. Karena mereka  telah megnhinakan kebangsaan kita, menghancurkan (persatuan) negeri kita. Bahwa tabiat agama kita adalah kemuliaan, mengajak untuk selalu memiliki himmah aliya (semangat yang tinggi), azam yang kuat, tsiqoh, serta selalu bergerak guna menyelamatkan umat, menghadapi rintangan dan ancaman tanpa ada rasa putus asa dan takut, dan tanpa ada keraguan dalam mengemban amanat, karena syariat dan agama Islam mengharamkan sikap putus asa dan pesimisme, melarang untuk merasa hina dan lari dari beban dan amanah. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu merasa hina dan bersedih hati karena kamu adalah yang paling tinggi (mulia) jika kamu beriman” (QS Ali Imron: 139), dan firman Allah: “Sehingga jika para Rasul sudah merasa putus asa dan merasa mereka telah didustakan maka datanglah kepada mereka pertolongan Kami” (QS. An-Nisa : 110).
Kami menyadari.. bahwa kami adalah manusia biasa, kami bersedih sebagaimana yang dialami umat kami, kami berduka terhadap apa yang dialami oleh saudara kami, namun kesedihan dan duka bukanlah jalan terbaik kecuali mendorong kita untuk bersimpuh disisi Allah, tsiqoh pada pertolongan-Nya, tawakkkal kepada-Nya, berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menyelamatkan perahu (yang hampir karam) dan menghalau rintangan. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kalian berputus asa dari Ruh (pertolongan) Allah, karena tidaklah berputus asa dari Ruh Allah kecuali orang-orang kafir” (QS. Yusuf : 78), dan Allah berfirman: “Dan tidaklah berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat” (Al-Hijr : 56), dan Allah berfirman: “Apakah kalian mengira akan masuk surga sementara belum datang kepada kalian (cobaan) seperti orang-orang sebelum kalian, mereka ditimpa kesulitan dan kesusahan dan goncangan sehingga Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya berkata: “Kapan datangnya pertolongan Allah”. Ketahuilah bahwa pertolongan adalah dekat” (QS. Al-Baqoroh : 214).
Realitasnya
Jika tabiat agama kita mengajak kita untuk selalu bekerja dan berusaha tanpa henti agar mampu menghalau segala ancaman dan rintangan, dan jika kabar gembira datang dari langit karena usaha dan kerja keras serta teguh dalam menghadapi segala ancaman…maka realitasnya adalah menggapai kabar gembira, menghadirkan kemenangan pada setiap bangsa;  selalu bersemangat dalam menjalankan (melaksanakan) kewajiban, dan mengemban amanah dan tanggung jawab tanpa ragu-ragu dan merasa hina.
Demikianlah yang terjadi pada saat perang di Libanon; memperteguh pada diri setiap orang bahwa setiap bangsa memiliki keinginan untuk merdeka, menghadang setiap ancaman dengan pukulan yang lebih keras terhadap musuh yang mengklaim dirinya tidak bisa dikalahkan, menggagalkan proyek pembangunan tatanan timur tengah yang baru.
Demikian juga halnya dengan negara Iran yang mampu merobohkan kepungan dan menghadang segala rintangan, hingga mampu keluar dari jalan gelap yang telah direkayasa oleh Amerika melalui negara-negara tetangganya.
Bahkan demikian pula dengan Korea Utara yang mampu keluar dengan sendirinya dari cengkraman, Amerika telah mendikte dunia yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Demikian pula dengan saudara kita Hamas yang bersikukuh dengan pendiriannya di hadapan rintangan yang menyelimuti mereka dari berbagai arah dan menyerbu dari segala penjuru, mereka mampu membawa senjata dalam menghadapi musuh, keluar mempertahankan diri dan negara mereka. laki-laki dan wanita bahkan anak-anak rela berkorban tanpa ada rasa takut mati.
Hari demi hari mulai hadir kesadaran terhadap realita yang terjadi di tengah umat ini, para pemuda yang telah mendapatkan potensi yang mereka miliki; padahal sebelumnya mereka telah lupa dengan agama, sejarah, azzam dan loyalitas mereka, namun secara perlahan kesadaran para generasi terhadap nilai-nilai, agama dan loyalitas mereka terhadap umat lahir kembali.
Apa yang harus dilakukan??
Dengan adanya basyarah ilahiyah (kabar gembira dari Allah) dan realitas ini, tidak ada yang dapat kita lakukan kecuali melakukan usaha dengan sungguh-sungguh dan berkesinambungan, karena waktu bukan hanya untuk kemaslahatan bangsa dan umat kita saja.
Kita membutuhkan generasi dari pemuda yang mengenal Tuhan mereka, memahami besarnya tantangan, memahami risalah mereka, mampu berdiri tegak dijalannya dan berpegang teguh dengan misi mereka, memperindah hiasan agama dan dakwah serts amal untuk kemasalahatan umat; dakwah dan pemahaman, usaha dan pembinaan, target dan karakter, ikhlas dan kejujuran serta kesucian dan tauladan.
Kami membutuhkan kesadaran umat dan bangsa dari kelalaiannya, mengingatkannya dari bahaya yang mengkungkung dan menyelimutinya dari lingkaran yang menggerogoti hidupnya tanpa menyembunyikan potensi dan tanpa berlambat-lambat dalam bekerja.
Kami juga membutuhkan adanya tolong-menolong bersama para mukhlisin guna menyambung keseimbangan ilmiyah dan komunikasi antara kami dan seluruh umat, ditengah tekanan dari para pemimpin, guna meningkatkan pendapatan finansial dan melakukan riset ilmiyah dan teknologi yang dapat memberikan kemaslahatan umat.
Kami juga membutuhkan adanya shaf (barisan) melawan kedzaliman dan kediktatoran para pemimpin di negeri-negeri kita, dan memobilisasi kepada para pejabat untuk selalu berpihak pada rakyaknya, condong kepada bangsanya ketimbang memata-matai untuk kepentingan musuh, agar para pejabat menyadari bahwa sandaran yang hakiki  tidak akan terwujud kecuali jika berpegang teguh pada tsawabit, aqidah dan syariah, condong kepada rakyat sehingga menjadi alternatif, bergerak untuk membela umat, melawan/menghadang berbagai ancaman yang menyelimuti bangsa negara.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah pada baginda Muhammad saw, nabi yang ummi, kepada keluarga, para sahabat… dan segala puji hanyalah milik Allah.

Mengenang 100 tahun Imam Syahid Hasan Al-Banna

Mengenang 100 tahun Imam Syahid Hasan Al-Banna

Mengenang seratus tahun Imam Syahid Hasan Al-Banna; kembali kita mengingat masa hidup beliau, disaat begitu banyak peristiwa yang menerpa dunia Islam setelah perang dunia I, dan disaat dunia Islam mengalami kemunduran akibat jatuhnya khilafah Islamiyah, sehingga mesti ada seseorang yang lahir ke dunia mengembalikan Islam kembali hidup dan mulia.
Saat begitu kuatnya persekongkolan yang dilakukan oleh kekuatan jahat pemerintahan Arab dan dunia barat, hadir seorang pemuda berumur 21 tahun yang telah banyak meneguk air sungai nil untuk menghilangkan dahaga dan menjadikan ajaran Islam sebagai syariat dan minhajul hayah (jalan hidup), Al-Quran sebagai hidayah. Beliau selalu menyeru “Wahai kaum kami, sesungguhnya saya menyeru kepada kalian, bahwa Al-Quran ada ditangan kanan saya dan sunnah di tangan kiri saya dan amal para salafussholih dari umat ini sebagai tauladan. Kami menyeru kepada kalian untuk kembali kepada Islam; ajaran dan hidayah Islam… Islam adalah sistem kehidupan yang komprehensif, mencakup segala aspek kehidupan, dia merupakan negara dan bangsa, atau pemerintahan dan umat, dia merupakan akhlak dan kekuatan atau rahmat dan keadilan, dia merupakan tsaqofah dan qonun atau ilmu dan hukum, dia merupakan materi dan harta atau usaha dan kekayaan, dan dia merupakan jihad dan da’wah atau prajurit dan ideologi, sebagaimana dia merupakan akidah yang bersih dan ibadah yang benar satu sama lainnya”.
Jadi melalui cahaya yang bersinar di ufuk mengajak untuk mengembalikan kehidupan pada ajaran Islam yang agung, melalui tangan yang telah digerakkan oleh pertolongan ilahi sehingga mampu mengemban beban da’wah ini dan mengembalikan cahayanya kembali bersinar, memancarkan cahaya kesegala penjuru dunia. Demikianlah Imam Syahid Hasan Al-Banna, lahir kedunia pada saat dan waktu yang tepat, guna membangun kembali Islam yang telah luntur dan membina jamaah yang beriman dan mampu mengemban da’wah yang telah diamanahkan di pundak yang menisbatkan diri kepada da’wah.
Imam Al-Banna rahimahullah adalah figur yang telah digerakkan oleh takdir ilahi, dibentuk oleh tarbiyah Rabbaniyah, muncul pada waktu dan tempat yang tepat, maka sangatlah cocok ungkapan ustadz Umar At-Tilmitsani dengan “Anugerah yang sangat berharga”. Beliau tidak pernah ragu untuk mengenalkan dirinya: “Saya adalah seorang pelancong yang sedang mencari kebenaran, manusia yang mencari petunjuk ditengah kerumunan manusia, rakyat yang mengidamkan kemuliaan negaranya, kebebasan, ketenangan dan kehidupan yang sejahtera dibawah naungan Islam yang suci, saya seorang hamba yang mengenal tujuan hidup, lalu beliau membaca firman Allah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah karena Allah Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan dengan demikian Aku diperintahkan dan Aku termasuk orang yang pertama muslim”. (Al-An’am : 162-163). Inilah saya, lalu sipakah anda?
Mengenang seratus tahun Imam Al-Banna, saat beliau masih belia, sosok yang memiliki kecerdasan pada akal dan fikirannya, begitu besar semangat dan ghirahnya terhadap agama. Saat beliau berumur 10 tahun tidak didapati dalam dirinya kecuali kegigihan beliau dalam merubah segala kemungkaran yang dilihatnya, seperti yang pernah dilakukan terhadap seorang penari telanjang yang menari di atas perahu di sepanjang sungai nil di daerah Al-Mahmudiyah.
Begitupun kita mengenang beliau; Saat menjadi pelajar dalam berbagai jenjangnya, beliau begitu semangat dalam mengikuti dan membentuk Jam’iyyah (lembaga) da’wah seperti (Jam’iyah akhlak Al-adabiyah - lembaga akhlak dan etika, Jam’iyah man’u al-muharramat - lembaga pencegah perbuatan haram, Jam’iyah Al-ikhwan al-hashofiyah -  Lembaga al-Ikhwan al-hashofiyah), kita belajar dari beliau akan ghirah Islam yang begitu menggelora, semangat dalam menyampaikan da’wah dan himmah (Antusias) dalam mengajak manusia pada kebajikan dan mencegah kemungkaran.
Kita mengenang beliau; Sosok yang hidup dengan jujur karena Allah, menunaikan janjinya bersama Allah saat mendaftarkan dirinya sebagai tentara Allah, seperti dalam ungkapannya yang masyhur, sebagai bagian dari impiannya: “Saya harus menjadi seorang yang mursyid (memberikan arahan) dan muallim (memberikan pelajaran), sehingga sepanjang hari saya bisa mengajarkan anak-anak, sementara di malam harinya saya bisa mengajarkan orang tua tentang tujuan agama mereka, sumber kebahagiaan dan perjalanan hidup mereka. Kadang disampaikan melalui khutbah dan kadang dengan melakukan dialog, mengarang buku, menulis, dan juga dengan melakukan jaulah (perjalanan)”.
Kita belajar darinya akan tingginya semangat dan tujuan hidup serta kesempurnaan dalam menunaikna apa yang dinadzarkan terhadap dirinya.
Kita semua mengenang beliau; Seorang muslim yang optimis dan berani membusungkan dadanya sambil berkata: “Inilah saya”, Sambil menggenggam Al-quran dan dengan suara yang tinggi beliau berseru: “Jalan yang benar adalah dari sini”, beliau juga menyampaikan kepada seluruh manusia “Bahwa Islam adalah sistem yang komprehensif mencakup segala aspek kehidupan, menetapkan hukum pada setiap keadaan dan meletakkan sistem yang permanen dan teliti serta tidak pernah berhenti sekalipun berhadapan dengan benturan-benturan dan sistem yang dlalim dalam memberikan kebaikan kepada manusia manusia”. Kita belajar darinya sikap optimisme yang membangun.
Mengenang seratus tahun Imam Al-Banna, sosok yang beriman kepada Allah dan memiliki keyakinan yang penuh akan pembelaan dan dukungan Rabb-nya, beliau menyeru: “Serukanlah kepada kami karena sesungguhnya kami membawa suatu kebaikan, kumpulkanlah kepada kami manusia maka akan kami bacakan kepada mereka dzikir, kami akan menjadi dokter bagi yang sakit, akan diam teliang penduduk dunia jika tidak mendengar semboyan kami; “Allah adalah tujuan kami, Rasul adalah pemimpin kami, Al-Quran dustur kami, jihad adalah jalan hidup kami, mati di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami…” Kita belajar dari azzam (semangat) dari seorang pemuda yang beriman yang tidak merasa lemah, keyakinannya sangat tinggi dalam jiwanya, agamanya, dakwahnya dan kesiapan dirinya untuk berkorban dijalan da’wah yang diembannya.
Mengenang seratus tahun imam Syahid Hasan Al-Banna; sosok yang begitu berani menyerukan tujuan ideologinya: “Mencetak generasi baru yang beriman kepada ajaran-ajaran Islam yang benar, siap bekerja dalam melakukan perbaikan pada umat dengan shibgah al-islamiyah (celupan islam) yang komprehensif dalam segala aspek kehidupan”. “Shibgoh Allah, dan adakah shibghoh yang lebih baik dari shibgoh Allah ?” (Al-Baqoroh : 138). Beliau berhasil menyelamatkan umat Islam dari penyimpangan, menyambungkan lisannya dan menyemburkan ruhnya kepada murid-muridnya, dan dengan gambalang beliau berkata kepada mereka: “Ruh yang berjalan dihati umat ini yang hidup dengan Al-Quran, cahaya yang bersinar hingga menembus kegelapan materi melalui ma’rifah Allah swt, suara yang bergema meninggikan dakwah Rasulullah saw… Kita belajar darinya akan terangnya tujuan dan status serta benarnya petunjuk jalan.
Mengenang beliau; Seorang imam (pemimpin) yang sangat mengagumkan, di bumi Mesir beliau mampu menembus jalan hingga berpuluh-puluh kota besar dan beribu desa, berbicara kepada setiap manusia paling sedikit tiga ribu desa, beliau menanamkan benih cinta melalui senyuman dan kasih sayang, memberikan keyakinan yang memuaskan dan menyejukkan, menghindar silang pendapat dan menolak perdebatan dan memberikan komentar dengan gamblang bukan dengan fenomena, mendahulukan yang lebih penting dari yang penting… Namun sebelum dan sesudahnya beliau selalu menekankan akan pentingnya taqwa kepada Allah dan bersiap diri untuk bertemu dengan-Nya, beliau selalu menyeru : “Bahwa fana dalam kebenaran merupakan kunci kekekalan”. .. Kita belajar darinya usaha yang terus menerus untuk menyebarkan da’wah dan risalah, dan tidak kekalnya jiwa dari ajalnya.
Mengenang seratus tahun Imam Al-Banna; Pendiri dua ribu cabang di berbagai desa di penjuru Mesir, pada tiap cabang didirikan sekolah untuk menanamkan kebangsaan dan jihad, amal shalih dan dakwah, beliau menghidupkan kepahlawanan dan keberanian, membuka wawasan terhadap hakikat yang terjadi didunia politik, membina generasi baru yang memliki kesemangatan kebangsaan dan memiliki kesiapan untuk mengorbankan jiwanya dan hartanya dan segala apa yang dimilikinya guna mempertahankan negara dan kehormatan dirinya.
Mengenang seratus tahun Imam Al-Banna; sosok yang memberikan gambaran kepada kita tentang pengikutnya: “Mata mereka terus bangun hingga larut sementara manusia terlelap dalam tidurnya, jiwa mereka sibuk sementara yang lainnya dalam keadaan lalai, salah seorang dari mereka duduk di perpustakaannya hingga larut malam terus bekerja dan berjuang, menjadi mufakkir dan mujaddid, terus berjalan selama sebulan sepanjang hidupnya, sehingga saat berada dipenghujung bulan dijadikan tempat kembalinya adalah untuk jamaah, dikeluarkan hartanya untuk merealisasikan tujuannya, lisannya berbicara untuk membangunkan umatnya yang lengah akan pengorbanannya. “Saya tidak berharap kepada kalian upah, karena tidak ada yang aku harapkan kecuali ganjaran dari Allah”. (Hud : 29).. Kita belajar darinya usaha yang sempurna terhadap dakwah dan permasalan umat.
Mengenang Imam Syahid Hasan Al-Banna saat beliau berpidato: “bahwa Umat yang baik dalam mempersiapakan kematian, mengetahui bagaimana menggapai kematian yang mulia, maka Allah anugerahkan kepadanya kehidupan yang mulia di dunia dan kenikmaatan  yang kekal di akhirat, maka persiapkanlah diri kalian untuk menyongsong hari yang agung, bersegeralah dalam menyambut kematian sehingga jiwa kalian akan hidup, dan ketahuilah bahwa kematian merupakan suatu kepastian, dan tidak akan terjadi kematian kecuali hanya sekali, jika anda membuatnya berada di jalan Allah maka hal tersebut merupakan keberuntungan didunia dan ganjaran di akhirat”. Kita belajar darinya bagaimana hakikat berkorban dan berdakwah dijalan Allah .
Saudaraku yang tercinta…
Seratus tahun telah berlalu kelahiran pemimpin kita, namun sosok dakwahnya masih tetap menggetarkan dunia, para pembela dakwah dan ideologinya dan juga para penentangnya, semuanya melihat seperti burung elang yang terbang diatas langit menembus angin topan, para pengikut dakwahnya masih terus bergerak di setiap tempat, dakwah yang menembus hingga 90 negara di dunia, hingga menjadi tandhim Islam yang membawa ideologi, menyeru dan membina manusia menuju Allah, untaian hikmah beliau masih terus bergema dan selalu diulang di tengah-tengah kita, beliau selalu menyerukan kepada pendukung dan penentangnya: “Kami akan memerangi manusia dengan cinta”. Memberikan arahan akan tabiat perjuangan dan jalan yang sebenarnya: “Bahwa perjuangan kita adalah perjuangan tarbiyah (pembinaan)”. Guna menebar benih cinta dan tarbiyah dalam dakwah, keduanya merupakan rahasia keberlangsungan dakwah sekalipun angin topan menerpanya.

Peranan Pemuda dalam Islam (4): Pemuda Harus Menjadi Generasi yang Menjadi Potret Islam

Peranan Pemuda dalam Islam (4): Pemuda Harus Menjadi Generasi yang Menjadi Potret Islam

Para pemuda hendaknya menyadari bahwa mereka haruslah menjadi kelompok yang mampu mempresentasikan nilai-nilai Islam secara utuh bagi masyarakat, yaitu:
1. Mereka menjadi generasi yang hidup qalbunya karena senantiasa dekat dengan al-Qur’an, dan tenang dengan dzikrullah (QS 13/28) [1], bukan generasi yang berhati batu (QS 57/16) [2] akibat jauh dari nilai-nilai Islam, ataupun generasi mayat (QS 6/122) [3] yang tidak bermanfaat tetapi menebar bau busuk kemana-mana.
2. Dalam menghadapi kesulitan dan tantangan, maka para pemuda harus sabar dan terus berjuang menegakkan Islam, hendaklah mereka berprinsip bahwa jika cintanya kepada Allah SWT benar, semua masalah akan terasa gampang.
3. Dalam perjuangan, jika yang menjadi ukurannya adalah keridhoan manusia maka akan terasa berat, tetapi jika ukurannya keridhoan Allah SWT maka apalah artinya dunia ini (QS 16/96) [4].
(bersambung, insya Allah…)
Catatan kaki:
[1] “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d [13]: 28)
[2] “… dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadiid [57]: 16)
[3] “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am [6]: 122)
[4] “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl [16]: 96)

Mentaati Orang Tua

Mentaati Orang Tua

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنْ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ . وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
(لقمان : 14-15)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 14-15)
Ayat ini Allah selipkan di tengah-tengah pesan Luqman al Hakim kepada anaknya, para ahli tafsir menyebutnya sebagai jumlah i’tiradhiyah. Keterangannya begini: ketika Luqman berpesan agar anaknya menjauhi syirik (sikap menyekutukan Allah) Allah segera mengingatkan dengan ayat di atas bahwa keharusan meninggalkan syirik adalah satu hal yang sangat mendasar. Tidak bisa ditawar-tawar. Sampaipun ajakan untuk bertindak syirik datangnya dari orang tua -yang harus ditaati dan dicintai- seorang anak harus tetap bersikap tegas pada pendiriannya, dengan tanpa melukai perasaannya.
Imam Ibn Katsir menyitir sebab turunnya ayat tersebut: Sa’ad bin Abi Waqqas bercerita: “Saya adalah seorang yang selalu mengabdi kepada ibu. Ketika saya masuk Islam ibu saya berkata: Agama apa yang kamu ikuti itu? Saya minta agar kamu tinggalkan agama tersebut. Jika tidak saya tidak akan makan dan minum sampai mati, sehingga orang berkata bahwa kamu adalah pembunuh saya. Saya lalu berkata: wahai ibu jangan kau lakukan itu. Sampai kapanpun saya tidak akan pernah meninggalkan agama ini. Tapi ibu benar-benar melakukan itu, lanjut Sa’ad. Hari pertama, lalu hari kedua, sampai hari ketiga. Kondisinya benar-benar mengerikan. Saya langsung segera mendekatinya: Ketahuilah wahai ibu, -kata saya lebih lanjut- seandainya kau mempunyai seratus jiwa, dan satu persatu jiwa tersebut pergi, saya tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini. Jika ibu mau makanlah, jika tidak teruskan saja menahan lapar. Karena ketegaran pendirian saya tersebut, ibu lalu makan. Maka turunlah ayat di atas.
Kewajiban Menghormati Orang Tua
Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah ajaran yang selalu Allah pesankan tidak hanya kepada Rasulullah SAW, melainkan juga kepada nabi-nabi terdahulu. Dalam surat Al Baqarah: 83 Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak…”. Dalam An Nisa’ 36: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapa…” Dalam Al An’am:151: Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap ibu bapa…”.
Ketika menafsirkan ayat yang kita bahas di atas, Imam Az Zamakhsyary dalam karya monumentalnya Al Kasysyaf menyingkap rahasia mengapa Allah menyebutkan secara khsusus gambaran capeknya seorang ibu saat-saat mengandung sang anak “hamalathu ummuhuu wahnan ‘alaa wahnin”. Di sini kata Az Zamakhsyary: mengandung suatu penekanan agar sang anak kelak benar-benar menghormati ibunya. Bahwa hak seorang ibu kepada anaknya adalah sangat agung. Rasulullah SAW ketika ditanya oleh salah seorang sahabat mengenai kepada siapa ia harus berbuat baik, ia menjawab: “ibumu”, “ibumu”, “ibumu”, lalu “bapakmu”. (Al Kasysyaf, Az Zamakhsyary: vol: 3, h. 494-495)
Cinta dan pengorbanan seorang ibu memang sangat tergambar dalam ungkapan: “hamalathu ummuhuu wahnan alaa wahnin”, tetapi seringkali sang anak tidak merasakannya. Karena waktu itu ia masih dalam kandungan dan kalaupun telah lahir selama dua tahun disusui, anak belum bisa menangkap kesan secara sempurna. Karena itulah Allah sebutkan dalam ayat di atas supaya nampak betapa besarnya kasih sayang sang ibu. Dan bahkan semua itu tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan perjuangan sang ayah dalam mencari nafkah.
Manusia memang cendrung berterimaksih kepada orang yang bantuannya nampak di depan matanya dan ia rasakan secara langsung. Perjuangan seorang ayah ketika mencari nafkah dan membiayai kebutuhan rumah tangga, memang sangat nampak dan terasa secara langsung bagi sang anak. Maka sebelum persepsi negatif muncul, bahwa sang ibu tidak berbuat apa-apa, dan supaya sikap merendahkan peranan ibu tidak terjadi Allah segera mengingatkan akan pengorbanan yang sangat agung ini. Dan hebatnya lagi, peringatan ini datangnya langsung dari Allah. Suatu indikasi yang menggambarkan betapa besar jasa kedua orang tua, terutama sang ibu, dan bahwa menghormati dan mengabdi kepada keduanya bukan hanya suatu sikap yang sangat penting dan mendasar melainkan suatu kewajiban.
Lebih dari itu Allah tidak bosan-bosan mengulang-ngulang pesan keharusan berbuat baik kepada kedua orang tua di berbagai kesempatan dalam Al Qur’an. Mengapa? Mari kita lihat bahwa ternyata kecintaan dan tanggung jawab orang tua kepada anak adalah fitrah yang Allah tanamkan dalam diri setiap orang tua. Makanya, capek bagaimanapun orang tua tetap berjuang untuk mengandung, menyusui dan membesarkan anaknya. Bahkan mereka seringkali merasa senang sekalipun harus mengorbankan waktu tidurnya di tengah malam saat enak-enaknya tidur. Ini adalah sunnatullah yang sudah Allah tetapkan demi berlangsungnya kehidupan di bumi. Tetapi kecintaan dan ketaatan seorang anak kepada orang tua, butuh kesadaran. Untuk mencapai kesadaran ini butuh peringatan yang terus-menerus bahwa mentatati orang tua adalah suatu kewajiaban. Dari sini Nampak rahasia mengapa sampai sebegitu rupa Allah menggambarkan getir perjuangan seorang ibu terhadap anaknya. Itu tidak ada lain, agar anak tersentuh lalu tersadar, dan seteleh itu tergerakkan untuk menjalankan kewajibannya kepada kedua orangtuanya dengan sungguh-sungguh.
Sebagai suatu kewajiban maka tentu tidak ada perbedaan fiqih dalam hal ini. Semua ulama bersepakat akan wajibnya mengabdi kepada kedua orang tua. Kecuali jika suatu saat kelak salah seorang dari kedua orang tua memerintahkan untuk berbuat syirik, maka kartu hak untuk ditaati seperti yang kita sebutkan tadi tidak bisa dipergunakan. Dan dalam kontek inilah ayat di atas di selipkan. Supaya tidak menimbulkan paham bolehnya mengkultuskan orang tua sampai ketingkat keharusan mentaatinya sekalipun harus melanggar ajaran Allah SWT. Tidak, orang tua memang harus dihormati dan ditaati, tetapi dalam hal pilihan antara mengikuti ajaran Allah dan RasulNya atau ajakan orang tua kepada kemusyrikan, maka yang harus diutamakan adalah tetap ajaran Allah dan RasulNya. Sikap Sa’ad ra. seperti yang telah disebutkan tadi adalah cerminan yang menguatkan pemahaman ini.
Sikap keharusan mengutamakan ajaran Allah kian terlihat ketika Allah berfirman pada ayat selanjutnya: anisykurly waliwalidayka, di sini keharusan bersyukur kepada Allah lebih di dahulukan penyebutannya. Kata anisykurly artinya “kau harus bersyukur kepadaKu”. Perhatikan ketegasan ungkapan ini, mengapa li (untuk Allah) didahulukan atas waliwalidaykum (untuk orang tuamua)? Allah adalah pemberi nikmat hakiki dan apa yang diberikan orang tua kepada anaknya tidak lebih dari karunia Allah kepadanya. Benar, orang tua telah sangat berjasa dan berbuat baik kepada anaknya. Tetapi semua jasa baik itu adalah karena karunia Allah. Seandainya Allah tidak menghendaki hal itu, tentu akan terjadi yang sebaliknya. Bukankah sudah banyak buktinya bahwa seorang ibu membunuh cabang bayinya. Seorang ayah membunuh anaknya dan lain sebagainya. Dari sini jelas bahwa sikap baik orang tua bagaimanapun adalah karena karunia Allah. Oleh sebab itu Allah-lah Pemberi karunia yang hakiki. Dan Karena itu Ia harus diutamakan di atas segala-galanya. Sampaipun harus melanggar keinginan orang tua atau seorang Ibu yang telah mengandung dan menyusuinya selama beberapa waktu tertentu sesuai dengan takdirNya.
Berapa Lama Seorang Ibu Harus Mengandung Cabang Bayinya?
Pernyataan ayat: hamalathu ummuhuu wahnan ‘alaa wahnin menggambarkan perjuangan seorang ibu pada saat-saat mengandung sang cabang bayi. Para ulama Fiqh menetapkan bahwa batas minimal waktu kehamilan adalah enam bulan. Ini berdasarkan ayat: wahamluhuu wafishaluhuu tsalaatsuuna syahra (ibunya mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan) (QS. Al Ahqaf:15), dan ayat: wafishaaluhuu fii ‘aamain (ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun) (QS. Luqman:14). Dari kedua ayat ini terlihat bahwa paling sedikitnya tenggang waktu kehamilan itu enam bulan. Makna ini dikuatkan lagi oleh sebuah riwayat: bahwa seorang wanita menikah lalu pada bulan keenam melahirkan, lalu dilaporkan ke Khalifah Utsman supaya dirajam (dengan asumsi ia telah berbuat zina). Melihat kejadian itu Ibn Abbas lalu menyebutkan kedua ayat di atas dan berkata: maka kehamilan itu minimalnya enam bulan dan menyusuinya duapuluh empat bulan. Atas dasar itu Utsman tidak jadi merajamnya. Setelah menyebutkan riwayat tersebut Ibnul Araby dalam tafsirnya Ahkamul Qur’an mengisyaratkan bahwa Ali bin Abi Thalib mendukung pendapat tersebut, lalu berkata: itu suatu kesimpulan hukum yang sangat tajam dan mengagumkan.
Batas Waktu Menyusui Berapa Lama?
Para ahli fiqh menyebutkan bahwa batas waktu menyusui maksimal dua tahun. Dalillnya ayat di atas: wafishaaluhuu fii ‘aamain. Fishal artinya fithaam (menyusui). Diperkuat lagi dengan ayat: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al Baqarah: 233). Pendapat ini didukung oleh Mayoritas ulama fiqh: Imam Malik, Imam Sayafi’ie dan Imam Ahmad. Kecuali Imam Abu Hanifah yang melihat bahwa batas maksimal menyusui adalah dua tahun setengah. Dalillnya: wahamluhuu wafishaaluhuu tsalaatsuuna syahra. Di sini Abu Hanifa menafsirkan kata wahamluhu bukan dengan masa kehamilan, melainkan hamluhuu ‘alal yadain min ajlil irdha’ (memangku sang bayi untuk menyusuinya). Hanya saja pendapat ini ditolak oleh kedua muridnya: Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad. Maka dengan ini pendapat yang pertama tentu lebih kuat, tidak saja dari segi kualitas dalil melainkan juga dukungan mayoritas termasuk Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad.
Penemuan ilmu pengetatahuan moderen mengungkap rahasia kewajiabn menyusui ini lebih dalam lagi. Bahwa air susu seorang ibu mengandung protein dan segala yang dibutuhkan sang bayi dalam masa perkembangannya selama dua tahun. Tempratur hangatnya pun sangat pas dengat tempartur sang bayi yang setiap saat selalu berubah-ubah. Lebih dari itu dalam air susu ibu Allah bekalkan bahan yang membantu kekebalan tubuh sang bayi dari berbagai penyakit, di mana semuanya ini tidak akan pernah bisa diwakili dengan hanya minum susu buatan. Proses ini sebagaimana ketentuan Al Qur’an di atas dibatasi sampai dua tahun. Setelah itu kondisi tubuh sang bayi tidak mebutuhkan lagi bantuan air susu ibu dengan kandungannya yang sangat mengagumkan itu. (lihat Dr. Abdul Hamid Diyab dkk, Maath thibbi fil Qur’an, h.99-103)
Bolehkah Mentaati Perintah Orang Tua Dalam Hal Yang Dilarang Allah?
Sebuah kaidah yang sangat terkenal perlu ditekankan ketika harus menjawab pertanyaan ini: la thaata limakhluuqin fii ma’shiyatil khaaliq (tidak boleh ditaati seorang makhluq (siapapun dia) dalam hal berbuat maksiat kepada Sang Pencipta). Para ulama ketika menafisrkan ayat di atas: “wainjaahadaaka alaa antusyrika bii maalayasa laka bihi ilmun falaa tuti’huma” menguatkan hakikat ini. Mereka menyimpulkan: Bila ternyata mentaati orang tua dalam melakukan kemusyrikan hukumnya haram, maka mentaatinya untuk melakukan kemaksiatan apapun juga hukumnya haram. Artinya sekalipun orang tua anda berupaya keras untuk mempengaruhi agar anda tidak sholat, tidak ada pilihan bagi anda kecuali harus bertahan pada ajaran Allah. Anda harus tetap tegar menjalani kewajiban anda, dengan tidak menyakiti keduanya. Imam Al Qurthuby mengatakan: Wajibnya mentaati orang tua bukan dalam perbuatan dosa, pun bukan dalam meninggalkan kewajiaban, melainkan dalam mubahaat (yang dibolehkan). Pinjam istilah Ustadz Sayyid Quthub bahwa ketika orang tua berupaya mengajak kepada kemusyrikan maka hilanglah pada saat itu kewajiban untuk mentaatinya. (Fidzilalil Qur’an, vol.5, h.2788-2789)
Hakikat keharusan mengutamakan perintah Allah di atas segala perintah telah dipahami secara mendalam oleh para pendahulu (salaf) dari umat ini. Sikap Saad ra. setidaknya membuktikan kenyataan tersebut. Ditambah lagi Abu Bakar ketika pertama kali menyampaikan ceramah kepemimpinannya, ia menyatakan: “Wahai manusia, saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, ini bukan berarti saya lebih baik dari kalian. Maka bila saya berbuat baik, bantulah, tetapi jika saya berbuat salah, perbaiki. Taatilah selama saya mentaati Allah dalam menjalankan amanah kalian, namun jika saya berbuat maksiat kepada Allah, maka hilanglah kewajiban kalian untuk mentaati saya”.
Jika Kedua Orang Tua Tidak Beriman, Wajibkah Kita Berbuat Baik?
Ayat: “washahibhuma fiddunya ma’ruufa” mengandung perintah untuk selalu berbuat baik kepada kedua orang tua sekalipun keduanya tidak beriman. Bukan hanya itu, bahkan sekalipun keduanya berusaha untuk mengajak kepada kemusyrikan, kewajiban berbuat baik ini tetap harus dipertahankan. Sebatas mana perbuatan baik tersebut? Sebatas tidak melanggar ajaran Allah dan tidak keluar dari wilayah iman. Ketika salah satu dari keduanya sakit misalnya, anak wajib mebantunya, melayani keperluannya dan lain sebgainya.
Bahkan berdasarkan ayat “washahibhuma fiddunya ma’ruufa” tersebut, ada sebagian ulama fiqh yang menyimpulkan bahwa seorang anak tidak berhak menuntut qishah jika salah seorang dari keduanya melemparkan tuduhan zina (qadzaf). Pun juga keduanya tidah berhak dipaksa atau didenda secara pidana jika suatu saat tidak membayar hutang yang ditanggungnya. Sebab kewajiban seorang anak memberikan nafkah atasnya.
Haruskah Kita Mengikuti Jejak orang Saleh?
Ayat di atas memerintahkan agar kita mengikuti jejak orang-orang saleh, seperti para nabi, para sahabat, para tabi’in dan tabi’eittabien. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar mengikuti tuntutuan Allah. Karenanya mereka sukses dan bahagia: wattabi’ sabiila man anaaba (dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku).
Anaaba artinya raj’a ilaa syai’ (kembali kepada sesuatu). Para ahli tafsir mengatakan: maksudnya adalah meninggalkan kemusyrikan dan kembali ke jalan Islam. Dengan kata lain mereka kembali kepada Allah dengan kepribadian yang senantiasa istiqamah menjalani kewajiban kehambaanNya kepada Allah. Mereka benar-benar menyadari bahwa mereka kelak akan dikembalikan kepada Allah, untuk mempertanggungjawabkan sekecil apapun yang telah merela lakukan selama hidup di dunia. Perhatikan bunyi ayat selanjutnya: “Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Ketika menafsirkan ayat ini Dr Wahbah Az Zuhaily mengatakan: anaaba dalam ayat tersebut maksudnya kembali kepada Islam, dan mengikuti Rasulullah SAW, kembali kepada Allah dengan bertauhid, bersikap ikhlas dalam menjalankan segala bentuk ketaatan. Bukan mengikuti jalan kedua orangtua yang mengantarkan kepada kemusyrikan. Perintah untuk mengikuti jejak orang-orang saleh ini –lanjut wahbah- menunjukan bahwa ijma’ul ummah adalah benar. Wallhu a’lam bishshawab.