Hati-Hati Menjalani Hidup

 Hati-Hati Menjalani Hidup
Kecelakaan di jalan tol lebih besar dibanding kecelakaan di jalan berbelok-belok, becek atau jalan berlubang. Saya dengar, di jalan tol Padaleunyi saja, dalam setahun, telah terjadi sekitar dua ratus kecelakaan. Angka ini lebih banyak di banding kecelakaan di jalan raya biasa.


Begitu pula dalam hidup. Kenyamanan dan keserbacukupan berpotensi melenakan dan menghancurkan. Anak-anak yang dibesarkan dalam suasana serba mudah, lebih rentan tergelincir. Mereka pun cenderung mudah kalah saat di hadapkan pada kondisi sulit. Berbeda dengan anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam kondisi serba sulit. Mereka akan jauh memiliki daya tahan dalam mengarungi hidup. Betapa banyak orang sukses mengawali hidupnya dari kondisi serba darurat. Ketika kesulitan menghadang, mereka akan menghadapinya dengan senyuman. Mengapa? Karena kesulitan sudah jadi "mainan" sehari-hari.

Ibaratnya, hidup serba mudah seperti jalan tol, lurus, rata, konstan dan mudah diprediksi belokannya. Sedangkan hidup serba susah bagaikan berkendaraan di jalan penuh kelokan. Sulit diprediksi, dinamis, menuntut konsentrasi dan kehati-hatian ekstra. Sehingga kecelakaan lebih dapat diminimalisasi.

Kalau kita cermati, ternyata ada kemiripan antara kecelakaan di jalan raya dengan kecelakaan dalam hidup. Khususnya bila dilihat dari penyebabnya. Mari kita lihat.

  1. Ngantuk karena tidak pandai mengukur kemampuan diri. Dalam hidup, kalau seseorang tidak pandai menyikapi hidup dan mengukur kemampuan dirinya, maka ia akan mudah tergelincir

  2. Ugal-ugalan. Orang yang ugal-ugalan dalam hidup, tidak memakai perhitungan matang, tergesa-gesa mengambil keputusan, kehidupannya pasti berantakan.

  3. Nyetir sambil menelepon. Mirip dengan orang yang lalai, tidak waspada dan berdisiplin. Ia kurang bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Akibatnya sungguh fatal.

  4. Ceroboh, tidak terampil menggunakan rem misalnya, mirip orang yang tidak terampil mengendalikan nafsu. Kita dapat menduga apa yang akan terjadi pada orang yang kurang terampil mengendalikan nafsu, hati akan mengeras, susah akur, tamak, dsb.

  5. Tidak memiliki persiapan matang, tidak memeriksa kendaraan sebelum berangkat. Hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya melakukan persiapan dan perencanaan matang sebelum beraktivitas. Gagal merencanakan sama artinya dengan merencanakan gagal. Orang yang tidak memiliki perencanaan dalam hidupnya, berpeluang besar untuk gagal.

  6. Belum lancar mengendarai. Dalam hidup, kalau kita tidak terampil dan terlatih menghadapi masalah, akan membuat hidup terasa ruwet dan getir. Di sinilah pentingnya amal yang berkesinambungan di bawah dibimbing seorang pelatih profesional. Dalam hidup, pembimbing kita adalah Alquran dan hadis.

  7. Tidak tahu rambu-rambu lalu lintas, sama artinya dengan tidak memahami aturan hidup yang digariskan agama. Atau, orang yang mengetahui adanya rambu-rambu lalu lintas, namun tidak mau menaatinya.

Kehidupan kita tidak jauh beda seperti seorang yang mengendarai mobil di jalan. Maka berhati-hatilah menjalani kehidupan ini agar kita selamat menuju alam akhirat, seperti kita menghindari kecelakaan di jalan raya

Penutup

Penutup
KAMI tidak bermaksud dalam menulis kitab ini kecuali mengemukakan masalah halal dan haram yang berhubungan dengan masalah pekerjaan anggota dan amaliah lahiriah. Adapun amaliah batiniah, seperti gerakan jiwa, perasaan dan kehendak, Islam pun sebenarnya tidak membiarkan begitu saja, dengan arti kata bebas berkehendak tanpa ada suatu larangan apapun. Bahkan Islam justru lebih memperkeras persoalan haram yang bertalian dengan hati, seperti hasud, dengki, sombong, congkak, riya', nifaq, bakhil, tamak dan sebagainya. Namun persoalan ini bukanlah yang menjadi tujuan dari kitab ini, sekalipun kejahatan jiwa malah justru sebesar-besar larangan Allah yang senantiasa dilirik oleh Islam untuk diperanginya, dan Rasulullah pun memperingatkan akan bahayanya, yang sebahagian daripada kejahatan hati itu disebut penyakit ummat bagi ummat-ummat sebelum kita, dan kadang-kadang dinamakan juga pencukur, bukan mencukur rambut, tetapi mencukur agama.

    Setiap orang yang mahu mengkaji al-Quran dan Sunnah Nabi, pasti akan mengetahui, bahawa kedua kitab ini menjadikan existensi rohani manusia yang disebut hati adalah pangkal segala kebagiaan, baik pribadi mahupun masyarakat, di dunia mahupun di akhirat. Firman Allah:

    “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu harus merubah jiwa mereka sendiri.” (ar-Ra'ad: 11)

    Dan firmanNya pula: “Pada suatu hari di mana harta dan anak-cucu tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati menyerah.” (as-Syu'ara': 88)

    Dari sinilah Rasulullah s.a.w. kemudian menyebutkan dalam hadisnya yang amat masyhur, yang artinya: "Bahawa halal itu sudah jelas dan haram pun sudah jelas, di antara keduanya ada beberapa hal yang masih samar (syubhat).

    Barangsiapa menjaga diri dari syubhat, maka sungguh dia telah bebas demi kepentingan agama dan harga dirinya, dan barangsiapa jatuh ke dalam syubhat, maka hampir-hampir ia jatuh ke dalam haram. Sesungguhnya tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan, dan larangan Allah di bumi ini ialah yang haram-haram."

    Kemudian diikutinya dengan menerangkan nilai hati dan hal-hal yang ditimbulkannya, seperti pendorong, kecenderungan dan kehendak, yang sebagai pangkal sikap hidup manusia, iaitu dengan sabdanya: "Ingatlah! Sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah tubuh seluruhnya, dan apabila dia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah, dia itu ialah hati."

    Hati adalah kepala dan pengawal anggota tubuh manusia. Maka dengan baiknya pengawal, akan menjadi baiklah seluruh rakyat, dan dengan rusaknya pengawal akan rusaklah rakyat seluruhnya.

    Sebagai standard diterimanya suatu amal adalah hati dan niat, bukan bentuk badan dan lidahnya. Seperti sabda Nabi yang mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badanmu, tetapi Ia akan melihat hati kamu."  "Sesungguhnya semua amal itu harus disertai dengan niat, dan tiap-tiap seseorang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya." (Riwayat Bukhari)

    Demikianlah kedudukan pekerjaan hati dan soal-soal kejiwaan dalam Islam. Tetapi tidak kami singgung dalam kitab ini, kerana lebih tepat dimasukkan ke dalam bab "Akhlak," daripada dimasukkan ke dalam bab "Halal dan Haram."

    Justru itu ulama-ulama akhlak dan tasawuf Islam sangat menaruh perhatian tentang hati. Dan hal-hal yang haram disebutnya penyakit hati. Diuraikannya penyakit-penyakitnya dan ditentukan ubatnya berdasar al-Quran dan Sunnah. Yang oleh Imam Ghazali dihimpunnya dalam Ihya' Ulumiddin dengan nama Al-Muhlikaat (hal-hal yang merusak). Sebab penyakit-penyakit ini penyebab kerusakan di dunia dan kerugian nanti di akhirat.

    Kalau kami menyebut masalah haram, maka tidak lain yang dimaksud adalah haram ijabiyah (positif). Sebab haram itu ada dua macam: Ada kalanya mengerjakan larangan, yang kemudian disebut ijabiyah; dan ada kalanya meninggalkan kewajiban, yang disebut salbiyah (negatif).

    Yang kedua ini bukan menjadi tujuan utama dari kitab ini, kendati di satu saat akan bertemu.

    Dan kalau kami bermaksud mengarah kepada hal itu (haram salbiyah), niscaya kami beralih kepada persoalan lain yang selanjutnya pasti akan kami tuturkan semua kewajiban yang dibebankan Allah kepada setiap muslim. Jika ditinggalkan atau diabaikannya, tidak syak lagi hukumnya haram. Contohnya tentang mencari ilmu. Dalam Islam hukumnya wajib, baik bagi mu'min laki-laki ataupun mu'min perempuan; dan membiarkan dirinya dalam kegelapan kebodohan, hukumnya haram.

    Ibadah-ibadah wajib, seperti sembahyang, puasa, zakat dan haji, yang merupakan dasar rukun Islam, tidak dibenarkan seorang muslim meninggalkannya tanpa alasan. Siapa meninggalkannya, berarti berbuat salah satu daripada dosa-dosa besar. Dan siapa yang mengabaikan dan menganggap enteng berarti dia melepas tali Islam dari lehernya.

    Mempersiapkan kekuatan semampu mungkin guna melindungi existensi ummat dan menghalau lawan, hukumnya wajib bagi suatu ummat pada umumnya dan bagi pemerintah pada khususnya.

    Mengabaikan kewajiban ini berarti suatu tindakan haram dan dosa besar ...

    Begitulah halnya seluruh kewajiban hidup, baik yang menyangkut pribadi mahupun yang menyangkut ummat seluruhnya.

    Kami tidak beranggapan, bahawa kami telah bentangkan seluruh hal yang halal dan haram, dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Tetapi kami mencukupkan dalam lembaran-lembaran ini untuk mengetengahkan hal-hal terpenting yang harus diketahui oleh setiap muslim, baik yang menyangkut pribadinya, keluarganya mahupun masyarakatnya. Khususnya yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang, atau yang mereka masih kabur, baik tentang hukum mahupun hikmahnya.

    Kami telah singkap cadar yang menutupi hikmah kebijaksanaan Islam tentang masalah halal dan haram. Sehingga setiap orang yang mahu melihat dengan kedua matanya akan memahami dengan jelas, bahawa Allah s.w.t. tidak bermaksud membebaskan manusia dalam lapangan halal dan mempersempit dalam lapangan haram. Tetapi Allah membuat suatu peraturan (syariat) yang maslahah buat mereka, dapat melindungi agama, dunia, rasio, akhlak, harga diri, harta benda dan existensi manusia seluruhnya, baik pribadi mahupun masyarakat.

    Ketahuilah, bahawa kelemahan undang-undang yang dibuat manusia, adalah keterbatasan dan kekurangannya. Penciptanya sendiri, baik secara pribadi, pemerintah mahupun DPR, membatasi hanya dalam hal-hal yang menyangkut kemaslahatan material, dengan mengkesampingkan persoalan agama dan akhlak. Mereka hanya membatasi pada nasionalisme dan chauvinisme, tanpa mahu menengok dunia luar yang begitu besar dan perikemanusiaan yang luas.

    Mereka membuat undang-undang hanya untuk hari ini dengan melupakan hari esok, dan tidak memahami apa yang terjadi pada hari-hari berikutnya.

    Hal ini logis, kerana mereka adalah manusia yang serba lemah, serba kekurangan dan banyak dipengaruhi oleh nafsu. Betul kata Allah:

    “Sesungguhnya manusia banyak berbuat zalim dan tidak memahami.” (al-Ahzab: 72)

    Oleh kerana itu tidak menghairankan, kalau undang-undang yang dibuatnya itu jangkauannya sempit, analisanya dangkal, banyak dipengaruhi oleh material, temporer dan subjektif.

    Dan tidak menghairankan pula kalau anda ketahui, bahawa perkenan dan larangan yang dibuatnya, banyak dipengaruhi oleh hawa nafsu dan demi kepuasan selera umum, tanpa melihat bahaya besar yang mungkin terjadi.

    Sebagai contoh: undang-undang Amerika Serikat yang menghalalkan arak sebagai ganti undang-undang sebelumnya yang melarang arak, betapapun besarnya kejahatan dan bahaya yang ditimbulkan oleh arak, baik terhadap pribadi, keluarga mahupun tanahair. Berbeza dengan hukum Islam yang samasekali jauh dari kekurangan-kekurangan ini. Sebab hukum Islam adalah hukum Allah yang maha tahu, maha arif terhadap hambanya dan apa yang layak buat mereka. Betapa tidak! kerana Allah sendiri sudah mengatakan:

    “Dialah (Tuhan) yang mengetahui orang yang berbuat jahat dan orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 220)

    Allah sebagai pencipta, tahu apa yang dicipta. FirmanNya: “Tidakkah Tuhan yang menjadikan itu mengetahui; sedangkan Dia adalah maha halus dan maha tahu?” (al-Mulk: 74)

    Hukum Islam adalah hukum Allah yang maha bijaksana. Oleh kerana itu Ia tidak mengharamkan sesuatu dengan sia-sa belaka, dan tidak menghalalkan sesuatu dengan percuma. Segala sesuatu dibuat dengan ukuran, dan segala sesuatu diundangkan dengan berimbang.

    Hukum Islam adalah undang-undang Tuhan yang maha mengatur dan maim belas-kasih, Ia bermaksud untuk memberikan kemudahan kepada hambanya, tidak menghendaki kesukaran. Bagaimana mungkin Ia akan mempersukar hambanya, sedang Dia maha belas-kasih kepada hambanya melebihi kasih seorang ibu kepada anaknya.

    Hukum Islam adalah undang-undang Raja yang maha kuasa, tidak memerlukan bantuan hambanya, tidak memihak kepada suatu golongan, jenis mahupun generasi, sehingga Ia menghalalkan untuk satu golongan tetapi haram untuk golongan lain. Bagaimana mungkin akan terjadi demikian, padahal Dia adalah Tuhan yang mengatur seluruh makhluk ini!

    Demikianlah keyakinan seorang muslim terhadap hukum halal dan haram yang dibuat Allah s.w.t. Justeru itu hukum ini akan diterima dengan penuh kesedaran, kesenangan, dan keyakinan. Sebab setiap muslim berkeyakinan, bahawa kebahagiaan duniawi dan ukhrawi seratus persen berpangkal kepada melaksanakan hukum-hukum Allah, baik yang berbentuk perintah mahupun larangan, yang halal mahupun yang haram.

    Oleh kerana itu pula sudah seharusnya demi kebagiaan dunia dan akhirat, setiap muslim harus meletakkan dirinya pada batas-batas ketentuan Allah ini.

    Sehubungan dengan masalah ini, akan kami bawakan dua contoh tentang kehidupan kaum muslimin pada perioda pertama, bagaimana mereka itu demi menjaga batas-batas hukum Allah tentang halal dan haram dan berlomba-lomba untuk melaksanakan perintah:

    (1) Sebagaimana yang telah kami isyaratkan ketika membincangkan masalah haramnya arak, di mana orang-orang Arab waktu itu sudah sangat kecanduan bukan saja meminumnya, bahkan sampai pada slokinya dan pertemuan-pertemuannya. Tetapi Allah tahu semua itu, Oleh kerananya dibuatlah undang-undang bertahap tentang haramnya arak, sehingga turunlah ayat yang jelas-jelas mengharamkan untuk selama-lamanya. Bahkan dinyatakan sebagai barang najis yang berasal dari perbuatan syaitan. (Al-Maidah: 90).

    Justru itu pula Rasulullah s.a.w. mengharamkan minumnya, menjualnya dan menghadiahkannya kepada orang lain Islam. Pada waktu itu kaum muslimin keluar dengan membawa simpanan dan guci-guci arak, kemudian dituangnya di jalan-jalan Madinah, sebagai menyatakan ketidak-sukaan mereka kepada arak.

    Dan yang sangat menghairankan lagi, iaitu: ketika ayat ini sampai kepada suatu golongan, di saat mana mereka itu sedang memegang sloki arak yang sebahagiannya telah diminum, tinggal sebahagian lagi yang belum. Waktu itu arak yang berada di mulutnya ditumpahkan sebagai menyambut seruan Allah, apakah kamu tidak mahu berhenti? (Al-Maidah 91) sambil mereka mengatakan: "Sungguh kami telah berhenti ya Tuhan kami!"

    Kalau kita mahu mengadakan perbandingan sukses gemilang yang dicapai untuk memberantas arak dalam masyarakat Islam, dengan kegagalan total yang dialami oleh Amerika Serikat, ketika hendak memberantas arak dengan undang-undang dan armada, maka niscaya kita akan mengetahui, bahawa pada hakikatnya tidak ada hukum yang cocok bagi manusia melainkan hukum Allah yang selalu berorientasi pada dhamir dan iman, sebelum menempuh dengan jalan kekuatan dan kekuasaan.

    (2) Sikap orang-orang perempuan muslimah dahulu terhadap larangan Allah, seperti tabarruj, dan kewajipan yang harus mereka lakukan, seperti menutup aurat. Padahal orang-orang perempuan jahiliah kalau keluar rumah dadanya terbuka, tidak sehelai benang pun yang menutupinya, leher dan ekor kudanya nampak, termasuk juga kriulnya. Kemudian tahu-tahu Allah mengharamkan bertabarruj dan memerintahkan mereka supaya berbeza dengan perempuan-perempuan jahiliah, dan harus menutup aurat dan bersopan-santun dalam seluruh gerak dan tingkah lakunya, diantaranya ialah dengan melabuhkan kudung-kudung pada tengkuknya dan belahan dadanya. Maka waktu itu mereka langsung menutup tengkuk, leher dan telinga.

    Ada suatu kisah yang sengaja dibawakan oleh Aisyah kepada kita bagaimana cara hukum Allah yang bertalian dengan masalah merombak sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kaum wanita yang suka bergaya dan berhias, sebagai yang berlaku pada orang-orang perempuan Muhajirin dan Ansar dalam masyarakat Islam pertama. Maka kata Aisyah: "Semoga Allah memberi rahmat kepada perempuan muhajirin pertama, yang ketika ayat Allah: "... dan hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan kudung-kudungnya di dada-dada mereka ..." itu turun, kemudian mereka menyobek pakaiannya yang terbuat dari wool atau sutera untuk dipakai bertudung." (Riwayat Bukhari).

    Pernah juga terjadi ada sementara orang perempuan duduk-duduk sambil membincangkan keistimewaan perempuan-perempuan Quraisy. Kemudian Aisyah berkata: "Memang benar perempuan Quraisy mempunyai kelebihan, tetapi demi Allah belum pernah saya lihat keistimewaan yang dimiliki perempuan-perempuan Ansar; mereka sangat membenarkan kitabullah.

    Sehingga waktu ayat: "... hendaklah perempuan-perempuan melabuhkan tudung dada-dada mereka ..." itu turun, laki-laki Ansar pada mengangkat kakinya pulang ke rumah untuk membacakan ayat itu kepada isteri-isterinya, anak perernpuannya, saudara perempuannya dan seluruh kerabatnya, sehingga tidak seorang perempuan pun yang tidak menyobek pakaiannya yang bergambar untuk diikatkan dan menyelubungi kepalanya, sebagai membenarkan dan mempercayai kebenaran ayat Allah di atas. Kemudian mereka berada di belakang Rasulullah dengan membalut kepalanya yang seolah-olah di atas kepalanya itu dikerumuni burung gagak."[41]

    Demikianlah kedisiplinan perempuan-perempuan mu'minah terhadap hukum Allah. Dengan secepat kilat mereka mahu melaksanakan perintah Allah itu dan menjauhi larangannya tanpa ragu-ragu sedikitpun, tidak menunggu-nunggu sehari atau dua hari atau lebih dari itu, sambil menunggu kesempatan kalau sudah mampu membeli atau menjahitkan pakaian barunya yang serasi untuk menutup kepala dan membesarkan kudungnya itu supaya boleh melabuh sampai ke dada. Bahkan apapun pakaian yang didapat dan warna apapun yang ada, selalu cocok dan serasi. Kalau tidak ada, terpaksa mereka sobek pakaiannya untuk dililitkan pada kepalanya tanpa menghiraukan mode, kendati nampak kepalanya itu seperti dikerumuni gagak, seperti yang dikatakan oleh Aisyah di atas.

    Kami membenarkan, bahawa sekadar memahami halal dan haram, belum cukup. Sebab induk halal dan haram itu sendiri sebenarnya cukup jelas; tidak seorang muslim pun yang tidak tahu. Justru itu dengan mudah dapat diketahui oleh kebanyakan orang-orang Islam yang tenggelam dalam haram dan terang-terangan terjun ke jahanam.

    Oleh kerana itu perlu ada taqwallah. Sebab taqwallah lah satu-satunya yang dapat mengendalikan itu semua. Atau dengan kata lain yang mutaakhir perlu adanya jiwa hidup yang dapat mendisiplinkan seorang muslim pada batas-batas halal dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan haram. Jiwa semacam ini tidak akan tumbuh dengan subur, kecuali ditanam dalam ladang iman kepada Allah dan hari akhir. Kalau seorang muslim dapat memenuhi pengertiannya tentang batas-batas agama dan hukum Allah, dan mempunyai jiwa hidup yang dapat melindungi batas-batas hukum ini sehingga tidak terlanggar dan tersentuh, berarti dia telah memenuhi seluruh macam kebaikan.

    Benarlah apa yang dikatakan Nabi s.a.w.: "Apabila Allah menghendaki kebaikan seseorang, maka Ia akan adalah penasihat dari dirinya sendiri."[42]

    Akhirnya kami tutup tulisan ini dengan suatu doa yang sudah terkenal dari orang-orang tua kita dahulu: "Ya Tuhankul Cukupkanlah aku dengan mengikuti yang Engkau halalkan, jauh dari yang Engkau haramkan; cukup dengan mentaatiMu, jauh dari bermaksiat kepadaMu; dan cukup dengan anugerahMu bukan dari orang lain."

    "Segala puji kepunyaan Allah yang telah menunjukkan kami, sungguh kami tidak akan mendapat petunjuk andaikata Allah tidak menunjukkan."

4.5 HUBUNGAN ANTARA UMMAT ISLAM DENGAN GHAIRUL ISLAM

4.5  HUBUNGAN ANTARA UMMAT ISLAM DENGAN GHAIRUL ISLAM

KALAU kita hendak menyimpulkan ajaran-ajaran Islam dalam masalah hubungan dengan golongan ghairul Islam --tentang soal halal dan haram-- cukup kiranya kita berpangkal kepada dua ayat al-Quran yang tepat untuk dijadikan konstitusi (dustur) yang menyeluruh dalam permasalahan ini. Kedua ayat itu ialah:

    “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu dari kampung-kampungmu sebab Allah senang kepada orang-orang yang adil. Allah hanya melarang kamu bersahabat dengan orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari kampung-kampungmu dan saling bantu-membantu untuk mengusir kamu; barangsiapa bersahabat dengan mereka, maka mereka itu adalah orang-orang zalim.” (al-Mumtahinah: 8-9)

    Ayat pertama tidak sekadar senang keadilan dan kejujuran terhadap golongan ghairul Islam yang tidak memerangi ummat Islam dan tidak mengusir mereka, yakni orang-orang yang tidak menaruh peperangan dan permusuhan terhadap Islam, bahkan ayat tersebut senang ummat Islam berbuat baik kepada mereka.

    Kata-kata birr (berbuat baik) suatu kata yang mempunyai: pengertian sangat luas, meliputi semua nilai kebaikan dan pergaulan secara luas, melebihi arti adil biasa.

    Kata ini juga yang dipakai oleh kaum muslimin dalam hubungannya dengan masalah kewajiban hak-hak kemanusiaan, misalnya birr ul walidain.

    Kami katakan demikian, kerana ayat tersebut mengatakan “sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang berlaku adil,” sedang orang mu'min senantiasa berusaha untuk merealisasi apa yang dicintai Allah.

    Perkataan: "Allah tidak melarang kamu," ini dimaksudkan untuk menghilangkan perasaan, bahawa orang yang berlainan agama tidak berhak mendapat penghargaan, keadilan, kasih-sayang dan pergaulan yang baik.

    Justru itu Allah menjelaskan kepada orang-orang mu'min, bahawa ia tidak melarang untuk mengadakan hubungan yang baik dengan orang-orang yang berlainan agama, bahkan dengan orang-orang yang memerangi dan mengganggunya sekalipun.

    Ungkapan ini mirip dengan firman Allah yang berkenaan dengan masalah Shafa dan Marwah, ketika sementara orang berkeberatan melakukan sa'i antara kedua gunung tersebut, kerana ada suatu penyerupaan dengan orang-orang jahiliah yang juga melakukan demikian. Untuk itu maka Allah mengatakan:

    “Barangsiapa haji ke Baitullah atau umrah, maka tidak berdosa atasnya melakukan tawaf pada keduanya.” (al-Baqarah: 158)

    Dengan dihapusnya dosa, berarti hilanglah perasaan-perasaan yang tidak baik itu, kendati pada hakikatnya tawaf pada keduanya itu sendiri hukumnya wajib kerana termasuk manasik haji.



4.5.1  Tinjauan Khusus untuk Ahli Kitab

Kalau Islam tidak melarang mengadakan hubungan baik dan keadilan dengan golongan ghairul Islam dari agama manapun, kendati dengan penyembah berhala (watsaniyyin), seperti musyrikin Makkah yang secara khusus Allah telah menurunkan dua ayat perihal status mereka, maka Islam mempunyai pandangan khusus terhadap ahli kitab, iaitu: Yahudi dan Nasrani, baik mereka itu berada di bawah kekuasaan Islam atau di luar kekuasaan Islam.

    Al-Quran tidak memanggil mereka melainkan dengan menggunakan panggilan hai ahli kitab dan hai orang-orang yang telah diberi kitab. Ini memberi gambaran, bahawa mereka itu pada mulanya adalah pemeluk agama samawi. Oleh kerana itu di antara mereka dengan kaum muslimin terdapat saling berhubungan dan berkerabat, sebagai satu manifestasi dari satu agama yang dibawa oleh seluruh Nabi. Firman Allah:

    “Allah telah menerangkan kepadamu dari (urusan) agama apa yang telah diwajibkan kepada Nuh, dan yang telah kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah kami wajibkan kepada lbrahim, Musa dan Isa, iaitu hendaknya kamu menegakkan agama dan jangan bercerai-berai tentang urusan agama.” (as-Syura: 13)

    Kaum muslimin dituntut untuk mempercayai semua kitab Allah dan segenap RasulNya. Sedang iman mereka hanya dapat dibuktikan dengan kepercayaan ini. Maka berfirmanlah Allah:

    “Katakanlah! Kami beriman kepada Allah, dan apa-apa yang diturunkan kepada kami, dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'qub dan anak-cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, dan apa yang diberikan kepada para Nabi dari Tuhan mereka; kami tidak akan membeza-bezakan di antara seorang pun dari mereka dan kami tetap menyerah kepadaNya.” (al-Baqarah: 136)

    Ahli kitab kalau mahu membaca al-Quran, mereka akan menjumpai beberapa pujian terhadap kitab mereka, rasul mereka dan nabi-nabi mereka.

    Oleh kerana itu, kalau ummat Islam mengadakan perdebatan dengan ahli kitab, hendaknya selalu dihindari sikap berlebihan yang kadang-kadang dapat memanaskan hati dan membangkitkan permusuhan. Firman Allah:

    “Dan jangan kamu mengadakan perdebatan dengan ahli kitab melainkan dengan perdebatan yang kiranya lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim dari antara mereka, (Namun begitu) katakanlah: kami beriman kepada kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Esa, dan kepadaNya kami menyerah.” (al-Ankabut: 46)

    Kita semua sudah tahu, betapa Islam membenarkan makan makanan dan sembelihan ahli kitab. Dan begitu juga dibolehkan kita mengadakan hubungan perkawinan denyan perempuan-perempuan mereka, padahal perkawinan itu sendiri intinya demi ketenteraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih-sayang (rahmah), Firman Allah:

    “Makanan orang-orang yang diberi kitab (ahli kitab), halal buat kamu dan makananmu halal buat mereka, dan begitu juga perempuan mu'min yang terpelihara dan perempuan-perempuan yang terpelihara dari orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu.” (al-Maidah: 5)

    Ini, dalam hubungannya dengan ahli kitab secara umum. Adapun khusus terhadap orang-orang Nasrani, al-Quran telah meletakkan mereka pada suatu tempat yang berdekatan sekali dengan orang-orang Islam. iaitu seperti diterangkan Allah:

    “Sungguh kamu akan menjumpai orang yang paling dekat cintanya kepada orang-orang mu'min, ialah orang-orang yang mengatakan: kami ini adalah nashara; yang demikian itu disebabkan di antara mereka ada pendeta-pendeta dan pastor-pastor, dan sesungguhnya mereka itu tidak sombong.” (al-Maidah: 82)



4.5.2  Ahludz Dzimmah (Orang Kafir yang Berada di Wilayah Pemerintahan Islam)

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas meliputi seluruh ahli kitab di mana saja mereka berada. Tetapi untuk mereka yang berada di bawah naungan pemerintahan Islam ada satu tempat khusus. Mereka ini dalam istilah yang dipakai ummat Islam dinamakan Ahludz Dzimmah. Dzimmah itu sendiri artinya: perjanjian.

    Kata-kata ini memberikan suatu isyarat, bahawa mereka itu mendapat perjanjian Allah, Nabi dan jama'atul muslimin untuk hidup di bawah naungan Islam dengan aman dan tenteram.

    Mereka ini dalam istilah sekarang disebut Warga Negara dalam suatu negara Islam.

    Seluruh ummat Islam dari dahulu sampai sekarang sudah sepakat, bahawa apa yang bermanfaat buat mereka bermanfaat juga bagi ummat Islam dan apa yang membahayakan mereka, berbahaya juga bagi ummat Islam. Kecuali masalah keyakinan dan urusan agama, maka Islam berlepas diri dari mereka berikut cara-cara persembahannya.

    Rasulullah s.a.w. memperkeras wasiatnya tentang masalah ahli kitab ini, dengan suatu ancaman siapa yang menentangnya akan mendapat murka dan siksaan Allah.

    Seperti tersebut dalam salah satu hadisnya yang berbunyi sebagai berikut: "Barangsiapa mengganggu seorang kafir dzimmi, maka sungguh ia mengganggu saya, dan barangsiapa mengganggu saya, maka sungguh ia mengganggu Allah." (Riwayat Thabarani)

    "Barangsiapa mengganggu seorang kafir dzimmi, maka saya adalah musuhnya, dan barangsiapa memusuhi saya, maka akan saya musuhinya nanti di hari kiamat." (Riwayat al-Khatib)

    "Barangsiapa berlaku zalim kepada seorang kafir 'ahdi, atau mengurangi haknya, atau memberi beban melebihi kemampuannya, atau mengambil sesuatu daripadanya dengan niat yang tidak baik, maka saya adalah pembelanya nanti di hari kiamat." (Riwayat Abu Daud)

    Para khalifah Nabi telah melaksanakan perlindungan hak dan kehormatan ini terhadap warga negara yang bukan beragama Islam. Dan diperkuat pula oleh para ahli fiqih dalam berbagai madzhab.

    Seorang ahli fiqih Maliki Syihabuddin al-Qarafi mengatakan: "Perjanjian perlindungan adalah menentukan hak yang harus kita patuhinya kerana sesungguhnya mereka itu berada di samping kita, dalam perlindungan kita, dalam perjanjian kita, dalam perjanjian Allah, dalam perjanjian Rasulullah dan dalam perjanjian Islam. Oleh kerana itu barangsiapa mengganggu mereka kendati dengan sepatah kata yang tidak baik, atau dengan mengumpat yang menodai kehormatan mereka, atau macam gangguan apapun atau membantu perbuatan tersebut, maka sungguh ia telah mengenyampingkan perjanjian Allah, perjanjian Rasulullah dan perjanjian Agama Islam."
[36]

    Ibnu Hazm, salah seorang ahli fiqih Dhahiri mengatakan: "Kalau ada kafir harbi datang ke negeri kita untuk mengganggu ahludz-dzimmi, maka kita wajib keluar untuk melawannya dengan memanggul senjata dan bersedia mati demi melindungi orang yang berada dalam lindungan Allah dan RasulNya. Sebab menyerahkan mereka ini berarti mengabaikan perjanjian perlindungan."[37]

4.5.3  Bersahabat dengan Golongan Ghairul Islam dan Penganutnya

Barangkali ada perasaan ingin bertanya dan menjadi tutur-kata oleh sementara orang: bagaimana mungkin dapat diwujudkan suatu kebaikan, kasih-sayang dan pergaulan yang harmonis dengan golongan ghairul Islam, padahal al-Quran sendiri dengan tegas melarang berkasih-sayang dan bersahabat dengan orang-orang kafir, sebagaimana dinyatakan:

    “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai ketua, sebahagian terhadap sebahagiannya. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai ketua, maka dia itu tergolong mereka, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim. Maka kamu melihat orang-orang yang dalam hatinya itu ada penyakit, cepat-cepat pergi kepada mereka.” (al-Maidah: 51-52)

    Jawabnya: bahawa ayat-ayat ini tidak mutlak, tidak mengenai setiap Yahudi dan Nasrani atau kafir. Kalau difahami demikian, niscaya akan terdapat kontradiksi antara ayat-ayat tersebut dengan nas-nas lainnya yang mengundang supaya dijalin saling pengertian dengan baik dengan seluruh pemeluk agama. Ditambah lagi dengan suatu perkenan kawin dengan ahli kitab dengan penegasan ayat-ayat alQuran yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

    “Allah menjadikan di antara kamu (suami-isteri) cinta dan kasih-sayang.” (ar-Rum: 21)

    Dan khusus tentang Nasrani Allah mengatakan: “Sungguh kamu akan menjumpai dari antara orang kafir yang lebih dekat cintanya kepada orang-orang mu'min, iaitu orang-orang yang mengatakan: kami adalah orang-orang Nasrani.” (al-Maidah: 83)

    Dengan demikian, maka ayat-ayat al-Maidah: 51-52 di atas ditujukan untuk orang-orang yang menentang Islam dan yang memerangi kaum muslimin. Oleh kerana itu tidak halal seorang muslim memberi bantuan dan saling bantu-membantu dengan mereka.

    Inilah yang dimaksud dengan muwalat (bersahabat, mengangkat orang kafir sebagai ketua).

    Dan dilarangnya pula kaum muslimin menjadikan mereka ini sebagai sahabat karib sehingga dengan mullah mereka dapat mengetahui rahasia-rahasia kita. Dan menjadikan mereka sebagai kawan yang bertugas sebagai infiltran yang dibiayai oleh golongan dan agamanya. Terhadap mereka ini al-Quran dengan tegas menyatakan:

    “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu menjadikan sahabat karib orang-orang selain golonganmu, mereka itu tidak mahu menolong kamu dari kecelakaan, mereka itu senang kalau kamu susah; sungguh telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, sedang apa yang tersembunyi dalam hati mereka lebih besar. Sungguh kami telah menerangkan kepadamu ayat-ayat kami kalau kamu mahu berfikir. Kamu ini adalah orang-orang yang kasih kepada mereka, tetapi mereka tidak mahu kasih kepadamu.” (ali-Imran: 118-119)

    Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang sifat-sifat mereka kepada kita, bahawa mereka itu menyembunyikan permusuhan dan kebenciannya kepada kaum muslimin dan telah dinyatakan dalam lidah mereka. Dan firmanNya pula:

    “Engkau tidak dapati orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu menunjukkan kecintaannya kepada orang-orang yang menentang Allah dan RasuINya, sekalipun mereka itu ayah-ayahnya sendiri, anak-anaknya sendiri, saudara-saudaranya sendiri dan keluarganya sendiri.” (al-Mujadalah: 22)

    Orang yang menentang Allah dan Rasul tidak sekadar kerana kufur tetapi justru kerana mereka memusuhi Islam dan kaum muslimin. Dan firman Allah:

    “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu jadikan musuhku dan musuhmu sebagai ketua, kamu tampakkan kepada mereka rasa cinta, padahal mereka telah kufur terhadap kebenaran yang datang kepadamu, mereka akan mengusir Rasul dan kamu juga, lantaran kamu beriman kepada Allah sebagai Tuhanmu.” (al-Mumtahinah: 1)

    Ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah persahabatan dengan orang-orang musyrik Makkah yang pada waktu itu mereka memerangi Allah dan Rasul, dan mengusir orang-orang Islam dari Makkah justru kerana mereka mengatakan kami beriman kepada Allah. Orang-orang seperti ini tidak boleh kita ajak bersahabat.

    Kendatipun demikian, al-Quran tidak memutus harapan kejernihan mereka, dan tidak pula mengatakan sikap pesimis. Bahkan al-Quran memberikan suatu harapan kiranya dapat merombak sikap mereka itu dan menjernihkan hati mereka. Untuk itu dalam surah itu juga al-Quran mengatakan:

    “Barangkali Allah akan menjadikan antara kamu dan antara orang-orang yang kamu musuhi itu perasaan cinta, sedang Allah Maha Kuasa, dan Allah pun Maha Pengampun dan Belas-kasih.” (al-Mumtahinah: 7)

    Peringatan al-Quran ini kiranya cukup dapat melunakkan ketajaman pertentangan dan berkobarnya api permusuhan. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadis yang berbunyi sebagai berikut: "Bencilah kamu kepada musuhmu itu sekadarnya saja, agar satu saat dia akan mencintaimu." (Riwayat Tarmizi dan Baihaqi) [38]

    Lebih keras lagi haramnya berkawan dengan musuh, apabila mereka itu orang-orang kuat, optimis dan menakutkan, sehingga kerananya orang-orang munafik dan yang sakit hati berusaha untuk berkawan dengan mereka dan mengangkatnya sebagai kawan pelindung untuk memperkuat barisannya, dengan suatu harapan akan sangat berguna di hari esok, untuk itulah, maka Allah berfirman:

    “Maka kamu akan melihat orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, pergi dengan cepat-cepat kepada mereka sambil berkata: kami takut akan mendapat kecelakaan, tetapi mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu urusan dari sisiNya, sehingga dengan demikian mereka akan menyesali apa-apa yang mereka rahasia akan dalam hati-hati mereka itu.” (al-Maidah: 52)

    “Beritahulah orang-orang munafik itu, bahawa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, iaitu orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai ketua, bukan kepada orang-orang mu'min. Apakah mereka mengharapkan kejayaan dari sisi mereka? Sesungguhnya kejayaan adalah milik Allah seluruhnya.” (an-Nisa': 138-139)



4.5.4  Orang Islam Minta Batuan Kepada Ghairul Islam

Tidak ada salahnya kaum muslimin --baik sebagai pemerintah mahupun sebagai rakyat biasa-- minta bantuan kepada golongan ghairul Islam dalam bidang pengetahuan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan agama (tidak merugikan agama - peny.), misalnya ilmu kedokteran, perindustrian, pertanian dan lain-lain. Sekalipun sebaiknya ummat Islam dapat berdiri sendiri dalam hal-hal tersebut.

    Dalam sirah nabawiyah (sejarah perjalanan nabi), bagaimana beliau boleh menggaji Abdullah bin Uraiqith --padahal dia seorang musyrik-- untuk menjadi pemandu dalam hijrahnya.

    Justru itu para ulama berpendapat: kerana kufurnya seseorang tidak berarti samasekali tidak boleh dipercaya dalam setiap hal. Sebab sedikitpun tidak ada bahayanya orang kafir menunjukkan jalan. Apalagi seperti jalan hijrah ke Madinah.

    Kebanyakan para ulama membenarkan kepala negara Islam minta bantuan kepada ghairul muslimin --khususnya ahli kitab-- dalam bidang kemiliteran, dan mereka pun harus diberi ghanimah seperti tentera Islam juga.

    Az-Zuhri meriwayatkan, bahawa Rasulullah s.a.w. pernah minta bantuan kepada orang-orang Yahudi dalam bidang militer dan memberinya ghanimah. Dan Shafwan bin Umaiyah pernah berperang bersama Nabi dalam peperangan Hunain, dan tetapi ia menjadi tentara sekutu Nabi. (Riwayat Said dalam sunannya).

    Namun disyaratkan, orang yang diminta bantuan itu haruslah orang yang beri'tikad baik terhadap kaum muslimin. Kalau tidak, sudah barang tentu tidak boleh minta bantuannya. Sebab kalau kita sudah tidak boleh minta bantuan kepada orang Islam yang tidak dapat dipercaya, misalnya orang yang meninggalkan perang dan suka menyiarkan berita-berita bohong, apalagi minta bantuan kepada orang kafir yang bersifat demikian?! (al-Mughni 8: 41).

    Orang Islam dibenarkan juga memberi hadiah kepada ghairul Islam dan begitu juga menerima hadiah dari mereka. Sebab Rasulullah s.a.w. sendiri pernah menerima hadiah dari raja kafir [39]. Bahkan ahli-ahli hadis mengatakan: hadis-hadis yang menerangkan Nabi pernah menerima hadiah dari orang kafir itu sangat banyak. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, bahawa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda kepadanya:

    "Sungguh saya pernah memberi hadiah kepada raja Najasyi sebuah baju dan beberapa uqiyah dari sutera ..." (Riwayat Ahmad dan Thabarani)
Islam selalu menghargai manusia dari segi kemanusiaannya, bagaimana pula kalau dia itu ahli kitab atau kafir dzimmi?

    Pernah ada suatu jenazah diusung di hadapan Nabi, kemudian Nabi berdiri. Salah seorang sahabat ada yang bertanya: Ya Rasulullah! Itu adalah jenazah Yahudi! Jawab Nabi: Bukankah dia manusia juga?! [40]. Benar! kerana setiap manusia dalam Islam mendapat tempat dan penghormatan.



4.5.5  Islam Membawa Rahmat Kepada Umum Sampai Kepada Binatang Sekalipun

Bagaimana mungkin Islam membenarkan ummatnya untuk berbuat jahat dan menyakiti golongan ghairul Islam, sedang Islam itu sendiri sudah berwasiat kepada ummatnya untuk menaruh belas-kasih kepada setiap yang bernyawa, dan melarang berlaku kasar terhadap binatang.

    Islam telah mendahului mengadakan gerakan kasih kepada binatang 13 abad yang lalu, sehingga dimasukkan dalam bahagian iman dan berlaku kasar kepada binatang sebagai penyebab masuk neraka.

    Rasulullah s.a.w. pernah menceriterakan kepada para sahabatnya tentang seorang laki-laki yang menjumpai seekor anjing melolong kerana kehausan, kemudian dia melepas kasutnya dipenuhi air untuk memberi minum anjing tersebut sehingga merasa puas. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:

    "Maka Allah berterimakasih kepada orang itu (kerana pertolongannya) serta mengampuninya. Lantas para sahabat bertanya: Apakah ada pahalanya lantaran binatang ya Rasulullah? Jawab Nabi: Dalam tiap hati yang masih basah ada pahalanya." (Riwayat Bukhari)

    Di balik lukisan cemerlang yang menyebabkan diperolehnya keampunan Allah ini, maka Rasulullah melukiskan bentuk lain pula yang menyebabkan murka dan siksaan Allah. Maka bersabdalah Nabi: "Seorang perempuan akan masuk neraka sebab kucing yang ditahannya, tidak diberinya makan dan tidak dilepaskannya untuk mencari makan dari serangga darat." (Riwayat Bukhari)

    Begitu kerasnya masalah kehormatan binatang, sampai-sampai pernah suatu ketika Rasulullah s.a.w. melihat seekor keledai yang dicap (dicos dengan besi yang membara) mukanya, kemudian Nabi memarahinya sambil ia bersabda: "Demi Allah saya tidak memberi tanda, kecuali pada tempat yang jauh dari mukanya." (Riwayat Muslim)

    Dalam hadis lain diceriterakan, bahawa suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah melalui seekor keledai yang diberi tanda di mukanya. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apakah belum sampai kepadamu, bahawa saya melaknat orang yang memberi tanda (dengan key) pada binatang di mukanya, atau memukul binatang di mukanya?!" (Riwayat Abu Daud)

    Sebelum ini sudah pernah juga kita tuturkan, bahawa Ibnu Umar pernah menyaksikan beberapa orang yang menjadikan ayam sebagai sasaran latihan memanah, kemudian ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran (memanah)." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Abdullah bin Abbas juga berkata: "Rasulullah s.a.w. melaknat mengadu binatang." (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)

    Sedang yang dimaksud dengan tahrisy (mengadu), iaitu binatang-binatang itu diadu sampai mati atau hampir mati.

    Dan Ibnu Abbas juga berkata: "Sesungguhnya Rasulullah s a w. melarang keras mengkebiri binatang." (Riwayat Bazzar dengan sanad sahih)

    Begitu juga al-Quran mengecam perbuatan jahiliah yang membelah telinga binatang. Dinilainya perbuatan tersebut sebagai bisikan syaitan. (Lihat surah an-Nisa': 119),

    Kita sudah mengetahui dalam perbincangan tentang masalah penyembelihan, betapa tekanan Islam agar penyembelihan itu dilakukan dengan memberikan keringanan pada binatang dengan cara yang semudah-mudahnya, misalnya dengan menajamkan pisau dan dilakukan pada urat-urat nadi binatang itu. Dan dilarangnya menyembelih binatang di hadapan binatang lainnya.

    Waktu itu dunia belum mengenal kasih-sayang kepada binatang sejauh ini. Masih di luar khayal.

4.4 HUBUNGAN MASYARAKAT

4.4  HUBUNGAN MASYARAKAT

ISLAM dalam menegakkan hubungan antara anggota masyarakat mempunyai dua landasan yang prinsipal, iaitu:

    1. Demi melindungi persaudaraan, sebagai suatu ikatan yang kuat antara satu dengan lainnya,
    2. Demi menjaga hak dan kehormatan yang selalu dilindungi oleh Islam terhadap setiap anggota masyarakat, baik darah, harga diri mahupun hartanya.


    Oleh kerana itu setiap perkataan, perbuatan atau tindakan yang pertentangan dengan dua prinsip di atas, adalah diharamkan oleh Islam menurut tingkatan bahaya yang tampak, dilihat dari segi moral mahupun material.

    Dalam beberapa ayat berikut ini, ada beberapa larangan yang sangat membahayakan jalinan ukhuwah dan kehormatan manusia. Firman Allah:

    “Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara, oleh kerana itu adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman! Jangan ada satupun kaum merendahkan kaum lain, sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu justru lebih baik dari mereka (yang merendahkan); dan janganlah ada perempuan merendahkan perempuan lainnya, sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu lebih baik dari mereka (yang merendahkan); dan jangan kamu mencela diri-diri kamu; dan jangan kamu memberi gelar dengan gelar-gelar (yang tidak baik) --misalnya fasik-- sebab seburuk-buruk nama ialah fasik sesudah dia itu beriman, dan barangsiapa tidak bertubat, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak sangka, kerana sesungguhnya sebahagian sangkaan itu berdosa; dan jangan kamu mengintai (menyelidiki cacat orang lain); dan jangan sebahagian kamu mengumpat sebahagiannya, apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaramu padahal kamu tidak menyukainya? Takutlah kepada Allah, kerana sesungguhnya Allah maha menerima taubat dan belas-kasih.” (al-Hujurat: 10-12)

    Allah Ta'ala telah menetapkan dalam permulaan ayat-ayat ini, bahawa orang mu'min pada hakikatnya adalah bersaudara yang meliputi saudara seagama dan saudara sesama manusia. Maka demi kelangsungan persaudaraan ini harus ada saling kenal-mengenal; dan jangan saling mengingkari, bahkan harus saling berhubungan dan jangan saling memutuskan, saling merapat dan jangan berjauhan, saling menyintai dan jangan saling membenci; dan harus bersatu, jangan berselisih.

    Dan dalam hadis Nabi s.a.w. dikatakan: "Jangan kamu saling hasut-menghasut, dan jangan saling bertolak belakang, dan jangan saling membenci. tetapi jadilah kamu hamba Allah bersaudara." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)



4.4.1  Tidak Halal Seorang Muslim Menjauhi Kawannya

Dan dari situlah, maka Islam mengharamkan seorang muslim berlaku kasar terhadap kawannya, memutuskan hubungan dan menjauhinya. Islam tidak memperkenankan seorang muslim menjauhi kawannya, kecuali dalam batas tiga hari, sehingga tenanglah kemarahan kedua belah pihak. Kemudian mereka berdua harus berusaha untuk memperbaiki, menjernihkan suasana dan mengatasi perasaan-perasaan congkak, benci dan permusuhan.  Sebab di antara sifat-sifat yang terpuji dalam al-Quran ialah:

    “Merendah diri terhadap orang-orang mu'min.” (al-Maidah: 54)

    Sabda Rasulullah s.a.w.: "Tidak halal seorang muslim menjauhi kawannya lebih dari tiga hari. Jika telah lewat waktu tiga hari itu, maka berbicaralah dengan dia dan berilah salam, jika dia telah menjawab salam, maka keduanya bersama-sama mendapat pahala, dan jika dia tidak membalasnya, maka sungguh dia kembali dengan membawa dosa, sedang orang yang memberi salam telah keluar dari dosa kerana menjauhi itu." (Riwayat Abu Daud)

    Lebih hebat lagi haramnya memutuskan silaturrahmi ini apabila terhadap keluarga yang oleh Islam diwajibkan untuk menyambungnya dan melindungi kehormatannya. Firman Allah:

    “Dan takutlah kamu kepada Allah yang padaNya Kamu meminta dan jagalah keluarga kerana sesungguhnya Allah maha mengawasi atas kamu.” (an-Nisa': 1)

    Rasulullah s.a.w. menggambarkan silaturrahmi ini dan nilainya, dalam salah satu sabdanya sebagai berikut: "Kekeluargaan bergantung di Arsy, ia akan berkata: barangsiapa menghubungi aku, maka Allah pun akan menghubunginya; dan barangsiapa memutus aku, maka Allah pun akan memutusnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Dan sabdanya pula: "Tidak masuk syorga orang yang memutus." (Riwayat Bukhari)

    Sebahagian ulama ada yang menafsirkan kata-kata memutus itu yakni: memutuskan silaturrahmi. Dan lainnya menafsirkan dengan: memotong jalan (penyamun). Jadi seolah-olah kedua-duanya berada dalam satu kedudukan.

    Bukanlah yang dimaksud silaturrahmi yang wajib itu sekadar seorang kerabat menghubungi dan berbuat baik kepada yang lain, sebab ini adalah satu hal yang biasa dan yang mesti demikian. Tetapi apa yang dimaksud silaturrahmi yang wajib ialah tetap menghubungi keluarga-keluarganya sekalipun mereka itu menjauhinya. Seperti sabda Nabi:

    "Bukanlah orang yang menghubungi keluarga itu ialah orang yang menjamin, tetapi yang dinamakan orang yang menyambung kekeluargaan ialah apabila keluarganya itu memutuskan dia, maka dia tetap menghubunginya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Ini semua tidak berlaku terhadap hal yang dibenarkan Allah dan dalam masalah yang hak. Sebab teguhnya ikatan iman ialah: Cinta kerana Allah, dan benci pun kerana Allah.

    Rasulullah s.a.w. pernah menjauhi ketiga orang sahabatnya yang tidak mahu turut dalam peperangan Tabuk selama 50 hari, sehingga bumi ini layaknya sempit dan hatinya merasa kebingungan, dan tidak ada seorang pun yang mahu bergaul dengan mereka, atau bercakap dan memberi salam. Begitulah sehingga Allah menurunkan ayat tentang diterimanya taubat mereka itu [28].

    Dan pernah juga Rasulullah s.a.w. menjauhi sebahagian isterinya selama 40 hari [28].

    Ibnu Umar pernah menjauhi anaknya sampai ia meninggal dunia, kerana anaknya tidak mahu mengoreksi hadis yang diterimanya dari ayahnya dari Rasulullah s.a.w. tentang dilarangnya laki-laki menghalang-halangi isterinya pergi ke masjid [29].

    Adapun menjauhi kawan lantaran kepentingan duniawi, maka sesungguhnya duniawi harus lebih dikesampingkan dalam hubungannya dengan Allah dan seorang muslim, daripada membawa kepada sikap berjauhan dan memutuskan tali persahabatan antara seorang muslim dengan saudaranya. Sebab memutuskan hubungan itu akan dapat menghalangi pengampunan dosa dan rahmat Allah. Seperti diterangkan oleh hadis Rasulullah s.a.w.:

    "Pintu-pintu sorga akan dibuka pada hari Isnin dan Khamis, kemudian Allah akan memberi ampunan kepada setiap orang yang tidak menyekutukan Allah sedikitpun; kecuali seorang laki-laki yang ada perpisahan antara dia dengan saudaranya. Maka berkatalah Allah: tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai." (Riwayat Muslim)

    Kalau dia yang berada di pihak yang benar, maka cukup kiranya pihak yang bersalah datang dan minta maaf, dan dia pun harus memberi maaf. Dengan demikian maka selesailah persengketaan, dan haram hukumnya dia menolak permintaan maaf saudaranya itu.

    Terhadap orang yang berbuat demikian, Rasulullah s.a.w. mernberikan ancaman, bahawa kelak di hari kiamat tidak akan masuk sorga [30].



4.4.2  Mendamaikan Persengketaan

Kalau cuaca pertengkaran itu telah cerah kembali sesuai dengan keharusan bersaudara, maka bagi masyarakat Islam mempunyai kewajiban lain. Sebab sepanjang pengertian masyarakat Islam iaitu suatu masyarakat yang saling saling membantu dan saling menolong. Oleh kerana itu tidak boleh sementara orang melihat saudaranya bertengkar dan saling membunuh, kemudian dia berdiri sebagai penonton, dan membiarkan api bertambah menyala dan kebakaran makin meluas. Bahkan setiap orang yang arif dan bijaksana serta ada kemampuan, harus terjun ke gelanggang guna mendamaikan persengketaan itu dengan niat semata-mata mencari kebenaran dan jauh dari pengaruh hawa nafsu. Seperti apa yang difirmankan Allah:

    “... maka adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)

    Dalam salah satu hadisnya Rasulullah s.a.w. pernah menjelaskan tentang keutamaan mendamaikan ini, serta bahayanya pertentangan dan perpisahan. Sabda Rasulullah s.a.w.:

    "Mahukah kamu saya tunjukkan suatu perbuatan yang lebih utama daripada tingkatan keutamaan sembahyang, puasa dan sedekah? Mereka menjawab: Baiklah ya Rasulullah! Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.: iaitu mendamaikan persengketaan yang sedang terjadi; sebab kerusakan kerana persengketaan berarti menggundul, saya tidak mengatakan menggundul rambut, tetapi menggundul agama." (Riwayat Tarmizi dan lain-lain)


  Jangan Suatu Kaum Menghina Kaum Lain

    Dalam ayat-ayat yang telah kami sebutkan terdahulu terdapat sejumlah hal yang dilarang oleh Allah, demi melindungi persaudaraan dan kehormatan manusia.

    Larangan pertama: Tentang memperolokkan orang lain. Oleh kerana itu tidak halal seorang muslim yang mengenal Allah dan mengharapkan hidup bahagia di akhirat kelak, memperolokkan orang lain, atau menjadikan sementara orang sebagai objek permainan dan perolokannya. Sebab dalam hal ini ada unsur kesombongan yang tersembunyi dan penghinaan kepada orang lain, serta menunjukkan suatu kebodohannya tentang neraca kebajikan di sisi Allah. Justru itu Allah mengatakan: "Jangan ada suatu kaum memperolokkan kaum lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan; dan jangan pula perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan."

    Yang dinamakan baik dalam pandangan Allah, iaitu: iman, ikhlas dan mengadakan kontak yang baik dengan Allah. Bukan dinilai dari rupa, badan, pangkat dan kekayaan.

    Dalam hadisnya Rasulullah s.a.w. mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu dan kekayaan kamu, tetapi Allah melihat hati kamu dan amal kamu." (Riwayat Muslim)

    Bolehkah seorang laki-laki atau perempuan diperolokkan kerana suatu cacat di badannya, perangainya atau kerana kemiskinannya?

    Dalam sebuah riwayat diceriterakan, bahawa Ibnu Mas'ud pernah membuka betisnya dan nampak kecil sekali. Maka tertawalah sebahagian orang. Lantas Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apakah kamu mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas'ud, demi Allah yang diriku dalam kekuasaanNya: bahawa kedua betisnya itu timbangannya lebih berat daripada gunung Uhud." (Riwayat Thayalisi dan Ahmad)

    Al-Quran juga menghikayatkan tentang orang-orang musyrik yang memperolok orang-orang mu'min, lebih-lebih mereka yang lemah --seperti Bilal dan 'Amman-- kelak di hari kiamat, neraca menjadi terbalik, yang mengolok-olok menjadi yang diolok-olok dan ditertawakan, Firman Allah:

    “Sesungguhnya orang-orang yang durhaka itu mentertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka melalui mereka, mereka berlirik-lirikan. Dan apabila mereka kembali kepada keluarganya, mereka kembali dengan suka cita. Dan apabila mereka melihat mereka itu, mereka berkata: 'Sungguh mereka itu orang-orang yang sesat.' Padahal mereka itu tidak diutus untuk menjadi pengawal atas mereka. Oleh kerana itu pada hari ini orang-orang mu'min akan mentertawakan orang-orang kafir itu.” (al-Muthaffifin 29-34)

    Ayat ini [31] dengan tegas dan jelas menyebutkan dilarangnya perempuan mengolok-olok orang lain, padahal perempuan sudah tercakup dalam kandungan kata kaum. Ini menunjukkan, bahawa pengolok-olokan sementara perempuan terhadap yang lain, termasuk hal yang biasa terjadi di kalangan mereka.


  Jangan Mencela Diri-Diri Kamu

    Larangan kedua: Tentang lumzun, yang menurut arti lughawi berarti: al-wakhzu (tusukan) dan ath-tha'nu (tikaman). Sedang lumzun yang dimaksud di sini ialah: 'aib (cacat). Jadi seolah-olah orang yang mencela orang lain, berarti menusuk orang tersebut dengan ketajaman pedangnya, atau menikam dengan hujung tombaknya.

    Penafsiran ini tepat sekali. Bahkan kadang-kadang tikaman lidah justru lebih hebat. Seperti kata seorang penyair:

        Luka kerana tombak masih dapat diubati
        Tetapi luka kerana lidah berat untuk diperbaiki.
        Bentuk larangan dalam ayat ini mempunyai suatu isyarat yang indah sekali.


    Ayat tersebut mengatakan: laa talmizu anfusakum (jangan kamu mencela diri-diri kamu). Ini tidak berarti satu sama lain saling cela-mencela. Tetapi al-Quran menuturkan dengan jama'atul mu'minin, yang seolah-olah mereka itu satu tubuh. Sebab mereka itu secara keseluruhannya saling membantu dan menolong. Jadi barangsiapa mencela saudaranya, berarti sama dengan mencela dirinya sendiri. kerana dia itu dari dan untuk saudaranya.


  Jangan Menggelar dengan Gelaran yang Buruk

    Ketiga: Termasuk mencela yang diharamkan, ialah: memberi gelar dengan beberapa gelar yang tidak baik, iaitu suatu panggilan yang tidak layak dan tidak menyenangkan yang membawa kepada suatu bentuk penghinaan dan celaan.

    Tidak layak seorang manusia berbuat jahat kepada kawannya. Dipanggilnya kawannya itu dengan gelar yang tidak menyenangkan bahkan menjengkelkan. Ini boleh menyebabkan berubahnya hati dan permusuhan sesama kawan serta menghilangkan jiwa kesopanan dan perasaan yang tinggi.


  Su'uzh-Zhan (Sangka Buruk)

    Keempat: Islam menghendaki untuk menegakkan masyarakatnya dengan penuh kejernihan hati dan rasa percaya yang timbal balik; bukan penuh ragu dan bimbang, menuduh dan bersangka-sangka,

    Untuk itu, maka datanglah ayat al-Quran membawakan keempat sikap yang diharamkan ini, demi melindungi kehormatan orang lain. Maka berfirmanlah Allah:

    “Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak menyangka, kerana sesungguhnya sebahagian sangkaan itu berdosa.” (al-Hujurat: 12)

    Sangkaan yang berdosa, iaitu sangkaan yang buruk. Oleh kerana itu tidak halal seorang muslim berburuk sangka terhadap saudaranya, tanpa suatu alasan dan bukti yang jelas. Sebab manusia secara umum pada asalnya bersih. Oleh kerana itu prasangka-prasangka tidak layak diketengahkan dalam arena kebersihan ini justru untuk menuduh.

    Sabda Nabi: "Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, kerana sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta omongan." (Riwayat Bukhari)

    Manusia kerana kelemahan sifat kemanusiaannya, tidak dapat menerima prasangka dan tuduhan oleh sebahagian manusia, lebih-lebih terhadap orang-orang yang tidak ada hubungan baik.

    Oleh kerana itu sikap yang harus ditempuh, dia harus tidak menerima tuduhan itu dan berjalan mengikuti suara nafsu tersebut.

    Inilah makna hadis Nabi yang mengatakan: "Kalau kamu akan menyangka, maka jangan kamu nyatakan." (Riwayat Thabarani)


  Tajassus (Mengintip)

    Kelima: Tidak adanya kepercayaan terhadap orang lain, menyebabkan seseorang untuk melakukan perbuatan batin yang disebut su'uzh-zhan dan melakukan perbuatan badan yang berbentuk tajassus. Sedang Islam bertujuan menegakkan masyarakatnya dalam situasi bersih lahir dan batin. Oleh kerana itu larangan bertajassus ini dibarengi dengan larangan su'uzh-zhan (berburuk sangka). Dan banyak sekali su'uzh-zhan ini terjadi kerana adanya tajassus.

    Setiap manusia mempunyai kehormatan diri yang tidak boleh dinodai dengan tajassus dan diselidiki cacat-cacatnya, sekalipun dia berbuat dosa, selama dilakukan dengan bersembunyi.

    Abul Haitsam sekretaris Uqbah bin 'Amir --salah seorang sahabat Nabi-- berkata: saya pernah berkata kepada Uqbah: saya mempunyai tetangga yang suka minum arak dan akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Maka kata Uqbah: Jangan! Tetapi nasihatilah mereka itu dan peringatkanlah. Abul Haitsam menjawab: Sudah saya larang tetapi mereka tidak mahu berhenti, dan tetap akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Uqbah berkata: Celaka kamu! Jangan! Sebab saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. berkata:

    "Barangsiapa menutupi suatu cacat, maka seolah-olah ia telah menghidupkan anak yang ditanam hidup-hidup dalam kuburnya." (Riwayat Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban)

    Rasulullah s.a.w. menilai, bahawa menyelidiki cacat orang lain itu termasuk perbuatan orang munafik yang mengatakan beriman dengan lidahnya tetapi hatinya membenci. Kelak mereka akan dibebani dosa yang berat di hadapan Allah.

    Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah s.a.w, pernah naik mimbar kemudian menyeru dengan suara yang keras: "Hai semua orang yang telah menyatakan beriman dengan lidahnya tetapi iman itu belum sampai ke dalam hatinya! Janganlah kamu menyakiti orang-orang Islam dan jangan kamu menyelidiki cacat-cacat mereka. Sebab barangsiapa menyelidiki cacat saudara muslim, maka Allah pun akan menyelidiki cacatnya sendiri; dan barangsiapa yang oleh Allah diselidiki cacatnya, maka Ia akan nampakkan kendatipun dalam perjalanan yang jauh." (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)

    Maka demi melindungi kehormatan orang lain, Rasulullah s.a.w. mengharamkan dengan keras seseorang mengintip rumah orang lain tanpa izin; dan ia membenarkan pemilik rumah untuk melukainya. Seperti sabda Nabi: "Barangsiapa mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halal buat mereka untuk menusuk matanya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Diharamkan juga mendengar-dengarkan omongan mereka tanpa sepengetahuan dan perkenannya. Sabda Nabi: "Barangsiapa mendengar-dengarkan omongan suatu kaum; sedang mereka itu tidak suka, maka kelak di hari kiamat kedua telinganya akan dituangi cairan timah." (Riwayat Bukhari)

    Al-Quran mewajibkan kepada setiap muslim yang berkunjung ke rumah kawan, supaya jangan masuk lebih dahulu, sehingga ia minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Firman Allah:

    “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu masuk rumah selain rumah-rumah kamu sendiri, sehingga kamu minta izin lebih dahulu dan memberi salam kepada pemiliknya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat. Maka jika kamu tidak menjumpai seorang pun dalam rumah itu, maka jangan kamu masuk, sehingga kamu diberi izin. Dan jika dikatakan kepadamu: kembalilah! Maka kembalilah kamu. Yang demikian itu lebih bersih buat kamu, dan Allah Maha Menge tahui apa saja yang kamu kerjakan.” (an-Nur: 27-28)

    Di dalam hadis Nabi, juga dikatakan: "Barangsiapa membuka tabir kemudian dia masukkan pandangannya sebelum diizinkan, maka sungguh dia telah melanggar suatu hukum yang tidak halal baginya untuk dikerjakan." (Riwayat Ahmad dan Tarmizi)

    Nas-nas larangan tentang tajassus dan menyelidiki cacat orang lain ini meliputi hakim dan yang terhukum, seperti yang diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah dari Rasulullah s.a.w. ia bersabda: "Sesungguhnya kamu jika menyelidiki carat orang lain, berarti kamu telah merusak mereka atau setidak-tidaknya hampir- merusak mereka itu." (Riwayat Abu Daud dan ibnu Hibban)

    Abu Umamah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda: "Sesungguhnya seorang kepala apabila mencari keraguraguan terhadap orang lain, maka ia telah merusak mereka." (Riwayat Abu Daud)


  Ghibah (Mengumpat)

    Keenam: Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:

    “Dan jangan sebahagian kamu mengumpat sebahagiannya.” (al-Hujurat: 12)

    Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut di bawah ini:

    "Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, iaitu: Kamu membincangkan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bincangkan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bincangkan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia." (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i)

    Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya itu dibincangkan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini: "Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi)

    Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya.

    Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca.

    Oleh kerana itu tidak menghairankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan. Firman Allah:

    “Dan jangan sebahagian kamu mengumpat sebahagiannya; apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!” (al-Hujurat: 12)

    Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia. Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging itu telah menjadi bangkai? Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di dalam hati setiap ada kesempatan untuk itu.

    Ibnu Mas'ud pernah berkata: "Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan daging ? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu." (Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)

    Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata: "Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad dan rawi-rawinya kepercayaan)


  Batas Perkenaan Ghibah

    Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.

    Diantara yang dikecualikan, iaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya. Firman Allah:

    “Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (an-Nisa': 148)

    Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain kerana ada maksud mengadakan hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan suatu urusan yang sangat penting kepadanya.

    Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan diri kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.

    Dalam sebuah kisah dituturkan, bahawa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai wang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahawa dia itu tidak mahu meletakkan tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan."

    Dan termasuk yang dikecualikan juga iaitu: kerana bertanya, minta tolong untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut. Misalnya: A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu.

    Termasuk yang dikecualikan juga, iaitu menerangkan cacatnya saksi dan rawi-rawi hadis [32].

    Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:

        1. kerana ada suatu kepentingan.
        2. kerana suatu niat.


  Kerana Suatu Kepentingan

    Jadi kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan membincangkan seorang yang tidak hadir dengan sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka tidak boleh berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh memakai takhshish (pengecualian) tersebut.

    Misalnya seorang yang sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si Anu."

    Semua ini dengan syarat tidak akan membincangkan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau tidak, berarti suatu dosa dan haram.


  Kerana Suatu Niat

    Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab pribadi manusia itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka niatlah yang dapat membezakan antara perbuatan zalim dan mengubati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan mengoreksi dan antara nasihat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min, seperti dikatakan oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil.

    Hukum Islam menetapkan, bahawa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh kerana itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.: "Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu kepastian dari Allah, bahawa Allah akan membebaskan dia dari Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan)

    "Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)

    Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi mulut-mulut yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling minim, iaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam perbincangan lain. Kalau tidak, maka yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:

    “Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka” (an-Nisa': 140)

  Mengadu Domba

    Ketujuh: Kalau ghibah dalam Islam disebut sebagai suatu dosa, maka ada suatu perbuatan yang lebih berat lagi, iaitu mengadu domba (namimah). iaitu memindahkan omongan seseorang kepada orang yang diperkatakan itu dengan suatu tujuan untuk menimbulkan permusuhan antara sesama manusia, mengotori kejernihan pergaulan dan atau menambah keruhnya pergaulan.

    Al-Quran menurunkan ayat yang mencela perbuatan hina ini sejak permulaan perioda Makkah. Firman Allah:

    “Dan jangan kamu tunduk kepada orang yang suka sumpah yang hina, yang suka mencela orang, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba.” (al-Qalam: 10-11)

    Dan sabda Rasulullah s.a.w.: "Tidak masuk sorga orang-orang yang suka mengadu domba." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Qattat, kadang-kadang disebut juga nammam, iaitu seorang berkumpul bersama orang ramai yang sedang membincangkan suatu perbincangan, kemudian dia menghasut mereka.

    Dan qattat itu sendiri, iaitu seseorang yang memperdengarkan sesuatu kepada orang ramai padahal mereka tidak mengetahuinya, kemudian dia menghasut mereka itu.

    Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Sejelek-jelek hamba Allah iaitu orang-orang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba, yang memecah-belah antara kekasih, yang suka mencari-cari cacat orang-orang yang baik." (Riwayat Ahmad)

    Islam, dalam rangka memadamkan pertengkaran dan mendamaikan pertentangan, membolehkan kepada juru pendamai itu untuk merahasiakan omongan tidak baik yang dia ketahui dari omongan seseorang tentang diri orang lain. Dan boleh juga dia menambah omongan baik yang tidak didengarnya. Seperti yang dikatakan Nabi dalam hadisnya: "Tidak termasuk dusta orang yang mendamaikan antara dua orang, kemudian dia berkata baik atau menambah suatu omongan baik."

    Islam sangat membenci orang-orang yang suka mendengarkan omongan jelek, kemudian cepat-cepat memindahkan omongan itu dengan menambah-nambah untuk memperdaya atau kerana senang adanya kehancuran dan kerusakan.

    Manusia semacam ini tidak mahu membatasi diri sampai kepada apa yang didengar itu saja, sebab keinginan untuk menghancurkan itulah yang mendorongnya menambah omongan yang mereka dengar. Dan jika mereka tidak mendengar, mereka berdusta.

    Kata seorang penyair:

        Kalau mereka mendengar kebaikan, disembunyikan
        Dan kalau mendengarkan kejelekan, disiarkan
        tetapi jika tidak mendengar apa-apa, ia berdusta.
   

    Ada seorang laki-laki masuk ke tempat Umar bin Abdul Aziz, kemudian membincangkan tentang hal seseorang yang tidak disukainya. Maka berkatalah Umar kepada si laki-laki tersebut; kalau boleh kami akan menyelidiki permasalahanmu itu. Tetapi jika kamu berdusta, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat ini:

    “Jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka selidikilah.” (al-Hujurat: 6)

    Dan jika kamu benar, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat: “Orang yang suka mencela, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba.” (al-Qalam: 11)

    Tetapi kalau kamu suka, saya akan memberi pengampunan. Maka jawab orang laki-laki tersebut: pengampunan saja ya amirul mu'minin, saya berjanji tidak akan mengulangi lagi.


  Kehormatan/Harga Diri

    Kelapan: Kita semua telah memaklumi, bagaimana Islam dengan melalui ajaran-ajarannya telah melindungi kehormatan dan harga diri manusia, bahkan sampai kepada bentuk mensucikannya.

    Pada satu hari Ibnu Mas'ud pernah melihat Ka'bah, kemudian dia mengatakan: "Betapa agungnya engkau dan betapa pula agungnya kehormatanmu. Tetapi orang mu'min lebih agung kehormatannya daripada engkau." (Riwayat Tarmizi)

    Dalam haji wada', Rasulullah s.a.w, pernah berkhutbah di hadapan khalayak kaum muslimin, di antara isi khutbahnya itu berbunyi sebagai berikut:

    "Sesungguhnya harta benda kamu, kehormatanmu, darah kamu haram atas kamu (dilindungi), sebagaimana haramnya harimu ini di bulanmu ini dan di negerimu ini." (Riwayat Tarmizi)

    Islam melindungi kehormatan pribadi dari suatu omongan yang tidak disukainya untuk disebut-sebut dalam ghibah, padahal omongan itu cukup benar. Maka bagaimana lagi kalau omongan itu justru dibuat-buat dan tidak berpangkal? Jelas merupakan dosa besar. Seperti dituturkan dalam hadis Nabi:

    "Barangsiapa mengatakan seseorang dengan sesuatu yang tidak ada padanya kerana hendak mencela dia, maka Allah akan tahan dia di neraka jahanam, sehingga dia datang untuk membebaskan apa yang dia omongkan itu." (Riwayat Thabarani)

    Aisyah juga pernah meriwayatkan: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah bertanya kepada para sahabatnya: Tahukah kamu riba apakah yang teramat berat di sisi Allah? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang maha tahu. Kemudian bersabdalah Rasulullah: Sesungguhnya riba yang teramat berat di sisi Allah, ialah: menghalalkan kehormatan pribadi seorang muslim."

    Kemudian Rasulullah s.a.w. membacakan ayat: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min laki-laki dan perempuan dengan sesuatu yang pada hakikatnya mereka tidak berbuat, maka sungguh mereka telah memikul dusta dan dosa yang terang-terangan.” (al-Ahzab: 58) [33]

    Bentuk penodaan kehormatan yang paling berat ialah menuduh orang-orang mu'min perempuan yang terpelihara, melakukan suatu kemesuman. kerana tuduhan tersebut akan membawa bahaya yang besar kalau mereka mendengarnya dan didengar pula oleh keluarga-keluarganya, serta akan berbahaya untuk masa depan mereka. Lebih-lebih kalau hal itu didengar oleh orang-orang yang suka menyebar luaskan kejahatan di tengah-tengah masyarakat Islam.

    Justru itu Rasulullah menganggapnya sebagai salah satu daripada dosa-dosa besar yang akan meruntuhkan. Dan al-Quran pun mengancamnya dengan hukuman yang amat berat. Firman Allah:

    “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang bersih jujur dan beriman, mereka itu dilaknat di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka siksaan yang besar, iaitu pada hari di mana lidah, tangan dan kaki mereka akan menyaksikan atas mereka tentang apa-apa yang pernah mereka lakukan. Pada hari itu Allah akan menyempurnakan balasan mereka dengan benar, dan mereka tahu sesungguhnya Allah, Dialah yang benar yang nyata.” (an-Nur: 23-25)

    Dan firmanNya pula: “Sesungguhnya orang-orang yang senang untuk tersiarnya kejelekan di kalangan orang-orang mu'min, kelak akan mendapat siksaan yang pedih di dunia dan akhirat, dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)


  Kehormatan Darah

    Kesembilan: Islam membersihkan kehidupan ummat manusia dan melindungi kehormatan setiap orang serta menetapkan, bahawa menodainya berarti suatu dosa besar di hadapan Allah, sesudah dosa kufur. Al-Quran mengatakan sebagai berikut:

    “Bahawasanya, barangsiapa membunuh suatu jiwa, padahal dia tidak membunuh jiwa atau tidak membuat kerusuhan di permukaan bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (al-Maidah: 32)

    Hal ini disebabkan jenis manusia itu seluruhnya pada dasarnya satu usrah (satu keluarga). Jadi kalau ada permusuhan oleh seseorang kepada orang lain, sama halnya dengan memusuhi jenis manusia itu sendiri.

    Lebih hebat lagi haramnya, apabila pihak yang terbunuh justru orang Islam. Firman Allah:

    “Barangsiapa membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya neraka jahanam dengan kekal abadi di dalamnya, dan Allah akan murka dan melaknatnya serta mempersiapkan untuknya siksaan yang besar.” (an-Nisa': 93)

    Dan Rasulullah s.a.w. juga bersabda: "Sungguh lenyapnya dunia akan lebih mudah bagi Allah ada (hilangnya dosa) seseorang yang membunuh orang Islam." (Riwayat Muslim, Nasa'i dan Tarmizi)

    Dan sabdanya juga: "Senantiasa seorang mu'min dalam kelapangan dari agamanya selama dia tidak mengenai darah haram." (Riwayat Bukhari)

    Dan ia bersabda pula: "Setiap dosa ada harapan Allah akan mengampuninya, kecuali seorang laki-laki yang mati dalam keadaan syirik atau seorang laki-laki membunuh seorang mu'min dengan sengaja." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Hibban dan Hakim)

    Terhadap ayat dan hadis-hadis tersebut, Ibnu Abbas berpendapat, bahawa taubatnya seorang pembunuh tidak bakal diterima. Jadi seolah-olah dia berpendapat, bahawa di antara syarat taubat tidak akan diterima kecuali dengan mengembalikan hak-hak tersebut kepada keluarga terbunuh atau minta kerelaannya. Sekarang bagaimana mungkin dia dapat mengembalikan hak orang yang terbunuh itu kepadanya atau minta direlakannya?

    Yang lain berpendapat: bahawa taubat yang ikhlas itu dapat diterima dan menghapuskan syirik, apalagi dosa di bawah syirik? Firman Allah:

    “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali kerana hak dan tidak berzina. Barangsiapa berbuat demikian, maka dia akan menjumpai dosanya yang dilipat-gandakan baginya siksaan kelak di hari kiamat dan akan kekal dalam siksaan itu dengan keadaan hina, kecuali orang yang taubat dan beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan diganti oleh Allah kejelekan-kejelekannya dengan kebaikan-kebaikan, dan adalah Allah Maha Pengam pun lagi Maha Belas-kasih.” (al-Furqan: 68-70)


  Pembunuh dan yang Terbunuh, Kedua-duanya di Neraka

    Rasulullah s.a.w. menilai, bahawa membunuh seorang muslim sebagai satu bahagian daripada kufur dan salah satu perbuatan jahiliah yang suka melancarkan peperangan dan mengalirkan darah kendati hanya kerana seekor unta atau kuda. Maka kata Rasulullah s.a.w.:

    "Memaki seorang muslim adalah fasik, dan memeranginya adalah kufur." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Dan sabdanya pula: "Jangan kamu kembali kafir sesudah aku meninggal, iaitu sebahagian kamu memukul leher sebahagiannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Dan pernah juga ia bersabda: "Apabila ada dua orang Islam, salah satunya membawa senjata untuk membunuh saudaranya, maka kedua-duanya berada di tepi jahanam; dan apabila salah satunya membunuh kawannya, maka kedua-duanya masuk jahanam. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: Ya Rasulullahl Ini yang membunuh memang mungkin, tetapi mengapa yang terbunuh sampai begitu? Jawab Nabi: kerana dia bermaksud akan membunuh saudaranya juga." (Riwayat Bukhari)

    Oleh kerana itulah Rasulullah s.a.w. melarang setiap perbuatan yang dapat membawa kepada pembunuhan atau peperangan, kendati hanya sekadar berisyarat dengan senjata. Seperti sabdanya:

    "Janganlah salah seorang di antara kamu berisyarat kepada saudaranya dengan pedang, sebab dia tidak tahu barangkali syaitan akan melepaskan dari tangannya, maka dia akan jatuh ke jurang neraka." (Riwayat Bukhari)

    Dan sabdanya pula: "Barangsiapa mengisyaratkan besi kepada kawannya, maka Malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti, sekalipun dia itu saudara sekandung." (Riwayat Muslim)

    Bahkan ia bersabda: "Tidak halal seorang muslim menakut-nakuti orang lain." (Riwayat Abu Daud dan Thabarani dan rawi-rawinya kepercayaan)

    Dosa ini tidak terbatas kepada si pembunuhnya saja, bahkan semua orang yang terlibat dalam pembunuhan itu, baik dengan perkataan ataupun perbuatan akan mendapat murka dari Allah sebesar dosa keterlibatannya itu. Sampai pun orang yang menyaksikan pembunuhan itu akan mendapat bahagian dosa juga. Seperti disebutkan dalam hadis Nabi yang mengatakan:

    "Jangan sampai salah seorang dari antara kamu berdiri di suatu tempat yang dilakukan pembunuhan terhadap seseorang dengan penganiayaan. Sebab laknat akan turun kepada orang yang menyaksikan sedangkan dia tidak mahu membelanya." (Riwayat Thabarani dan Baihaqi dengan sanad hasan)


  Dilindunginya Darah Kafir 'Ahdi dan Dzimmi

    Nas-nas yang berkenaan dengan larangan membunuh dan peperangan ditujukan untuk ummat Islam, karana nas-nas itu datang sebagai suatu ketetapan dan bimbingan untuk kaum muslimin dalam masyarakat Islam.

    Tetapi ini tidak berarti, bahawa selain orang Islam darahnya halal. Sebab pada dasarnya jiwa manusia dilindungi Allah dan dijaganya dengan hukum kemanusiaannya itu sendiri, selama mereka itu bukan kafir harbi (kafir yang memerangi Islam), kerana kafir harbi darahnya halal.

    Adapun kafir 'ahdi atau kafir dzimmi (kafir yang berada di bawah naungan pemerintah Islam), darahnya tetap dilindungi, tidak seorang muslim pun diperkenankan memusuhinya.

    Untuk itu Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Barangsiapa membunuh seorang kafir ahdi, maka dia tidak akan mencium bau sorga, sedang bau sorga itu tercium sejauh perjalanan 40 tahun." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)

    Dan dalam satu riwavat dikatakan: "Barangsiapa membunuh seorang laki-laki dari ahli dzimmah, maka dia tidak akan mencium bau sorga." (Riwayat Nasa'i)


  Bilakah Kehormatan Darah Itu Gugur?

    Firman Allah: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan (dilindungi) Allah, kecuali dengan benar.” (al-An'am: 151)

    Apa yang dikatakan benar ini, adalah sebagai suatu hukuman terhadap tindakan kriminal, yang dilakukan kerana salah satu dari tiga sebab:

    1. kerana suatu pembunuhan secara zalim.

    Untuk orang ini harus dilakukan hukum qishash, iaitu satu jiwa dengan satu jiwa, tindak kejahatan dengan kejahatan. Tetapi yang memulai dinilai lebih kejam. Firman Allah:

    “Dan bagi kamu dalam hukum qishash itu ada suatu keselamatan nyawa.” (al-Baqarah: 179)

    2. Terang-terangan berbuat kemesuman (zina) yang diketahui oleh empat orang saksi dengan mata-kepala sendiri, sedang dia tahu cara-cara perkawinan halal.

    Termasuk juga, kerana dia mengaku di hadapan hakim sebanyak empat kali.

    3. Keluar dari Agama Islam dengan terang-terangan sebagai suatu sikap menantang jamaah Islam. Sedang Islam tidak memaksa seorang pun masuk Islam. Tetapi dia keluar dengan mempermainkan agama seperti perbuatan Yahudi, yang mengatakan:

    “Berimanlah kamu kepada kitab yang diturunkan kepada orang-orang mu'min di ujung siang, dan kufurlah kamu di akhirnya supaya mereka (orang-orang Islam) kembali.” (Ali-Imran: 72)

    Rasulullah menyimpulkan halalnya darah yang semula haram, dalam tiga hal ini, dengan sabdanya: "Tidak halal darah seseorang muslim kecuali sebab tiga hal: kerana membunuh jiwa, seorang janda/duda berzina dan orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari jamaah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Akan tetapi hak melaksanakan hukuman terhadap salah satu dari ketiga hal ini, semata-mata berada di tangan waliyul amri, bukan di tangan perorangan. Sehingga dengan demikian keamanan tidak terganggu, suasana krisis dapat dibendung dan tidak sampai setiap orang bartindak sebagai hakim sendiri. Kecuali tentang pembunuhan yang disengaja dan bersifat permusuhan yang mengharuskan dilakukannya hukum qishash, maka Islam memberi kesempatan kepada keluarga terbunuh untuk melakukan qishash itu di hadapan waliyul amri, sebagai ubat penenang hati dan guna meredakan setiap keinginan menuntut darah. Ini sesuai dengan firman Allah:

    “Barangsiapa dibunuh secara aniaya, maka kami berikan kepada keluarganya kekuasaan; tetapi janganlah melampaui batas dalam pembunuhan itu, sebab sesungguhnya dia diberi kemenangan.” (al-Isra': 33)


  Bunuh Diri

    Semua keterangan yang menerangkan tentang tindak kriminal pembunuhan itu, meliputi masalah bunuh diri. Jadi barangsiapa bunuh diri dengan cara apapun, berarti dia telah melakukan suatu pembunuhan yang diharamkan Allah.

    Kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat membuat dirinya, anggotanya ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakekatnya hanyalah sebagai barang titipan yang diberikan Allah. Oleh kerana itu tidak boleh titipan ini diabaikannya. Bagaimana lagi memusuhinya? Dan apalagi melepaskannya dari hidup?

    kerana itu, berfirmanlah Allah: “Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, kerana sesungguhnya Allah maha belas-kasih kepadamu.” (an-Nisa': 29)

    Islam menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam menghadapi setiap musibah. Oleh kerana itu Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan dari hidup dan menanggalkan pakaian kerana ada suatu bala' yang menimpanya atau kerana gagal dalam cita-cita yang diimpi-impikan. Sebab seorang mu'min dicipta justru untuk berjuang, bukan untuk tinggal diam, dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya tidak mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap mu'min mempunyai senjata yang tidak boleh sumbing dan mempunyai kekayaan yang tidak boleh habis, iaitu senjata iman dan kekayaan budi.

    Rasulullah s.a.w. memberikan ancaman kepada orang yang berbuat tindak kriminal yang kejam ini dengan terhalangnya dari rahmat Allah dan mendapat murka Allah kelak di akhirat.

    Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sebelum kamu, pernah ada seorang laki-laki luka, kemudian marah sambil mengambil sebilah pisau dan di potongnya tangannya, darahnya terus mengalir sehingga dia mati. Maka berkatalah Allah: hambaku ini mahu mendahulukan dirinya dari (takdir) Ku. Oleh kerana itu Kuharamkan sorga atasnya." (Riwayat Bukhari, dan Muslim)

    Kalau orang tersebut terhalang masuk sorga lantaran luka yang tidak seberapa sakitnya kemudian bunuh diri, maka bagaimana lagi orang yang bunuh diri lantaran mendapat kerugian sedikit atau banyak, atau lantaran tidak lulus ujian atau lantaran ditolak seorang gadis?!

    Kiranya orang-orang yang kurang bergairah itu suka mendengarkan ancaman yang dibawa Rasulullah s.a.w. yang berkilat dan mengguruh. Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:

    "Barangsiapa menjatuhkan diri dari atas gunung kemudian bunuh diri, maka dia berada di neraka, dia akan menjatuhkan diri ke dalam neraka untuk selama-lamanya. Dan barangsiapa minum racun kemudian bunuh diri, maka racunnya itu berada di tangannya kemudian minum di neraka jahanam untuk selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan alat tajam, maka alat tajamnya itu di tangannya akan menusuk dia di neraka jahanam untuk selama-lamanya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

  Melindungi Harta Benda

    Kesepuluh: Tidak ada salahnya seorang muslim mengumpulkan kekayaan dengan sepuas-puasnya, asal dengan jalan halal dan disalurkan menurut cara-cara yang dibenarkan oleh hukum syara'.

    Kalau di sementara agama ada yang beranggapan, bahawa: sesungguhnya orang kaya itu tidak dapat masuk ke kerajaan langit, kecuali kalau unta dapat masuk ke lubang jarum, maka sesungguhnya Islam mengatakan: "Bahawa sebaik-baik harta yang baik adalah milik seorang saleh." (Riwayat Ahmad.)

    Dan selama Islam membenarkan hak milik pribadi, maka praktis Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan suatu undang-undang. Dan akan memberikan suatu pengarahan budi agar harta tersebut tidak menjadi sasaran tangan-tangan jahat, baik kerana dirampas, dicuri ataupun ditipu.

    Rasulullah s.a.w. menyebutkan secara global antara kehormatan harta benda, darah dan harga diri dalam suatu susunan. Bahkan ia menilai pencurian itu sebagai hal yang dapat menghilangkan iman. Sabda Nabi: "Tidak akan mencuri seorang pencuri ketika ia mencuri, padahal dia menyatakan beriman." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Dan firman Allah: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, hendaklah kamu potong tangannya, sebagai satu pembalasan terhadap apa yang mereka lakukan dan sebagai contoh yang menakutkan dari Allah; dan Allah Maha Gagah dan Bijaksana.” (al-Maidah: 38)

    Dan sabda Rasulullah s.a.w.: "Tidak halal seorang muslim mengambil sebilah tongkat, tanpa niat baik." (Riwayat Ibnu Hibban)

    Rasulullah katakan demikian, kerana kerasnya perlindungan Allah terhadap harta seorang muslim.

Dan berfirmanlah Allah Ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta-harta kamu di antara kamu dengan cara batil, kecuali melalui perdagangan dengan saling merelakan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)


  Menyuap, Hukumnya Haram

    Termasuk makan harta orang lain dengan cara batil ialah menerima suap. iaitu wang yang diberikan kepada penguasa atau pegawai, supaya penguasa atau pegawai tersebut menjatuhkan hukum yang menguntungkannya, atau hukum yang merugikan lawannya menurut kemahuannya, atau supaya didahulukannya urusannya atau ditunda kerana ada suatu kepentingan dan seterusnya.

    Islam mengharamkan seorang Islam menyuap penguasa dan pembantu-pembantunya. Begitu juga penguasa dan pembantu-pembantunya ini diharamkan menerima wang suap tersebut.

    Dan kepada pihak ketiga diperingatkan jangan sampai mahu menjadi perantara antara pihak penerima dan pemberi. Firman Allah:

    “Dan jangan kamu makan harta benda kamu di antara kamu dengan batil dan kamu ajukan perkara itu kepada penguasa (hakim) dengan maksud supaya kamu makan sebahagian dari harta orang lain dengan dosa, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 188)

    Sabda Rasulullah s.a.w.: "Allah melaknat penyuap dan yang menerima suap dalam hukum." (Riwayat Ahmad, Tarmizi dan Ibnu Hibban)

    Tsauban mengatakan: "Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap dan yang menjadi perantara." (Riwayat Ahmad dan Hakim)

    Rasulullah s.a.w, pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ke tempat orang Yahudi untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dibayarnya, kemudian mereka menyodorkan sejumlah wang. Maka kata Abdullah kepada orang Yahudi itu: "Suap yang kamu sodorkan kepadaku itu adalah haram. Oleh kerana itu kami tidak akan menerimanya." (Riwayat Malik).

    Apabila penerima suap itu menerimanya justru untuk suatu tindakan kezaliman, maka berat sekali dosanya! Dan kalau bertujuan untuk mencari keadilan, maka sudah seharusnya wang imbalan itu tidak diterimanya.

    Tidak hairan kalau Islam mengharamkan suap dan memperkerasnya terhadap siapa saja yang bersekutu dalam penyuapan ini. Sebab meluasnya penyuapan di masyarakat, akan menyebabkan meluasnya kerusakan dan kezaliman, misalnya: menetapkan hukum dengan jalan tidak benar, kebenaran tidak mendapat jaminan hukum, mendahulukan orang yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan orang yang seharusnya didahulukan serta akan meluasnya jiwa vested interest di dalam masyarakat yang tidak berjiwa demi melaksanakan kewajiban.


  Hadiah dari Rakyat Kepada Penguasa

    Islam mengharamkan suap dalam bentuk dan nama apapun. Oleh karena itu dengan dalih hadiah tidak akan dapat mengeluarkannya dari haram menjadi halal.

    Dalam hadis Nabi dikatakan: "Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan, kemudian kami beri gaji, maka apa yang diambilnya selebih dari itu berarti suatu penipuan." (Riwayat Abu Daud)

    Umar bin Abdul Aziz pernah diberi hadiah waktu beliau menjabat sebagai khalifah, tetapi ditolaknya. Kemudian dikatakanlah kepadanya: "Rasulullah mahu menerima hadiah." Maka Umar menjawab: "Apa yang diterima Nabi itu memang hadiah, tetapi ini buat saya sebagai suapan."

    Pernah juga Rasulullah s.a.w. mengirimkan seorang utusan untuk mengumpulkan zakat dari kabilah Azdi. Tetapi setelah utusan tersebut menghadap Nabi, sebagian barang yang dibawanya itu ditahan dan ia mengatakan kepada Nabi: Ini untukmu dan ini untuk saya, sebagai hadiah.

    Mendengar ucapan itu Nabi marsh sambil berkata: Mengapa tidak saja kamu tinggal di rumah bersama ayah dan ibumu sehingga hadiahmu itu sampai kepadamu, kalau kamu orang yang jujur?!

    Kemudian Nabi bersabda pula: "Mengapa saya memperkerjakan seorang laki-laki dari antara kamu kemudian ia mengatakan: ini untukmu dan ini hadiah untukku? Mengapa tidak saja ia tinggal di rumah ibunya supaya diberi hadiah?! Demi Zat yang diriku dalam kekuasaannya! Salah seorang di antara kamu tidak akan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak benar, melainkan dia akan menghadap Allah --kelak di hari kiamat-- sambil membawa benda tersebut. Sungguh salah seorang di antara kamu tidak akan datang nanti di hari kiamat dengan membawa unta yang melenguh atau sapi yang menguak dan atau kambing yang mengembik. Kemudian Nabi mengangkat dua tangannya sampai putihnya kedua ketiaknya nampak, seraya mengatakan: Ya Tuhan, sudahkah saya sampaikan ini?!" (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Imam Ghazali berkata: "Kalau sudah demikian kerasnya larangan ini, maka sepatutnya seorang hakim atau penguasa --dan orang-orang yang tergolong hakim atau penguasa-- mengira-ngirakan dirinya sewaktu tinggal bersama ayah dan ibunya. Kalau dia diberi hadiah sesudah memisahkan diri tetapi waktu itu masih tinggal bersama ayah dan ibunya, maka boleh diterimanya ketika dia sedang memangku jabatan. Tetapi kalau dia tahu, bahwa pemberian itu justru karena jabatannya, maka haram dia menerimanya. Dan hadiah-hadiah kawannya yang masih disangsikan apakah kalau dia keluar dari jabatan, bahwa mereka itu akan memberinya? Maka hal ini dipandang sebagai barang syubhat; oleh karena itu jauhilah."[34]


  Menyuap Untuk Menghilangkan Kezaliman

    Barangsiapa mempunyai hak yang diabaikan, sedang jalan untuk mendapatkan hak tersebut tidak dapat, kecuali dengan jalan menyuap; atau ada suatu kezaliman yang tidak dapat diatasi kecuali dengan menyuap, maka sebaiknya bersabar diri, sehingga Allah memberikan jalan untuk mengatasi kezaliman atau untuk mendapat hak tersebut.

    Kalau dia melalui jalan menyuap untuk maksud di atas, maka dosanya bagi yang menerima suap, bukan bagi yang menyuap, selama dia telah mencuba berbagai jalan untuk mengatasi problema tersebut tetapi tidak juga berhasil; dan selama usaha mengatasi kezaliman dan mendapatkan hak itu tidak merugikan orang lain.

    Sementara ulama mendasarkan pendiriannya itu dengan beberapa hadis tentang orang-orang yang minta sadaqah kepada Nabi padahal mereka tidak berhak, tetapi diberinya. Antara lain hadis yang diriwayatkan Umar Ibnul-Khattab:

    "Sesungguhn.ya Rasulullah s.a.w bersabda: sungguhnya ada salah seorang di antara kamu keluar dari rumahku dengan membawa sadaqah yang disembunyikan di ketiaknya, padahal sadaqah itu hanya umpan neraka. Kemudian Umar bertanya: Ya Rasulullah! Mengapa engkau beri padahal engkau tahu, bahwa sadaqah itu merupakan bara neraka baginya? Maka jawab Nabi: Apa yang harus saya perbuat sedangkan mereka terus-menerus minta kepadaku dan saya sendiri dilarang Allah berlaku bakhil." (Riwayat Abu Ya'la, dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Ahmad)

    Apabila keadaan yang mendesak menyebabkan Nabi mahu memberi sesuatu kepada peminta padahal telah diketahui, bahwa barang yang diberikannya itu bara api neraka, maka bagaimana lagi kalau suatu keperluan yang sangat mendesak demi mengatasi kezaliman dan mengambil hak yang diabaikan?!


  Memboros Menggunakan Harta, Hukumnya Haram

    Apabila harta benda orang lain dilindungi dari setiap gangguan yang datangnya dari luar, baik dengan sembunyi-sembunyi ataupun dengan terang-terangan, maka di samping itu harta pribadi pun dilindungi dari penggunaan yang sia-sia, dipergunakan dengan boros atau karena dibangkitkan oleh kanan-kirinya.

    Ini justru disebabkan ummat mempunyai hak terhadap harta milik perseorangan, bahkan mempunyai hak milik di belakang setiap pemilik. Oleh karena itu Islam menetapkan, bahwa ummat berhak menahan hak milik orang yang belum mampu mengurus hartanya yang dimungkinkan akan menghambur-hamburkan hak miliknya itu. Sebab dalam hal ini ummatlah yang berhak. Dalam hal ini al-Quran mengatakan:

    “Dan jangan kamu serahkan kepada orang-orang bodoh harta benda kamu yang telah Allah jadikan sebagai standard untuk kamu, tetapi berilah mereka makan dengan harta itu dan berilah mereka pakaian, dan katakanlah kepada mereka dengan omongan yang baik.” (an-Nisa': 5)

    Di sini Allah menyampaikan perkataanNya: Jangan kamu serahkan kepada orang-orang bodoh harta benda kamu itu kepada ummat, padahal harta benda tersebut pada hakikatnya milik orang-orang bodoh itu sendiri.

    Akan tetapi harta milik pribadi, pada hakikatnya milik seluruh ummat. Sebab Islam adalah agama tengah-tengah dan adil. Sedang ummat Islam adalah ummat penengah dan adil dalam segala hal. Justru itu Allah melarang ummat Islam berlebih-lebihan dan boros, sebagaimana halnya mereka dilarang kikir dan pelit. Firman Allah:

    “Hai anak Adam! Pakailah perhiasanmu di tiap-tiap masjid; dan makanlah dan minumlah tetapi jangan boros, sebab Allah tidak suka kepada orang-orang yang boros.” (al-A'raf: 31)

    Yang dimaksud dengan pemborosan di sini hanyalah dalam hal yang sifatnya memang diharamkan Allah, seperti untuk membeli arak, narkotik, bejana emas, bejana perak dan sebagainya. Sedikit ataupun banyak wang yang dikeluarkan itu. Atau wang itu disia-siakan untuk urusan pribadi mahupun orang lain. Sebab Rasulullah s.a.w. melarang mensia-siakan harta. (Riwayat Bukhari).

    Atau dengan memperbesar jumlah pengeluaran untuk keperluan yang tidak dibutuhkan, sehingga tidak lagi ada sisa untuk mencukupi dirinya.

    Imam ar-Razi berkata dalam menafsirkan firman Allah: "Mereka bertanya kepadamu apakah yang harus mereka belanjakan? Maka jawablah: Yaitu harta yang lebih." (al-Baqarah: 219) sebagai berikut: Sesungguhnya Allah mendidik manusia dalam hal menggunakan wang, kemudian ia berkata kepada Nabinya sebagai berikut:

    “Dan berikanlah kepada keluargamu haknya, kepada orang-orang miskin, dan kepada orang yang berkeputusan belanja dalam perjalanan (ibnus sabil), dan jangan boros, karena sesungguhnya orang-orang yang boros adalah kawan syaitan.” (al-Isra': 26)

    “Dan jangan kamu letakkan tanganmu terbelenggu di lehermu, tetapi jangan pula kamu ulurkan sepanjang-panjangnya. (al-isra': 29)

    “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan wangnya tidak boros dan tidak juga kikir.” (al-Furqan: 67)

    Dan Rasulullah s.a.w. sendiri juga bersabda: "Kalau salah seorang di antara kamu mempunyai sesuatu, maka utamakanlah untuk dirinya sendiri kemudian orang yang menjadi tanggungannya. Begitulah seterusnya!" (Riwayat Muslim)

    Dan sabdanya pula. "Sebaik-baik sadaqah ialah masih meninggalkan sisa." (Riwayat l-habarani siengan sanad hasan)

    Dan yang semakna dengan ini terdapat dalam Bukhari. "Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Ketika kami bersama Rasulullah s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki datang membawa emas sebesar telur. Kemudian ia berkata kepada Nabi: Ya Rasulullah! Ambillah ini sebagai sedekah, tetapi demi Allah saya tidak memiliki kecuali ini. Kemudian Rasulullah s.a.w. berpaling, tetapi ia berikan dari hadapan Nabi. Kemudian Nabi berkata: bawalah kemari, sambil ia marah dan kemudian diambilnya, kemudian dilemparkan yang sekiranya kena niscaya akan melukainya. Kemudian ia berkata: salah seorang di antara kamu datang kepadaku dengan membawa wangnya padahal dia tidak mempunyai kecuali itu, kemudian ia duduk menanti pemberian orang. Ketahuilah, bahwa sadaqah itu dari harta kelebihan. Ambillah ini, saya tidak membutuhkannya." (Riwayat Abu Daud dan Hakim)

    "Dan dari Nabi s.a.w., bahwa ia pernah menyimpan untuk keluarganya makanan setahun." (Riwayat Bukhari)

    Dan berkatalah ahli-ahli hikmah: "Yang baik ialah berada diantara berlebih-lebihan dan kikir." Infaq terlalu banyak berarti boros, dan terlalu sedikit berarti kikir. Sedang tengah-tengah itulah yang baik. Dan inilah yang dimaksud firman Allah: qulil 'afwa. Tujuan pokok syariat Muhammad adalah demi memenuhi panggilan yang lembut ini. Berbeda dengan syariat Yahudi yang dasarnya pembinaan sangat keras, dan syariat Nashara yang sangat mempermudah. Tetapi syariat Muhammad sederhana dalam semua hal. Justru itu syariat Muhammad lebih sempurna dari semuanya [35].