PERNYATAAN PARA IMAM MADZHAB UUNTUK MENGIKUTI SUNNAH DAN MENINGGALKAN YANG
MENYALAHI SUNNAH1. Imam Abu Hanifah
rahimahullah (Imam Hanafi)Imam madzhab yang pertama adalah Abu
Hanifah Nu’man bin Tsabit. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam
perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu
kewajiban berpegang teguh pada Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
meninggalkan sikap taqlid/membeo pendapat-pendapat para imam bila bertentangan
dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ucapan beliau:
# “
Jika
suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.”
[Ibnu Abidin dalam Kitab
Al-Hasyiah 1/63 dan Kitab Rasmul Mufti 1/4 dari kumpulan tulisan Ibnu Abidin.
Juga oleh Syaikh Shalih Al-Filani dalam Kitab Iqazhu Al-Humam hlm. 62 dan
lain-lain. Ibnu Abidin menukil dari Syarah Al-Hidayah, karya Ibnu Syahnah
Al-Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang berbunyi:
“Bila suatu Hadits shahih
sedangkan isinya bertentangan dengan madzhab kita, yang diamalkan adalah Hadits.
Hal ini merupakan madzhab beliau dan tidak boleh seorang muqallid menyalahi
Hadits shahih dengan alasan dia sebagai pengikut Hanafi, sebab secara sah
disebutkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan: “Jika suatu Hadits
shahih, itulah madzhabku.” Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari
Abu Hanifah dan para imam lain pesan semacam itu]
# “
Tidak halal bagi
seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil
sumbernya.”
[Ibnu ‘Abdul Barr dalam Kitab Al-Intiqa fi Dadhail
Ats-Tsalasah Al-Aimmah Al Fuqaha hlm. 145, Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in
II/309, Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyah Al-Bahri Ar-Raiq VI/293, dan Rasmu Al-Mufti
hlm. 29 dan 32, Sya’rani dalam Al-Mizan I/55 dengan riwayat kedua, sedang
riwayat ketiga diriwayatkan Abbas Ad-Darawi dalam At-Tarikh, karya Ibnu Ma’in
VI/77/1 dengan sanad shahih dari Zufar. Semakna dengan itu diriwayatkan dari
beberapa orang sahabatnya, yaitu: Zufar, Abu Yusuf, dan Afiyah bin Yazid,
seperti termaktub dalam Al-Iqazh hlm. 52. Ibnul Qayyim menegaskan shahihnya
riwayat ini dari Abu Yusuf II/344 dan memberi keterangan tambahan dalam
Ta’liqnya terhadap Kitab Al-Iqazh hlm. 65, dikutip dari Ibnu ‘Abdul Barr, Ibnul
Qayyim dan lain-lain]
# “
Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tinggalkanlah pendapatku itu.”
[Al-Filani dalam Kitab
Al-Iqazh hlm. 50, menisbatkan kepada Imam Muhammad juga, kemudian
ujarnya:
“Hal semacam ini dan lain-lainnya yang serupa bukanlah merupakan
sifat mujtahid, sebab dia tidak mendasarkan hal itu pada pendapat mereka, bahkan
hal semacam ini merupakan sifat muqallid.”]
2. Malik bin Anas (Imam Maliki)Imam
Malik bin Anas menyatakan:
# “
Saya hanyalah seorang manusia, terkadang
salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai
dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur’an
dan Sunnah, tinggalkanlah.”
[Ibnu ‘Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu
Hazm dalam Kitabnya Ushul Al-Ahkam VI/149, begitu pula Al-Fulani hlm.
72]
# “
Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali
hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.”
[Di kalangan ulama
mutaakhir hal ini populer dinisbatkan kepada Imam Malik dan dinyatakan shahihnya
oleh Ibnu ‘Abdul Hadi dalam Kitabnya Irsyad As-Salik I/127. Diriwayatkan juga
oleh Ibnu Abdul Barr dalam Kitab Al-Jami’ II/291, Ibnu Hazm dalam Kitab Ushul
Al-Ahkam VI/145, 179, dari ucapan Hakam bin Utaibah dan Mujahid. Taqiyuddin
Subuki menyebutkannya dalam Kitab Al-Fatawa I/148 dari ucapan Ibnu ‘Abbas.
Karena ia merasa takjub atas kebaikan pernyataan itu, ia berkata:
“Ucapan ini
diambil oleh Mujahid dari Ibnu ‘Abbas, kemudian Malik mengambil ucapan kedua
orang itu, lalu orang-orang mengenalnya sebagai ucapan beliau
sendiri.”]
# “
Ibnu Wahhab berkata: “Saya pernah mendengar Malik
menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki di dalam wudhu,
jawabnya: ‘Hal itu bukan urusan manusia.’” Ibnu Wahhab berkata: “Lalu saya
tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit,
kemudian saya berkata kepadanya: ‘Kita mempunyai Hadits mengenai hal tersebut.’
Dia bertanya: ‘Bagaimana Hadits itu?’ Saya jawab: ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu
Lahi’ah, ‘Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dan Yazid bin ‘Amr
Al-Mu’afiri, dari Abi ‘Abdurrahman Al-Habali, dari Mustaurid bin Syaddad
Al-Qurasyiyyi, ujarnya: Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya.’ Malik menyahut:
‘Hadits ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini.’
Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama,
lalu beliau menyuruh orang itu menyela-nyela jari-jari
kakinya.”
[Muqaddimah Kitab Al-Jarh Wa At-Ta’dil, karya Ibnu Abi
Hatim, hlm. 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunan-nya
I/81]
3. Imam
Syafi’iRiwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam Syafi'i dalam
masalah ini lebih banyak dan lebih bagus [Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya
VI/118:
"Para ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu
sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang
paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi'i. Beliau dengan keras
menegaskan agar orang mengikuti Hadits-Hadits yang shahih dan berpegang pada
ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang lain
yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas diri
dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan terang-terangan mengumumkan
hal ini. Semoga Allah memberi manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya.
Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatkan kebaikan yang banyak."] dan
pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih
beruntung.
Beliau berpesan antara lain.
# "
Setiap orang harus
bermadzhab kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikutinya.
Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan
pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi
pendapatku."
[HR. Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi'i
seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu 'Asakir XV/1/3, I'lam
Al-Muwaqqi'in II/363-364, Al-Iqazh hlm. 100]
# "
Seluruh kaum muslim
telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu Hadits dari
Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat
seseorang"
[Ibnul Qayyim II/361, dan Al-Filani hlm. 68]
#
"
Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits
Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku
itu"
[Harawi dalam kitab Dzamm Al-Kalam III/47/1, Al-Khathib dalam
Ihtijaj Bi Asy-Syafi'i VIII/2, Ibnu Asakir XV/9/1, Nawawi dalam Al-Majmu' I/63,
Ibnul Qayyim II/361, Al-Filani hlm. 100 dan riwayat lain oleh Abu Nu'aim dalam
Al-Hilyah IX/107 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya III/284, Al-Ihsan dengan sanad
yang shahih dari beliau, riwayat semakna]
# "
Bila suatu Hadits shahih,
itulah madzhabku"
[Nawawi, dalam Al-Majmu', Sya'rani I/57 dan ia
nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hlm. 107. Sya'rani berkata:
"Ibnu
Hazm menyatakan Haditst ini shahih menurut penilaiannya dan penilaian imam-imam
yang lain."]
# "
Kalian lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya
daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di
mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi
menemuinya."
[Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal,
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi'i hlm. 94-95, Abu
Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/106, Al-Khatib dalam Al-Ihtijaj VIII/1, diriwayatkan
pula oleh Ibnu 'Asakir dari beliau XV/9/1, Ibnu 'Abdil Barr dalam Intiqa hlm.
75, Ibnu Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hlm. 499, Al-Harawi II/47/2 dengan tiga
sanad, dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi'i
pernah berkata kepadanya: "..... Hal ini shahih dari beliau. Oleh karena itu,
Ibnu Qayyim menegaskan penisbatannya kepada Imam Ahmad dalam Al-I'lam II/325 dan
Fulani dalam Al-Iqazh hlm. 152." Selanjutnya, beliau berkata: "Baihaqi berkata:
'Oleh karena itu, Imam Syafi'i banyak mengikuti Hadits. Beliau mengambil ilmu
dari ulama Hijaz, Syam, Yaman, dan Iraq'. Beliau mengambil semua Hadits yang
shahih menurut penilaiannya tanpa pilih kasih dan tidak bersikap memihak kepada
madzhab yang tengah digandrungi oleh penduduk negerinya, sekalipun kebenaran
yang dipegangnya menyalahi orang lain. Padahal ada ulama-ulama sebelumnya yang
hanya membatasi diri pada madzhab yang dikenal di negerinya tanpa mau berijtihad
untuk mengetahui kebenaran pendapat yang bertentangan dengan dirinya." Semoga
Allah mengampuni kami dan mereka."]
# "
Bila suatu masalah ada
Haditsnya yang sah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menurut
kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan
mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati."
[Abu
Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/107, Al-Harawi 47/1, Ibnul Qayyim dalam Al-I'lam
II/363 dan Al-Filani hlm. 104]
# "
Bila kalian mengetahui aku
mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih,
ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna."
[Ibnu Abi
Hatim dalam Adabu Asy-Syafi'i hlm. 93, Abul Qasim Samarqandi dalam Al-Amali
seperti pada Al-Muntaqa, karya Abu Hafs Al-Muaddib I/234, Abu Nu'aim dalam
Al-Hilyah IX/106, dan Ibnu Asakir 15/10/1 dengan sanad shahih]
#
"
Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan
bertaqlid kepadaku."
[Ibnu Abi Hatim hlm. 93, Abu Nu'aim dan Ibnu
'Asakir 15/9/2 dengan sanad shahih]
# "
Setiap Hadits yang datang dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian
tidak mendengarnya sendiri dari aku."
[Ibnu Abi Hatim, hal.
93-94]
4. Imam Ahmad bin Hanbal (Imam
Hambali)Ahmad bin Hambal merupakan seorang iman yang paling banyak
menghimpun Haditsts dan berpegang teguh padanya., sehingga beliau benci menjamah
koitab-kitab yang memuat masalah furu’ dan ra’yu [Ibnu Jauzi dalam Al-Manaqib
hlm. 192 ]
Beliau menyatakan sebagai berikut :
# “
Janganlah engkau
taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Tsauri, tetapi ambillah
dari sumber mereka mengambil.”
[Al- Filani hlm. 113 dan Ibnul Qayyim
dalam Al-I’lam II/302]
Pada riwayat lain disebutkan:
#
“
Janganlah kamu taqlid kepada siapa pun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa
yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah
hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya
(menolak atau menerima).” Kali lain dia berkata: “Yang dinamakan ittiba’ yaitu
mengikuti apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabatnya, sedangkan yang datang daripara tabi’in boleh di
pilih.”
[Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad hlm. 276-277].
#
“
Pendapat Auza’i, Malik, dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya
semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada
Atsar (Hadits).”
[Ibnu Abdul Barr dalam Al-Jami’ II/149]
#
“
Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
dia berada di jurang kehancuran.”
[Ibnu Jauzi hlm. 142]
D.
WAJIBKAH TERIKAT PADA SATU MADZHAB SAJA?1. Pendapat
Mayoritas Ulama Ushul: Tidak Wajib Berpegang Pada Satu Madzhab
SajaMereka mengatakan bahwa sorang muslim tidak diwajibkan untuk
berpegang kepada satu imam saja dalam semua masalah dan kejadian dalam kaitannya
dengan hukum syariah. Tetapi bila dia ingin bertaqlid kepada hanya salah satu di
antara mujtahid / madzhab itu, dibolehkan.
Menurut mereka seseorang
dibenarkan untuk bermadzhab dengan madzhab tertentu seperti Al-Hanafiyah,
Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyyah, Al-Hanabilah dan madzhab fiqih lainnya. Tetapi
tidak berarti dia harus terpaku secara terus menerus pada pendapat dalam madzhab
itu saja.
Hal ini karena memang tidak ada perintah dari Allah maupun
Rasul-Nya yang mewajibkan untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari
pendapat yang telah diberikan ulama. Yang ada justru perintah untuk bertanya
kepada ahli ilmu secara umum, yaitu mereka yang memang memiliki kemampuan
pemahaman syariat Islam, tetapi tidak harus terpaku pada satu orang atau madzhab
saja.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
# “
Dan Kami tidak
mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada
mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
# “
Kami tiada mengutus rasul-rasul
sebelum kamu, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada
mengetahui.” (QS. Al-Anbiya`: 7)
Para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dahulu dan juga para tabi`in pun tidak terpaku pada satu
pendapat saja dari ulama mereka. Mereka akan bertanya kepada siapa saja yang
memang layak untuk memberi fatwa dan memiliki ilmu tentang hal tersebut.
Maka tidaklah pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak
sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu
pendapat saja dan tidak boleh berpindah madzhab.
Bahkan pada hakikatnya,
setiap madzhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga. Lihatlah
bagaimana dahulu Al-Imam Asy-Syafi’i merevisi madzhab qadimnya dengan madzhab
jadid.
Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang masih menggantungkan
pendapat kepada masukan dari orang lain. Misalnya ungkapan paling masyhur dari
mereka adalah: “
Apabila suatu hadits itu shahih, maka menjadi madzhabku.”
Itu berarti seorang imam bisa saja tawaqquf (belum berpendapat) atau memberikan
peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat. Maka perubahan
pendapat dalam madzhab itu sangat mungkin terjadi.
Bila di dalam sebuah
madzhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna
bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.
2. Pendapat Yang
Mewajibkan Berpegang Pada Satu Madzhab SajaMeski demikian, kita juga
tidak mengingkari adanya pendapat sebagian dari ulama ushul yang mewajibkan
seseorang untuk berpegang kepada satu madzhab saja.
Dalilnya adalah
bahwa seseorang wajib mengikuti apa yang menurutnya lebih rajih atau lebih
mendekati kebenaran. Dan bila seseorang sudah yakin bahwa madzhab yang dianutnya
itu yang paling rajih, maka tidak boleh baginya mencari pendapat di luar
madzhabnya.
Untuk argumentasi mereka ini, kita bisa menjawab bahwa tidak ada
kewajiban bagi kita untuk harus selalu mengambil pendapat yang rajih. Terkadang
untuk suatu kondisi darurat tertentu, kita masih dibolehkan untuk mengambil
pendapat yang tidak rajih.
Dan mengenai kebolehan mengambil yang marjuh
(mafdhul) dan meninggalkan yang rajih (afdhal), ada beberapa ketetapan para
ulama ushul, antara lain:
# Al-Qadhi Atha’ bin Hamzah
berkata,
“
Seorang qadhi boleh berpindah keluar madzhabnya oleh sebab
darurat.”
# As-Shahkafi dalam Nash Ad-Dur Al-Mukhtar,
“
Seorang
qadhi dibolehkan mengerjakan amal yang kurang masyhur dalam madzhabnya bila
Sultan menetapkan hal itu.”
# Al-Mi’raj ‘An Fakhril
Ummah:
“
Kebolehan amal dan fatwa dengan perkataan yang dhaif dalam keadaan
darurat.”
# Ad-Dasuqi al-Maliki berkata,
“
Dibolehkan beramal
dengan yang dhaif bagi seseorang untuk masalah dirinya atau juga dalam fatwa
bila dipastikan adanya kedaruratan oleh mufti itu.”