TAFSIR AYAT PUASA


TAFSIR AYAT PUASA

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS 2:183)

Makna Umum

Muhammad Ali Ash-Shobuny menerangkan bahwa berpuasa itu diwajibkan pada bulan Ramadhan sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kita agar kita bertakwa, yaitu menjadi orang yang bertakwa kepada Allah dengan menjauhi apa yang diharamkan-Nya.[1]

Tafsir Ayat

Imam Mawardi dalam kitab tafsirnya menjelaskan sebagai berikut:[2]

I. (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa) Artinya diwajibkan atas kamu berpuasa dari segala sesuatu yang kamu harus menahannya. Ini adalah puasa menurut pengertian bahasa. Adapun puasa menurut pengertian syaraÕ adalah: menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa pada waktu tertentu.

Nabi bersabda, ÓAllah berfirman: Setiap amal anak Adam itu untuk mereka sendiri sedangkan puasa itu untuk-Ku....Ó (Bukhari 3/24, Muslim 5/122, NasaÕi 4/59). Imam Mawardi menjelaskan dua alasan mengapa puasa itu tampak khusus dibanding ibadah lain:

a. Puasa itu mencegah kepura-puraan diri berikut nafsu yang menyertainya b. Puasa itu merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya yang tidak ditampakkan kecuali untuk Tuhannya.

Inilah yang menyebabkan puasa menjadi sangat khusus dibandingkan dengan ibadah lainnya.

II. (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ) Imam Mawardi menyebutkan tiga pendapat berkenaan dengan siapa yang dimaksud dengan Òorang-orang sebelum kamuÓ :

a. Asy-SyuÕbi, Ar-RabiÕ dan Asbat mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang Nashrani b. Mujahid berpendapat bahwa mereka itu adalah Ahlul Kitab c. Qatadah mengatakan bahwa mereka itu adalah manusia secara umum.

Perbedaan pendapat juga terjadi dalam menjelaskan apa titik kesamaan antara puasa yang diwajibkan kepada umat Muhammad dengan umat yang lalu. Imam Mawardi mengurai dua pendapat dalam hal ini:

a. Kesamaan itu dalam hukum puasa dan sifatnya, bukan dalam hal bilangannya. Hal ini mengingat Yahudi juga berpuasa hanya mereka memulainya dari malam sampai ke malam lagi dan mereka tidak makan sesuatupun setelah malam tiba. Dan itulah juga yang dilakukan oleh umat islam di masa-masa awal Islam, yaitu mereka tidak makan sesuatupun di waktu malam sampai Umar bin Khattab dan Qais bin Sharmah melakukannya. Tindakan Umar dan Qais itu kemudian dihalalkan oleh Allah. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ar-RabiÕ bin Anas. Ar-RabiÕ berpegang pada hadis Nabi, ÒPerbedaan antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab adalah kita makan di waktu sahurÓ

b. Titik kesamaan itu adalah pada bilangan puasanya. Pendapat ini terbagi dua lagi:

b.1. Kaum Nasrani diwajibkan berpuasa 30 hari sebagaimana kita juga diwajibkan demikian. Dan seringkali itu terjadi pada musim yang sangat panas, lalu dipisah sebagian dilakukan di musim dingin dan saat hari yang cerah. Akan tetapi puasa mereka kemudian ditambah dua puluh hari lagi. Ini untuk menghapus dosa mereka dan menghukum mereka karena mengganti ketentuan Tuhan. Ini pendapat yang dipegang oleh Asy-SyuÕbi

b.2. Kaum Yahudi berpuasa tiga hari pada setiap hari Asyura dan tiga hari di setiap bulan. Kondisi ini berjalan selama tujuh belas bulan sampai turun ayat puasa Ramadhan yang menghapus ketentuan itu. Inilah pendapat Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ketentuan yang awal-awal dinasakh (dihapus) adalah soal qiblat dan puasa ini.

III. (agar kamu bertakwa)

Potongan ayat ini juga mengandung dua pendapat:

a. agar kamu bertakwa dari apa yang diharamkan dalam berpuasa seperti makan, minum, berhubungan intim dengan isteri. Pendapat ini dipegang oleh Abu JaÕfar at-Thabari.

b. maknanya adalah puasa itu menjadi sebab yang mengembalikan kita pada takwa dengan jalan menundukkan jiwa, mengurangi nafsu dan menghilangkan kejelekan. Ini pendapat yang dikeluarkan oleh az-Zujaj.

Refleksi

Untuk mengakhiri bahasan ini, ijinkan saya mengutip Syaikh Mahmud Syaltout:[3]

ÒDan tidaklah diragukan (dalam ayat puasa itu) bahwa panggilan dimulai dengan kata sifat Iman (hai orang-orang yang beriman). Dan inilah dasar kebaikan dan keutamaan. Kemudian taqwa disebut di akhir ayat; inilah ruh iman dan rahasia kemenangan. Ini semua menjadi petunjuk yang kuat dan dalil yang jelas bahwasanya puasa itu wajib, bukan hanya untuk menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari semua hal yang dapat menghilangkan keimanan dan tidak menguatkan keutamaan taqwa itu.

Karenanya barang siapa yang berpuasa dengan maksud bukan untuk Allah, maka dia tidak berpuasa (la shaum lahu). Begitu pula halnya orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan jamaÕah kaum muslimin, maka tidak ada puasa baginya (la shaum lahu). Akan halnya orang yang ada hasad dan dendam serta melakukan aktifitas yang dapat memecah belah umat dan melemahkan kekuatan umat, maka mereka juga tidak mendapati puasa. Begitu pula halnya dengan keadaan orang-orang zhalim dan orang yang berkongsi dalam membuat kerusakan.

Orang yang berpuasa itu tidak menyakiti tetangganya baik dengan tangan maupun lidahnya ataupun menghancurkan kehormatan Allah, tidak berbohong dan tidak memakan harta orang lain dengan jalan yang batil.

Inilah makna puasa yang menggabungkan gambaran menahan diri dari hal yang membatalkan puasa. Inilah makna puasa yang menguatkan ruh iman.Ò

Al-Haq min Allah

Catatan Kaki:

1. Muhammad Ali ash-Shobuny, Shafwat at-Tafasir, juz 2, Maktabah al-Ghazali, h, 121

2. Abul Hasan al-Mawardi, an-Nukat wa al-ÕUyun: Tafsir al-Mawardi, jilid 1, Dar al-Kitab al- Ilmiyah, Beirut, h, 235-237

3. Mahmud Syaltout, Al-Islam: Aqidah wa SyariÕah, Dar asy-Syuruq, 1988, h, 108-109

Help file

KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH


KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH

Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Ma'idah:5:44)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al-Ma'idah:5:45)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (Al-Mai'dah:5:47)

ASBABUN NUZUL

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Bahwasanya Allah menurunkan tiga ayat di atas ditujukan kepada dua golongan dari kaum Yahudi. Pada zaman Jahiliyah, salah satunya menundukkan yang lain. Dan akhirnya mereka sepakat bahwa hukuman orang bangsawan yang membunuh rakyat jelata adalah 50 gantang, sedang hukuman rakyat jelata yang membunuh kaum bangasawan adalah 100 gantang. Begitulah sampai kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Keduanya akhirnya membuat perjanjian damai dengan Nabi.

Tak lama kemudian timbul satu kasus, seorang rakyat jelata membunuh seorang bangsawan. Lalu bangsawan yang lain diutus kepada rakyat jelata tadi, ia berkata: Berikan kepada kami 100 gantang, si rakyat jelata, menjawab," Apakah ada keistimewaan ?, kedua golongan kita agamanya satu, nasab kita satu, negeri kita satu; Kenapa diat sebagian mereka separoh dari sebagian lainnya ? Sesungguhnya kami telah menyerahkan kezaliman dan diskriminasi kepada kalian. Jikalau Muhammad datang, maka kami tidak akan memberikannya kepada kalian".

Hampir saja terjadi perang antara dua golongan (Yahudi) tersebut, lalu kedua golongan sepakat untuk menjadikan Rasulullah sebagai penengah mereka. Bangsawan berkata: Demi Allah, Muhammad bukanlah orang yang telah memutuskan suatu yang lemah sebagaimana kalian memutuskan. Perkataan Bangsawan ini dibenarkan mereka. Bangsawan berkata: sungguh apa yang telah kami putuskan adalah suatu kelaliman dan penaklukan atas mereka. Selundupkan seseorang yang mengetahui pendapat Muhammad. Jika Ia memberikan keputusan yang seperti yang yang kalian kehendaki, maka jadikanlah ia penengah, tapi jika ia memutuskan yang lain maka janganlah kalian jadikan dia penengah. Kemudian mereka menyelundupkan orang munafik untuk memberitahu kepada mereka pendapat Rasulullah. Ketika orang-orang munafik tadi sampai kepada Rasul, maka Allah memberitahukan tentang urusan mereka semuanya serta apa sebenarnya yang mereka kehendaki.

PENJELASAN

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang penafsiran ayat di atas. Fakhr ar- Razi, misalnya, menyatakan ada dua hal utama dalam memahami ayat-ayat di atas: Pertama, bahwa yang dimaksud firman Allah di atas adalah ancaman terhadap orang Yahudi atas keberanian mereka mengingkari hukum Allah yang telah dinashkan dalam Taurat, mereka berkata: Itu tidak wajib. Karena itulah mereka menjadi kafir secara mutlak. Mereka tidak berhak lagi menyandang gelar "iman", tidak berhak atas Musa dan Taurat, serta tidak berhak pula atas Muhammad dan Al-Qur'an.

Kedua, Kaum Khawarij berpendapat bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah, maka ia kafir. sedangkan Jumhur berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan ancaman bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia menjadi kafir, zalim, dan fasik.

Dua hal utama di atas dibahas oleh para mufassir klasik. Berikut ini ikhtisar pendapar para mufassir :

1) Sebagian Mufassir sepakat bahwa ayat ini khithabnya khusus. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan kekhususannya. Ada yang berpendapat ayat ini untuk orang Yahudi semata. Pendapat ini didukung oleh Abdullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud. Hasan Basri berkata bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang Yahudi, tapi bagi muslim tetap wajib berhukum pada apa yang diturunkan Allah (bi ma anzal Allah). Ibnu Mansur, Abu Syekh, dan Ibnu Marduwaih meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut diturunkan Allah khusus untuk orang Yahudi. Mufassir yang lain berpendapat bahwa ayat tersebut untuk Ahli Kitab yakni Yahudi dan Nasrani.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Sholeh bahwa tiga ayat surat Al-Maidah tersebut tidak berlaku atas kaum muslimin, tapi untuk orang kafir, yakni Ahli Kitab. Ibnu Abbas berkata: Sebaik-baik kaum adalah kalian, apa yang baik itu bagi kalian, sedang apa yang buruk itu adalah buat ahli Kitab. Barangsiapa menentang hukum Allah sungguh ia telah kafir dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia telah berbuat zalim dan fasik. Ada yang berpendapat bahwa ketiga ayat tersebut memang bersifat khusus tetapi konteks ketiga ayat itu berbeda. Asy-Sya'bi, misalnya, ia berkata: Julukan kafir itu bagi orang Islam, zalim bagi orang Yahudi, dan fasik bagi orang Nasrani. Al-Zamakhsyari berkata bahwa tiga sifat yang dinisbatkan kepada orang kafir (Ahli Kitab) menunjukkan penghinaan terhadap mereka karena mereka melampaui batas dalam kekufuran mereka, perbuatan zalim mereka terhadap ayat-ayat mereka dengan ejekan dan keengganan mereka lalu mereka berhukum dengan selainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa sifat kufur itu maksudnya adalah kufur nikmat.

Fakhr ar-Razi menyatakan bahwa pendapat tentang ayat-ayat di atas berlaku khusus adalah lemah. Pertama: bertentangan dengan kaedah "al-'Ibrah bi 'umum al-lafdzi, la bi khushus al-sabab". Kedua, pendapat ini juga lemah sebab firman di atas memakai kata man yang menunjukkan sifat umum (sebagai syarat).

2) Sebagian mufassir berpendapat bahwa ayat di atas umum. Tetapi itu tidak berarti jika seorang muslim maka ia menjadi kufur. Thawus, misalnya, berkata: Ia tidak kafir seperti kafirnya orang yang pindah agama dan seperti orang kafir yang ingkar kepada Allah dan hari kebangkitan. Atha' berpendapat senada: muslim yang demikian menjadi kufur tetapi tidak kafir secara hakiki. Mereka seolah-olah menafsirkan yang dimaksud dengan kafir, zalim dan fasik adalah kafir, zalim dan fasik terhadap nikmat. Pengarang

Tafsir Ruh al-Ma'any menjelaskan bahwa Abu Hamid dan lainnya meriwayatkan dari asy-Sya'bi, ia berkata tiga ayat di atas dapat dibedakan. Yang pertama (5:44) berlaku bagi muslim, sedangkan dua ayat berikutnya (5:45;47) Yahudi dan Nasrani, bahwa jika kufur tersebut dinisbatkan pada orang mukmin diartikan ancaman dan sikap keras. Tetapi jika sifat fasik dan kufur dinisbatkan pada orang kafir, hal itu berarti menunjukkan keingkaran dan keluarnya mereka dari hukum Allah.

Riwayat lain, yaitu Hakim, Abdur Razak, Ibn Jarir dari Khuzaifah bahwa tatkala ia membacakan ayat di atas, tiba-tiba seorang laki-laki berdiri dan berkata: Ayat tersebut diperuntukkan untuk Bani Israel, lalu Huzaifah berkata: Sebaik-baik saudara adalah Bani Israel, jika kalian bahagia mereka susah. Perkataan Huzaifah di atas ditafsirkan sebagai kecenderungannya akan umumnya ayat tersebut. Ali Ibnu Husain meriwayatkan dengan pendapat umumnya ayat tersebut, tapi ia berkomentar: Kufur di atas bukan berarti kufur syirik, fasik bukanlah fasik syirik, dan zalim bukanlah zalimnya syirik.

Pendapat yang paling kuat menurut Fakh ar-Razi adalah pendapat Ikrimah bahwa ayat tersebut umum bagi setiap orang yang ingkar dalam hatinya dan menentang dengan lisannya. Penulis sependapat dengan Ikrimah, tetapi persoalannya bagaimana dengan konteks keindonesiaan.

Untuk menjawab ini, penulis merasa bahwa kita perlu mengembangkan adanya pendapat di masa kini, yakni lafaz bi ma anzala Allah dalam ketiga ayat di atas, sesungguhnya layak diperdebatkan. Apakah bi ma anzala Allah bermakna nashshan (secara teks nash) atau ruuhan (makna di balik teks nash, jiwa nash). Karenanya bisa saja ada hukum manusia (siyasah wadh'iyyah) bertentangan dengan hukum Allah secara teks nash; tetapi bersesuaian dengan ruh nash. Apakah kasus terakhir ini juga tetap terkena keumuman ketiga ayat di atas ? Kemudian apa klasifikasi ruh nash itu ? Dan apakah mungkin teks nash berbeda secara diametral dan konfrontatif dengan ruh nash ? Tentu saja persoalan-persoalan ini membutuhkan kajian khusus yang lebih mendalam, yang tidak mungkin ada dalam tulisan sederhana ini.

Al-Haq min Allah

 

Senarai Rujukan

Tafsir al-Fakhr ar-Razy, juz 12, hal. 3 - 18

Tafsir Al-Maraghy, juz 6, hal 122-124

Tafsir Al-Qasimy, juz 6, hal 2000 -2001


Bagaimana Anda Memperlakukan Al-Qur'an?


Bagaimana Anda Memperlakukan Al-Qur'an?


Al-Qur'an memperkenalkan dirinya sebagai "Kitab yang tiada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa" (Qs 2: 2). Artinya, kitab suci Al-Qur'an merupakan petunjuk dan pegangan hidup kita. Persoalannya sekarang, bagaimana sebenarnya kita memperlakukan Al-Qur'an dalam hidup kita?

Buat sebagian kecil dari kita Al-Qur'an dipandang seolah-olah sebagai "jimat" yang kalau ayat tertentu dibaca maka akan menimbulkan hal yang luar biasa, buat sebagian dari kita Al-Qur'an hanyalah merupakan objek ilmiah yang pantas utk dikotak-katik ayatnya satu demi satu, buat sebagian lagi dari kita mungkin saja Al-Qur'an merupakan sumber "legitimasi", dalam arti kita gunakan akal pikiran kita utk memecahkan atau menjelaskan masalah lalu kita cari justifikasinya dalam ayat Qur'an.

Apakah cukup al-Qur'an kita perlakukan demikian? Bukankah ia merupakan kitab petunjuk? Sebagai kitab petunjuk berarti al-Qur'an merupakan sumber inspirasi dan sumber bagi hidup kita. Pernahkah kita bila menghadapi masalah kita pecahkan dengan membaca Qur'an? Sudikah kita disaat mendapat banyak rezeki kita syukuri rezeki itu dengan membaca al-Qur'an? Maukah kita disamping membaca koran dan email tiap hari juga mau membaca al-Qur'an setiap hari? Pernahkah kita introspeksi perjalanan hidup kita dengan melihat kandungan ayat suci al-Qur'an sebagai "hakim"nya? Pada umur berapa kita mulai tertarik dengan al-Qur'an dan bersedia menelaah ayat demi ayatnya?

Saya percaya karena Al-Qur'an merupakan kitab petunjuk bagi kita, maka siapapun kita dan apapun background pendidikan kita, maka kita memiliki hak yang sama utk mengakses kitab suci Al-Qur'an. Sudahkah kita gunakan hak kita itu dengan sebaik-baiknya?

Membaca Al-Qur'an merupakan syarat pertama untuk menjadikan kitab suci ini sebagai petunjuk hidup kita. Bisakah kita menjadikan al-Qur'an sebagai petunjuk, namun amat jarang kita membacanya?

Konon, Iqbal kecil dibisiki oleh Ayahnya, "Bacalah Qur'an seakan-akan ia diturunkan untukmu". "Sejak saat itu," kata Dr. Muhammad Iqbal--cendekiawan besar asal India, "setiap aku membaca al-Qur'an seakan-akan Al-Qur'an berbicara padaku!"

Maukah kita meningkatkan kedudukan kita, dari sekedar membaca al-Qur'an sampai "berbicara" dengan Al-Qur'an?

Maha Benar Allah dengan Segala FirmanNya

PENGANTAR MENUJU FIQH HUMANIS


PENGANTAR MENUJU FIQH HUMANIS

I.Pijakan Dasar

Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari "atas dan di luar kemanusiaan kita. Dua hal berikut ini membuktikan hal tersebut.

Pertama, Ulama usul al-fiqh mendefenisikan hukum dengan : "Khitab (kalam) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan atau pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalan bagi yang lain" Hukum Islam merupakan kalam Allah karenanya ia berarti berasal dari "atas" dan bukan berasal dari proses interaksi di "bawah" (masyarakat). Patut dicatat bahwa tiada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hukum Islam berasal dari atas, yang menjadi perdebatan hanyalah apakah ia qadim atau hadis.

Kedua, para ulama sepakat bahwa al-Hakim adalah Allah SWT. Perbedaan mereka hanyalah dalam hal bagaimana mengetahui hukum itu, apakah dengan jalan syara` (wahyu yang disampaikan pada Rasul) atau akal. Dengan mengenyampingkan perbedaan pendapat di atas maka dapatlah dinyatakan bahwa hukum Islam itu berasal dari "atas" dan dari luar kemanusiaan kita.

Persoalannya mengapa hukum Islam yang berasal dari "atas" itu lahir dan dibebankan (taklif) kepada manusia ? Para ulama telah membahas maksud atau tujuan pensyariatan hukum Islam; atau dikenal dengan term maqasid as-syari`ah. Hukum Islam itu dibuat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik jangka pendek maupun jangka panjang, demi untuk menarik manfaat ataupun menolak bahaya dan kerusakan (Jalb al-masalih wa daf`u ad-darar wa al-fasad).

Tesis ini membawa kita pada pertanyaan: apakah Allah mempunyai tujuan tertentu/motif (mu`allalah) dalam menetapkan hukum atau tidak ? Ar- Razi, pengarang kitab al-Mahsul, berpendapat bahwa seperti dalam perbuatan-Nya maka Allah tidak pula memiliki tujuan tertentu dalam menetapkan hukum. Sedangkan kaum Mu`tazilah menjawab bahwa Allah memang memiliki tujuan tertentu itu, yakni kemaslahatan manusia.

Persoalan ini menimbulkan problem teologi. Kaum Asy`ariyah menolak ide bahwa kemaslahatan addalah motif Allah; tetapi mereka menafsirknnya dengan rahmat Allah, ketimbang sebagai sebab/motif bagi tindakan-Nya. sementara kaum Mu`tazilah berpendapat sebaliknya. Keberatan kaum Asy`ariyah menerima pendapat Mu`tazilah dikarenakan dapat membawa Allah dalam "kausalitas" yang berakibat Allah dibebani sesuatu.

Pilihan terhadap perdebatan ini akan menentukan sejauhmana konsep maslahah ini berperan. Bila memilih Asy`ariyah maka timbul kesan bahwa hukum Islam itu dibuat bukan karena (kemaslahatan) manusia tapi karena (rahmat) Allah semata. Jadi titik sentral ada pada Allah dan bukan pada manusia. Ini berimplikasi runtuhnya argumen para ahli hukum Islam yang ingin merubah ketentuan dalam nash atas dasar maslahah. Karena hukum Iislam itu rahmat dari Allah, bagaimana mungkin kita merubahnya?

Akan tetapi benarkah implikasi dari memilih pendapat Asy`ariyah (yang diwakili ar-Razi) sampai sejauh itu ? Ar-Razi meskipun menekankan bahwa tidak ada motif atau sebab yang dapat dihubugkan dengan perbuatan atau perintah Allah, tetapi ia mengakui bahwa perintah Tuhan ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Ia memechkan paradaoks ini dengan menganggap bahwa maslahat merupakan kejadian yang secara kebetulan sama dengan perbuatan Tuhan. Jadi, hanya secara kebetulan saja, tidak dalam kerangka sebab akibat. Dan tidak ada korelasi yang dibutuhkan antara maslahah dengan perintah, karena Tuhan tidak diharuskan melalui cara ini. Walhasil, mengatakan bahwa maslahat itu bukan motif Tuhan tetapi sebagai rahmat Tuhan, tidaklah berarti Asy`ariyah mengenyampingkan maslahah.

Imam Syatibi tampaknya sejalan dengan Mu`tazilah dan meletakkan maslahah dalam kedudukan yang penting. Doktrin maqasid as-syari`ah yang dikembangkannya merupakan suatu usaha menegakkan maslahah sebagai unsur esensial bagi tujuan hukum. Ia menyimpulkan bahwa Allah menetapkan tujuan pensyari`atan hukum Islam itu adalah menegakkan kemaslahatan (iqamah al-masalih) dunia dan akhirat.

Dalam perbincangan konsep maslahah seringkali dibahas tentang ad-daruriyat, al-hajjiyah dan at-tahsiniyat. Akan sedikit disinggung tentang ad-daruriyat --karena ini yang terutama dan sangat relevan dengan tema utama tulisan ini. Ad-daruriyat berisikan menjaga/memelihara agama, jiwa/diri, aqal, keturunan dan harta. Urutan ini sebenarnya diperselisihkan para ulama. Malikiyah dan Syafi`iyah mengurutnya : agama, kemudian jiwa dan aqal, lalu keturunan dan harta. Hanafiyah mengurutnya : agama, kemudian jiwa, lalu nasab, kemudian aqal, terakhir harta.

Ada pula yang berpendapat (Wahbah az-Zuhaili tidak menyebutkan siapa yang berpendapat seperti ini) keempatnya didahulukan atas agama, karena itu merupakan haq al-'adami. Bila kita terima yang terakhir ini maka implikasinya akan sangat menarik. Qisas didahlukan dari membunuh orang murtad dan dibolehkan meninggalkan sholat jum`at atau berjama`ah karena menjaga harta. Artinya, bila terjadi bentrokan antara menjaga harta, jiwa, akal, keturunan dengan menjaga agama maka menjaga agama dinomorduakan.Begitu pula bila terjadi bentrokan antara haq Allah dengan haq al-'adami maka haq Allah tidak diprioritaskan.

Dengan mengenyampingkan perbedaan pendapat di atas kita semua sepakat bahwa hukum Islam itu bertujuan untuk kemaslahatan manusia.

II. Menuju Fiqh Humanis

Apa yang telah ditulis di atas merupakan sebuah pengantar atau pijakan awal guna kita merubah orientasi fiqh selama ini yang sangat berpusat pada Tuhan dan mengalihkannya pada manusia. Persoalan fiqh seolah-olah selalu ditujukan pada al-Hakim. artinya, ketika kita melakukan atau mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya seolaah-olah kita melakukannya untuk kepentingan atau kemaslahatan Tuhan. Padahal Allah SWT tidak rugi atau diuntungkan dengan apapun perbuatan kita. Implikasinya, segala perbuatan yang kita lakukan adalah untuk kemaslahatan kita. Sehingga bila satu ketentuan tidak sesuai dengan kemaslahatan kita maka ketentuan tersebut harus dinomorduakan.

Inilah yang saya maksud dengan fiqh humanis. Fiqh yang berorientasi pada kemanusiaan kita. Fiqh yang memihak pada sisi-sisi kemanusiaan kita. Setiap hukum yang ditetapkan Allah haruslah dipahami dalam kerangka kemanusiaan kita. Dengan cara ini kita dapat membumikan fiqh. Perubahan orientasi ini akan melahirkan hukum yang subyektif, individual, situasional dan kondisional dengan semangat menuju kehendak ilahi.

Setiap ketentuan yang telah digariskan Tuhan dipahami bukan sebagai beban kepada manusia tapi sebagai kebutuhan manusia. Ketentuan dalam nash haruslah dipahami sebagai standard yang harus selalu dirujuk dalam rangka proses menuju ilahi; bukan sebagai standard yang harus dan apa adanya diterapkan tanpa peduli dengan kondisi kita. Penghargaan diberikan bukan karena melakukan teks nash semata, tetapi pada proses melaksanakan ketentuan tersebut.

Dengan fiqh humanis kita dapat menghindarkan klaim-klaim yang tak perlu dalam cara keberagamaan kita. Klaim alim, sesat, ingkar, paling benar dan lainnya dapat diminimalisir. Seorang yang tinggal di masjid selalu shalat lima waktu tepat pada waktunya. Ia begitu alim di mata kita. Tapi bagi fiqh humanis, seorang manajer yang bekerja dilingkungan yang non-islami dan benar-benar dikejar waktu dalam kerjanya (time is money) selalu berusaha untuk salat lima waktu, tetapi ia hanya berhasil paling tidak dua waktu, subuh dan Isya, dipandang lebih alim daripada contoh sebelumnya.

Orang yang tinggal di Masjid tidak membutuhkan banyak pengorbanan untuk selalu salat lima waktu; sedangkan seorang manajer, yang sudah berusaha tetapi hanya sempat dua waktu kadang-kadang tiga, pernah juga lima waktu, membutuhkan pengorbanan yang luar biasa untuk mengerjakan perintah Tuhan. Fiqh humanis berpihak pada sang manajer. Ketentuan dalam nash dilihat sebagai proses bukan hukum itu sendiri. Begitu pula tukang beca yang sudah berniat puasa di bulan Ramadan lalu ketika mencari nafkah ia kecapaian dan berbuka pada jam 14.00 maka itu sangat bernilai dan tidak perlu diqada` apalagi bayar fidyah (seperti ketentuan fiqh). Karena baginya tiada hari tanpa mengayuh beca dan tidak mungkin ia cuti untuk mengqada` apalagi harus membayar fidyah (ia nggak punya duit dong...). Pengorbanan tukang beca untuk melaksanakan ketentuan Allah jauh lebih besar di banding, misalnya, mahasiswa IAIN yang dibulan Ramadan setelah kuliah, kemudian tidur lalu berbuka puasa. Jangan-jangan yang terakhir ini yang harus mengqada` puasanya.....

Begitu pula seorang pelacur yang menjual dirinya demi menghidupi anaknya. Setelah ditinggal suami dan ia pun tak punya ketrampilan sementara ia harus memberi makan dan pendidikan buat anaknya maka melacurkan diri adalah pilihan yang sangat terpaksa. Fiqh humanis tidak semata-mata menyalahkan pelacur tersebut. Bisa saja sanksi dan dosanya ditimpakan pada suami yang pergi entah kemana dan bisa pula dilimpahkan pada kita semua, sebagai dosa komunal, yang bertanggung jawab atas ketimpangan sosial yang terjadi.

Fiqh humanis juga membenarkan euthanasia pada penderita AIDS dan penyait menular lain yang tak mungkin disembuhkan. Fiqh humanis juga membenarkan tidak dilakukannya potong tangan bagi pencuri dengan alasan tertentu dan menggantinya dengan hukuman penjara. Fiqh humanis melihat kasus-kasus dan bukan mengenaralisir. Pada akhirnya, hukum Islam sangat subyektif, tergantung pada individunya, situasional dan kondisional serta melakukan pilihan yang tidak merusak kemanusiaan kita.

Apa yang dikemukakan di atas tidaklah ada yang baru sama sekali. Para ulama telah membuat kaidah, "apabila dua mafsadat bertentangan maka harus dijaga mafsadat yang lebih besar bahayanya dengan melakukan mafsadat yang lebih ringan bahayanya". Nabi pun bersabda : "permudahlah dan jangan mempersulit; gembirakanlah dan janganlah membuat mereka lari." Juga hadis lain, "agama ini mudah dan tidaklah seseorang akan memberatkannya kecuali pasti ia dikalahkan". Allah pun berfirman : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya"

Tentu saja contoh-contoh di atas akan tidak disetujui banyak pihak. Tapi saya kira kita jangan terjebak pada contoh tapi bagaimana dasar-dasar fiqh humanis, seperti telah diuraikan dibagian awal, dapat kita sepakati bersama terlebih dahulu. Mungkin contoh yang diberikan terlalu ekstrem ataupun penjelasan saya terlalu sederhana dan singkat, karenanya contoh di atas bisa saja dibuang asalkan kita menyoroti secara serius apa yang merupakan inti usulan saya: mencoba menjadikan manusia sebagai titik sentral dalam fiqh; bukan Allah.

Demikian tulisan yang singkat namun terlalu berambisi bicara hal yang besar. Semoga dapat menjadi kajian bersama. Al-Haq min Allah!

Rujukan

Abu Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul as-Syari`ah, Mesir, al-Matba`ah ar- Rahmaniyah, t.th.

Wahbah Az-Zuhaili, al-Wasit fi Usul al-Fiqh al-Islami, t.t, Dar al-Kitab, 1977

Muhammad Khalid Mas`ud, Islamic Legal Philosophy, Pakistan, Islamic Research Institute, 1977

Abu an-Nur Zuhair, Muzakarah fi Usul al-Fiqh, al-Qahirah, Dar- at-Tiba`ah al- Muhammadiyah, t.th



Help file produced by WebTwin (www.webtwin.com) HTML->WinHelp converter. This text does not appear in the registered version.

Mengapa Ulama Berbeda Pendapat?


Mengapa Ulama Berbeda Pendapat?


Saya menangkap kecendrungan sebagian rekan dalam mensikapi perbedaan pendapat ulama, antara lain, sebagai berikut:

1. Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat itu.

2. Bersikap mencurigai perbedaan itu. Jangan-jangan ulama berbeda pendapat karena ada "pesanan" atau malah "tekanan".

Dalam merespon sikap-sikap seperti itu, saya akan sedikit menguraikan sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama. Kita akan terkejut mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.

Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya:

1. Perbedaan dalam memahami al-Qur'an. Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:

a. ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak). Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.

b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.

c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).

Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sbb:

1. lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau

2. lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan

3. lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau

4. lafaz khusus tetapi maksudnya umum.

Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).

d. perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:

1. al-aslu fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)

2. al-aslu fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)

3. al-aslu fil amri lil ibahah (dasarv "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).

**

Ini lanjutan dari email yang kemarin. Semoga bermanfaat dan dapat memperjelas bahwa perbedaan pendapat dikalangan ulama itu bukan karena mereka memang suka berbantah-bantahan seperti ahlul kitab, tetapi karena teks nash sendiri memang membuka peluang timbulnya perbedaan pendapat.

Lanjutan sebab-sebab ulama berbeda pendapat:

2. Berbeda dalam memahami dan memandang kedudukan suatu hadis.

a. Kedudukan hadis

Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu. Sebagian berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195).

Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun mereka berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama yang lain.

Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat suatu hadis itu dinyatakan shahih adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama berbeda dalam mendefenisikan adil itu.

Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini. Hampir semua ulama, kecuali al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan diri)" sebagai unsur keadilan seorang perawi.

Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan shahih adalah bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka berbeda dalam meletakkan syarat-syarat adil itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg syarat adil yang dia susun), tetapi tidak dipandang adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi syarat adil yg dia yakini).

Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling kuat) diantara dua hadis yang saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan hadis yang satu telah menghapus (nasikh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat umum, sedangkan hadis yang lain bersifat mengecualikan keumuman itu.

Bagaimana bila teks hadis terlihat seakan-akan bertentangan dengan teks Qur'an. Sebagian ulama langsung berpegang pada teks Qur'an dan meninggalkan teks hadis (ini yang dilakukan mazhab Zhahiri ketika tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat, sehingga tidak perlu meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan maknanya (ini yang dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari emas).

b. makna suatu hadis

Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan wali). Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.

Contoh lain, apakah persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram? Sebagian ulama mengatakan iya, karena berpegang pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga terjadilah status mahram antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis ini hanya khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari Aisyah yang menyatakan bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat usia kecil (karena bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang cacat hadis Aisyah ini karena ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru berpegang pada hadis Salim.

Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun ia sendiri tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi tidak shahih ataukah hanya perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian ulama memandang bahwa hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.

**

Ini lanjutan dari dua mail sebelumnya. Sekedar mengingatkan, pada dua email sebelumnya saya sudah menunjukkan bahwa semua ulama berpegang teguh pada Al-Qur'an dan hadis, namun Al-Qur'an dan Hadis memang "membuka peluang" adanya perbedaan pemahaman dan perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Pada mail kali ini saya akan menyampaikan sebab ketiga para ulama berbeda pendapat, yaitu perbedaan dalam metode berijtihad (manahij al-ijtihad atau turuqul istinbath).

3. Perbedaan dalam metode ijtihad

A. Sejarah singkat

Sejak masa sahabat sudah ada dua "mazhab" di kalangan mereka. Pertama, mereka yang lebih menekankan pada teks nash secara ketat. Diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Bilal. Kedua, mereka yang menaruh unsur rasio dan pemahaman secara luas dalam memahami suatu nash. Kelompok kedua ini diantaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud.

Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kelompok ini menyebar dan memiliki pengaruh masing-masing. Kelompok pertama berkumpul di sekitar daerah Hijaz, sedangkan kelompok kedua berkumpul di daerah Kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam Malik bin Anas tinggal di Madinah (termasuk daerah Hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah.

Imam Malik berada di lingkungan di mana masih banyak terdapat sahabat Nabi. Sedangkan Imam Abu Hanifah, sebaliknya, tinggal di lokasi di mana sedikit sekali bisa dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini menimbulkan perbedaan bagi kedua Imam dalam merespon suatu kasus.

Imam Malik bukan saja lebih banyak menggunakan hadis Nabi (yang dia terima melalui sahabat Nabi di Madinah) dibanding rasio, tetapi juga menaruh amal penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukumnya. Imam Abu Hanifah sangat membuka peluang penggunaan rasio dan sangat selektif (artinya, dia membuat syarat yg amat ketat) dalam menerima riwayat hadis (lebih-lebih sudah mulai berkembang hadis palsu di daerahnya). Sebagai jalan keluar dari sedikitnya hadis yang ia terima, maka Imam Abu Hanifah menggunakan Qiyas dan istihsan secara luas.

Imam Malik memiliki murid bernama Imam Syafi'i. Yang disebut belakangan ini juga nanti memiliki murid bernama Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiganya dapatlah disebut sebagai pemuka "ahlul hadis" di Hijaz. Sedangkan Imam Abu Hanifah memiliki murid bernama Abu Yusuf dan Muhammad (nanti Imam Syafi'i berguru juga pada muridnya Muhammad, namun Imam Syafi'i lebih cenderung pada kelompok Hijaz). Kelompok Kufah kemudian dikenal dengan sebutan "ahlur ra'yi".

Harus saya tambahkan bahwa mazhab dalam fiqh tidak hanya terbatas pada empat Imam besar itu saja. Tetapi banyak sekali mazhab-mazhab itu (konon sampai berjumlah 500). Hanya saja sejarah membuktikan bahwa hanya empat mazhab itu yang bisa bertahan dan memiliki pengaruh cukup luas di dunia Islam, ditambah sedikit pengikut mazhab Zhahiri dan mazhab Ja'fari.

B. Metode Ijtihad

B.1. Imam Abu Hanifah

a. Berpegang pada dalalatul Qur'an

a.1. Menolak mafhum mukhalafah

a.2. Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan

a.3. Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan

dalil

b. Berpegang pada hadis Nabi

b.1. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad

kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh))

b.2. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya

c. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)

d. Berpegang pada Qiyas

d.1. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad

e. berpegang pada istihsan



B.2. Imam Malik bin Anas

a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)

a.1. zhahir Nash

a.2. menerima mafhum mukhalafah

b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah

c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)

d. Qaulus shahabi

e. Qiyas

f. Istihsan

g. Mashalih al-Mursalah

B.3 Imam Syafi'i

a. Qur'an dan Sunnah

(artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya, menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an dalam kasus tertentu)

b. Ijma'

c. hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad)

d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)

e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya

B.4. Imam Ahmad bin Hanbal

a. An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur'an)

a.1. menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi'i)

a.2. menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)

b. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)

c. Ijma'

d. Qiyas

Kalau kita susun empat Imam mazhab itu menurut banyaknya menggunakan rasio maka urutannya adalah:

1. Imam Abu Hanifah

2. Imam Syafi'i

3. Imam Malik

4. Imam Ahmad bin Hanbal

Kalau disusun menurut banyakanya menggunakan riwayat:

1. Imam Ahmad bin Hanbal

2. Imam Malik bin Anas

3. Imam Syafi'i

4. Imam Abu Hanifah

(Bagi yang ingin mendalami metode ijtihad para ulama saya merekomendasikan Muhammad Salam Madkur, "Manahij al-Ijtihad fi al-Islam", Kuwait, al-matba'ah al-'Asriyah al-Kuwait, Jami'ah al-Kuwait, 1984)

Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda pendapat. Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada dua sebab utama:

1. Sebab internal, yaitu berbeda dalam memahami al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka

2. Sebab eksternal, yaitu perbedaan sosio-kultural dan geografis

Persoalannya sekarang, bagaimana kita mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa keragaman pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan anda pilih pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah cepat berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.

Jangan sembarangan menuduh mereka sebagai ulama pesanan ataupun ulama yang ditekan pemerintah. Juga jangan cepat-cepat menilai salah fatwa ulama hanya karena fatwa tersebut berbeda dengan selera ataupun pendapat kita.

Mengapa kita harus mengukur dalamnya sungai dengan sejengkal kayu? Sayang, kita suka sekali mengukur kedalaman ilmu seorang ulama hanya dengan sejengkal ilmu yg kita punya.

Di sisi lain, ulama pun tetap manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Rasulullah sendiri mengakui bahwa akan ada orang yang salah dalam berijtihad, namun Rasulullah mengatakan tetap saja Allah akan memberi satu pahala bagi yang salah dalam berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar dalam ijtihad.

Masalahnya, Apakah kita punya hak untuk menilai salah-benarnya ijtihad ulama itu? Bukankah hanya Allah Hakim yang paling adil?

Al-Haq min Allah!

Antara Syari'ah dan Fiqh


Antara Syari'ah dan Fiqh

Di bawah ini saya tuliskan sedikit penjelasan tentang Syari'ah dan Fiqh. Seringkali kita tidak bisa membedakan keduanya, sehingga kita menjadi "alergi" dengan perbedaan pendapat. Atau, biasanya, kita "ngedumel" kepada ulama yang punya pendapat lain, seraya berkata, "kita kan umat yang satu, kenapa harus berbeda pendapat!".

Dari penjelasan di bawah ini nanti akan terlihat bahwa kita bersatu pada masalah Syari'ah dan dimungkinkan untuk berbeda pendapat dalam masalah Fiqh.

Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam konteks hukum Islam, makna Syari'ah adalah Aturan yang bersumber dari nash yang qat'i.Sedangkan Fiqh adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang zanni.

Penjelasan singkat ini membawa kita harus memahami apa yang disebut Qat'i dan apa pula yang disebut zanni.

1. Nash Qat'i

Qat'i itu terbagi dua: dari sudut datangnya atau keberadaannya dan dari sudut lafaznya.Semua ayat al-Qur'an itu merupakan qat'i al-tsubut. Artinya, dari segi "datangnya" ayat Qur'an itu bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan. Tetapi, tidak semua ayat Qur'an itu mengandung qat'i al-dilalah. Qat'i al-dilalah adalah ayat yang lafaznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi, pada ayat yang berdimensi qat'i al-dilalah tidaklah mungkin diberlakukan penafsiran dan ijtihad, sehingga pada titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulama. Sebagai contoh: Kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya bersifat Qat'i, yaitu "aqimush shalat" Tidak ada ijtihad dalam kasus ini sehingga semua ulama dari semua mazhab sepakat akan kewajiban shalat.

Begitu pula halnya dengan hadis. Hadis mutawatir mengandung sifat qat'i al-wurud (qat'i dari segi keberadaannya). Tetapi, tidak semua hadis itu qat'i al-wurud (hanya yang mutawatir saja) dan juga tidak semua hadis mutawatir itu bersifat qat'i al-dilalah. Jadi, kalau dibuat bagan sbb:

*Qat'i al-tsubut atau qat'i al-wurud :

semua ayat Al-Qur'an dan Hadis mutawatir

*Qat'i al-dilalah :

tidak semua ayat al-Qur'an dan tidak semua hadis mutawatir

2. Nash Zanni

Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur'an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran. Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu', kata "aw lamastumun nisa" dalam al-Qur'an terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafaz "quru" (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah.

Selain hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja terjadi, karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wurud itu juga ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah. Jadi, sudah terbuka diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk beragam pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu.

*zanni al-wurud : selain hadis mutawatir

*zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)

Nah, Syari'ah tersusun dari nash qat'i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.

Contoh praktis:

1. a.kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat'i dan ini syari'ah)

b.kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh) Catatan: hadis mengatakan harus melihat bulan, namun kata "melihat" mengandung penafsiran.

2. a.membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat'i dan ini Syari'ah)

b.sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh) Catatan: kata "bi" pada famsahuu biru'usikum terbuka utk ditafsirkan

3. a.memulai shalat harus dengan niat (nash qat'i dan ini Syari'ah)

b.apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh) Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk "ushalli" sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup

4. a.Judi itu dilarang (nash qat'i dan ini Syari'ah)

b.apa yang disebut judi itu? apakah lottere juga judi? (ini fiqh) Catatan: para ulama berbeda dalam mengurai unsur suatu perbuatan bisa disebut judi atau tidak.

5. a.riba itu diharamkan (nas qat'i dan ini syari'ah)

b.apa bunga bank itu termasuk riba? (ini fiqh) Catatan: para ulama berbeda dalam memahami unsur riba dan 'illat (ratio legis) mengapa riba itu diharamkan

6. a.menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)

b.apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh) Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah menutup aurat (apakah mau ditutup dg jilbab atau dg kertas koran atau dengan kain biasa). Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya.

7. dan lain-lainnya

Jadi, tidak semua hal kita harus berbeda pendapat. Juga tidak semua perbedaan pendapat bisa dihilangkan. Kita tidak berbeda pendapat dalam hal Syari'ah namun boleh jadi berbeda pendapat dalam hal fiqh. (mengenai sebab-sebab ulama berbeda pendapat silahkan lihat tulisan saya "Mengapa Ulama Berbeda Pendapat")

Kalau ulama berbeda dalam fiqh, nggak usah diributkan karena memang wilayah fiqh terbuka beragam penafsiran. Juga tidak perlu buru-buru mencap "ini bid'ah dan itu sesat" Apalagi sampai menuduh ulama pesanan. Perhatikan dulu apakah perbedaan itu berada pada level syari'ah atau level fiqh.

Wa Allahu A'lam

ISLAM: Periode Mekkah dan Madinah


ISLAM:

Periode Mekkah dan Madinah

1. Periode Mekkah: Sebuah Pijakan Awal

Dalam sebuah tabligh akbar, penceramah berkata pada para jama'ah :

"Bangsa Arab adalah bangsa yang tidak bermoral, bejat, munafik, licik dan bukan hanya sering terjadi pembunuhan terhadap klan lain dan biasanya berlanjut dengan peperangan, mereka juga tidak ragu-ragu membunuh anak perempuan mereka. Pada bangsa yang a moral dan a susila seperti inilah Tuhan menurunkan Nabi Muhammad SAW. Walhasil, Nabi diutus kepada bangsa Arab karena kejahiliyahan bangsa tersebut dan tugas Nabi-lah untuk menyempurnakan akhlak mereka."

Benarkah Nabi diutus di Mekkah karena masyarakat Mekkah paling bejat ? Prof. DR. HM. Quraish Shihab, MA menyangsikan tesis tersebut. Baginya, "pemikiran ini terlalu dangkal, karena masih banyak faktor yang lebih ' ilmiah' dan lebih beradab." Menurut beliau, pada masa Nabi terdapat dua adikuasa. Pertama, Persia yang menyembah api dan ajaran Mazdak mengenai kebebasan seks yang masih berbekas pada masyarakatnya sehingga permaisuri pun harus menjadi milik bersama. Kedua, Romawi yang Nasrani yang juga masih dipengaruhi oleh budaya Kaisar Nero yang memperkosa ibunya sendiri dan membakar habis kotanya. Kedua adikuasa ini bersitegang memperebutkan wilayah Hijaz. Karenanya tidak mungkn Islam hadir di keduanya atau salah satunya. Selain itu, Mekkah (pusat Hijaz) tempat bertemunya para kafilah Selatan dan Utara, Timur dan Barat. Penduduk Mekkah juga melakukan "perjalanan musim dingin dan musim panas" ke daerah Romawi dan Persia. Ini akan memudahkan penyebaran pesan.

Satu faktor lain yang mendukung Mekkah adalah bahwa masyarakat Mekkah belum banyak disentuh peradaban. Pada saat itu masyarakat Mekkah belum mengenal nifaq dan mereka pun keras kepala, serta lidah mereka tajam (QS 33: 19). Memang, kemunafikan baru dikenal di Madinah. Sulit dibayangkan bila di awal perkembangan Islam sudah ada kemunafikan. Sementara itu, suku yang paling berpengaruh di Mekkah adalah Quraisy. Suku Quraisy memiliki dua keluarga besar, Hasyim dan Umayyah. Yang pertama memiliki sifat jauh lebih mulia dibanding yang terakhir. Dari keluarga Hasyim lah Muhammad lahir. (Quraish Shihab, Lentera Hati, Bandung, Mizan, 1994, 48-51)

Betapapun kutipan di atas dimaksudkan untuk membantah pendapat bahwa Muhammad diturunkan di Mekkah karena bangsa tersebut paling bejat, namun secara tidak langsung kita telah mendeskripsikan konstelasi politik tingkat dunia ketika Islam lahir, kondisi Mekkah sebagai tempat perdagangan, ciri umum penduduk Mekkah dan kebiasaannya berdagang ke luar Mekkah, suku dan dua keluarga besar (klan) dalam masyarakat Mekkah. Ini semua menjadi bekal bagi kita untuk memahami konteks sosio-religius pada periode Mekkah.

Mengingat pentingnya klan dalam komunitas Mekkah, maka Nabi diperintahkan untuk mula-mula menyebarkan Islam di kalangan kerabatnya (QS 26:214-215) --jangan dilupakan besarnya pengaruh suku Quraisy di kalangan penduduk Mekkah. Karenanya bisa dibayangkan betapa terpukulnya Muhammad ketika ia mengumpulkan keluarganya dalam suatu jamuan santai dan berpidato meminta mereka ke jalan Allah, ternyata keluarganya menolak dan hanya Ali bin Abi Thalib yang berani dan mau menjadi pembantunya. Puluhan orang yang hadir mentertawakan Muhammad dan Ali. Tidak seorangpun menyadari bahwa beberapa di antara para undangan ini akan ditebas oleh Ali di medan Badr, empat belas tahun kemudian, sebagai bukti kesungguhan Ali.

Besarnya pengaruh keluarga di Mekkah jugalah yang, salah satunya, membuat Hamzah memeluk Islam, yakni ketika Abu Jahl --dari klan Hanzhalah-- mencaci dan mengejek Muhammad, lalu orang-orang melapor pada Hamzah --paman dan sekaligus saudara sesusuan Muhammad-- yang menghajar kepala Abu Jahl dengan busur panahnya. Insiden ini akan berbuntut panjang kalau saja spirit klan saat itu tidak segera padam.

Ketika Abu Thalib masih hidup, klan Hasyim memberikan perlindungan pada Muhammad dan tidak ada yang berani membunuh Muhammad karena klannya akan membalas nantinya. Keadaan berbeda ketika Abu Thalib wafat dan klan Hasyim --lewat Abu Lahab-- melepaskan perlindungan atas Muhammad. Itu berarti, klan manapun yang dirugikan oleh agama ini dapat membunuh Muhammad dan tidak ada klan yang akan menuntut balas. Sejak itu Muhammad dikejar-dikejar dan terpaksa lari ke Tha'if seraya memohon perlindungan pada (berturut-turut) Mas'ud, Abdu Yalail, Habib, Akhnas, Suhayl dan Mut'im bin Adi. Yang terakhir inilah yang bersedia melindungi Muhammad atas nama klannya. Bertahun kemudian,ketika ditanya Aisyah, Rasul menjawab: "Hari-hari hidupku yang paling getir, adalah dulu, ketika ditengah bangsamu, nasibku bergantung pada belas kasih Abdu Yalail". (Disarikan dari H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, Bandung, Mizan, 1990, khususnya bab 12 dan 23)

Ketika Islam hadir di Mekkah dapatlah kita baca dalam beberapa literatur bahwa pada periode Mekkah bercirikan ajaran Tauhid. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan teologis semata, juga seruan Islam akan keadilan sosial, perhatian pada nasib anak yatim, fakir miskin dan pembebasan budak serta ajaran Islam akan persamaan derajat manusia, yang menimbulkan penolakan keras penduduk Mekkah pada Muhammad. Bagi mereka, agama ini tidak hanya "merusak" ideologi dan teologi mereka, tetapi juga "merombak" kehidupan sosial mereka.

Contoh menarik, misalnya, QS 9:13 tentang kata "karim" (lihat Syamsu Rizal Panggabean, "Beberapa Segi Hubungan Bahasa Agama dan Politik dalam Islam", dalam Islamika, No. 5, 1994, h. 4-5). "Karim" dalam masyarakat jahiliyyah merupakan bagian penting kode etik muru`ah --cita-cita moral tertinggi masyarakat Arab jahiliyah yang mencakup antara lain, kejujuran, keberanian, kesetiaan dan kedermawanan serta keramah-tamahan. Keberanian dan kedigjayaan terutama ditunjukkan pada saat pertempuran dan penyamunan. Loyalitas terfokus pada ikatan-ikatan kesukuan dan perjanjian. Kedermawanan dan keramah-tamahan terutama ditunjukkan dalam menjamu tamu, dan seringkali dengan maksud meninggikan status seseorang di hadapan tetamunya.

Konsep "karim" di atas mengalami perubahan makna yang drastis ketika Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa manusia yang paling karim (akram) dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa kepadaNya. Bagi yang tidak mengetahui konteks di atas, pernyataan al-Qur'an itu akan terdengar biasa saja. Tapi bagi orang-orang pada masa Muhammad, pernyataan di atas betul-betul radikal. Jika konteks Arab jahiliyyah berikut kedudukan kata karim dalam pandangan-dunia mereka dipahami, maka yang terjadi adalah revolusi cita-moral Arab. Bukan orang yang berharta banyak, menang dalam pertempuran dan seorang bangsawan yang disebut karim, tapi mereka yang bertakwa. Implikasinya, budak hitam legam pun dapat dipandang karim. Radikalisasi makna pandangan-dunia (weltanschaung) Arab jahiliyyah yang dilakukan Islam seperti inilah yang sedikit banyak menggoncang penduduk Mekkah.

Dapatlah diambil kesimpulan secara tentatif bahwa masyarakat Islam pada kurun Mekkah belum lagi tercipta sebagai sebuah komunitas yang mandiri dan bebas dari urusan klan.Negara Islam juga belum terbentuk pada kurun Mekkah. Ajaran Islam pada kurun Mekkah bercirikan tauhid dan dalam titik tertentu terjadi radikalisasi makna dalam weltanschaung Arab jahiliyyah yang berimplikasi mengguncang tataran sosio-religius penduduk Mekkah. Kita akan melihat bagaimana ciri umum ajaran Islam dan masyarakat Islam pada periode Mekkah berkembang pada periode Madinah, untuk itu mari kita "hijrah" ke Madinah di bawah ini.

2. Periode Madinah: Kesempurnaan Agama Islam

Hijrah ke Madinah tidaklah terwujud begitu saja (atau sekonyong-konyong). Ada beberapa pra-kondisi seperti Bai`at Aqabah (pertama dan kedua). Kedua Ba`iat ini merupakan batu-batu pertama bagi bangunan negara Islam. Kehadiran Rasul melalui peristiwa hijrah ke dalam masyarakat Madinah yang majemuk amat menarik untuk dibahas. Peta demografis Madinah saat itu adalah sebaagai berikut: (1) Kaum Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, (2) Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih berada pada tingkat nominal muslim, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi saw., (3) Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menganut paganisme, (4) Orang-orang Yahudi yang terbagi dalam tiga suku utama: Banu Qainuqa, Banu Nadhir dan Banu Quraizha.

Kemajemukan komunitas tersebut tentu saja melahirkan conflict dan tension. Pertentangan Aus dan Khazraj sudah terlalu terkenal dalam sejarah Islam. Bahkan diduga diterimanya Rasul di Madinah (Yatsrib) dengan baik di kedua klan tersebut karena kedua klan tersebut membutuhkan "orang ketiga" dalam konflik diantara mereka. Hal ini bisa dipahami dalam manajemen konflik politik. Adapun diterimanya Rasul oleh kaum Yahudi merupakan catatan tersendiri. Tentu saja Yahudi menerima Nabi dengan penuh kecurigaan tetapi pendekatan yang dilakukan Nabi mampu "menjinakkan" mereka, paling tidak, sampai Nabi eksis di Madinah.

Kemajemukan komunitas Madinah membuat Rasul melakukan negosiasi dan konsolidasi melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan "Piagam Madinah"(lihat Ibn Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, h. 301-301). Piagam Madinah sesungguhnya merupakan rangkaian penting dari proses berdirinya negara Madinah, meskipun Nabi, selaku "mandataris" Piagam Madinah tidak pernah mengumumkan bahwa beliau mendirikan negara, dan tak satupun ayat Qur'an yang memerintahkan beliau untuk membentuk suatu negara.

Dari sudut pandang ilmu politik, obyek yang dipimpin oleh Nabi saw.memenuhi syarat untuk disebut sebagai negara. Syarat berdirinya negara ialah ada wilayah, penduduk dan pemerintahan yang berdaulat. Kenyataan sejarah menunjukkan adanya elemen negara tersebut.Walhasil, setelah melalui proses Ba`iat dan Piagam Madinah Nabi dipandang bukan saja sebagai pemimpin ruhani tetapi juga sebagai kepala negara.

Kita beralih pada persoalan ajaran Islam. Pada periode Madinah ajaran Islam merupakan kelanjutan dari periode Mekkah. Bila pada periode Mekkah, ayat tentang hukum belum banyak diturunkan, maka pada periode Madinah kita mendapati ayat hukum mulai turun melengkapi ayat yang telah ada sebelumnya. Ini bisa dipahami mengingat hukum bisa dilaksanakan bila komunitas telah terbentuk. Juga dapat dicatat kemajemukan komunitas Madinah turut mempengaruhi ayat hukum ini. Satu contoh menarik pada peristiwa kewajiban zakat dan pelarangan riba. Setting sosio-ekonomi Madinah yang dikuasai oleh Yahudi memerlukan sebuah "perlawanan" dalam bentuk zakat (untuk pemerataan ekonomi di kalangan muslim) dan pelarangan riba. Yang terakhir ini membawa implikasi baik secara ekonomi maupun politik bagi praktek riba kaum Yahudi.

Bukan hanya ayat hukum saja yang berangsur-angsur "sempurna", juga ayat tentangetika, tauhid dan seluruh elemen ajaran Islam berangsur-angsur mendekati titik kesempurnaan,dan mencapai puncaknya pada QS 5:3. Setelah Nabi wafat, dimulailah era khulafaur rasyidin. Tidak dapat dipungkiri, di Madinah Islam sempurna dan disinilah awal sebuah peradaban yang dibangun oleh umat Islam mulai tercipta.

Wa Allah a'lam bis Shawab

Potong Tangan dalam Islam?


Potong Tangan dalam Islam?



Menurut zhahir QS Al-Ma'idah (6): 38 hukuman tindak pidana pencurian berupa potong tangan (qath al-yad). Mengenai hal ini pendapat para ulama terbagi menjadi dua: Pertama, hukuman tersebut bersifat taÕabbudi karena itu tidak dapat diganti hukuman lain, dengan penjara atau lainnya, sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa Rasul. Demikian menurut sebagian ulama.

Kedua, hukuman tersebut ma 'qulul ma'na, yakni mempunyai maksud dan pengertian yang rasional. Karena itu ia dapat berujud dengan hukuman lain, tidak harus dengan potong tangan. Demikian menurut sebagian ulama (lihat Ibrahim Dasuqi asy-Syahawi, As-Sariqah, Kairo, Maktabah Dar al-Urubah, 1961, cet-1, h. 9-13).

Menurut para pendukung pendapat kedua ini, yang dimaksud dengan "potong tangan" sebagaimana ditegaskan dalarn ayat adalah "mencegah melakukan pencurian". Pencegahan tersebut dapat diwujudkan dengan penahanan dalam penjara dan sebagainya, tidak mesti harus dengan jalan potong tangan. Dengan demikian, ayat tersebut dapat berarti: Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, cegahlah kedua tangannya dari mencuri dengan cara yang dapat mewujudkan pencegahan.

Sebelum terburu-buru ÒmengkafirkanÓ ulama kelompok kedua ini, (bukankah kita cenderung mengkafirkan orang yang tidak kita mengerti jalan pikirannya?) ada baiknya kita ketahui alasan mereka.

Golongan ini mengemukakan alasan bahwa kata memotong (al-qath'u) arti aslinya adalah semata-rnata pencegahan (al-man'u), dengan alasan sebagai berikut.

(1) Menurut sebuah riwayat, Rasulullah memberi hadiah kepada Aqra' bin Habis At-Tamimi dan 'Uyainah bin Hisn Al-Fazari masing-masing seratus ekor unta, sedangkan kepada 'Abbas bin Mardas Nabi memberikan hadiah kurang dan seratus ekor unta. Kemudian 'Abbas rnendendangkan syair di hadapan Nabi yang mengutarakan bahwa kedudukan dan perjuangannya jika tidak lebih maka tidak dapat dipandang kurang dari Aqra' dan 'Uyainah tersebut. Ketika mendengar syair 'Abbas yang dibaca berulang-ulang itu, Nabi berkata kepada para sahabat: iqthaÕu anni lisanahu (secara harfiah berarti: potonglah dari aku lidahnya).

Para sahabat kemudian memberikan kepada 'Abbas tambahan sampai seratus unta, sebagaimana Nabi telah memberikan kepada Aqra' dan 'Uyainah. Kalaulah kata qatha 'a berarti pemotongan, tentu para sahabat memotong lidah 'Abbas. Tetapi mereka menanggapi perkataan Nabi tersebut tidak menurut arti lahirnya, yaitu pemotongan lidah. Melainkan memahaminya agar mencegah lidah 'Abbas dari mengoceh dan mengemukakan protesnya, dengan mencukupkan bilangan unta seratus ekor. Dengan demikian, perkataan Nabi tersebut tidak diartikan oleh para sahabat dengan "potonglah lidahnya", tetapi diartikan "cegahlah lidahnya."

(2) Menurut riwayat, Laila Al-Akhiliah pernah membacakan kasidahnya unttuk memuji Panglima Hajjaj. Hajjaj berkata kepada ajudannya: 'iqtha Ôanni lisanaha" Mendengar perintah ini, ajudan tersebut membawa Laila ke tukang besi untuk dipotong lidahnya. Ketika dilihatnya tukang besi mengeluarkan pisau, Laila berkata: "Bukan itu yang dimaksudkan Hajjaj, tetapi ia memerintahkan agar engkau memotong lidahku dengan hadiah, bukan dengan pisau."

Setelah ajudan kembali bertanya kepada panglima, ia membenarkan pendapat Laila, sehingga ajudan tersebut mendapat celaan dari panglima karena kebodohannya. Sekiranya kata qhathaÕa diartikan memotong secara sempit, tidaklah wajar Hajjaj memarahi ajudannya. Panglima Hajjaj dan Laila terkenal sebagai pujangga dan sastrawan Arab pada masa Daulah Bani Umayyah yang kata-katanya dapat dijadikan hujjah dalam memahami bahasa Arab. Sedangkan ahli bahasa sependapat bahwa bahasa Arab pada masa Umayyah dan permulaan Daulah 'Abbasiah sampai dengan masa Abu Al-'Atahiyah (sastrawan Arab terkenal pada masa Abbasiah yang wafat pada 211 H) dapat dijadikan hujjah.

Di samping itu, menurut Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq, hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat pilihan, potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang yang dicuri kepada pemiliknya (lihat Tafsir Fakh al-Razi, juz XI, h. 228), atau menurut ulama lain menafkahkannya di jalan Allah (lihat Tafsir Ruh al-MaÕani, Juz VI, h. 135).

MATA YANG TIDAK MENANGIS DI HARI KIAMAT


MATA YANG TIDAK MENANGIS DI HARI KIAMAT


Semua kaum Muslim berkeyakinan bahwa dunia dan kehidupan ini akan berakhir. Akan datang suatu saat ketika manusia berkumpul di pengadilan Allah Swt. Al-Quran menceritakan berkali-kali tentang peristiwa Hari Kiamat ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 1-16. Dalam surah itu, digambarkan bahwa tidak semua wajah ketakutan. Ada wajah-wajah yang pada hari itu cerah ceria. Mereka merasa bahagia dikarenakan perilakunya di dunia. Dia ditempatkan pada surga yang tinggi. Itulah kelompok orang yang di Hari Kiamat memperoleh kebahagiaan.

Tentang wajah-wajah yang tampak ceria dan gembira di Hari Kiamat, Rasulullah pernah bersabda, "Semua mata akan menangis pada hari kiamat kecuali tiga hal. Pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt. Kedua, mata yang dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan Allah. Ketiga, mata yang tidak tidur karena mempertahankan agama Allah."

Mari kita melihat diri kita, apakah mata kita termasuk mata yang menangis di Hari Kiamat?

Dahulu, dalam suatu riwayat, ada seorang yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana di teinpat-tempat maksiat, dan pulang larut malam.Dari tempat itu, dia pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah, lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang dibaca itu berbunyi: "Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik (Qs 57: 16).

Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa. Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah Swt., sehingga di abad kesebelas Hijri dia menjadi seorang ulama besar, seorang bintang di dunia tasawuf.

Orang ini bernama Fudhail bin Iyadh. Dia kembali ke jalan yang benar kerena mengalirkan air mata penyesalan atas kesalahannya di masa lalu lantaran takut kepada Allah Swt. Berbahagialah orang-orang yang pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat.

Kedua, mata yang dipalingkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Seperti telah kita ketahui bahwa Rasulullah pernah bercerita tentang orang-orang yang akan dilindungi di Hari Kiamat ketika orang-orang lain tidak mendapatkan perlindungan. Dari ketujah orang itu salah satu di antaranya adalah seseorang yang diajak melakukan maksiat oleh perempuan, tetapi dia menolak ajakan itu dengan mengatakan, "Aku takut kepada Allah".

Nabi Yusuf as. mewakili kisah ini. Ketika dia menolak ajakan kemaksiatan majikannya. Mata beliau termasuk mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, lantaran matanya dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Swt.

Kemudian mata yang ketiga adalah mata yang tidak tidur karena membela agama Allah. Seperti mata pejuang Islam yang selalu mempertahahkan keutuhan agamanya, dan menegakkan tonggak Islam. Itulah tiga pasang mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, yang dilukiskan oleh Al-Quran sebagai wajah-wajah yang berbahagia di Hari Kiamat nanti.[]


Ketika Dosa Anda Sedalam Samudera


Ketika Dosa Anda Sedalam Samudera


Pernahkah kita menghitung dosa yang kita lakukan dalam satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun bahkan sepanjang usia kita?

Andaikan saja kita bersedia menyediakan satu kotak kosong, lalu kita masukkan semua dosa-dosa yang kita lakukan, kira-kira apa yang terjadi? Saya menduga kuat bahwa kotak tersebut sudah tak berbentuk kotak lagi, karena tak mampu menaham muatan dosa kita.

Bukankah shalat kita masih "bolong-bolong"? Bukankah pernah kita tahan hak orang miskin yang ada di harta kita? Bukankah pernah kita kobarkan rasa dengki dan permusuhan kepada sesama muslim? Bukankah kita pernah melepitkan selembar amplop agar urusan kita lancar? Bukankah pernah kita terima uang tak jelas statusnya sehingga pendapatan kita berlipat ganda? Bukankah kita tak mau menolong saudara kita yg dalam kesulitan walaupun kita sanggup menolongnya?

Daftar ini akan menjadi sangat panjang......

Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Allah berfirman dalam Surat az-Zumar [39]: 53 "Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Indah benar ayat ini, Allah menyapa kita dengan panggilan yang bernada teguran, namun tidak diikuti dengan kalimat yang berbau murka. Justru Allah mengingatkan kita untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah. Allah pun menjanjikan untuk mengampuni dosa-dosa kita.

Karena itu, kosongkanlah lagi kotak yang telah penuh tadi dengan taubat pada-Nya.Kita kembalikan kotak itu seperti keadaan semula, kita kembalikan jiwa kita ke pada jiwa yang fitri dan nazih.

Jika anda mempunyai onta yang lengkap dengan segala perabotannya, lalu tiba-tiba onta itu hilang. Bukankah anda sedih? Bagaimana kalau tiba-tiba onta itu datang kembali berjalan menuju anda lengkap dengan segala perbekalannya? Bukankah Anda akan bahagia? "Ketahuilah," kata Rasul, "Allah akan lebih senang lagi melihat hamba-Nya yang berlumuran dosa berjalan kembali menuju-Nya!"

Allah berfirman: "Dan kembalilahh kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)." (QS 39:54)

Seperti onta yang sesat jalan dan mungkin telah tenggelam di dasar samudera, mengapa kita tak berjalan kembali menuju Allah dan menangis di "kaki kebesaran-Nya" mengakui kesalahan kita dan memohon ampunNya...

Wahai Tuhan Yang Kasih Sayang-Nya lebih besar dari murka-Nya, Ampuni kami Ya Allah!

tuhan


tuhan

TUHAN dibungkam dan diteriakkan di Ayodhya. Masjid Babri telab berdiri sejak abad ke-16 dan ia tak mengganggu. Tapi pekan lalu ia dihancurkan oleh mereka yang yakin telah terpanggil oleh iman: sejumlah besar penganut "kebangunan kembali" agama Hindu. Sejak hari itu sekitar 700 orang tewas.

Orang Islam menyerang orang Hindu, orang Hindu menggempur orang Muslim, tak peduli mereka bersangkut paut dengan peristiwa Ayodhya atau tidak. Siapa yang salah dan siapa yang tidak sudah rancu. Tuhan diseru, dengan nama yang berbeda-beda, dalam karnaval kebencian itu, yang mereka anggap sebagai parade kebenaran. Adakah Ia didengar?

Tidak --jika kita memandang Tuhan sebagaimana Tagore memandang-Nya, jika kita memuja Tuhan sebagaimana Tagore memuja-Nya. "Kasih antara Tuan dan aku ini sederhana seperti nyanyi." begitulah Tagore mengutarakan hubungannya dengan Tuhan, sebagaimana diterjemahkan oleh Amir Hamzah. Kasih yang seperti nyanyi adalah kasih yang terpancar keluar tulus, bebas, dan bersahaja, tanpa ritual yang ruwet, upacara besar, dan tempat pemujaan yang megah. Tanpa pretensi. Ia yang mencinta dan menyanyi tak akan menganggap caranya sebagai ekspresi yang bisa berlaku buat orang di mana saja, kapan saja. Cinta, seperti nyanyian, bukanlah hukum. Cinta, seperti nyanyian, berbeda dan pribadi ke pribadi. Cinta, seperti nyanyian, tak menyemburkan amarah.

Tapi tentu saja di Ayodhya hari itu dan sesudahnya, tak ada cinta dan tak ada nyanyian. Yang ada pekik peperangan. Tak ada pribadi-pribadi. Yang ada hanya massa, kelompok. Tagore tak disebut-sebut; ia memang hanya terasa sebagai seorang penyair yang lembek hati dan penyendiri (bukan "bersama massa") jika kita berada dalam suara gemuruh dengan mulut berbusa-busa. Tuhan yang disebutnya dalam Gitanjali, "yang membuat yang jauh jadi dekat dan seorang asing jadi saudaraku", sudah jadi Tuhan yang aneh.

Memang menakjubkan bahwa Tuhan bisa dipuja dengan cara yang berbeda dari cara Tagore -- atau cara seorang Muslim sehari-hari mengingat-Nya, yakni sebagai Yang Rahman dan Rahim. Tuhan kadang-kadang bahkan dibayangkan sebagai Sang Pemberi Legitimasi bagi kebencian dan destruksi.

Tapi adakah cara yang terbenar sesungguhnya untuk menafsirkan Dia? Entahlah. "Betapa susah sungguh," tulis Chairil Anwar dalam sajaknya Doa, "mengingat Kau penuh seluruh." Betapa sulit memang untuk memproyeksikan citraNya yang utuh, yang tak dipengaruhi kebiasaan kita, perangai kita, kepentingan kita --dengan kata lain, keterbatasan kita. Di sini kita memasuki soal yang pelik: penafsiran. Agaknya bukan kebetulan bila para pemikir kembali mengusut bagaimana sebenarnya terjadinya proses "tahu" atau "mengetahul", "paham" atau "memahami" - dengan kata lain, proses epistemologis.

Nabi yang menerima wahyu baru sudah tak ada lagi. Sementara itu hidup semakin banyak memergoki hal ihwal yang tak selamanya dapat diterangi dengan konsep, model, atau contoh yang pernah ada. Paradigma lama cepat jadi bangkai. Teori tahun lalu dengan mudah goyah. Orang membutuhkan interpretasi ulang, terutama ketika menyangkut pengetahuan tentang manusia, awal dan akhirnya. Bahkan orang mulai ragu, bisakah ada konsensus tentang itu, dan bisakah kita mengklaim adanya satu pusat yang bisa menggerakkan konsensus itu. Menyadari itu, orang menjadi secara serius menelaah, tidakkah semuanya ini berpangkal pada cara kita memberi arti kepada dunia, sebagaimana seorang pembaca memberi arti kepada suatu teks.

Para pemikir yang kini sering disebut sebagal kaum "pascastrukturalis" bahkan memberi perhatian yang besar kepada soal interpretasi atas teks itu. Bagi mereka, bahasa manusia mustahil untuk menawarkan satu makna yang sudah selesai, tak selalu menggelincir ke dalam makna lain. Khaos? Kesimpang-siuran yang telah membuat banyak korban? Memang menakutkan, jika soalnya sampai kepada soal bagaimana Tuhan tergambar dalam kesadaran kita: sebagal Sang Pembalas seperti yang di Ayodhya itu, atau sebagai yang bisa kita cintai dengan sederhana dan rendah hati?

Ah, saya akhirnya toh kembali ke Tagore, yang kadang memang teramat manis itu: "Kau sembunyikan diri-Mu dalam keagungan-Mu, Gustiku," tulisnya dalam sajak panjang Penyeberangan, "Butir pasir dan tetes embun lebih angkuh tampil ketimbang Engkau."




tafsir (1)




tafsir (1)

BAGAIMANA berbicara dengan seorang fanatik? Bagaimana berdialog dengan Baruch Goldstein, yang menembaki orang Palestina di Masjid Ibrahim?

"Cintailah orang asing itu: kalian juga orang asing tatkala hidup di Tanah Mesir". Itu sebuah kalimat Taurat, sabda Tuhan untuk umat Yahudi. Howard Jacobson, penulis Roots Schmoots - Journey Among Jews, pernah mengutip ayat itu di depan orang-orang macam Goldstein, para pemukim Yahudi yang umumnya datang ke Israel dan Brooklyn, New York. Mereka mendengarkan. Tapi mereka tegar seperti tembok pencakar langit dan batu karang.


Orang macam Goldstein, yang berbicara Ibrani dengan aksen Amerika, merasa lebih benar, lebih saleh. Mereka ingin lebih keras. Mungkin karena mereka berasal dari sebuah negeri yang dulu dibangun Thomas Jefferson, tapi kini jadi sebuah negeri di mana sekte kepercayaan bisa bertaut dengan kekerasan, di mana nama Tuhan dan senjata jadi bisnis besar, dan orang bertindak dari rohani yang sering menganggur -- dari suatu "spiritual idleness," kata Jacobson. Para zilot, yang berapi-api dalam iman itu, punya tafsir sendiri. Juga terhadap perintah cinta-terhadap-orang-asing itu. Bagi mereka, yang dimaksud oleh ayat Taurat itu sebenarnya ialah "cintailah orang asing, selama mereka itu Yahudi."


"Gila," sebut Jacobson (ia sendiri Yahudi) tentang para pendatang dan Brooklyn itu, di sebuah tulisan dalam The Independent yang membahas sindrom Baruch Goldstein di Israel dewasa ini. "Lunatics." Bagi Jacobson, beda antara "lunatics" dan 'fanatics" memang tak begitu penting: kedua-duanya bisa memutarbalikkan isi dan jalan pikiran. Cara mereka menafsirkan ayat Taurat telah menunjukkan itu. Soalnya kemudian, bagaimana itu mungkin, bagaimana kita menjelaskan fakta ini: kitab-kitab suci menganjurkan damai, tapi begitu banyak kekerasan dilakukan atas nama Tuhan dan iman. Jungkir-balik akalkah namanya, bila ada orang yang tiap minggu ke gereja, dan berkali-kali mendengar kata Kasih dan Kristus, tapi di malam hari mengenakan topeng dan jubah putih, bergambar salib, dan muncul sebagai Ku Klux Klan, untuk meneror orang hitam? Ataukah ini kepatuhan kepada perintah Tuhan secara murni, bila gerilya muslim di Aljazair dan Mesir membunuhi orang yang belum tentu bersalah?


Pada mulanya adalah tafsir. Sejarah pemikiran agama adalah sebuah sejarah interpretasi. Tapi teori bagaimana tafsir bisa lahir ternyata tak mudah. Pernah orang berpikir, sebuah tafsir terjadi ketika di hadapan sebuah teks, si pembaca menginterpretasikannya menurut yang dikehendaki si pengarang. Author, dalam bahasa Inggris, berhubungan dengan kata authority: sang pengarang adalah pemegang wewenang.

Tapi bagaimana kita tahu pasti apa kehendak pengarang, ketika ada bagian dari teks itu yang bermakna ganda, remang, penuh kiasan? Bagaimana bila teks itu puisi, sebagaimana sifat kitab-kitab suci, yang tak "lurus-lugas" seperti prosa? Bisakah kita bertanya artinya kepada Sang Pengarang? Tidak, tentu, karena teks telah ditulis dan disebar, dan jarak antara seorang pembaca dan seorang pengarang telah jauh. Tuhan pun kini tak berfirman langsung lagi kepada manusia, seperti Ia dulu kepada Musa Alaihisalam dan Muhammad SAW. Maka, ada yang berpendapat bahwa bagaimanapun tafsir terjadi karena si pembaca bukan nol; ia juga punya kompetensi. Komaruddin Hidayat, dalam tulisannya tentang Islam dan postmodernisme dalam Kalam, mengatakan bahwa semakin cerdas seorang membaca teks, semakin cerdas pula teks itu memberi jawab. Baginya, si pembaca bukanlah pembaca yang hanya tunduk, takluk; ia pembaca yang berdialog dengan teks.


Pada tahun 1957, ada seorang Spanyol menulis La hora del lector. Pada tahun 1962, Umberto Eco dan Italia menulis Opera aperta. Mereka menegaskan bahwa kita bisa bicara tentang momen berperannya sang pembaca, dan bahwa sebuah teks adalah karya yang terbuka: menyilakan masuk wewenang setiap penafsir. Meskipun Eco pada tahun 1992 meninjau kembali pandangannya -- tentu, seorang Jack the Ripper perlu dianggap sinting seandainya ia mengaku ia menggorok karena ia mengikuti Alkitab -- akhirnya bisa saja seorang fanatik punya tafsir yang fanatik tentang Sabda, dan membunuh sambil mengingat ayat suci. Maka, mungkin saja seorang fanatik punya tafsir yang fanatik pula, dan orang macam Goldstein membunuh sambil mengingat ayat suci.


Memang tak mudah kita tahu bahwa orang macam inilah yang benar. Ternyata kitapun harus bertanya apa gerangan daya sebuah teks suci untuk mengubah perilaku, jika jangan-jangan kecenderungan manusia sendiri yang menentukan makna ltu.


Tafsir (2)


Tafsir (2)

BERIMAN adalab menderita," kata kesatria bertubuh kurus itu sambil memejamkan matanya. "Kita seperti mencintai seseorang yang berada dalam gelap, diam, dan tidak pernah menjawab."

Kesatria itu, Antonius Blok, tokoh utama dalam film ciptaan Ingmar Bergman yang termasyhur itu, Tera yang Ketujuh (dalam versi Inggris, The Seventh Seal), pulang dari Jerusalem, dari Perang Salib. Ia terdampar di pantai negerinya yang kering, keras, tak dihuni. Kisahnya adalah kisah keresahan untuk mendapatkan kesimpulan terakhir: bahwa iman yang selama ini ditanggungnya bukan hanya sebuah takhayul kepada ruang kosong. Tapi yang ditemuinya hanya pedalaman yang dicakar sampar. Orang-orang ketakutan dan sebab itu menjadi bengis.

Pada suatu malam Antonius Blok bertemu dengan serombongan prajurit dan pendeta yang membawa seorang anak gadis yang dipasung di dalam pedati. Si gadis, dengan susu yang masih ranum, dengan tubuh yang masih lembut, harus dibakar hidup-hidup. Ia dituduh berhubungan dengan Setan yang membangkitkan wabah dan kebinasaan. Esoknya tiang pun dipasang dan api dinyalakan. Di mata gadis itu tampak berkilas teror, ketakutan. Apa gerangan yang dilihatnya menjelang ajal? Tuhan? Atau hampa? Tak ada jawab. Hanya ada gelap malam, para padri, dan KItab Suci. Bahkan ketika Blok bertanya kepada Maut, yang mengikuti perjalanan pulangnya ke kastil Elsinore untuk mencabut nyawanya --pernahkah Tuan melihat apa dan siapa yang ada nun di atas sana, di surga -- Maut itu, dengan wajahnya yang bagaikan topeng karet yang putih, mengerikan, cuma diam, seakan-akan menggeleng.

Memang menakjubkan: dalam kemuraman itu Antonius Blok tetap saja beriman dan pada saat yang sama tetap saja bertanya. Tera yang Ketujuh dalam hal ini agaknya sebuah alegori tentang nasib nestapa tapi juga kedahsyatan manusia yang tak putus-putusnya percaya dan tak henti-hentinya dirundung bimbang. Mungkin ini kisah zaman ini, ketika wahyu berhenti diturunkan. Dan nabi tak dibenum lagi, ketika manusia seperti para penziarah yang berjalan panjang: perjalanan untuk menemui simbol-simbol, terutama yang ditinggalkan masa lampau.

Simbol: sesuatu yang meminta interpretasi, bahkan sesuatu yang menjadi berarti karena interpretasi. Manusia akhirnya memang sebuah ikhtiar untuk memberikan tafsir, karena dari dalam gelap, tak ada lagi jawab. Ikhtiar itu amat panjang. Manusia toh akhirnya menghadapi dan berada dalam kancah dunia, yang oleb orang Inggris disebut being (dan kata "to be", "mengada"), dan oleh orang Jawa disebut dumadi (dan kata dadi atau menjadi) -- sesuatu yang tak mandek, tak stabil, tak pasti, yang masuk sebagai rangsangan indera yang melintas tak putus-putus, bagaikan alir kali yang mengalir terus. Bahasa manusia tak pernah mencerminkan sepenuhnya kali yang mengalir itu. Kata-kata manusia hanya usaha menandai satu hal dalam hubungannya dengan hal lain, tanpa didasarkan pada ide yang sudah dimasak. Maka arti kata, dan akhirnya bahasa manusia, selalu berada dalam keadaan transit dan nisbi. Konsep dan definisi yang pasti akan buntu.

Pada mulanya dan pada akhirnya adalah kiasan. Maka bahasa yang mencoba menangkap hidup akan harus memandang hidup sebagai sebuah naskah, yang maknanya tergantung kepada interpretasi si pembaca. Soalnya kemudian: tak akan adakah kekacauan, jika begitu banyak orang dan begitu banyak tafsir? Di manakah kebenaran? Dan haruskah ada konsensus untuk "Kebenaran"?

Antonius Blok tak bertanya sejauh itu. Statemennya tentang Tuhan yang dicintai tetapi tak memberi jawab sudah cukup. Kini orang membicarakan tentang perlu atau tidaknya konsensus dalam tafsir, dan bagaimana itu mungkin terjadi, di zaman ini, ketika pengetahuan manusia semakin terpecah-pecah. Itulah sebenarnya tema dasar "modernisme" dan "post-modernisme".

Ada yang memang berpendapat, seperti Jurgen Habermas, (orang yang meragukan segala keriuhan "postmodernisme") bahwa konsensus adalah keinginan yang sah. Tiap kali kita berkomunikasi, kita mau tak mau mengasumsikan bahwa kita berbicara benar -- meskipun sebagai suatu ilusi sekalipun. Tapi soalnya: ilusi itu kemudian memperoleh legitimasinya.Melalui apa legitimasi itu terjadi?

Jawabnya: lewat kekuatan dan kekuasaan, baik dalam bentuk modal, tahta, ataupun senjata.Konsensus pun pada akhirnya -- seperti dibuktikan dalam sejarah abad ke-20 -- merupakan proyek kekuasaan. Komunikasi pun dibetot dari rohnya, pelan-pelan, demi konsensus itu. Terkadang untuk itu orang membawa bendera "ilmu" dan "iman" -- seakan-akan semuanya bisa seperti rumus ilmu pasti. Atau seakan-akan semuanya hanya perlu diterima, dengan taklid.

Antonius Blok akan mengatakan bahwa beriman seperti itu berarti mencintai Tuhan dengan cara seperti menyukai sebuah komputer hebat di kamar pusat. Beriman, dalam sikap itu, memang tak menderita, tetapi betapa dangkalnya.

BIARKAN DIA BERBICARA


BIARKAN DIA BERBICARA



Hari itu para pembesar Quraisy mengadakan sidang umum. Mereka memperbincangkan berkembangnya gerakan baru yang diasaskan Muhammad. Ada dua pilihan. To shoot it out atau to talk it out. Membasmi gerakan itu sampai habis atau mengajaknya bicara sampai tuntas. Pilihan kedua yang diambil.

Untuk itu serombongan Quraisy menemui Nabi saw. Beliau sedang berada di masjid. Utbah bin Rabi'ah anggota Dar al-Nadwah (parlemen) yang paling pandai berbicara, berkata : "Wahai kemenakanku! Aku memandangmu sebagai orang yang terpandang dan termulia diantara kami. Tiba-tiba engkau datang kepada kami membawa paham baru yang tidak pernah dibawa oleh siapapun sebelum engkau. Kauresahkan masyarakat, kautimbulkan perpecahan, kaucela agama kami. kami khawatir suatu kali terjadilah peperangan diantara kita hingga kita semua binasa.

Apa sebetulnya yang kaukehendaki. Jika kauinginkan harta, akan kami kumpulkan kekayaan dan engkau menjadi orang terkaya diantara kami. Jika kau inginkan kemuliaan, akan kami muliakan engkau sehingga engkau menjadi orang yang paling mulia. Kami tidak akan memutuskan sesuatu tanpa meminta pertimbanganmu. Atau, jika ada penyakit yang mengganggumu, yang tidak dapat kauatasi, akan kami curahkan semua perbendaharaan kami sehingga kami dapatkan obat untuk menyembuhkanmu. Atau mungkin kauinginkan kekuasaan, kami jadikan kamu penguasa kami semua."

Nabi saw mendengarkan dengan sabar. Tidak sekalipun beliau memotong pembicaraannya. ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, "Sudah selesaikah ya Abal Walid?" Sudah, kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat: "Ha mim. Diturunkan al-Qur'an dari Dia yang Mahakasih Mahasayang. sebuah kitab, yang ayat-ayatnya dijelaskan. Qur'an dalam bahasa Arab untuk kaum yang berilmu....." Nabi saw terus membaca. ketika sampai ayat sajdah, ia bersujud.

Sementara itu Utbah duduk mendengarkan sampai Nabi menyelesaikan bacaannya. kemudian, ia berdiri. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kaumnya berkata, "lihat, Utbah datang membawa wajah yang lain."

Utbah duduk di tengah-tengah mereka. perlahan-lahan ia berbicara, "Wahai kaum Quraisy, aku sudah berbicara seperti yang kalian perintahkan. Setelah aku berbicara, ia menjawabku dengan suatu pembicaraan. Demi Allah, kedua telingaku belum pernah mendengar ucapan seperti itu. Aku tidak tahu apa yang diucapkannya. Wahai kaum Quraisy! Patuhi aku hari ini. kelak boleh kalian membantahku. Biarkan laki-laki itu bicara. Tinggalkan dia. Demi Allah, ia tidak akan berhenti dari gerakannya. Jika ia menang, kemuliannya adalah kemulianmu juga."

Orang-orang Quraisy berteriak, "Celaka kamu, hai Abul Walid. Kamu sudah mengikuti Muhammad". Orang Quraisy ternyata tidak mengikuti nasihat Utbah (Hayat al-Shahabah 1:37-40; Tafsir al-durr al-Mansur 7:309, Tafsir Ibn Katsir 4:90, Tafsir Mizan 17:371) Mereka memilih logika kekuatan, dan bukan kekuatan logika.

Peristiwa itu sudah lewat ratusan tahun yang lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi saw. dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak Nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Yang menakjubkan kita adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh Utbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi saw. dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat kaum kafir. Kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Seperti pembesar-pembesar Quraisy, kita lebih sering memilih shoot it out!

(Jalaluddin Rakhmat, "Tafsir bil Ma'sur", h. 131-133)



Help file produced by WebTwin (www.webtwin.com) HTML->WinHelp converter. This text does not appear in the registered version.

A. Kisah Fir'aun & Nabi Musa as


A. Kisah Fir'aun & Nabi Musa as

Dalam Surah Yunus ayat 90-92, Al-Qur'an menyatakan bahwa pada suatu
masa nanti bangkai Fir'aun yang tenggelam sewaktu mengejar Nabi Musa
as akan dikembalikan kepada manusia (dapat disaksikan dengan mata
kepala) untuk menjadi bukti akan kebenaran dan kebesaran ayat-ayat
Allah itu.

"Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka
diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya
dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam
berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan yang
dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)". Apakah sekarang (baru kamu percaya),
padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu
termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami
selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari
manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami."
(QS. 10:90-92)

Perlu diketahui, bahwa ayat ini turun setelah 21 abad masa Fir'aun.
Orang sudah tidak tahu lagi dimana batang tubuh Fir'aun.
Tetapi sungguh menakjubkan, bahwa setelah terpendam selama lebih
kurang 40 abad, yaitu tepatnya tanggal 6 Juli 1879 para ilmuwan
Archeologi telah berhasil menemukan batang tubuh Fir'aun, dan hal ini
sekaligus menemukan bukti akan kebenaran Al-Qur'an sebagai wahyu
Allah, bukan ciptaan Nabi Muhammad Saw !

Berikut akan saya kutipkan tulisan Yoesof Sou'yb dalam majalah
'Harmonis' tentang kesesuaian antara Surah Yunus 90-92 dengan
kenyataan sejarah yang menggemparkan itu.

Wahyu Ilahi yang diturunkan pada abda ke-7 Masehi itu menegaskan
bahwa badan Pharaoh/Fir'aun yang telah menjadi korban, akan
diselamatkan sebagai pertanda bagi orang belakangan.
Dalam ayat asli berbunyi : 'nunajji-ka bi badani-ka'.

Sedangkan The Holy Bible tidak bercerita bahwa badan Fir'aun/Pharaoh
itu diselamatkan untuk pertanda bagi orang belakangan, pada Exodus
14:29-30 hanya diceritakan mengenai sbb :
"But the children of Israel walked upon dry land in the midst orf the
sea; and the waters were a wall into them on their right hand and on
the lef. Thus the Loard saved Israel that day cut of the hand of the
Egyptians; and Israeli saw the Egyptians dead upon the sea shore"

'Tetapi segala Bani Israel itu telah berjalan diatas kekeringan tanah
ditengah-tengah laut, maka karir nya menjadi dewala (dinding tembok)
bagi mereka pada sebelah kanan-kirinya, demikianlah dilepaskan Tuhan
segala orang Israel pada hari itu juga dari tangan orang Mesir, maka
dilihat orang Israel segala orang Mesir itu mati terhantar dipantai
laut.'

The Holy Bible hanya menceritakan tentang kematian anak-anak Israel
(Pharaoh beserta pasukannya), tetapi tidak bercerita bahwa tubuh
Pharaoh/Fir'aun diselamatkan untuk pertanda dan pelajaran bagi
orang-orang sesudah mereka.

Sekarang mari kita sedikit menyinggung pada saat Nabi Saw
menceritakan wahyu Allah ini.
Penduduk Mekkah semenjak masa yang panjang sebelum Nabi Muhammad Saw
telah menciptakan tradisi dagang.

Pada musim panas (al-shaif) kafilah-kafilah dagang berangkat ke Utara
(Mesir, Palestina, Syria, Irak, Iran) dan pada musim dingin
(al-syitak) kafilah-kafilah dagang bergerak keselatan (Yaman,
Ethiopia).

Jadi penduduk Mekkah pada masa Nabi Muhammad Saw itu sudah tidak
merasa asing terhadap keadaan di Mesir pada masa itu. Piramid-piramid
raksasa, kuil-kuil raksasa, tiang-tiang obleisk dan Spinx, semua itu
cuma saksi bisu yang tiada bisa bercerita apapun kepada manusia,
apalagi akan menjumpai dan menyaksikan batang tubuh Pharaoh masa itu.

Coba anda merenung sejenak dalam imajinasi anda, betapa sambutan
penduduk Mekkah terhadap pemberitaan Nabi besar Muhammad Saw bahwa
jenasah Fir'aun diselamatkan oleh Tuhan sebagai pertanda bagi
orang-orang belakangan !

Dalam abad ke-19 dengan kunci batu-Rosetta, yang pada akhirnya
berheasil diterjemahkan huruf-huruf Demotik dan Hiroglipik pada
batu-Rosetta itu oleh Jean Francois Champollion (1790-1832 M), maka
coretan-coretan cakar ayam pada dinding-dinding Pyramid,
dinding-dinding kuil dan tiang-tiang obelisk, mulai bercerita tentang
masa silam.

Jika menjelang abad ke-19 pengetahuan manusia tentang sejarah cuma
sampai abad ke-4 sebelum Masehi, maka sejak abad ke-19 pengetahuan
sejarah telah menjangkau masa tiga puluh abad sebelum masehi.

Tetapi jasad Pharaoh dari setiap dinasti, yang dikisahkan sedemikian
rupa oleh tiang-tiang obelisk dan dinding-dinding piramid belum juga
dijumpai.

Expedisi berbagai bangsa bagaikan kena rangsang untuk mengerahkan
kegiatan dan pembiayaan untuk menemukannya. Pada tanggal 6 Juli 1879
terjadilah apa yang dipandang 'peristiwa terbesar' bagi dunia
sejarah. The Historian's History of The World vol.1 edisi 1926, dalam
puluhan halamannya melukiskan peristiwa terbesar itu dengan sangat
indahnya dan panjang lebar.

Ir. Muhammad Ahmad Abdar-Rasul, seorang Arkeolog Mesir yang
mengabdikan hidupnya untuk melakukan riset tanpa jemu-jemunya, telah
berhasil pada akhirnya memberikan petunjuk kepada ekspedisi ilmiah
Jerman - Mesir yang berada dibawah pimpinan Messrs, Emil Brugsch dan
Ahmad Effendi Kamal itu, yaitu sebuah lubang kecil yang terletak
tinggi pada dinding batu karang di 'lembah raja-raja' (Valley of
Kings) dalam wilayah Mesir atas.

Dengan peralatan dan tenaga manusia yang dipersiapkan sedemikian rupa
pada tanggal 6 Juli 1879 dilakukan penerobosan kedalam relung sempit
yang berceruk-ceruk dan berliku-liku itu, dan pada suatu ruangan
besar yang terletak jauh disebelah dalam dijumpailah sekian puluh
mummi dari para Pharaoh, termasuk mummi Rhamses II (Fir'aun) yang
hidup pada masa Nabi Musa as, yaitu Pharaoh terbesar dan teragung
dalam sejarah dinasti-dinasti Pharaoh ditanah Mesir.

Buku sejarah terbesar yang puluhan jilid tebalnya terbitan
'Encyclopedia Britannica Inc' menyimpulkan penemuan terbesar itu pada
halaman 155 dengan kalimat :

'Nothing is modern discovery has more vividly and suddenly brought
the ancient world home to the world of today than the finding of the
actual bodies, the very flesh and blood of the Pharaos marvellously
preserved to us by the embalmers's venerable art. The discovery has
bredged the chasm between the ancient and the new as a midnight flash
of lighting from the clouds to the earth.'

Tiada suatuoun didalam penemuan baru yang lebih menggemparkan dan
mendadak membawa dunia kuno kepada dunia sekarang ini daripada
penemuan jenasah yang sesungguhnya dari pharaoh-pharaoh dalam bentuk
daging dan darah, yang dipersiapkan untuk kita secara menakjubkan
sekali oleh kepintaran luar biasa dari ahli rempah-rempah yang
membalutnya.
Penemuan itu telah menutup jurang antara masa purba dengan masa baru
bagai pancaran kilat malam hari dari balik mendung keatas bumi.

Buku sejarah yang terpandang karya terbesar dunia itu telah
memperdengarkan sambutan demikian hangat dan kagum akan penemuan itu,
yang berarti secara sadar atau tidak telah menyambut demikian hangat
dan kagum akan kebenaran sebuah wahyu Ilahi dalam Al-Qur'an.

B. Kisah Romawi

Pernyataan tentang kekalahan pasukan Romawi oleh pasukan Persia yang
terdapat dalam permulaan Surah Ar-Rum.

Pada tahun 325, raja Konstantin memeluk agama Kristen, dan menjadikan
agama ini sebagai agama negara yang resmi (Awal dari terbentuknya
konsili Nicea yang mengesahkan Trinitas). Secara spontan, rakyat
Romawipunbanyak yang memeluk agama tersebut, sementara itu kekaisaran
Persia, penyembah matahari, menolak untuk memeluk agama tersebut.

Adapun raja yang memegang tampuk kekaisaran Romawi pada akhir abad
ke-7 M adalah Maurice, seorang raja yang kurang memperhatikan masalah
kenegaraan dan politik. Oleh karenanya angkatan bersenjatanya pun
kemudian mengadakan kudeta dibawah pimpinan panglimanya yang bernama
Pochas.

Setelah mengadakan kudeta, Pochas naik tahta dan menghukum keluarga
raja dengan cara yang kejam. Serta mengirim seorang duta ke Persia,
yang pada waktu itu dipegang oleh Kisra Chorus II, putra Kisra Anu
Syirwan yang adil.

Pada waktu Kisra tahu kejadian kudeta di Romawi, Kisra sangat marah
karena Kisra pernah berhutang budi pada Maurice yang sekaligus juga
mertuanya itu. Kemudian Kisra memerintahkan untuk memenjarakan duta
besar Romawi, serta menyatakan tidak mengakui pemerintahan Romawi
yang baru.

Akhirnya Kisra Chorus melancarkan peperangan terhadap Romawi.
Angkatan perangnya merayap melintasi sungai Euphrat menuju Syam.
Dalam serangan ini Pochas tidak dapat mempertahankan diri terhadap
angkatan perang Persia yang telah menguasai kota Antiochia dan El
Quds.

Sementara itu penguasa Romawi didaerah jajahan Afrika juga
mengirimkan pasukan besar dibawah pimpinan puteranya, yaitu
Heraklius. Bertolaklah pasukan tersebut dengan diam-diam melalui
jalan laut, sehingga Pochas tidak tahu kedatangan mereka. Tanpa
menghadapi perlawanan sama sekali, Heraklius akhirnya berhasil
menguasai kekaisaran dan membunuh Pochas.

Walaupun Heraklius berhasil menguasai kekaisaran dan membunuh Pochas,
namun Heraklius tidak berhasil menahan badai pasukan Persia. Sehingga
Romawi kehilangan daerah jajahannya dan tinggallah kekaisaran Romawi
di ibukota saja. Penduduk yang tinggal di ibukota penuh diliputi rasa
kekhawatiran akan serangan pasukan Persia yang akan memasuki ibukota.

Setelah berlangsung peperangan selama enam tahun, kaisar Persia mau
mengadakan perdamaian dengan Heraklius tetapi dengan satu syarat,
Heraklius harus menyerahkan seribu talent emas, seribu talent perak,
seribu pakaian dari sutera, seribu kuda dan seribu gadis perawan
kepada Kisra.

Sementara pada ibukota Persia dan Romawi terjadi peristiwa tersebut,
maka pada bangsa dipusat ibukota Jazirah Arabia, yaitu di Mekkah
Almukarromah, terjadi pula hal yang serupa. Dikota tersebut terdapat
orang-orang Majusi Persia, penyembah matahari dan api, dan
orang-orang Romawi yang beriman kepada ajaran Isa (walau sudah
diselewengkan).

Orang Islam dan orang-orang Romawi mengharapkan kemenangan mereka
atas orang-orang kafir dan musyrikin, sebagaimana halnya mereka
mengharapkan kekalahan orang-orang kafir Mekkah dan orang Persia,
sebab mereka merupakan penyembah benda-benda materi. Sementara
orang-orang Nasrani, meskipun sebagian dari mereka sudah menyimpang
dari ajaran Isa Putra Maryam adalah merupakan saudara dan sahabat
terdekat kaum Muslimin.

"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya
terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang
yang berkata:"Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu
disebabkan karena diantara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat
pendeta-pendeta dan rabib-rabib, (juga) karena sesungguhnya mereka
tidak menyombongkan diri."
(QS. 5:82)

Dengan demikian, pertarungan yang terjadi antara orang-orang Persia
dan Romawi menjadi lambang luar pertarungan antara orang-orang Islam
dan musuh-musuhnya di Mekkah. Maka pada waktu Persia berhasil
mengalahkan orang-orang Romawi pada tahun 616 dan berhasil menguasai
seluruh wilayah sebelah Timur negara Romawi, orang-orang Musyrikin
pun mendapat kesempatan untuk menghina kaum Muslimin dengan
mengatakan : 'Saudara kami berhasil mengalahkan saudara kamu.
Demikian pula yang akan kami lakukan kepadamu jika kamu tidak mau
mengikuti kami, meninggalkan agama kamu yang baru (Islam).'

Dalam keadaan yang menyakitkan itu, kaum Muslimin Mekkah sedang dalam
kondisi yang paling lemah dan buruk dalam segi materi, sampai
kemudian turun wahyu Allah kepada Nabi Besar Muhammad Saw :

"Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang
terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam
beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah
(mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu
bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia
menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. (sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari
Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui."
(QS. 30:1-6)

Sungguh turunnya wahyu ini kepada Nabi Saw merupakan suatu ujian
mental dan Spiritual bagi semua sahabat-sahabat beliau. Jika apa yang
dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw ini tidak terbukti, maka sudah bisa
diramalkan akan kehancuran kepercayaan mereka terhadap diri orang
yang selama ini mereka percayai dan mereka kasihi.

Beberapa tahun kemudian, Heraklius membuat suatu rencana yang luar
biasa untuk mengalahkan Persia. Heraklius tahu bahwa kekuatan
angkatan laut Persia sangat lemah, oleh karena itu dia menyiapkan
kapal-kapal untuk menyerang Persia dari belakang. Dia bertolak
bersama-sama dengan sisa-sisa pasukannya lewat Laut Hitam ke Armenia,
dan melakukan serangan kilat terhadap pasukan Persia. Menghadapi
serangan mendadak itu, pasukan Persia tidak mampu bertahan dan lari
bercerai berai.

Di Asia kecil, Persia memiliki pasukan yang besar.
Tetapi Heraklius menyerangnya dengan tiba-tiba dengan kapal-kapal
perangnya, dan berhasil menghancurkan pasukan Persia. Setelah
memperoleh kemenangan yang besar itu, kembalilah Heraklius keibukota
Konstantinopel lewat jalan laut.

Setelah dua peperangan diatas, Heraklius melakukan peperangan yang
lain melawan Persia pada tahun 623, 624 dan 625. Akibat peperangan
tersebut, pasukan Persia terpaksa menarik diri dari seluruh tanah
Romawi, dan Heraklius berada pada pusat yang memungkinkan baginya
untuk menembus kejantung kekaisaran Persia. Akhirnya perang yang
terakhir terjadi pada bulan Desember 627 disepanjang sungai Dajlah.

Pada waktu Kisra Chorus tidak dapat menahan arus tentara Romawi, ia
melarikan diri dari istananya, tetapi kemudian ditahan oleh puteranya
'Siroes' dan dimasukkan kedalam penjara. Puteranya ini membunuh 18
orang saudara-saudaranya yang lain didepan mata sang ayah, Kisra
Chorus. Pada hari kelima, Kisra meninggal dunia dalam penjara.

Selanjutnya Siroes pun terbunuh oleh salah seorang saudara kandungnya
sendiri yang masih hidup. Maka mulailah pembunuhan-pembunuhan
dilingkungan istana. Dalam masa 4 tahun, sudah 9 raja yang memegang
tampuk pemerintahan. Dalam situasi yang demikian buruk ini, jelas
Persia tidak mungkin dapat melanjutkan peperangannya melawan kerajaan
Romawi.

Maka akhirnya Kavadh II, salah seorang putera kisra Chorus yang masih
hidup, meminta damai dan mengusulkan pengunduran diri pasukan Persia
dari tanah Romawi. Pada bulan Maret tahun 628 M, Heraklius kembali
kekonstantinopel dengan pesta besar-besaran.

Umat Islampun yang mendengar kemenangan saudara-saudaranya para
orang-orang Romawi ini melakukan tasbih dan syukur kepada Allah Swt.
Semakin mendalamlah keyakinan dan kesetiaan mereka kepada Rasulullah
Saw.

Edward Gibbon memperkecil arti ramalan Al-Qur'an dengan
menghubungkannya dengan surat yang dikirim oleh Rasulullah Muhammad
Saw kepada Kisra Choros II.

Tetapi hal ini terbantahkan dengan melihat waktu turunnya ayat
tersebut kepada Nabi Muhammad Saw dan umatnya.
Surat dari Nabi Saw tersebut dikirim pada tahu ke-7 H, setelah
perdamaian Hudaibiah, atau pada tahun 628 M.
Sementara Qur'an Surah Ar-Ruum ayat 1-6 yang memuat ramalan tersebut
turun pada tahun 616 M, lama sebelum terjadinya Hijrah Nabi dan
sahabat-sahabatnya. Jadi antara kedua peristiwa itu terdapat jarak 12
tahun.