Mayoritas Tidak Memahami Makna Laa Ilaaha Illallah

Mayoritas kaum muslimin sekarang ini yang telah bersaksi Laa Ilaaha Illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) tidak memahami makna Laa Ilaaha Illallah dengan baik, bahkan barangkali mereka memahami maknanya dengan pemahaman yang terbalik sama sekali. Saya akan memberikan suatu contoh untuk hal itu : Sebagian di antara mereka (Dia adalah Syaikh Muhammad Al-Hasyimi, salah seorang tokoh sufi dari thariqah Asy-Syadziliyyah di Suriah kira-kira 50 tahun yang lalu) menulis suatu risalah tentang makna Laa Ilaaha Illallah, dan menafsirkan dengan "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah" !! Orang-orang musyrik pun memahami makna seperti itu, tetapi keimanan mereka terhadap makna tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?' Tentu mereka akan menjawab : 'Allah'. " [Luqman : 25].
Orang-orang musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah dan sekutu-sekutu dalam beribadah kepada-Nya. Mereka beriman bahwa Rabb (pengatur dan pencipta) adalah satu (esa), tetapi mereka meyakini bahwa sesembahan itu banyak. Oleh karena itu, Allah membantah keyakinan ini yang disebut dengan ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah melalui firman-Nya :
"Artinya :Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata) : 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'". [Az-Zumar : 3].
Kaum musyrikin dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa Ilaaha Illallah mengharuskannya untuk berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, menafsirkan kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah ini dengan : "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah". Padahal apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan dia beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik adalah sama secara aqidah, meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena dia mengucapkan lafazh Laa Ilaaha Illallah, sehingga dengan ungkapan ini dia adalah seorang muslim secara lafazh dan secara lahir. Dan ini termasuk kewajiban kita semua sebagai da'i Islam untuk menda'wahkan tauhid dan menegakkan hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dimana mereka terjerumus kepada apa-apa yang menyalahi Laa Ilaaha Illallah. Berbeda dengan orang-orang musyrik, karena dia enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, sehingga dia bukanlah seorang muslim secara lahir maupun batin. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, mereka orang-orang muslim, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala". ]Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhum]
Oleh karena itu, saya mengatakan suatu ucapan yang jarang terlontar dariku, yaitu : Sesungguhnya kenyataan mayoritas kaum muslimin sekarang ini adalah lebih buruk daripada keadaan orang Arab secara umum pada masa jahiliyah yang pertama, dari sisi kesalahpahaman terhadap makan kalimat tahyyibah ini, karena orang-orang musyrik Arab dahulu memahami makna Laa Ilaaha Illallah, tetapi mereka tidak mengimaninya. Sedangkan mayoritas kaum muslimin sekarang ini mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini, mereka mengucapkan : 'Laa Ilaaha Illallah' tetapi mereka tidak mengimani -dengan sebenarnya- maknanya. (Mereka menyembah kubur, menyembelih kurban untuk selain Allah, berdo'a kepada orang-orang yang telah mati, ini adalah kenyataan dan hakikat dari apa-apa yang diyakini oleh orang-orang syi'ah rafidhah, shufiyah, dan para pengikut thariqah lainnya. berhaji ke tempat pekuburan dan tempat kesyirikan dan thawaf di sekitarnya serta beristighatsah (meminta tolong) kepada orang-orang shalih dan bersumpah dengan (nama) orang-orang shalih adalah merupakan keyakinan-keyakinan yang mereka pegang dengan kuat).

Oleh karena itu, saya meyakini bahwa kewajiban pertama atas da'i kaum muslimin yang sebenarnya adalah agar mereka menyeru seputar kalimat tauhid ini dan menjelaskan maknanya secara ringkas. Kemudian dengan merinci konsekuensi-kosekuensi kalimat thayyibah ini dengan mengikhlaskan ibadah dan semua macamnya untuk Allah, karena ketika Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan kaum musyrikin, yaitu :
"Artinya : Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". [Az-Zumar : 3]
Allah menjadikan setiap ibadah yang ditujukan bagi selain Allah sebagai kekufuran terhadap kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah.

Oleh karena itu, pada hari ini saya berkata bahwa tidak ada faedahnya sama sekali upaya mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin dalam satu wadah, kemudian membiarkan mereka dalam kesesatan mereka tanpa memahami kalimat thayyibah ini, yang demikian ini tidak bermanfaat bagi mereka di dunia apalagi di akhirat !.

Kami mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Barangsiapa mati dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah mengharamkan badannya dari Neraka" dalam riwayat lain : "Maka dia akan masuk Surga". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4) dalam Zawa'id dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (3355)].
Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab terlebih dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya tempat kembalinya adalah Surga.

Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali apabila :
Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.
Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.
"Artinya : Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...." [Al-Baqarah : 146 & Al-An'am : 20]
Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun ! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma'rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa' ala berfirman dalam Al-Qur'an :
"Artinya : Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad : 19].
Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits-hadits yang telah saya sebutkan tadi, diantaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :
"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]
Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar tertancap kokoh di benak kita.

Bisa jadi, dari tidak melakukan konsekuensi-konsekuensi kalimat thayyibah ini berupa penyempurnaan dangan amal shalih dan meninggalkan segala maksiat, akan tetapi dia selamat dari syirik besar dan dia telah menunaikan apa-apa yang dituntut dan diharuskan oleh syarat-syarat iman berupa amal-amal hati -dan amal-amal zhahir/lahir, menurut ijtihad sebagian ahli ilmu, dalam hal ini terdapat perincian yang bukan disini tempat untuk membahasnya- (Ini adalah aqidah Salafus Shalih, dan ini merupakan batas pemisah kita dengan khawarij dan murji'ah). Da dia berada dibawah kehendak Allah, bisa jadi dia masuk ke Neraka terlebih dahulu sebagai balasan dari kemaksiatan-kemaksiatan yang dia lakukan atau kewajiban-kewajiban yang ia lalaikan, kemudian kalimat thayyibah ini menyelamtkan dia atau Allah memaafkannya dengan karunia dan kemuliaan-Nya. Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu :

Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka ucapannya ini akan memberi manfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]
Adapun orang yang mengucapkan dengan lisannya tetapi tidak memahami maknanya, atau memahami maknanya tetapi tidak mengimani makna tersebut, maka ucapan Laa Ilaaha Illaallah-nya tidak memberinya manfaat di akhirat, meskipun di dunia ucapan tersebut masih bermanfaat apabila ia hidup di bawah naungan hukum Islam.

Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memfokuskan da'wah tauhid kepada semua lapisan masyarakat atau kelompok Islam yang sedang berusaha secara hakiki dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang diserukan oleh seluruh atau kebanyakan kelompok-kelompok Islam, yaitu merealisasikan masyarakat yang Islami dan mendirikan negara Islam yang menegakkan hukum Islam di seluruh pelosok bumi manapun yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan.

Kelompok-kelompok tersebut tidak mungkin merealisasikan tujuan yang telah mereka sepakati dan mereka usahakan dengan sungguh-sungguh, kecuali memulainya dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar tujuan tersebut bisa menjadi kenyataan.

Membaca Al-Qur'an Bagi Wanita Haid

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami pernah mendengar fatwa Anda yang menyatakan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita haid adalah tidak membaca Al-Qur'an kecuali untuk suatu kebutuhan, mengapa tidak membaca Al-Qur'an yang lebih utama, sementara dalil-dalil yang ada menunjukkan hal yang bertentangan dengan yang Anda katakan ?

Jawaban

Saya tidak tahu yang dimaksud oleh penanya, apakah ia menginginkan dalil-dalil yang dijadikan alasan oleh yang melarangnya ataukah penanya ini mnginginkan dalil-dalil yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Qur'an, tapi yang perlu saya sampaikan di sini adalah bahwa ada beberapa hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
"Artinya : Wanita haidh tidak boleh membaca suatu apapun dari Al-Qur'an".
Akan tetapi hadits-hadits seperti ini yang menyatakan larangan bagi wanita haidh untuk membaca Al-Qur'an bukan hadits-hadits shahih, jikahadits-hadits tersebut bukan hadits-hadits shahih, maka hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boleh melarang wanita haidh membaca Al-Qur'an hanya berdasarkan hadits-hadits yang tidak shahih ini, tapi adanya hadits-hadits seperti ini menjadikan adanya syubhat, maka berdasarkan inilah kami katakan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita haidh adalah tidak membaca Al-Qur'an kecuali jika hal itu dibutuhkan, seperti seorang guru wanita atau seorang pelajar putri atau situasi-situasi lain yang serupa dengan guru dan pelajar itu.
[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 2/278]

Membesar-besarkan Kesalahan Ulama


Pertanyaan.
“Membesar-besarkan kesalahan ulama adalah merupakan kebiasaan banyak para pemuda. Bagaimana Syaikh dapat memberikan pengarahan dalam sisi ini?”

Jawaban.
Saya Katakan: “Saya Memohon Kepada Allah Ta’ala Agar Menolong Ulama Kita Atas Apa Yang Mereka Peroleh Melalui Mulut-Mulut Orang Bodoh, karena ulama telah mengalami banyak hal.”

Pertama.
Kita mendengarkan apa yang disandarkan kepada sebagian ulama yang terpandang, kemudian setelah kita menelitinya ternyata persoalannya berbeda dengan hal itu. Seringkali dikatakan: Si-Fulan mengatakan begini. Namun setelah kita mengeceknya, kita menemukan perkaranya tidaklah demikian, dan ini merupakan kejahatan yang sangat besar. Bila Rasulullah bersabda:

“Sesusungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama siapapun.”

[Bagian yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari no.1291 dalam kitab Al-Janaaiz bab Ma Yukrahu Min An-Niyahah ‘Alal Mayyit, dan Muslim no.2154,2155,2156 dalam Kitab Al-Janaaiz bab Al-Mayyit Yu’azdzabu Bi Buka’I Ahlihi ‘Alahi dari Hadist Al-Mughirah bin Syu’bah]

Atau yang semakna dengan ini, maka berdusta atas nama ulama dalam perkara yang berkaitan dengan syariat Allah Ta’ala tidaklah sama dengan berdusta atas seseorang dari kalangan manusia biasa, karena hal ini mengandung hukum syar’i yang disandarkan kepada sang alim yang dipercaya ini.

Oleh karena itu, semakin banyak kepercayaan manusia terhadap seorang alim itu maka kedustaan atasnya dalam perkara-perkara ini juga akan semakin banyak dan juga berbahaya ; karena jika anda katakan pada orang awam: “Si-Fulan mengatakan begini”, maka ia tidak akan menyambut anda. Namun jika anda mengatakan: “Si Fulan –dari orang yang ia percayai- mengatakan begini”, ia langsung menyambut ucapan anda. Oleh karena itu, anda akan menemukan sebagian orang yang memiliki pendapat atau pemikiran yang ia pandang benar, dan berusaha agar dipegangi orang banyak, namun ia tidak menemukan jalan selain berdusta atas nama salah seorang ulama yang dipercayai, maka ia mengatakan: “Ini adalah pendapat Syaikh Fulan.” Masalah ini sangat berbahaya, dan hal itu bukan saja jarh terhadap sang alim secara pribadi, akan tetapi ia berkaitan dengan salah satu hukum dari hukum-hukum Allah.

Kedua.
Membesar-besarkan kesalahan sebagaimana saya katakan, dan ini juga sebuah kesalahan, dan melampaui batas. Karena seorang alim adalah manusia yang bisa salah dan benar, akan tetapi jika sang alim itu melakukan kesalahan maka wajib atas kita menghubungi dan menyampaikan padanya: “Apakah anda mengatakan demikian?” Jika mengatakan: “Ya” sementara kita memandang bahwa itu salah, maka kita tanyakan padanya: “Apakah anda mempunyai dalil?” sehingga jika kita telah berdiskusi dengannya maka akan jelaslah yang haq. Dan setiap alim yang munshif (bersikap pertengahan-pen) lagi takut kepada Allah Ta’ala pasti alan merujuk kepada yang haq dan akan mengumumkan rujuknya itu. Makanya membesar-besarkan kesalahan seorang alim lalu menyebutkan keadaannya yang paling buruk, jelas merupakan kebencian kepada terhadap saudara muslim anda, dan permusuhan hingga terhadap syariat, jika boleh saya katakanan. Karena manusia bila telah mempercayai seseorang kemudian kepercayaannya diguncang, maka kepada siapa mereka akan menuju? Apakah mereka akan dibiarkan kebingungan tanpa ada yang membimbing dengan syariat Allah? Atau dibiarkan mendatangi orang jahil yang akan menyesatkan dari jalan Allah (walaupun) tanpa disengaja? Atau mereka dibiarkan mendatangi ulama suu (jahat) yang menghalangi mereka dari jalan Allah dengan sengaja?

[Kitab “ Ash-Shahwah Al-Islamiyah ” Edisi Indonesia “ Panduan Kebangkitan Islam ” Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin BAB VII “Perbedaan Pendapat (Khilaf) di Kalangan Ulama, Menuduh dan Merendahkan Para Dai. Hal. 239-241 Darul Haq].

MENDAPATKAN HAID BEBERAPA SAAT SETELAH MASUK WAKTU SHALAT, WAJIBKAH MENGQADHA SHALAT TERSEBUT SETELAH SUCI

Pertanyaan
Jika seorang wanita mendapatkan haid jam satu siang umpamanya, saat itu ia belum melaksanakan shalat Zhuhur, apakah duharuskan baginya untuk mengqadha shalat Zhuhur itu pada saat habis masa haidnya ?

Jawaban
Ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak diharuskan baginya untuk mengqadha shalat Zhuhur itu, karena ia tidak berbuat kelalaian dan juga tidak berdosa sebab memang dibolehkan baginya untuk menunda shalat Zhuhur itu hingga akhir waktu shalat. Ada juga yang berpendapat bahwa ia harus mengqadha shalat Zhuhur itu berdasarkan ungkapan yang bersifat umum pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi.
"Artinya : Barangsiapa yang dapat melaksanakan satu rakaat dari suatu shalat maka berarti ia telah medapatkan shalat itu".
Untuk berhati-hati maka yang lebih baik baginya adalah mengqadha shalat tersebut, karena yang perlu diqadha adalah satu shalat itu saja, yang tidak akan menyulitkannya.

Mendapatkan Kesucian Sebelum Habisnya Waktu Shalat

Pertanyaan.
Apakah hukumnya jika seorang wanita mendapatkan haidh beberapa saat setelah masuknya waktu shalat, apakh wajib baginya untuk mengqadha shalat itu pada saat suci, begitu juga jika seorang wanita mendapatkan kesuciannya beberapa saat sebelum habisnya waktu shalat, wajibkah ia melaksanakan shalat itu ?

Jawaban
Pertama : Jika seorang wanita mendapatkan haidh beberapa saat setelah masuknya waktu shalat dan ia belum melaksanakan shalat itu sebelum datangnya haid maka wajib baginya untuk mengqadha shalat itu jika ia telah suci, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa yang dapat melakukan satu rakaat dari suatu shalat maka berarti ia telah mendapatkan shalat itu".
Dan jika seorang wanita telah memasuki waktu shalat sekedar satu rakaat, kemudian ia mendapatkan haidh sebelum melakukan shalat itu maka diharuskan baginya untuk mengqadha shalat itu jika ia telah suci.

Kedua : Jika ia mendapatkan kesuciannya dari haidh beberapa saat sebelum habisnya waktu shalat, maka wajib baginya untuk mengqadha shalat itu, walaupun ia mendapatkan kesuciannya bebeara saat sebelum terbitnya matahari sekadar waktu yang cukup untuk satu rakaat, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Shubuh. Begitu pula jika ia mendapatkan kesuciannya beberapa saat sebelum terbenamnya matahari sekadar waktu yang cukup untuk satu rakaat maka wajib baginya untuk shalat Ashar. Jika ia mendapatkan kesuciannnya sebelum pertengahan malam sekadar waktu yang cukup untuk satu rakaat maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Isya. Jika ia mendapatkan kesuciannya beberapa saat sesudah pertengahan malam maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Isya dan diwajibkan baginya untuk melaksanakan shalat Shubuh jika telah datang waktu shalat Shubuh, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". [An-Nisa' : 103-104]
Yakni, shalat yang wajib itu ditentukan oleh waktu yang terbatas, yang mana tidak boleh baginya untuk melakasanakan shalat jika telah habis waktunya, juga tidak boleh melaksanakan shalat sebelum tiba waktunya.

Nasehat Dalam Menghadapi Ikhtilaf



(1)Pertanyaan:
Apakah batasan-batasan atau kriteria dalam suatu ikhtilaf (perbedaan pendapat) sehingga dikatakan bahwa ikhtilaf itu tidak menyebabkan pelakunya keluar dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamaah

Jawaban:
Ikhtilaf yang tidak mengeluarkan pelakunya dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah ikhtilaf dalam masalah-masalah furu, masalah-masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu inilah yang masih bisa ditoleransi atau diperbolehkan. Akan tetapi ikhtilaf yang ada diantara Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak boleh disertai dengan adanya rasa saling bermusuhan (saling menjauhi) diantara mereka, bahkan mereka harus tetap menjaga rasa saling mencintai dan menyayangi.
Hal ini sebagaimana terjadi di kalangan shahabat radhiallaahuanhum, dimana mereka berselisih dalam beberapa masalah tapi bersamaan dengan itu, mereka
radhiallaahu anhum tidak saling bermusuhan satu sama lain dengan sebab ikhtilaf tersebut. Setiap shahabat berpegang dengan ijtihadnya (pendapat) masing-masing. Mereka radhiallaahu anhum mengetahui bahwa orang yang benar dalam ijtihadnya akan mendapat 2 pahala sedangkan orang yang salah dalam berijtihad hanya mendapat 1 pahala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang artinya:

Apabila seorang hakim berijtihad dan dia benar dalam ijtihadnya maka baginya 2 pahala, dan jika dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka baginya 1 pahala

(2). Pertanyaan:
Fadhilatus Syaikh,bagaimanakah sikap kita terhadap perselisihan yang terjadi antara ikhwah salafiyyin -khususnya- perselisihan yang terjadi di Indonesia?

Jawaban:
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam serta keberkahan semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya sampai hari kiaman, amma badu:

Sesungguhnya kewajiban seorang muslim adalah:
1. Mengetahui al-haq dan membelanya, inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah (keilmuan) ataupun masalah amaliyah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnya

Kewajiban seorang muslim -khususnya penuntut ilmu-, yang pertama adalah mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya, maka apabila terjadi perselisihan dalam suatu masalah, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu syari yang bermanfaat untuk mengetahui yang haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu dalam masalah-masalah ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.

2. Apabila perselisihan itu terjadi diantara ahlus sunnah, maka wajib baginya untuk bersabar terhadap ikhwan yang lain, serta tidak melakukan tindakan yang memecah belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, tapi jika perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentunya setiap mereka menginginkan yang haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam menghadapi ikhwan yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah,
wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban yang pertama adalah mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada?

3. Kemudian dia menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat diatas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah:
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat maruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia (An-Nisaa:114)
Maka kewajiban seorang muslim adalah untuk menjadi terwujudnya sebab perdamaian dan kunci kebaikan

4. Tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil/menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.

5. Bersikap wasath (netral) antara ahli ghuluw (berlebih-lebihan) yang menghitung (membesar-besarkan) setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak, bahkan mungkin menganggapnya sebagai ahlul bidah atau mengkafirkannya, dan dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/meremehkan), yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini adalah mudahanah, tapi maksudnya adalah untuk mendekatkan sudut pandang antara ikhwah di atas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka terhadap ikhwah

6. Jika dia menjauhkan diri dari perselisihan yang terjadi karena dia memandang dalam perselisihan itu terdapat fitnah dan kejelekan, maka sikap ini lebih baik, dan usaha dia adalah hanya untuk mendamaikan, bukan malah menjadi pemicu perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan

7. Jika dia melihat yang al-haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah di berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, karena inilah sikap seorang muslim. Adapun perselisihan yang terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya- adalah perselisihan antara ikhwah dalam masalah-masalah -yang kita anggap insya Allah- setiap pihak yang berselisih menginginkan yang haq, khususnya mereka itu termasuk Ahlus Sunnah, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik
untuk mendapatkannya, sebagaimana tidak setiap kesalahan itu disengaja. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan, maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.

Tidaklah pantas sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita terhadap Ahlul Bidah yang menyeleweng dalam masalah aqidah dan yang lainnya, karena Ahlus Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi terkadang berbeda sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri serta berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan dirinya agar tidak menjadi sebab bertambahnya perselisihan, bahkan seharusnya dia menjadi sebab terjadinya penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia bersikap seperti itu, maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kepada Allah agar memberikan taufiq pada semua ....


(3). Pertanyaan:
"Fadilatus Syaikh,...kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith (batasan-batasan) perselisihan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah: perselisihan yang tidak mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup ahlus sunnah..?

Jawaban:
"Perkara yang diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah: permasalahan yang diperselisihkan oleh ahlus sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam masalah-masalah yang ma'lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan salafus shalih dalam masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah "apakah ahlul mahsyar (pada hari kiamat) melihat Rabb atau tidak?", apakah yang melihat Rabb itu kaum
muminin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar
semuanya? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini
adalah perselisihan antara ahlus sunnah yang tidak mengakibatkan orang yang berselisih dihukumi sebagai ahlul bid'ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh salaf, seperti perselisihan mereka tentang "hukum orang yang meninggalkan shalat", juga perselisihan mereka tentang "kafir tidaknya orang yang meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya" dan perselisihan mereka tentang "orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia meninggalkan salah satunya karena malas", semua permasalahan ini menjadi perselisihan dikalangan ulama ahlus sunnah, maka orang yang berpendapat dengan salah satu pendapat mereka tidaklah dihukumi sebagai ahlul bid'ah, walaupun kita yakin bahwa al-haq itu berada pada salah satu pendapat dari para ahli ijtihad, karena al-haq itu tidak mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur
(ma'af) pada ikhwah kita yang berpendapat dengan pendapat yang ada pendahulunya dari salaf, inilah batasan perselisihan yang diperbolehkan

Adapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tidak mengetahui al-haq dalam banyak masalah, terkadang ada sebagian ahlus sunnah atau yang menisbatkan dirinya kepada sunnah berpendapat dengan sebagian pendapat ahlul bid'ah. Maka orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia termasuk ahlus sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama salaf, mencintai ahlus sunnah dan ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan dia. Disini terkadang kita
bisa mensifatinya dengan "kurang ilmu", tapi tidak mengeluarkan dia dari ahlus sunnah, karena yang namanya kesempurnaan adalah kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba'ah. Mereka menginginkan yang haq tapi terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai dengan sebagian pendapat ahlul bid'ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka adalah menyepakati ahlul bid'ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah yang benar. Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya kekurangan dalam ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai ahlul bid'ah, karena mereka menginginkan yang haq tapi salah dalam memahami nash
Kaidah dalam masalah ini adalah bahwa setiap orang yang berijtihad berdasarkan pokok-pokok (tata cara) ijtihad ahlus sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tersebut dima'afkan -insya Allah, dan tidak boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bidah, karena sebagaimana kalian ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati sebagian pendapat ahlul bidah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asyariyyah dalam beberapa penakwilan-penakwilan
mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka ini
bersesuaian dengan ahlul bidah di dalam perkataan-perkataan mereka, tapi mereka tidak dinisbatkan kepada bidah, karena mereka pada dasarnya diatas pokok-pokok aqidah ahlus sunnah.

Orang yang hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup di negara yang jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yang betul-betul fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan oleh ahlus sunnah, tapi jika mereka termasuk ahlus sunnah, maka kita berikan udzur (maaf) dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele atau ringan, tapi karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah hasil dari ijtihadnya. Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar kembali pada para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan perselisihan.


(4). Pertanyaan:
Fadhilatus Syaikh, mohon Anda jelaskan contoh dari hal-hal yang menyebabkan dan menambah perpecahan dan hal-hal yang menyebabkan ishlah (perdamaian)!

Jawaban : Hal-hal yang menambah perpecahan adalah :
1.Taashub (fanatik) yang tercela, yaitu fanatik sebagian orang terhadap golongan tertentu karena mengikuti hawa nafsu, baik itu karena fanatik tercela yang disebabkan oleh kafanatikan terhadap ras atau golongan atau kepentingan dunia atau karena benci pada pihak yang menyelisihinya, inilah fanatik yang menambah perpecahan


2.Oleh karena itulah, maka wajib atas penuntut ilmu untuk mengikhlaskan amalannya semata-mata karena Allah dan tidak memandang manusia karena status dan kedudukannya yang akhirnya dia mengukur kebenaran dengan figur/tokoh tertentu, padahal justru kebenaran itulah yang menjadi ukuran untuk menilai kedudukan seseorang. Semestinya dia harus membela kebenaran dan orang yang berada diatasnya meskipun orang itu kecil atau rendah derajatnya, dan semestinya harus pula dia mencegah orang dzalim dari kedzolimannya walaupun mulia dan tinggi kedudukannya

3.Menukil perkataan dan menyebarluaskannya. Menukil perkataan diantara manusia khususnya dalam perselisihan merupakan hal yang menambah perpecahan, kalian tentunya tahu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenci qilla wa qoola, banyak bertanya dan membuang-buang harta Qilla wa qoola adalah banyak menukil perkataan antar manusia: Kata Fulan begini, kata Fulan begitu, Fulan dikatakan begini, Fulan dikatakan begitu.. sehingga diapun menyibukkan waktu-waktunya dengan perkataan
ini. Maka inilah diantara sebab yang paling besar yang menyebabkan kerasnya hati, menimlbulkan hasad, dengki, permusuhan antara ikhwah dan menambah perpecahan.

Maka kewajiban penuntut ilmu adalah menjaga lisannya, tidak memperbanyak menukil perkataan, tidak pula memperbanyak pembicaraan yang tidak ada manfaatnya, dan sikap dia ketika tersebar masalah ini diantara ikhwah adalah menjauhinya dan mengatakan: Tidak layak kita disibukkan dengan hal ini tapi sibukkan diri kita dengan menuntut ilmu dan hal-hal yang bermanfaat, kecuali jika (menukil perkataan itu) ada maslahatnya untuk mendamaikan antara ikhwah, maka hal itu diperbolehkan.

4.Jahil (bodoh), yaitu bahwa sebagian mereka yang berselisih terkadang disebabkan oleh kejahilan, jahil terhadap yang haq atau jahil terhadap ahli haq. Jahil terhadap al-haq yaitu: tidak tahu dipihak mana kebenaran itu berada. Contohnya jika ada 2 golongan berselisih dalam masalah ilmiyah, kemudian datang orang yang tidak mengetahui al-haq dalam masalah yang diperselisihkan ini, sehingga diapun membela yang bathil. Inilah yang dapat menambah perpecahan dan perselisihan. Atau bisa jadi karena jahil terhadap ahlul haq (orang-orang yang mengikuti al-haq). Maksudnya, bahwa seseorang yang berilmu tahu al-haq dan tahu dalil-dalilnya, tapi dia tidak tahu keadaan Fulan, dan ini kadang terjadi pada para penuntut ilmu disebabkan karena mereka tidak tidak tahu apa yang terjadi di Indonesia, maka jika ada salah seorang penuntut ilmu yang mengatakan: Kata Fulan begini kata Fulan begitu.. tentunya seorang yang berilmu itu berbicara sesuai dengan berita yang disampaikan pada dia. Maka seharusnya bagi mereka yang menukil perselisihan antara manusia bersikap jujur dan
terpercaya dalam menukil, tidak boleh dia menukil hal yang tidak pernah diperbuat oleh orangnya tidak juga hal yang tidak pernah dikatakan oleh orang tersebut, tidak boleh pula dia mengambil konsekwensi perkataannya, haruslah dia menukil perselisihan itu sesuai dengan kenyataannya. Dan jahil (tidak mengetahui) terhadap ahlul-haq ini tidaklah menjatuhkan derajat ulama, tidak pula merendahkan harkat mereka, karena mereka tidak tahu apa sebenarnya yang sekarang terjadi di Indonesia -misalnya-, kecuali dari nukilan (sebagian penuntut ilmu) negara ini. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di negara tertentu , tapi datang sebagian penduduknya dan menukil perkataan: Kata Fulan begini,kata Fulan begitu tentunya orang alim itu berbicara sesuai dengan apa yang dia dengar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam : Sesungguhnya saya hanya memutuskan sesuai dengan apa yang saya dengar

Seorang hakim dan mufti menghukumi sesuai dengan apa yang dia dengar, maka
selayaknya jika kita menukil sebuah khilaf atau meminta fatwa, hendaknya kita menukil sesuai dengan kenyataan sehingga menghasilkan hukum yang benar, karena seorang alim bertugas untuk berijtihad dalam memutuskan suatu masalah ilmiyah tapi terkadang dia kurang tahu tentang keadaan manusia dan apa yang terjadi terhadap mereka, inilah sebagian dari sebab terjadinya perselisihan.

Adapun sebab-sebab perdamaian adalah :

1.Niat yang jujur dan benar untuk mendamaikan, Allah berfirman tentang dua orang penengah yang mendamaikan suami-istri yang berselisih:
Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu (An-Nisaa: 35), kalau dalam masalah mendamaikan suami istri saja Allah menjanjikan taufiq untuk mereka berdua, apalagi orang yang berusaha untuk mendamaikan antara kaum muslimin, tidak diragukan lagi dia akan diberi taufik -insya Allah-, apabila terpenuhi padanya niat jujur (benar), karena kejujuran niat itu merupakan salah satu sebab hilangnya perselisihan, sehingga diapun menjadi kunci kebaikan yang Allah mudahkan dengannya terjadi perdamaian

2.Doa untuk kebaikan ikhwah, yaitu mendoakan saudara-saudara kita dengan
mengikhlaskan niat dalam berdoa agar Allah mengangkat perselisihan, mendamaikan dan menyatukan hati mereka diatas kebaikan dan taqwa dan membimbing mereka dalam kebenaran

3.Menasehati pihak yang salah, kita katakan pada dia: Anda bersalah, maka kembalilah kepada al-haq, tapi ini bagi orang yang mampu melakukannya, adapun orang yang tak mempunyai kemampuan untuk menasehatinya maka tak ada kewajiban baginya

4.Menasehati pihak yang benar, yaitu agar bersabar, kita katakan pada mereka: Bersabarlah dan tahan diri kamu terhadap teman-temanmu (yang bersalah) karena merekapun ahlus sunnah, dan perselisihan mereka dengan kamu bukan berarti pula mereka membencimu, bukan berarti mereka tidak menginginkan al-haq, tapi mereka salah. Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun berselisih dalam banyak masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman mereka, tapi setiap mereka mengatakan pada temannya: Kami tidak merasa lebih dari kalian dalam iman dan taqwa, Ali bin Abi Thalib
radhiallaahu anhu adalah orang paling utama setelah kematian Utsman radhiallaahu anhu, beliau mengatakan: (Mereka) adalah saudara-saudara kita, kita tidak merasa melebihi mereka dalam iman dan taqwa padahal beliau adalah orang yang paling utama mudah-mudahan Allah meridhoinya-. Demikian pula Muawiyah radhiallaahu anhu, beliaupun mengakui keutamaan Ali radhiallaahu anhu dan mengatakan: Kami tidak memerangi beliau dalam perkara ini (khilafah) dan mengakui keutamaan beliau,
lihatlah !!! Bagaimana mereka berselisih dan menginginkan haq walaupun sudut pandang mereka berbeda dalam banyak masalah, tapi mereka tidak saling mencela satu sama lainnya, bahkan mereka mengakui bahwa saudaranya menginginkan al-haq dan berijtihad, inilah muamalah yang harus dilakukan terhadap saudara-saudara kita.

Nasehat Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly Tentang TAHDZIR

Pertanyaan :

“Berkaitan dengan pengikut ahli bid'ah, apakah pada mereka berlaku boikot (tahdzir) ?”

Jawaban:


Satu hal yang berlaku untuk mereka sebenarnya adalah mengajari mereka, ikhwah, jangan terburu-buru, ajari mereka, dan jelaskan kepada mereka, sebenarnya banyak diantara mereka yang menginginkan kebaikan, bahkan kaum sufi sekalipun, Demi Allah jika ada usaha kuat dari salafiyyin dalam berdakwah, kamu akan melihat mereka akan mengikuti salafiyyah baik berkelompok ataupun perorangan dengan demikian, jangan menjadikan prinsipmu hanya untuk mentahdzir...tahdzir..... tahdzir, sehingga pondasi (dakwah) mu hanyalah tahdzir !, pondasi yang sebenarnya adalah mengajak dan mengajarkan kaum ini kedalam kebenaran, persoalan tahdzir ini kadangkala telah disalahfahami, jika kamu mentahdzir semua orang, lantas siapakah yang akan mengikuti sunnah ?..

Tahdzir yang demikian sesungguhnya berlaku di zaman Imam Ahmad, ketika ummat ini penuh dengan salafiyyin, sehingga ketika Imam Ahmad berkata " demikian dan demikian" adalah ahlu bid'ah, pasti luruh lah setiap ahlu bid'ah. Namun sekarang salafiyyah bagaikan rambut putih pada lembu yang hitam. Pondasi yang paling utama untukmu ialah membimbing ummat manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan, berlemah lembut kepada manusia, Jika Allah berkehendak, jamaah salafiyyah akan terus bertambah, dan kalian akan dimenangkan diatas semua ummat ini.

Tetapi jika anda membusung-busungkan dada, dan menganggap semua orang telah tersesat, padahal kamu tidaklah memberikan nasihat atau apapun untuk menerangkan, inilah yang salah, ini berarti telah menutup pintu kebaikan dihadapan ummat. Begitulah keadaannya sehingga kalian semestinya tidak hanya bersama kebencian... dan kebencian.

Tahdzir.... andaikan kita memvonis tahdzir, namun tetaplah ada jalan kemungkinan ahlu bid'ah untuk kembali (bersama ahlu sunnah), dia terpaksa kembali, dia melihat dunia ini bersama salafiyyah, sehingga dia terpaksa harus kembali... sebagaimana sekarang, dia ingin kembali, tapi dia tidak melihat salafiyyah, akhirnya dia tetap bersama kaumnya... maka sadarilah akan hal ini...

Asas inilah seharusnya yang bersama kalian, sebagai sebuah dasar, yang semestinya menjadi pembimbing untuk ummat ini, mengajak mereka kepada sunnah dan menyelamatkan mereka dari kesesatan, inilah asas yang semestinya kalian miliki... dengan kesabaran, dibebani kedengkian(orang-orang), dan selanjutnya, setelah semua itu, hasil terakhirnya adalah penyelaran, Tapi andaikan sikap tahdzir ini menjadi yang terdepan.. maka ini adalah kesalahan...semoga Allah memberkati kalian...

Asas yang semestinya kalian miliki adalah untuk menyelamatkan ummat ini, Demi Allah, banyak sekali ummat yang memiliki kebaikan bersamanya, mereka
mendambakan kebaikan... saat kita lihat mereka di mesjid-mesjid... apakah yang mereka cari ? mereka mendambakan syurga, ikhwani fillah, mereka mengharapkan kebaikan.. maka hendaklah sebaiknya dakwahmu adalah dakwah yang hikmah, Demi Allah yang maha bijaksana dan maha penyayang. Jangan lebihkan dirimu diatas dirinya, karena jika kalian berbuat demikian, dia tak akan mengikutimu, dia tak akan mengharapkan kebaikan darimu, maka bijaklah dengannya, berlemah lembutlah dengannya, ajaklah dengan kearifan, dan jika Allah berkehendak, akan banyak orang yang mengikutimu....

Setiap orang di daerah India biasanya adalah orang yang menyimpang, penyembah kubur, lalu datanglah ahlu hadist dengan ilmu dan kearifan, dan memenangkan lebih dari satu juta orang berkat ilmu dan kearifannya, dengan tiga - empat orang dari murid Syaikh Nadheer Hasan, mereka telah membalikkan India 180 derajat. Sungguh salah satu diantara mereka telah diberi cobaan, seorang ahli bid'ah telah menyerangnya dengan kapak, sehingga dia tak sadarkan diri, dan orang ini menganggapnya telah meninggal, sehingga ramailah orang-orang datang, menangkap orang ini, dan mengadilinya...

Saat dia kembali sadarkan diri, dia bertanya pada orang-orang : " Mana orang yang telah mencelakai saya, kemana dia pergi ?", jawab mereka :" Ia telah kami penjarakan".. lalu dia berkata :" Jangan, lepaskan dia, saya telah mengampuninya".. tapi mereka menolaknya.. , akhirnya pergilah orang ini merawat sanak saudara orang terpenjara itu. Maka ketika orang itu telah bebas dari penjara, ia ikut bersama salafiyyah, padahal sebelumnya ia berada diantara para penjahat.. ..

Dahulu ada orang bernama Abul Mahjoob di daerah Sudan, dialah salah seorang yang telah menyebarkan manhaj salafiyyah di Sudan. Sebelumnya orang-orang Sudan telah menyerangnya, mengungkungnya dengan mengikat kakinya, lalu dilemparkan keluar mesjid, lalu seketika ia bangun, ia tertawa, dan tidak menampakkan kedengkian terhadap orang-orang itu, dan dia tidak membalas, atau yang selainnnya... dia hanya tersenyum dan tertawa.. bermula dari sinilah para masyaikhnya beralih ke dakwah salafiyyin...

Pada intinya, saya tidak mengharapkan kalian sampai mencapai tingkatan diatas, namun Ikhwani fillah, saya mengharapkan kalian memiliki ilmu dan kearifan, dan kesabaran, dan niat kebaikan bersama kalian, yakni mengarahkan ummat ini, semoga Allah merahmati kalian, dengan cara yang bijaksana, dan dengan lemah lembut, dan dengan kesabaran, (Insya Allah, ummat akan menerima dakwah kalian............. namun apabila kalian tidak punya apa-apa selain kebengisan dan kekejaman.. "sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu" ( Q.SAli Imran 159).

Inilah yang telah Allah firmankan kepada Rasulullah (alaihish shalatu wassalam) Ikwani fillah, semoga Allah merahmati kita, sebagian saudara-saudara kita telah terjangkit kekasaran seperti disebutkan, yang hanya mentahdzir orang-orang dari salafy, namun mereka tidak mengajak kepada salafy....inilah yang terjadi sekarang.

Maka bagi mereka yang berbuat demikian, sebaiknya bertaubat kepada Allah yang maha Kuat dan maha Agung, dan memperbaiki sikap mereka, dan hendaklah mereka menjadi da'i menuju Allah, yang maha Kuat dan maha Agung.. semoga Allah memberkati kalian.. seharusnyalah kalian bersama jalan ini... jangan lah prinsipmu hanya dengan tahdzir, tahdzir, bahkan mengundang-undangkan tahdzir... kecuali bersama tahdzir itu ada maslahat.. .

Jika kalian sekarang bersama zaman Imam Ahmad, pantas kalian melakukan itu.. tapi di zaman siapakah kalian sekarang ? Semoga Allah memberkati kalian, maka sungguh kesabaran dan ketekunan itu sangat penting.... semoga Allah merahmati kita, dan mengajak orang-orang mendekati kebaikan dan memasukkan mereka kedalamnya.....

Nasehat Syeikh Ali bin Hasan Al-Atsari

Kata Pengantar.

Artikel ini, diambil dari kata sambutan Syaikh Ali bin Hasan Al-Atsari, murid kepercayaan Syaikh Muhaddits Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, dalam acara Ad-Daurah asy-Syariyah fi al-Masa'il al-'Aqadiyah wa al-Manhajiyah, yang diselenggarakan di Ma'had Ali al-Irsyad Surabaya tanggal 15-18 Dzul Qa'dah 1421H, yang diprakarsai oleh Ustadz Abdur Rahman at-Tamimi dan Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dibantu oleh beberapa da'i salafi lainnya. Alhamdulillah acara daurah dihadiri dan dikuti oleh tidak kurang dari empat ratusan da'i salafi dan penuntut ilmu di Indonesia.

Kemudian, kata sambutan Syaikh Ali bin Hasan Al-Atsari sengaja kami salin ulang di mailing list assunnah dengan judul Nasehat, besar harapan kami mudah-mudahan bisa diambil manfaat dan faedahnya oleh kita semua.


Saya memuji kepada Allah Tabaraka wa Ta'ala atas kesempatan baik yang telah mengumpulkan kami dengan ikhwah fillah (saudara-saudara di jalan Allah) ini, dan sebuah ziarah (kunjungan) telah merekatkan hubungan antara kami dengan mereka, sekalipun kami dengan mereka dipisahkan oleh wilayah. Akan tetapi manhaj al-Kitab (al-Qur'an) dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah, adalah manhaj penghimpun ; menghimpun hati-hati dan akal-akal (manusia), sebelum menghimpun fisik-fisik anak manusia.

Nabi :shallallahualaihiwasallam: bersabda :
"Artinya : Siapa yang tidak berterima kasih kepada orang, berarti tidak bersyukur kepada Allah".
Jadi ini merupakan kesempatan yang didalamnya kami ingin menyampaikan rasa syukur (terima kasih) kepada saudara-saudara kami, para da'i yang mengajak (manusia) menuju al-Qur'an dan Sunnah, penyelenggara kegiatan mulia ini di negeri ini yang anda semua tahu betapa banyaknya tersebar bid'ah, merajalelanya khurafat dan bermacam-macam serta beraneka ragamnya golongan/kelompok (ahzab).

Maka da'i ilallah (penyeru manusia untuk kembali menuju Allah) yang berdasarkan bashirah, berdasarkan cahaya ilmu dan berdasarkan sinar pengetahuan (ilmu syar'i -pent) di tengah zaman dan negeri semacam ini, tampaknya ia termasuk orang-orang ghuraba' (tidak umum/aneh) itu. Orang-orang yang memegang bara (ibarat bagi orang yang berpegang pada sunnah pada zaman seperti sekarang -pent), yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjanjikan orang-orang yang ikhlas di antara mereka sebagai orang-orang yang akan mendapatkan thuba (kebahagian).

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Kebahagianlah bagi Ghuraba' (orang-orang yang tidak umum karena berpegang pada sunnah)"
Ini juga merupakan kesempatan untuk kita saling menguatkan satu sama lain, agar kita bersabar menghadapi bencana yang boleh jadi kita jumpai, atau ujian yang boleh jadi kita hadapi. Karena sesungguhnya seorang Muslim sejati adalah orang yang bersabar.
"Artinya : Jika kamu benar-benar bersabar, niscaya itu lebih baik bagi orang-orang yang bersabar". [An-Nahl : 126]
Ketahuilah wahai saudara-saudara fillah (satu jalan di jalan Allah), bahwa amal perbuatan yang paling dicintai oleh Allah adalah amal perbuatan yang paling terus menerus meskipun sedikit. Karena itu tetap mantaplah berada pada jalan sunnah sekalipun anda berjumlah sedikit. Dan bersemangatlah untuk mencari ilmu walaupun anda semua dihina. Semoga Allah meridhai Ibnu Mas'ud yang mengatakan.
"Artinya : (Beramal) sedikit dalam sunnah lebih baik dari (beramal banyak) dalam bid'ah"
Dari situ pula kamipun katakan : Bahwa apabila kita berada dalam sunnah dengan jumlah sedikit, lebih baik daripada jika kita berada dalam bid'ah dengan jumlah banyak. Karena (sekedar) jumlah banyak tidak mempunyai nilai dalam timbangan. Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan sedikit diantara hamba-Ku yang bersyukur" [Saba' : 13]
Kami memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta'ala agar memberikan anugrah kepada saudara kami semuanya, khususnya yang mulia Syaikh Abdur Rahman at-Tamimi [1] beserta saudara-saudaranya dan sahabat-sahabat yang dicintainya, juga kepada setiap yang memberikan budi luhurnya, terbuka memberikan kebaikannya dan terbuka menerima kebenaran. Agar Allah memberikan anugerah kepada mereka menjadi pembela sunnah, menjadi penolong Ahlu Sunnah, menjadi pintu kebaikan sunnah dan menjadi jalan bagi tersebarnya sunnah.

Sesungguhnya ini semua, jika merupakan tanaman di dunia, maka kelak buah tanaman mereka yang masak akan ada di sisi Allah Tabaraka wa Ta'ala, pada hari ketika orang-orang masuk ke telaga Haudh-(nya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Menjauhlah-menjauhlah, enyahlah-enyahlah" Ketika itu para Malaikat berkata : "Wahai Rasulullah, mereka telah membuat perubahan-perubahan".
Adalah sebelum itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda (kepada Malaikat) tentang umatnya : "Mereka adalah umatku, mereka adalah umatku" ketika para Malaikat mengusir mereka dan menjauhkannya (dari telaga Haudh).

Namun setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa mereka telah melakukan perubahan-perubahan dan penggantian-penggantian (terhadap agama -pent), maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Enyahlah ... enyahlah, menjauhlah ... menjauhlah..".

Karena itu kami memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta'ala supaya kita menjadi orang-orang yang sabar dan menjaga diri, tidak melakukan perubahan (terhadap agama) dan tidak berubah, tidak melakukan penggantian (terhadap agama) dan dan tidak berganti. Tetapi menjadi orang-orang yang tetap komitmen terhadap kebenaran, tetap menyeru (orang) untuk berpegang kepada sunnah dan tetap berpegang teguh kepada al-Haq.

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berada pada ke-Maha-tinggian-Nya dan berada diatas langit-Nya, agar Dia memantapkan kami dan anda semua untuk menempuh al-Haq (kebenaran), agar Dia memberikan petunjuk kepada setiap orang yang menyelisihi kebenaran dan agar Dia mematikan kita di dalam kebenaran. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala adalah Yang Maha berwenang dan Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.

Semoga Allah memberikan shalawat, salam serta barakah-Nya kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya semua.


Foote Noote
1.Ustadz Abdur Rahman at-Tamimi adalah termasuk salah satu Panitia Daurah asy-Syar'iyah fi al-Masa'il al-'Aqadiyah wa al-Manhajiyah, yang diselenggarakan tanggal 15-18 Dzul Qa'dah 1421H. di Ma'had Diniyah al-Irsyad Surabaya.

Nasehat Syeikh Salim bin Ied Al-Hilali

Kata Pengantar.

Artikel ini, diambil dari kata sambutan Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali, murid kepercayaan Syaikh Muhaddits Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, dalam acara Ad-Daurah asy-Syariyah fi al-Masa'il al-'Aqadiyah wa al-Manhajiyah, yang diselenggarakan di Ma'had Ali al-Irsyad Surabaya tanggal 15-18 Dzul Qa'dah 1421H, yang diprakarsai oleh Ustadz Abdur Rahman at-Tamimi dan Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, dibantu oleh beberapa da'i salafi lainnya. Alhamdulillah daurah tersebut dihadiri dan diikuti tidak kurang dari empat ratusan da'i salafi dan penuntut ilmu di Indonesia.

Kemudian, kata sambutan Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali sengaja kami salin ulang di mailing list assunnah dengan judul Nasehat, besar harapan kami bisa diambil manfaat dan faedahnya oleh kita semua.



Saudara-saudara, saudara-saudara yang tercinta ! Sesungguhnya ini betul-betul merupakan pertemuan mulia. Yaitu pada hari yang diberkahi ini, hari sayidul Ayyam, hari Jum'at, kami bertemu dengan saudara-saudara kami. Kami dikumpulkan dengan mereka oleh manhaj sunni salafi, manhaj yang mempersatukan dan tidak memecah belah, manhaj yang memperpadukan hati dan tidak menjadikannya berselisih.

Oleh karena itu manhaj ini adalah manhaj Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Ahlu Sunnah, tidak mempunyai nama lain yang menjadikan mereka menonjol kecuali sunnah, tidak mempunyai bentuk lain yang menyebabkan mereka dikenal kecuali sunnah, dan .... (ada kata-kata yang terhapus..) kecuali dengan sunnah.

Hati-hati mereka bersatu di atas sunnah, hati-hati mereka mencintai sunnah. Mereka berjanji untuk membela Sunnah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ya, wahai saudara-sauadaraku, sesungguhnya kita berada di zaman asing. Ya, wahai saudara-saudara yang kucintai, sesungguhnya kita berada di zaman yang dekat, akan tetapi perkara itu tidak akan (dapat) berkata ....

Sesungguhnya Islam pasti datang ... datang... dan datang. Islam pasti tersebar .... tersebar ... dan tersebar, seperti telah diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan telah dijanjikan di dalam Kitab-Nya, dan juga telah dijanjikan di dalam Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mutawatir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai" [At-Taubah : 33]
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan dalam Kitab-Nya, bahwa Allah pasti memenangkan agama-Nya, pasti membenarkan nabi-Nya, pasti memenangkan golongan-Nya dan pasti akan menjadikan orang yang berjalan pada manhaj Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Khalifah/penguasa.

Sesungguhnya Islam dimasa mendatang adalah Islam Sunni. Sesungguhnya Islam yang akan datang adalah Islam Salafi. Sesungguhnya tegaknya kekhalifahan dan kemenangan yang kita tunggu-tunggu dan terus kita dengungkan, adalah kemenangan yang terjadi melalui tangan-tangan orang-orang itu, generasi-generasi orang-orang itu, generasi yang beriman kepada Kitab Allah, dan beriman kepada Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah, sesuai dengan pemahaman Abu Bakar, sesuai dengan pemahaman Umar, sesuai dengan pemahaman Utsman, sesuai dengan pemahaman Ali dan sesuai dengan pemahaman para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain.

Renungkanlah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang berderajat hasan, yaitu hadits Hudzaifah, dimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memeberitakan .... maka Nabi bersabda.
"Artinya : Adalah di tengah-tengah kamu (masa) kenabian sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah adanya, kemudian Allah menghilangkannya manakala Dia berkehendak. Kemudian akan ada (masa) khilafah Rasyidah yang berjalan berdasarkan Minhaj (jalan) kenabian sampai pada (masa) yang dikehendaki oleh Allah adanya, kemudian Allah menghilangkannya manakala Dia berkehendak. Setelah itu akan ada kerajaan yang menggigit dengan kuat (berpegang pada sunnah) hingga pada waktu yang dikehendaki oleh Allah adanya, kemudian Allah menghilangkannya manakala Dia berkehendak. Sesudah itu akan ada kerajaan yang sewenang-wenang sampai pada waktu yang dikehendaki oleh Allah adanya, kemudian Allah menghilangkannya manakala Dia berkehendak. Kemudian akan ada Khilafah Rasyidah yang berjalan berdasarkan Minhaj (jalan) kenabian. Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diam" [Hadits Shahih Riwayat Imam Muslim, Ahmad, Lihat Silsilah Shahihah No. 5]
Ya, demikianlah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan tahapan-tahapan yang dilalui umat ini. Tahap kenabian, dan ini sudah berlalu dengan kematian nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian (tahap) khilafah yang berjalan berdasarkan sunnah Nabi, berjalan berdasarkan manhaj Nabi dan melangkah mengikuti langkah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Itulah dia Khilafah Rasyidah yang berjalan sesuai dengan minhaj kenabian. Itulah dia Khilafah Abu Bakar, Khilafah Umar, Khilafah Utsman dan Khilafah Ali. Kemudian berputarlah roda Islam, lalu Allah memberikan kerajaan (kekuasaan)-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan saat itu adalah kerajaan yang menggigit (berpegang) kuat (pada sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Setelah itu berputar lagi roda Islam, maka berganti dengan kerajaan-kerajaan yang sewenang-wenang. Sementara roda Islam akan terus berputar, dan kemudian akan ada Khilafah Rasyidah yang berjalan sesuai dengan minhaj kenabian.



Renungkanlah, Khilafah Rasyidah yang akan ada di akhir zaman, persis seperti dengan Khilafah yang ada di awal zaman. Itulah dia Khilafah yang ditegakkan oleh orang-orang yang berada pada manhaj para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Bergembiralah anda sekalian, demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, sesungguhnya saya melihat terbitnya fajar baru bagi dakwah ini, dakwah Salafiyah yang penuh berkah. Betapapun berbagai golongan melakukan tipudaya terhadapnya. Sekalipun berbagai firqah berupaya menerkamnya, mereka ingin menggulungnya. Tetapi Allah (niscaya) akan melaksanakan apa yang menjadi keputusan-Nya, namun kebanyakan manusia tidak mengetahui. Sesunguhnya dakwah Salafiyah adalah dakwah yang dijaga oleh Allah dan Allah berjanji akan menolongnya. Akan tetapi kita seharusnya menjadi tentara dakwah salafiyah ini, tentara yang memenuhi seruan dakwah salafiyah. Kita (harus) memahami dakwah ini sebagaimana para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memahaminya. Kita melaksanakan dakwah ini sebagaimana para Salafus Shalih melaksanakannya. Kita (sepenuhnya) percaya, seperti kepercayaan kita terhadap agama (Islam) bahwa masa depan (yang gemilang -pent) akan diraih oleh dakwah Salafiyah, sebab dakwah salafiyah adalah agama (Islam) itu sendiri.

Oleh karena itu, wahai saudara-saudaraku tercinta, yang diharapkan dari anda sekalian adalah hendaknya anda sekalian menjadi singa-singa sunnah di negeri ini. Hendaknya anda sekalian menjadi macan-macan faham Salafus Shalih di negeri ini. Anda angkat kepala anda tinggi-tinggi, angkat suara anda keras-keras untuk (menyuarakan) dakwah menuju Kitab, Sunnah dan pemahaman Salaful Ummah. Jangan terperdaya oleh banyaknya orang-orang binasa. Dan jangan pula menjadi sedih karena sedikitnya orang-orang yang menempuh (jalan kebenaran). Sebagaimana dikatakan oleh al-Fudhail bin Iyadh :
"Kamu harus berpegang pada jalan-jalan petunjuk sekalipun sedikit jumlah penempuhnya. Dan jangan sekali-kali kamu menempuh jalan-jalan kesesatan sekalipun banyak jumlah orang-orang yang binasa menempuhnya".
Sesungguhnya, apabila jumlah yang banyak, berpegang pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah serta pemahaman Salafus Shalih, sesungguhnya jumlah itu adalah kelompok yang selamat, firqah yang pasti akan diberi kemenangan dan golongan yang melalui tangan-tangan mereka akan terwujud kejayaan Islam.

Saya berharap agar Allah memberikan taufiq kepadaku dan kepada anda semua untuk berjalan menempuh manhaj yang benar ini. (Saya juga berharap kepada Allah) apabila saya lupa -tetapi saya tidak lupa- untuk mengarahkan rasa terima kasih saya, dan saya tambahkan suara saya pada suara saudara saya yang tercinta Ali (bin Hasan) -hafidzahullah- bahwa saya berterima kasih kepada para pengampu Ma'had Diniyah al-Irsyad di Surabaya, terutama al-akh Syaikh yang mulia Abdur Rahman at-Tamimi[1].

Saya memohon kepada Allah agar Dia memberikan kesempurnaan kepada kami, kepadanya (Abdur Rahman at-Tamimi) dan kepada anda sekalian (dalam berpegang pada) al-Qur'an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah. Juga agar Allah memantapkan kita dijalan kebenaran ini hingga kita menemui-Nya.

Foot Noote
1. Ustadz Abdur Rahman at-Tamimi adalah termasuk salah satu Panitia dan juga bertindak sebagai tuan rumah Daurah asy-Syar'iyah fi al-Masa'il al-'Aqadiyah wa al-Manhajiyah, yang diselenggarakan tanggal 15-18 Dzul Qa'dah 1421H di Ma'had Diniyah al-Irsyad Surabaya.


Nasehat Untuk Ikhwan dan Akhwat (bag. 3)

Salah satu upaya untuk menjaga shalat fajar tepat pada waktunya dan melaksanakannya secara berjamaah, maka hendaklah seseorang bersegera untuk tidur dan tidak begadang terlalu malam.
Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membenci tidur sebelum Isyak dan ngobrol sesudahnya.
Disyariatkan bagi mukminin dan mukminat mencurahkan segala kemampuannya untuk menjaga shalat agar tepat pada waktunya tidak begadang setelah Isyak, karena hal itu terkadang menjadikan seseorang ketiduran --ketinggalan Shalat Fajar--. Seyogyanyalah pada saat-saat yang perlu dicermati ini kita saling tolong menolong agar bisa melaksanakannya. Sebagaimana layaknya tolong menolong antar anggota keluarga dalam menunaikan urusan shalat Fajar ini.

Allah berfirman :
"Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran". [Al-Maidah : 2]

"Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran". [Al-Ashr : 1-3].
Wajib bagi kaum muslimin saling memberi nasehat dan berwasiat tentang kebenaran, tolong menolong dalam kebaikan, dan amar ma'ruf nahi mungkar sebelum terjadinya hukuman dari Allah. Telah ada hadist shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkenan dengan perkara tersebut :
"Artinya : Sesungguhnya manusia, apabila melihat kemungkaran dan tidak berupaya untuk merubahnya, dikhawatirkan Allah akan menyegerakan hukuman bagi mereke secara umum".

"Artinya : Ad-dien itu adalah nasihat, ad-dien itu adalah nasihat, ad-dien itu adalah nasihat'. (Nasihat artinya sucinya hati atau ikhlas). Maka bertanyalah sahabat, 'Untuk siapa Ya Rasulullah ?'. Nabi menjawab : 'Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan Imam-imam kaum muslimin, serta kaum muslimin semuanya".
Berkata Jarir bin Abdullah Al-Bajaliy Radhiyallahu anhu.
"Artinya : Aku membai'at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menegakan shalat, menunaikan zakat dan nasehat untuk setiap muslim".
Disyari'atkan bagi setiap muslim manakala mendengar ajaran yang berfaedah agar menyampaikannya kepada yang lain, demikian pula muslimat agar supaya menyampaikan kepada yang lain, manakala mendengar ilmu yang bermanfaat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi, "Sampaikan ajaran dariku sekalipun hanya satu ayat".

Adalah Nabi manakala berkhotbah di hadapan manusia beliau bersabda : "Hendaklah orang yang menyaksikan (hadir) menyampaikan kepada yang tidak hadir, adakalanya seorang penyampai ajaran (mubaligh) tidak lebih menguasai dari yang sekedar mendengar".

Sabdanya lagi :
"Artinya : Barangsiapa meniti jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan permudah baginya jalan menuju jannah".
Termasuk dalam hadits ini adalah, bagi siapa saja yang datang ke masjid, atau tempat yang terdapat disana halaqah ilmu dan pengajaran ilmu yang bermanfaat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kabaikan, maka Allah fahamkan dia terhadap agama.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Allah pasti melihat dengan kasih sayang-Nya terhadap seseorang yang mendengar perkataanku (Nabi), lalu meresponnya dengan baik kemudian melaksanakannya sebagaimana yang di dengar, adakalanya pembicara (mubaligh) itu lebih pandai daripada pendengar adakalanya mubaligh itu menyampaikan kepada yang lebih pandai darinya".

"Artinya : Tidalah suatu kaum itu berkumpul di rumah-rumah Allah, kemudian mereka membaca kitabullah dan saling mengajarkan di antara mereka kecuali rasa tenang akan turun kepada mereka, mereka akan Allah dengan rahmat dan akan dikelilingi Malaikat serta mereka diingat Allah tentang apa-apa yang ada di sisi-Nya".
Ini menunjukkan disyariatkannya berlomba dalam halaqah ilmu, menaruh perhatian besar terhadapnya, dan tamak untuk berkumpul dalam rangka tilawatul qur'an dan saling mengajarkannya.

Diantaranya ialah mendengarkan acara-acara keagamaan, penyampaian hadits-hadits yang bermanfaat, penyiaran tilawah qur'an yang dipandu oleh mereka yang dipandang mampu dalam bidang ilmu agama dan bashirah (hujjah) serta kebaikan aqidah.

Sebagaimana sudah dimaklumi, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah, sudah semestinya dilakukan berdasarkan ilmu. Manusia tidak akan mengerti hakekat ibadah yang telah dibebankan kepadanya kecuali dengan belajar dan mendalami agama. Allah berfirman :
"Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". [Adz-Dzariyat : 56].
Ibadah yang bagaimanakah yang diwajibkan kepada kita untuk mempelajari dan mempelajarinya ? Yaitu segala sesuatu yang disyari'atkan Allah dan dicintainya untuk dilakukan hamba-Nya, seperti shalat, zakat, shiyam dan selainnya. Kemudian Allah berfirman :
"Artinya : Dan orang-orang yang membayar zakat".
Zakat adalah haqqul mal, Allah mewajibkan kepada setiap muslim untuk mengeluarkan zakat dari sebagian hartanya kepada yang berhak menerima. Allah mewajibkan bagi pembayar zakat agar ikhlas karena Allah berharap pahala-Nya serta takut terhadap hukumannya. Allah berfirman :
"Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin". [At-taubah : 60].
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya :
"Artinya : Mereka mentaati Allah dan Rasul-Nya".
Setelah Allah menyebutkan shalat, zakat, loyalitas diantara kaum mukmin, amar ma'ruf nahi mungkar, Allah berfirman :
"Artinya : Mereka mentaati Allah dan Rasul-Nya".
Yaitu, (taat) dalam segala sesuatu, seperti taat dalam masalah amar ma'ruf nahi mungkar, shalat dan zakat. Pendek kata, mentaati Allah dalam segala hal.

Demikian sifat mukminin dan mukminat, yaitu mereka selalu mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam setiap perintah dan larangan-Nya dimanapun mereka berada. Agama seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan ketaatan yang utuh kepada-Nya.

Allah berfirman :
"Artinya : Mereka itulah orang-orang yang akan mendapat karunia Allah".
Kemudian Allah menjelaskan bahwasanya orang-orang yang istiqamah dalam agamanya, menunaikan kewajiban terhadap Allah, mentaati-Nya dan mentaati Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam, mereka itulah yang berhak mendapat karunia di dunia dan di akhirat karena ketaatannya kepada Allah, keimanan dengan-Nya serta pelaksanaan kewajiban terhadap-Nya.

Hal itu juga menunjukkan bahwa sesungguhnya bagi orang yang berpaling, lalai dan orang-orang yang mengabaikan kewajiban, maka bagi mereka sama halnya dengan menyodorkan dirinya untuk di adzab Allah dan dimurkai-Nya.

Rahmat Allah bisa diperoleh dengan amal shalih dan kesungguhan dalam mentaati Allah dan menegakkan perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berpaling serta mengikuti hawa nafsu atau setan, maka baginya naar pada hari kiamat.

Allah berfirman :
"Artinya : Adapun orang-orang yang melampui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya narlah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya janahlah tempata tinggal(nya)". [An-Naziat : 38-41].
Kita memohon kepada Allah dengan Asma'ul Husna-Nya dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, semoga Allah menunjukkan kita dan segenap kaum muslimin kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, semoga Allah memperbaiki hati kita dan amal kita sekalian, semoga Allah memberi rezeki berupa kemampuan melaksanakan Tawashau bil haq dan tawashau bish shabr, tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, mengutamakan akhirat atas dunia, mempunyai keinginan untuk tetap memiliki keselamatan hati dan amal, ambisi untuk bermanfaat bagi kaum muslimin di manapun mereka berada.

Kita memohon kepada Allah semoga Dia memenangkan agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, membimbing para pemimpin kaum muslimin keseluruhan, memperbaiki hati dan amal mereka, memberi mereka pemahaman agama dan kelapangan hati untuk berhukum dan memutuskan perkara dengan syari'at-Nya, tetap istiqamah di jalan-Nya. Mudah-mudahan Allah senantiasa melindungi kita dan seluruh kaum muslimin di segala penjuru dari berbagai macam fitnah dan ujian, menghinakan musuh-musuh Islam di manapun mereka berada, membatasi ruang lingkup kekuasaan mereka, serta menolong ikhwan-ikhwan kita para mujahidin fie sabilillah di setiap tempat. Sesungguhnya Allah pemimpin kaum muslimin dan Maha Kuasa atasnya.

Wa shalallahu wasallam 'ala nabiyina Muhammadin wa alihi shahbihi ajma'iin.

Nasihat Untuk Ikhwan dan Akhwat (bag. 2)

Selayaknya, seorang mukmin dan mukminah senantiasa memperhatikan timing yang tepat dalam beramar ma'ruf nahi mungkar. Janganlah berputus asa apabila ditolak pada hari itu. Sebab bisa jadi akan diterima besok lusa. Seorang mukmin dan mukminah janganlah berputus asa dalam mengingkari kemungkaran, tetapi hendaklah terus menerus dilakukannya. Hendaklah selalu menegakkan amar ma'ruf dan an-nasihah untuk hamba-Nya disertai dengan husnudhan dan mengharap besarnya pahala yang ada di sisi Allah.

Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Mereka menegakkan shalat dan membayar zakat".
Demikianlah karakteristik mukminin dan mukminat, mereka selalu menegakkan shalat dan menjaga ketetapan waktunya. Bagi laki-laki melaksanakan shalat di masjid secara berjamaah bersama para ikhwan yang lain. Mereka bergegas menuju masjid tatkala mendengar muadzin berseru : "Hayya 'alash shalaah hayya 'alal-falaah". Mendengar serua muadzin itu mereka akan bersegera ke masjid di setiap saat.

Menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk takut kepada Allah dalam meninggalkan shalat berjamaah, serta berhati-hati terhadap musibah yang banyak menimpa manusia (musibah tidak shalat berjamaah). Berlindunglah kepada Allah dari akibat shalat di rumah dan ketinggalan shalat di masjid. Keadaan mereka nyaris menyerupai keadaan kaum munafik. Ia melaksanakan shalat farhdu di rumah, padahal Allah telah mengaruniakan kesehatan kepadanya, barangkali juga ia mengakhirkan shalat Shubuh hingga terbitnya matahari, bahkan sampai waktu ia akan berangkat kerja baru melaksanakan shalat Shubuh, atau bahkan ia tinggalkan shalat sama sekali. Ini adalah musibah yang besar dan kemungkaran yang membahayakan, karena shalat adalah tiangnya Islam. Barangsiapa menjaga berarti menjaga agamanya, barangsiapa menyia-nyiakannya tentulah ia akan lebih menyia-nyiakan hal yang lain, barangsiapa meninggalkannya maka termasuk kafir. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut :
" Artinya : Perjanjian yang mengikat antara kita dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka telah kafir".
Kafirnya orang yang meninggalkan shalat adalah berlaku umum bagi laki-laki dan juga wanita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih menegaskan lagi dalam sabdanya :
"Artinya : Batas antara seseorang (mukmin) dengan kekafiran atau kemusyrikan adalah meninggalkan shalat".
Tidak dibenarkan bagi mukminin dan mukminat meremehkan perkara shalat. Bagi laki-laki, tidak boleh menunaikan shalat di rumah dengan meninggalkan jamaah di masjid, bahkan menjadi kewajiban bagi laki-laki untuk menunaikannya di masjid.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Barangsiapa mendengar adzan kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur".
Telah datang menghadap Nabi seorang laki-laki lalu berkata : "Ya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, saya seorang yang buta, saya tidak mempunyai penunjuk jalan yang dapat menghantarkan saya ke masjid, apakah ada keringanan bagi saya untuk shalat di rumah ?" Nabi bersabda : "apakah Anda mendengar panggilan adzan untuk shalat ?" Dia menjawab : "Saya mendengar". Nabi bersabda : "Datangilah panggilan adzan itu".

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memberi rukhsah (keringanan) bagi laki-laki tadi padahal sesungguhnya dia buta, dia tidak memiliki seorang penunjuk jalan yang membimbingnya ke masjid. Bagaimana dengan laki-laki yang keadaan penglihatannya sehat ?!!.

Telah dikuatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang keharusan mendatanngi shalat jamaah di masjid dengan sabdanya :
"Artinya : Sungguh aku ingin sekali perintahkan segera ditunaikannya iqamat untuk shalat dan akan aku perintahkan di antara kalian agar salah seorang mengimami shalat, di saat itulah aku ingin pergi bersama para laki-laki yang sudah siap dengan kayu bakar, menuju rumah kaum lelaki yang tidak shalat berjamaah dan akan aku bakar rumah-rumah mereka".
Hal ini menunjukkan besarnya perintah tersebut, maka wajiblah bagi kaum muslimin memperhatikan shalat jamaah dan untuk bersegera mendatangi masjid setiap kali mendengar adzan. Waspadalah dari rasa malas dan berat hati melaksanakan shalat jamaah, sebab keduanya adalah merupakan sifat-sifat orang munafik. Na'udzubillah kita berlindung kepada Allah dari sifat-sifat mereka.

Allah berfirman :
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikir sekali". (An-Nisaa' : 142).
Wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk memperhatikan masalah shalat karena shalat adalah pilar penyangga Islam, shalat merupakan rukun Islam terbesar setelah dua kalimat syahadat, barangsiapa menjaganya berarti telah menjaga agamanya, barangsiapa menyia-nyiakannya berarti menyia-nyiakan agamanya. --Wala haula wala quwwata illa billah--. Barangsiapa menjaga shalatnya, menegakkannya dengan khusyuk dan tidak mendahului imam, maka mereka mendapat kebahagiaan sebagaimana firman Allah :
"Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya". (Al-Mukminun : 1-2).
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Seburuk-buruk pencurian yang terjadi pada manusia adalah ; 'manusia yang mencuri dalam shalatnya'. Sahabat bertanya : 'Bagaimana terjadi pencurian dalam shalat ?'. Nabi Menjawab :'Shalat yang tidak sempurna rukuknya atau sujudnya".
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang buruk dalam melakukan shalat, yaitu dengan tidak menyempurnakan rukuknya atau sujudnya, maka Nabi memerintahkan laki-laki tersebut agar mengulangi lagi shalatnya.

Nabi bersabda :
"Artinya : Apabila engkau menunaikan shalat, maka sempurnakanlah wudlu, kemudian menghadaplah qiblat, kemudian bertakbirlah, bacalah apa yang mudah bagimu dari sebagian surat Al-Qur'an, rukuklah hingga sempurna rukukmu (tumakninah) kemudian beridirilah hingga lurus tegak, kemudian sujudlah hingga tumakninah sujudmu, kemudian angkatlah kepalamu dari sujud hingga engkau tumakninah dudukmu, kemudian sujudlah hingga tumakninah sujudmu dan kemudian lakukanlah hal itu dalam seluruh shalatmu".
Kebanyakan manusia melakukan shalat dengan mematuk (gerakan terlalu cepat seperti ayam mematuk makanan). Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan itu adalah mungkar. Barangsiapa melakukan shalat dengan mematuk maka batal-lah shalatnya berdasarkan hadits tersebut diatas.

Shalat wajib dilakukan secara tumakninah dalam hal rukuk, sujud, i'tidal setelah rukuk, antara dua sujud dan berhati-hati untuk tidak mendahului imam. Apabila imam bertakbir janganlah segera langsung takbir tapi tunggulah hingga suara takbir imam selesai. Apabila imam berseru "Allahu Akbar" untuk rukuk maka janganlah langsung rukuk, tunggulah hingga imam lurus rukuknya dan berhenti, setelah itu lakukan rukuk. Demikianlah pula dalam sujud, janganlah mendahului imam, jangan pula bersamaan dengan imam, tidak boleh bersamaan dengan imam tidak boleh pula mendahului imam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Sesungguhnya aku adalah imam kalian maka janganlah kalian mendahuluiku dalam rukuk dan sujud, ketika berdiri atau ketika mengakhiri shalat"

"Artinya : Sesungguhnya seseorang itu diangkat menjadi imam untuk diikuti maka janganlah kalian menyelisihinya, apabila imam takbir ikutilah kalian takbir dan janganlah kalian takbir hingga imam terlebih dahulu takbir dan apabila imam rukuk maka rukuklah kalian dan janganlah kalian rukuk hingga imam terlebih dahulu rukuk, apabila imam mengucap 'Sami 'allahu liman hamidah' berucaplah, 'Rabbana wa lakal hamdu'. Apabila imam sujud maka sujudlah dan janganlah kalian sujud hingga imam terlebih dahulu sujud".
Perkara ini sesungguhnya telah jelas --bagi setiap yang ingin melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Allah-- akan tetapi sebagian manusia tidak sabar melakukannya, mereka cenderung bersegera dan mendahului imam dalam gerakan shalat --Wal iyadu billah-- Wajiblah bagi kita untuk mewaspadai hal itu.

Nasehat Untuk Ikhwan dan Akhwat (bag. 1)

Inilah nasehatku kepada ikhwan dan akhwat fillah pada khususnya, dan kepada seluruh manusia pada umumnya. Inilah nasehatku buat kalian dan juga buat diriku sendiri. Yaitu ; hendaklah kita senantiasa memperhatikan Al-Qur'an, merenungi makna-maknanya. mengahafalnya di luar kepala, tamak untuk terus menerus membacanya, sesekali membaca dengan cara melihat pada mushaf, kali lain membaca dengan hafalan tanpa melihat mushaf. Manakala pembaca Al-Qur'an tergolong yang sudah hafal maka ditindaklanjuti dengan merenungi, memikirkan, dan mencari faedah dari apa yang dibaca. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah :
"Artinya : Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran". (Shad : 29).
Adapun pelaksanaannya yaitu dengan pengamalan, pemahaman dan pendalaman. Allah subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan Al-Qur'an untuk diamalkan, dikaji dan didalami. Allah berfirman :
"Artinya : Dan Al-Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat". (Al-An'am : 155).
Al-Qur'an ini diturunkan untuk diamalkan dan diikuti. Tidak semata-mata hanya untuk dibaca dan dihafal. Karena menghafal dan membaca itu sekedar perantara saja. Adapun yang dimaksudkan adalah memahami kitab dan sunnah disertai dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya dan melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangannya. Hal itu terkumpul dalam perintah Allah Ta'ala di dalam surat At-Taubah : 71.
"Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (At-Taubah : 71).
Ayat ini merupakan kumpulan dari ayat-ayat yang secara menyeluruh menjelaskan sifat-sifat mukmin dan mukminat dan akhlaknya yang agung serta apa-apa yang diwajibkan atas mereka. Maka firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain". (At-Tubah : 71).
Ayat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya mukminin dan mukminat, mereka itu adalah saling menjadi wali satu sama lain, mereka saling memberi nasehat dan saling mencintai karena Allah dan saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran dan saling tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa. Demikian sifat mukminin dan mukminat.

Seorang mukminin menjadi wali atas saudaranya fillah, yang laki-laki dan perempuan. Seorang mukminat menjadi wali bagi saudaranya fillah, baik yang laki-laki dan perempuan. Masing-masing diantara mereka merasa senang terhadap kebaikan (yang diperoleh) saudaranya. Mereka mendoakan kebaikannya, turut bahagia atas keistiqamahan saudaranya dan mencegah keburukan yang akan menimpanya, tidak melakukan ghibah padanya, tidak berbicara yang dapat menjatuhkan kehormatannya, tidak mengadu domba tidak memberikan persaksian palsu atasnya dan tidak memakinya, serta tidak memanggilnya dengan panggilan bathil. Demikianlah akhlak mukminin dan mukminat.

Manakala kau dapatkan dirimu menyakiti saudaramu fillah baik laki-laki atau perempaun misalkan dengan mengghibah, mencela, mengadu domba atau mendustainya dan lain semisalnya, ketahuilah bahwa keimananmu kurang atau engkau adalah orang yang lemah iman. Seandainya keimananmu itu benar-benar lurus lagi sempurna, niscaya kamu tidak akan mendhalimi saudaramu atau melakukan ghibah dan adu domba, atau memanggilnya dengan panggilan-panggilan bathil, atau memberikan persaksian palsu atau sumpah palsu atau mencacinya dan semisalnya. Maka keimanan kepada Allah, dan rasul-Nya, taqwa kepada Allah, kebaikan dan hidayah, kesemuanya itu mencegah seseorang melakukan tindakan yang menyakitkan saudaranya fillah baik laki-laki atau wanita. Mereka dilarang melakukan ghibah, cacian, kedustaan, memanggil dengan sebutan yang bathil, mempersaksikan dengan kedustaan dan berbagi macam tindak kezhaliman. Keimanan seseorang yang benar, merintangi dan menghalangi untuk berbuat berbagi tindakan yang menyakitkan saudaranya.

Allah berfirman :
"Artinya : .... mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar,....." (At-Taubah : 71).
Inilah kewajiban yang besar yang didalamnya ada kebaikan bagi umat, kemenangan bagi agama dan terhindarnya sebab-sebab kebinasaan, kemaksiatan dan kejahatan.

Sudah selayaknya bagi mukminin dan mukminat untuk amar ma'ruf nahi mungkar. Seorang mukmin tidak akan berdiam diri melihat kemungkaran yang terjadi pada saudaranya, pastilah ia berusaha untuk mencegahnya. Apabila melihat pada diri saudara, bibi atau saudari perempuan yang lain melakukan kemaksiatan pastilah mereka akan mencegahnya. Apabila melihat pada diri saudaranya fillah meremehkan kewajiban pastikah akan mengingkarinya dan memerintahkannya kepada kebaikan. Itu semua dilakukan dengan bijak dan cara yang baik. Seorang mukmin apabila melihat saudaranya bermalas-malas dalam menunaikan shalat, melakukan ghibah, adu domba, minum khamr, merokok, mabuk-mabukan, durhaka kepada orang tua, memutuskan tali persaudaraan, pastilah ia akan mengingkarinya dengan ucapan yang baik dan cara yang tepat, ia tidak menuduhnya dengan sebutan yang dibenci atau dengan cara yang kasar. Allah telah memberikan penjelasan bahwa hal tersebut adalah dilarang.

Demikian pula jika ia melihat kemungkaran pada diri saudara perempuannya fillah, ia harus mengingkarinya. Seperti tatkala dia tidak patuh kepada orang tuanya, berlaku buruk pada suaminya, meremehkan pendidikan anak-anaknya atau meremehkan shalatnya, maka seorang mukmin harus mengingkarinya, baik (ia itu) suaminya, ayahnya, saudaranya, kemenakannya atau bahkan tidak ada hubungan kekerabatan dengannya. Sebaliknya jika seorang mukminah melihat pada diri suaminya sikap meremehkan (kewajiban), ia pun harus melarangnya. Seperti, jika ia melihat suaminya minum khamr, merokok,meremehkan shalat atau suaminya shalat fardhu di rumah (tidak di masjid), maka ia harus mengingkarinya dengan cara yang baik dan ucapan yang baik pula. Seperti dengan mengatakan (kepada suaminya), "Wahai Hamba Allah, bertaqwalah kepada Allah ! Sesungguhnya perbuatan itu tidak boleh kamu lakukan. Peliharalah shalat jama'ah. Tinggalkanlah apa yang telah diharamkan Allah kepadamu dari minuman yang memabukkan, merokok, mencukur jenggot, memanjangkan kumis atau isbal".

Kemungkaran-kemungkaran ini wajib diingkari oleh setiap orang beriman. Maka hal ini wajib atas suami dan istri, saudara, kerabat, tetangga, teman duduk dan yang lain untuk menegakkan kewajiban ini. Sebagaimana firman Allah :
"Artinya : ... mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar ....". (At-Taubah : 71).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Sesungguhnya, apabila manusia telah melihat kemungkaran, lalu ia tidak mau merubahnya, dikhawatirkan Allah akan meratakan adzab-Nya".

"Artinya : Barangsiapa di antara kamu sekalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman".
Perintah ini berlaku umum untuk seluruh bentuk kemungkaran, baik yang terjadi di jalan-jalan, di rumah, di masjid, di kapal terbang, di kereta api, di mobil atau di tempat mana saja. Perintah amar ma'ruf nahi mungkar itu berlaku secara umum baik kepada laki-laki atau perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan harus berbicara tentang amar ma'ruf dan nahi mungkar. Karena amar ma'ruf nahi mungkar membawa kebaikan dan keselamatan untuk semua pihak. Tak seorangpun boleh berdiam diri dari amar ma'ruf nahi mungkar semata-mata karena takut kepada setiap muslim atau takut kepada suami, saudara laki-laki atau fulan dan fulan. Setiap muslim harus tetap beramar ma'ruf nahi mungkar dengan cara yang baik dan ucapan yang mengena, tidak dengan cara yang kasar dan keras. Disamping juga memperhatikan waktu yang tepat. Ada kalanya, seseorang tidak bisa menerima pengarahan pada waktu tertentu, tetapi ia bisa menerima pengarahan pada waktu yang lain, bahkan dengan lapang dada.

Nasihat Untuk Jalan Kebangkitan Islam

[1]. Kenyataan umat Islam sekarang telah disifatkan dengan huruf-huruf tegas dalam As-Sunnah yang suci, oleh karena itu hendaklah orang yang memandang amal Islami masa kini adalah para Ulama Al-Kitab dan As-Sunnah dan tidak mereka meninggalkan kebijaksanaan satu perkara karena pengalaman, akal dan ilham mereka. Oleh karena itu keberadaan apa yang dinamakan ulama fiqih harokah (ulama pergerakan) atau fuqaha waqi' (ulama fiqih kenyataan) yang tidak mengenal Al-Kitab dan As-Sunnah adalah penjauhan para jama'ah yang bergerak di medan dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari sumber kemuliaan dan petunjuk mereka.

[2]. Diwajibkan kepada para Ulama Al-Kitab dan As-Sunnah untuk mengambil peran dalam mengarahkan orang-orang yang bekerja untuk kejayaan Islam, karena mereka pemimpin dan manusia terbaik umat ini. Maka jika mereka bersandar kepada kekayaan dunia dan tidak ikut berperan aktif, siapakah yang menghalangi badai bahaya tersebut dari para pemuda Islam yang menatap dengan matanya demi kejayaan dan kepemimpinan Islam .?

[3]. Harus ada pemurnian Islam dari Ad-Dakhan yang telah mengeruhkan kebersihannya dan telah mengotori keindahannya agar kembali besinar bersih dalam baju risalah.

[4]. Harus ada pembinaan (tarbiyah) generasi kebangkitan Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membina generasi teladan (sahabat).

[5]. Harus ada kesungguhan yang besar dari seluruh orang yang bergerak untuk Islam agar tercurahkan pada arahan (orientasi) pembentukan jamaah muslimin yang menyatukan seluruh kaum muslimin.

[6]. Titik temu dan sasaran utama orang-orang yang bergerak untuk kejayaan Islam dalam membentuk jama'ah muslimin adalah marhalah kebaikan yang murni yaitu apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya telah berada di atasnya.

Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar memberikan taufiq kepada orang-orang yang ikhlas dalam membentuk jama'ah muslimin yang mengikuti jejak Rasulullah dan para sahabatnya agar bangkit kembali negara Islam mengibarkan benderanya dan pada waktu itu kaum mukminin berbahagia dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah wali orang-orang yang shalih. Itu semua tidaklah akan terwujud kecuali dengan mengikuti manhaj salaf.

Nikah Di Pengadilan Inggris Disaksikan Satu Orang Muslim

Pertanyaan.
"Menikah di lembaga pernikahan negara Inggris yang
disaksikan satu orang muslim dan satu orang dari ahli kitab, apakah
pernikahan tersebut sah menurut syari'at ?".

Jawaban.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak sah
kecuali dengan dihadiri wali dan dua orang saksi yang adil. Berdasarkan
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan dihadiri wali dan dua
orang saksi yang adil" [Hadits Riwayat Daruqutny]

Dan berdasarkan hadits yang lainnya.
"Artinya : Pelacur adalah wanita yang menikah sendiri tanpa ada bukti (wali
dan saksi)" [Hadits Riwayat At-Tirmidzi]

Dan Umar pernah mendapat laporan bahwa ada orang yang menikah hanya
disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata
: "Demikian itu adalah nikah sirri (rahasia), sendainya aku menemuinya, maka
aku akan merajamnya" [Hadits Riwayat Malik dalam kitab Al-Muwaththa']

Dan berdasarkan perkataan Ibnu Abbas : "Tidaklah suatu pernikahan dianggap
sah bila tidak dilandasi bukti (wali dan saksi).

Setelah memaparkan hadits-hadits tentang wali dan saksi dalam pernikahan.
Imam At-Tirmidzi berkata : "Pendapat yang disepakati para ulama dari
kalangan sahabat dan tabi'in adalah pendapat yang mengatakan bahwa wali dan
saksi adalah syarat sahnya pernikahan, dan tidak syah pernikahan yang tidak
dihadiri wali dan dua orang saksi yang adil". Dan pendapat ini sesuai dengan
tujuan dari syari'at Islam, yaitu melindungi kehormatan, menjaga kemurnian
nasab, menghalangi perzinaan dan kejahatan serta mengantisipasi terjadinya
keretakan dalam kehidupan rumah tangga. Adapun pernikahan seorang muslim
dengan wanita ahli kitab adalah tidak sah kecuali dengan hadirnya wali dan
dua orang saksi muslim, ini menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi'i
sesuai dengan maksud hadits dan atsar juga tujuan syari'at. [Majalatul
Buhuts Islamiyah, 9/48]

Orang Mukmin Tercipta Penuh Coba


Kata Pengantar

Dalam kesempatan kali ini kami hadirkan ke hadapan pembaca, uraian yang sangat bagus sekali dari seorang tokoh 'alim Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halaby mengenai sifat-sifat seorang mukmin. Tulisan ini diterjemahkan dari Majalah Al-Ashalah edisi 15, 16 th III -15 Dzul Qa'dah 1415H, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 07/th III/1419-1998.


Orang Mukmin Tercipta Penuh Coba

Terdapat riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Sesunguhnya seorang mukmin tercipta dalam keadaan Mufattan (penuh cobaan), Tawwab (senang bertaubat), dan Nassaa' (suka lupa), (tetapi) apabila diingatkan ia segera ingat". [Silsilah Hadits Shahih No. 2276].
Hadist ini merupakan hadits yang menjelaskan sifat-sifat orang mukmin, sifat-sifat yang senantiasa lengket dan menyatu dengan diri mereka, tiada pernah lepas hingga seolah-olah pakaian yang selalu menempel pada tubuh mereka dan tidak pernah terjauhkan dari mereka.

Mufattan
Artinya : "Orang yang diuji (diberi cobaan) dan banyak ditimpa fitnah. Maksudnya : (orang mukmin) adalah orang yang waktu demi waktu selalu diuji oleh Allah dengan balaa' (bencana) dan dosa-dosa". [Faid-Qadir 5/491].

Dalam hal ini fitnah (cobaan) itu akan meningkatkan keimanannya, memperkuat keyakinannya dan akan mendorong semangatnya untuk terus menerus berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebab dengan kelemahan dirinya, ia menjadi tahu betapa Maha Kuat dan Maha Perkasanya Allah, Rabb-nya.

Menurut sebuah riwayat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Perumpamaan orang mukmin ibarat sebatang pokok yang lentur diombang-ambing angin, kadang hembusan angin merobohkannya, dan kadang-kadang meluruskannya kembali. Demikianlah keadaannya sampai ajalnya datang. Sedangkan perumpamaan seorang munafik, ibarat sebatang pokok yang kaku, tidak bergeming oleh terpaan apapun hingga (ketika) tumbang, (tumbangnya) sekaligus". [Bukhari : Kitab Al-Mardha, Bab I, Hadist No. 5643, Muslim No. 7023, 7024, 7025, 7026, 7027].
Ya, demikianlah sifat seorang mukmin dengan keimanannya yang benar, dengan tauhidnya yang bersih dan dengan sikap iltizam (komitment)nya yang sungguh-sungguh.

Tawaab Nasiyy
Artinya : "Orang yang bertaubat kemudian lupa, kemudian ingat, kemudian bertaubat". [Faid-Al Qadir 5/491].

Seorang mukmin dengan taubatnya, berarti telah mewujudkan makna salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu sifat yang terkandung dalam nama-Nya : Al-Ghaffar (Dzat yang Maha Pengampun). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar". [Thaha : 82].

Apabila Diingatkan, Ia Segera Ingat.
Artinya : "Bila diingatkan tentang ketaatan, ia segera bergegas melompat kepadanya, bila diingatkan tentang kemaksiatan, ia segera bertaubat daripadanya, bila diingatkan tentang kebenaran, ia segera melaksanakannya, dan bila diingatkan tentang kesalahan ia segera menjauhi dan meninggalkannya".

Ia tidak sombong, tidak besar kepala, tidak congkak dan tidak tinggi hati, tetapi ia rendah hati kepada saudara-saudaranya, lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya dan ramah tamah kepada teman-temannya, sebab ia tahu inilah jalan Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan jalannya kaum mukminin yang shalihin.

Terhadap dirinya sendiri ia berbatin jujur serta berpenampilan luhur, sedangkan terhadap orang lain ia berperasaan lembut dan berahlak mulia, bersuri tauladan kepada insan teladan paling sempurna yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah diberi wasiat oleh Rabb-nya dengan firman-Nya :
"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka .....". [Ali Imran : 159]
Inilah sifat seorang mukmin. Ini pula jalan hidup serta manhaj perilakunya.

Orang Yang Dikabulkan Doanya (bag. 2)

[3]. Orang Yang Teraniaya

Dari Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Takutlah kepada doa orang-orang yang teraniyaya, sebab tidak ada hijab antaranya dengan Allah (untuk mengabulkan)". [Shahih Muslim, kitab Iman 1/37-38]
Dari Abu Hurairah bahwa dia berkata bahwasanya Rasulullah bersabda.
"Artinya : Doanya orang yang teraniaya terkabulkan, apabila dia seorang durhaka, maka kedurhakaannya akan kembali kepada diri sendiri". [Musnad Ahmad 2/367. Dihasankan sanadnya oleh Mundziri dalam Targhib 3/87 dan Haitsami dalam Majma' Zawaid 10/151, dan Imam 'Ajluni No. 1302]

[4] & [5] Doa Orang Tua Terhadap Anaknya dan Doa Seorang Musafir
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda.
"Artinya : Tiga orang yang doanya pasti terkabulkan ; doa orang yang teraniyaya;doa seorang musafir dan doa orang tua terhadap anaknya". [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Do'a bi Dhahril Ghaib 2/89. Sunan At-Tirmidzi, kitab Al-Bir bab Doaul Walidain 8/98-99. Sunan Ibnu Majah, kitab Doa 2/348 No. 3908. Musnad Ahmad 2/478. Dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah No. 596]
[6]. Doa Orang Yang Sedang Puasa
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tiga doa yang tidak ditolak ; doa orang tua terhadap anaknya ; doa
orang yang sedang berpuasa dan doa seorang musafir". [Sunan Baihaqi, kitab Shalat Istisqa bab Istihbab Siyam Lil Istisqa' 3/345. Dishahihkan oelh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah No. 1797].
[7]. Doa Orang Dalam Keadaan Terpaksa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadanya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu menginga(Nya)". [An-Naml : 62]
Imam As-Syaukani berkata bahwa ayat diatas menjelaskan betapa manusia sangat membutuhkan Allah dalam segala hal terlebih orang yang dalam keadaan terpaksa yang tidak mempunyai daya dan upaya. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang terpaksa adalah orang-orang yang berdosa dan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud terpaksa adalah orang-orang yang hidup dalam kekurangan, kesempitan atau sakit, sehingga harus mengadu kepada Allah. Dan huruf lam dalam kalimat Al-Mudhthar untuk menjelaskan jenis bukan istighraq (keseluruhan).
Maka boleh jadi ada sebagian orang yang berdoa dalam keadaan terpaksa tidak
dikabulkan dikarenakan adanya penghalang yang menghalangi terkabulnya doa tersebut.
Jika tidak ada penghalang, maka Allah telah menjamin bahwa doa orang dalam keadaan terpaksa pasti dikabulkan. Yang menjadi alasan doa tersebut dikabulkan karena kondisi terpaksa bisa mendorong seseorang untuk ikhlas berdoa dan tidak meminta kepada selain-Nya. Allah telah mengabulkan doa orang-orang yang ikhlas berdoa meskipun dari orang kafir, sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Sehingga tatkala kamu di dalam bahtera, dan meluncurkan bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan keta'atan kepada-Nya semata-mata'.
(Mereka berkata) : 'Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". [Yunus : 22]
Dan Allah berfirman dalam ayat lain
"Artinya : Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Alla)". [Al-Ankabut : 65]
Dari ayat di atas Allah mengabulkan doa mereka, padahal Allah tahu bahwa mereka pasti akan kembali kepada kesyirikan. [Fathul Qadir 4/146-147]

Imam Ibnu Katsir berkata bahwa Imam Hafizh Ibnu 'Asakir mengisahkan seorang yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Daud Ad-Dainuri yang terkenal dengan kezuhudannya.
Orang tersebut berkata : "Saya menyewakan kuda tunggangan dari Damaskus ke negeri Zabidany, pada satu ketika ada seorang menyewa kuda saya dan meminta untuk melewati jalan yang tidak pernah saya kenal sebelumnya", Dia berkata : "Ambillah jalan ini karena lebih dekat". Saya bertanya : "Bolehkah saya memilih jalan ini", Dia berkata : "Bahkan jalan ini lebih dekat". Akhirnya kami berdua menempuh jalan itu sehingga kami sampai pada suatu tempat yang angker dan jurangnya yang sangat curam yang di dalamnya terdapat banyak mayat. Orang tersebut berkata : "Peganglah kepala kudamu, saya akan turun". Setelah dia turun dan menyingsingkan baju lalu menghunuskan golok bermaksud ingin membunuh saya, lalu saya melarikan diri darinya, akan tetapi dia mampu mengejarku. Saya katakan kepadanya : "Ambillah kudaku dan semua yang ada padanya". Dia berkata : "Kuda itu sudah milikku, tetapi aku ingin membunuhmu". Saya mencoba menasehati agar dia takut kepada Allah dan siksaan-Nya tetapi ternyata dia seorang yang tidak mudah menerima nasehat, akhirnya saya menyerahkan diri kepadanya.
Saya berkata kepadanya : "Apakah anda mengizinkan saya untuk shalat?" Dia berkata : "Cepat shalatlah!" Lalu saya beranjak untuk shalat akan tetapi badan saya gemetar sehingga saya tidak mampu membaca ayat Al-Qur'an sedikitpun dan hanya berdiri kebingungan. Dia berkata : "cepat selesaikan shalatmu!", maka setelah itu seakan-akan Allah membukakan mulut saya dengan suatu ayat yang berbunyi.
"Artinya : Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadanya, dan yang menghilangkan kesusahan". [An-Naml : 62]
Tidak terduga muncul dari mulut bukit seorang satria datang ke arah kami dengan menggemgam tombak di tangannya, lalu melempar tombak tersebut ke arah orang tadi dan tombak pun mengenai jantungnya lalu seketika itu orang tersebut langsung mati terkapar. Setelah itu, maka saya memegang erat-erat satria tersebut dan saya bertanya : "Demi Allah siapakah engkau sebenarnya?" Dia mejawab : "Saya adalah utusan Dzat Yang Maha Mengabulkan permohonan orang-orang yang dalam keadaan terpaksa
tatkala dia berdoa dan menghilangkan segala malapetaka". Kemudian saya mengambil kuda dan semua harta lalu pulang dalam keadaan selamat. [Tafsir Ibnu Katsir 3/370-371]