HAKIKAT DARI TASAWUF



HAKIKAT DARI TASAWUF

Pertanyaan:

Apa sebenarnya arti kata tasawuf hakikat dan hukumnya menurut Islam?
Apakah benar di antara orang-orang ahli tasawuf ada yang tersesat dan menyimpang?

Jawab:

Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam  ke  arah  bagian rohaniah,   ubudiah,   dan   perhatiannya  tercurah  seputar permasalahan itu.

Agama-agama  di  dunia  ini  banyak  sekali  yang   menganut berbagai  macam  tasawuf,  di  antaranya  ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri  sendiri demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya.

Dalam  agama  Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin.  Di  Persia ada  aliran yang bernama Mani'; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.

Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling baik  di  antara  kehidupan  rohaniah  dan  jasmaniah  serta penggunaan akal.

Maka, insan itu sebagaimana digambarkan  oleh  agama,  yaitu terdiri  dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing dari tiga unsur itu diberi hak sesuai  dengan  kebutuhannya. Ketika    Nabi    saw.   melihat   salah   satu   sahabatnya berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat  itu  segera ditegur.  Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin Ash.  Ia  berpuasa  terus  menerus  tidak  pernah   berbuka, sepanjang   malam   beribadat,  tidak  pernah  tidur,  serta meninggalkan  istri  dan  kewajibannya.   Lalu   Nabi   saw. menegurnya dengan sabdanya:

"Wahai  Abdullah,  sesungguhnya  bagi  dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak  (untuk  bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya."

Ketika  sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada istri-istri Rasul saw.  mengenai  ibadat  beliau  yang  luar biasa.  Mereka  (para istri Rasulullah) menjawab, "Kami amat jauh daripada Nabi saw. yang  dosanya  telah  diampuni  oleh Allah  swt,  baik  dosa  yang  telah lampau maupun dosa yang belum dilakukannya."

Kemudian salah seorang di antara mereka berkata,  "Aku  akan beribadat  sepanjang malam." Sedang yang lainnya mengatakan, "Aku tidak akan menikah." Kemudian hal itu sampai  terdengar oleh  Rasulullah  saw,  lalu mereka dipanggil dan Rasulullah saw. berbicara di hadapan mereka.

Sabda beliau:

"Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui  daripada  kamu  akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu; tetapi aku bangun, tidur, berpuasa,  berbuka,  menikah,  dan sebagainya;  semua  itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak senang  dengan  sunnahku  ini,  maka   ia   tidak   termasuk golonganku."

Karenanya,   Islam   melarang   melakukan   hal-hal  yang berlebih-lebihan dan mengharuskan  mengisi  tiap-tiap  waktu luang  dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati setiap bagian dalam hidup ini.

Munculnya  sufi-sufi   di   saat   kaum   Muslimin   umumnya terpengaruh  pada  dunia  yang  datang  kepada  mereka,  dan terbawa pada  pola  pikir  yang  mendasarkan  semua  masalah dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.

Berkembangnya   ekonomi    dan    bertambahnya    pendapatan masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh  dari  tuntutan Islam).

Iman   dan  ilmu  agama  menjadi  falsafah  dan  ilmu  kalam (perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih  yang  tidak lagi  memperhatikan  hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja.

Sekarang  ini,  muncul  golongan  sufi  yang  dapat  mengisi kekosongan   pada   jiwa   masyarakat   dengan   akhlak  dan sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman,  semuanya  hampir  menjadi perhatian dan kegiatan dari kaum sufi.

Mereka para tokoh  sufi  sangat  berhati-hati  dalam  meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai  pikiran  dan  praktek  yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya.

Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali  bertobat  karena  jasa mereka.  Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam rohani, semua itu tidak dapat diingkari.

Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan  mempraktekkan  teori  di  luar  Islam,  ini  yang dinamakan  Sathahat  orang-orang  sufi;  atau  perasaan yang halus dijadikan sumber hukum mereka.

Pandangan mereka  dalam  masalah  pendidikan,  di  antaranya ialah  seorang  murid  di hadapan gurunya harus tunduk patuh ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.

Banyak dari golongan  Ahlus  Sunnah  dan  ulama  salaf  yang menjalankan  tasawuf,  sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur'an; dan   banyak   pula    yang    berusaha    meluruskan    dan mempertimbangkannya    dengan    timbangan   Al-Qur'an   dan As-Sunnah. Di antaranya  ialah  Al-Imam  Ibnul  Qayyim  yang menulis sebuah buku yang berjudul: "Madaarijus-Saalikin ilaa Manaazilus-Saairiin," yang artinya "Tangga  bagi  Perjalanan Menuju  ke  Tempat  Tujuan." Dalam buku tersebut diterangkan mengenai  ilmu   tasawuf,   terutama   di   bidang   akhlak, sebagaimana   buku  kecil  karangan  Syaikhul  Islam  Ismail Al-Harawi   Al-Hanbali,   yang   menafsirkan   dari    Surat Al-Fatihah, "Iyyaaka na'budu waiyyaaka nastaiin."

Kitab  tersebut  adalah  kitab yang paling baik bagi pembaca yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam.

Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh  memakai  pandangannya dan   boleh   tidak   memakainya,   kecuali   ketetapan  dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah  saw. Kita  dapat  mengambil  dari ilmu para sufi pada bagian yang murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah  swt,  cinta kepada  sesama  makhluk,  makrifat  akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari  setan  dan pencegahannya,  serta  perhatian  mereka  dalam meningkatkan jiwa ke tingkat yang murni.

Disamping  itu,  menjauhi  hal-hal   yang   menyimpang   dan terlampau  berlebih-lebihan,  sebagaimana  diterangkan  oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali.  Melalui ulama  ini,  dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.
 

TASAWUF DIANTARA PEMUJI DAN PENGELAK

Pertanyaan:

Kapan lahir dan berkembangnya ilmu tasawuf, dan apapula keistimewaanya?
Apa alasan orang-orang yang menolaknya dan bagaimanadalilnya bagi orang-orang yang memujinya?

Jawab:

Masalah tasawuf ini pernah dibahas, tetapi ada baiknya untuk diulang  kembali,  sebab  masalah  ini  amat  penting  untuk menyatakan suatu hakikat dan kebenaran yang hilang di antara orang-orang  yang mencela dan memuji tasawuf tersebut secara menyeluruh.

Dengan penjelasan  yang  lebih  luas  ini,  sekiranya  dapat membuka  tabir  yang  menyelimuti  bagian  yang  cerah  ini, sebagai teladan bagi orang yang hendak meninjau ke arah itu, misalnya ahli suluk yang berjalan ke arah Allah.

Di   zaman  para  sahabat  Nabi  saw,  kaum  Muslimin  serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali.

Tiada   satu   bagian   pun   yang   tidak   dipelajari  dan dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan  dunia  maupun akhirat;   masalah  pribadi  maupun  kemasyarakatan,  bahkan masalah  yang  ada  hubungannya  dengan   penggunaan   akal, perkembangan  jiwa  dan  jasmani,  mendapat  perhatian pula. Timbulnya perubahan dan  adanya  kesulitan  dalam  kehidupan baru   yang   dihadapinya   adalah   akibat   pengaruh  yang ditimbulkan  dari  dalam   dan   luar.   Dan   juga   adanya bangsa-bangsa   yang   berbeda  paham  dan  alirannya  dalam masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.

Dalam  hal  ini,  terdapat  orang-orang  yang   perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu'tazilah. Ada yang perhatiannya dibatasi pada  bagian  lahirnya  (luarnya) atau   hukum-hukumnya  saja,  yaitu  ahli  fiqih.  Ada  pula orang-orang yang perhatiannya  pada  materi  dan  foya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.

Maka,  pada  saat  itu,  timbullah  orang-orang  sufi  yang perhatiannya terbatas pada  bagian  ubudiah  saja,  terutama pada   bagian   peningkatan   dan   penghayatan  jiwa  untuk mendapatkan   keridhaan   Allah   dan    keselamatan    dari kemurkaan-Nya.   Demi   tercapainya  tujuan  tersebut,  maka diharuskan zuhud atau hidup sederhana  dan  mengurangi  hawa nafsu.  Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada Allah.

Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta  kepada Allah  (mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi'ah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut:

 "Bahwa ketaatan dan kewajiban bukan karena takut pada neraka, dan bukan keinginan akan surga dan kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya, supaya dekat dengan-Nya."

Dalam syairnya, Siti Rabi'ah Al-Adawiyah telah berkata:

 "Semua orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan ingin menikmati surga. Kalau aku tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya."

Kemudian  pandangan  mereka  itu  berubah,  dari  pendidikan
akhlak  dan  latihan  jiwa, berubah menjadi paham-paham baru
atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang  paling
menonjol  ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham
bersatunya hamba dengan Allah).

Paham ini juga yang dianut  oleh  Al-Hallaj,  seorang  tokoh sufi,  sehingga dihukum mati tahun 309 H. karena ia berkata, "Saya adalah Tuhan."

Paham Hulul berarti Allah bersemayam di  dalam  makhluk-Nya, sama dengan paham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih.

Banyak  di  kalangan  para  sufi  sendiri yang menolak paham Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang  menyebabkan  kemarahan para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya.

Filsafat  ini  sangat  berbahaya, karena dapat menghilangkan rasa tanggung jawab  dan  beranggapan  bahwa  semua  manusia sama,  baik  yang jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid maupun yang tidak, semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli (kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah.

Dalam  keadaan  yang  demikian,  tentu  timbul  asumsi  yang bermacam-macam, ada yang menilai  masalah  tasawuf  tersebut secara  amat  fanatik  dengan  memuji  mereka dan menganggap semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula  yang  mencelanya, menganggap  semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi,  agama  Budha, dan lain-lainnya.

Secara  obyektif  bahwa  tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut:

"Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an, Sunnah Rasul saw. dan para sahabatnya yang mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda', Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya."

Banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas diri dari godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia.

Tetapi  hendaknya  selalu  bergerak  menuju  ke  jalan  yang diridhai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba memohon  ampunan Allah swt, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka.

Dalam  Al-Qur,an  dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan mengenai  cinta  Allah  kepada  hamba-hamba-Nya  dan   cinta hambaNya  kepada  Allah.  Sebagaimana  disebutkan dalam ayat Al-Qur,an:

"Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat besar kepada Allah ..." (Q.s. Al-Baqarah: 165).

 "... Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ..." (Q.s. Al-Maidah: 54).

 "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur (tidak tercerai-berai) ..." (Q.s. Ash-Shaff: 4).
 
Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadis mengenai  masalah zuhud,   tawakal,   tobat,   syukur,  sabar,  yakin,  takwa, muraqabah (mawas diri), dan  lain-lainnya  dari  maqam-maqam yang suci dalam agama.

Tidak  ada  golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan,  membahas  dengan  teliti  dan  terinci,  serta membagi  segi-segi  utamanya  maqam  ini  selain  para sufi. Merekalah yang paling mahir  dan  mengetahui  akan  penyakit jiwa,  sifat-sifatnya  dan kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.

Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga  di  sini  saja  dalam peranannya  di  masa  permulaan,  yaitu adanya kemauan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat  yang murni  semata  untuk  Allah  swt. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi,  yaitu:  "Ilmu  tasawuf  itu, kemudian  akan  meningkat  ke  bidang  makrifat  perkenalan, setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia  Allah.  Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani.

Akhirnya,  dengan  ditingkatkannya  hal-hal  ini,  timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi."

Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut:

1.  Dijadikannya  wijid  (perasaan) dan ilham sebagai ukuran untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat  dijadikan ukuran   untuk  membedakan  antara  yang  benar  dan  salah. Sehingga sebagian ada yang berkata, "Aku  diberi  tahu  oleh hati dari Tuhanku (Allah)."

Berbeda  dengan  ungkapan  dari  ahli  sunnah  bahwa apabila mereka meriwayatkan ini  dari  si  Fulan,  si  Fulan  sampai kepada Rasulullah saw.

2.  Dibedakannya  antara  syariat  dan hakikat, antara hukum Islam dan yang bebas dari hukumnya.

3. Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat mempengaruhi  iman  dan akidah mereka, dimana manusia mutlak dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi  melawan  dan  selalu bersikap pasif, tidak aktif.

Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia  dianggapnya  sepele,  padahal  ayat  Al-Qur,an  telah menyatakan:

"... dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu (kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia ..." (Q.s. Al-Qashash: 77).

Pikiran dan teori di atas telah  tersebar  dan  dipraktekkan dimana-mana,  dengan  dasar  dan  paham bahwa hal ini bagian dari  Islam,  ditetapkan  oleh  Islam,  dan  ada   sebagian, terutama  dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.

Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu,  selalu menyuruh  jangan  sampai  menyimpang  dari garis syariat dan hukum-hukumnya.

Ibnul Qayyim berkata mengenai  keterangan  dari  tokoh-tokoh sufi, "Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin Muhammad (297  H.),  berkata,  'Semua  jalan  tertutup  bagi manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw.'"

Al-Junaid pun berkata:
 "Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur'an dan menulis hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu kita (tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur'an dan As-Sunnah."

Abu Khafs berkata:
 "Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala sesuatu dengan timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta tidak menuduh perasaannya (tidak membenarkan wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk golongan kaum tasawuf."

Abu Yazid Al-Basthami berkata:
 "Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan kekuatan-kekuatan yang luar biasa, tetapi yang harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya."

Kiranya keterangan yang paling tepat  mengenai  tasawuf  dan para  sufi  adalah  sebagaimana  yang diuraikan oleh Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam  menjawab  atas  pertanyaan,  "Bagaimana pandangan ahli agama mengenai tasawuf?"

Ibnu Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut,

"Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua, yaitu:

Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid'ah dan di luar Sunnah Nabi saw.

Sebagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan pujian dan menganggap mereka paling baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi saw. Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah bahwa mereka ini sedang dalam usaha melakukan pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha orang-orang lain untuk menaati Allah swt. Dalam kondisi yang prima di antara mereka, ada yang cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya; ada pula yang intensitas ketaatannya sedang-sedang saja. Orang ini termasuk bagian kanan: Min ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara kedua sikap tadi)."

Di antara golongan itu ada yang  salah,  ada  yang  berdosa, melakukan  tobat,  ada  pula yang tetap tidak bertobat. Yang lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi.

Masih  banyak  lagi dari ahli bid'ah dan golongan fasik yang menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan  tidak diakui  oleh  tokoh-tokoh  sufi  yang  benar  dan  terkenal. Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.

Wallaahu A'lam.

HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI



HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI

Pertanyaan:

Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu untuk  menanyakan  apa  saja  yang  berkaitan  dengan hukum agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi.

Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan mengenai    hubungan   seksual   antara   suami-istri   yang berdasarkan  agama,  yaitu  jika  si  istri  menolak  ajakan suaminya  dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak berdasar. Apakah  ada  penetapan  dan  batas-batas  tertentu mengenai  hal  ini,  serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang berdasarkan syariat Islam  untuMk  mengatur  hubungan  kedua pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?
 
Jawab:

Benar,  kita  tidak  boleh bersikap malu dalam memahami ilmu agama, untuk  menanyakan  sesuatu  hal.  Aisyah  r.a.  telah memuji  wanita  Anshar,  bahwa  mereka tidak dihalangi sifat malu   untuk   menanyakan   ilmu   agama.   Walaupun   dalam masalah-masalah  yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat, dan lain-lainnya, di hadapan umum  ketika  di  masjid,  yang biasanya  dihadiri  oleh orang banyak dan di saat para ulama mengajarkan  masalah-masalah  wudhu,  najasah   (macam-macam najis), mandi janabat, dan sebagainya.

Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang bagi  para  ulama  tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara menerangkan secara  jelas  mengenai  hukum-hukum  Allah  dan Sunnah   Nabi   saw.   dengan  cara  yang  tidak  mengurangi kehormatan  agama,  kehebatan  masjid  dan  kewibawaan  para ulama.

Hal  itu  sesuai  dengan  apa  yang  dihimbau oleh ahli-ahli pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini,  agar diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.

Sebenarnya,  masalah   hubungan   antara   suami-istri   itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kesalahan   dan  kerusakan  terhadap  kelangsungan  hubungan suami-istri. Kesalahan yang  bertumpuk  dapat  mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.

Agama  Islam  dengan  nyata tidak mengabaikan segi-segi dari kehidupan manusia  dan  kehidupan  berkeluarga,  yang  telah diterangkan  tentang  perintah  dan larangannya. Semua telah tercantum  dalam  ajaran-ajaran  Islam,  misalnya   mengenai akhlak,  tabiat,  suluk,  dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).

1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi saw, yaitu menikah.
  
Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut:
"Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku."
  
2. Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan mengerjakannya dianggap suatu ibadat. Sebagaimana keterangan Nabi saw.:
  
"Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakuknn pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak  menghitung hal-hal yang baik."

Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih  agresif,  tidak  memiliki  kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya  wanita  itu  bersikap  pemalu  dan dapat menahan diri.

Karenanya   diharuskan  bagi  wanita  menerima  dan  menaati panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
"Jika si istri dipanggil oleh suaminya  karena  perlu,  maka supaya  segera  datang,  walaupun  dia  sedang masak." (H.r. Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).

Dianjurkan oleh Nabi saw.  supaya  si  istri  jangan  sampai menolak   kehendak   suaminya   tanpa   alasan,  yang  dapat menimbulkan  kemarahan  atau  menyebabkannya  menyimpang  ke jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.

Nabi saw. telah bersabda:
"Jika  suami  mengajak  tidur  si  istri  lalu  dia menolak, kemudian  suaminya  marah  kepadanya,  maka  malaikat   akan melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih).

Keadaan  yang  demikian  itu  jika  dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih,  berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt.  adalah Tuhan  bagi  hamba-hambaNya  Yang  Maha  Pemberi  Rezeki dan Hidayat,  dengan  menerima  uzur  hambaNya.  Dan   hendaknya hambaNya juga menerima uzur tersebut.

Selanjutnya,  Islam  telah  melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya  lebih diutamakan  untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa.

Nabi saw. bersabda:
"Dilarang bagi si istri (puasa  sunnah)  sedangkan  suaminya ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).

Disamping  dipeliharanya  hak  kaum  laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga  harus  dipelihara dalam  segala  hal.  Nabi  saw.  menyatakan kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.

Beliau bersabda:
"Sesungguhnya bagi  jasadmu  ada  hak  dan  hagi  keluargamu (istrimu) ada hak."

Abu  Hamid  Al-Ghazali,  ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata:
"Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir- rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan:

"Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku'."

Rasulullah  saw.  melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak, maka tidak akan diganggu oleh setan."

Al-Ghazali berkata, "Dalam  suasana  ini  (akan  bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya; dan  menutup  diri  mereka  dengan  selimut, jangan  telanjang  menyerupai  binatang.  Sang  suami  harus memelihara suasana dan  menyesuaikan  diri,  sehingga  kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."

Berkata  Al-Imam  Abu  Abdullah  Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul  'Ibaad,  mengenai  sunnah Nabi   saw.   dan   keterangannya   dalam  cara  bersetubuh. Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:

Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:

1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah.
2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus.
3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana  kelak di surga.

Ditambah  lagi  mengenai  manfaatnya,   yaitu:   Menundukkan pandangan,  menahan  nafsu,  menguatkan  jiwa dan agar tidak berbuat  serong  bagi  kedua  pasangan.  Nabi   saw.   telah menyatakan:

"Yang  aku  cintai  di  antara  duniamu  adalah  wanita  dan wewangian."

Selanjutnya Nabi saw. bersabda:
"Wahai para  pemuda!  Barangsiapa  yang  mampu  melaksanakan pernikahan,  maka  hendaknya  menikah.  Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."

Kemudian   Ibnul   Qayyim   berkata,   "Sebaiknya   sebelum bersetubuh  hendaknya  diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya."

Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam  usaha  mencari jalan  baik  tidak  bersifat konservatif, bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan  atau  pendapat  masa kini.

Yang  dapat  disimpulkan  di  sini adalah bahwa sesungguhnya Islam  telah  mengenal  hubungan  seksual   diantara   kedua pasangan,   suami   istri,   yang  telah  diterangkan  dalam Al-Qur'anul  Karim   pada   Surat   Al-Baqarah,   yang   ada hubungannya dengan peraturan keluarga.

Firman Allah swt.:
"Dihalalkan  bagi  kamu  pada  malam  hari  puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah  pakaian  bagimu, dan  kamu  pun  adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat  menahan  nafsumu,  karena  itu, Allah  mengampuni  kamu  dan  memberi  maaf  kepadamu.  Maka sekarang campurilah  mereka  dan  ikutilah  apa  yang  telah ditetapkan  Allah  untukmu,  dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang  hitam,  yaitu  fajar. Kemudian,  sempurnakanlah  puasa  itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam  masjid.  Itulah  larangan  Allah, maka janganlah kamu mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).
Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan  antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan, yaitu:
"Mereka itu adalah  pakaian  bagimu,  dan  kamu  pun  adalah pakaian bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).
Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah  suatu  kotoran.  Oleh  sebab  itu,  hendaklah   kamu menjauhkan  diri  dari  wanita  di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.  Apabila  mereka telah  suci  maka  campurilah  mereka  itu  di  tempat  yang diperintahkan Allah kepadamu.  Sesungguhnya  Allah  menyukai orang-orang  yang  bertobat  dan  menyukai  orang-orang yang menyucikan diri.

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah  tempat  kamu  bercocok tanam,  maka  datangilah  tanah  tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki.  Dan  kerjakanlah (amal  yang  baik)  untuk  dirimu,  dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan  menemuiNya.  Dan berilah  kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s. Al-Baqarah: 222-223).
Maka, semua hadis yang  menafsirkan  bahwa  dijauhinya  yang disebut  pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.

Pada ayat di atas disebutkan:
"Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan  cara bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).
Tidak  ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya masalah   dan   undang-undang   atau   peraturannya    dalam Al-Qur'anul  Karim  secara langsung, sebagaimana diterangkan di atas.
 

IMAJINASI MANUSIA TENTANG AL-KHIDIR AS.



IMAJINASI MANUSIA TENTANG AL-KHIDIR AS.

Pertanyaan:

Siapakah  Al-Khidir  itu? Apakah  ia   seorang   Nabi   atau wali? Apakah  ia hidup sampai saat ini sebagaimana dikatakan oleh banyak orang? Sebagian  orang-orang  yang  saleh  telah melihat  dan berjumpa dengannya. Apabila masih hidup, dimana ia  tinggal?  Mengapa  beliau   tidak   muncul   dan   tidak mengajarkan  ilmunya  kepada orang-orang, khususnya di zaman sekarang? Saya harapkan mendapat penjelasan yang memuaskan.

Jawab:

Al-Khidir adalah hamba yang saleh dan disebutkan oleh  Allah Ta'ala  dalam  Surat  Al-Kahfi, yaitu sebagai teman sayidina Musa as. Dimana Nabi Musa as. belajar kepadanya.

Al-Khidir mensyaratkan kepadanya agar  bersabar.  Maka  Musa menyanggupinya.  Al-Khidir  berkata,  "Bagaimana  kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai  pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Al-Khidir tetap menyertai Musa. Ia adalah seorang hamba yang diberi rahmat  oleh  Allah  dan ilmu  dari  sisi-Nya.  Musa  terus  berjalan  bersamanya dan melihat Al-Khidir telah melobangi perahu. Maka Musa berkata, "Apakah engkau melubanginya supaya penumpangnya tenggelam?"

Cerita selanjutnya telah disebutkan dalam Surat Al-Kahfi.

Musa   merasa  heran  atas  perbuatannya,  hingga  Al-Khidir menerangkan  kepadanya  sebab-musabab  dari  perbuatan  yang dilakukan itu. Pada akhir pembicaraannya, Al-Khidir berkata, "Bukanlah  aku  melakukan  itu  menurut  kemauanku  sendiri. Demikian itu adalah penjelasan dari perbuatan-perbuatan yang kamu  tidak  dapat  bersabar  atasnya."   Maksudnya,   semua perbuatan itu hanyalah karena kemauan Allah Ta'ala.

Sebagian orang berkata tentang Al-Khidir:

Ia  hidup sesudah Musa hingga zaman Isa, kemudian zaman Nabi Muhammad saw, ia sekarang masih hidup, dan akan hidup hingga Kiamat.   Ditulis  orang  kisah-kisah,  riwayat-riwayat  dan dongeng-dongeng  bahwa  Al-Khidir  menjumpai  si  Fulan  dan memakaikan  kirqah  (pakaian)  kepada  si  Fulan dan memberi pesan kepada si Fulan.

Sama  sekali  tidak  adil  pendapat  yang  mengatakan  bahwa Al-Khidir masih hidup - sebagaimana anggapan sementara orang - tetapi sebaliknya, ada dalil-dalil dari Al-Qur'an, Sunnah, akal  dan  ijma,  diantara  para  ulama dari ummat ini bahwa Al-Khidir sudah tiada.

Saya anggap cukup  dengan  mengutip  keterangan  dari  kitab Al-Manaarul     Muniif    fil-Haditsish-Shahih   wadl-Dla'if karangan Ibnul Qayyim.

Ibnul  Qayyim  rahimahullah  menyebutkan  dalam  kitab   itu ciri-ciri  dari  hadis  maudlu,  yang  tidak  diterima dalam
agama. Diantara cirinya ialah "hadis-hadis yang menceritakan tentang  Al-Khidir dan kehidupannya." Semuanya adalah dusta. Tidak satu pun hadis yang shahih.

Di antara hadis maudlu, itu ialah hadis yang berbunyi:

"Bahwa Rasulullah saw. sedang berada di masjid,  ketika  itu beliau mendengar pembicaraan dari arah belakangnya. Kemudian beliau melihat, ternyata ia adalah Al-Khidir."

Juga hadis, "Al-Khidir dan Ilyas berjumpa setiap tahun." Dan hadis, "Jibril, Mikail dan Al-Khidir bertemu di Arafah."

Ibrahim Al-Harbi ditanya tentang umur Al-Khidir yang panjang dan bahwa ia masih hidup. Maka beliau menjawab "Tidaklah ada yang   memasukkan  paham  ini  kepada  orang-orang,  kecuali setan."

Imam Bukhari ditanya tentang  Al-Khidir  dan  Ilyas,  apakah keduanya  masih  hidup? Maka beliau menjawab, "Bagaimana hal itu terjadi?" Nabi saw. telah bersabda,
"Tidaklah akan hidup sampai  seratus  tahun  lagi bagi orang-orang yang berada di muka bumi ini." (H.r. Bukhari-Muslim) .

Banyak imam lainnya yang ketika  ditanya  tentang  hal  itu, maka  mereka  menjawab  dengan menggunakan Al-Qur'an sebagai dalil:

"Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia  pun sebelum  kamu  (Muhammad), maka jika kamu mati apakah mereka akan kekal?" (Q.s. Al-Anbiyaa': 34).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  rahimahullah  ditanya  tentang hal itu, maka ia menjawab, "Andaikata Al-Khidir masih hidup, tentulah  ia  wajib  mendatangi  Nabi  saw.   dan   berjihad bersamanya, serta belajar darinya." Nabi saw. telah bersabda ketika perang Badar, "Ya Allah,  jika  pasukan  ini  binasa, niscaya Engkau tidak disembah di bumi."

Pada  waktu  itu  mereka  berjumlah 313 orang laki-laki yang dikenal dengan nama-nama mereka, nama-nama dari  bapak-bapak mereka dan suku-suku mereka. Maka, di manakah Al-Khidir pada waktu itu?

Al-Qur'an dan Sunnah serta pembicaraan para  peneliti  ummat menyangkal masih adanya kehidupan Al-Khidir seperti anggapan mereka. Sebagaimana firman Allah swt. di atas.

Jika Al-Khidir itu manusia, maka ia tidak akan kekal, karena hal  itu  ditolak  Al-Qur'anul  Karim  dan Sunnah yang suci. Seandainya ia masih hidup, tentulah ia  datang  kepada  Nabi saw.  Nabi  saw. telah bersabda, "Demi Allah, andaikata Musa masih hidup, tentu ia akan mengikuti aku." (H.r. Ahmad, dari Jabir bin Abdullah) .

Jika  Al-Khidir  seorang  Nabi,  maka  ia  tidak lebih utama daripada Musa as, dan jika seorang wali, tidaklah  ia  lebih utama daripada Abu Bakar r.a.

Apakah hikmahnya sehingga ia hidup hingga kini - sebagaimana anggapan  orang-orang  -   di   padang   luas,   gurun   dan gunung-gunung?  Apakah  faedahnya syar'iyah maupun akliah di balik  ini?   Sesungguhnya   orang-orang   selalu   menyukai cerita-ccrita  ajaib  dan  dongeng-dongeng fantastis. Mereka menggambarkannya menurut keinginan mereka,  sedangkan  hasil dari  imajinasinya,  mereka  gunakan sebagai baju keagamaan. Cerita ini  disebarkan  diantara  sebagian  orang  awam  dan mereka menganggapnya berasal dari agama mereka, padahal sama sekali bukan dari agama.  Hikayat-hikayat  yang  diceritakan tentang   Al-Khidir  hanyalah  rekayasa  manusia  dan  tidak diturunkan oleh Allah hujjah untuk itu.

Adapun mengenai pertanyaan:  Apakah  ia  seorang  Nabi  atau wali?

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Tampaknya yang lebih  tepat  Al-Khidir  adalah  seorang  Nabi,  sebagaimana tercantum pada ayat yang mulia dari Surat Al-Kahfi, "... dan bukanlah aku melakukannya  menurut  kemauanku  sendiri  ..." (Q.s. Al-Kahfi: 82).

Perkataan   itu   adalah   dalil   bahwa  ia  melakukan  itu berdasarkan  perintah  Allah  dan  wahyu-Nya,   bukan   dari
dirinya. Lebih tepatnya dia adalah seorang Nabi bukan wali.

MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM



MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM

Pertanyaan:

Paham yang  menamakan  dirinya  "Jamaah  Attakfir,"  "Jamaah Alhijrah,"  "fundamentalis  Islam"  dan  sebagainya,  mereka beranggapan bahwa orang yang melakukan dosa besar dan  tidak mau  berhenti  dicap  kafir. Sebagian lagi beranggapan bahwa orang-orang Islam pada umumnnya tidak Muslim,  salat  mereka dan  ibadat  lainnya  tidak  sah,  karena  murtad. Bagaimana pendirian dan pandangan Islam terhadap mereka?
Jawab:

Hal tersebut amat  berbahaya  dan  telah  menjadi  perhatian besar bagi kaum Muslimin khususnya, karena timbulnya pikiran yang terlampau ekstrim. Dalam hal ini, saya sudah menyiapkan sebuah  buku  khusus  mengenai masalah tersebut diatas. Saya kemukakan perlunya  pengkajian  akan  sebab-sebab  timbulnya pikiran  yang  ekstrim dan cara-cara menghadapinya, sehingga dapat diatasi dengan seksama.

Pertama,  tiap-tiap  pikiran  atau  pendapat  harus  dilawan dengan  pikiran,  pandangan  dan  diobati  dengan keterangan serta dalil-dalil yang kuat,  sehingga  dapat  menghilangkan keragu-raguan  dan  pandangan  yang keliru  itu.  Jika kita menggunakan kekerasan sebagai alat satu-satunya, maka  tentu tidak akan membawa faedah.

Kedua,  mereka  itu  (orang-orang  yang  berpandangan salah) umumnya adalah orang-orang baik,  kuat  agamanya  dan  tekun ibadatnya,  tetapi  mereka dapat digoncang oleh hal-hal yang bertentangan dengan Islam dan yang  timbul  pada  masyarakat Islam.  Misalnya  akhlak  buruk, kerusakan di segala bidang, kehancuran  dan  sebagainya.  Mereka  selalu  menuntut   dan mengajak  pada  kebaikan,  dan  mereka  ingin  masyarakatnya berjalan di garis yang telah ditentukan oleh Allah, walaupun jalan  atau  pikirannya menyimpang pada jalan yang salah dan sesat karena mereka tidak mengerti.

Maka, sebaiknya kita hormati niat mereka yang baik itu, lalu kita  beri  penerangan yang cukup, jangan mereka digambarkan atau dikatakan sebagai binatang yang buas atau penjahat bagi masyarakat. Tetapi hendaknya diberi pengarahan dan bimbingan ke jalan yang benar, karena tujuan mereka adalah baik,  akan tetapi salah jalan.

Mengenai   sebab-sebab  timbulnya  pikiran-pikiran  tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tersebarnya kebatilan, kemaksiatan dan kekufuran, yang secara terang-terangan dan terbuka di tengah masyarakat Islam tanpa ada usaha penccgahannya. Bahkan sebaliknya, untuk meningkatkan kemungkaran dan kemaksiatan dia menggunakan agama sebagai alat propaganda untuk menambah kerusakan-kerusakan akhlak dan sebagainya.

2. Sikap para ulama yang amat lunak terhadap mereka yang secara terang-terangan menjalankan praktek orang-orang kafir dan memusuhi orang-orang Islam.

3. Ditindaknya gerakan-gerakan Islam yang sehat dan segala dakwah yang berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka, tiap-tiap perlawanan bagi suatu pikiran yang bebas, tentu akan melahirkan suatu tindakan kearah yang menyimpang, yang nantinya akan melahirkan adanya gerakan bawah tanah (ilegal).

4. Kurangnya pengetahuan mereka tentang agama dan tidak adanya pendalaman ilmu-ilmu dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu, mereka hanya mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan paham yang keliru dan menyesatkan.
Keikhlasan dan semangat saja tidak cukup sebagai bekal  diri sendiri,  jika  tidak disertai dasar yang kuat dan pemahaman yang mendalam mengenai hukum-hukum Islam. Terutama  mengenai hukum syariat dan ilmu fiqih, maka mereka ini akan mengalami nasib yang sama dengan  para  Al-Khawarij  di  masa  lampau, sebagaimana keterangan Al-Imam Ahmad.

Oleh  karena itu, orang-orang saleh yang selalu menganjurkan untuk menuntut ilmu dan memperkuat diri  dengan  pengetahuan Islam  sebelum  melakukan  ibadat dan perjuangan, agar teguh pendiriannya dan tidak kehilangan arah.

Al-Hasan Al-Bashri berkata:

"Segala amalan tanpa dasar ilmu, seperti orang yang berjalan tetapi tidak pada tempatnya berpijak (tidak pada jalannya).
Tiap-tiap  amal  tanpa ilmu akan menimbulkan kerusakan lebih banyak daripada kebaikannya. Tuntutlah ilmu  sehingga  tidak membawa madharat pada ibadat dan tuntutlah ibadat yang tidak membawa madharat pada ilmu. Maka, ada segolongan  kaum  yang melakukan  ibadat  dan  meninggalkan  ilmu,  sehingga mereka mengangkat pedangnya untuk melawan ummat Muhammad saw.  yang termasuk  saudaranya  sesama  Muslim (saling berperang tanpa adanya alasan). Jika mereka memiliki ilmu,  tentu  ilmu  itu tidak akan membawa ke arah perbuatan itu."

  



MENUTUP RAMBUT BAGI WANITA



MENUTUP RAMBUT BAGI WANITA


Pertanyaan:

Ada sebagian orang  mengatakan  bahwa  rambut  wanita  tidak termasuk  aurat  dan  boleh dibuka. Apakah hal ini benar dan bagaimana dalilnya?
 
Jawab:
Telah menjadi suatu ijma' bagi kaum Muslimin di semua negara dan  di  setiap  masa  pada  semua  golongan  fuqaha, ulama, ahli-ahli hadis dan ahli tasawuf, bahwa  rambut  wanita  itu termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di hadapan orang yang bukan muhrimnya.

Adapun sanad  dan  dalil  dari  ijma'  tersebut  ialah  ayat Al-Qur'an:
 
"Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan  perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, ..." (Q.s. An-Nuur: 31).
 
Maka,  berdasarkan  ayat  di atas, Allah swt. telah melarang bagi  wanita  Mukminat  untuk  memperlihatkan  perhiasannya. Kecuali  yang  lahir  (biasa  tampak). Di antara para ulama, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa rambut  wanita  itu  termasuk  hal-hal  yang  lahir;  bahkan ulama-ulama yang  berpandangan  luas,  hal  itu  digolongkan perhiasan yang tidak tampak.

Dalam  tafsirnya,  Al-Qurthubi mengatakan, "Allah swt. telah melarang kepada kaum  wanita,  agar  dia  tidak  menampakkan perhiasannya   (keindahannya),  kecuali  kepada  orang-orang tertentu; atau perhiasan yang biasa tampak."

Ibnu Mas'ud berkata, "Perhiasan yang  lahir  (biasa  tampak) ialah   pakaian."  Ditambahkan  oleh  Ibnu  Jubair,  "Wajah" Ditambah pula oleh Sa'id Ibnu Jubair dan  Al-Auzai,  "Wajah, kedua tangan dan pakaian."

Ibnu  Abbas,  Qatadah  dan Al-Masuri Ibnu Makhramah berkata, "Perhiasan (keindahan) yang lahir itu ialah celak, perhiasan dan cincin termasuk dibolehkan (mubah)."

Ibnu Atiyah berkata, "Yang jelas bagi saya ialah yang sesuai dengan arti ayat tersebut, bahwa wanita diperintahkan  untuktidak  menampakkan  dirinya dalam keadaan berhias yang indah dan supaya berusaha  menutupi  hal  itu.  Perkecualian  pada bagian-bagian  yang  kiranya berat untuk menutupinya, karena darurat dan sukar, misalnya wajah dan tangan."

Berkata Al-Qurthubi, "Pandangan Ibnu  Atiyah  tersebut  baik sekali, karena biasanya wajah dan kedua tangan itu tampak di waktu biasa  dan  ketika  melakukan  amal  ibadat,  misalnya salat, ibadat haji dan sebagainya."

Hal  yang  demikian  ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma' binti  Abu Bakar  r.a.  bertemu dengan Rasulullah saw, ketika itu Asma' sedang  mengenakan  pakaian  tipis,  lalu  Rasulullah   saw. memalingkan muka seraya bersabda:

"Wahai Asma'! Sesungguhnya, jika seorang wanita sudah sampai masa haid, maka tidak layak lagi bagi dirinya menampakkannya, kecuali ini ..." (beliau mengisyaratkan pada muka dan tangannya).

Dengan demikian, sabda Rasulullah saw. itu menunjukkan bahwa rambut  wanita   tidak   termasuk   perhiasan   yang   boleh ditampakkan, kecuali wajah dan tangan.

Allah  swt.  telah  memerintahkan  bagi  kaum wanita Mukmin, dalam  ayat  di  atas,  untuk  menutup  tempat-tempat   yang biasanya  terbuka  di  bagian dada. Arti Al-Khimar itu ialah "kain  untuk  menutup  kepala,"  sebagaimana   surban   bagi laki-laki,   sebagaimana  keterangan  para  ulama  dan  ahli tafsir. Hal ini (hadis  yang  menganjurkan  menutup  kepala) tidak terdapat pada hadis manapun.

Al-Qurthubi  berkata,  "Sebab  turunnya  ayat tersebut ialah bahwa pada masa itu kaum wanita jika menutup  kepala  dengan akhmirah  (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke belakang, sehingga dada, leher dan telinganya  tidak  tertutup.  Maka, Allah swt. memerintahkan untuk menutup bagian mukanya, yaitu dada dan lainnya."

Dalam riwayat Al-Bukhari, bahwa Aisyah r.a.  telah  berkata, "Mudah-mudahan wanita yang berhijrah itu dirahmati Allah."

Ketika turun ayat tersebut, mereka segera merobek pakaiannya untuk menutupi apa yang terbuka.

Ketika Aisyah r.a. didatangi oleh Hafsah, kemenakannya, anak dari saudaranya yang bernama Abdurrahman r.a. dengan memakai kerudung (khamirah) yang tipis di  bagian  lehernya,  Aisyah r.a.   lalu   berkata,   "Ini   amat   tipis,   tidak  dapat menutupinya."


WANITA BERHIAS DI SALON KECANTIKAN

Pertanyaan:

Apakah boleh wanita Muslimat menghias (mempercantik) dirinya di  tempat-tempat  tertentu,  misalnya  pada  saat ini, yang dinamakan salon kecantikan, dengan alasan keadaan masa  kini bagi wanita  sangat penting untuk tampil dengan perlengkapan dan cara-cara berhias seperti itu yang bersifat modren?

Selain itu, bolehkah wanita memakai rambut palsu atau  tutup kepala yang dibuat khusus untuk itu?
 
Jawab:

Agama  Islam  menentang kehidupan yang bersifat kesengsaraan dan menyiksa diri, sebagaimana yang telah dipraktekkan  oleh sebagian  dari pemeluk agama lain dan aliran tertentu. Agama Islam pun menganjurkan bagi  ummatnya  untuk  selalu  tampak indah   dengan   cara   sederhana   dan  layak,  yang  tidak berlebih-lebihan. Bahkan Islam menganjurkan di  saat  hendak mengerjakan  ibadat,  supaya  berhias diri disamping menjaga kebersihan dan kesucian tempat maupun pakaian.

Allah swt. berfirman:

 "... pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid ..." (Q.s.Al-A'raaf: 31)
 
Bila Islam sudah menetapkan hal-hal yang  indah,  baik  bagi laki-laki  maupun  wanita, maka terhadap wanita, Islam lebih memberi  perhatian  dan   kelonggaran,   karena   fitrahnya, sebagaimana  dibolehkannya memakai kain sutera dan perhiasan emas, dimana hal itu diharamkan bagi kaum laki-laki.

Adapun hal-hal  yang  dianggap  oleh  manusia  baik,  tetapi membawa  kerusakan  dan  perubahan  pada tubuhnya, dari yang telah diciptakan oleh Allah swt, dimana perubahan itu  tidak layak  bagi  fitrah  manusia,  tentu  hal  itu pengaruh dari perbuatan setan yang hendak memperdayakan. Oleh karena  itu, perbuatan tersebut dilarang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.:

"Allah melaknati pembuatan tatto, yaitu menusukkan jarum ke kulit dengan warna yang berupa tulisan, gambar bunga, simbol-simbol dan sebagainya; mempertajam gigi, memendekkan atau menyambung rambut dengan rambut orang lain, (yang bersifat palsu, menipu dan sebagainya)." (Hadis shahih).

Sebagaimana riwayat Said bin Musayyab, salah seorang sahabat Nabi  saw.  ketika Muawiyah berada di Madinah setelah beliau berpidato,  tiba-tiba  mengeluarkan  segenggam  rambut   dan mengatakan,  "Inilah  rambut  yang dinamakan Nabi saw. azzur yang artinya  atwashilah  (penyambung),  yang  dipakai  oleh wanita  untuk menyambung rambutnya, hal itulah yang dilarang oleh Rasulullah saw. dan  tentu  hal  itu  adalah  perbuatan orang-orang Yahudi. Bagaimana dengan Anda, wahai para ulama, apakah kalian tidak melarang  hal  itu?  Padahal  aku  telah mendengar   sabda  Nabi  saw.  yang  artinya,  'Sesungguhnya terbinasanya orang-orang Israel itu  karena  para  wanitanya memakai itu (rambut palsu) terus-menerus'." (H.r. Bukhari).

Nabi  saw.  menamakan  perbuatan  itu  sebagai  suatu bentuk kepalsuan, supaya tampak hikmah sebab  dilarangnya  hal  itu bagi kaum wanita, dan karena hal itu juga merupakan sebagian dari tipu muslihat.

Bagi wanita yang menghias rambut atau lainnya di salon-salon kecantikan,  sedang  yang  menanganinya (karyawannya) adalah kaum laki-laki. Hal itu jelas  dilarang,  karena  bukan saja bertemu  dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tetapi lebih dari itu, sudah pasti itu haram, walaupun dilakukan di rumah sendiri.

Bagi  wanita  Muslimat  yang tujuannya taat kepada agama dan Tuhannya, sebaiknya berhias diri di rumahnya  sendiri  untuk suaminya,  bukan  di  luar  rumah atau di tengah jalan untuk orang lain. Yang  demikian  itu  adalah  tingkah  laku  kaum Yahudi yang menginginkan cara-cara moderen dan sebagainya.



APAKAH WANITA ITU JAHAT DALAM SEGALANYA?

Pertanyaan:

Dalam buku Nahjul Balaghah karangan Amirul-Mukminin Ali  bin Abi Thalib r.a terdapat suatu keterangan:
"Wanita itu jahat dalam segalanya. Dan yang paling jahat dari dirinya ialah kita tidak dapat terlepas dari padanya."
Apakah  arti yang sebenarnya (maksud) dari kalimat tersebut? Apakah  hal  itu  sesuai  dengan  pandangan  Islam  terhadap wanita? Saya mohon penjelasannya. Terima kasih.
 
Jawab:

Ada dua hal yang nyata kebenarannya, tetapi harus dijelaskan lebih dahulu, yaitu:

Pertama,   yang   menjadi   pegangan   atau    dasar    dari masalah-masalah agama ialah firman Allah swt. dan sabda Nabi saw, selain dari dua ini, setiap  orang  kata-katanya  boleh diambil  dan  ditinggalkan.  Maka,  Al-Qur'an dan As-Sunnah, kedua-duanya adalah sumber yang kuat dan benar.

Kedua, sebagaimana telah  diketahui  oleh  para  analis  dan cendekiawan  Muslim,  bahwa semua tulisan yang ada pada buku tersebut  di  atas  (Nahjul  Balaghah),  baik  yang   berupa dalil-dalil   atau  alasan-alasan  yang  dikemukakan,  tidak semuanya tepat. Diantara hal-hal  yang  ada  pada  buku  itu ialah  tidak menggambarkan masa maupun pikiran serta cara di zaman Ali r.a.

Oleh sebab itu, tidak dapat dijadikan dalil dan tidak  dapat dianggap  benar, karena semua kata-kata dalam buku itu tidak ditulis oleh Al-Imam Ali r.a.

Didalam penetapan ilmu agama, setiap ucapan  atau  kata-kata dari  seseorang,  tidak  dapat  dibenarkan, kecuali disertai dalil  yang  shahih  dan  bersambung,   yang   bersih   dari kekurangan atau aib dan kelemahan kalimatnya.

Maka,  kata-kata  itu tidak dapat disebut sebagai ucapan Ali r.a. karena tidak bersambung dan tidak mempunyai sanad  yang shahih.  Sekalipun  kata-kata  tersebut mempunyai sanad yang shahih, bersambung, riwayatnya adil dan  benar,  maka  wajib ditolak,  karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil dan hukum  Islam.  Alasan  ini  terpakai  di  dalam  segala  hal (kata-kata) atau fatwa, walaupun sanadnya seterang matahari.

Mustahil  bagi  Al-Imam  Ali r.a. mengatakan hal itu, dimana beliau sering  membaca  ayat-ayat  Al-Qur'an,  di  antaranya adalah:

"Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang, yang kemudian darinya Allah lantas menciptakan istrinya, dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak ..." (Q.s.An-Nisa': 1)
    
 "Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan firman-Nya): 'Bahwa sesungguhnya Aku tiada mensia-siakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun wanita, (karena) sebagian darimu adalah keturunan dari sebagian yang lain ..." (Q.s. Ali Imran: 195).
    
 "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Allah menjadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang ..." (Q.s. Ar-Ruum: 21).
 
Masih  banyak  lagi  di antara ayat-ayat suci Al-Qur'an yang mengangkat dan memuji derajat kaum  wanita,  disamping  kaum laki-laki. Sebagaimana Nabi saw. bersabda:

 "Termasuk tiga sumber kebahagiaan bagi laki-laki ialah wanita salehat, kediaman yang baik dan kendaraan yang baik pula." (H.r. Ahmad dengan sanad yang shahih).
    
"Di dunia ini mengandung kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan itu adalah wanita yang salehat." (H.r. Imam Muslim, Nasa'i dan Ibnu Majah).
    
"Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah wanita yang salehat, maka dia telah dibantu dalam sebagian agamanya; maka bertakwalah pula kepada Allah dalam sisanya yang sebagian."

Banyak  lagi  hadis-hadis dari Nabi saw. yang memuji wanita; maka mustahil bahwa Ali r.a. berkata sebagaimana di atas.

Sifat wanita itu berbeda dengan sifat  laki-laki  dari  segi fitrah;  kedua-duanya  dapat  menerima  kebaikan, kejahatan, hidayat. kesesatan dan sebagainya.

Firman Allah swt. dalam Al-Qur'an,

 "Jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya); maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (Q.s. Asy-Syams: 7-10)
 
Mengenai fitnah yang ada pada wanita disamping  fitnah  yang ada   pada   harta  dan  anak-anak,  dimana  hal  itu  telah diterangkan di dalam Al-Qur'an dan dianjurkan supaya  mereka waspada dan menjaga diri dari fitnah tersebut.

Dalam  sabda Rasulullah saxv. diterangkan mengenai fitnahnya kaum wanita, yaitu sebagai berikut,

 "Setelah aku tiada, tidak ada fitnah yang paling besar gangguannya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita." (H.r. Bukhari).

Arti dari hadis di atas menunjukkan bahwa wanita  itu  bukan jahat,  tetapi  mempunyai  pengaruh yang besar bagi manusia, yang dikhawatirkan lupa pada kewajibannya, lupa kepada Allah dan terhadap agama.

Selain  masalah  wanita, Al-Qur'an juga mengingatkan manusia mengenai fitnah yang disebabkan dari harta dan anak-anak.

Allah swt. berfirman dalam Al-Qur'an:

 "Sesungguhnya harta-harta dan anak-anakmu adalah fitnah (cobaan bagimu); dan pada sisi Allah-lah pahala yang besar." (Q.s. At-Taghaabun: 15)
    
"Hai orang-orang yang beriman!Janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu mengingat kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian' maka mereka termasuk orang-orang yang merugi." (Q.s. Al-Munaafiquun: 9).
 
Selain dari itu (wanita,  anak-anak  dan  harta  yang  dapat mendatangkan fitnah), harta juga sebagai sesuatu yang baik.

Firman Allah swt.:

"Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dan istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu; dan memberimu rezeki dari harta yang baik-baik ..." (Q.s. An-Nahl: 72)
 
Oleh  karena  itu,  dianjurkannya  untuk waspada dari fitnah kaum wanita, fitnah  harta  dan  anak-anak,  hal  itu  bukan berarti  kesemuanya  bersifat  jahat,  tetapi  demi mencegah timbulnya fitnah yang dapat  melalaikan  kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah swt.

Allah   swt.  tidak  mungkin  menciptakan  suatu  kejahatan, kemudian dijadikannya sebagai suatu kebutuhan dan  keharusan bagi setiap makhluk-Nya.

Makna  yang  tersirat  dari suatu kejahatan itu adalah suatu bagian yang amat sensitif,  realitanya  menjadi  lazim  bagi kebaikan secara mutlak. Segala bentuk kebaikan dan kejahatan itu berada di tangan (kekuasaan) Allah swt.

Oleh  sebab  itu,  Allah  memberikan  bimbingan  bagi   kaum laki-laki  untuk menjaga dirinya dari bahaya dan fitnah yang dapat  disebabkan  dan  mudah   dipengaruhi   oleh   hal-hal tersebut.

Diwajibkanjuga   bagi   kaum   wanita,   agar   waspada  dan berhati-hati dalam menghadapi tipu muslihat yang  diupayakan oleh  musuh-musuh Islam untuk menjadikan kaum wanita sebagai sarana perusak budi pekerti, akhlak yang luhur dan  bernilai suci.

Wajib  bagi  para  wanita  Muslimat  kembali  pada kodratnya sebagai wanita yang saleh, wanita hakiki, istri salehat, dan sebagai ibu teladan bagi rumah tangga, agama dan negara.


PERANAN WANITA DAN KEBANGKITAN UMMAT ISLAM MASA KINI



PERANAN WANITA DAN KEBANGKITAN UMMAT ISLAM MASA KINI

Pertanyaan:

Apakah benar ada masa kebangkitan bagi ummat Islam?

Jika ada, bagaimana peranan wanita dalam Islam  secara  umum dan   pandangan   terhadap  wanita  karier,  dan  bagi  yang berpendidikan tinggi pada khususnya?

Jawab:

Tidak dapat diragukan  lagi,  bahwa  kita  hidup  dalam  era kebangkitan  Islam, setelah sekian lama kaum Muslimin berada dalam keadaan tidak sadar  dan  lelap  dalam  tidurnya  yang berkepanjangan,    seperti   halnya   kaum   Kahfi,   dimana musuh-musuh mereka mengintervensi dari Barat, Timur, Selatan dan  Utara.  Kemudian  menjajah  dan  menguasainya, sehingga dengan mudah menjatuhkan mereka dari agamanya, yaitu  Islam. Lalu   diganti   secara   paksa   peraturan-peraturan  baru, hukum-hukum baru, baik dalam masalah politik maupun sosial.

Hal-hal yang demikian itu terjadi pada  saat  kaum  Muslimin dalam   keadaan  tidak  sadar.  Kemudian  berkat  perjuangan ahli-ahli fiqih dan dakwah, maka terjadilah pembaruan  untuk membangun pusat dakwah Islamiah dan perorangan di mana-mana.

Dengan  takdir  Allah,  maka  terjadilah  kebangkitan  ummat Islam. Hal ini sudah  biasa  bagi  ummat  Islam  dan  sesuai dengan  sifatnya,  bahwa  ummat  Islam  tidak  mungkin  mati selamanya, tanpa  bangkit  kembali.  Karenanya,  agama  yang hidup  mengharuskan  ummatnya  hidup;  dan  Allah swt. dalam setiap  masa  selalu  mengangkat  seseorang,  untuk  membawa keharuman agama bagi ummatnya.

Dalam  setiap  masa  selalu  timbul  di  tengah-tengah ummat Islam, orang-orang  yang  membela  kebenaran,  walau  bahaya menentangnya,  sampai  datangnya hari Kiamat. Maka dari itu, keluarlah  suara-suara  untuk  mengajak  bagi  ditegakkannya kebenaran  dan dipraktekkannya agama Islam secara utuh serta pembaruan, sebagaimana dapat dirasakan seperti sekarang ini.

Sebenarnya, kebangkitan ini meliputi semua  aspek.  Sebagian orang  mengira  di  saat  permulaan  hanya  suara  saja yang timbul, disebabkan oleh  perasaan  dan  semangat.  Sementara kenyataan  menjadi  sebaliknya,  setiap waktu bertambah kuat semangat yang menyala, perasaan yang hidup  dalam  kesadaran pada  agama  tersebut,  dan  kebangkitan berdasarkan pikiran yang sehat, setelah  lama  hidup  jauh  dari  kemurnian  dan kebenarannya.  Sadar  akan  akibat dan keadilannya di segala bidang.

Sungguh telah berubah  semua  perasaan  dan  simpatik,  yang dulunya   di   bawah   naungan   gerakan   Nasionalisme  dan Sosialisme,   serta   lain-lainnya,   dari    aliran    yang bertentangaan   dengan  agama.  Maka,  pikiran-pikiran  yang semula dipengaruhi oleh  paham-paham  yang  bukan  bersumber pada  Islam, karena belum paham terhadap Islam, sekarang ini mereka sadar akan kebenaran dan kemurnian dari ajaran Islam. Mereka  paham  bahwa  Islam  itu  bukan  ibadat saja, tetapi menyangkut  segi  akidah,  akhlak   yang   luhur,   muamalah (jual-beli) yang baik, dan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah. Bahkan Islam itu adalah amanat dan risalah yang dapat mengatur kehidupan manusia sebelum lahirnya manusia, sesudah lahir, ketika masih berupa janin, di waktu hidup dan  ketika mati. Begitu juga di waktu bangkit kembali.

Kebangkitan  ini  termasuk  kebangkitan berpikir. Kita telah melihat buku-buku yang telah ditulis  oleh  ahli-ahli  pikir
dan  penulis-penulis  terkenal.  Di  mana-mana,  terutama di perpustakaan, penuh dengan bermacam-macam buku  yang  dibaca para  generasi  muda  Islam,  mulai  dari yang berpendidikan rendah   sampai   yang    berpendidikan    tinggi,    mereka mempelajarinya secara mendalam.

Adapun masa kemunduran dan bekunya pikiran adalah disebabkan oleh banyak hal, diantaranya ialah:

Pada  masa  itu  banyak  pikiran-pikiran  yang  condong  dan menganggap harus ikut peradaban Barat di segala bidang.

Tiada jalan bagi kemajuan, kecuali mengambil peradaban Barat secara keseluruhan, baik, buruk, pahit dan  manis.  Sehingga para   simpatisan   giat   mencari  dalil  untuk  menguatkan kedudukan dan peradaban orang  asing;  bahkan  hal-hal  yang tidak  sesuai  dengan  peraturan mereka, dicela dan dianggap tidak sempurna, misalnya dalam masalah talak, riba, poligami dan sebagainya.

Sekarang  ini  lain  halnya,  semua  masalah dihadapi dengan bahasa ilmiah dan pikiran yang sehat, walaupun mereka  dalam masa  kemajuan telah mencapai bulan dan dengan mudah manusia dapat menikmati hidup yang mewah, tetapi mereka gagal  dalam membina   ketenangan  jiwanya.  Mereka  hanya  memperhatikan sarana bagi sesuatu, tetapi mereka mengabaikan tujuan  luhur dari kehidupan ini, dan itu hanya bisa diarahkan oleh Islam.

MASALAH YANG TIDAK DAPAT DIJAWAB

Peradaban  masyarakat  Barat tidak dapat menjawab pertanyaan berikut ini: Untuk apakah manusia ini hidup, dari  mana  dan hendak ke mana mereka pergi?

Peradaban   Barat   tidak   dapat  memberi  kebahagiaan  dan kesejahteraan bagi manusia. Maka Islamlah satu-satunya agama alternatif    yang   dapat   mengungkapkan   kelemahan   dan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi  tantangan  kehidupan yang  menuju  ke  arah  kesejahteraan  di  dunia  maupun  di akhirat. Islamlah yang dapat menjawab dan  memecahkan  semua permasalahan, baik masalah politik, sosial dan lainnya.

PERANAN KAUM INTELEKTUAL

Perhatian  akan  masalah-masalah  Islam  tidak saja terbatas kepada orang-orang berusia lanjut, bahkan tampak lebih besar perhatian   semangatnya   di   kalangan   para  pelajar  dan ilmuwannya,  baik  laki-laki  maupun  wanita.  Mereka   giat mempelajari  masalah-masalah  Islam  dan mempraktekkannya di masjid dan tempat-tempat ibadat lainnya yang selalu dipenuhi oleh segenap lapisan ummat Islam.

PERANAN WANITA

Jika  kita  membaca Al-Qur'an, maka dapat kita ketahui bahwa penciptaan Nabi Adam as. bersamaan  dengan  ibu  Hawa,  yang berfungsi sebagai istri dan kawan hidup beliau.

Kita  mengetahui  kisah  istri  Fir'aun, yang dapat mencegah Fir'aun  dalam  niatnya  untuk  membunuh   Nabi   Musa   as. Sebagaimana tercantum dalam firman Allah swt.:

"Dan berkatalah istri Fir'aun, '(Ia) biji mata bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut menjadi anak, sedangkan mereka tidak menyadari." (Q.s. Al-Qashash: 9).

Kita  simak  kisah  dimana  ada  dua  wanita di kota Madyan, keduanya putri Asy-Syekh Al-Kabir,  yang  diberi  air  minum oleh   Nabi   Musa   as.   Kemudian  kedua  wanita  tersebut mengusulkan kepada ayahnya, supaya memberi pekerjaan  kepada Nabi   Musa   as.   karena  beliau  memiliki  amanat  (dapat dipercaya) dan fisiknya kuat. Sebagaimana yang tertera dalam firman Allah swt.:

"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Wahai Bapakku, ambillah dia sebagai orang yang bekerja (kepada kita), karena sesungguhnya orang yang terbaik, yang kamu ambil untuk bekerja (kepada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya'." (Q.s. Al-Qashash: 26).

Kita  simak  lagi  kisah  ratu  Balqis di negeri Yaman, yang terkenal adil dan memiliki jiwa demokrasi. Ratu ini  setelah menerima  surat  dari  Nabi  Sulaiman as. yang isinya seruan untuk taat kepada Allah dan menyembah kepada-Nya,  lalu  dia meminta  pendapat  kepada  kaumnya  dan  bermusyawarah untuk mengambil sebuah putusan bersama.

Firman Allah swt.:

"Berkata dia (Balqis), 'Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).'

Mereka menjawab,  'Kita  adalah  orang-orang  yang  memiliki kekuatan  dan  (juga)  memiliki  keberanian  yang luar hiasa (dalam peperangan), dan keputusan berada di  tanganmu;  maka pertimbangkanlah   yang   akan   kamu  perintahkan'."  (Q.s. An-Naml: 32-3).

Kemudian dia berkata,  sebagaimana  yang  telah  difirmankan Allah swt.:

"Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang terhormat jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat." (Q.s. An-Naml: 34).

Kesimpulan   dari   pendapat   ratu   tersebut  ialah  bahwa penguasa-penguasa di dunia ini jika mereka hendak  menguasai suatu  negeri,  maka  mereka  akan  merusak  dua  hal, yaitu merusak negara dan moral penduduknya.

Oleh  karena  itu,  di  dalam  Al-Qur'an  telah   disebutkan nama-nama wanita selain wanita-wanita yang tersebut di atas, yang  ada   hubungannya   dengan   kisahnya   masing-masing. Misalnya, ibu Nabi Isa as, Maryam Al-Batul.

PERANAN WANITA PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW.

Adapun  peranan wanita pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. yang kita kenal ialah yang memelihara Nabi saw, yaitu Aminah ibu  beliau;  yang menyusuinya, Halima As-Sa'diyah; dan yang menjadi hadina (pengasuh) bagi beliau, Ummu Aiman r.a.  dari Habasyah.

Nabi  saw.  telah  bersabda, "Bahwa dia adalah ibuku setelah ibuku sendiri."

Kemudian kita  kenal  Siti  Khadijah  binti  Khuwailid  r.a, wanita  pertama  yang  beriman dan membantunya, Siti Aisyah, Ummu Salamah, dan lain-lainnya,  dari  Ummahaatul  Mukmtniin (ibu  dari  kaum  Mukmin), istri-istri Nabi, dan istri-istri para sahabat Rasulullah saw.

AKTIVITAS WANITA MASA KINI

Sebenarnya, usaha (kiprah) kaum wanita cukup  luas  meliputi berbagai  bidang,  terutama  yang berhubungan dengan dirinya sendiri, yang diselaraskan dengan Islam, dalam segi  akidah, akhlak dan masalah yang tidak menyimpang dari apa yang sudah digariskan atau ditetapkan oleh Islam.

Wanita  Muslimat  mempunyai   kewajiban   untuk   memperkuat hubungannya   dengan  Allah  dan  menyucikan  pikiran  serta wataknya dari sisa-sisa pengaruh pikiran Barat.

Harus mengetahui cara menangkis serangan-serangan  kebatilan dan syubuhat terhadap Islam.

Harus     diketahui     dan     disadari     hal-hal    yang melatarbelakanginya, mengapa dia harus menerima separuh dari bagian  yang  diterima oleh kaum laki-laki dalam masalah hak waris? Mengapa saksi seorang  wanita  itu  dianggap  separuh dari  laki-laki?  Juga  harus  memahami hakikatnya, sehingga iman  dan  Islamnya  bersih,  tiada   keraguan   lagi   yang menyelimuti benak dan pikirannya.

Dia harus menjalankan secara keseluruhan mengenai akhlak dan perilakunya, sesuai  dengan  yang  dikehendaki  oleh  Islam. Tidak  boleh  terpengaruh  oleh  sikap  dan  perilaku wanita non-Muslim atau berpaham Barat.  Karena  mereka  bebas  dari pikiran  dan  peraturan-peraturan  sebagaimana yang ada pada agama Islam. Mereka tidak terikat  pada  perkara  halal  dan haram, baik dan buruk.

Banyak  diantara kaum wanita yang meniru mereka secara buta, misalnya memanjangkan kuku yang  menyerupai  binatang  buas, pakaian  mini,  tipis (transparan), atau setengah telanjang, dan sebagainya. Cara yang demikian itu adalah  meniru  orang yang buta akan hal-hal terlarang.

Nabi saw. telah bersabda:

"Janganlah kamu menjadi orang yang tidak mempunyai pendirian dan berkata, 'Aku ikut saja seperti orang-orang itu. Jika mereka baik, aku pun baik; jika mereka jahat, aku pun jadi jahat.' Tetapi teguhkan hatimu dengan keputusan bahwa jika orang-orang melakukan kebaikan, maka aku akan mengerjakannya; dan jika orang-orang melakukan kejahatan, maka aku tidak akan mengerjakan."

PERANAN WANITA DALAM KELUARGANYA

Di  dalam  Al-Qur'an  telah  ditetapkan, semua penetapan dan perintah ditujukan kepada kedua pihak, laki-laki dan wanita, kecuali  yang  khusus  bagi  salah satu dari keduanya. Maka, kewajiban  bagi  kaum  wanita  di  dalam  keluarganya  ialah menjalankan apa yang diwajibkan baginya.

Jika dia sebagai anak, kemudian kedua orangtuanya atau salah satunya menyimpang dari batas  yang  telah  ditentukan  oleh agama,  maka dengan cara yang sopan dan bijaksana, dia harus mengajak kedua orangtuanya kembali ke jalan yang baik,  yang telah  menjadi  tujuan  agama,  disamping  tetap menghormati kedua orangtua.

Wajib  bagi  setiap  wanita  (para  istri),  yaitu  membantu suaminya  dalam  menjalankan  perintah agama, mencari rezeki yang halal, menerima dan mensyukuri yang dimilikinya  dengan penuh kesabaran, dan sebagainya.

Wajib  pula  bagi  setiap  ibu,  mengajar  anak-anaknya taat kepada  Allah,  yakni  dengan  menjauhi   larangan-Nya   dan menjalankan    perintah-Nya,   serta   taat   kepada   kedua orangtuanya.

Kewajiban bagi setiap wanita  terhadap  kawan-kawannya  yang seagama,  yaitu  menganjurkan  untuk membersihkan akidah dan tauhidnya dari pengaruh di luar Islam; menjauhi  paham-paham yang  bersifat  merusak  dan menghancurkan sendi-sendi Islam dan  akhlak  yang  luhur,  yang  diterimanya  melalui  buku, majalah, film, dan sebagainya.

Dengan   adanya   tindakan-tindakan   di  luar  Islam,  yang ditimbulkan oleh sebagian kaum Muslimin terhadap wanita yang kurang bijaksana dan insaf, maka hal inilah yang menyebabkan terpengaruhnya   mereka    pada    peradaban    Barat    dan paham-pahamnya.

Harus  diakui,  bahwa  hak-hak wanita di sebagian masyarakat Islam belum diberikan secara penuh.

Harus diketahui pula, bahwa suara pertama dari  kaum  wanita dalam  menguatkan  dakwah  dan  risalah  Muhammad saw. ialah suara Khadijah binti Khuwailid r.a. kepada Rasulullah saw.:

 "Demi Allah, Tuhan tidak akan mengecewakan engkau sama sekali. Sesungguhnya engkau bersilaturrahmi, menghubungi keluarga dan mengangkat beban berat, memberi kepada orang yang tidak punya, menerima dan memberi (menghormati) kepada tamu, serta menolong orang-orang yang menderita."

Orang pertama yang berperan sebagai syuhada ialah  Ummu  Amr binti  Yasir  Ibnu  Amar  yang  bernama  Samiah, dia bersama suaminya disiksa,  agar  mereka  keluar  dari  agama  Islam. Tetapi  mereka  tetap  bertahan dan sabar, sehingga dia mati syahid bersama suaminya.

Ketika Rasulullah saw. melintasi mereka, dan melihat  mereka dalam  keadaan disiksa, lalu Rasulullah saw. berkata kepada mereka, "Sabarlah wahai Al-Yasir,  sesungguhnya  kita  nanti akan bertemu di surga."

Keterangan:
Artikel ini merupakan artikel lepas yang ditulis oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi. Dikutip dari Majalah "Al-Ummah," no.  66,  Pebruari  1986,  hlm.  40-5. Dimuatnya artikel ini menurut hemat kami amat layak. (Penerjemah).