PROSES TERPILIHNYA ABU BAKAR

PROSES TERPILIHNYA ABU BAKAR
Nabi Muhammad SAW adalam pemimpin keagamaan dan pemimpin politik sekaligus. Ia adalah nabi yang terakhir. Tidak mungkin ada nabi sepeninggal beliau. Artinya, posisi sebagai pemimpin keagamaan (setingkat nabi) tidak mungkin ada yang mneruskan tetapi sebagai pemimpin politik (setingkat kepala negara) dapat saja digantikan dan diteruskan oleh sahabat beliau.(1)

Pertanyaannya : siapa yang menggantikan beliau sebagai pemimpin politik, apa syaratnya dan bagaimana caranya ?

Wafatnya Rasul membuat madinah bising dengan tangisan. Umat pun bertanya-tanya siapa yang akan memimpin mereka. Sebagian sahabat terkemuka rupanya sudah memikirkan hal itu dan berkumpul di "balairung" safiqah di perkampungan Bani Sa'idah (2). Yang mula-mula berkumpul disana adalah golongan Anshar, yang terbagi pada suku Kharaj dan 'Aus.

Umar rupanya mendengar pertemuan tersebut. Ia mencari Abu Bakar dan menerangkan gawatnya persoalan (3). Umar berkata,"Saya telah mengetahui kaum Anshar sedang berkumpul di Safiqah, mereka merencanakan untuk mengangkat Sa'ad bin Ubadah untuk menjadi pemimpin (ia dari suku Khazraj). Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan dari kita seorang pemimpin dan dari Quraisy seorang pemimpin ( minna amir wa minkum amir). Ini dapat membawa pada dualisme kepemimpinan yang tak pelak lagi akan menggoyang "bayi" umat Islam.

Setelah mengerti betapa gawatnya pesoalan, Abu Bakar mengikuti Umar ke Safaqah. Di tengah perjalanan keduanya bertemu Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan ia diajak ikut serta. Ketika mereka tiba telah hadir terle bih dulu beberapa kaum muhajirin yang tengah terlibat perdebatan sengit dengan kaum Anshar. Umar yang menyaksikan di depan matanay bahwa Muhajirin dan Anshar akan mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah...hampir-hampir tak kuasa menahan amarah dirinya. Sat ia hendak berbicara, Abu Bakar menahannya.

Setelah mendengar perdebatan yang terjadi, Abu Bakar mulai berbicara dengan tenang dan ia mengingatkan bahwa bukankah Nabi pernah bersabda : al-aimmah min Quraisy (kepemimpinan itu berada di tangan suku Quraisy ) (4). "Kami pemimpin (umara) dan kalian "menteri/pembantu (Wizara). Telah bersabda Rasul bahwa dahulukan Quraisy dan jangan kalian mendahuluinya."

Abu Bakar tak lupa mengingatkan pada kaum Anshar akan sejarah pertentangan kaum Khazraj dan aus yang bila meletup kembali (dengan masing-masing mengangkat pemimpin) akan membawa mereka semua ke alam jahiliyah lagi. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy, Umar dan Abu Ubaidah. Keraifan Abu Bakar dalam berbicara ditengan suasana penuh emosional rupanya mengesankan mereka yang hadir. Umar menyadari hal ini dan ia mengatakan pada mereka yang hadir bahwa bukankah Abu Bakar yang diminta oleh nabi untuk menggantikan beliau sebagai imaam shalat bilamana nabi sakit ?

Umar dan Abu Ubaidah segera membai'at Abu Bakar tapi mereka didahului oleh Basyir bin Sa'ad, seorang tokoh Khazraj, yang membaiat Abu Bakar. Kemudian yang hadir di safiqah, semuanya memberi baiat Abu Bakar.(5)

Keesokan harinya Abu Bakar naik ke mimbar dan semua penduduk Madinah membai'atnya. Abu Bakar resmi menjadi khalifah ar-Rasul (6). Kemudian ia berpidato, sebuah pidato yang menurut ahli sejarah dianggap sebagai suatu statement politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern" (patisipatif-egaliter).(7)

Semuanya ? ternyata tidak (8), dari yang hadir di safiqah, Sa'ad bin Ubaidah tidak membai'at Abu Bakar dan tidak pula ikut shalat jama'ah bersamanya. Diantara penduduk madinah yang tidak hasir di safiqah dan tidak membai'at Abu Bakar adalah Fatimah Az-Zahra. Ali bin Abi Tahlib dan bani Hasyim serta pengikutnya tidak berbai'at selama enam bulan kemudian setelah wafatnya Fatimah Az Zahra.

Ketika diberitahukan kepada Imam Ali r.a. tentang peristiwa yang telah terjadi di safiqah bani Sa'idah segera setelah rasul wafat, ia bertanya :

"Apa yang dikatakan kaum Anshar ?"

"Kami angkat seorang dari kami sebagai pemimpin, dan kalian (kaum muhajirin) mengangkat seorang dari kalian sebagai pemimpin !"

"Mengapa kamu tidak berhujjah atas mereka bahwa Rasulullah SAW telah berpesan agar berbuat baik kepada orang-orang Anshar yang berbuat baik dan memaafkan siapa diantara mereka yang berbuat slaah " tanya Imam Ali lagi.

"Hujjah apa yang terkandung dalam ucapan seperti itu ?"

"Sekiranya mereka berhak atas kepemimpinan umat ini, niscaya Rasulullah SAW tidak perlu berpesan seperti itu tentang mereka."

Kemudian Imam Ali bertanya :

"Lalu apa yang dikatakan orang Quraisy ?"

"Mereka berhujjah bahwa Quraisy adalah 'pohon' Rasulullah SAW."

"Kalau begitu mereka telah berhujjah dengan'pohonnya' dan menelantarkan buahnya!" (9)

End Note :

1 : Pemisahan atau tepatnya perbedaan posisi pemimpin keagamaan dengan pemimpin politik, dalam konteks Islam, tidak berarti pemimpin politik tidak concern terhadap persoalan keagamaan (sekaligus harus menjiwai dan menjalankan ajaran agama) dan pemimpin keagamaan tidak peduli dengan masalah politk. Pembedaan ini hanya untuk menunjukkan lapangan kerja yang berbeda. Ini berbeda dengan kalangan lain yang mengatakan,"berikan kaisar haknya dan berikan hak Tuhan pada Tuhan". Alinea diatas harus difahami bahwa Muhammad adalah Nabi dan Kepala negara sekaligus. Suksesi sepeninggalnya hanya pada lapangan kepala negara, tapi tidak berarti pemimpin setelahnya sama sekali tidak memiliki otoritas keagamaan.Walau tidak sebesar otoritas yang dipunya Nabi. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa tidak ada keharusan atau kewajiban mempunyai khalifah bagi umat Islam dan Nabi semata-mata seorang Rasul yang tidak memiliki kekuaaan duniawi, nagara ataupunpemerintahan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Ali Abdur Raziq dalam al Islam wa Usul al Hukm, Kairo, 1925. Bantahan terhadap pendapat terakhir ini cukup banyak, salah satunya, Dr Dhiya' ad-Din ar Rais, al Islam wa al khalifah fi al-'Ashr al-hadist (naqd kitab "al Islam wa ushul al hukm") Kairo, Dar at Taurats 1972, bandingkan dengan DR. Ahmad Syalabi, As-Siyasah fi al Fikr al Islami, Kairo, Hahdhah al Misriyah, 1983, h. 35-38.

2 : Peristiwa Safiqah yang saya ceritakan kembali ini didasarkan pada Al Thabari, tarikh al-umam wa al-muluk, jilid IV, h. 38-41, Munawir Syadzali, op.cit, h. 21-23, Jalaludin Rahmat,[2], op.cit., h. 84-89

3 : Suku Aus dan Khazraj adalah dua suku di madinah yang selalu bermusuhan sebelum datangnya Nabi Muhammad. Akar permusuhan yang telah mendarah daging itu seringkali menimbulkan letupan kecil pada masa nabi, sungguhpun demikian figur seorang Muhammad berhasil"meredamkan" mereka. Hanya saja, siapa yang dapat menjamin mereka tidak akan membuka luka lama lagi sepeninggal Muhammad SAW.

4 : Lihat Al-Mawardi, al-ahkam as-sultaniyah, Mesir, Musthofa al-Babi al-Halabi wa awladuh, 1966, h. 6; Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut, dar al-fikr,t.t, h, 194. Berbeda dengan Mawardi dan pemikir muslim masa klasik dan pertengahan, Ibn Khaldun tidak memahami teks Al aimmah min Quraisy secara lahiriah belaka. Sesuai dengan teori Ashabiyah nya. Ia memahami bahwa yang ditekankan adalah sifat dan kemampuan suku Quraisy yang pada masa itu di atas suku lain. suku Quraisy merupakan suku Arab

paling terkemuka dengan solideritas yang kaut dan dominan serta berwibawa. Jadi teks itu haruslah dibaca : Kepemimpinan itu berada pada mereka yang memiliki ciri-ciri suku Quraisy--dan tidak musti harus selalu orang Quraisy. Persoalannya, apakah penjelasan Ibn Khaldun ini sama dengan yang dipikirkan mereka yang hadir di Safiqah, lebih khusus lagi dengan Abu Bakar yang menyitir teks itu ?

5 :Bai'at sesungguhnya dipergunakan sejak masa nabi. Nabi sringkali melakukannya seperti tercatat dalam sejarah Islam, yakni berlangsungnya bai'at ar ridwan dan bai'at al-'aqabah. Imam Nasa'i dalam sunannya mengelompokkan bai'at kedalam sepuluh macam (lihat An-Nasa'i, Sunan an-nasa'i bi Syarh as-suyuti, Beirut, Dar al-jil,1989,juz VI. h. 683-684). Intinya, bai'at itu berisi janji untuk setia dan patuh kepada nabi serta akan mengamalkan dan membela ajaran Islam. Rupanya, penggunaan istilah bai'at ini diteruskan pada masa sepeninggal Nabi tetapi telah terjadi pergeseran makna. Pada masa kekhalifahan, bai'at menjadi ikrar politik, yang tanpanya tak akan sempurna (atau tak diakui) seorang khalifah. Lebih lanjut tentang bai'at lihat Al Mahamy Ahmad Husin Ya'kub, An-nizam As-Siyasi fi Al-Islam, Qoum, Anshariyan, 1312 H, h. 69-75; Fathi Osman, "Bay'ah al Imam : Kesepakatan pengangkatan Kepala negara Islam", dalam Mumtaz Ahmad (ed), masalah-masalah teori politik Islam, Bandung, Mizan, 1993, h. 75-116.

6 : Analisa terhadap istilah khalifah berikut pergeseran maknanya secara menarik diberikan oleh W. Montgomery Watt, Islamic political Thought, terj. Helmy Ali dan Muntaha Azhari, Jakarta, P3M,1988, h. 50-54; bandingkan dengan Bernard Lewis, The Political Languange in Islam, terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta, Gramedia, h. 61-71.

7 : Lihat DR. Nurcholis Madjid, " Agama dan Negara dalam Islam : Telaah atas fiqh Siyasy Sunni " dalam Budhy Munawar Rachman, op. cit, h. 592.

8 :Umar berpidato,"... berdirilah kalian dan berbai'atlah kalian(pada Abu bakar) sungguh saya telah berbai'at kepadanya dan Anshar pun demikian" kemudian Ustman berdiri dan bersamanya berdiri Bani Umayah, maka berbai'atlah mereka, Sa'ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin 'Auf berserta sukunya berdiri dan berbai'at pula. Adapun Bani Hasyim berbai'atnya mereka dengan tekanan(paksaan) seperti diceritakan oleh Al Mahamy Ahmad Husin Ya'kub, op. cit, h. 155-156.

9 :Seperti diriwayatkan dalam Najhul Balaghah Syarh Muhammad Abduh, terj. Muhammad Al Baqir, Bandung, Mizan,1990, h. 63-64. Maksud imam Ali, jika Quraisy pohon Rasulullah maka Ali adalah buahnya. Ini bisa dimengerti mengingat dalam suku Quraisy, Bani Hsyim dan Bani Umayyah adalaah dua klan terhormat. Dan Ali merupakan pemuda Bani Hasyim yang terhormat, mengingat Hamzah telah wafat dan Abbas baru masuk Islam, disamping itu Abu Sufyan dari bani Umayyah juga beru masuk Islam. Jadi dari silsilah itu seharusnya, jika al-aimmah min Quraisy difahami secara lahiriah maka hanya Imam Ali lah yang berhak menduduki jabatan khalifah. Tapi ada juga yang menolak argumen ini. M. A. Shaban melihat Ali yang masih sekitar tiga puluh tahunan tidak mungkin diterima umat, jadi jika logika diatas diteruskan maka sebenarnya Abu Sufyan yang harus jadi khalifah. Untuk menghindari ini maka diambilah Abu Bakar sebagai jalan tengah--orang Quraisy tapi bukan Bani Hsyim atau Bani Umayyah (lihat M.A. Shaban, Sejarah islam Penafsiran Baru, Jakarta, rajawali Press, 1993, h. 24-25). Persoalannya, apakahj "rasionalisasi " yang dikemukakan Shaban memang hinggap di kepala mereka yang hadir di Safiqah ? saya cenderung meragukannya, karena dalam situasi mendadak, emosional dan genting sukar sekali membayangkan peserta Safiqah berfikir seperti Shaban.!







Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah? (3)

Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah? (3)

Pada bagian ketiga ini saya mencoba menawarkan dua kaidah atau patokan dasar bagi kita dalam melakukan Reinterpretasi Nash.

1. Meninggalkan Pendekatan Ta'abuddi semata dan mempertimbangkan pendekatan Ta'aqquli.

Dalam memahami nash, biasanya kita cenderung melakukannya dengan beranjak pada pendekatan Ta'abbudi (aspek ibadah) semata. Kita sering menemui ungkapan bahwa "Pokoknya begitulah yang tertera dalam nash dan itu yang harus dikerjakan tak boleh lebih-tak boleh kurang." Saya mengusulkan mari kita geser pendekatan tersebut menjadi setengah ta'abbudi dan setengah ta'aqquli (aspek akal). Sebagai contoh, Jika terkena jilatan anjing maka kita harus cuci tujuh kali plus dengan tanah. Akal kita bertanya, mengapa harus tujuh kali? oh...maksudnya biar bersih. Tapi mengapa dengan tanah? akal kita mengatakan bahwa dulu belum ada sabun dan sejenisnya. Nah, bisakah kita, dengan pendekatan yang saya tawarkan di atas, mengganti keharusan membasuh benda yang terkena jilatan anjing pakai tanah dengan pakai air dan sabun saja sampai bersih tanpa harus tujuh kali?

2. Hukum itu bertujuan untuk kemaslahatan manusia.

Nilai maslahah (kebaikan) itu universal dan sama antara satu masa dengan masa yang lain. Namun rasa maslahah itu tidak sama dan tergantung siapa dan apa. Persoalannya ketika Allah menurunkan ayat hukum dalam al-Qur'an sebenarnya ayat itu mengandung nilai maslahah atau rasa maslahah? Kita akan segera teriak tentu saja karena al-Qur'an itu berlaku sepanjang masa maka ia mengandung nilai maslahah! Benar, saya setuju, tetapi tidak semuanya. Harus saya tambahkan buru-buru bahwa mengatakan sebagian ayat Qur'an mengandung rasa maslahah tidaklah berarti meragukan keuniversalan ayat tersebut. Ingat, wilayah interpretasi Nash berada pada wilayah pemahaman dan penerapan nash; bukan pada keberadaan nash itu sendiri.

Jumhur ulama percaya akan adanya nasakh dalam al-Qur'an. Nah, menurut saya ini merupakan argumen yang paling kuat bahwa ternyata ada sebagian ayat Qur'an yang mengandung rasa maslahah (tidak berlaku universal) sehingga ketika kondisi berubah maka Allah menurunkan ayat lain agar cocok dengan rasa maslahah atau rasa keadilan saat itu.

Pada titik inilah, Abu Yusuf (pemuka mazhab Hanafi) melontarkan ide bahwa jiika suatu Nash berasal dari adat setempat, lalu adat yang dijadikan dasar itu berubah maka pemahaman terhadap nash juga berubah. Karena tidak semua Nash berasal dari adat (yang kemudian dilegitimasi oleh al-Qur'an dan hadis) maka saya katakan hanya sebagian Nash yang memiliki rasa maslahah.

Untuk jelasnya saya akan berikan contoh.Hadis Nabi menjelaskan bahwa jual beli gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma haruslah sama, dan yang menjadi ukuran adalah takaran bukan timbangan. Hal ini sebenarnya didasarkan oleh adat yang berlaku saat itu. Nah, karena sekarang sudah menggunakan timbangan, maka menurut Abu Yusuf yang dijadikan ukuran adalah timbangan bukan lagi takaran.

Dengan pendekatan ini jugalah kita dapat mengerti nash yang masih membolehkan adanya perbudakan. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk "pemotretan" Nash terhadap fenomena setempat yang diharapkan dapat diakhiri. Belum sempat diakhiri, wahyu sudah tak turun lagi. Nah, ternyata fenomena tersebut berubah, maka hukum memiliki perbudakan dalam Islam menjadi tak dibolehkan, meski wahyu terakhir masih membolehkan.

Juga hadis yang mengatakan untuk melihat bulan dalam awal Ramadhan dan awal Syawal dengan mata telanjang, itu sebenarnya didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya ilmu perhitungan dan teropong saat itu. Nah, sekarang ilmu hisab dan teropong telah berkembang. Sah saja kita menggunakan keduanya.

Saya baru saja menawarkan dua kaidah, tentu saja masih ada beberapa kaidah lain yang bisa kita tawarkan untuk melakukan reinterpretasi nash. Yang penting untuk diingat, pada hakekatnya reinterpretasi nash itu juga merupakan aplikasi jargon "Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah". Anda boleh setuju, boleh tidak....

Rileks aja...jangan terlalu mapan!



Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah? (2)

Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah? (2)

"Menjaga hal yang lama dan di saat yang sama juga beralih kepada hal yang baru yang lebih baik (aslah)" =Al-Qaidah=

  Sebagaimana diketahui bahwa dalil dalam Islam itu ada dua: dalil intern dan dalil ekstern. Dalil intern adalah Nash Al-Qur'an dan Hadis, Ijma', Qiyas, istihsan dan lain sebagainya. Sedangkan dalil ekstern adalah hal-hal yang berada di luar teks Nash namun berakibat langsung ataupun tidak langsung terhadap pemahaman dan penerapan nash.Contoh dalil ekstern adalah lingkungan, kemaslahatan manusia, waktu, tempat, kondisi dan situasi, de el el.

Kedua dalil ini tidak perlu dipertentangkan, justru keduanya bisa saling isi mengisi. Sebagai contoh, ketika Umar r.a menghakimi pencuri tidak dengan potong tangan karena saat itu musim paceklik, Umar sebenarnya telah memainkan dua dalil tersebut dengan secara luar biasa! Hukum ketika diundangkan atau dituangkan dalam teks Nash adalah bebas nilai. Namun ketika hukum sudah berinteraksi dengan pemahaman dan pelaksanaan maka dia tidak lagi bebas nilai.Dalil ekstern sudah mulai memainkan peranannya. Sayangnya, sebagian umat Islam hanya terpaku pada teks nash (dalil intern) semata, dan kurang memperhatikan dalil ekstern. Menurut hemat saya yang awam ini, kalau kita mau kembali ke Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan melupakan peranan dalil ekstern maka hasilnya tidak akan efektif.

Saya mengajak anda untuk meneliti isi kitab fiqh. Akan segera kita temui bahwa ada tiga bagian kandungan setiap kitab fiqh, yaitu: Nash, pemahaman para ulama terhadap Nash dan praktek pelaksanaan Nash. Kalau dibuat prosentasi secara kasar, maka dalam kitab fiqh bagian Nash sekitar 20 &, pemahaman Nash 30 % dan pelaksanaan Nash 50%.

Saya ambil contoh soal musyawarah. Nash menyebutkan "syura bainahum" dan "wa syawirhum fil amr". Para sahabat memahami konteks Musyawarah itu dan mencoba menerapkannya. Maka terlihatlah oleh kita ketidakseragaman bentuk musywarah dalam pemilihan khalifah. Di tunjuk dahulu baru kemudian dimusyawarahkan kepada seluruh sahabat dan mereka menyetujuinya (kasus terpilihnya Abu Bakar dan Umar), kemudian dibentuk panitia kecil (ahlul halli wal aqdi) untuk bermusyawarah (kasus Utsman) dan segera dipilih oleh sebagain sahabat yang ada di ibu kota tanpa perlu meminta pendapat sahabat lain yang sudah tinggal di mana-mana karena telah luasnya kekuasaan Islam (kasus Ali) dan Putra mahkota (waliyatul ahdi) dalam kasus dinasti umayah dan seterusnya sampai di Saudi Arabia sekarang.

Semua yang dilakukan tersebut beranjak dari nash yang sama, namun ketika dipahami dan diterapkan terjadi ketidakseragaman. Contoh lain soal menutup aurat. Nash mengatur bahwa muslim-muslimah harus menutup aurat. Para ulama lalu membahas dimana batasan aurat itu, sehingga timbul beragam pendapat. Kemudian, ketika mulai diterapkan timbul lagi keragaman dalam bentuk dan jenis penutup aurat itu.

Sampai disini saya baru saja melakukan pemetaan wilayah kajian kita. Dengan memahami ada dua dalil yaitu intern dan ekstern, maka wilayah yang seharusnya dikaji adalah berada pada tataran pemahaman dan penerapan Nash. Reinterpretasi terhadap Nash dilakukan dengan mempertimbangkan pemahaman para ulama dahulu dan penerapan Nash dalam konteks masa lalu. Kita meyakini bahwa dalil intern tak akan berubah, justru dalil ekstern-lah yang akan berubah dan ini menjadi bukti fleksibilitas Islam.



Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah ? (1)

Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah ? (1)

Di suatu jum'at yang terik, saya sembahyang Jum'at di satu masjid di Rawamangun, Jakarta, beberapa tahun yang lalu. Saat itu khatib dengan tegas mengulas "musibah" yang menimpa kaum muslim di Bosnia. Setelah itu khatib dengan tangkasnya menarik kesimpulan bahwa muslim Bosnia mengalami hal seperti itu karena mereka tidak kembali ke Al-Qur'an dan as-Sunnah!

Saya terhenyak! Kasihan benar sauadar kita di Bosnia, sudah tertimpa musibah masih juga disebut tak kembali pada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Ini namanya blaming the victim! (menyalahkan korban). Kemudian saya teringat bahwa bukankah jargon sakti itu seringkali diulang-ulang kalau kita bicara keadaan nasib umat ini. Kita tertinggal dari Barat karena kita tidak kembali pada kedua peninggalan Rasul tsb, kita miskin dan tertindas, kita kalah perang, semuanya gara-gara hal yang sama itu!

Tiba-tiba saya merasakan ada sesuatu yang salah dalam memahami jargon tersebut. Ternyata jargon tersebut digunakan untuk memukul kita sendiri. Apa Barat maju dan tetangga saya kaya karena mereka kembali pada Al-Qur'an dan as-Sunnah? Saya kira tidak juga.

Menurut saya yang lemah ini, jargon tersebut layak dipertanyakan. Bukan mempertanyakan al-Qur'an dan as-Sunnah-nya, tapi, dengan mengutip Fazlur Rahman, kita layak bertanya: kembali ke penafsiran al-Qur'an dan as-Sunnah yang mana? Soalnya, bukankah al-Qur'an dan as-Sunnah yang kita baca itu tetap sama; tidak berubah, justru kondisi yang berubah.

Nah, kalau kita ingin kembali ke al-Qur'an dan as-Sunnah dengan tetap berpegang pada penafsiran yang lama, saya kira hasil yang kita peroleh sama saja! Kita tidak akan bisa secara efektif merubah kondisi umat. Seorang rekan saya pernah menyanggah saya dengan mengutip Kiyai-nya (hormat saya utk kiyai tersebut):

"Mana yang harus menyesuaikan: peci atau kepala? Mana yang harus berubah: al-Qur'an atau zaman?"

Saya tersenyum dan mengatakan bahwa logika seperti itu tidak keliru, tetapi salah! Karena pertanyaannya sudah salah, maka tak perlu di jawab. Bagi saya antara al-Qur'an dan zaman ditengah-tengah keduanya ada yang dinamakan "penafsiran". Penafsiran al-Qur'an-lah yang harus berubah mengikuti zaman. Bukan Qur'an-nya kita rubah atau zamannya yang kita paksa memutar jarum jamnya ke zaman saat Qur'an dulu turun lima belas abad yg lalu!



Sekilas Soal Mazhab

Sekilas Soal Mazhab

Mazhab sebenarnya mempunyai dua arti yaitu pendapat dan/atau metode. Sayangnya, umat Islam menganggap mazhab ini sebagai "organisasi" yang kalau sudah masuk ke sana tidak boleh keluar lagi dan tidak boleh mencampuradukkan keanggotan dalam "organisasi" tersebut.

Dengan demikian kata-kata "apakah setiap orang harus bermazhab" harus dibaca "apakah setiap orang harus memiliki pendapat dan/atau metode dalam Islam?" Tentu saja tidak harus! Orang awam tidak harus bermazhab. Orang awam bebas memilih pendapat mana saja yang ia sukai. Kaidah mengatakan al-aami la mazhaba lahu (orang awam itu tidak bermazhab)

Soal pindah-pindah mazhab, sebenarnya kita harus membedakan antara:

a. mentarjih pendapat ulama

b. mencampuradukkan berbagai mazhab (talfiq)

c. pindah mazhab secara total.

Saya bahas satu persatu (meski cuma sekilas):

a. mentarjih pendapat ulama

Buka saja kitab fiqh yang manapun (asalkan kitab fiqh standard), akan kita temui beragam pendapat ulama dalam satu kasus. Uniknya, jangankan antara satu mazhab dengan mazhab lain, malah kadang-kadang di dalam satu mazhab saja terdapat keragaman pendapat. Contohnya, Imam Abu Yusuf seringkali berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Kalau buat kalangan pesantren yang pernah membaca buku karya Qalyubi wa Humairah (atau juga dikenal dengan nama Hasyiyatani atau dikenal juga dengan nama al-Mahalli) akan mendapati bahwa kitab bermazhab Syafi'i itu menampilkan sejumlah pendapat berbeda dalam mazhab syafi'i. Seringkali Imam Nawawi berbeda dengan Imam Ramli, dan lainnya.

Nah, untuk melakukan tarjih pengarang kitab tersebut menggunakan istilah al-azhar, al-ashah, de el el. (lebih jelasnya silahkan buka sendiri kitab al-Mahalli itu).

Mentarjih pendapat ulama itu merupakan pekerjaan yang nggak sembarangan. Kita harus tahu betul pendapat para ulama dan dalil-dalilnya lalu kita teliti masing-masing argument baru kemudian kita tentukan mana pendapat yang paling kuat (tarjih). Ahli tarjih harus memiliki kualifikasi yang mumpuni-lah...:)

b. mencampuradukkan mazhab (talfiq)

Kalau yang ini, biasanya yang jadi ramai tak berkesudahan adalah soal "plin-plan". Pangkal masalahnya, berbeda dengan tarjih yang didasari argumen yang kuat, maka talfiq ini sama sekali bukan berdasarkan argumentasi yg kuat, tapi berdasarkan "selera" untuk cari yang mudah-mudah. Dan ini dilakukan oleh orang awam. (berbeda dengan point a yang dilakukan oleh ulama ahli tarjih)

Sebenarnya para ulama berbeda pendapat dalam hal talfiq (pusing nggak tuh soal comot sana-sini pendapat ulama juga menimbulkan perbedaan pendapat para ulama). Ada dua titik ekstrem: pertama, sejumlah ulama tidak memperbolehkan sikap plin-plan itu. Kedua, sejumlah ulama membolehkan bersikap plin-plan meskipun berdasarkan niat untuk mencari yang gampang-gampang saja. Ketiga, ulama yang ditengah-tengah bersikap: harus dilihat dulu dalam kasus apa dan apakah para Imam yang dicomot itu tidak saling membatalkan.

Sebagai contoh: Saya berwudhu dengan menggunakan mazhab syafi'i, namun ketika bersentuhan dengan wanita bukan mahram, saya pindah ke mazhab hanafi. Buat ulama pertama tentu saja ini tidak boleh. Buat ulama kedua tentu saja boleh-boleh saja-lah...:) Buat ulama yang ketiga, kasus seperti soal wudhu tadi itu tidak boleh, karena dia wudhu dengan cara syafi'i, dipandang tidak sah di mata hanafi, dia batal wudhu dengan hanafi, dipandang tidak sah oleh syafi'i. Jadi, akhirnya dia melakukan satu perbuatan yang masing-masing mazhab tidak mensahkannya. Nah, yang boleh menurut ulama ini adalah kalau perbuatan yang satu dengan yang lain tidak ada hubungannya. Misalnya, wudhu dengan cara mazhab syafi'i, nah, ketika mau niat puasa ia pakai mazhab hanafi. Kan tidak ada hubungannya antara wudhu dan puasa? maka yang ini boleh.

Kalau saya sih pilih (menurut selera saya nih) pendapat al-Kammal ibn al-Hammam yang secara tegas membolehkan orang "plin-plan" secara mutlak!.

Alasan saya adalah disamping soal arti sebenarnya dari mazhab itu, juga islam itu memang agama yang mudah kok. Cuma kita harus punya sedikit pengetahuan mengenai keragaman pendapat itu, jangan yang nggak tahu sama sekali, terus hanya ikut kata orang saja, lalu comot sana-sini. Yah minimal dia tahu-lah akan ilmu fiqh.

c. pindah mazhab secara total.

Kalau yang ini sih, gampang....misalnya anda pindah dari mazhab Syafi'i ke mazhab Hanafi.Artinya, ya tidak kasus per kasus lagi seperti yang point a dan b. Tapi dengan total!

Anda mau tarjih? atau talfiq? atau pindah mazhab secara total? Terserah anda saja lah......:)


Metode Tafsir dalam Islam

Metode Tafsir dalam Islam
Secara umum ada dua metode tafsir dalam Islam. Pertama, tafsir bir riwayah dan kedua tafsir bir ra'yi. Kita akan bahas satu persatu.

1. Tafsir bir riwayah

Maksudnya adalah tafsir yang dalam memahami kandungan ayat al-Qur'an lebih menitikberatkan pada ayat al-Qur'an dan riwayat hadis. Isi tafsir dengan metode ini penuh dengan riwayat hadis dan jarang sekali pengarang tafsir tsb menaruh pemikirannya. Tafsir at-Thabari misalnya dianggap mewakili corak poenafsiran model ini.

Yang paling baik dari tafsir jenis ini adalah mufassir yang menggunakan ayat qur'an untuk menafsirkan ayat Qur'an yang lain. Atau dalam ungkapan bahasa arab disebut "Al-Qur'an yufassiruhu ba'dhuhu ba'dhan" (al-Qur'an itu menafsirkan sebagian ayatnya dengan sebagian ayat yang lain).

Dari model tafsir bir riwayat dikelompokkan lagi dua macam bentuk penafsirannya:

a. tafsir at-tahlili, artinya mufassir (ahli tafsir) memulai kitab tafsirnya dari al-Fatihah sampai surat an-nas. Ia uraikan tafsirnya menurut urutan surat dalam al-Qur'an. Semua kitab tafsir klasik mengikuti model ini.

b. Tafsir maudhu'i (tematis), artinya mufassir tidak memulai dari surat pertama sampai surat ke-114, melainkan memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Ambil contoh, kita ingin tahu apa makna Islam dalam al-Qur'an. Maka kita himpun semua ayat yang berisikan kata Islam (dan segala derivasinya) lalu kita tafsirkan. Jadi, tafsir model ini bersifat tematis. Konon metode seperti ini dimulai oleh Muhammad al-Biqa'i. Dari kalangan Syi'ah yang menganjurkan metode model ini adalah Muhammad Baqir as-Shadr. Pak Quraish Shihab adalah ahli tafsir Indonesia yang pertama kali memperkenalkan metode ini dalam tulisan-tulisannya di tanah air. Bukunya Wawasan al-Qur'an berisikan tema-tema penting dalam al-Qur'an yg dibahas dengan metode maudhu'i ini.

2. Tafsir bir ra'yi.

Dari namanya saja terlihat jelas bahwa tafsir model ini kebalikan dengan tafsir bir riwayah. Ia lebih menitikberatkan pada pemahaman akal (ra'yu) dalam memahami kandungan nash. Tetap saja ia memakai ayat dan hadis namun porsinya lebih pada akal. Contoh tafsir model ini adalah Tafsir al-kasysyaf karya Zamakhsyari dari kalangan Mu'tazilah, tafsir Fakh ar-Razi, Tafsir al-Manar. de el el

Kalau mau dipilah lagi maka tafsir model ini bisa dibagi kedalam:

a. tafsir bil 'ilmi (seperti menafsirkan fenemona alam dengan kemudian merujuk ayat Qur'an)

b. tafsir falsafi (menggunakan pisau filsafat utk membedah ayat Qur'an)

b. Tafsir sastra. Lebih menekankan aspek sastra dari ayat al-Qur'an. Model tafsir ini pada masa sekarang dikembangkan oleh Aisyah Abdurrahman (dia perempuan lho) atau terkenal dengan nama Bintusy Syathi. Alhamdulillah karya Bintusy Syathi ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sebagai catatan, untuk kajian modern sekarang, sesungguhnya penggolongan secara kaku dan ketat tafsir bir riwayah dan bir ra'yi itu tak lagi relevan. Seperti tafsir-nya Bintusy Syathi setelah saya simak ternyata penuh dengan kandungan ayat Qur'an untuk memahami ayat lain. Begitupula tafsir al-Manar, pada sebagian ayatnya terlihat keliberalan penulisnya tapi pada bagian ayat lain justru terlihat kekakuan penulisnya. Tafsir model maudhu'i (tematis) juga tak bisa secara kaku dianggap sebagai tafsir bir riwayah semata.

Lalu yang mana metode tafsir yang terbaik? Kitab tafsir mana yang paling baik?

Syeikh Abdullah Darraz berkata:"Al-Qur'an itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya. Kalau saja anda berikan kesempatan pada rekan anda untuk melihat kandungan ayat Qur'an boleh jadi ia akan melihat lebih banyak dari yang anda lihat."

Jadi? Tak usah khawatir mana yang terbaik....Semua metode tafsir bertujuan menyingkap cahaya al-Qur'an.

KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH

KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH
Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Ma'idah:5:44)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al-Ma'idah:5:45)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (Al-Mai'dah:5:47)

ASBABUN NUZUL

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Bahwasanya Allah menurunkan tiga ayat di atas ditujukan kepada dua golongan dari kaum Yahudi. Pada zaman Jahiliyah, salah satunya menundukkan yang lain. Dan akhirnya mereka sepakat bahwa hukuman orang bangsawan yang membunuh rakyat jelata adalah 50 gantang, sedang hukuman rakyat jelata yang membunuh kaum bangasawan adalah 100 gantang. Begitulah sampai kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Keduanya akhirnya membuat perjanjian damai dengan Nabi.

Tak lama kemudian timbul satu kasus, seorang rakyat jelata membunuh seorang bangsawan. Lalu bangsawan yang lain diutus kepada rakyat jelata tadi, ia berkata: Berikan kepada kami 100 gantang, si rakyat jelata, menjawab," Apakah ada keistimewaan ?, kedua golongan kita agamanya satu, nasab kita satu, negeri kita satu; Kenapa diat sebagian mereka separoh dari sebagian lainnya ? Sesungguhnya kami telah menyerahkan kezaliman dan diskriminasi kepada kalian. Jikalau Muhammad datang, maka kami tidak akan memberikannya kepada kalian".

Hampir saja terjadi perang antara dua golongan (Yahudi) tersebut, lalu kedua golongan sepakat untuk menjadikan Rasulullah sebagai penengah mereka. Bangsawan berkata: Demi Allah, Muhammad bukanlah orang yang telah memutuskan suatu yang lemah sebagaimana kalian memutuskan. Perkataan Bangsawan ini dibenarkan mereka. Bangsawan berkata: sungguh apa yang telah kami putuskan adalah suatu kelaliman dan penaklukan atas mereka. Selundupkan seseorang yang mengetahui pendapat Muhammad. Jika Ia memberikan keputusan yang seperti yang yang kalian kehendaki, maka jadikanlah ia penengah, tapi jika ia memutuskan yang lain maka janganlah kalian jadikan dia penengah. Kemudian mereka menyelundupkan orang munafik untuk memberitahu kepada mereka pendapat Rasulullah. Ketika orang-orang munafik tadi sampai kepada Rasul, maka Allah memberitahukan tentang urusan mereka semuanya serta apa sebenarnya yang mereka kehendaki.

PENJELASAN

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang penafsiran ayat di atas. Fakhr ar- Razi, misalnya, menyatakan ada dua hal utama dalam memahami ayat-ayat di atas: Pertama, bahwa yang dimaksud firman Allah di atas adalah ancaman terhadap orang Yahudi atas keberanian mereka mengingkari hukum Allah yang telah dinashkan dalam Taurat, mereka berkata: Itu tidak wajib. Karena itulah mereka menjadi kafir secara mutlak. Mereka tidak berhak lagi menyandang gelar "iman", tidak berhak atas Musa dan Taurat, serta tidak berhak pula atas Muhammad dan Al-Qur'an.

Kedua, Kaum Khawarij berpendapat bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah, maka ia kafir. sedangkan Jumhur berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan ancaman bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia menjadi kafir, zalim, dan fasik.

Dua hal utama di atas dibahas oleh para mufassir klasik. Berikut ini ikhtisar pendapar para mufassir :

1) Sebagian Mufassir sepakat bahwa ayat ini khithabnya khusus. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan kekhususannya. Ada yang berpendapat ayat ini untuk orang Yahudi semata. Pendapat ini didukung oleh Abdullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud. Hasan Basri berkata bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang Yahudi, tapi bagi muslim tetap wajib berhukum pada apa yang diturunkan Allah (bi ma anzal Allah). Ibnu Mansur, Abu Syekh, dan Ibnu Marduwaih meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut diturunkan Allah khusus untuk orang Yahudi. Mufassir yang lain berpendapat bahwa ayat tersebut untuk Ahli Kitab yakni Yahudi dan Nasrani.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Sholeh bahwa tiga ayat surat Al-Maidah tersebut tidak berlaku atas kaum muslimin, tapi untuk orang kafir, yakni Ahli Kitab. Ibnu Abbas berkata: Sebaik-baik kaum adalah kalian, apa yang baik itu bagi kalian, sedang apa yang buruk itu adalah buat ahli Kitab. Barangsiapa menentang hukum Allah sungguh ia telah kafir dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia telah berbuat zalim dan fasik. Ada yang berpendapat bahwa ketiga ayat tersebut memang bersifat khusus tetapi konteks ketiga ayat itu berbeda. Asy-Sya'bi, misalnya, ia berkata: Julukan kafir itu bagi orang Islam, zalim bagi orang Yahudi, dan fasik bagi orang Nasrani. Al-Zamakhsyari berkata bahwa tiga sifat yang dinisbatkan kepada orang kafir (Ahli Kitab) menunjukkan penghinaan terhadap mereka karena mereka melampaui batas dalam kekufuran mereka, perbuatan zalim mereka terhadap ayat-ayat mereka dengan ejekan dan keengganan mereka lalu mereka berhukum dengan selainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa sifat kufur itu maksudnya adalah kufur nikmat.

Fakhr ar-Razi menyatakan bahwa pendapat tentang ayat-ayat di atas berlaku khusus adalah lemah. Pertama: bertentangan dengan kaedah "al-'Ibrah bi 'umum al-lafdzi, la bi khushus al-sabab". Kedua, pendapat ini juga lemah sebab firman di atas memakai kata man yang menunjukkan sifat umum (sebagai syarat).

2) Sebagian mufassir berpendapat bahwa ayat di atas umum. Tetapi itu tidak berarti jika seorang muslim maka ia menjadi kufur. Thawus, misalnya, berkata: Ia tidak kafir seperti kafirnya orang yang pindah agama dan seperti orang kafir yang ingkar kepada Allah dan hari kebangkitan. Atha' berpendapat senada: muslim yang demikian menjadi kufur tetapi tidak kafir secara hakiki. Mereka seolah-olah menafsirkan yang dimaksud dengan kafir, zalim dan fasik adalah kafir, zalim dan fasik terhadap nikmat. Pengarang

Tafsir Ruh al-Ma'any menjelaskan bahwa Abu Hamid dan lainnya meriwayatkan dari asy-Sya'bi, ia berkata tiga ayat di atas dapat dibedakan. Yang pertama (5:44) berlaku bagi muslim, sedangkan dua ayat berikutnya (5:45;47) Yahudi dan Nasrani, bahwa jika kufur tersebut dinisbatkan pada orang mukmin diartikan ancaman dan sikap keras. Tetapi jika sifat fasik dan kufur dinisbatkan pada orang kafir, hal itu berarti menunjukkan keingkaran dan keluarnya mereka dari hukum Allah.

Riwayat lain, yaitu Hakim, Abdur Razak, Ibn Jarir dari Khuzaifah bahwa tatkala ia membacakan ayat di atas, tiba-tiba seorang laki-laki berdiri dan berkata: Ayat tersebut diperuntukkan untuk Bani Israel, lalu Huzaifah berkata: Sebaik-baik saudara adalah Bani Israel, jika kalian bahagia mereka susah. Perkataan Huzaifah di atas ditafsirkan sebagai kecenderungannya akan umumnya ayat tersebut. Ali Ibnu Husain meriwayatkan dengan pendapat umumnya ayat tersebut, tapi ia berkomentar: Kufur di atas bukan berarti kufur syirik, fasik bukanlah fasik syirik, dan zalim bukanlah zalimnya syirik.

Pendapat yang paling kuat menurut Fakh ar-Razi adalah pendapat Ikrimah bahwa ayat tersebut umum bagi setiap orang yang ingkar dalam hatinya dan menentang dengan lisannya. Penulis sependapat dengan Ikrimah, tetapi persoalannya bagaimana dengan konteks keindonesiaan.

Untuk menjawab ini, penulis merasa bahwa kita perlu mengembangkan adanya pendapat di masa kini, yakni lafaz bi ma anzala Allah dalam ketiga ayat di atas, sesungguhnya layak diperdebatkan. Apakah bi ma anzala Allah bermakna nashshan (secara teks nash) atau ruuhan (makna di balik teks nash, jiwa nash). Karenanya bisa saja ada hukum manusia (siyasah wadh'iyyah) bertentangan dengan hukum Allah secara teks nash; tetapi bersesuaian dengan ruh nash. Apakah kasus terakhir ini juga tetap terkena keumuman ketiga ayat di atas ? Kemudian apa klasifikasi ruh nash itu ? Dan apakah mungkin teks nash berbeda secara diametral dan konfrontatif dengan ruh nash ? Tentu saja persoalan-persoalan ini membutuhkan kajian khusus yang lebih mendalam, yang tidak mungkin ada dalam tulisan sederhana ini.

Al-Haq min Allah

 

Senarai Rujukan

Tafsir al-Fakhr ar-Razy, juz 12, hal. 3 - 18

Tafsir Al-Maraghy, juz 6, hal 122-124

Tafsir Al-Qasimy, juz 6, hal 2000 -2001

Tafsir Ruh Al-Ma'ani (pada ayat-ayat di atas)


Bagaimana Anda Memperlakukan Al-Qur'an?

Bagaimana Anda Memperlakukan Al-Qur'an?

Al-Qur'an memperkenalkan dirinya sebagai "Kitab yang tiada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa" (Qs 2: 2). Artinya, kitab suci Al-Qur'an merupakan petunjuk dan pegangan hidup kita. Persoalannya sekarang, bagaimana sebenarnya kita memperlakukan Al-Qur'an dalam hidup kita?

Buat sebagian kecil dari kita Al-Qur'an dipandang seolah-olah sebagai "jimat" yang kalau ayat tertentu dibaca maka akan menimbulkan hal yang luar biasa, buat sebagian dari kita Al-Qur'an hanyalah merupakan objek ilmiah yang pantas utk dikotak-katik ayatnya satu demi satu, buat sebagian lagi dari kita mungkin saja Al-Qur'an merupakan sumber "legitimasi", dalam arti kita gunakan akal pikiran kita utk memecahkan atau menjelaskan masalah lalu kita cari justifikasinya dalam ayat Qur'an.

Apakah cukup al-Qur'an kita perlakukan demikian? Bukankah ia merupakan kitab petunjuk? Sebagai kitab petunjuk berarti al-Qur'an merupakan sumber inspirasi dan sumber bagi hidup kita. Pernahkah kita bila menghadapi masalah kita pecahkan dengan membaca Qur'an? Sudikah kita disaat mendapat banyak rezeki kita syukuri rezeki itu dengan membaca al-Qur'an? Maukah kita disamping membaca koran dan email tiap hari juga mau membaca al-Qur'an setiap hari? Pernahkah kita introspeksi perjalanan hidup kita dengan melihat kandungan ayat suci al-Qur'an sebagai "hakim"nya? Pada umur berapa kita mulai tertarik dengan al-Qur'an dan bersedia menelaah ayat demi ayatnya?

Saya percaya karena Al-Qur'an merupakan kitab petunjuk bagi kita, maka siapapun kita dan apapun background pendidikan kita, maka kita memiliki hak yang sama utk mengakses kitab suci Al-Qur'an. Sudahkah kita gunakan hak kita itu dengan sebaik-baiknya?

Membaca Al-Qur'an merupakan syarat pertama untuk menjadikan kitab suci ini sebagai petunjuk hidup kita. Bisakah kita menjadikan al-Qur'an sebagai petunjuk, namun amat jarang kita membacanya?

Konon, Iqbal kecil dibisiki oleh Ayahnya, "Bacalah Qur'an seakan-akan ia diturunkan untukmu". "Sejak saat itu," kata Dr. Muhammad Iqbal--cendekiawan besar asal India, "setiap aku membaca al-Qur'an seakan-akan Al-Qur'an berbicara padaku!"

Maukah kita meningkatkan kedudukan kita, dari sekedar membaca al-Qur'an sampai "berbicara" dengan Al-Qur'an?

Maha Benar Allah dengan Segala Firman-Nya



PENGANTAR MENUJU FIQH HUMANIS

PENGANTAR MENUJU FIQH HUMANIS

I.Pijakan Dasar

Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari "atas dan di luar kemanusiaan kita. Dua hal berikut ini membuktikan hal tersebut.

Pertama, Ulama usul al-fiqh mendefenisikan hukum dengan : "Khitab (kalam) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan atau pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalan bagi yang lain" Hukum Islam merupakan kalam Allah karenanya ia berarti berasal dari "atas" dan bukan berasal dari proses interaksi di "bawah" (masyarakat). Patut dicatat bahwa tiada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hukum Islam berasal dari atas, yang menjadi perdebatan hanyalah apakah ia qadim atau hadis.

Kedua, para ulama sepakat bahwa al-Hakim adalah Allah SWT. Perbedaan mereka hanyalah dalam hal bagaimana mengetahui hukum itu, apakah dengan jalan syara` (wahyu yang disampaikan pada Rasul) atau akal. Dengan mengenyampingkan perbedaan pendapat di atas maka dapatlah dinyatakan bahwa hukum Islam itu berasal dari "atas" dan dari luar kemanusiaan kita.

Persoalannya mengapa hukum Islam yang berasal dari "atas" itu lahir dan dibebankan (taklif) kepada manusia ? Para ulama telah membahas maksud atau tujuan pensyariatan hukum Islam; atau dikenal dengan term maqasid as-syari`ah. Hukum Islam itu dibuat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik jangka pendek maupun jangka panjang, demi untuk menarik manfaat ataupun menolak bahaya dan kerusakan (Jalb al-masalih wa daf`u ad-darar wa al-fasad).

Tesis ini membawa kita pada pertanyaan: apakah Allah mempunyai tujuan tertentu/motif (mu`allalah) dalam menetapkan hukum atau tidak ? Ar- Razi, pengarang kitab al-Mahsul, berpendapat bahwa seperti dalam perbuatan-Nya maka Allah tidak pula memiliki tujuan tertentu dalam menetapkan hukum. Sedangkan kaum Mu`tazilah menjawab bahwa Allah memang memiliki tujuan tertentu itu, yakni kemaslahatan manusia.

Persoalan ini menimbulkan problem teologi. Kaum Asy`ariyah menolak ide bahwa kemaslahatan addalah motif Allah; tetapi mereka menafsirknnya dengan rahmat Allah, ketimbang sebagai sebab/motif bagi tindakan-Nya. sementara kaum Mu`tazilah berpendapat sebaliknya. Keberatan kaum Asy`ariyah menerima pendapat Mu`tazilah dikarenakan dapat membawa Allah dalam "kausalitas" yang berakibat Allah dibebani sesuatu.

Pilihan terhadap perdebatan ini akan menentukan sejauhmana konsep maslahah ini berperan. Bila memilih Asy`ariyah maka timbul kesan bahwa hukum Islam itu dibuat bukan karena (kemaslahatan) manusia tapi karena (rahmat) Allah semata. Jadi titik sentral ada pada Allah dan bukan pada manusia. Ini berimplikasi runtuhnya argumen para ahli hukum Islam yang ingin merubah ketentuan dalam nash atas dasar maslahah. Karena hukum Iislam itu rahmat dari Allah, bagaimana mungkin kita merubahnya?

Akan tetapi benarkah implikasi dari memilih pendapat Asy`ariyah (yang diwakili ar-Razi) sampai sejauh itu ? Ar-Razi meskipun menekankan bahwa tidak ada motif atau sebab yang dapat dihubugkan dengan perbuatan atau perintah Allah, tetapi ia mengakui bahwa perintah Tuhan ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Ia memechkan paradaoks ini dengan menganggap bahwa maslahat merupakan kejadian yang secara kebetulan sama dengan perbuatan Tuhan. Jadi, hanya secara kebetulan saja, tidak dalam kerangka sebab akibat. Dan tidak ada korelasi yang dibutuhkan antara maslahah dengan perintah, karena Tuhan tidak diharuskan melalui cara ini. Walhasil, mengatakan bahwa maslahat itu bukan motif Tuhan tetapi sebagai rahmat Tuhan, tidaklah berarti Asy`ariyah mengenyampingkan maslahah.

Imam Syatibi tampaknya sejalan dengan Mu`tazilah dan meletakkan maslahah dalam kedudukan yang penting. Doktrin maqasid as-syari`ah yang dikembangkannya merupakan suatu usaha menegakkan maslahah sebagai unsur esensial bagi tujuan hukum. Ia menyimpulkan bahwa Allah menetapkan tujuan pensyari`atan hukum Islam itu adalah menegakkan kemaslahatan (iqamah al-masalih) dunia dan akhirat.

Dalam perbincangan konsep maslahah seringkali dibahas tentang ad-daruriyat, al-hajjiyah dan at-tahsiniyat. Akan sedikit disinggung tentang ad-daruriyat --karena ini yang terutama dan sangat relevan dengan tema utama tulisan ini. Ad-daruriyat berisikan menjaga/memelihara agama, jiwa/diri, aqal, keturunan dan harta. Urutan ini sebenarnya diperselisihkan para ulama. Malikiyah dan Syafi`iyah mengurutnya : agama, kemudian jiwa dan aqal, lalu keturunan dan harta. Hanafiyah mengurutnya : agama, kemudian jiwa, lalu nasab, kemudian aqal, terakhir harta.

Ada pula yang berpendapat (Wahbah az-Zuhaili tidak menyebutkan siapa yang berpendapat seperti ini) keempatnya didahulukan atas agama, karena itu merupakan haq al-'adami. Bila kita terima yang terakhir ini maka implikasinya akan sangat menarik. Qisas didahlukan dari membunuh orang murtad dan dibolehkan meninggalkan sholat jum`at atau berjama`ah karena menjaga harta. Artinya, bila terjadi bentrokan antara menjaga harta, jiwa, akal, keturunan dengan menjaga agama maka menjaga agama dinomorduakan.Begitu pula bila terjadi bentrokan antara haq Allah dengan haq al-'adami maka haq Allah tidak diprioritaskan.

Dengan mengenyampingkan perbedaan pendapat di atas kita semua sepakat bahwa hukum Islam itu bertujuan untuk kemaslahatan manusia.

II. Menuju Fiqh Humanis

Apa yang telah ditulis di atas merupakan sebuah pengantar atau pijakan awal guna kita merubah orientasi fiqh selama ini yang sangat berpusat pada Tuhan dan mengalihkannya pada manusia. Persoalan fiqh seolah-olah selalu ditujukan pada al-Hakim. artinya, ketika kita melakukan atau mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya seolaah-olah kita melakukannya untuk kepentingan atau kemaslahatan Tuhan. Padahal Allah SWT tidak rugi atau diuntungkan dengan apapun perbuatan kita. Implikasinya, segala perbuatan yang kita lakukan adalah untuk kemaslahatan kita. Sehingga bila satu ketentuan tidak sesuai dengan kemaslahatan kita maka ketentuan tersebut harus dinomorduakan.

Inilah yang saya maksud dengan fiqh humanis. Fiqh yang berorientasi pada kemanusiaan kita. Fiqh yang memihak pada sisi-sisi kemanusiaan kita. Setiap hukum yang ditetapkan Allah haruslah dipahami dalam kerangka kemanusiaan kita. Dengan cara ini kita dapat membumikan fiqh. Perubahan orientasi ini akan melahirkan hukum yang subyektif, individual, situasional dan kondisional dengan semangat menuju kehendak ilahi.

Setiap ketentuan yang telah digariskan Tuhan dipahami bukan sebagai beban kepada manusia tapi sebagai kebutuhan manusia. Ketentuan dalam nash haruslah dipahami sebagai standard yang harus selalu dirujuk dalam rangka proses menuju ilahi; bukan sebagai standard yang harus dan apa adanya diterapkan tanpa peduli dengan kondisi kita. Penghargaan diberikan bukan karena melakukan teks nash semata, tetapi pada proses melaksanakan ketentuan tersebut.

Dengan fiqh humanis kita dapat menghindarkan klaim-klaim yang tak perlu dalam cara keberagamaan kita. Klaim alim, sesat, ingkar, paling benar dan lainnya dapat diminimalisir. Seorang yang tinggal di masjid selalu shalat lima waktu tepat pada waktunya. Ia begitu alim di mata kita. Tapi bagi fiqh humanis, seorang manajer yang bekerja dilingkungan yang non-islami dan benar-benar dikejar waktu dalam kerjanya (time is money) selalu berusaha untuk salat lima waktu, tetapi ia hanya berhasil paling tidak dua waktu, subuh dan Isya, dipandang lebih alim daripada contoh sebelumnya.

Orang yang tinggal di Masjid tidak membutuhkan banyak pengorbanan untuk selalu salat lima waktu; sedangkan seorang manajer, yang sudah berusaha tetapi hanya sempat dua waktu kadang-kadang tiga, pernah juga lima waktu, membutuhkan pengorbanan yang luar biasa untuk mengerjakan perintah Tuhan. Fiqh humanis berpihak pada sang manajer. Ketentuan dalam nash dilihat sebagai proses bukan hukum itu sendiri. Begitu pula tukang beca yang sudah berniat puasa di bulan Ramadan lalu ketika mencari nafkah ia kecapaian dan berbuka pada jam 14.00 maka itu sangat bernilai dan tidak perlu diqada` apalagi bayar fidyah (seperti ketentuan fiqh). Karena baginya tiada hari tanpa mengayuh beca dan tidak mungkin ia cuti untuk mengqada` apalagi harus membayar fidyah (ia nggak punya duit dong...). Pengorbanan tukang beca untuk melaksanakan ketentuan Allah jauh lebih besar di banding, misalnya, mahasiswa IAIN yang dibulan Ramadan setelah kuliah, kemudian tidur lalu berbuka puasa. Jangan-jangan yang terakhir ini yang harus mengqada` puasanya.....

Begitu pula seorang pelacur yang menjual dirinya demi menghidupi anaknya. Setelah ditinggal suami dan ia pun tak punya ketrampilan sementara ia harus memberi makan dan pendidikan buat anaknya maka melacurkan diri adalah pilihan yang sangat terpaksa. Fiqh humanis tidak semata-mata menyalahkan pelacur tersebut. Bisa saja sanksi dan dosanya ditimpakan pada suami yang pergi entah kemana dan bisa pula dilimpahkan pada kita semua, sebagai dosa komunal, yang bertanggung jawab atas ketimpangan sosial yang terjadi.

Fiqh humanis juga membenarkan euthanasia pada penderita AIDS dan penyait menular lain yang tak mungkin disembuhkan. Fiqh humanis juga membenarkan tidak dilakukannya potong tangan bagi pencuri dengan alasan tertentu dan menggantinya dengan hukuman penjara. Fiqh humanis melihat kasus-kasus dan bukan mengenaralisir. Pada akhirnya, hukum Islam sangat subyektif, tergantung pada individunya, situasional dan kondisional serta melakukan pilihan yang tidak merusak kemanusiaan kita.

Apa yang dikemukakan di atas tidaklah ada yang baru sama sekali. Para ulama telah membuat kaidah, "apabila dua mafsadat bertentangan maka harus dijaga mafsadat yang lebih besar bahayanya dengan melakukan mafsadat yang lebih ringan bahayanya". Nabi pun bersabda : "permudahlah dan jangan mempersulit; gembirakanlah dan janganlah membuat mereka lari." Juga hadis lain, "agama ini mudah dan tidaklah seseorang akan memberatkannya kecuali pasti ia dikalahkan". Allah pun berfirman : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya"

Tentu saja contoh-contoh di atas akan tidak disetujui banyak pihak. Tapi saya kira kita jangan terjebak pada contoh tapi bagaimana dasar-dasar fiqh humanis, seperti telah diuraikan dibagian awal, dapat kita sepakati bersama terlebih dahulu. Mungkin contoh yang diberikan terlalu ekstrem ataupun penjelasan saya terlalu sederhana dan singkat, karenanya contoh di atas bisa saja dibuang asalkan kita menyoroti secara serius apa yang merupakan inti usulan saya: mencoba menjadikan manusia sebagai titik sentral dalam fiqh; bukan Allah.

Demikian tulisan yang singkat namun terlalu berambisi bicara hal yang besar. Semoga dapat menjadi kajian bersama. Al-Haq min Allah!

Rujukan

Abu Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul as-Syari`ah, Mesir, al-Matba`ah ar- Rahmaniyah, t.th.

Wahbah Az-Zuhaili, al-Wasit fi Usul al-Fiqh al-Islami, t.t, Dar al-Kitab, 1977

Muhammad Khalid Mas`ud, Islamic Legal Philosophy, Pakistan, Islamic Research Institute, 1977

Abu an-Nur Zuhair, Muzakarah fi Usul al-Fiqh, al-Qahirah, Dar- at-Tiba`ah al- Muhammadiyah, t.th

Mengapa Ulama Berbeda Pendapat?

Mengapa Ulama Berbeda Pendapat?

Saya menangkap kecendrungan sebagian rekan dalam mensikapi perbedaan pendapat ulama, antara lain, sebagai berikut:

1. Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat itu.

2. Bersikap mencurigai perbedaan itu. Jangan-jangan ulama berbeda pendapat karena ada "pesanan" atau malah "tekanan".

Dalam merespon sikap-sikap seperti itu, saya akan sedikit menguraikan sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama. Kita akan terkejut mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.

Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya:

1. Perbedaan dalam memahami al-Qur'an. Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:

a. ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak). Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.

b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.

c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).

Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sbb:

1. lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau

2. lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan

3. lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau

4. lafaz khusus tetapi maksudnya umum.

Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).

d. perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:

1. al-aslu fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)

2. al-aslu fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)

3. al-aslu fil amri lil ibahah (dasarv "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).

**

Ini lanjutan dari email yang kemarin. Semoga bermanfaat dan dapat memperjelas bahwa perbedaan pendapat dikalangan ulama itu bukan karena mereka memang suka berbantah-bantahan seperti ahlul kitab, tetapi karena teks nash sendiri memang membuka peluang timbulnya perbedaan pendapat.

Lanjutan sebab-sebab ulama berbeda pendapat:

2. Berbeda dalam memahami dan memandang kedudukan suatu hadis.

a. Kedudukan hadis

Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu. Sebagian berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195).

Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun mereka berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama yang lain.

Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat suatu hadis itu dinyatakan shahih adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama berbeda dalam mendefenisikan adil itu.

Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini. Hampir semua ulama, kecuali al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan diri)" sebagai unsur keadilan seorang perawi.

Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan shahih adalah bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka berbeda dalam meletakkan syarat-syarat adil itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg syarat adil yang dia susun), tetapi tidak dipandang adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi syarat adil yg dia yakini).

Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling kuat) diantara dua hadis yang saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan hadis yang satu telah menghapus (nasikh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat umum, sedangkan hadis yang lain bersifat mengecualikan keumuman itu.

Bagaimana bila teks hadis terlihat seakan-akan bertentangan dengan teks Qur'an. Sebagian ulama langsung berpegang pada teks Qur'an dan meninggalkan teks hadis (ini yang dilakukan mazhab Zhahiri ketika tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat, sehingga tidak perlu meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan maknanya (ini yang dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari emas).

b. makna suatu hadis

Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan wali). Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.

Contoh lain, apakah persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram? Sebagian ulama mengatakan iya, karena berpegang pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga terjadilah status mahram antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis ini hanya khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari Aisyah yang menyatakan bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat usia kecil (karena bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang cacat hadis Aisyah ini karena ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru berpegang pada hadis Salim.

Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun ia sendiri tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi tidak shahih ataukah hanya perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian ulama memandang bahwa hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.

**

Ini lanjutan dari dua mail sebelumnya. Sekedar mengingatkan, pada dua email sebelumnya saya sudah menunjukkan bahwa semua ulama berpegang teguh pada Al-Qur'an dan hadis, namun Al-Qur'an dan Hadis memang "membuka peluang" adanya perbedaan pemahaman dan perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Pada mail kali ini saya akan menyampaikan sebab ketiga para ulama berbeda pendapat, yaitu perbedaan dalam metode berijtihad (manahij al-ijtihad atau turuqul istinbath).

3. Perbedaan dalam metode ijtihad

A. Sejarah singkat

Sejak masa sahabat sudah ada dua "mazhab" di kalangan mereka. Pertama, mereka yang lebih menekankan pada teks nash secara ketat. Diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Bilal. Kedua, mereka yang menaruh unsur rasio dan pemahaman secara luas dalam memahami suatu nash. Kelompok kedua ini diantaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud.

Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kelompok ini menyebar dan memiliki pengaruh masing-masing. Kelompok pertama berkumpul di sekitar daerah Hijaz, sedangkan kelompok kedua berkumpul di daerah Kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam Malik bin Anas tinggal di Madinah (termasuk daerah Hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah.

Imam Malik berada di lingkungan di mana masih banyak terdapat sahabat Nabi. Sedangkan Imam Abu Hanifah, sebaliknya, tinggal di lokasi di mana sedikit sekali bisa dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini menimbulkan perbedaan bagi kedua Imam dalam merespon suatu kasus.

Imam Malik bukan saja lebih banyak menggunakan hadis Nabi (yang dia terima melalui sahabat Nabi di Madinah) dibanding rasio, tetapi juga menaruh amal penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukumnya. Imam Abu Hanifah sangat membuka peluang penggunaan rasio dan sangat selektif (artinya, dia membuat syarat yg amat ketat) dalam menerima riwayat hadis (lebih-lebih sudah mulai berkembang hadis palsu di daerahnya). Sebagai jalan keluar dari sedikitnya hadis yang ia terima, maka Imam Abu Hanifah menggunakan Qiyas dan istihsan secara luas.

Imam Malik memiliki murid bernama Imam Syafi'i. Yang disebut belakangan ini juga nanti memiliki murid bernama Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiganya dapatlah disebut sebagai pemuka "ahlul hadis" di Hijaz. Sedangkan Imam Abu Hanifah memiliki murid bernama Abu Yusuf dan Muhammad (nanti Imam Syafi'i berguru juga pada muridnya Muhammad, namun Imam Syafi'i lebih cenderung pada kelompok Hijaz). Kelompok Kufah kemudian dikenal dengan sebutan "ahlur ra'yi".

Harus saya tambahkan bahwa mazhab dalam fiqh tidak hanya terbatas pada empat Imam besar itu saja. Tetapi banyak sekali mazhab-mazhab itu (konon sampai berjumlah 500). Hanya saja sejarah membuktikan bahwa hanya empat mazhab itu yang bisa bertahan dan memiliki pengaruh cukup luas di dunia Islam, ditambah sedikit pengikut mazhab Zhahiri dan mazhab Ja'fari.

B. Metode Ijtihad

B.1. Imam Abu Hanifah

a. Berpegang pada dalalatul Qur'an

a.1. Menolak mafhum mukhalafah

a.2. Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan

a.3. Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan

dalil

b. Berpegang pada hadis Nabi

b.1. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad

kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh))

b.2. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya

c. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)

d. Berpegang pada Qiyas

d.1. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad

e. berpegang pada istihsan



B.2. Imam Malik bin Anas

a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)

a.1. zhahir Nash

a.2. menerima mafhum mukhalafah

b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah

c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)

d. Qaulus shahabi

e. Qiyas

f. Istihsan

g. Mashalih al-Mursalah

B.3 Imam Syafi'i

a. Qur'an dan Sunnah

(artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya, menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an dalam kasus tertentu)

b. Ijma'

c. hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad)

d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)

e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya

B.4. Imam Ahmad bin Hanbal

a. An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur'an)

a.1. menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi'i)

a.2. menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)

b. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)

c. Ijma'

d. Qiyas

Kalau kita susun empat Imam mazhab itu menurut banyaknya menggunakan rasio maka urutannya adalah:

1. Imam Abu Hanifah

2. Imam Syafi'i

3. Imam Malik

4. Imam Ahmad bin Hanbal

Kalau disusun menurut banyakanya menggunakan riwayat:

1. Imam Ahmad bin Hanbal

2. Imam Malik bin Anas

3. Imam Syafi'i

4. Imam Abu Hanifah

(Bagi yang ingin mendalami metode ijtihad para ulama saya merekomendasikan Muhammad Salam Madkur, "Manahij al-Ijtihad fi al-Islam", Kuwait, al-matba'ah al-'Asriyah al-Kuwait, Jami'ah al-Kuwait, 1984)

Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda pendapat. Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada dua sebab utama:

1. Sebab internal, yaitu berbeda dalam memahami al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka

2. Sebab eksternal, yaitu perbedaan sosio-kultural dan geografis

Persoalannya sekarang, bagaimana kita mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa keragaman pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan anda pilih pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah cepat berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.

Jangan sembarangan menuduh mereka sebagai ulama pesanan ataupun ulama yang ditekan pemerintah. Juga jangan cepat-cepat menilai salah fatwa ulama hanya karena fatwa tersebut berbeda dengan selera ataupun pendapat kita.

Mengapa kita harus mengukur dalamnya sungai dengan sejengkal kayu? Sayang, kita suka sekali mengukur kedalaman ilmu seorang ulama hanya dengan sejengkal ilmu yg kita punya.

Di sisi lain, ulama pun tetap manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Rasulullah sendiri mengakui bahwa akan ada orang yang salah dalam berijtihad, namun Rasulullah mengatakan tetap saja Allah akan memberi satu pahala bagi yang salah dalam berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar dalam ijtihad.

Masalahnya, Apakah kita punya hak untuk menilai salah-benarnya ijtihad ulama itu? Bukankah hanya Allah Hakim yang paling adil?

Al-Haq min Allah!

Antara Syari'ah dan Fiqh

Antara Syari'ah dan Fiqh

Di bawah ini saya tuliskan sedikit penjelasan tentang Syari'ah dan Fiqh. Seringkali kita tidak bisa membedakan keduanya, sehingga kita menjadi "alergi" dengan perbedaan pendapat. Atau, biasanya, kita "ngedumel" kepada ulama yang punya pendapat lain, seraya berkata, "kita kan umat yang satu, kenapa harus berbeda pendapat!".

Dari penjelasan di bawah ini nanti akan terlihat bahwa kita bersatu pada masalah Syari'ah dan dimungkinkan untuk berbeda pendapat dalam masalah Fiqh.

Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam konteks hukum Islam, makna Syari'ah adalah Aturan yang bersumber dari nash yang qat'i.Sedangkan Fiqh adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang zanni.

Penjelasan singkat ini membawa kita harus memahami apa yang disebut Qat'i dan apa pula yang disebut zanni.

1. Nash Qat'i

Qat'i itu terbagi dua: dari sudut datangnya atau keberadaannya dan dari sudut lafaznya.Semua ayat al-Qur'an itu merupakan qat'i al-tsubut. Artinya, dari segi "datangnya" ayat Qur'an itu bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan. Tetapi, tidak semua ayat Qur'an itu mengandung qat'i al-dilalah. Qat'i al-dilalah adalah ayat yang lafaznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi, pada ayat yang berdimensi qat'i al-dilalah tidaklah mungkin diberlakukan penafsiran dan ijtihad, sehingga pada titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulama. Sebagai contoh: Kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya bersifat Qat'i, yaitu "aqimush shalat" Tidak ada ijtihad dalam kasus ini sehingga semua ulama dari semua mazhab sepakat akan kewajiban shalat.

Begitu pula halnya dengan hadis. Hadis mutawatir mengandung sifat qat'i al-wurud (qat'i dari segi keberadaannya). Tetapi, tidak semua hadis itu qat'i al-wurud (hanya yang mutawatir saja) dan juga tidak semua hadis mutawatir itu bersifat qat'i al-dilalah. Jadi, kalau dibuat bagan sbb:

*Qat'i al-tsubut atau qat'i al-wurud :

semua ayat Al-Qur'an dan Hadis mutawatir

*Qat'i al-dilalah :

tidak semua ayat al-Qur'an dan tidak semua hadis mutawatir

2. Nash Zanni

Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur'an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran. Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu', kata "aw lamastumun nisa" dalam al-Qur'an terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafaz "quru" (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah.

Selain hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja terjadi, karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wurud itu juga ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah. Jadi, sudah terbuka diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk beragam pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu.

*zanni al-wurud : selain hadis mutawatir

*zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)

Nah, Syari'ah tersusun dari nash qat'i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.

Contoh praktis:

1. a.kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat'i dan ini syari'ah)

b.kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh) Catatan: hadis mengatakan harus melihat bulan, namun kata "melihat" mengandung penafsiran.

2. a.membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat'i dan ini Syari'ah)

b.sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh) Catatan: kata "bi" pada famsahuu biru'usikum terbuka utk ditafsirkan

3. a.memulai shalat harus dengan niat (nash qat'i dan ini Syari'ah)

b.apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh) Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk "ushalli" sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup

4. a.Judi itu dilarang (nash qat'i dan ini Syari'ah)

b.apa yang disebut judi itu? apakah lottere juga judi? (ini fiqh) Catatan: para ulama berbeda dalam mengurai unsur suatu perbuatan bisa disebut judi atau tidak.

5. a.riba itu diharamkan (nas qat'i dan ini syari'ah)

b.apa bunga bank itu termasuk riba? (ini fiqh) Catatan: para ulama berbeda dalam memahami unsur riba dan 'illat (ratio legis) mengapa riba itu diharamkan

6. a.menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)

b.apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh) Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah menutup aurat (apakah mau ditutup dg jilbab atau dg kertas koran atau dengan kain biasa). Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya.

7. dan lain-lainnya

Jadi, tidak semua hal kita harus berbeda pendapat. Juga tidak semua perbedaan pendapat bisa dihilangkan. Kita tidak berbeda pendapat dalam hal Syari'ah namun boleh jadi berbeda pendapat dalam hal fiqh. (mengenai sebab-sebab ulama berbeda pendapat silahkan lihat tulisan saya "Mengapa Ulama Berbeda Pendapat")

Kalau ulama berbeda dalam fiqh, nggak usah diributkan karena memang wilayah fiqh terbuka beragam penafsiran. Juga tidak perlu buru-buru mencap "ini bid'ah dan itu sesat" Apalagi sampai menuduh ulama pesanan. Perhatikan dulu apakah perbedaan itu berada pada level syari'ah atau level fiqh.

Wa Allahu A'lam

Kelahiran Hukum Islam di Mata Joseph Scahcht: Sebuah Komentar Awal

Kelahiran Hukum Islam di Mata Joseph Scahcht: Sebuah Komentar Awal

 Kelahiran atau pembentukan hukum Islam dapat dilihat dalam tiga dimensi yang berbeda:

1. teoritis-abstrak.

Jika kelahiran hukum islam dimaksudkan berada dalam tataran teoritis-abstrak maka jawabannya harus dilihat dalam tataran filosofis. Hukum di sini diandaikan sebagai sesuatu yang abstrak dan belum berwujud. Pertanyaan dalam tataran filosofis ini adalah: apakah hukum lahir dari sesuatu di atas kemanusiaan kita (dari "atas") ataukah hukum itu lahir dari sesuatu yang ada dalam kemanusiaan kita (dari "bawah"). Di sini kita tidak memerlukan istilah tekhnis hukum berikut pembagiannya apakah ini perdata, pidana atau mu'amalat atau jinayat.

2.disiplin ilmu

Jika kelahiran hukum Islam dimaksudkan berada dalam dimensi disiplin ilmu maka kelahiran itu harus dilihat dalam ilmu syari'ah. Di sini telah ada istilah tekhnis dan segala hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, lahirnya hukum Islam di sini dipandang dari sudut ilmiah semata. Ia tidak lagi abstrak tetapi ia masih bersifat teoritis. Jawaban terhadap pertanyaan kelahiran atau pembentukan hukum Islam bila dilihat dalam tataran ini dapat dilacak pada pertanyaan kapan sebuah ilmu syari'ah (i.e. Ilmu ushul al-fiqh-ilmu fiqh) itu lahir sebagai sebuah disiplin ilmu.

3. praktis-aplikatif

Bila yang dimaksud pembentukan atau kelahiran hukum Islam itu berada dalam dimensi ini, maka kelahiran hukum Islam itu harus dilihat dalam produk hukum. Pada tataran ini hukum Islam tidak lagi berada dalam tataran filosofis ataupun sebagai disiplin ilmu tetapi bagaimana hukum Islam itu dipraktekkan dan diaplikasikan sehingga terwujud, baik dalam bentuk Undang-undang, keputusan hakim, kitab fiqh, fatwa ataupun lainnya.

Ketika Joseph Schacht (1970) menulis: "Islamic law as we know it today can not be said to have existed as yet in the time of Muhammad; it came gradually into existence during the first century of Islam," maka eksistensi hukum Islam pada tataran apa yang dimaksud Joseph Scahcht. Dalam karyanya yang lain Schacht menulis (1955), "During the greater part of the first century, Islamic law in the technical meaning of the term did not yet exist." Ann K.S Lambton (1991), yang tampaknya juga mengutip Schacht, menambahkan, "Although Muhammad became in the latter part of his life the ruler and law-giver of a new society his original aim had been not to create a new system of law, but to teach men what to do and whata to avoid in order to pass the reckoning on the day of judgement and to enter paradise. He was not responsible for the final formation of Islamic law."

Sekali lagi, dalam dimensi apa Schacht "bermain-main" ?

Jika yang dimaksud oleh Scahcht ada pada dimensi pertama, maka ia harus menjelaskan bagaimana konsep hukum Islam itu muncul pertama kali "dari atas" (wahyu Tuhan) ataukah ia muncul dari "bawah" (hasil interaksi dengan masyarakat). Persoalannya, sekali lagi jika memang ia berada pada dimensi pertama, apakah hukum pada masa Muhammad saw., terlepas hukum Islam itu "dari atas" atau "dari bawah", telah ada/eksis atau tidak ? Boleh jadi Schacht benar ketika ia mengatakan bahwa istilah teknis belum ada pada masa Muhammad. Bukankah kita pun mengakui bahwa istilah al-ahkam al-khamsah dirumuskan jauh setelah wafatnya Nabi. Ahmad Hasan dalam "The Early Development of Islamic Jurisprudence" menunjukkan bukti bahwa al-ahkam al-khamsah tidak terdapat dalam karya-karya ulama klasik, semisal Imam Malik dan al-Awza'i.

Jika yang dimaksud oleh Scahcht ada pada dimensi kedua, maka boleh jadi ia benar. Karena disiplin ilmu syari'ah pada masa Nabi Muhammad saw memang belum ada. Sebagai contoh, peletak dasar ilmu usul al-fiqh, bagi kalangan ASWAJA, diyakini berawal dari Imam Muhammad Idris as-Syafi'i. Sedangkan Imam Syafi'i hidup jauh sesudah masa hidup Muhammad saw.

Jika yang dimaksud adalah pembentukan hukum Islam pada dimensi ketiga maka Schacht harus menjelaskan proses bagaimana "lahirnya" suatu hukum ditangan pemerintah, qadi atau bahkan hakam (arbiter). Artinya, adakah data-data yang sahih yang menunjukkan bahwa institusi peradilan, sebagai salah satu sarana melahirkan produk hukum, belum ada pada masa Muhammad?

Sayangnya, saya belum berani memastikan tesis Schacht berada dalam dimensi yang mana. Terlepas dari hal itu, saya kira premis-premis yang digunakan Schacht memang cukup layak untuk diperdebatkan, seperti cara ia memandang al-Qur'an sebagai sumber hukum yang kedua, keraguannya akan sanad-sanad hadis yang melahirkan teori projecting back, kesimpulannya yang amat terburu-buru mengenai pengadopsian hukum Romawi, filsafat Yunani, dan lainnya ke dalam hukum Islam.

Hal lain yang bisa didiskusikan lebih jauh adalah bagaimana Schacht memandang hakikat hukum Islam. Hal ini diperlukan untuk mengklarifikasikan "obyek" pembahasan antara kita dan Schacht. Para orientalis memandang bahwa hukum Islam itu bukan hukum dalam pengertian hukum modern (law in the modern sense). Khalid Mas'ud (1977) menegaskan, "In defining Islamic law, Islamicists conclude that it is a system of ethical or moral rules."

Juga harus diperhatikan kesimpulan J.N.D Anderson ketika ia mencoba membedakan antara sistem hukum barat dengan sistem hukum Islam: "......the second basic difference between these two system of law, namely, that Islamic law is enormously wider in its scope than western law....It thus covers every field of law--public and private, national and international--together with an enormous amount of material that we in the west would not regard as law at all."

Siapa tahu ini juga yang membuat Schacht berbeda dengan kita sejak mula pertama kali?!!

Al-Haq min Allah!

ISLAM: Periode Mekkah dan Madinah

ISLAM: Periode Mekkah dan Madinah


1. Periode Mekkah: Sebuah Pijakan Awal

Dalam sebuah tabligh akbar, penceramah berkata pada para jama'ah :

"Bangsa Arab adalah bangsa yang tidak bermoral, bejat, munafik, licik dan bukan hanya sering terjadi pembunuhan terhadap klan lain dan biasanya berlanjut dengan peperangan, mereka juga tidak ragu-ragu membunuh anak perempuan mereka. Pada bangsa yang a moral dan a susila seperti inilah Tuhan menurunkan Nabi Muhammad SAW. Walhasil, Nabi diutus kepada bangsa Arab karena kejahiliyahan bangsa tersebut dan tugas Nabi-lah untuk menyempurnakan akhlak mereka."

Benarkah Nabi diutus di Mekkah karena masyarakat Mekkah paling bejat ? Prof. DR. HM. Quraish Shihab, MA menyangsikan tesis tersebut. Baginya, "pemikiran ini terlalu dangkal, karena masih banyak faktor yang lebih ' ilmiah' dan lebih beradab." Menurut beliau, pada masa Nabi terdapat dua adikuasa. Pertama, Persia yang menyembah api dan ajaran Mazdak mengenai kebebasan seks yang masih berbekas pada masyarakatnya sehingga permaisuri pun harus menjadi milik bersama. Kedua, Romawi yang Nasrani yang juga masih dipengaruhi oleh budaya Kaisar Nero yang memperkosa ibunya sendiri dan membakar habis kotanya. Kedua adikuasa ini bersitegang memperebutkan wilayah Hijaz. Karenanya tidak mungkn Islam hadir di keduanya atau salah satunya. Selain itu, Mekkah (pusat Hijaz) tempat bertemunya para kafilah Selatan dan Utara, Timur dan Barat. Penduduk Mekkah juga melakukan "perjalanan musim dingin dan musim panas" ke daerah Romawi dan Persia. Ini akan memudahkan penyebaran pesan.

Satu faktor lain yang mendukung Mekkah adalah bahwa masyarakat Mekkah belum banyak disentuh peradaban. Pada saat itu masyarakat Mekkah belum mengenal nifaq dan mereka pun keras kepala, serta lidah mereka tajam (QS 33: 19). Memang, kemunafikan baru dikenal di Madinah. Sulit dibayangkan bila di awal perkembangan Islam sudah ada kemunafikan. Sementara itu, suku yang paling berpengaruh di Mekkah adalah Quraisy. Suku Quraisy memiliki dua keluarga besar, Hasyim dan Umayyah. Yang pertama memiliki sifat jauh lebih mulia dibanding yang terakhir. Dari keluarga Hasyim lah Muhammad lahir. (Quraish Shihab, Lentera Hati, Bandung, Mizan, 1994, 48-51)

Betapapun kutipan di atas dimaksudkan untuk membantah pendapat bahwa Muhammad diturunkan di Mekkah karena bangsa tersebut paling bejat, namun secara tidak langsung kita telah mendeskripsikan konstelasi politik tingkat dunia ketika Islam lahir, kondisi Mekkah sebagai tempat perdagangan, ciri umum penduduk Mekkah dan kebiasaannya berdagang ke luar Mekkah, suku dan dua keluarga besar (klan) dalam masyarakat Mekkah. Ini semua menjadi bekal bagi kita untuk memahami konteks sosio-religius pada periode Mekkah.

Mengingat pentingnya klan dalam komunitas Mekkah, maka Nabi diperintahkan untuk mula-mula menyebarkan Islam di kalangan kerabatnya (QS 26:214-215) --jangan dilupakan besarnya pengaruh suku Quraisy di kalangan penduduk Mekkah. Karenanya bisa dibayangkan betapa terpukulnya Muhammad ketika ia mengumpulkan keluarganya dalam suatu jamuan santai dan berpidato meminta mereka ke jalan Allah, ternyata keluarganya menolak dan hanya Ali bin Abi Thalib yang berani dan mau menjadi pembantunya. Puluhan orang yang hadir mentertawakan Muhammad dan Ali. Tidak seorangpun menyadari bahwa beberapa di antara para undangan ini akan ditebas oleh Ali di medan Badr, empat belas tahun kemudian, sebagai bukti kesungguhan Ali.

Besarnya pengaruh keluarga di Mekkah jugalah yang, salah satunya, membuat Hamzah memeluk Islam, yakni ketika Abu Jahl --dari klan Hanzhalah-- mencaci dan mengejek Muhammad, lalu orang-orang melapor pada Hamzah --paman dan sekaligus saudara sesusuan Muhammad-- yang menghajar kepala Abu Jahl dengan busur panahnya. Insiden ini akan berbuntut panjang kalau saja spirit klan saat itu tidak segera padam.

Ketika Abu Thalib masih hidup, klan Hasyim memberikan perlindungan pada Muhammad dan tidak ada yang berani membunuh Muhammad karena klannya akan membalas nantinya. Keadaan berbeda ketika Abu Thalib wafat dan klan Hasyim --lewat Abu Lahab-- melepaskan perlindungan atas Muhammad. Itu berarti, klan manapun yang dirugikan oleh agama ini dapat membunuh Muhammad dan tidak ada klan yang akan menuntut balas. Sejak itu Muhammad dikejar-dikejar dan terpaksa lari ke Tha'if seraya memohon perlindungan pada (berturut-turut) Mas'ud, Abdu Yalail, Habib, Akhnas, Suhayl dan Mut'im bin Adi. Yang terakhir inilah yang bersedia melindungi Muhammad atas nama klannya. Bertahun kemudian,ketika ditanya Aisyah, Rasul menjawab: "Hari-hari hidupku yang paling getir, adalah dulu, ketika ditengah bangsamu, nasibku bergantung pada belas kasih Abdu Yalail". (Disarikan dari H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, Bandung, Mizan, 1990, khususnya bab 12 dan 23)

Ketika Islam hadir di Mekkah dapatlah kita baca dalam beberapa literatur bahwa pada periode Mekkah bercirikan ajaran Tauhid. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan teologis semata, juga seruan Islam akan keadilan sosial, perhatian pada nasib anak yatim, fakir miskin dan pembebasan budak serta ajaran Islam akan persamaan derajat manusia, yang menimbulkan penolakan keras penduduk Mekkah pada Muhammad. Bagi mereka, agama ini tidak hanya "merusak" ideologi dan teologi mereka, tetapi juga "merombak" kehidupan sosial mereka.

Contoh menarik, misalnya, QS 9:13 tentang kata "karim" (lihat Syamsu Rizal Panggabean, "Beberapa Segi Hubungan Bahasa Agama dan Politik dalam Islam", dalam Islamika, No. 5, 1994, h. 4-5). "Karim" dalam masyarakat jahiliyyah merupakan bagian penting kode etik muru`ah --cita-cita moral tertinggi masyarakat Arab jahiliyah yang mencakup antara lain, kejujuran, keberanian, kesetiaan dan kedermawanan serta keramah-tamahan. Keberanian dan kedigjayaan terutama ditunjukkan pada saat pertempuran dan penyamunan. Loyalitas terfokus pada ikatan-ikatan kesukuan dan perjanjian. Kedermawanan dan keramah-tamahan terutama ditunjukkan dalam menjamu tamu, dan seringkali dengan maksud meninggikan status seseorang di hadapan tetamunya.

Konsep "karim" di atas mengalami perubahan makna yang drastis ketika Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa manusia yang paling karim (akram) dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa kepadaNya. Bagi yang tidak mengetahui konteks di atas, pernyataan al-Qur'an itu akan terdengar biasa saja. Tapi bagi orang-orang pada masa Muhammad, pernyataan di atas betul-betul radikal. Jika konteks Arab jahiliyyah berikut kedudukan kata karim dalam pandangan-dunia mereka dipahami, maka yang terjadi adalah revolusi cita-moral Arab. Bukan orang yang berharta banyak, menang dalam pertempuran dan seorang bangsawan yang disebut karim, tapi mereka yang bertakwa. Implikasinya, budak hitam legam pun dapat dipandang karim. Radikalisasi makna pandangan-dunia (weltanschaung) Arab jahiliyyah yang dilakukan Islam seperti inilah yang sedikit banyak menggoncang penduduk Mekkah.

Dapatlah diambil kesimpulan secara tentatif bahwa masyarakat Islam pada kurun Mekkah belum lagi tercipta sebagai sebuah komunitas yang mandiri dan bebas dari urusan klan.Negara Islam juga belum terbentuk pada kurun Mekkah. Ajaran Islam pada kurun Mekkah bercirikan tauhid dan dalam titik tertentu terjadi radikalisasi makna dalam weltanschaung Arab jahiliyyah yang berimplikasi mengguncang tataran sosio-religius penduduk Mekkah. Kita akan melihat bagaimana ciri umum ajaran Islam dan masyarakat Islam pada periode Mekkah berkembang pada periode Madinah, untuk itu mari kita "hijrah" ke Madinah di bawah ini.

2. Periode Madinah: Kesempurnaan Agama Islam

Hijrah ke Madinah tidaklah terwujud begitu saja (atau sekonyong-konyong). Ada beberapa pra-kondisi seperti Bai`at Aqabah (pertama dan kedua). Kedua Ba`iat ini merupakan batu-batu pertama bagi bangunan negara Islam. Kehadiran Rasul melalui peristiwa hijrah ke dalam masyarakat Madinah yang majemuk amat menarik untuk dibahas. Peta demografis Madinah saat itu adalah sebaagai berikut: (1) Kaum Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, (2) Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih berada pada tingkat nominal muslim, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi saw., (3) Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menganut paganisme, (4) Orang-orang Yahudi yang terbagi dalam tiga suku utama: Banu Qainuqa, Banu Nadhir dan Banu Quraizha.

Kemajemukan komunitas tersebut tentu saja melahirkan conflict dan tension. Pertentangan Aus dan Khazraj sudah terlalu terkenal dalam sejarah Islam. Bahkan diduga diterimanya Rasul di Madinah (Yatsrib) dengan baik di kedua klan tersebut karena kedua klan tersebut membutuhkan "orang ketiga" dalam konflik diantara mereka. Hal ini bisa dipahami dalam manajemen konflik politik. Adapun diterimanya Rasul oleh kaum Yahudi merupakan catatan tersendiri. Tentu saja Yahudi menerima Nabi dengan penuh kecurigaan tetapi pendekatan yang dilakukan Nabi mampu "menjinakkan" mereka, paling tidak, sampai Nabi eksis di Madinah.

Kemajemukan komunitas Madinah membuat Rasul melakukan negosiasi dan konsolidasi melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan "Piagam Madinah"(lihat Ibn Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, h. 301-301). Piagam Madinah sesungguhnya merupakan rangkaian penting dari proses berdirinya negara Madinah, meskipun Nabi, selaku "mandataris" Piagam Madinah tidak pernah mengumumkan bahwa beliau mendirikan negara, dan tak satupun ayat Qur'an yang memerintahkan beliau untuk membentuk suatu negara.

Dari sudut pandang ilmu politik, obyek yang dipimpin oleh Nabi saw.memenuhi syarat untuk disebut sebagai negara. Syarat berdirinya negara ialah ada wilayah, penduduk dan pemerintahan yang berdaulat. Kenyataan sejarah menunjukkan adanya elemen negara tersebut.Walhasil, setelah melalui proses Ba`iat dan Piagam Madinah Nabi dipandang bukan saja sebagai pemimpin ruhani tetapi juga sebagai kepala negara.

Kita beralih pada persoalan ajaran Islam. Pada periode Madinah ajaran Islam merupakan kelanjutan dari periode Mekkah. Bila pada periode Mekkah, ayat tentang hukum belum banyak diturunkan, maka pada periode Madinah kita mendapati ayat hukum mulai turun melengkapi ayat yang telah ada sebelumnya. Ini bisa dipahami mengingat hukum bisa dilaksanakan bila komunitas telah terbentuk. Juga dapat dicatat kemajemukan komunitas Madinah turut mempengaruhi ayat hukum ini. Satu contoh menarik pada peristiwa kewajiban zakat dan pelarangan riba. Setting sosio-ekonomi Madinah yang dikuasai oleh Yahudi memerlukan sebuah "perlawanan" dalam bentuk zakat (untuk pemerataan ekonomi di kalangan muslim) dan pelarangan riba. Yang terakhir ini membawa implikasi baik secara ekonomi maupun politik bagi praktek riba kaum Yahudi.

Bukan hanya ayat hukum saja yang berangsur-angsur "sempurna", juga ayat tentangetika, tauhid dan seluruh elemen ajaran Islam berangsur-angsur mendekati titik kesempurnaan,dan mencapai puncaknya pada QS 5:3. Setelah Nabi wafat, dimulailah era khulafaur rasyidin. Tidak dapat dipungkiri, di Madinah Islam sempurna dan disinilah awal sebuah peradaban yang dibangun oleh umat Islam mulai tercipta.

Wa Allah a'lam bis Shawab

Pidana Islam: antara Zawajir dan Jawabir

Pidana Islam: antara Zawajir dan Jawabir

Dewasa ini berkembang pemikiran baru dalam hukum pidana. Banyak pakar hukum yang mengusulkan diubahnya orientasi hukum pidana dari semula yang bersifat retributif (retribution), menuju sebuah orientasi baru yang bersifat preventif (utilitarian prevention, deterrence).

Menurut Herbert L. Packer, pendekatan retribusi menghasilkan salah satu dari dua bentuk berikut: revenge theory. atau expiation/atonement theory. Yang pertama berarti bahwa pidana dianggap sebagai pembalasan mutlak atas perbuatan jahat, sedangkan yang kedua bermakna sebagai pembalasan yang dilakukan dengan cara tertentu sehingga terpidana merasa terbebas dari rasa berdosa dan rasa salah.

Pandangan utilitarian mengkritik konsep klasik ini. Menurut mereka yang mengajukan usul perubahan orientasi hukum pidana berpendapat bahwa pemidanaan sebagai tindakan yang menyebabkan derita bagi si terpidana, hanya dapat dianggap sah apabila terbukti bahwa dijatuhkannya pidana penderitaan itu memang menimbulkan akibat lebih baik daripada tidak dijatuhkan pidana, khususnya dalam rangka menimbulkan efek pencegahan. Packer, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie (1995: 169-170), membagi teori ini ke dalam dua bentuk. Pertama, Deterrence theory yang efek pencegahan diharapkan timbul sebelum pidana dilakukan (before the fact inhabition), misalnya melalui ancaman, contoh keteladanan dan sebagainya. Kedua, intimidation theory yang memandang bahwa pemidanaan itu merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Sebab, menurut teori ini, sekali seorang dijatuhkan hukuman pidana maka secara psikologis ia akan terkondisikan untuk menghindari perbuatan pidana yang bisa membuat ia dikenakan hukuman lagi.

Apakah kedua teori tersebut sudah cukup? Ternyata tidak. Belakangan mucul lagi teori baru yang disebut sebagai Behavioral Prevention. Teori terakhir ini terbagi dua: pertama, incapacitation theory. Artinya, hukuman pidana harus dilihat sebagai cara agar yang bersangkutan tidak lagi berada dalam kapasitas untuk melakukan tindak pidana. Kedua, rehabilitation theory yang berarti pemidanaan dilakukan untuk memudahkan dilakukannya pembinaan, yang bertujuan untuk merahibilitasi si terpidana sehingga ia dapat merubah kepribadiannya menjadi orang baik yang taat pada aturan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaimana teori pemidanaan dalam hukum Islam? Dalam hukum Islam belakangan ini juga diusulkan adanya perubahan orientasi jinayat. Dahulu, pemidanaan dalam Islam dimaksudkan sebagai unsur pembalasan dan penebusan dosa. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya teori jawabir. Namun, seperti telah disebutkan, muncul teori baru yang menyatakan bahwa tujuan jinayat itu adalah untuk menimbulkan rasa ngeri bagi orang lain agar tidak berani melakukan tindak pidana. Teori yang belakangan ini dikenal dengan teori zawajir (Ibrahim Hosen, 1997).

Jadi, bagi penganut teori jawabir, hukuman potong tangan dan qishash itu diterapkan apa adanya sesuai bunyi nash, sedangkan penganut teori zawajir berpendapat bahwa hukuman tersebut bisa saja diganti dengan hukuman lain, semisal hukuman penjara, asalkan efek yang ditimbulkan mampu membuat orang lain jera untuk melakukan tindak pidana. Pada titik ini kita melihat bahwa terjadi kesamaan antara hukum pidana modern dengan hukum pidana dalam Islam. Persoalannya, apakah teori balas dendam dan penebusan dosa itu lebih jelek dibanding teori pencegahan?

Prof. J. Sahetapy pernah menulis bahwa dulu di suatu masa setiap pencopet dikenakan hukuman gantung di tengah kota. Tercatatlah dalam kisah ini ada seorang pencopet yang tertangkap sehingga ia harus digantung di tengah kota. Rakyat diundang untuk meyaksikan eksekusi ini, dengan harapan rakyat menjadi takut untuk melakukan perbuatan nista tersebut. Berduyun-duyunlah datang rakyat dari segala penjuru menyaksikan eksekusi itu, sehingga alun-alun kota menjadi penuh sesak. Rakyat berdesakan menyaksikan eksekusi itu. Pada saat yang sama ditengah-tengah kerumunan rakyat tersebut beraksilah sejumlah tukang copet! Apa pesan dari cerita ini? Ternyata, ditengah eksekusi yang sedemikian keras pun tindak pidana yang sama telah terjadi.

Menurut hemat saya, sebuah hukum ketika diundangkan ataupun ketika disyariÕatkan maka ia bersifat kompleks. Tidak mungkin kita mengatakan bahwa satu hukuman itu hanya bersifat pembalasan ataupun penebusan dosa dengan menafikan unsur ancaman sehingga menakuti pihak lain. Sebaliknya, tidak mungkin satu hukum hanya mengandung unsur ancaman semata. Sejarah mencatat ada pihak tertentu yang berdiri pada posisi sedemikian ekstrem sehingga karena semangat Ònon-pembalasanÓ yang berlebihan sempat mengusulkan penghapusan sama sekali lembaga pidana. Muncullah yang kitra kenal dengan gerakan modern yang Òanti-pidanaÓ (the campaign against punishment).

Kritik lain adalah dilupakannnya unsur korban dalam teori-teori di atas. Teori di atas melulu bicara soal pelaku kejahatan dan bentuk pidana yang patut diberikan. Padahal dalam setiap perbuatan pidana unsur yang paling menderita &endash;dan karenanya amat patut menjadi perhatian&emdash;adalah korban. Dalam perkara pidana, korban biasanya diwakili oleh negara. Sayangnya, negara luput dalam memperhatikan bahwa korban sekarang tidak lagi sendirian. Seorang korban boleh jadi hanyalah merupakan sebuah sub bab dari bab besar yang bertajuk KORBAN. Sebagai contoh, ketika Udin, wartawan Bernas, dianiaya hingga terbunuh, dia telah menjadi seorang korban. Tetapi harus pula diakui ada korban lain akibat pembunuhan itu, bukan saja isterinya yang menjadi stress yang patut kita masukkan dalam daftar ÒkorbanÓ, tetapi juga kebebasan pers nasional ikut menjadi korban dengan meninggalnya wartawan tersebut. Sebaiknya hukuman bagi pembunuh Udin mempertimbangkan juga daftar ÒkorbanÓ ini.

Dalam hukum pidana modern, masalah korban sudah menjadi perhatian yang amat serius sehingga melahirkan sebuah disiplin ilmu tersendiri, Victimologi. Pertanyaannya, sudahkah hukum Islam juga memikirkan dengan serius kondisi korban ketika diputuskan hukuman bagi pelaku pidana? Lebih jauh lagi, sudahkah ada perhatian para ulama untuk juga melahirkan semacam disiplin ilmu yang mengupas soal korban ini?

Walhasil, menurut saya, pemilahan hukum pidana ke dalam teori-teori tersebut secara kaku tidaklah memuaskan. Hukum itu sebenarnya sangatlah kompleks dan tak bisa dijawab dengan hanya satu teori. Satu bentuk hukuman pidana haruslah mengandung unsur pelajaran (baik pelajaran itu bersifat ÒringanÓ ataupun ÒkerasÓ) bagi pelakunya, unsur pencegahan (untuk turut melakukan pidana) bagi pihak lain dan unsur perhatian terhadap nasib korban (victim).

Refleksi

Apakah dengan demikian hukuman dalam pidana Islam harus diterapkan apa adanya? Saya kira kita harus membedakan antara hukum dalam teks dan hukum yang hinggap di meja pengadilan. Boleh jadi, hukuman yang diancamkan dalam kitab hukum terhadap satu perbuatan pidana amatlah keras, namun ketika sudah di bawa ke pengadilan, hakim berkewajiban melihat persoalan dari segala sisi. Disinilah lahir istilah: judge made law. Artinya, hukum dalam kitab hukum memang bersifat obyektif, namun hukum yang hinggap di meja pengadilan, yang sebenarnya juga didasarkan pada hukum dalam kitab hukum, bisa saja bersifat subyektif.

Ibn Qayyim dalam BadaiÕu al-Fawaid (h, 12-13) menjelaskan bahwa hakim tidak akan dapat mengeluarkan keputusan yang adil kecuali memiliki tiga pengetahuan: pertama, mengetahui dalil masyruÕiyyat al-hukm (hukum materiil); kedua, mengetahui dalil wuquÕu al-hukm (ratio legis hukum) sehingga hakim dapat memahami ahwal al-nas, baik itu berupa pengetahuan sosiologi hukum, kriminologi, viktimologi, antropologi hukum dan lainnya. Ketiga, hakim dituntut untuk mengetahui hukum formiil (hukum acara).

Jika kualifikasi hakim yang diinginkan oleh Ibn Qayyim di atas terwujud, maka tidaklah penting apakah hukuman pidana Islam itu menjadi hukuman maksimal ataupun menjadi hukuman apa adanya. Sebab, meskipun hukuman Qishash ataupun hukuman pidana lainnya diancamkan begitu keras dalam al-QurÕan, namun ketika sudah hinggap di pengadilan, seorang hakim tidak bisa begitu saja memutus perkara berdasarkan ketentuan nash. Sekali lagi, hakim harus mempertimbangkan segala segi. Contoh yang paling baik adalah ketika Umar bin Khattab tidak mau memotong tangan pencuri anak unta pada saat paceklik.

Wa Allahu AÕlam bishshawab