Renungan tentang Bulan Ramadhan


 Renungan tentang Bulan Ramadhan

Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, juga untuk segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.
Wahai Ikhwan yang mulia. Saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari sisi Allah yang diberkati dan baik: assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Pada malam ini, yang merupakan akhir bulan Sya’ban, kita menutup serial kajian kita tentang Al-Qur’anul Karim, tentang kitab Allah swt. Insya Allah, pada sepuluh malam yang pertama bulan Syawal, kita kembali kepada tema tersebut. Setelah itu kita akan membuka serial baru dari ceramah-ceramah Ikhwan, yang temanya insya Allah: Kajian-Kajian tentang Sirah Nabi dan Tarikh Islam.
Ramadhan adalah bulan perasaan dan ruhani, serta saat untuk menghadapkan diri kepada Allah. Sejauh yang saya ingat, ketika bulan Ramadhan menjelang, sebagian Salafush Shalih mengucapkan selamat tinggal kepada sebagian lain sampai mereka berjumpa lagi dalam shalat ‘Id. Yang mereka rasakan adalah ini bulan ibadah, bulan untuk melaksanakan shiyam (puasa) dan qiyam (shalat malam) dan kami ingin menyendiri hanya dengan Tuhan kami.
Ikhwan sekalian, sebenarnya saya berupaya untuk mencari kesempatan untuk mengadakan kajian Selasa pada bulan Ramadhan, tetapi saya tidak mendapatkan waktu yang sesuai. Jika sebagian besar waktu selama setahun telah digunakan untuk mengadakan kajian-kajian tentang Al-Qur’an, maka saya ingin agar waktu yang ada di bulan Ramadhan ini kita gunakan untuk melaksanakan hasil dari kajian-kajian tersebut. Apalagi, banyak di antara ikhwan yang melaksanakan shalat tarawih dan memanjangkannya, sampai mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali di bulan Ramadhan. Ini merupakan cara mengkhatamkan yang indah. Jibril biasa membacakan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari Nabi saw. Sekali dalam setahun. Nabi saw. mempunyai sifat dermawan, dan sifat dermawan beliau ini paling menonjol terlihat pada bulan Ramadhan ketika Jibril membacakan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an beliau. Beliau lebih dermawan dan pemurah dibandingkan dengan angin yang ditiupkan. Kebiasaan membacakan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an ini terus berlangsung sampai pada tahun ketika Rasulullah saw. diberi pilihan untuk menghadap kepada Ar-afiq Al-A’la (Allah swt. — pen.), maka ketika itu Jibril membacakan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an beliau dua kali. Ini merupakan isyarat bagi Nabi saw. bahwa tahun ini merupakan tahun terakhir beliau hidup di dunia.
Ikhwan sekalian, Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an. Rasulullah saw. pernah bersabda mengenainya, “Puasa dan Al-Qur’an itu akan memberikan syafaat kepada hamba di hari kiamat. Puasa akan berkata, ‘Ya Rabbi, aku telah menghalangi-nya dari makan dan syahwat, maka perkenankanlah aku memberikan syafa ‘at untuknya.’ Sedangkan Al-Qur’an akan berkata, ‘Ya Rabbi, aku telah menghalanginya dan tidur di malam hari, maka perkenankan aku memberikan syafaat untuknya. ‘Maka Allah memperkenankan keduanya
memberikan syafaat. ” (HR. Imam Ahmad dan Ath Thabrani)
Wahai Ikhwan, dalam diri saya terbetik satu pemikiran yang ingin saya bicarakan. Kerana kita berada di pintu masuk bulan Puasa, maka hendaklah pembicaraan dan renungan kita berkaitan dengan tema bulan Ramadhan.
Ikhwan sekalian, kita telah berbicara panjang lebar tentang sentuhan perasaan cinta dan persaudaraan yang dengannya Allah telah menyatukan hati kita, yang salah satu dampaknya yang paling terasa adalah terwujudnya pertemuan ini kerana Allah. Bila kita tidak akan berjumpa dalam masa empat pekan atau lebih, maka bukan berarti bara perasaan ini harus padam atau hilang. Kita tidak mesti melupakan prinsip-prinsip luhur tentang kemuliaan dan persaudaraan kerana Allah, yang telah dibangun oleh hati dan perasaan kita dalam majelis yang baik ini. Sebaliknya, saya yakin bahwa ia akan tetap menyala dalam jiwa sampai kita biasa berjumpa kembali setelah masa percutian ini, insyaAllah. Jika ada salah seorang dari Anda melaksanakan shalat pada malam Rabu, maka saya berharap agar ia mendoakan kebaikan untuk ikhwannya. Jangan Anda lupakan ini! Kemudian saya ingin Anda selalu ingat bahwa jika hati kita merasa dahaga akan perjumpaan ini selama minggu-minggu tersebut, maka saya ingin Anda semua tahu bahwa dahaganya itu akan dipuaskan oleh mata air yang lebih utama, lebih lengkap, dan lebih tinggi, yaitu hubungan dengan Allah swt., yang merupakan cita-cita terbaik seorang mukmin bagi dirinya, di dunia maupun akhirat.
Kerana itu, Ikhwan sekalian, hendaklah Anda semua berusaha agar hati Anda menyatu dengan Allah swt. Pada malam-malam bulan mulia ini. Sesungguhnya puasa adalah ibadah yang dikhususkan oleh Allah swt. bagi diri-Nya sendiri. “Semua amalan anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. la untuk-Ku dan Aku akan memberikan balasannya.”
Ini, wahai Akhi, mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilaksanakan oleh manusia mengandung manfaat lahiriah yang bisa dilihat, dan di dalamnya terkandung semacam bagian untuk diri kita. Kadang-kadang jiwa seseorang terbiasa dengan shalat, sehingga ia ingin melaksanakan banyak shalat sebagai bagian bagi dirinya. Kadang-kadang ia terbiasa dengan dzikir, sehingga ia ingin banyak berdzikir kepada Allah sebagai bagian bagi dirinya. Kadang-kadang ia terbiasa dengan menangis kerana takut kepada Allah, maka ia ingin banyak rnenangis kerana Allah sebagai bagian bagi dirinya. Adapun puasa, wahai Akhi, di dalamnya tidak terkandung apa pun selain larangan. Ia harus melepaskan diri dari bermacam keinginan terhadap apa yang menjadi bagian dirinya. Bila kita terhalang untuk berjumpa satu sama lain, maka kita akan banyak berbahagia kerana bermunajat kepada Allah swt. Dan berdiri di hadapan-Nya, khusus-nya ketika melaksanakan shalat tarawih.
Ikhwan sekalian, hendaklah senantiasa ingat bahwa Anda semua berpuasa kerana melaksanakan perintah Allah swt. Maka berusahalah sungguh-sungguh untuk beserta dengan Tuhan Anda dengan hati Anda pada bulan mulia ini. Ikhwan sekalian, Ramadhan adalah bulan keutamaan. Ia mempunyai kedudukan yang agung di sisi Allah swt. Hal ini telah dinyatakan dalam kitab-Nya, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeza (antara yang haq dan yang batil).” (Al-Baqarah:185)
Wahai Akhi, pada akhir ayat ini Anda mendapati: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185) Puasa adalah kemanfaatan yang tidak mengandung bahaya. Dengan penyempurnaan puasa ini, Allah swt. akan memberikan hidayah kepada hamba-Nya. Jika Allah memberikan taufiq kepada Anda untuk menyempurnakan ibadah puasa ini dalam rangka menaati Allah, maka ia adalah hidayah dan hadiah yang patut disyukuri dan selayaknya Allah dimahabesarkan atas karunia hidayah tersebut. “Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur.” (Al-Baqarah: 185) Kemudian, lihatlah wahai Akhi, dampak dari semua ini. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah; 186)
Wahai Akhi, di sini Anda melihat bahwa Allah Yang Maha Benar meletakkan ayat ini di tempat ini untuk menunjukkan bahwa Dia swt. paling dekat kepada hamba-Nya adalah pada bulan mulia ini. Allah swt. telah mengistimewakan bulan Ramadhan. Mengenai hal ini terdapat beberapa ayat dan hadits. Nabi saw. bersabda, “Jika bulan Ramadhan datang, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu, kemudian datang seorang penyeru dari sisi Allah Yang Mahabenar swt “Wahai pencari kejahatan, berhentilah! Dan wahai pencari kebaikan, kemarilah!’”
Wahai Akhi, pintu-pintu surga dibuka, kerana manusia berbondong-bondong melaksanakan ketaatan, ibadah, dan taubat, sehingga jumlah pelakunya banyak. Setan-setan dibelenggu, kerana manusia akan beralih kepada kebaikan, sehingga setan tidak mampu berbuat apa-apa. Hari-hari dan malam-malam Ramadhan, merupakan masa-masa kemuliaan yang diberikan oleh Al-Haq swt., agar orang-orang yang berbuat baik menambah kebaikannya dan orang-orang yang berbuat jahat mencari karunia Allah swt. sehingga Allah mengampuni mereka dan menjadikan mereka hamba-hamba yang dicintai dan didekatkan kepada Allah.
Keutamaan dan keistimewaan paling besar bulan ini adalah bahwa Allah swt. telah memilihnya menjadi waktu turunnya Al-Qur’an. Inilah keistimewaan yang dimiliki oleh bulan Ramadhan. Kerana itu, Allah swt. mengistimewakan dengan menyebutkannya dalam kitab-Nya.” (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an.” (Al-Baqarah: 185)
Ada ikatan hakikat dan fisik antara turunnya Al-Qur’an dengan bulan Ramadhan. Ikatan ini adalah selain bahwa Allah telah menurunkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan, maka di bulan ini pula Dia mewajibkan puasa. Kerana puasa artinya menahan diri dari hawa nafsu dan syahwat. Ini merupakan kemenangan hakikat spiritual atas hakikat material dalam diri manusia. Ini berarti, wahai Akhi, bahwa jiwa, ruh, dan pemikiran manusia pada bulan Ramadhan akan menghindari tuntutan-tuntutan jasmani. Dalam kondisi seperti ini, ruh manusia berada di puncak kejernihannya, kerana ia tidak disibukkan oleh syahwat dan hawa nafsu. Ketika itu ia dalam keadaan paling siap untuk memahami dan menerima ilmu dari Allah swt. Kerana itu, bagi Allah, membaca Al-Qur’an merupakan Ibadah paling utama pada bulan Ramadhan yang mulia.
Pada kesempatan ini, Ikhwan sekalian, saya akan meringkaskan untuk Anda semua pandangan-pandangan saya tentang kitab Allah swt., dalam kalimat-kalimat ringkas.

Wahai Ikhwan yang mulia, tujuan-tujuan asasi dalam kitab Allah swt. dan prinsip-prinsip utama yang menjadi landasan bagi petunjuk Al-Qur’an ada empat:
1. Perbaikan Aqidah
Anda mendapati bahwa Al-Qur’anul Karim banyak menjelaskan masalah aqidah dan menarik perhatian kepada apa yang seharusnya tertanam sungguh-sungguh di dalam jiwa seorang mukmin, agar ia bisa mengambil manfaatnya di dunia dan di akhirat. Keyakinan bahwa Allah swt. adalah Yang Maha Esa, Yang Mahakuasa, Yang menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan bersih dari seluruh kekurangan. Kemudian keyakinan kepada hari akhir, agar setiap jiwa dihisab tentang apa saja yang telah dlkerjakan dan ditinggal kannya. Wahai Akhi, jika Anda mengumpulkan ayat-ayat mengenai aqidah dalam Al-Qur’an, niscaya Anda mendapati bahwa keseluruhannya mencapai lebih dari sepertiga Al-Qur’an. Allah swt. berfirman dalam surat Al-Baqarah, “Hai manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian; kerana itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22)
Wahai Akhi, setiap kali membaca surat ini, Anda mendapati kandungannya ini melintang di hadapan Anda. Allah swt. juga berfirman dalam surat Al-Mukminun, “Katakanlah, Kepunyaan siapa-kah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kalian tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kalian tidak bertaqwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kalian ditipu?’ Sebenar-nya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta.” (Al-Mukminun: 84-90)
Allah swt. juga berfirman di surat yang sama, “Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak pula mereka saling bertanya. Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikannya) maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan timbangan (kebaikannya), maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam.” (Al-Mukminun: 101-103)
Allah swt. juga berfirman, “Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya. Dan manusia bertanya, ‘Mengapa bumi (jadi begini)?’ Pada hari itu bumi menceritakan beritanya. Kerana sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 1-8)
Allah swt. berfirman, “Hari Kiamat. Apakah hari Kiamat itu? Tahukah kalian apakah hari Kiamat itu?” (Al-Qari’ah: 1-3) Dalam surat lain Allah berfirman, “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian. Sampai kalian masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian itu). Dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui.” (At-Takatsur: 1-4) Wahai Akhi, ayat-ayat mi menjelaskan hari akhirat dengan pen-jelasan gamblang yang bisa melunakkan hati yang keras.
2. Pengaturan Ibadah
Anda juga membaca firman Allah swt. mengenai ibadah. “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 43) “…diwajib-kan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.” (Al-Baqarah: 183) “…mengerjakan haji adalah kewa-jiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali-Imran: 97) Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.” (Nuh: 10) Dan banyak lagi ayat-ayat lain mengenai ibadah.
3. Pengaturan Akhlak
Mengenai pengaturan akhlak, wahai Akhi, Anda biasa membaca firman Allah swt. “Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.” (Asy-Syams: 7-8) “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada dalam diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d:11) “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. Dan orang-orang yang sabar kerana mencari ridha Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shalih dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu. (Sambil mengucapkan), ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum (keselamatan atasmu berkat kesabaranmu),’ maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar-Ra’d: 19-24) Wahai Akhi, Anda mendapati bahwa akhlak-akhlak mulia bertebaran dalam kitab Allah swt. dan bahwa ancaman bagi akhlak-akhlak tercela sangatlah keras. “Dan orang-orang yang memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam).” (Ar-Ra’d: 25)
Inilah peraturan-peraturan tersebut, Ikhwan sekalian, sebenarnya, peraturan-peraturan itu lebih tinggi daripada yang dikenal oleh manusia, kerana di dalamnya terkandung semua yang dikehendaki manusia untuk mengatur urusan masyarakat. Ketika mengupas sekelompok ayat, maka Anda mendapati makna-makna ini jelas dan gamblang. “Seperempat Juz Khamr” yang diawali dengan “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi” (Al-Baqarah: 219), mengandung lebih dari dua puluh lima hukum praktis: tentang khamr, judi, anak-anak yatim, pernikahan laki-laki dan wanita-wanita musyrik, haid, sumpah, ila’, talak, rujuk, khuluk, nafkah, dan hukum-hukum lainnya yang banyak sekali Anda dapatkan dalam seperempat juz saja. Hal ini kerana surat Al-Baqarah datang untuk mengatur masyarakat Islam di Madinah.
Ikhwan tercinta, hendaklah Anda semua menjalin hubungan dengan kitab Allah. Bermunajatlah kepada Tuhan dengan kitab Allah. Hendaklah masing-masing dari kita memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang telah saya sebutkan ini, kerana itu akan memberikan manfaat yang banyak kepada Anda, wahai Akhi. Insya Allah Anda akan mendapatkan manfaat darinya.
 Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Sayidina Muhammad dan kepada segenap keluarga dan sahabatnya.

IMAN SENJATA UTAMA DAN TAQWA BEKALAN UTAMA


IMAN SENJATA UTAMA DAN TAQWA BEKALAN UTAMA
Iman dan Pertolongan Allah
Sesungguhnya keadaan umat Islam menimbulkan rasa belas dan takut .. kelemahan, perselisihan, penguasaan musuh dan tipu daya mereka terhadap Islam dan Muslimin …. semua faktor-faktor ini mungkin menimbulkan sedikit rasa putus asa atau kecewa di dalam jiwa, tetapi keimanan kepada Allah dan merasa mulia dengan agamanya, jihad pada jalannya serta cinta kepada mati syahid tetap menimbulkan harapan yang besar terhadap pertolongan Allah. Adapun Allah adalah maha suci, maha kuat lagi berkuasa. Dialah penolong bagi hamba-hambanya yang beriman dan penunduk orang orang yang bongkak daripada musuh-musuhNya. Adapun kita di dalam bulan Ramadhan ini yang merupakan bulan kemenangan di mana peperangan Badar adalah sebaik-baik saksi terhadap pertolongan Allah bagi hamba-hambaNya yang beriman walaupun mereka sedikit. Allah berfirman
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah berserta dengan orang-orang yang sabar” (al-Baqarah: 249)
dan lagi                                                            
“(yang sebenarnya) bukanlah kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar” (al Anfal: 17)
Benar, sesungguhnya musuh zionis bermegah-megah dan mengiklankan permusuhannya serta niatnya yang keji terhadap orang-orang Palestin bahkan terhadap Muslimin seluruhnya, dan apa yang disembunyikan di sebalik hati-hati mereka adalah lebih besar. Sesungguhnya ia telah merampas satu cebisan yang begitu mulia daripada tanah air Islam kerana padanyalah al Masjidil Aqsa, qiblat yang pertama dan “Haram” yang ketiga. Berita-berita tentang penyambungan terowong di bawah masjidil Aqsa menunjukkan niat mereka untuk mendedahkan kepada kemusnahan. Dia juga berterusan untuk menyahudikan al Quds dan mengeluarkan orang-orang Palestin daripada timur al Quds. Mereka juga menuduh Siria membantu Hizbullah di Lubnan yang mempertahankan bumi Lubnan yang terjajah. Begitulah mereka bertindak seolah-olah merekalah tuan punya tanah dan tuan-tuan yang sebenar merupakan perampas. Kita juga mendapati Amerika dan beberapa negara barat menyokongnya dalam pencerobohannya dan kesombongannya. Begitu juga kita melihat perangkap ke atas Muslimin pada berbagai penjuru, dan kelemahan bumi Islam serta tiadanya bantuan terhadap saudara-saudaranya sesama Islam yang terdedah kepada perangkap dan penderitaan ini. Tapi disebalik gambaran yang menyedihkan ini kita mestilah memulakan dengan diri kita untuk menjadi mukmin yang sebenar serta melazimkan diri kita dengan sifat-sifat mukmin, mendokong hak-hak ukhuwwah di antara kita dan memohon pertolongan daripada Allah niscaya Allah akan menolong kita ke atas semua musuh-musuh. Adapun masa depan adalah untuk Islam.
“Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah” (al Anfal: 39).
dan benarlah Allah berfirman:
“Dialah yang mengutuskan RasulNya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci” (as-Saff: 9)
ke atas Muslimin seluruhnya perlulah membetulkantawakal kepada Allah kerana Allahlah sebaik-baik pelindung dan pemberi pertolongan. Dan hendaklah mereka menjadi seperti mereka yang telah disifatkan oleh Allah dalam firmannya:
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, kerana itu takutlah lepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan kurnia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai kurnia yang besar” (Ali Imran: 173-174).
Fenomena Penyembahan Syaitan (berita di Mesir: pent)
Sesungguhnya fenomena ini perlu kita selidik dan analisa maka kita berpendapat sesungguhnya Allah swt memberi amaran pada kita terhadap tipu daya syaitan dan perangkapnya seperti firman Allah:
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), kerana syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya menjadi penghuni neraka yang menyala” (Faathir: 7)
dan firmannya lagi: “Bukankah Aku telah memerintahkan padamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. dan hendaklah kamu menyembahKu. Inilah jalan yang lurus” (Yasin: 60 61)
Oleh itu ia menjadi satu kewajiban terhadap Muslimin untuk berpesan-pesan dengan kebenaran dan berpesan-pesan dengan kesabaran serta tolong menolong di dalam perkara kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong di dalam perkara dosa dan permusuhan. dan firmannya lagi: “Inilah jalanKu yang lurus, maka hendaklah kamu ikuti. Janganlah kamu ikut jalan-jalan (cara hidup) yang lain, kelak kamu akan bercerai berai dari JalanNya. Inilah yang dipesankan oleh Tuhanmu kepada kamu mudah-mudahan kamu bertaqwa” (al-An`am: 153).
Sepatutnyalah kita mengambil tahu sebab-sebab munculnya fenomena yang buruk ini agar kita dapat melindungi pemuda-pemuda kita daripada tergelincir ke dalamnya. Adapun saya mengira bahawa sebab utama berpuncanya daripada musuh zionis dan barat dan sesungguhnya Camp David telah membantu membawa penyakit ini. Zionism telah membawa kerosakan ini kepada negara kita. Mereka telah membantu kemasukan dadah dan kaset-kaset yang mengandungi penyelewengan serta lucah. Kita juga tidak lupa bahawa Yahudilah bertanggungjawab disebalik atisme yang lahir di dalam sosialisme dan merekalah yang memerangi selain daripada Yahudi terutamanya Islam. Dan merekalah manusia yang paling kuat permusuhannya terhadap orang-orang mukmin.
Di antara sebab-sebab yang membantu kewujudan fenomena ini kerana tiadanya perasaan kewatanan di kalangan para pemuda dan keadaan kelemahan politik, kemewahan yang tidak syari dan kekosongan masa serta ketiadaan matlamat yang boleh menyibukkan pemuda-pemuda untuk membina masa depannya dan memperbaiki watannya serta banyak mengembara keluar negara lalu terpengaruh dengan fasad ini. Dan di antara faktor yang lain adalah tindakan kerajaan memerangi semangat keugamaan dan gambaran mereka terhadap setiap Muslim adalah seperti Rahib (meninggalkan dunia) di samping penyempitan ini, dan begitu juga pemenjaraan dan mahkamah tentera dsbnya. Juga kosongnya silibus-silibus pelajaran daripada bekalan spritual dan pendidikan agama serta penambahan media-media yang merosakkan yang membantu menyesatkan dan membentangkan budaya-budaya asing untuk menjadi contoh kepada pemuda dan pemudi. Begitu juga galakan beberapa buku puak sekular dan kiri terhadap memerangi agama dan tujuan mereka untuk mengasingkan agama dari negara. Semua ini menggalakkan kepada penyelewengan. Di samping toleransi dalam memerangi dadah dan kekejian dan meninggalkan masyarakat menjadi mangsa pada media-media kerosakan dan undang-undang juga tidak menjanjikan balasan yang boleh menghalang perkara tersebut.
Beberapa Tanggungjawab Keluarga dan Kerajaan
Di sana terdapat satu tanggungjawab yang besar ke atas institusi keluarga dan pentarbiahan terhadap anak-anak. Setiap penjaga (ibubapa) adalah bertanggungjawab terhadap penjagaannya serta wajiblah ke atas ayah dan ibu untuk mengambil berat terhadap didikan anak-anak, bukan untuk membantu mereka melakukan kerosakan dengan memberi mereka harta benda, kereta, dan kurangnya pengawalan terhadap tindak tanduk mereka. Para bapa hendaklah mengetahui bahawa Allah akan mempersoalkan mereka tentang penjagaan.
Wajiblah ke atas kerajaan untuk mendidik bangsanya melalui tauladan dan amalan yang serius serta produktif, di samping mengembeling tenaga pemuda ke arah pengeluaran yang produktif dan mendidik mereka berjihad dan menjaga tanah air daripada sebarang pencerobohan. Kami berharap daripada pemuda-pemuda untuk mengambil iktibar daripada fenomena ini. Maka janganlah mereka mengabaikan urusan agamanya dan hendaklah mencari benteng pertahanan dariapada tergelincir kedalam jurang yang bahaya ini. Hendaklah mereka mempersenjatakan diri dengan senjata iman dan taqwa serta mengambil berat terhadap masa depan yang hakiki agar mereka berjaya di hari akhirat dengan syurga dan nikmatnya serta selamat daripada neraka dan apinya. Sesungguhnya kami melihat bahawa fenomena penyembahan syaitan adalah satu fenomena sosial dan pendidikan pada peringkat yang pertama sebelum dia menjadi satu jenayah. Oleh itu mestilah setiap ahli masyarakat dan pendidikan untuk mengkajinya dan meletakkan jalan penyelesaian yang sesuai untuk mengubatinya serta membersihkan masyarakat daripadanya dan kesannya. Media massa terutamnya television hendaklah mengadakan topik-topik perbincangan untuk memperingatkan para pemuda dan ketua-ketua serta tunggak negara kepada faktor faktor yang membawa kepada fenomena tersebut serta cara yang boleh menutup jalan yang membawa para pemuda jatuh ke dalam jurang ini. Metod-metod kekerasan sahaja bukanlah metod yang terbaik untuk penyembuhan tetapi hendaklah khidamt peranan pasukan keamanan serta kehakiman untuk menumpukan perhatian terhadap siapa yang telah sabit jenayahnya dan memberi balasan yang sepatutnya.

ITSAR, PUNCAK UKHUWAH


ITSAR, PUNCAK UKHUWAH



Tujuan Instruksional
Setelah mendapat materi ini peserta dapat:
  1. Memahami tuntutan ukhuwah Islamiyah.
  2. Berusaha meningkatkan kualitas ukhuwah sampai pada puncaknya yaitu Itsar.
  3. Melatih diri untuk itsar kepada ikhwah satu usrahnya dan berupaya agar hal itu menjadi kebiasaannya.
  4. Merasa bahagia bila bisa menerapkan prinsip itsar ini

Titik tekan materi
Keharusan mengaplikasikan ukhuwah Islamiyah demi tegaknya da’wah dan harakah. Mempraktekkan itsar di lingkungan usrahnya. Menperbanyak program-program amali yang mendukung tercapainya itsar.

Pokok-pokok materi
1.      Makna itsar menurut bahasa dan istilah
2.      Urgensi dan keutamaan itsar dalam Islam
3.      Contoh-contoh itsar di generasi salafus shalih
4.      Tafsir ayat 8 dan 9 surat Al-Hasyr
5.      Ukhuwah antara idelita dan realita

Maraji’
Fiqhul Ukhuwah Islamiyah, Dr Abdul Halim Mahmud; Risalatul Usrah; Imam As Syahid Hasan Al-Bana; Khuluq Al muslim; Muhammad Al Ghozali; Mensucikan jiwa; Said Hawa; Ihya ‘Ulumuddin; Imam Al Ghazali; Mamarratul Ukhuwatul Islamiyah; Abdullah Nashih Ulwam



Mukadimah


“Innamal mukminuna ikhwah. Faaslihu baina akhawaikum” (QS 49 : 10)
“Sesungguhnya mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah orang-orang yang berselisih diantaramu”
“Innal muslim akhul muslim” (sesungguhnya muslim itu saudara bagi muslim lainnya)
Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam adalah sarana efektif dalam dakwah fardhiyah, selain itu ia juga memberikan sekaligus manfaat duniawi, ukhrawi, dan diniyah.
Persatuan dan persaudaraan yang paling kekal adalah jika didasari kesamaan dan kesatuan aqidah. Jadi asas pemersatu yang paling kuat dan langsung adalah kesatuan aqidah.
Dalam QS 3 : 103 nampak jelas bahwa Allah yang mempersatukan hati-hati manusia dan menjadikan mereka bersaudara. Jadi ukhuwah Islamiyah, ta’liful qulub (persatuan hati) adalah kerja Allah dan bukan manusia.
Hanya saja manusia harus berikhtiar lebih dulu dengan sama-sama berpegang teguh kepada tali Allah (yakni Al Islam) dan berusaha menyelaraskan diri dengan Islam serta memperbaiki hubungan antar sesama manusia. (QS 8 : 1). Bila sudah demikian insya Allah ukhuwah Islamiyah akan terwujud dengan sendirinya.
Dalam harakah dikenal paduan antara iltizam yang sempurna dan ukhuwah Islamiyah. Bila yang ada hanya disiplin yang sempurna (iltizamul kamil), maka suasana akan terasa kaku, kering, gersang seperti di markas militer. Sedangkan bila hanya sibuk dengan masalah ukhuwah tetapi mengabaikan iltizam, disiplin maka akan seperti sekumpulan orang tanpa arahan dan bimbingan.
Pribadi-pribadi muslim yang shalih/shalihah yang memiliki iltizam yang baik namun tetap diwarnai ukhuwah, bila bersatu padu dan bekerja sama akan seperti bangunan yang kokoh.
1.      Ukhuwah Islamiyah dapat sekaligus memberi manfaat duniawiyah, diniyah, dan ukhrawiyah.
a.    Ditilik dari manfaat duniawiyah, ukhuwah Islamiyah dapat membuat seorang muslim dapat terkena imbas manfaat rizki dan kedudukan yang dimiliki saudaranya sepanjang tidak melenceng dari jalur kebenaran. Sikap seorang muslim yang baik, ia tidak akan pernah iri ataupun hasad terhadap kelebihan-kelebihan rezeki, kedudukan, keilmuwan dll yang dimiliki saudaranya. Bahkan seharusnya ia ikut merasa bersyukur karena ia pun dapat terkena efek positif dengan segala kelebihan yang dimiliki saudaranya. Kalau perlu dan mampu sebaiknya bahkan ia turut berpacu dalam kebaikan agar bermanfaat bagi orang lain.
Imbas manfaat memang tidak boleh menjadi tujuan utama dalam menjalin ukhuwah, tetapi sekedar efek samping yang harus disyukuri. Misalnya punya teman, saudara seaqidah yang pandai dalam bidang matematika kita bisa belajar darinya. Atau punya teman dokter, maka ia bisa menjadi konsultan kesehatan bagi kita, kapan saja kita butuh pertolongan medis, ia siap sedia menolong kita.
Jika imbas manfaat (intifa’) dijadikan tujuan utama, dikhawatirkan kita akan bersikap memilih-milih dalam berteman dan menda’wahi seseorang. Kemungkinan besar kita hanya mau berteman atau menda’wahi orang-orang yang kira-kira menguntungkan kita.
Manfaat duniawiyah yang kedua adalah kita akan memiliki soliditas dan kekompakan dalam hal kemaslahatan atau kebaikan. Kita akan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa serta saling bercermin karena Rasulullah SAW. Juga besabda sesungguhnya, mukmin cermin bagi saudaranya yang lain kemudian Umar ra pernah mengatakan pula bahwa kalau bukan karena tiga hal, niscaya ia tidak akan betah hidup di dunia. Ketiga hal tersebut ialah:
-         Memiliki kuda perang terbaik yang digunakan untuk berperang di jalan Allah Taala.
-         Bersusah payah di waktu malam (qiamul lail)
-         dan bergaul dengan orang-orang yang sidiq (benar dalam sikap, lisan, dan perbuatannya).
b. Ditilik dari manfaat diniyah (dari segi agama) paling tidak ada lima hal yang dapat diperoleh seseorang bila ia senantiasa menjaga ukhuwah Islamiyah.
1.      Saling mencintai di jalan Allah Taala. Orang yang saling mencintai di jalan Allah Taala akan dapat merasakan manisnya iman, memperoleh naungan di hari kiamat (hadits 7 golongan, di antara orang-orang yang saling mencintai karena Allah Taala, menjadi sebaik-baiknya sahabat di sisi Allah Taala dan akhirnya akan memperoleh mimbar dari cahaya di hari kiamat)
2.      Tolong-menolong dalam ketaatan. Orang-orang yang berukhuwah akan selalu siap tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah Taala dan Rasul-Nya. Di jaman Rasulullah hal itu jelas terlihat seperti menolong biaya orang yang akan menikah, sesama muslimah meminjamkan pakaian bagus agar saudarinya juga bisa hadir di shalat Idul Fitri atau Idul Adha, meminjamkan uang tanpa bunga. Jadi bukan menolong orang karena ada maksud-maksud tertentu atau ingin meraih keuntungan yang lebih besar.
3.      Mensucikan, mengagungkan Al haqq atau kebenaran. Dalam QS 103:3 disebutkan bahwa hendaknya kita saling tolong-menolong mengingatkan untuk menepati kebenaran dan untuk bersabar. Orang yang berukhuwah akan bahu membahu menegakkan kebenaran. Persahabatan mereka tulus karena sama-sama mencintai kebenaran.
4.      Persamaan dan kesejajaran, Firman Allah Taala QS 49:13 “Inna akramakum ‘indallahu atqaakum” benar-benar diwujudkan oleh orang-orang yang berukhuwah. Mereka benar-benar sadar dan merasa bahwa manusia sama, sejajar, setara di hadapan Allah Taala. Yang membuat seseorang lebih tinggi derajatnya di hadapan Allah Taala adalah jika kadar ketakwaannya lebih tinggi. Dalam hadits di tegaskan bahwa Allah Taala tidak melihat perbedaan fisik atau atribut-atribut duniawi melainkan langsung ke dalam hati manusia. Karena itu dalam Islam baik Abu Bakar yang bangsawan Arab berkulit putih maupun Bilal bekas budak berkulit hitam, kedua-duanya merupakan sahabat-sahabat yang wajib kita hormati dan kita teladani. Dan kedua-duanya sudah diketahui akan masuk surga, padahal mereka masih hidup saat itu.
5.      Saling menghormati. Sesama muslim yang berukhuwah akan saling menghormati satu sama lain. Mereka juga saling berlomba memberi salam lebih dulu. Dalam hadits dikatakan Rasulullah saw., “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang-orang yang lebih tua dan menyayangi orang-orang yang lebih muda”
6.      Itsar: Mementingkan saudara seaqidahnya lebih dari dirinya sendiri. Bisa dikatakan bahwa itsar adalah puncak ukhuwah Islamiyah. Bila bentuk minimal ukhuwah adalah “Salamatus Shodr”, kelapangan dada terhadap saudara seiman maka Itsar adalah bentuk maksimal ukhuwah itu sendiri.
c. Dan akhirnya manfaat tertinggi dan hakiki adalah manfaat ukhrawi yakni balasan optimal yang akan di peroleh di akhirat kelak. Ribathul Ukhuwah (ikatan ukhuwah) dan Ribathul Jamaah (ikatan jamaah) yang terjalin kuat di dunia insya Allah akan berlanjut di akhirat nanti.
Yang jelas tiga hal akan diterima orang-orang yang senantiasa menghidupkan ukhuwah, yakni:
1.      Mendapat mimbar dari cahaya pada saat menunggu dihisab.
2.      Mendapat pertolongan atau naungan Allah Taala di hari dimana tak ada pertolongan selain pertolongan-Nya.
3.      Mendapat Al-Jannah (surga)
1.      Itsar, puncak ukhuwah
a. Makna Itsar
Secara bahasa itsar berarti mementingkan orang lain lebih dari diri sendiri. Dari segi fitrah setiap manusia yang masih terjaga fitrah kemanusiaannya juga dapat berbuat mulia, mementingkan orang lain dan bukan diri sendiri serta menolong orang lain tanpa memikirkan diri sendiri. Di Inggris pernah terjadi kasus penyelamatan seorang anak yang jatuh di rel kereta api oleh seorang laki-laki. Alhamdulillah anak itu bisa diselamatkan, namun sebelah tangan laki-laki itu putus tersambar kereta api yang melaju kencang. Mungkin seumur hidupnya anak tersebut takkan bisa melupakan jasa seseorang yang rela mengorbankan sebelah tangannya untuk menyelamatkan nyawanya.
Dari segi istilah, itsar adalah salah satu manfaat diniyah (manfaat keagamaan) yang terwujud bila terjalin ukhuwah di antara orang-orang yang seaqidah. Ia juga dikatakan wujud maksimal ukhuwah Islamiyah yang dimiliki seseorang. Dalam rangka menggapai mardhatillah semata, seorang muslim bersedia berkorban mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya sendiri.
b. Urgensi dan keutamaan Itsar
Dalam QS 9:128 digambarkan sifat-sifat Rasulullah saw. yang mudah berempati pada penderitaan orang lain, senantiasa menginginkan kebaikan bagi orang lain dan santun serta pengasih dan penyayang terhadap sesama mukmin.
Kehidupan di dunia yang jauh dari sifat-sifat mulia akan dipenuhi keserakahan dan keegoisan, nafsi-nafsi, lu-lu, gua-gua. Semuanya mementingkan diri dan keluarganya saja termasuk para pemimpinnya yang mengidap penyakit kronis berupa KKN. Kehidupan yang individualistis (nafsi-nafsi) egoistis (mementingkan diri sendiri) dan apatis (masa bodoh terhadap orang lain) adalah cerminan masyarakat yang tidak menegakkan ukhuwah Islamiyah.
Contohnya kehidupan di masyarakat metropolis atau kosmopolis ada seorang tunawisma yang meninggal di dekat tempat sampah lalu di bawa ke RSCM akhirnya dikuburkan tanpa kehadiran sanak saudaranya. Atau orang-orang tua yang ditaruh di panti-panti jompo. Jarang dijenguk dan menjalani proses sakaratul maut sendirian tanpa didampingi atau ditalkinkan anak-cucu. Benar-benar mengenaskan. Sulit kita membayangkan keridhaan dan keberkahan Allah Taala akan tercurah kepada masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kebaikan tersebut.
Rasulullah mengatakan bukan dari golongan kami orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Begitu pula di hadits lain “Bukan golongan kami orang yang tidak peduli pada urusan orang Islam
Jadi sifat itsar sangat penting untuk memerangi sifat-sifat buruk seperti egois, kikir, individualis dsb serta menumbuhsuburkan sifat-sifat mulia seperti peduli, empati, pemurah dll.
Keutamaan orang yang berbuat itsar di dunia ia akan dicintai oleh orang-orang yang pernah merasakan kebaikannya dan mempererat ukhuwah serta di akhirat nanti akan mendapatkan mimbar terbuat dari cahaya, naungan dan lindungan Allah Taala serta Al-Jannah (surga)
c. Itsar generasi salafus shalih
Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia.” Dan beliau dengan pujian Allah Taala dalam QS 68:4 dan QS 9:128 yang sudah dicantumkan di bagian terdahulu tulisan ini menggambarkan sosok beliau yang mudah berempati, peka dan peduli terhadap penderitaan orang lain. Kemudian selalu menginginkan kebaikan bagi orang lain dan bersifat santun serta kasih sayang terhadap mukmin.
Bukti kemampuan berempati beliau, terlihat saat beliau segera tahu bahwa Abu Hurairah kelaparan tanpa harus diberitahu, padahal sebelumnya Abu Bakar dan Umar pun tak bisa menangkap sinyal-sinyal Abu Hurairah butuh bantuan.
Beliau tidak pernah menolak siapa saja yang minta bantuan dan pertolongan beliau padahal beliau sendiri sering kelaparan seperti nampak pada kisah beliau, Abu Bakar dan Umar ra sama-sama lapar dan dijamu makan oleh Abu Ayyub Al Anshari. Beliau meneteskan air mata kemudian berucap, “Kelak kalian akan ditanya akan nikmat ini, ketika kalian pergi dari rumah dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang”
Beliau hidup sangat sederhana dan tidur di atas tikar jerami sampai Umar menangis melihatnya dan Fatimah kelak bersyair di tepi kuburan bapaknya, “Ya ayahhandaku punggungnya penuh dengan bilur-bilur tikar”. Tetapi beliau tidak mau tikarnya itu dilipat terlalu banyak di bagian atasnya sebagai bantal karena takut tidurnya terlalu nyenyak bila terlalu empuk, sehingga khawatir tidak bisa bangun shalat malam.
Rasulullah juga menegaskan bahwa dunia bukan dari dan untuk keluarga Muhammad di saat Fatimah mendapat perhiasan, bagian dari rampasan perang hingga akhirnya putrinya mengembalikannya. Ia juga menasihati Fatimah dan Ali dengan bacaan-bacaan dzikir pada saat mereka minta khadimah dari tawanan perang. Rasulullah juga menghukum keras istri-istrinya yang meminta penghidupan (maisah) yang lebih dan perhiasan dengan cara mengasingkan diri selama sebulan hingga akhirnya Allah menawarkan opsi dalam wahyu-Nya di surat At Tahrim. Apakah istri-istri nabi tersebut memilih nabi dan kehidupan akhirat ataukah dunia. Tentu saja mereka memilih Rasulullah dan surga kelak walaupun kini hidup prihatin di dunia. Terlihat betapa Rasulullah lebih mementingkan yang lain ketimbang diri dan keluarganya karena pada saat yang bersamaan beliau ridha saja para sahabat dan istri-istrinya hidup berkecukupan dan memakai perhiasan hasil rampasan perang serta memiliki khadimah.
Bahkan sampai di saat-saat terakhir kehidupannya pun beliau tetap memikirkan umatnya dan bukan dirinya dan keluarganya sehingga ia tidak mewariskan apa-apa bagi keluarganya. Ucapan yang keluar dari mulut beliau di akhir kehidupannya adalah, “Ummati….Ummati….” (Umatku…Umatku…)
Keteladanan Rasulullah saw. dalam hal tersebut ternyata membias pula pada sahabat-sahabat yang utama seperti Abu Bakar, Abu Thalhah atau istri-istri beliau seperti Khadijah, Aisyah dan Zainab binti Jahsy serta Saudah binti Zum’ah.
Suatu saat ketika terjadi pengumpulan dana untuk berjihad fisabilillah semua sahabat berlomba-lomba untuk menginfaqkan segala yang dimilikinya.Termasuk sahabat-sahabat yang utama seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Kemudian Rasulullah bertanya kepada Umar, “Bagitu banyak yang kau infaqkan Umar, adakah yang tersisa untuk keluargamu?” Umar pun lalu menjawab, “Sebanyak itu pula ya Rasulullah”. Jadi istilahnya fifty-fifty, atau separuh-separuh. Jawaban seperti itu pun meluncur pula dari lidah Utsman ketika ditanya juga oleh Rasulullah dengan pertanyaan yang sama. Namun tatkala pertanyaan tersebut diajukan kepada Abu Bakar As shidiq ra, jawabannya sungguh mencengangkan dan menimbulkan decak kagum.
“Untuk keluargaku kutinggalkan Allah dan Rasulnya” Artinya keseluruhannya (100%) diinfaqannya di jalan Allah, sedangkan urusan keluarganya ia pasrahkan kepada Allah. Umar sampai berucap, “Sungguh aku tak akan bisa mengalahkan Abu Bakar selama-lamanya
Begitu pula, pada saat Abu Bakar pergi hijrah mendampingi Rasulullah. Dananya dihabiskan untuk membiayai kepergiannya hijrah bersama Rasulullah. Namun istri dan putri-putrinya memang luar biasa pula. Ketika kakek Asma atau ayah Abu Bakar yakni Abu Quhafah marah-marah kepada Abu Bakar yang dianggapnya tidak bertanggung jawab meninggalkan keluarganya begitu saja, maka Asma menenangkan kakeknya yang buta itu dengan memperdengarkan bunyi kerikil-kerikil seolah itu kepingan dirham yang banyak. “Tenang saja kek, ayah tidak menyia-nyiakan kami”, ujar Asma. Barulah Abu Quhafah menjadi tenang.
Ada lagi kisah itsar yang sangat indah dan diabadikan oleh Allah dalam QS Al-Hasyr ayat 8 dan 9. Dalam terjemah singkat tafsir Ibnu Katsier jilid 8 diungkap tentang itsar yang ditunjukkan orang-orang Anshar terhadap saudara-saudara mereka kaum muhajirin (QS 59:8)
Demi iman dan pembuktiannya kaum muhajirin meninggalkan sanak saudaranya, harta benda, dan kampung halamannya. Seperti Shuaib bin Sinan Ar Rumy yang dihadang dan dipaksa menyerahkan seluruh harta bendanya, dan Rasulullah saw. bersabda : ‘Beruntunglah Abu Yahya (Shuaib) dengan perniagaannya (artinya rela melepas harta benda dunia dengan keridhoan Allah da Rasul-Nya).
Ukhuwah Islamiyah yang dilandasi iman membuat suku Aus dan Khazraj di Yatsrib (kemudian menjadi Madinah) yang dahulunya bertikai menjadi damai dan bersaudara (QS 3:103) Kemudian, membuat kaum muhajirin yang datang dari Mekkah bersatu dengan kaum Anshar (penduduk asli Yatsrib) yang bersedia menolong dan menampung saudara-saudara seiman tersebut.
Ketika sahabat-sahabat Nabi saw. kaum muhajirin tiba di Yatsrib (Madinah), mereka segera dipersaudarakan dengan orang-orang Anshar. Di antaranya Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Raby yang kemudian menawarkan separuh hartanya dan 1 dari 2 istrinya untuk Abdurrahman bin Auf. Jika Sa’ad memiliki sifat itsar, maka kebalikannya Abdurrahman bin Auf memiliki sifat iffah (memelihara diri dari meminta-minta). Ia menolak halus tawaran Sa’ad bin Raby dan hanya minta ditunjukkan pasar. Ia pun berusaha sampai berhasil dalam perniagaannya bahkan merintis dan membangun pasar Ukaz yang menandingi pasarnya Yahudi.
Di ayat kesembilannya disebutkan ada orang Anshar yang tulus mencintai, tanpa pamrih dan dan mengutamakan kawan lebih dari diri sendiri, meskipun mereka merasa lapar. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang yang berbahagia dan beruntung.
Dalam hadits riwayat muslim dari Abu Hurairah, sepasang suami istri yang memenuhi perintah Rasulullah untuk memberi makan musafir yang kelaparan itu adalah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim/ Rumaisha binti Milhan. Mereka sendiri malam itu segera menidurkan anak-anak mereka yang lapar dan berpura-pura makan agar tamu mereka makan dengan tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu mereka itu adalah saru porsi terakhir yang mereka miliki hari itu.
Di ayat 9 tersebut Allah menegaskan “Wa yu’ tsiruuna alaa anfusihim walau kana bihim khashan’shah” (mereka itsar terhadap orang lain dibanding ke diri mereka sendiri walaupun mereka sendiri kelaparan)
Ketika keesokan hari Rasulullah berjumpa dengan Abu Thalhah, beliau bersabda, “Sungguh Allah sangat gembira (tersenyum) menyaksikan perbuatan Anda berdua
Hampir kesemua istri Nabi saw. menunjukkan sifat pemurah dan itsarnya. Istri pertama yang paling dicintainya, dan tak pernah dapat dilupakannya: Khadijah menunjukkan itsar saat Rasulullah meminta pembantu Kahdijah: Zaid bin Haritsah untuk menjadi pembantunya. Beliau juga menginfqkan seluruh harta kekayaannya untuk perjuangan fisabilillah menyebarkan agama Islam.
Istri Rasulullah seperti Zainab binti Jahsy yang pandai berwiraniaga juga terkenal dermawan dan suka membantu orang lain. Saudah bunti Zum’ah istri Rasulullah yang walaupun hanya berjualan roti kuah ala Thaif pun ikut berinfaq dengan hasil dagangannya.
Ummul mukminin Aisyah ra yang terkenal kepandaiannya sekaligus juga kedermawanannya pernah mendapat uang 40.000 dirham dari baitul mal. Oleh Aisyah harta itu segera di bagi-bagikan kepada fakir miskin sampai-sampai lupa menyisihkan sedikit saja untuk dirinya. Sampai ditegur Ummu Burdah yang membantunya, “Ya Ummul mukminin kenapa tak kau sisihkan sedikit saja untuk membeli makanan berbuka, bukankah engkau sedang berpuasa,” “Ya Ummu Burdah, kenapa tadi tak kau ingatkan”, jawab Aisyah tenang.
Kisah itsar yang sangat heroik terjadi pada saat perang Yarmuk. Ikrimah bin Abu Jahl seorang mujahid bersama dua sahabat yang lain terbaring dengan luka-luka sangat parah. Ketika seorang sahabat hendak memberinya minum, ia menolak dan menyuruh air itu diberikan ke teman di sebelahnya. Ketika air itu akan diberikan kesebelahnya, orang tersebut juga menyuruh diberikan lagi ke sebelahnya pula. Ia memilih mengalah pula pada saat-saat yang penting tersebut. Namun orang ketiga yang dimaksud sudah meninggal, ketika kembali lagi si pemberi minum ke sahabat yang tengah, ternyata ia sudah syahid juga. Dan ketika beranjak ke Ikrimah, ia pun telah syahid. Subhanallah dalam detik-detik terakhir kehidupan atau di saat-saat kritis sekalipun mereka tetap menjaga itsar mereka.

Penutup
Hal yang sangat kontras terjadi pada kita, saat kita menoleh ke kondisi umat Islam saat ini yang terpecah-pecah, tercabik-cabik dan terkotak-kotak.
Doa Nabi saw. yang dikabulkan saat meminta umatnya diselamatkan dari bahaya banjir dan kelaparan dan tidak dikabulkan saat meminta umatnya diselamatkan dari bahaya perpecahan, seyogianya membuat kita berfikir bahwa kerja mempersatukan umat adalah kerja besar yang harus diikhtiarkan secara maksimal baru kemudian Allah berkenan membantu (QS 13:11)
Bila kita melihat QS 3:103, nyata jelas bahwa hanya dengan sama-sama I’tisham bi hablillah (berpegang teguh di jalan Allah) sajalah, persatuan hati dan persaudaraan akan terwujud.
Wallahu a’lam.

Khairu Ummah


Khairu Ummah


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dariyang munkar, dan beriman kepada Allah…” [QS 3:110]
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kita untuk mentakwin (membentuk) ummat untuk bersatu. Kalau kita perhatikan ayat-ayat yang memerintahkan tentang persatuan, maka terlihat jelas bahwa perintah untuk berjamaah dan bersatu itu tidak berhenti hanya pada terbentuknya jamaah dan persatuan itu, tapi kemudian bagaimana jamaah dan persatuan yang telah terbentuk itu selanjutnya bisa mengemban risalah da’wah. Risalah amar ma’ruf nahi munkar.
Dan yang perlu kita perhatian dari ungkapan ”ya’muruna bil ma’ruf yanhauna anil munkar” memiliki makna mendalam bahwa tidak sekedar kita bisa berda’wah menyampaikan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkar, tapi dari ungkapan amr dan nahi itu baru betul-betul dikatakan amr dan nahi kalau posisi kita sudah diatas. Ketika kita menggulirkan kebijakan yang sifatnya mengikat dan posisi kita berada di atas, barulah dia betul-betul sebagai amr (perintah). Begitu juga ketika kita melarang, baru betul-betul larangan yang efektif kalau itu berupa kebijakan yang turun dari atas. Jamaah ini juga perlu merekayasa dan terus berusaha agar posisi-posisi strategis bisa kita peroleh. Dari situlah amr ma’ruf dan nahi munkar betul-betul bisa kita terapkan.
Sementara itu kata ma’ruf juga belum dikatakan suatu yang ma’ruf –sekalipun itu kebijakan yang sifatnya dari atas dan mengikat- kalau belum betul-betul mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sebab al-ma’ruf itu seperti didefinisikan oleh Thoriq Al Asfahani adalah ma arofahu al-aqlu was syar’u, sedangkan munkar adalah ma ankarohu al-aqlu was syar’u. Dalam artian bahwa sekalipun sudah berupa kebijakan yang sifatnya mengikat –sesuatu yang baik yang harus dilakukan- tapi kalau dimasyarakat masih suatu yang asing, belum mengakar dan membudaya, dan belum mendapatkan dukungan mayoritas, maka belum betul-betul merupakan yang al-ma’ruf. Tetapi itu suatu kebaikan yang masih munkar. Artinya kebaikan yang masih dirasakan asing.
Begitu juga kemunkaran, tidak cukup dengan adanya ketetapan atau kebijakan yang sifatnya mengikat yang menolak kemunkaran, tetapi bagaimana dia juga harus disikapi sebagai sesuatu yang munkar. Artinya yunkiruhu an-naas, keberadaannya itu ditolak sehingga orang merasakan sesuatu yang betul-betul janggal ketika kemunkaran muncul ditengah-tengah masyarakat. Dan inilah risalah kita.
Dari ungkapan ya’muruna bil ma’ruf wa yanhauna ‘anil munkar mengandung makna yang sangat dalam, bagaimana agar lewat jamaah ini kemudian kita bisa secara bertahap merekayasa posisi-posisi strategis. Bisa kita peroleh dan raih kemudian dari situ kita bisa menurunkan kebijakan-kebijakan yang bisa mengikat, dan di sisi lainnya bagaimana kita berupaya mensosialisasikan kebenaran itu sehingga betul-betul bisa diterima dan memasyarakat dan mendapatkan dukungan. Begitu juga sebaliknya dalam kemunkaran.
Ketika peran ini kita lakukan secara berkesinambungan dan ketika kebenaran itu bisa ditegakkan serta dikokohkan maka berangsur-angsur kemunkaran akan terkikis habis. Ketika peran ini kita lakukan maka barulah keterlibatan kita dalam berjamaah itu mempunyai nilai. Jadi nilai dari sebuah jamaah itu adalah ketika kita telah melakukan peran kita sebagai jamaah bukan memangkas keterlibatan kita dalam jamaah itu.
Oleh karena itu Muhammad Quthb ketika menjelaskan tentang kuntum khairi ummah ukhrijat linnas mengatakan bahwa khairiyyatul ummat itu terletak bukan pada waktu sahabat berada dekat Rasulullah saw, tapi khairiyyahnya itu terletak pada peran yang mereka lakukan yaitu ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah. Ketika peran ini dilakukan dalam berjamaah maka khairiyyah itu akan dinisbatkan. Jadi sifat khairiyyah ini bukan merupakan sifat yang khusus diberikan pada para sahabat saja, tetapi sifat itu juga akan diberikan kepada setiap ummat yang mengemban risalah amar ma’ruf nahi munkar.
Dan begitu pentingnya peran ini sehingga didalam surat yang dikemukakan diatas (QS 3:110) dikedepankan penyebutan amar ma’ruf nahi munkar ketimbang menyebutkan keimanan. Penempatan amar ma’ruf nahi munkar yang dikedepankan tinimbang keimanan ini menunjukkan bahwa masalah amar ma’ruf nahi munkar memiliki posisi yang sangat penting dan strategis. Maka ketika peran ini telah kita lakukan maka baru akan mendapatkan julukan khaira ummah dan dengan sendirinya al-falah akan datang, ulaikahumul muflihun.

PEMUDA YANG MEWAKILI SEBUAH UMMAT


PEMUDA YANG MEWAKILI SEBUAH UMMAT
Masyarakat muslim cukup unik binaan strukturnya. Islam mendidik individu-individunya agar setiap orang daripada mereka menjadi satu unit yang lengkap lagi melengkapi. Dia seumpama batu-bata yang teguh, disusun bersama batu bata yang lain dalam binaan yang besar. Proses ini bermula sejak pembentukan masyarakat Islam
pertama di bawah petunjuk Nabawi. Antara seruan pertama Islam ialah sabda Rasul s.a.w (yang bermaksud):

“Allah memberi hidayah melalui kamu seorang lelaki lebih baik bagi kamu daripada unta Humr an-Ni’am (jenis unta yang paling tinggi nilainya)” [Muttafaq ‘alaih)
Semenjak saat itu, setiap individu daripada generasi awal Islam memikul fikrah Islamiah dan aqidah yang
murni dalam pemikiran mereka, begitu juga keimanan yang mendalam dan mantap di dalam jiwa-jiwa mereka.
Sehingga ianya terserlah dalam kata-kata, tingkah laku dan gerak diam mereka.

Setiap individu di kalangan mereka seolah-olah membentuk sebuah umat. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w terhadap peribadi Abu ‘Ubaidah al-Jarrah:
“Dia diutuskan sebagai sebuah umat”
Khalid al-Walid di medan perang mewakili sebuah umat. Beliau bertanggungjawab melemah dan menumbangkan Rom di tanah Arab. 
‘Abdul Rahman bin ‘Auf di dalam bidang ekonomi mewakili sebuah umat. Dialah yang berperanan memecahkan monopoli Yahudi di Madinah yang sekian lama sebelumnya menguasai kegiatan ekonomi Madinah.
‘Umar al-Khattab dalam soal keadilan mewakili sebuah umat. Lorong-lorong Madinah dijelajahinya untuk menangani permasalahan rakyat. Gabenor dan penguasa dihimpun setiap tahun untuk dikaji siasat. Perhimpunan haji saban tahun dijadikan tele-aduan umat.
Mus’ab bin ‘Umair pula dalam usaha da’wah mewakili sebuah umat. Tiada satu rumah di Madinah melainkan dimasuki sinar da’wah Islamiah dan petunjuk al-Quran.
Mu’az bin Jabal dalam soal halal haram mewakili sebuah umat. Zaid bin Thabit dalam soal hukum hakam pusaka mewakili sebuah umat. Banyak dan banyak lagi contoh individu di kalangan mereka yang sedemikian.
Benarlah kata-kata Abu Bakar as-Siddiq yang menyifatkan:
"La Yuhzamu Jayshun Fihi Al-Qa’Qa Ibn Amr - Sawtu Al-Qa’Qa Fil Ma’arakati Ya’dulu Alfa Rajulan"
“Takkan terkalahkan tentera didalamnya ada al-Qa’qa ibn Amr, Suara Qa’qa’ di medan perang menyamai seribu pahlawan”.
Bukankah beliau mampu menyusun kembali tentera muslimin yang kucar kacir, menaikkan semangat juang mereka, mengacau bilaukan musuh, mencari titik kelemahan mereka dan lain-lain lagi.
Sewaktu pembukaan Mesir oleh tentera Islam di bawah Amr al-’As, Umar al-Khattab telah mengirim 4 ribu tentera sebagai tambahan. Pasukan tambahan tentera ini disertai oleh Zubair al-’Awwam, Miqdad bin Amr, Ubadah bin Shamit dan Muslimah bin Mukhlid, yang dikatakan setiap orang bernilai lebih dari seribu orang. Saydina Umar memberi amanat kepada Amr bin al-’As, "Kamu harus tahu bahawa kamu mempunyai 12 ribu tentera, dan 12 ribu tentera tidak akan dikalahkan disebabkan bilangan mereka". Dan berlakulah pembukaan Mesir yang agung di dalam sejarah Islam.
Setiap seorang daripada mereka hanyalah seorang individu, tetapi dengan tekad kemahuan serta amal kerja, dia seolah-olah sebuah umat, mengubah wajah sejarah dengan usahanya itu. Sebagaimana yang dikatakan:
“Amal praktik seorang lelaki di kalangan seribu lelaki lebih baik daripada kata-kata seribu lelaki kepada seorang lelaki”.
Mereka berusaha seolah-olah tiada sesiapa di sekelilingnya yang turut bekerja bersamanya.
Seolah-olah dia ingin memulakan binaan Islam dengan tangannya dan menyempurnakannya dengan tulang empat keratnya.

Kesungguhan inilah yang didapati oleh ‘Umar al-Khattab di kalangan tenteranya. Beliau berkata:
“Sungguh mengkagumkan aku, panglima perang yang jika kamu melihatnya, kamu menyangkanya seorang tentera bawahan yang patuh. Mengkagumkan aku juga, tentera bawahan yang jika kamu menyaksikannya, kamu menyangkanya seorang panglima berkaliber”.
Lantaran ini, mereka telah merubah sejarah dunia, memimpin dan membinanya dengan baik.
Tiada seorang pun di kalangan mereka yang memperkecilkan dirinya atau apa yang dilakukannya. Mereka amat memahami sabda Rasulullah s.a.w:
“Sampaikan daripada aku walaupun sepotong ayat”
[Diriwayatkan oleh al-Bukhari]

Amal kerja dan sumbangan mereka tidak terhenti di satu tahap, bahkan ke penghujung nafas yang terakhir. Lihatlah Abu Ayyub al-Ansori yang mati syahid di pinggir pagar kota Konstantinople dalam usianya 80 tahun. Pada saat kematiannya, dia tidak menghentikan sumbangannya kepada Islam, bahkan menyampaikan kepada muslimin sebuah hadis yang pernah didengarnya daripada Nabi s.a.w:
“Sekiranya Kiamat berlaku sedangkan di tangan salah seorang daripada kamu anak pokok, maka tanamkanlah ia”
[Diriwayatkan oleh Ahmad]

Nilai dan sikap ini satu fenomena biasa di dalam masyarakat muslim pada sepanjang zaman. Setiap individunya menjadi batu-bata kepada binaan Islam yang agung. Mereka saling memperkukuhkan yang lain dalam segenap bidang dan lapangan. Hasil usaha mereka yang gigih, sesiapa yang melihat binaan Islam akan berkata: Alangkah indahnya! Alangkah hebatnya Islam!
Dengan penuh tawadhu’ dan ikhlas, mereka tidak rela diri mereka hidup dengan kehidupan haiwan yang didambakan oleh mereka yang kufur kepada Allah.
“Dan orang-orang yang kafir berseronok dan makan seperti binatang ternakan makan. Nerakalah tempat mereka” [Muhammad: 12]
Mereka tidak akan duduk berpeluk tubuh melihat sekeliling tanpa melakukan sesuatu. Akan tetapi mereka mengangkat slogan Nabi s.a.w:
“Orang mukmin kepada mukmin yang lain seperti satu binaan yang saling kuat menguat satu sama lain”
[Muttafaq ‘alaih]

Lantaran itu kita dapat lihat Ibnu al-Haitham, Ibnu al-Nafis dan Ibnu Rusyd saling lengkap melengkapi
kepakaran mereka. Setiap seorang daripada mereka saling menguatkan yang lain untuk meninggikan binaan
Islam.

Akan tetapi pada zaman yang semakin kabur ghayah, bercampur aduknya visi hidup serta bersimpang siurnya misi masyarakat, pada saat yang sama binaan Islam semakin goyah dan rapuh, siapakah yang ingin mewakili umat mengembalikan binaannya yang agung?
Siapakah yang akan mewakili umat mengembalikan manusia kepada Tuhannya, memerdekakan mereka daripada belenggu syahwat, hawa dan material?
Siapakah yang akan mewakili umat menyelamatkan mereka daripada kejahilan?
Siapakah yang akan mewakili umat mempamer keindahan kesyumulan Islam dan membongkar wajah hodoh sekular?
Siapakah yang akan mewakili umat mengembali martabat syari’at serta menumbang kezaliman hukum manusia?
Siapakah yang akan mewakili umat menyekat ancaman serangan Zionis dan Salibi Antarabangsa?
Siapakah yang akan mewakili umat memecah monopoli Yahudi dan US, menyediakan barangan alternative kepada barangan mereka?
Siapa? Siapa? Siapa?
Pastikan kita!!!