KALENDER DAN AWAL PENANGGALAN HIJRIYAH

KALENDER DAN AWAL PENANGGALAN HIJRIYAH


 
"Dialah  yang  menjadikan  matahari  bersinar  dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu,  supaya  kamu  mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah  tidak  menciptakan  yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan   tanda-tanda   (kebesaran-Nya)  kepada  orang-orang  yang
mengetahui." (terj .Q.S. Yunus :5)


Urgensi penanggalan

Penanggalan  atau  kalender  yang  dalam bahasa arabnya disebut tarikh
yang  juga  berarti  sejarah,  adalah sebuah pendeskripsian bagi suatu
zaman  yang  didalamnya  telah  terjadi  peristiwa penting yang sangat
berpengaruh pada kehidupan individu atau suatu umat.

Orang-orang  yahudi sangat mengagumkan zaman Musa ‘Alaihissalaam, maka
mereka  memulai  sejarah  penanggalannya  dari  zaman kenabian beliau.
Orang-orang   nasrani   sangat  mengagungkan  kelahiran  Al-Masih  Isa
‘Alaihissalaam,  maka  mereka  memulai  tarikh  mereka  dari kelahiran
beliau.  Sedangkan  kaum  muslimin tidaklah seperti mereka-mereka itu.
Kaum  Muslimin  melihat  bahwa  Hijrahnya  Nabi  Muhammad Shallallaahu
‘Alaihi  Wasallam  merupakan  momentum  yang  sangat  bersejarah, maka
mereka   menandai   peristiwa-peristiwa   bersejarah   mereka   dengan
berpatokan kepada Hijrah beliau yang penuh berkah.

Penanggalan   yang  dimulai  dari  Hijrahnya  Rasulullah  Shallallaahu
‘Alaihi  Wasallam,  terkenal  dengan  "Tarikh  Hijriy"  atau  kalender
Hijriyah.  Yang  sekarang ini kita akan memasuki tahun 1423 H. "Tarikh
Hijriy". Hal ini patut kita pertahankan antara lain karena:

Sunnah dari shahabat Rasulullaah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.

Menjaga  kepribadian  umat Islam. Semua peristiwa-peristiwa keislaman,
mulai   yang   terkecil   sampai   yang  terbesar  telah  ditulis  dan
dikodifikasikan  sesuai  dengan  "Tarikh Hijriy". Kehidupan Rasulullah
Shallallaahu  ‘Alaihi  Wasallam, perjalanan, jihad, peperangan, dakwah
dan  penurunan  wahyu  telah  ditulis  sesuai  dengan  Tarikh  Hijriy.
Kepemimpinan  Khulafaur  Rasyidin,  pertempuran-pertempuran penting di
dalam  islam  seperti  perang Badar kubra, Fathu Makkah, Qadisiyah dan
Yarmuk  bahkan  biografi  dan  sejarah semuanya tertulis dengan Tarikh
Hijriy.

Keterkaitannya  yang  kuat  dengan  berbagai masalah diniyah dan Ahkam
Syar’iah.  Keterkaitan  ini  tidak  hanya  sementara dan terbatas pada
zaman  tertentu  tetapi  keterkaitan  abadi dan menyeluruh, mulai dari
bulan-bulan  haram  (Dzul  Qa’dah,  Dzul  Hijjah, Muharram dan Rajab),
bulan-bulan  haji  (Syawwal,  Dzul  Qa’dah, Dzul Hijjah), bulan puasa,
masa  ‘iddah,  sumpah, nadzar, kaffarah, haulnya zakat, dua hari raya,
puasa ‘Asyura, puasa-puasa di pertengahan bulan, dan seterusnya.

Dari  sini  tampaklah  betapa  bahaya peminggiran Tarikh Hijriy dengan
cara  menggantikannya dengan Tarikh Milady (Masehi). Lebih bahaya lagi
jika  generasi  penerus  tidak  mengenal  Tarikh  Hijriy kecuali hanya
namanya  saja.  Karena  itu  Tarikh Hijriy adalah bisa disebut sebagai
bagian  dari  bangunan  sejarah  dalam kehidupan umat Islam yang tidak
terpisahkan. Sekalipun berbagai kalender lain telah ada seperti Tarikh
Parsi dan Tarikh Romawi. Tarikh Hijriy tidak lepas dari kehidupan umat
islam  yang tidak terpisahkan hingga akhirnya pada abad 12 Hijrah para
penyembah   salib  (kaum  nasrani)  menjajah  negara-negara  arab  dan
negara-negara  Islam  dan  menghapus  kebudayaan islam serta mengganti
Tarikh  Hijriy  dengan Tarikh Masehi atau Milady Ditambahi pula dengan
propaganda-propaganda   untuk   menenggelamkan  Tarikh  Hijriy  dengan
memancangkan  Tarikh  Milady,  mereka  mempengaruhi  orang-orang Islam
dengan  berbagai  hasutan  umpamanya;  dalam  hal perekonomian, Tarikh
Milady  (katanya)  lebih  bermanfaat  daripada  Hijriy,  sebab  jumlah
harinya  lebih  banyak.  Dari  segi  kepastian  dan kemantapan, Tarikh
Milady, lebih unggul karena jumlah harinya tidak berubah-ubah dan lain
sebagainya.  Dan  dalam  waktu yang bersamaan umat islam dalam kondisi
terpuruk  karena  penjajahan kaum salibis tersebut. Maka tak ayal lagi
banyak orang islam yang menjadi korban pembodohan tersebut.

Permulaan Tarikh Hijriy

Tarikh seperti yang telah kita kemukakan adalah simbol bagi titik awal
dalam kehidupan sebuah umat atau suatu bangsa. Para ahli sejarah telah
menyebutkan  bahwa  khalifah  Umar  Ibnul Khattab Radhiyallaahu ‘Anhu,
adalah  orang  yang  memerintahkan  untuk  mencanangkan Tarikh Hijriy.
Sebabnya  adalah  sebagaimana  yang  dituturkan  oleh berbagai riwayat
berikut ini :

Imam  Asy-Sya’bi  berkata  (yang  terjemahannya  -  pen)  :  "Abu Musa
Al-Asy’ari Radhiyallaahu ‘Anhu menulis kepada Umar Radhiyallaahu ‘Anhu
yang  isinya  :  Telah  datang  kepada  kami  surat-surat  dari Amirul
Mukminin   yang   tidak  bertanggal.  Maka  Umar  Radhiyallaahu  ‘Anhu
mengumpulkan  orang-orang  untuk bermusyawarah. Maka sebagian berkata,
"Berilah  tanggal  berdasarkan  kenabian  Nabi  Muhammad  Shallallaahu
‘Alaihi   Wasallam".  Yang  lain  berkata,  "Kita  beri  tanggal  dari
hijrahnya  Nabi"  , Maka Umar Radhiyallaahu ‘Anhu berkata, "Benar kita
beri  tanggal berdasarkan hijrahnya Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi
Wasallam  ke  Madinah karena hijrahnya Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi
Wasallam  ke  Madinah  adalah  garis  pemisah antara yang hak dan yang
batil.

Menurut  Sa’id  Ibnul  Musayyib  :  yang  berkata,  ‘kita  mulai  dari
hijrahnya Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam’ adalah Ali bin Abi
Thalib  Radhiyallaahu ‘Anhu, ketika Umar bertanya kepada mereka, ‘Dari
mana harus dimulai ?’

Maimun  bin  Mihran  berkata  (yang  terjemahannya  -  pen)  :  "Telah
disampaikan  kepada  Amirul  Mukminin Umar Radhiyallaahu ‘Anhu sepucuk
surat  (sertifikat)  yang tertulis, "Sya’ban". Maka Umar Radhiyallaahu
‘Anhu  bertanya, ‘Sya’ban yang mana ?, Sya’ban yang sekarang atau yang
akan  datang ?. Kemudian beliau mengumpulkan para pemuka dari shahabat
Radhiyallaahu ‘Anhum. Beliau berkata, ’Sesungguhnya harta (kas negara)
yang  telah  melimpah,  dan  yang  sudah  kita tidak ditentukan dengan
tanggal,  maka  bagaimanakah caranya supaya kita sampai pada penentuan
tanggal  tersebut ?. Mereka berkata, ‘Hal itu harus kita pelajari dari
tulisan   (penanggalan)  orang-orang  Parsi’.  Maka  ketika  itu  Umar
Radhiyallaahu  ‘Anhu  mendatangkan Hurmuzan untuk dimintai keterangan.
Lalu Hurmuzan berkata, "Sesungguhnya kami memiliki hitungan waktu yang
kami  sebut  Maah  Ruuz  yang  artinya  hitungan bulan dan hari". Maka
mereka  mengharapkan kata tersebut menjadi "Muarrikh". Kemudian mereka
memberinya  nama Tarikh. Setelah itu mereka berembug tentang permulaan
tanggal untuk negara Islam. Akhirnya mereka sepakat untuk memulai dari
tahun  Hijrah,  dan  setelah  mereka  tetapkan  bulan  pertama  adalah
Muharram,   mereka   menghitungnya   sampai   akhir  hayat  Rasulullah
Shallallaahu  ‘Alaihi  Wasallam.  Ternyata  dari  satu  Muharram tahun
pertama  Hijrah  sampai  wafatnya  adalah sepuluh tahun dua bulan, dan
kalau    dihitung-hitung   benar-benar   dari   hijrahnya   Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam adalah sembilan tahun, sebelas bulan dan
dua puluh satu hari.

Kesalahan-kesalahan pada awal tahun Hijriyah

Do’a  awal  tahun dan fadhilahnya dan doa akhir tahun dan fadhilahnya.
Doa   tersebut  adalah  bid’ah,  tidak  ada  asalnya  dari  Rasulullah
Shallallaahu  ‘Alaihi  Wasallam  maupun  dari para sahabatnya dan para
tabi’in serta tidak disebutkan baik di dalam kitab-kitab musnad maupun
kitab-kitab  kumpulan  hadits  maudhu’  (palsu) sekalipun, ia hanyalah
rajutan   dari   sebagian   orang  yang  memperlihatkan  diri  sebagai
orang-orang  yang  ahli ibadah namun tidak mengerti sunnah. Yang lebih
hebat  lagi  adalah  kedustaan  pembuat  do’a tersebut atas nama Allah
Subhanahu  wa  Ta’ala  dan  Rasul-Nya.  Yang  mana ia telah menentukan
fadhilah  (keutamaan)  bagi  pembaca doa tersebut tanpa ada dasar dari
wahyu.  Ia  berkata  : "Siapa yang membacanya maka syetan akan berkata
(sedih),  kita  sudah  susah  payah  menggodanya  selama  satu  tahun,
ternyata  ia  merusak  usaha kita hanya dalam sesaat". Dan yang sangat
mengherankan  adalah sikap kaum muslimin yang menerima dan mengamalkan
do’a  tersebut tanpa mau belajar dan bertanya kepada ulama-ulama Ahlus
Sunnah.  Mereka  telah  lupa apa yang telah dipesankan oleh para ulama
termasuk  Al-Izz  bin  Abdusalam Asy-Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh
Imam  Abu  Syamah  bahwa  melaksanakan  kebaikan  itu  harus mengikuti
syari’at  dari  Rasulullah  Shallallaahu  ‘Alaihi Wasallam, jika sudah
mengetahui  bahwa  do’a  awal dan akhir tahun serta fadhilahnya adalah
tidak masyru’ maka mengamalkannya adalah bid’ah makruhah munkarah.

Puasa  awal  dan akhir tahun beserta fadhilahnya. Imam Al-Fatani dalam
kitab  Tadzkiratul  Maudhu’at  menyatakan (yang terjemahannya - pen) :
"Dalam  hadits  yang  artinya,  "Barangsiapa  yang  berpuasa pada hari
terakhir  dari  bulan  Dzulhijjah dan hari pertama pada bulan Muharram
maka ia telah menutup tahun yang telah berlalu dengan ibadah puasa dan
membuka  tahun  yang  baru  dengan  berpuasa.  Maka  Allah  menjadikan
untuknya  sebagai  kaffarah  (penebus  dosa) selama lima puluh tahun",
terdapat  dua perawi yang pendusta, sedangkan dalam hadits, "Pada awal
malam dari bulan Dzulhijjah Ibrahim dilahirkan, maka barang siapa yang
berpuasa  pada  hari itu maka puasanya itu bisa menebus dosanya selama
enam  puluh  tahun",  terdapat  Muhammad  bin  Sahl, ia adalah pemalsu
hadits.

Menjadikan awal tahun baru sebagai hari perayaan, hari besar atau hari
raya.  Kita  tahu bahwa yang memiliki adat merayakan tahun baru adalah
orang-orang kafir. Orang-orang Persia merayakan hari raya Nairuz yaitu
hari  pertama  musim  semi.  Sedangkan orang Nasrani, mereka merayakan
satu Januari sebagai hari raya tahun baru Masehi. Merayakan awal tahun
baru   Hijriyah  dengan  berpesta  makan-makan  dan  minum,  berkumpul
menyalakan  lampu  lebih  dari  biasanya  adalah sama seperti apa yang
dilakukan  oleh  orang-orang  Nasrani  pada  tahun baru Masehi, mereka
menyalakan api, memberi lilin, membuat makanan, bernyanyi ria dan lain
sebagainya. Imam Suyuthi berkata: "Tasyabbuh (menyerupai) dengan orang
kafir  adalah  haram,  sekalipun tidak bermaksud seperti maksud mereka
berdasarkan   riwayat   Ibnu  Umar,  Rasulullah  Shallallaahu  ‘Alaihi
Wasallam  bersabda, (artinya:)"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka
ia  termasuk  golongan mereka". (HR.Abu Dawud dan lainnya). Ketahuilah
bahwa  pada  periode  Salafush  Shalih  tidak  terdapat  perayaan awal
Hijrah.  Maka  Mukmin  sejati  adalah  orang yang meniti jalannya para
Salafush  Shaieh  yang  berteladan  dengan  apa yang ditinggalkan oleh
Sayyidul Mursalin Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, dan berteladan dengan
orang   yang  diberi  nikmat  oleh  Allah  Ta’ala,  yaitu  para  Nabi,
Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin.

Membelanjakan  harta  membiayai  acara  yang  tidak disyariatkan, atau
merayakan  hari  raya  yang tidak diperintahkan untuk dirayakan adalah
perbuatan  sia-sia,  begitu  pula  memeriahkan  hari  yang  mengandung
keutamaan dengan cara yang tidak disyariatkan juga sia-sia. Ibnul Hajj
dalam  Al-Makhdal  menyebutkan  (yang  terjemahannya  -  pen) : "Sebab
larisnya adat-adat semacam tadi adalah, diamnya sebagian ulama, bahkan
ada  yang  berkeyakinan  bahwa  hal tersebut adalah menghidupkan syiar
islam.  Inna lillaahi wainna ilaihi raajiun" Imam Suyuthi mengingatkan
(yang  terjemahannya  -  pen):  "Hendaknya orang islam tidak memandang
jumlah  pelaku  dan  penggemar kesesatan, sekalipun ada ulama yang ada
bersama   mereka."   Imam   besar  Fudhail  bin  Iyadh  berkata  (yang
terjemahannya  -  pen)  :  "Ikutilah jalan kebenaran, sekalipun banyak
orang yang binasa.".

Jadi  menghidupkan  Tarikh Hijriy bukan dengan memperingati awal tahun
barunya,  melainkan  dengan  mencintai,  membela dan menggunakannya di
dalam segala tulisan dan aktifitas kita.

Wallaahu a’lam.

Disadur dengan perubahan seperlunya dari Buletin LDK MPM UNHAS edisi 3
Dzulhijjah 1422 Hijriyah.

Ikhlas Dan Beberapa Perusaknya

Ikhlas Dan Beberapa Perusaknya
Pentingnya amalan hati

Secara umum amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan:"Bahwasanya ia meru pakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala dan rasulNya, bertawakal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah Subhannahu wa Ta'ala , bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan berharap kepadaNya,.. dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib (Al fatawa 10/5, juga 20/70)

Imam Ibnu Qayyim juga pernah berkata: "Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat ibarat ruh, dan gerakan anggota badan adalah jasadnya. Jika ruh itu terlepas maka matilah jasad. Oleh karena itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan hati lebih penting daripada memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerakan anggota badan (Badai 'ul Fawaid 3/224).

Lebih jauh lagi dalam kitab yang sama beliau menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan anggota badan tidak ada manfaatnya tanpa amalan hati, dan sesungguhnya amalan hati lebih fardhu (lebih wajib) bagi seorang hamba daripada amalan anggota badan.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam .
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5)
Juga firmanNya yang lain, artinya: "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. 67:2)
Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).

Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakuknya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori' atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. (na'udzu billah min dzalik).

Pengertian Ikhlas

Ada beberapa pengertian ikhlas, diantarnya:
§  Semata-mata bertujuan karena Allah ketika melakukan ketaatan.
§  Ada yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia.
§  Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang tidak memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan peng-hargaan hilang dari dirinya dan berpindah kepada orang lain,karena ingin memperbaiki hatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang,walaupun perbuatan itu sepele.
Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas, karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi." Berkata Sufyan Ats-Tsauri: "Tidak ada yang paling berat untuk kuobati daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah."
Perusak-perusak Keikhlasan

Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:

§  Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
§  Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
§  'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah denga makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri-sendiri. (Al fatawaa, 10/277)
Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy' yaitu:
§  Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh banyak orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya, segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual beli (diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak ia dapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia mengharapkan agar orang selalu menghormatinya.
§  Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan.
Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini, beliau berkata: "Dikisahkan bahwa Abu Hamid Al Ghazali ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empatpuluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisanya (ucapan), berkata Abu Hamid: "Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata: "Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.

Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: "Hal ini dikarenakan manusai terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah.Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah,maka terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.
§  Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: "Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu' dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu riya' yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus shaleh.
Cara-cara mengobati riya'
§  Harus menyadari sepenuhnya , bahwa kita manusia ini semata-mata adalah hamba. Dan tugas seorang hamba adalah mengabdi dengan sepenuh hati, dengan mengharap kucuran belas kasih dan keridhaanNya semata.
§  Menyaksikan pemberian Allah, keutamaan dan taufikNya, sehingga segala sesuatunya diukur dengan kehendak Allah bukan kemauan diri sendiri.
§  Selalu melihat aib dan kekurangan diri kita, merenungi seberapa banyak bagian dari amal yang telah kita berikan untuk hawa nafsu dan syetan. Karena ketika orang tidak mau melakukan suatu amal, atau melakukannya namun sangat minim maka berarti telah memberikan bagian (yang sebenarnya untuk Allah), kepada hawa nafsu atau syetan.
§  Memperingatkan diri dengan perintah-perintah Allah yang bisa memperbaiki hati.
§  Takut akan murka Allah, ketika Dia melihat hati kita selalu dalam keadaan berbuat riya'.
§  Memperbanyak ibadah-ibadah yang tersembunyi seperti qiyamul lail, shadaqah sirri, menagis karena Allah dikala menyandiri dan sebagainya.
§  Membuktikan pengagungan kita kepada Allah, dengan merealisasikan tauhid dan mengamalkannya.
§  Mengingat kematian dan sakaratul maut, kubur dan kedah syatannya, hari akhir dan huru-haranya.
§  Mengenal riya', pintu-pintu masuk dan kesamarannya, sehingga bisa terbebas darinya.
§  Melihat akibat para pelaku riya' baik di dunia maupun di akhirat.
§  Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari perbuatan riya'dengan membaca doa:"Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat syirik padahal aku mengetahui,dan aku mohon ampun atas apa-apa yang tidak ku ketahui."
Wallahu a'lam bis shawab.

Ilmu Pembersih Hati



Ilmu Pembersih Hati

Ada sebait do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. do'a tersebut berbunyi : Allaahummanfa'nii bimaa allamtanii wa'allimnii maa yanfa'uni wa zidnii ilman maa yanfa'unii. dengan do'a ini seorang hamba berharap dikaruniai oleh-Nya ilmu yang bermamfaat.

Apakah hakikat ilmu yang bermamfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermamfaat apabila mengandung mashlahat - memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, mamfaat tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, dalam kacamata ma'rifat, gambaran ilmu yang bermamfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah. "Ilmu yang berguna," ungkapnya, "ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya dan membuka penutup hati." seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata, "Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri."

Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. Al Kahfi [18] : 109).

Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujadilah [58] : 11). Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun!

Akan tetapi, walaupun hanya "setetes" ilmu Allah yang dititipkan kepada mnusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan mamfaat darinya.

Hal lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. "Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?" Sang guru menjawab, "Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih." Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.

Karenanya, jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta'lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah menerangi hati.

Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzhalimi sesama. Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermamfaat. darimana pun ilmu itu datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudharat.

Sebaik-baik ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermamfaat.

Bila mendapat air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa menjadi "tawas"-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji bisa diserap seraya membawa mamfaat.

Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu fikih, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma'rifat. Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan heran kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain sesat.

Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma'rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.

Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus ujub, riya, takabur, dan sum'ah. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki? Padahal, bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?

Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.***