Macam-macam Riba


Macam-macam Riba

Mengembalikan uang yang dipinjam dengan jumlah lebih banyak, inilah bentuk riba yang sering kita lihat di sekitar kita. Ternyata tidak hanya ini bentuk riba. Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan bisa terjadi dalam beberapa transaksi. Apa saja itu?

Untuk memperjelas pembahasan riba, perlu disebutkan secara detail tentang pembagian riba, masalah-masalah yang terkait dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Riba ada beberapa macam:

Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundurnya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.

Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba qardh (riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria (kualitas) atau penambahan nominal (kuantitas) termasuk riba.
2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dengan membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini, di antaranya:
a. Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp 10.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.
b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah memberikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi maka kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan menggadaikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba, namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan. Maka pihak pegadaian boleh memerah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا

“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya.”
2. Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasilkan, maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim:

لاَ تَبِيْعُوا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارَيْنِ وَلاَ الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ

“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim.
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu:

إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيْئَةِ

“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wujud asal riba.
b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromikan antara hadits yang dzahirnya bertentangan. Wallahul muwaffiq.

Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).

Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1. Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma dengan 1,5 kg kurma.
2. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3. Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.
Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya.
Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَجْنَاسُ فَبِيْعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan).”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya, diperbolehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).
Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu menyerahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).
Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perang dari besi kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Makanan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beli di sini adalah sya’ir (termasuk jenis yang terkena hukum riba) sebagaimana lafadz lain dari riwayat di atas, dalam keadaan beliau tidak punya uang (yang waktu itu berupa emas atau perak). Beliau mengambil barang itu secara tempo dengan menggadaikan baju besinya. Wallahu a’lam.

Ash-Sharf (Money Changer)
Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha, definisi ash-sharf adalah jual beli alat bayar (emas, perak dan mata uang) dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.
Ulama Syafi’iyyah dan yang lainnya membedakan: bila sejenis (emas dengan emas, perak dengan perak) disebut murathalah dan bila beda jenis (emas dengan perak atau sebaliknya) disebut ash-sharf.
Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-sharf.
Telah dijelaskan di atas bahwa naqd (alat bayar) adalah salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus tamatsul dan taqabudh, dan bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul.
Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata uang yang beredar di dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis tersendiri, real jenis tersendiri, dst.). Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misalnya, uang Rp. 100.000,00 ditukar dengan pecahan Rp. 10.000,00, maka nominalnya harus sama. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak tamatsul dan tidak taqabudh, berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.
Namun bila mata uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan rupiah), maka harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar bernilai Rp. 10.000,00, bisa ditukar Rp. 9.500,00 atau Rp. 10.500,00, namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam.

Masalah 1: Taqabudh (serah terima di tempat) dalam bab ash-sharf adalah syarat sah.
Ini adalah pendapat mayoritas besar ulama, bahkan dinukilkan adanya ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.
Dalil jumhur ulama adalah:
1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhum:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli emas dengan perak secara hutang.” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Hadits Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِيَ الْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْنَا يَدًا بِيَدٍ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk membeli perak dengan emas sekehendak kami dan membeli emas dengan perak sekehendak kami, bila tangan dengan tangan (taqabudh/serah terima di tempat).” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan dasar di atas, maka tidak boleh jual-beli emas dengan perak dengan sistem tempo bila alat bayarnya adalah mata uang. Begitu pula tidak boleh jual-beli mata uang secara tempo bila alat bayarnya adalah emas atau perak. Ini adalah fatwa para ulama kontemporer. Wallahul muwaffiq.

Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda?
Yang rajih dari pendapat para ulama adalah pendapat jumhur bahwa taqabudh itu boleh tarakhi (ada masa jeda setelah akad), walaupun sehari, dua hari, atau tiga hari, ataupun berpindah tempat, selama kedua pihak masih belum berpisah. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan radhiyallahu ‘anhu datang sambil berkata: “Siapa yang mau menukar dirham?” Maka Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berkata –dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku emasmu, kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku datang, lalu aku berikan perak kepadamu.” ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun menimpali: “Tidak boleh. Demi Allah, engkau berikan perak kepadanya atau engkau kembalikan emasnya.”
Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil emas tersebut, lalu dia bolak-balikkan di telapak tangannya dan berkata: “Nanti hingga pembantuku datang dari hutan.” ‘Umar lalu berkata: “Demi Allah, engkau tidak boleh berpisah dengannya sampai engkau mengambil (perak dari pembantumu).” ‘Umar kemudian menyebutkan hadits:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ

“Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha` (berikan) dengan ha` (ambil).”
2. Ucapan ‘Umar dengan sanad yang shahih: “Bila salah seorang dari kalian melakukan ash-sharf dengan temannya, maka janganlah berpisah dengannya hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk rumahnya, jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau terkena riba.”
Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam An-Nail. Wallahu a’lam.
Yang dimaksud dengan majelis akad adalah tempat jual beli, baik keduanya berjalan, berdiri, duduk atau dalam kendaraan. Sementara yang dimaksud dengan berpisah di sini adalah pisah badan, dan hal itu kembali kepada kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).
Bila pihak money changer tidak punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain, maka pihak penukar/pembeli wajib mengiringinya ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh (serah terima) di tempat yang dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq.

Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisanya tertunda, apakah sah akad tukar-menukarnya/ akad ash-sharfnya?
Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah menyatakan: Bila sharf tidak dapat diserahterimakan seluruhnya, maka akadpun harus batal seluruhnya.
Sementara Abu Hanifah dan dua muridnya, serta satu sisi pendapat yang dikuatkan dalam madzhab Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akadnya sah, sementara yang belum diterima, akadnya tidak sah.
Yang rajih insya Allah adalah pendapat kedua, dan ini yang dikuatkan An-Nawawi serta Ar-Ruyani dari kalangan Syafi’iyyah. Sebab, hukum itu berjalan bersama dengan ‘illat (sebab-sebabnya). Bila terpenuhi persyaratan sahnya maka akadnya pun sah, wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.

Masalah 4: Apakah ada khiyar dalam bab ash-sharf?
Adapun khiyar majlis, jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dalam bab ash-sharf itu ada. Selama dalam majlis akad, kedua belah pihak dapat menggagalkan akad hingga keduanya saling berpisah.
Mereka berhujjah dengan hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا

“Penjual dan pembeli (punya) khiyar selama keduanya belum berpisah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah.
Adapun tentang khiyar syarat, misalnya menukar dolar dengan rupiah lalu sang penukar mengatakan: “Dengan syarat, saya punya hak khiyar selama tiga hari. Bila tidak cocok maka saya kembalikan lagi,” maka jumhur berpendapat bahwa bila dalam perkara yang dipersyaratkan adanya taqabudh seperti bab ash-sharf, maka tidak boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.
Masalah ini perlu perincian:
1. Bila dia sudah melakukan akad jual-beli dengan sempurna lalu minta syarat, maka lebih baik dia tinggalkan walaupun secara dalil tidak ada yang melarang karena sudah ada taqabudh dalam akad.
2. Bila dia bawa barangnya terlebih dahulu sebelum terjadinya akad, lalu bermusyawarah dengan keluarga atau yang lainnya, setelah itu dia melakukan transaksi dengan taqabudh, maka tidak mengapa.
Ini adalah solusi terbaik yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Wallahu a’lam.

Masalah 5: Akad ash-sharf via telepon dan yang semisalnya.
Masalah ini perlu perincian:
1. Bila yang dimaukan hanya memesan barang atau semacam janji untuk membeli barang, tanpa akad yang sempurna, maka diperbolehkan. Karena ‘pesan’ atau ‘janji’ tidaklah termasuk akad jual beli. Sang penjual punya hak menjualnya kepada orang lain dan sang pembeli punya hak untuk membatalkan ‘janji’ itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan inilah pendapat yang shahih. Sementara Al-Imam Malik memakruhkannya.
2. Bila yang dimaksud adalah akad jual-beli secara sempurna, maka hukumnya haram, sebab tidak ada unsur taqabudh. Dan ini merupakan riba nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah.

Masalah 6: Uang muka dalam bab ash-sharf.
Bila yang diinginkan dengan uang muka/downpayment (DP) adalah transaksi secara sempurna maka hukumnya haram karena tidak ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yang diinginkan adalah amanah atau simpanan, lalu penyerahan pembayaran total dilakukan pada saat akad serah terima barang, maka hal ini tidak mengapa. Wallahu a’lam.

Masalah 7: Apakah disyaratkan adanya barang di tempat dalam bab ash-sharf?
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa diperbolehkan akad ash-sharf walaupun tidak ada barang di tempat, atau barang dikirimkan setelah itu, atau dengan meminjam kepada orang lain, dan kemudian diserahkan. Yang penting adalah adanya taqabudh dalam majelis akad sebelum berpisah.
Hujjah mereka adalah bahwa yang dipersyaratkan dalam bab ash-sharf adalah taqabudh, dan hal itu telah terjadi dalam transaksi di atas. Wallahu a’lam.

Hiwalah Mashrafiyyah (Transfer Valas)
Gambarannya, seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan:
1. Orang yang dikirimi menerima mata uang yang sama. Misalnya, dari Indonesia mengirimkan uang 1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman menerimanya dengan mata uang yang sama.
Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah berikut:
a. Masalah hiwalah secara fiqih
b. Masalah ijarah (sewa jasa)
c. Sesuatu yang dahulu dikenal dengan istilah saftajah.
Keadaan ini diperbolehkan.
2. Pihak yang dikirimi menerima dalam bentuk mata uang yang berbeda. Misalnya, dari Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan pihak penerima di Yaman menerimanya dalam bentuk uang 900 dolar (misalnya).
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:
 Sebagian mereka melarangnya, karena keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf, padahal dalam ash-sharf disyaratkan adanya taqabudh. Sedangkan pada keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.
Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan dzahir fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Ini juga fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.
 Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehannya, karena kebutuhan dan keadaan darurat.
Namun tidak diragukan lagi bahwa yang lebih selamat bagi agama seseorang dan sebagai upaya menghindari pintu riba adalah dia tidak melakukan transaksi seperti ini.
Para ulama memberikan beberapa solusi, di antaranya:
1. Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer untuk mengirimkan mata uang yang sama ke tempat yang dituju. Dan ini mungkin dilakukan dengan cara memberikan uang jasa kepada mereka.
2. Menukar mata uangnya terlebih dahulu, baru dia kirim dengan mata uang yang diinginkan.
Misalnya seseorang mempunyai uang Rp. 10 juta hendak dikirim ke Arab Saudi dalam bentuk real. Maka dia tukar terlebih dahulu uang rupiahnya itu dengan real Saudi, baru dia minta pihak penyelenggara jasa (misal Western Union) mengirimkannya dalam bentuk real Saudi. Bila dia telah yakin akan sampai di Arab Saudi dalam bentuk real, namun ternyata sampai dalam bentuk rupiah, maka tidak mengapa bagi penerima untuk mengambil rupiah itu karena keadan darurat. Wallahu a’lam.

Masalah 8: Bagaimana bila sebuah mata uang tidak bisa keluar dari negerinya karena larangan pemerintah setempat, atau karena tidak ada nilainya di luar negeri?
Misalnya, seseorang mempunyai sejumlah uang real Saudi dan hendak mengirimkannya ke Indonesia dalam bentuk rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dengan rupiah, namun karena rupiah jatuh, tidak ada satupun money changer yang mau. Solusinya adalah:
1. Dia langsung mengirim dalam bentuk real Saudi ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima real tersebut, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
2. Atau, bila real Saudi tidak bisa keluar, maka dia tukar real dengan dolar –misalnya– lalu dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerimanya dalam bentuk dolar, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
Wallahul muwaffiq.

Penggunaan Cek dalam Ash-Sharf
Dari permasalahan hiwalah mashrafiyyah di atas, muncul masalah kontemporer yang sangat masyhur, yaitu menggunakan kertas cek dalam bab ash-sharf, baik dalam jual beli emas dan perak, maupun tukar-menukar mata uang dengan cek.
Permasalahan ini dibahas oleh para ulama, khusus dalam hal cek resmi yang diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yang tidak diakui pihak bank, maka jelas larangannya.
Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya taqabudh, tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak kedua).
Dalam masalah cek, apakah sudah terjadi taqabudh (serah terima) yang hakiki ataukah tidak?
Sebagian ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berpendapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau mata uang menggunakan cek adalah tidak boleh. Karena, cek bukanlah taqabudh hakiki, melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti, bila cek tersebut hilang, dia bisa minta lagi cek dengan nominal yang sama. Namun beliau mengecualikan cek yang resmi dari bank maka tidak mengapa, asalkan sang penjual yang menerima cek dari pembeli langsung menghubungi bank dan mengatakan: “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ.”
Ulama yang melarang beralasan dengan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dengan nominal yang tercantum itu diambil, maka sang pemegang cek akan kembali kepada yang memberi cek. Bila cek tersebut adalah serah terima hakiki layaknya mata uang, niscaya dia tidak akan kembali ketika hilang atau rusak.
2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal (cek kosong), maka jelas tidak ada serah terima yang hakiki.
3. Terkadang pula orang yang menukar cek ditolak, sehingga juga tidak ada serah terima yang hakiki.
4. Cek tidak termasuk kertas alat bayar layaknya mata uang, namun hanya kertas yang berisikan nominal mata uang.
Sementara itu, mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh (serah terima) yang sempurna lagi hakiki, sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dalam bab ash-sharf. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya dalam syariat disebutkan masalah qabdh (serah terima), namun tidak ditentukan batasannya. Tidak pula diikat dengan kriteria tertentu. Rujukan hukum-hukum yang bersifat umum seperti ini adalah kebiasaan setempat. Sementara secara kebiasaan yang terjadi di kalangan pebisnis, cek adalah serah terima yang sempurna terhadap apa yang terkandung di dalamnya.
2. Cek yang resmi dan diakui tidaklah akan dikeluarkan kecuali setelah diyakini adanya debet-kredit pemilik cek pada sebuah bank. Dan ini yang dimaksud dengan hiwalah dalam fiqih Islami .
3. Keadaan darurat membuat cek tersebut dijadikan sebagai serah terima yang hakiki. Kaidah ini ada dalam syariat, yaitu: “Keadaan darurat membolehkan perkara yang haram”, “Kebutuhan yang umum memiliki hukum darurat”, “Kesulitan mendatangkan kemudahan”, “Bila perkaranya menjadi sempit maka datanglah keluasan.” Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yang tertuang dalam banyak dalil, di antaranya:

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan.” (Al-Insyirah: 6)
Juga ayat:

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki untuk kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)
4. Memudahkan perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan terhadap harta benda yang dapat memotivasi para pebisnis untuk melangsungkan bisnisnya dan menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam.
Pendapat ini adalah kesepakatan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah ‘Alam Islami, yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Juga pada fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, yang beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud, dan Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka beralasan karena kebutuhan umum.
Bila menilik kepada dalil-dalil syar’i, maka yang rajih adalah pendapat yang melarang. Namun dari sisi kebutuhan dan keadaan yang darurat maka diperbolehkan. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak bermuamalah dengan cara ini kecuali dalam keadaan darurat saja. Wallahul muwaffiq.

Jual-beli Valas (Valuta Asing)
Dari uraian-uraian di atas, kita dapat memahami hukum jual-beli valas secara syar’i dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Bila jual-beli valas dari mata uang sejenis, misalnya dolar dengan dolar, maka disyaratkan adanya tamatsul dan taqabudh.
2. Bila dari jenis mata uang yang berbeda, misalnya rupiah dengan dolar, atau dolar dengan poundsterling, hanya disyaratkan adanya taqabudh.
Dengan dasar kaidah di atas, maka:
a. Tidak mengapa menanti naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang dikehendaki, bila terpenuhi persyaratannya secara syar’i di atas ketika transaksi.
b. Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenisnya, sebab tidak terjadi taqabudh yang disyaratkan.
c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual beli valas.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Demikian penjelasan ringkas seputar masalah riba. Sebenarnya masih banyak permasalahan yang perlu diangkat, namun karena keterbatasan lembar majalah ini maka kami cukupkan sampai di sini. Selebihnya dapat merujuk karya-karya para ulama dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.
Wallahul muwaffiq.

Maraji’:
1. Syarhul Buyu’, hal. 124 dst
2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan 15
3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
4. As-Sunnah karya Al-Marwazi

1 Namun jumhur ulama melarang adanya hiwalah dalam bab ash-sharf (pen).

Hukuman Bagi Pelaku Riba


Hukuman Bagi Pelaku Riba

Shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba dan yang memberi riba.”
Ketika mendengar hadits tersebut dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ‘Alqamah berkata: “(Apakah laknat juga ditujukan kepada) juru tulisnya dan dua saksinya?” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Yang kami sampaikan hanyalah yang kami dengar (dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam).”
Akan tetapi pada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu, pertanyaan ‘Alqamah di atas terjawab. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, memberi riba, juru tulisnya dan dua saksinya. Beliau mengatakan: ‘Mereka itu sama’.”


Dua hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya, kitab Al-Musaqat, bab Lu’ina Akilur Riba wa Mu’kiluhu, no. 4068 dan 4069.
Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya praktik ribawi1. Sementara muamalah yang tidak barakah ini telah menggurita di tengah masyarakat kita, seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari denyut nadi perekonomian kita. Wallahul musta’an. Padahal keharaman riba demikian jelas dinyatakan dalam syariat yang mulia ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan ayat-Nya dari atas langit-Nya yang ketujuh:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُوْنَ. يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيْمٍ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba) maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menumbuh-kembangkan sedekah2. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)
Dalam ayat lain, Dia Yang Maha Tinggi berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian, kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi.” (Al-Baqarah: 278-279)
Penyebutan dengan sifat jelek, adanya ancaman dan hukuman yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas sangat cukup untuk menunjukkan tidak diridhainya perbuatan riba, alias haram. Apalagi secara jelas Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan:

وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Dia mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Belum lagi hadits-hadits shahih yang disebutkan As-Sunnah An-Nabawiyyah yang suci, termasuk hadits yang menjadi pembahasan kita kali ini.

Hukuman bagi Pelaku Riba
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang pemakan riba dan jeleknya akibat yang mereka tuai. Dikabarkan bahwa mereka tidak akan bangkit dari kubur mereka pada hari kebangkitan nanti melainkan ‘seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila’. Mereka bangkit dari kubur dalam keadaan bingung, mabuk, goncang, dan merasa pasti akan ditimpakan hukuman yang besar serta bencana yang menyulitkan....” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 117)
Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu berkata: “Ayat-ayat yang mulia di atas menunjukkan secara jelas tentang kerasnya keharaman riba, dan bahwa perbuatan riba termasuk dosa besar yang memasukkan pelakunya ke dalam neraka. Sebagaimana pula ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memusnahkan penghasilan orang yang melakukan riba dan menyuburkan sedekah. Yakni, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga dan menumbuhkembangkan harta sedekah untuk pelakunya sehingga harta yang sedikit menjadi banyak, bila diperoleh dari penghasilan yang baik. Dalam ayat yang akhir disebutkan secara jelas bahwa orang yang melakukan riba adalah orang yang memerangi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Yang wajib dia lakukan adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mengambil pokok dari hartanya tanpa tambahannya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 19/256-257)
Al-Imam Al-Mawardi rahimahullahu ketika menafsirkan ayat:

فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ

“Maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.” (Al-Baqarah: 278)
Beliau berkata: “Makna ayat ini ada dua sisi:
Pertama: Jika kalian tidak berhenti dari perbuatan riba, maka Aku (Allah Subhanahu wa Ta'ala) akan memerintahkan Nabi untuk memerangi kalian.
Kedua: Jika kalian tidak berhenti dari perbuatan riba, berarti kalian adalah orang yang diperangi (dianggap sebagai musuh) oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.” (An-Nukat wal ‘Uyun, 1/352)
Dari empat ayat dalam Surat Al-Baqarah di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat buruk/ hukuman yang diperoleh pelaku riba adalah sebagai berikut:
1. Dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat nanti seperti orang gila karena kerasukan setan.
Qatadah rahimahullahu berkata: “Yang demikian itu merupakan tanda pada hari kiamat bagi orang yang melakukan riba. Mereka dibangkitkan dalam keadaan berpenyakit gila.”
Adapula yang memaknakan: “Manusia pada hari kiamat nanti keluar dari kubur mereka dengan segera. Namun pemakan riba menggelembung perutnya, ia ingin segera keluar dari kuburnya, namun ia terjatuh. Jadilah dia seperti keberadaan orang yang jatuh bangun kesurupan karena gila.” (Fathul Bari, 4/396)
2. Diancam kekal dalam neraka.
3. Harta yang diperoleh dari riba akan dihilangkan barakahnya. Bila pelakunya menginfakkan sebagian dari harta riba tersebut, niscaya ia tidak akan diberi pahala, bahkan akan menjadi bekal bagi dia untuk menuju neraka. Demikian dinyatakan Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.
4. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيْمٍ

“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 276)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menafsirkan: “Yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mencintai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. Karena kecintaan itu dikhususkan bagi orang-orang yang bertaubat. Dalam ayat ini ada ancaman yang berat lagi besar bagi orang yang melakukan riba, di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala menghukuminya dengan kekafiran3 dan menyifatinya dengan selalu berbuat dosa.” (Fathul Qadir, 1/403)
5. Mendapatkan permusuhan dari dan siap berperang dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta Rasul-Nya.
Dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan di awal pembahasan pun kita dapatkan ‘uqubah atau hukuman yang didapatkan oleh pihak-pihak yang bersentuhan dengan muamalah ribawi dan menjadi saksi atas muamalah ribawi tersebut. Sehingga kita dapatkan kejelasan tentang haramnya tolong menolong di atas kebatilan. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 11/28)
Hadits Abdullah bin Mas’ud dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma mengabarkan laknat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang mengambil dan memberi riba, mencatat transaksi ribawi dan menjadi saksinya. Mendapatkan laknat berarti mendapatkan celaan dan terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena laknat memiliki dua makna:
Pertama: bermakna celaan dan cercaan.
Kedua: bermakna terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dengan demikian, pihak-pihak yang bersentuhan dengan muamalah ribawi ini terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Padahal seorang hamba amat sangat membutuhkan rahmat-Nya.
Al-Imam As-Sindi rahimahullahu mengatakan: “Mereka semua mendapatkan laknat karena bersekutu dalam berbuat dosa.” (Syarh Sunan Ibni Majah, bab At-Taghlizh fir Riba)
Di dalam ayat yang telah lewat penyebutannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah memusnahkan riba dan menumbuhkembangkan sedekah.”
Pemusnahan harta riba itu bisa jadi dengan musnahnya seluruh harta tersebut dari tangan pemiliknya, ataupun dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala menghilangkan barakah dari harta tersebut sehingga pemiliknya tidak dapat mengambil manfaatnya. Bahkan ia akan kehilangan harta itu di dunia dan nanti di hari kiamat ia akan beroleh siksa. Karena yang namanya harta riba –walaupun kelihatannya banyak– akhirnya akan sedikit dan hina. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُو عِنْدَ اللهِ

“Apa yang kalian datangkan (berikan) dari suatu riba guna menambah harta manusia maka sebenarnya riba itu tidak menambah harta di sisi Allah.” (Ar-Rum: 39)
Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan lewat shahabat beliau, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, berikut ini juga menjadi bukti bahwa riba itu walaupun kelihatannya menambah harta namun pada akhirnya akan membuat harta itu sedikit dan musnah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Tidak ada seorang pun yang banyak melakukan riba4 kecuali akhir dari perkaranya adalah hartanya menjadi sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 2279, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ no. 5518)
Di samping akibat buruk dari perbuatan riba yang telah disebutkan di atas, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengabarkan bahwa mengambil riba termasuk dari tujuh dosa yang membinasakan pelakunya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata mengabarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قُلْنَا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّباَ ، وَأَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ

“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Kami bertanya: “Apakah tujuh perkara itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah (berbuat syirik), sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan haq, memakan (mengambil) riba, memakan harta anak yatim, berpaling/lari pada hari bertemunya dua pasukan (pasukan muslimin dengan pasukan kafir), dan menuduh wanita baik-baik yang menjaga kehormatan dirinya (dengan tuduhan) berzina.” (HR. Al-Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 258)
Ketujuh perkara yang membinasakan yang tersebut dalam hadits ini adalah dosa-dosa besar, kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah6, sebagaimana yang ditunjukkan dalam riwayat lain.
Di antara sekian hadits yang membicarakan tentang azab yang diterima “tukang” riba kelak di hari kiamat, dibawakan Al-Imam Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya dari shahabat yang mulia, Samurah bin Jundab radhiyallahu 'anhu, dalam hadits yang panjang tentang mimpi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara isi mimpi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan:

رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي، فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ مِنْ دَمٍ، فِيْهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ. فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهْرِ، فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيْهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيْهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ، فَقُلْتُ: مَا هذَا؟ فَقَالَ: الَّذِى رَأَيْتَهُ فِي النَّهْرِ آكِلُ الرِّبَا

“Aku melihat pada malam itu dua orang laki-laki mendatangiku. Lalu keduanya mengeluarkan aku menuju ke tanah yang disucikan. Kemudian kami berangkat hingga kami mendatangi sebuah sungai darah. Di dalamnya ada seorang lelaki yang sedang berdiri, sementara di atas bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yang di hadapannya terdapat bebatuan. Lalu menghadaplah lelaki yang berada di dalam sungai. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dalam sungai, lelaki yang berada di bagian atas dari tengah sungai tersebut melemparnya dengan batu pada bagian mulutnya. Maka si lelaki itu pun tertolak ke tempatnya semula. Setiap kali ia hendak keluar, ia dilempari dengan batu pada mulutnya hingga ia kembali pada posisi semula (tidak dapat keluar dari tempatnya berada). Aku (Rasulullah) pun bertanya: ‘Siapa orang itu (kenapa dengannya)?’ Dijawab: ‘Orang yang engkau lihat di dalam sungai darah tersebut adalah pemakan riba’.” (HR. Al-Bukhari, no. 2085)
Betapa mengerikan keadaan si pemakan riba, kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semoga dengan penjelasan dan peringatan yang disampaikan dalam lembaran ini dapat menyadarkan para pemakan riba sehingga ia bertaubat dari perbuatannya. Allah-lah yang memberi taufiq kepada jalan yang lurus.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Dan seluruh pihak yang terlibat (ta’awun) di dalamnya terkena laknat, mulai dari pihak yang mengambil (menarik) riba tersebut maupun pihak yang memberinya (misalnya nasabah bank). Karena riba itu tidak akan berlangsung/terjadi jika tidak memberinya. Oleh sebab itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan (yang memberi riba). Begitu pula juru tulis dan saksinya, semuanya melanggar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Janganlah kalian berta’awun (bekerja sama) dalam melakukan dosa dan permusuhan.” (Al-Ma`idah: 2) [ed]
2 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللهُ بِيَمِيْنِهِ، فيُرَبِّيْهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوْصَهُ، حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ

“Tidaklah seseorang menyedekahkan sebuah kurma dari penghasilan yang baik (halal) melainkan Allah akan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia memeliharanya sebagaimana salah seorang kalian memelihara anak unta yang telah disapih dari induknya, hingga sedekah itu menjadi semisal gunung atau lebih besar lagi.” (HR. Muslim no. 2340)
3 Melakukan muamalah riba adalah dosa besar. Dan madzhab Ahlus Sunnah tidaklah menghukumi pelaku dosa besar sebagai kafir, selama dia tidak menghalalkannya. Bahkan mereka tetap menetapkan adanya keimanan si pelaku maksiat yang mensahkan keislamannya, sehingga ia tidak keluar dari lingkaran Islam. Beda halnya dengan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, atau Mu’tazilah yang mengeluarkan pelaku dosa dari keimanan dan berada pada manzilah baina manzilatain, tidak Islam tidak pula kafir. Namun dalam masalah hukuman di akhirat nanti, Khawarij dan Mu’tazilah sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar itu kekal di dalam neraka.
Adapun nash yang berisi pernyataan kekufuran bagi pelaku dosa besar janganlah dipahami bahwa pelakunya kafir keluar dari Islam, karena kekafiran ada dua macam, besar dan kecil. Wallahu a’lam.
4 Yakni kebanyakan hartanya dikumpulkannya dari riba. (Syarh Sunan Ibni Majah, bab At-Taghlizh fir Riba)
5 Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: أَكْلُ الرِّباَ artinya “makan riba.” Beliau menyebut dengan “makan”, karena makan merupakan sisi kemanfaatan yang paling umum. Demikian dikatakan ahlul ilmi. Karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang Bani Israil:

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ

“Dan disebabkan mereka mengambil riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya…” (An-Nisa`: 161)
Allah tidak menyatakan: أَكْلِهِمُ الرِّباَ (mereka memakan riba), karena kata اْلأَخْذُ lebih umum daripada اْلأَكْلُ. Sehingga makan riba maknanya adalah mengambil riba. Sama saja, baik dimanfaatkan untuk dimakan, atau untuk permadani, bangunan, tempat tinggal, atau yang selainnya. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/503)
6 Fathul Bari, 12/227

Menyelewengkan Makna La ilaha illallah, Wujud Penyimpangan Akidah


Menyelewengkan Makna La ilaha illallah, Wujud Penyimpangan Akidah

Barangkali di antara kita ada yang pernah melontarkan ucapan: “Kenapa sih kita membicarakan permasalahan tauhid terus? Apa tidak ada tema lain yang lebih menarik?” Bagi orang yang belum paham, bisa dimaklumi bila ia mengeluarkan kalimat seperti itu. Namun sangat tidak pantas bila kalimat tersebut muncul dari orang yang telah memahami pentingnya tauhid bagi seorang muslim, yang menunjukkan bahwa ia meremehkan permasalahan yang sangat dijunjung tinggi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para nabi ini.

Telah dimaklumi bahwa poros dakwah para nabi dan rasul, serta sebab mereka diutus adalah untuk tauhidullah (mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala). Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam banyak firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan-Ku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al-Anbiya`: 25)

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah dan tidak ada sesembahan bagi kalian selain-Nya’.” (Al-A’raf: 59)

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوْدًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada kaum ‘Ad Kami mengutus saudara mereka Hud dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 65)

وَإِلَى ثَمُوْدَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada Tsamud kami mengutus saudara mereka Shalih dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 73)

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada Madyan Kami utus saudara mereka Syu’aib dan dia berkata: ‘Hai kaumku sembahlah Allah, dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 85)
Karena permasalahan tauhid pula Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan kitab-kitab, dan karenanya pula manusia diciptakan.

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah yang Esa dan tidak ada sesembahan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (At-Taubah: 31)

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Dari sini kita mengetahui bahwa:
1. Tauhid merupakan kewajiban yang pertama dan paling utama untuk diilmui dan didakwahkan. Ia juga merupakan tugas yang paling besar, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Maka berilmulah kamu tentang Laailahaillallah.” (Muhammad: 19)

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul agar mereka (memerintahkan): ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thagut’.” (An-Nahl: 36)
2. Para nabi memulai dakwah mereka dari sisi tauhid, sehingga tauhid merupakan poros dan tujuan dakwah mereka. Rasul terakhir, Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, tinggal di kota Makkah selama 13 tahun menyeru kaumnya kepada tauhidullah dan mendidik para shahabat di atasnya.
3. Al-Qur`an telah menjelaskan kedudukan tauhid dalam banyak tempat dan menjelaskan pula bahaya dari lawannya yaitu syirik, baik terhadap individu ataupun jamaah. Dan kesyirikanlah yang telah menyebabkan kehancuran hidup di dunia dan di akhirat.
4. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan dan mengarahkan para shahabat agar memulai dakwah mereka dengan menyerukan kepada tauhidullah. Sebagaimana perintah beliau kepada Mu’adz radhiyallahu 'anhu, ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman:

فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah.”
Di dalam sebuah riwayat disebutkan:

إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ

“Sampai mereka mentauhidkan Allah.”1
5. Tidak diperbolehkan bagi siapapun dan jamaah apapun untuk mengentengkan atau meremehkan permasalahan tauhid.
6. Siapapun dan jamaah apapun bila menganggap enteng permasalahan tauhid mesti akan mengalami kegagalan dan kebinasaan, cepat atau lambat.
7. Muara dari semua kerusakan di muka bumi adalah kerusakan aqidah dan tauhid, sebagaimana sumber dari segala kebaikan di dunia dan di akhirat adalah karena kebagusan aqidah dan tauhid.
(Lihat Al-Firqatun Najiyah hal. 9, 31 dan 32, Asbab Dha’fil Muslimin Amama ‘Aduwwihim karya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Manhajus Salaf Fil ‘Aqidah karya Dr. Shalih bin Sa’d As-Suhaimi hal. 6)

Pengaruh لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ sebagai Kalimat Tauhid dalam Kehidupan
Para pembaca yang budiman, renungkanlah beberapa buah (hasil) berikut ini, yang nantinya bisa dipetik bila aqidah dan tauhid seseorang itu benar sebagaimana yang telah disebutkan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Ini dimaksudkan dalam rangka membongkar kejahatan orang-orang yang berani menentang aqidah, meremehkannya, atau menomorsekiankan aqidah dalam semua aktivitas dakwah, dan sebagainya.
Pertama: Memerdekakan dan mengeluarkan manusia dari perbudakan kepada manusia menuju penghambaan kepada Rabb manusia semata.
Hal ini karena tauhid merupakan satu bentuk penghambaan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan lawannya yaitu syirik merupakan satu bentuk penghambaan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tauhid akan memerdekakan akal setiap manusia dari segala bentuk khurafat dan memerdekakan hati dari penghinaan serta kerendahan, sekaligus memerdekakan hidup mereka dari segala cengkraman kekuasaan thagut yang disembah.
Tauhid dengan makna inilah yang juga dipahami oleh kaum musyrikin dahulu, sehingga mereka tampil memancangkan permusuhan kepada para rasul.
Kedua: Menyatukan/memfokuskan amal seseorang berada dalam koridor yang satu.
Karena, ketika orang yang bertauhid bergerak untuk membangun sebuah amalan dalam detik-detik hidupnya, semuanya terarah untuk mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jiwanya tidak tercerai-berai kepada penghambaan di hadapan tuhan-tuhan yang banyak, dalam keadaan dia berusaha mencari keridhaan semuanya. Fenomena seperti ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kesudahannya di dalam sebuah firman-Nya:

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً رَجُلاً فِيْهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُوْنَ وَرَجُلاً سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً

“Allah telah membuat perumpamaan tentang seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang berselisih dan seorang budak yang dimiliki oleh seorang tuan, apakah kedua perumpamaan itu sama?” (Az-Zumar: 29)
Perumpamaan pertama adalah seseorang yang memiliki tuhan yang banyak (yakni orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala). Dia mengalami kebimbangan dalam mengejar keridhaan tuhan yang banyak tersebut. Adapun perumpamaan kedua adalah seseorang yang tidak menyembah kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.
Ketiga: Menciptakan rasa aman dalam jiwa dan menanamkan kekuatan batin.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلاَ تَخَافُوْنَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيْقَيْنِ أَحَقُّ بِاْلأَمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ

“Bagaimana aku akan takut kepada sesembahan-sesembahan yang kalian persekutukan (dengan Allah), padahal kalian tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepada kalian untuk mempersekutukan-Nya. Manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak untuk mendapatkan keamanan (dari malapetaka) jika kalian mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanannya dengan kedzaliman (kesyirikan), merekalah yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk.” (Al-An’am: 81-82)
Orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan selalu dalam koridor bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kembali kepada-Nya, karena Dialah Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu. Sehingga dengan keyakinan ini, tumbuh rasa aman dan percaya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berpasrah diri dan tentram hatinya. Bagaimana hal ini tidak terjadi, sementara dia melihat manusia sebagai makhluk yang tidak sanggup berbuat untuk diri mereka sendiri, lebih-lebih untuk orang lain. Dengarkan apa yang telah diucapkan oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam:

يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيْرِي بِآيَاتِ اللهِ فَعَلَى اللهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلاَ تُنْظِرُوْنِ

“Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allahlah aku bertawakal. Karena itu bulatkanlah keputusan kalian dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutu kalian (untuk membinasakanku), kemudian janganlah keputusan kalian itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku.” (Yunus: 71)
Dan ingatlah ketika Nabi Hud ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya:

فَكِيْدُوْنِي جَمِيْعًا ثُمَّ لاَ تُنْظِرُوْنِ. إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Jalankanlah tipu daya kalian semua terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 55-56)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menggambarkan jiwa yang telah sampai kepada kepercayaan, ketentraman dan keamanan yang tinggi karena menemukan kekuasaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merasakan betapa rendahnya kedudukan makhluk. Mereka tidak memiliki kekuasaan sedikitpun dalam urusan mereka (melainkan dengan bantuan Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Keempat: Mengokohkan landasan persaudaraan dan persamaan
Islam adalah agama tauhid yang menjadikan seseorang tunduk kepada Rabb mereka. Tidak menjadikan sebagian mereka menjadi tuhan bagi sebagian yang lain, serta tidak menuntut orang lain agar menyembah dan tunduk kepada yang lain. Manusia seluruhnya sama dalam derajat kemanusiaan. Setiap orang yang bertauhid memiliki persamaan hak dan kewajiban. Tidak ada yang melebihi yang lain kecuali dengan takwa dan amal shalih. Mereka tidak berbeda karena perbedaan suku, ras, atau lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
Kelima: Mendapatkan ketinggian dan kejayaan
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam firman-Nya:

حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِيْنَ بِهِ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Dengan ikhlas kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah. Dan barangsiapa menyekutukan Allah maka dia seakan-akan jatuh dari langit kemudian disambar oleh burung atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang sangat jauh.” (Al-Hajj: 31)
Ayat ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan ketinggian dan kejayaan, sedangkan kesyirikan adalah kerendahan dan kehinaan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah menyerupakan iman dan tauhid dalam ketinggian, keluasan, dan kemuliaan di langit. Langit itu merupakan tempat naik dan tempat turun, darinya turun ke bumi dan kepadanya naik. Dan Allah menyamakan bahwa meninggalkan keimanan dan ketauhidan, seperti sesuatu yang jatuh dari langit ke tempat yang paling rendah dibarengi dengan rasa sempit yang sangat dan sakit yang bertumpuk-tumpuk, diikuti dengan sambaran burung pada setiap anggota badannya. Lalu setan mencabik-cabiknya, yang dikirim oleh Allah untuk menggiring dan memindahkannya menuju negeri kebinasaan. Kemudian Allah mengirim angin yang menghempaskannya ke tempat yang amat jauh. Itulah jelmaan hawa nafsunya yang akan melemparkan dirinya ke tempat yang rendah dan jauh dari langit.” (I’lamul Muwaqqi’in, hal. 118)

Keenam: Memelihara darah, harta, dan kehormatannya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukannya maka mereka telah memelihara dariku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada di tangan Allah.”2
(lihat Bayanus Syirk wa Wasa`ilihi ‘inda ‘Ulama` Asy-Syafi’iyyah, hal. 6-10 karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis, Laa Ilaha illallah Ma’naha Wa Makanatuha, karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 36-41)

Pemaknaan yang Keliru dari Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ sebagai Kalimat Ikhlas
Dalam pembahasan edisi yang telah lalu, dijelaskan apa sesungguhnya makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang benar. Sebuah kalimat tauhid, kalimat ikhlas, kalimat takwa, kalimat Islam, dan kalimat ‘urwatul wutsqa. Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, itulah makna yang benar. Sebuah makna yang singkat namun padat dan memiliki konsekuensi yang demikian banyak. Makna inilah yang juga dipahami oleh kaum musyrikin dahulu sehingga mendorong mereka untuk menolak seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memerangi dakwah beliau. Mereka memahami bahwa bila mereka mengikrarkan dan mengucapkan kalimat ini berarti:
a. Harus melepaskan segala keterkaitan dengan sesembahan yang mereka jadikan sebagai tuhan-tuhan selain Allah, berupa segala bentuk berhala, patung-patung, atau tempat yang dikeramatkan.
b. Harus meninggalkan segala perbudakan hawa nafsu yang menjadikan mereka gandrung dan kecanduan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti merampok, berzina, membunuh, berjudi, minum khamr, berbuat dzalim, dan lain sebagainya.
Inilah realita orang-orang yang telah disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah: “Orang-orang kafir di masa jahiliyah mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah dengan (seruan beliau) kepada kalimat Laa Ilaha illallah, yaitu mengesakan Allah dalam ketergantungan, dan mengingkari segala sesembahan selain Allah serta berlepas diri darinya. Di saat Rasulullah mengatakan kepada mereka: ‘Ucapkanlah Laa Ilaha illallah!’, mereka berkata: ‘Apakah dia akan menjadikan tuhan-tuhan ini menjadi satu tuhan? Ini adalah (perbuatan) yang sangat mengherankan.’ Jika engkau mengetahui bahwa orang kafir jahiliyah saja mengetahui makna (yang benar tentang kalimat Laa Ilaha illallah), maka amat naif dan sangat mengherankan jika orang-orang yang mengaku Islam namun tidak mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang kafir jahiliyah. Bahkan mereka justru mengira bahwa cukup hanya mengucapkannya dengan lisan, tanpa hatinya meyakini makna-makna yang dikandungnya. Bahkan kalangan ahli pikir di antara mereka meyakini bahwa makna Laa ilaha illallah adalah tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala (yakni membatasi hanya pada makna itu). Sungguh tidak ada kebaikan bagi seseorang (di dalam Islam) jika orang kafir jahiliyah lebih mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah.” (Kasyfus Syubuhat, hal. 17-18)
Di antara pemaknaan batil dari kalimat ini sebagai berikut:
Pertama: Tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan mengatur kecuali Allah.
Pemaknaan seperti ini adalah batil, karena penafsiran ini hanya terbatas pada tauhid rububiyyah. Makna seperti ini telah diakui dan diyakini oleh kaum musyrikin jahiliyah, akan tetapi tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan tidak menjadikan harta dan darah mereka terjaga.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata: “Kaum musyrikin menetapkan dan mempersaksikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat pencipta, pemberi rizki. Dan mereka meyakini bahwa tidak ada yang memberi rizki, menghidupkan dan mematikan melainkan Dia, serta tidak ada yang mengatur kecuali Dia. Dan seluruh langit yang tujuh dan apa yang ada di dalamnya dan bumi yang tujuh seisinya adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala dan di bawah kekuasaan dan pengaturan-Nya. Jika engkau ingin mengetahui dalil bahwa orang-orang yang diperangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempersaksikan hal itu, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ فَسَيَقُوْلُوْنَ اللهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ

“Katakan siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai pendengaran, penglihatan dan yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan dan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang mengatur semua urusan? Maka mereka akan berkata: ‘Allah.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kalian tidak takut (kepada-Nya)?’.” (Yunus: 31)

قُلْ لِمَنِ اْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيْرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُوْنَ

“Katakan: Milik siapakah bumi dan segala apa yang ada padanya jika kalian mengetahui? Mereka akan mengatakan Allah, maka katakanlah tidakkah kamu mau sadar. Katakan siapakah Rabbnya langit yang tujuh, Rabb ‘Arsy yang agung? Mereka akan mengatakan milik Allah, maka katakanlah tidaklah kalian mau bertakwa. Katakan, di tangan siapakah kekuasaan terhadap segala sesuatu dan dia tempat berlindung dan tidak akan dilindungi jika kalian mengetahui, mereka akan mengatakan: “Milik Allah, lalu kenapa kalian bisa dipalingkan.’” (Al-Mu’minun: 84-89)
[Lihat Kasyfus Syubuhat hal. 10-11]
Memaknakan Laa Ilahaillallah hanya ke dalam makna tauhid rububiyyah (tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan yang mengatur semua urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala) semata adalah jelas kebatilannya. Jika demikian maknanya niscaya:
1. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memerangi mereka, menghalalkan darah, kehormatan, dan harta mereka. Bagaimana mungkin beliau akan memerangi kaum yang benar aqidahnya, jika memang maknanya demikian.
2. Kaum musyrikin tidak akan menentang dan memerangi dakwah serta seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kalimat Laa Ilaha illallah.
3. Tidak ada hikmah yang besar dalam hal diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi, karena tauhid rububiyyah ini ditetapkan oleh fitrah setiap manusia.
4. Usaha Iblis dan bala tentaranya tidak begitu berarti dalam penyesatan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnul Qayyim menjelaskan: “Apa yang ditunjukkan oleh kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dalam menetapkan hak peribadatan, lebih tinggi dibandingkan dengan kalimat اللهُ إِلَهٌ (Allah adalah sesembahan). Karena ucapan ini tidak mengandung makna penafian terhadap sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berbeda dengan ucapan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Kalimat ini menuntut pembatasan hak ibadah itu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menafikan selain-Nya. Salah besar jika ada orang yang menafsirkan makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan ‘Tidak ada yang mampu menciptakan kecuali Allah semata’.”
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah menjelaskan: “Jika dikatakan telah jelas makna ‘Al-Ilah’ dan ‘Al-Ilahiyyah’, lalu bagaimana jawaban terhadap orang yang memaknakannya dengan ‘Yang Maha Kuasa untuk menciptakan’ atau ungkapan-ungkapan selainnya (dalam makna tauhid rububiyyah)? Jawabannya dari dua sisi:
Pertama: Ucapan ini termasuk dari ucapan yang mubtada’ (diada-adakan) dan tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan demikian. Tidak pula para imam, ulama, dan ahli bahasa sekalipun yang (memaknakan) dengan apa yang kita sebutkan. Sehingga ucapan ini adalah batil.
Kedua: Jika kita menerima makna demikian, maka ini memang salah satu kandungan maknanya dan memang semestinya sesembahan yang benar adalah yang berkuasa menciptakan, atau mengadakan dari yang semula tidak ada menjadi ada. Dan jikalau (sesembahan itu) tidak demikian sifatnya, maka dia bukanlah sesembahan yang benar. Namun bukan berarti bahwa orang yang meyakini bahwa makna Al-Ilah adalah tidak ada yang kuasa menciptakan kecuali Allah, dia telah masuk ke dalam Islam dan telah melakukan sesuatu yang dituju yang menjadi kunci pintu keselamatan (surga). Ini tidak diucapkan oleh seorangpun. Karena ini berkonsekuensi bahwa orang-orang kafir Arab di masa dahulu adalah muslimin. Jika ada sebagian orang belakangan ini menganggap demikian, berarti dia telah salah dan telah dibantah oleh dalil-dalil sam’i (naqli) dan aqli.” (Taisiril ‘Aziz Al-Hamid, hal. 80)
Dari pembahasan ini kita mengetahui bahwa:
1. Memaknakan Laa Ilaha illallah dengan ‘tidak ada yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki kecuali Allah’ adalah makna batil.
2. Kaum musyrikin jahiliyah lebih mengetahui makna Laa Ilaha illallah daripada sebagian kaum muslimin sekarang ini.
3. Kaum musyrikin dahulu meyakini bahwa tidak ada yang menciptakan, mematikan, menghidupkan, memberi rizki, dan mengatur alam ini melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
4. Kaum musyrikin jahiliyah dahulu lebih ringan tingkat penyelewengannya terhadap kalimat Laa Ilaha illallah daripada kaum muslimin yang melakukan kesyirikan di masa sekarang ini, ditinjau dari beberapa sisi:
a. Dahulu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala bila dalam keadaan senang saja. Sedangkan bila mendapatkan malapetaka dan musibah, mereka mengikhlaskan permintaan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun kaum musyrikin (dari kalangan muslimin) sekarang ini, mereka melakukan kesyirikan baik ketika gembira atau mendapatkan ujian dan malapetaka.
b. Dahulu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan pribadi-pribadi yang mulia, seperti para malaikat, para nabi, dan orang-orang shalih, atau dengan sesuatu yang tidak bisa berbuat apa-apa seperti batu atau pohon-pohon. Adapun kaum musyrikin sekarang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan orang-orang yang terkenal kerusakan dan kebejatannya di dalam agama. (Kasyfus Syubhat hal. 59 dan seterusnya)

Kedua: Mengeluarkan keyakinan yang benar dari zat segala sesuatu dan memasukkan keyakinan yang benar hanya kepada Dzat Allah.
Memaknakan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan makna ini adalah batil dari banyak sisi:
1. Bertentangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang membolehkan kita untuk meyakini sesuatu selain tentang Allah, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ

“Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin niscaya kalian akan benar-benar melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin.” (At-Takatsur: 5-7)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلْيُلْغِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى الْيَقِيْنِ، فَإِذَا اسْتَيْقَنَ بِالتَّمَامِ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعَتَا لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ صَلَّى أَرْبَعًا كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila seseorang ragu di dalam shalatnya, maka hendaklah dia berusaha menghilangkan keraguannya dan kemudian dia membangunnya di atas keyakinan. Jika dia benar-benar yakin, hendaklah dia sujud dua kali dalam keadaan duduk. Jika dia ternyata shalat lima rakaat berarti dua sujud itu telah menggenapkan shalatnya, dan jika dia shalat empat rakaat berarti dia telah mengundang kemurkaan setan.”3
2. Menyelisihi apa yang dipahami oleh Salafus Shalih umat ini.
3. Meyakini sesuatu yang tertangkap oleh indera dan bisa terjadi, tidaklah menyelisihi tauhid.

Ketiga: Tidak ada sesembahan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Makna ini adalah batil dan tidak benar secara lahiriah, karena makna ini menafikan kenyataan yang ada dalam hidup. Dalam realita, ada sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala yang disembah oleh hamba-hamba-Nya seperti menyembah kuburan, pohon, tempat keramat, batu-batu, jin-jin, malaikat, para nabi atau para wali.

Dari semua pemaknaan yang batil di atas, kita mengetahui betapa jauhnya sebagian kaum muslimin dari aqidah yang benar dan dari ilmu agama.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Hendaklah diketahui, bahwa kalimat yang agung ini (merupakan prinsip dasar agama Islam dan di atasnya dibangun syariat dan hukum-hukum dan akan terbedakan antara yang halal dan yang haram), merupakan dakwah para rasul dan millah (agama) Ibrahim dan millah Muhammad, yang beliau menyeru umatnya kepadanya dan beliau berjihad di atasnya. Hal ini, karena lafadz kalimat ini sendiri menunjukkan kepada dua perkara, dimana tidak akan terwujud keislaman dan keimanan melainkan dengan keduanya, baik dalam bentuk ilmu, amal dan keyakinan.
(Pertama): Menafikan kesyirikan dalam peribadatan; dan,
(Kedua): Berlepas diri dari kesyirikan dan mengikhlaskan ibadah dalam semua bentuknya. (Mulakhkhas Minhajus Sunnah, hal. 154)
Wallahu a’lam.

1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19, dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma.
2 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 20 dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma.
3 Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud no. 864 dan An-Nasa`i no. 1221

 

Keutamaan Bersiwak


Keutamaan Bersiwak

Bersiwak (membersihkan mulut dengan kayu dari pohon araak) merupakan perbuatan yang sangat disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada beberapa waktu yang sangat dianjurkan oleh syariat untuk kita bersiwak. Bila kita mampu menjalankan ajaran Rasulullah ini Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak hanya mulut kita yang menjadi bersih, namun pahala dan keridhaan Allah pun insya Allah bisa kita raih.

Kata siwak bukan lagi sesuatu yang asing di tengah sebagian kaum muslimin, meskipun sebagian orang awam tidak mengetahuinya disebabkan ketidaktahuan mereka tentang agama. Wallahul musta’an.
Pengertian siwak sendiri bisa kembali pada dua perkara:
Pertama, bermakna alat yaitu kayu/ranting yang digunakan untuk menggosok mulut guna membersihkannya dari kotoran. Asalnya adalah kayu dari pohon araak.
Kedua, bermakna fi’il atau perbuatan yaitu menggosok gigi dengan kayu siwak atau semisalnya untuk menghilangkan warna kuning yang menempel pada gigi dan menghilangkan kotoran, sehingga mulut menjadi bersih dan diperoleh pahala dengannya (Fathul Bari 1/462, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 3/135, Subulus Salam 1/63, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, 1/62).
Dengan demikian, disenangi bersiwak dengan kayu siwak dari araak atau dengan apa saja yang bisa menghilangkan perubahan bau mulut, seperti membersihkan gigi dengan kain perca atau sikat gigi. (Nailul Authar, 1/154)
Namun tentunya bersiwak dengan menggunakan kayu siwak lebih utama. Karena, hal itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditunjukkan dalam hadits-hadits yang berbicara tentang siwak.
Hukum bersiwak ini sunnah –tidak wajib– dalam seluruh keadaan, baik sebelum shalat ataupun selainnya. Dan ini merupakan pendapat yang rajih yang dipegangi oleh penulis. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama, menyelisihi sebagian ulama yang memandang wajibnya perkara ini. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu mengatakan: “Kami tidak mengetahui ada seorang pun yang berpendapat bersiwak itu wajib kecuali Ishaq dan Dawud Azh-Zhahiri.” (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak wa Sunnatul Wudhu).
Dalil tidak wajibnya bersiwak ini diisyaratkan dalam hadits:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ


“Seandainya aku tidak memberati umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.”
Al-Imam Asy-Syafi‘i rahimahullahu mengatakan: “Dalam hadits ini ada dalil bahwa siwak tidaklah wajib. Seseorang diberi pilihan (untuk melakukan atau meninggalkannya, pent.). Karena, jika hukumnya wajib niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan mereka, baik mereka merasa berat ataupun tidak.” (Al-Umm, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak).
Kekhawatiran memberatkan umatnya merupakan sebab yang mencegah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mewajibkan bersiwak ini. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/195)
Bersiwak merupakan ibadah yang tidak banyak membebani, sehingga sepatutnya seorang muslim bersemangat melakukannya dan tidak meninggalkannya. Di samping itu, banyak faedah yang didapatkan berupa kebersihan, kesehatan, menghilangkan aroma yang tak sedap, mewangikan mulut, memperoleh pahala dan mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Taisirul ‘Allam, 1/62)
Banyak sekali hadits yang berbicara tentang siwak sehingga Ibnul Mulaqqin rahimahullahu dalam Al-Badrul Munir mengatakan: “Telah disebutkan dalam masalah siwak lebih dari seratus hadits.” (Subulus Salam, 1/63)
Karena perkara bersiwak ini disenangi oleh Rasul kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah beliau tinggalkan sampai pun menjelang ajalnya, sementara kita diperintah dalam Al-Qur`an untuk menjadikan beliau sebagai qudwah, suri teladan, maka pembahasan tentang siwak tidak patut kita abaikan. Ditambah lagi, bersiwak ini termasuk sunnah wudhu dan termasuk thaharah yang kita dianjurkan untuk melakukannya. Semoga apa yang kami tuliskan ini menjadi ilmu yang bermanfaat dan mudah-mudahan dapat diamalkan oleh kita semua. Amin!

Kesenangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersiwak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian senang bersiwak. Beliau tidak melupakannya sampai pun pada detik-detik menjelang beliau dijemput kembali ke sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. ‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengabarkan:

دَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مُسْنِدَتُهُ إِلَى صَدْرِي، وَمَعَ عَبْدِ الرَّحْمنِ سِوَاكٌ رَطْبٌ يَسْتَنُّ بِهِ، فَأَبَدَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَصَرَهُ، فَأَخَذْتُ السِّوَاكَ فَقَضَمْتُهُ وَطَيَّبْتُهُ، ثُمَّ دَفَعْتُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَنَّ بِهِ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَنَّ اسْتِنَانًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ، فَمَا عَدَا أَنْ فَرَغَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَهُ أَوْ إِصْبَعَهُ ثُمَّ قَالَ: فِي الرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى -ثَلاَثًا- ثُمَّ قَضَى


‘Abdurrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhuma masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan dadaku menjadi tempat sandaran beliau. ‘Abdurrahman membawa siwak yang masih basah yang dipakainya untuk bersiwak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat pandangan mata beliau, melihat siwak itu. Aku pun mengambil siwak tersebut lalu mematahkan ujungnya (dengan ujung gigi) serta memperbaikinya dan membersihkannya, kemudian aku berikan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau kemudian bersiwak dengannya. Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak sebagus yang kulihat kali itu. Tidak berapa lama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari bersiwak, beliau mengangkat tangannya atau jarinya kemudian berkata: “Pada teman-teman yang tinggi (Ar-Rafiqil A‘la)1.” Lalu beliau pun wafat. (HR. Al-Bukhari no. 890, 4438)
Dalam satu lafadz, ‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan:

فَرَأَيْتُهُ يَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَعَرَفْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ السِّوَاكَ. فَقُلْتُ: آخِذُهُ لَكَ؟ فَأَشَارَ بِرَأْسِهِ أَنْ نَعَمْ


Aku melihat beliau memandangi siwak tersebut dan aku tahu beliau menyukai bersiwak. Maka aku katakan: “Apakah aku boleh mengambilkannya untukmu?” Beliau mengisyaratkan “iya”, dengan kepala beliau (mengangguk untuk mengiyakan/sebagai persetujuan). (HR. Al-Bukhari no. 4449)2

Bersiwak Membersihkan Mulut dan Diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala
‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

السِّوَاكُ مُطَهَّرَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb.” (HR. Ahmad, 6/47,62, 124, 238, An-Nasa`i no. 5 dan selainnya. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Misykat no. 381, Irwa`ul Ghalil no. 65)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma juga mengabarkan hal yang senada dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ فَإِنَّهُ مَطْيَبَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى


“Seharusnya bagi kalian untuk bersiwak. Karena dengan bersiwak akan membaikkan (membersihkan) mulut, diridhai oleh Ar-Rabb tabaraka wa ta’ala.” (HR. Ahmad 2/109, lihat Ash-Shahihah no. 2517)

Waktu-waktu Disunnahkannya Bersiwak
Bersiwak adalah sunnah (mustahab) dalam seluruh waktu. Namun ada lima waktu yang lebih ditekankan bagi kita untuk melakukannya (Al-Minhaj 1/135, Al-Majmu‘ 1/328, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/225). Waktu-waktu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Setiap akan shalat dan wudhu
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ

“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Ahmad 2/400, Malik dalam Al-Muwaththa` no. 143 dengan Syarh Az-Zarqani. Disebutkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil no. 70)
Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 887) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 588) juga mengeluarkan hadits di atas, hanya saja lafadz akhirnya adalah: مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ (setiap kali hendak mengerjakan shalat). Selengkapnya adalah:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ


“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali setiap kali hendak mengerjakan shalat.”
Permasalahan disunnahkannya bersiwak ketika hendak shalat dan berwudhu ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat. Di antaranya Abu Hurairah, Zaid bin Khalid, ‘Ali bin Abi Thalib, Al-’Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu ‘Umar, Abdullah bin Hanzhalah, dan selain mereka radhiyallahu 'anhum ajma’in. (Sunan At-Tirmidzi, kitab Ath-Thaharah, bab Maa Ja’a fis Siwak)
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu berkata: “Rahasia dianjurkannya kita bersiwak saat hendak shalat adalah kita diperintahkan dalam setiap keadaan taqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk berada dalam kesempurnaan dan kebersihan, dalam rangka menampakkan kemuliaan ibadah.”
Ada pula yang berpendapat bahwa perkaranya berkaitan dengan malaikat. Karena malaikat akan terganggu dengan aroma tidak sedap yang keluar dari mulut seseorang. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)

2. Ketika masuk rumah
Syuraih bin Hani` pernah bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:

بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ؟ قَالَتْ: بِالسِّوَاكِ


“Apa yang mulai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan apabila beliau masuk rumah?” Aisyah menjawab: ‘Beliau mulai dengan bersiwak’.” (HR. Muslim no. 589)

3. Saat bangun tidur di waktu malam
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ


“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bangun di waktu malam beliau menggosok mulutnya dengan siwak.” (HR. Al-Bukhari no. 245, 889, 1136 dan Muslim no. 592, 594)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma mengabarkan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَنَامُ إِلاَّ وَالسِّوَاكُ عِنْدَهُ، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah tidur melainkan siwak berada di sisi beliau. Bila terbangun dari tidur, beliau mulai dengan bersiwak.” (HR. Ahmad 2/117, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih 1/503)
Alasan disenanginya bersiwak pada saat seperti ini, kata Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu, adalah karena tidur menyebabkan berubahnya bau mulut. Sedangkan siwak merupakan alat untuk membersihkan mulut. Sehingga disunnahkan bersiwak tatkala terjadi perubahan bau mulut. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)
Dalam hal ini sama saja, baik bangunnya untuk mengerjakan shalat atau tidak. ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:

قُمْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَدَأَ فَاسْتَاكَ ثُمَّ تَوَضَّأَ، ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي وَقُمْتُ مَعَهُ
...

“Aku pernah bangkit bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau mulai bersiwak. Setelah itu beliau berwudhu. Kemudian beliau bangkit untuk mengerjakan shalat dan aku pun bangkit bersama beliau…” (HR. Ahmad 6/24, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih 1/503,504)

4. Ketika hendak membaca Al-Qur`an
Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

السِّوَاكُ مَطَهَّرَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِ

“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb.” (HR. Ahmad 6/47,62, 124, 238, An-Nasa`i no. 5 dan selainnya. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkannya dalam Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Misykat no. 381, Irwa`ul Ghalil no. 65)
Sementara membaca Al-Qur`an tentunya menggunakan mulut.

5. Saat bau mulut berubah
Perubahan bau mulut bisa terjadi karena beberapa hal. Di antaranya: karena tidak makan dan minum, karena memakan makanan yang memiliki aroma menusuk/tidak sedap, diam yang lama/tidak membuka mulut untuk berbicara, banyak berbicara dan bisa juga karena lapar yang sangat, demikian pula bangun dari tidur. (Al-Hawil Kabir 1/85, Al-Minhaj, 1/135)

Bersungguh-sungguh dalam Bersiwak
Ketika seseorang bersiwak, hendaklah ia melakukannya dengan sungguh-sungguh, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Musa Al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَسْتَاكُ بِسِوَاكٍ رَطْبٍ. قَالَ: وَطَرَفُ السِّوَاكِ عَلَى لِسَانِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ: أُعْ، أُعْ. وَالسِّوَاكُ فِي فِيْهِ كَأَنَّهُ بَتَهَوَّعُ

“Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu beliau sedang bersiwak dengan siwak basah. Ujung siwak itu di atas lidah beliau dan beliau mengatakan “o’, o’3" sedangkan siwak di dalam mulut beliau, seakan-akan beliau hendak muntah.” (HR. Al-Bukhari no. 244 dan Muslim no. 591)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam bersiwak, sampai-sampai hendak muntah karenanya. Selain itu, menunjukkan disenanginya bersiwak menggunakan siwak yang basah sebagaimana dalam hadits Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu 'anha yang telah lewat tentang bersiwaknya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafatnya. Di samping itu, hadits ini menunjukkan bahwa selain digunakan untuk membersihkan gigi, siwak dapat pula digunakan untuk membersihkan lidah. (Fathul Bari 1/463, Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)

Cara Bersiwak
Kata Al-Imam Al-Mawardi rahimahullahu, disenangi menggunakan siwak secara melintang ketika menggosok permukaan gigi dan bagian dalamnya. Dan siwak dijalankan di atas ujung-ujung gigi dan pangkal gigi geraham agar semuanya bersih dari kotoran warna kuning dan perubahan bau yang ada. Dijalankan pula di atas langit-langit dengan perlahan untuk menghilangkan bau yang ada. (Al-Hawil Kabir, 1/85)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan tentang permasalahan cara menggunakan siwak, apakah memanjang atau melintang: “Memungkinkan untuk dikatakan: cara penggunaannya kembali kepada apa yang dituntut oleh keadaan. Apabila keadaan menuntut untuk bersiwak dengan memanjang, maka dilakukan dengan memanjang. Apabila keadaan menuntut untuk bersiwak dengan melintang, maka dilakukan dengan melintang. Karena tidak adanya sunnah yang jelas dalam hal ini.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/105)

Bersiwak dengan Tangan Kanan atau Tangan Kiri?
Manakah yang lebih utama bersiwak dengan menggunakan tangan kanan atau tangan kiri?
Zainuddin Abul Fadhl Abdurrahim bin Al-Husain Al-‘Iraqi rahimahullahu berkata: “Sebagian orang belakangan dari kalangan Hanabilah yang pernah aku lihat menyebutkan bahwa ia bersiwak dengan tangan kanannya. Karena terdapat dalam sebagian jalan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha yang masyhur bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mendahulukan yang kanan ketika menyisir rambutnya, mengenakan sandal, bersuci, dan bersiwak.4
Saya sendiri pernah mendengar dari sebagian guru kami dari kalangan Syafi’iyyah bahwa perkaranya dibangun di atas permasalahan apakah siwak itu termasuk bab tath-hir (pensucian) dan tathyib (mewangi-wangikan), atau termasuk bab menghilangkan kotoran? Bila kita menganggapnya termasuk bab tath-hir dan tathyib maka disenangi menggunakan siwak dengan tangan kanan. Namun bila kita menganggapnya termasuk bab menghilangkan kotoran, maka disenangi menggunakannya dengan tangan kiri. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha yang menyatakan bahwa tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kanan beliau gunakan untuk bersuci dan untuk makan, sedangkan tangan kiri beliau gunakan untuk cebok dan untuk perkara yang bersentuhan dengan kotoran. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih.5 Abu Dawud meriwayatkan pula dari hadits Hafshah bintu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma:

كَانَ يَجْعَلُ يَمِيْنَهُ لِطَعَامِهِ وَشَرَابِهِ وَثِيَابِهِ، وَيَجْعَلُ شِمَالَهُ لِمَا سِوَى ذلِكَ


“Beliau menggunakan tangan kanan beliau untuk makannya, minumnya dan berpakaiannya. Sedangkan tangan kiri beliau gunakan untuk selain itu.”6
Namun sebenarnya dalil yang dijadikan sandaran oleh kalangan Hanabilah tersebut7 tidaklah mendukung pendapatnya (yaitu bersiwak menggunakan tangan kanan). Karena yang dimaukan dengan hadits tersebut adalah memulai bagian/belahan kanan dalam bersisir, memulai kaki kanan dalam memakai sandal, memulai dengan anggota kanan dalam bersuci/wudhu, memulai dengan sisi yang kanan dari mulut dalam bersiwak sebagaimana telah lewat. Adapun bila dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan tangan kanannya untuk melakukan hal itu, maka hal ini butuh penukilan (riwayat). Yang dzahir, bersiwak termasuk bab menghilangkan kotoran sebagaimana menghilangkan ingus dan semisalnya, maka dilakukan dengan tangan kiri.
Abul ‘Abbas Al-Qurthubi dari kalangan Malikiyyah secara jelas menyatakan pendapat ini. Beliau berkata dalam Al-Mufhim menghikayatkan dari Al-Imam Malik: “Tidak boleh bersiwak dalam masjid karena bersiwak termasuk menghilangkan kotoran. Wallahu a‘lam.” (Tharhut Tatsrib 1/233)
Namun larangan bersiwak dalam masjid ini tidak ada dalilnya, sehingga boleh dilakukan di dalam maupun di luar masjid bila memang diperlukan, berdasarkan keumuman hadits:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali setiap kali hendak mengerjakan shalat.”
Namun, sepantasnya seseorang tidak berlebih-lebihan dalam melakukannya, hingga sampai pada tingkat hendak muntah padahal berada di masjid. Karena khawatir dia akan muntah atau mengeluarkan darah sehingga mengotori masjid. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta`, no. 2432, 5/128)
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan disenanginya tayammun (mendahulukan bagian yang kanan) dalam bersiwak dan disenangi mencuci siwak dengan air untuk menghilangkan kotoran yang mungkin menempel padanya. Sebagaimana ‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengabarkan:

كَانَ نَبْيُّ اللهِ صَلىَّ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ فَيُعْطِيْنِي السِّوَاكَ لأَغْسِلَهُ، فَأَبْدَأُ بِهِ فَأَسْتاَكُ ثُمَّ أَغْسِلُهُ، ثُمَّ أَدْفَعُهُ إِلَيْهِ

“Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersiwak, lalu memberiku siwak tersebut untuk kucuci. Lalu aku menggunakannya untuk bersiwak, kemudian mencucinya, setelahnya menyerahkannya kepada beliau8.” (HR. Abu Dawud no. 52). (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Al-Istiyak ‘alal Asnan wal Lisan)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Ulama berbeda pendapat, apakah bersiwak dilakukan dengan tangan kanan atau tangan kiri. Sebagian mereka mengatakan: dengan tangan kanan, karena siwak itu sunnah. Sementara sunnah merupakan ketaatan dan amalan qurbah (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan demikian bersiwak tidak dilakukan dengan tangan kiri, karena tangan kiri itu digunakan untuk menghilangkan kotoran, berdasarkan kaidah bahwa tangan kiri digunakan untuk kotoran sedangkan tangan kanan untuk yang selainnya. Apabila siwak ini dianggap ibadah maka asalnya dilakukan dengan tangan kanan.
Ulama yang lain mengatakan: ‘Bersiwak menggunakan tangan kiri lebih utama.’ Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab ini (Hanabilah). Karena siwak itu untuk menghilangkan kotoran, sedangkan menghilangkan kotoran dilakukan dengan tangan kiri seperti halnya istinja` (cebok) dan istijmar (bersuci dengan menggunakan batu).
Sebagian Malikiyyah berkata: “Dalam hal ini dirinci. Bila ia bersiwak untuk mensucikan mulut sebagaimana bila ia bangun dari tidurnya atau menghilangkan makanan yang tersisa maka dia bersiwak dengan tangan kiri, karena berkaitan dengan menghilangkan kotoran. Bila ia bersiwak untuk memperoleh amalan sunnah maka dilakukan dengan tangan kanan, karena ia bersiwak dengan tujuan untuk melakukan qurbah (mendekatkan diri pada Allah), sebagaimana bila ia baru saja berwudhu dan ia bersiwak ketika wudhu, kemudian ia hendak mengerjakan shalat. Maka ia bersiwak untuk memperoleh pahala amalan sunnah.
(Namun yang benar, pent.) perkaranya lapang dan tidak dibatasi, karena tidak adanya nash yang jelas yang menetapkannya.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/105)

Boleh Bersiwak saat Berpuasa
Dalam hal ini ada hadits dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لاَ أُحْصِي يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa kali yang tidak bisa aku hitung, beliau bersiwak dalam keadaan beliau puasa.”
Namun hadits yang diriwayatkan oleh Ar-Tirmidzi, Abu Dawud dan lain-lainnya ini dha’if/lemah, karena adanya perawi yang lemah sebagaimana dijelaskan dalam Irwa`ul Ghalil (hadits no. 68). Karena dha’if, berarti hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai sandaran/hujjah.
Sehingga permasalahan bolehnya bersiwak ketika sedang puasa, kembali kepada dalil-dalil yang umum. Seperti hadits yang berisi anjuran untuk bersiwak ketika hendak shalat dan saat berwudhu.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu menyatakan: “Al-Imam Asy-Syafi’i berpandangan bahwa tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak pada awal dan akhir siang. Sementara Al-Imam Ahmad dan Ishaq memakruhkannya bila dilakukan di akhir siang.” (Sunan At-Tirmidzi, kitab Ash-Shaum, bab Ma Ja’a fis Siwak lish-Sha`im)
Di antara yang berpendapat disunnahkannya bersiwak secara mutlak, saat puasa ataupun tidak, adalah Abu Hanifah dan Malik. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah. Dan pendapat ini yang penulis rajihkan. Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Yang benar adalah disunnahkan siwak bagi orang yang puasa, baik di awal siang ataupun di akhirnya. Ini merupakan madzhab jumhur.” (Nailul Authar, 1/159)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Isyarat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا


“Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka mereka itu bersama orang-orang yang Allah berikan kenikmatan kepada mereka dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itu adalah sebaik-baik teman.” (An-Nisa`: 69)
2 Hadits di atas menunjukkan beberapa hal:
- Disenanginya menggunakan siwak yang basah
- Sebelum digunakan sebaiknya siwak diperbaiki/dibaguskan terlebih dahulu
- Boleh menggunakan siwak milik orang lain setelah dibersihkan
- Boleh bersiwak di hadapan orang lain, yakni bersiwak bukan perkara yang harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Seorang pemimpin/tokoh tidaklah tercela bila melakukannya di hadapan orang yang dipimpinnya/bawahannya sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang rasul/imam dan pimpinan umat melakukannya di hadapan ‘Abdurrahman bin Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhuma (Ihkamul Ahkam, kitab Thaharah, bab As-Siwak, Fathul Bari 1/464 )
3 Yakni mengeluarkan suara seperti orang yang hendak muntah, karena bersungguh-sungguhnya beliau bersiwak. (Fathul Bari, 1/463)
4 Haditsnya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, namun tanpa penyebutan bersiwak, tambahan ini ada dalam riwayat Abu Dawud, no. 4140
5 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih, 1/348
6 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ Ash-Shaghir, 2/4912
7Yaitu hadits yang menyatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mendahulukan yang kanan ketika menyisir rambutnya, mengenakan sandal, bersucinya, dan bersiwaknya.
8 Dalam ‘Aunul Ma‘bud Syarah Abi Dawud disebutkan: “Setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan siwak untuk membersihkan mulutnya, beliau menyerahkan kepada ‘Aisyah untuk dihilangkan kotoran yang mungkin menempel pada siwak tersebut agar tabiat itu tidak merasa jijik untuk menggunakannya pada kali yang lain. ‘Aisyah pun menyatakan: “Aku mencucinya”, yakni mencuci siwak tersebut untuk mengharumkan dan membersihkannya. “Aku menggunakannya”, kata ‘Aisyah, yakni memakai siwak tersebut pada mulutku sebelum dicuci agar mendapatkan barakah mulut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”. (Kitab Ath-Thaharah, bab Ghaslus Siwak)