Mengapa Rasulullah Muhammad Begitu dibela Umatnya?

Mengapa Rasulullah Muhammad Begitu dibela Umatnya?

Pelecehan terhadap Nabi rupanya tak berhenti. Menteri Italia Roberto Calderoli, juga memakai kaos bergambar kartun Nabi Muhammad. Tapi mengapa umat Islam selalu membela Muhammad?
 

 
Rasulullah Muhammad saw., sosok yang amat dihormati kaum muslimin, tauladan yang paling ideal bagi setiap pribadi mukmin, perkataan dan perbuatan beliau terekam dalam lembaran-lembaran kitab, dengan menyertakan sanad dan rawi tsiqah yang menjaganya dari kedustaan. Sehingga, walau sudah 14 abad lebih jarak kita dengan Rasulullah saw. tapi kita masih bisa menelaah dan menghayati kalimat demi kalimat yang pernah beliau tuturkan.

Perkataan, perbuatan serta persetujuan Rasulullah saw, sendiri memiliki posisi yang amat tinggi dalam Islam, ia adalah sumber kedua setelah Kitabullah. Dan dalam penyampaiannya pun ada adab-adab tertentu yang harus dipegang oleh seorang muhadits, sebagaimana disebutkan Imam Adzahabi, bahwa Imam Malik mandi terlebih dahulu, memakai wangi-wangian serta mengenakan pakaian yang bagus ketika hendak menyampaikan hadist (Al Muqidzoh, hal. 67).

Bahkan Allah telah berfirman: "Diri Nabi lebih berharga daripada jiwa-jiwa orang mukmin." (Al Ahzab: 6). Dan diriwayatkan bahwa Umar ra. berkata kepada Rasulullah saw., "wahai Rasulullah, demi Allah benar-benar engkau yang paling aku cintai, melebihi cintaku terhadap segala sesuatu, kecuali terhadap diriku sendiri". Maka bersabdalah Rasulullah: "Tidak wahai Umar, sehingga engkau mencintai aku lebih dari cintamu terhadap dirimu sendiri". Lalu berkatalah Umar ra: "Demi Allah wahai Rasulullah, benar-benar engkau yang paling aku cintai terhadap segala sesuatu hingga terhadap diriku sendiri." Maka berkatlah Rasulullah saw: "Sekarang wahai Umar". (HR. Bukhari)


Penghinaan dan Ideologi Kebebasan
Umat Islam di seluruh penjuru dunia tiba-tiba terperangah, ketika ada tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab merendahkan kedudukan beliau dengan memvisualkan nya dalam bentuk karikatur melecehkan yang dipublikasikan Jyllan Posten, sebuah media massa yang diterbitkan di Denmark, kemudian dipublikasikan ulang oleh media-media di Jerman, Belanda, Itali, bahkan Rakyat Merdeka pun tidak mau kalah.
Dan yang amat menyakitkan lagi, pihak-pihak yang bersangkutan ada yang merasa tidak bersalah serta tidak mau meminta ma'af dan pemerintahnya enggan menindak para pelakunya, dengan alasan yang cukup praktis, bahwa hal itu menyangkut kebebasan berekspresi.

Kebebasan bagi Barat seakan-akan wahyu yang tidak boleh disentuh, tidak boleh dikritik, bahkan ideologi ini bisa mengalahkan wahyu-wahyu yang sebenarnya. Tidak sebatas itu, pihak Barat -sebagai bangsa-bangsa yang berkuasa- telah mengampanyekan ideologi ini -salah satunya- melalui jalur-jalur LSM dan mulai memaksakan paham kebebasan ini kapada negeri-negeri muslim serta menggunakannya sebagai senjata untuk menghadang berlakunya syari'at Islam.

Sikap congkak dan arogan yang dimiliki "kaum pemuka" yang hidup di zaman ini tidaklah berbeda dengan sikap "kaum pembesar" kafir ketika berhadapan dengan risalah yang dibawa para rasul.
Muhammad Qutub mengajak kita merenungi ayat-ayat Allah tentang reaksi para penguasa dan pembesar kaum-kaum terdahulu terhadap para rasul yang diutus untuk mereka, dalam Dirasat Qur'aniyah, hal 107 dia menukil:

"Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku, sembahlah Allah sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa ditimpa azab hari kiamat". Para pemuka dari kaumnya berkata: "Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata."(Al A'raf: 59,60)

"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata:"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya?" Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: "Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta." (Al A'raf: 65,66)
 
Perilaku yang serupa, juga ada pada kaum Tsamud dan penduduk Madyan,
 
Di setiap masyarakat jahiliyah selalu ditemukan "pemuka", mereka adalah para pemimpin, bangsawan bagi hamba-hamba yang mentaatinya. Di masyarakat jahiliyah merekalah yang "memiliki" dan "menghukumi". Yang membangun 'syari'at' dari hasil pemikiran mereka, untuk menjaga pengaruh dan kekekuasaanya terhadap para "hamba".

Dengan kekuasaan dan kemapanan yang dimiliki mereka mengadakan pemaksaan kapada yang lemah agar selalu tunduk terhadap paham dan hegemoni mereka.
Propaganda terus-menerus mereka lancarkan dengan segala sarana yang dimiliki, sebagai jalan utnuk mempertahankan kekuasaan serta memendung arus dakwah tauhid. Pendek kata, semua harus memiliki keyakinan sama dengan mereka, pandangan yang sama, hukum yang sama, jika tidak mereka tidak segan-segan untuk mengancam, memerangi, mengembargo, atau bahkan membasmi mereka yang enggan untuk tunduk.

Sesungguhnya loyalitas, tunduk dan taat hanyalah kepada Allah semata. Akan tetapi para "pemuka" ini menghandaki bahwa loyalitas hanyalah kepada mereka saja, dan taat hanya kepada mereka semata.
La ilaha ilallah bermakna bahwa sesunggunya kekuasaan hanyalah milik Allah, dan sesungguhnya yang berhak menghukumi hanyalah Allah, yang menghalalkan dan mengharamkan, menilai baik atau buruk, membolehkan dan melarang hanyalah Allah. Akan tetap para "pemuka" ini menginginkan bahwa kekuasaan itu ada dalam genggaman tangan mereka, dan hanya mereka yang boleh menghukumi, sarta menghalalkan dan mengharamkan dengan cara mereka sendiri.

Walhasil, umat Rasulullah saw. saat ini juga sedang menghadapi "para pemuka" bumi yang berusaha memaksakan kehendaknya. Menghadang dakwah tauhid yang mereka serukan. Menekan kaum lemah dengan berbagai cara agar tunduk di bawah kekuasaan mereka.
"Pemuka-pemuka" yang menghendaki agar umat Islam mengikuti apa saja yang mereka putuskan tanpa perlu mereka menyanggah atau bertanya. Para "pemuka" yang siap membelanjakan harta mereka untuk menyebarkan ideologi dan 'syari'at' versi mereka, sampai umat tunduk dan 'sujud' dibawah telapak kaki mereka dengan lebel "kebebasan".
 
Bahkan, jika perlu, mereka akan menghalalkan segala cara, diantaranya, termasuk melakukan image kepada sosok Muhammad, simbol kecintaan umat Islam seluruh dunia, sebagaimana baru-baru ini terjadi.
Sayangnya, para kaum 'pemuka', tak menyadari, begitu tinggi kedudukan Muhammad di mata umatnya, bahkan Allah SWT saja, sang Penguasa dan Pencipta Alam raya ini bersolawat padanya.
Dalam  Firmannya: "Sesungguhnya Allah beserta para malaikatnya bersholawat untuk nabi, wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (Al Ahzab: 56).
 
Karena itu, kecintaan umat Islam di seluruh dunia terhadap agama ini dan kepada junjungannya bernama Muhammad, tak akan runtuh dengan cara apapun. Sebaliknya, cara-cara yang tidak elegan, termasuk dengan pelecehan dan penghinaan seperti itu, justru menjadi bumerang baru sebagai bukti pembelaan bagi kaumnya.


Pelecehan terhadap Nabi rupanya tak berhenti. Menteri Italia Roberto Calderoli, juga memakai kaos bergambar kartun Nabi Muhammad. Tapi mengapa umat Islam selalu membela Muhammad?
 

 
Rasulullah Muhammad saw., sosok yang amat dihormati kaum muslimin, tauladan yang paling ideal bagi setiap pribadi mukmin, perkataan dan perbuatan beliau terekam dalam lembaran-lembaran kitab, dengan menyertakan sanad dan rawi tsiqah yang menjaganya dari kedustaan. Sehingga, walau sudah 14 abad lebih jarak kita dengan Rasulullah saw. tapi kita masih bisa menelaah dan menghayati kalimat demi kalimat yang pernah beliau tuturkan.

Perkataan, perbuatan serta persetujuan Rasulullah saw, sendiri memiliki posisi yang amat tinggi dalam Islam, ia adalah sumber kedua setelah Kitabullah. Dan dalam penyampaiannya pun ada adab-adab tertentu yang harus dipegang oleh seorang muhadits, sebagaimana disebutkan Imam Adzahabi, bahwa Imam Malik mandi terlebih dahulu, memakai wangi-wangian serta mengenakan pakaian yang bagus ketika hendak menyampaikan hadist (Al Muqidzoh, hal. 67).

Bahkan Allah telah berfirman: "Diri Nabi lebih berharga daripada jiwa-jiwa orang mukmin." (Al Ahzab: 6). Dan diriwayatkan bahwa Umar ra. berkata kepada Rasulullah saw., "wahai Rasulullah, demi Allah benar-benar engkau yang paling aku cintai, melebihi cintaku terhadap segala sesuatu, kecuali terhadap diriku sendiri". Maka bersabdalah Rasulullah: "Tidak wahai Umar, sehingga engkau mencintai aku lebih dari cintamu terhadap dirimu sendiri". Lalu berkatalah Umar ra: "Demi Allah wahai Rasulullah, benar-benar engkau yang paling aku cintai terhadap segala sesuatu hingga terhadap diriku sendiri." Maka berkatlah Rasulullah saw: "Sekarang wahai Umar". (HR. Bukhari)


Penghinaan dan Ideologi Kebebasan
Umat Islam di seluruh penjuru dunia tiba-tiba terperangah, ketika ada tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab merendahkan kedudukan beliau dengan memvisualkan nya dalam bentuk karikatur melecehkan yang dipublikasikan Jyllan Posten, sebuah media massa yang diterbitkan di Denmark, kemudian dipublikasikan ulang oleh media-media di Jerman, Belanda, Itali, bahkan Rakyat Merdeka pun tidak mau kalah.
Dan yang amat menyakitkan lagi, pihak-pihak yang bersangkutan ada yang merasa tidak bersalah serta tidak mau meminta ma'af dan pemerintahnya enggan menindak para pelakunya, dengan alasan yang cukup praktis, bahwa hal itu menyangkut kebebasan berekspresi.

Kebebasan bagi Barat seakan-akan wahyu yang tidak boleh disentuh, tidak boleh dikritik, bahkan ideologi ini bisa mengalahkan wahyu-wahyu yang sebenarnya. Tidak sebatas itu, pihak Barat -sebagai bangsa-bangsa yang berkuasa- telah mengampanyekan ideologi ini -salah satunya- melalui jalur-jalur LSM dan mulai memaksakan paham kebebasan ini kapada negeri-negeri muslim serta menggunakannya sebagai senjata untuk menghadang berlakunya syari'at Islam.

Sikap congkak dan arogan yang dimiliki "kaum pemuka" yang hidup di zaman ini tidaklah berbeda dengan sikap "kaum pembesar" kafir ketika berhadapan dengan risalah yang dibawa para rasul.
Muhammad Qutub mengajak kita merenungi ayat-ayat Allah tentang reaksi para penguasa dan pembesar kaum-kaum terdahulu terhadap para rasul yang diutus untuk mereka, dalam Dirasat Qur'aniyah, hal 107 dia menukil:

"Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku, sembahlah Allah sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa ditimpa azab hari kiamat". Para pemuka dari kaumnya berkata: "Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata."(Al A'raf: 59,60)

"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata:"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya?" Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: "Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta." (Al A'raf: 65,66)
 
Perilaku yang serupa, juga ada pada kaum Tsamud dan penduduk Madyan,
 
Di setiap masyarakat jahiliyah selalu ditemukan "pemuka", mereka adalah para pemimpin, bangsawan bagi hamba-hamba yang mentaatinya. Di masyarakat jahiliyah merekalah yang "memiliki" dan "menghukumi". Yang membangun 'syari'at' dari hasil pemikiran mereka, untuk menjaga pengaruh dan kekekuasaanya terhadap para "hamba".

Dengan kekuasaan dan kemapanan yang dimiliki mereka mengadakan pemaksaan kapada yang lemah agar selalu tunduk terhadap paham dan hegemoni mereka.
Propaganda terus-menerus mereka lancarkan dengan segala sarana yang dimiliki, sebagai jalan utnuk mempertahankan kekuasaan serta memendung arus dakwah tauhid. Pendek kata, semua harus memiliki keyakinan sama dengan mereka, pandangan yang sama, hukum yang sama, jika tidak mereka tidak segan-segan untuk mengancam, memerangi, mengembargo, atau bahkan membasmi mereka yang enggan untuk tunduk.

Sesungguhnya loyalitas, tunduk dan taat hanyalah kepada Allah semata. Akan tetapi para "pemuka" ini menghandaki bahwa loyalitas hanyalah kepada mereka saja, dan taat hanya kepada mereka semata.
La ilaha ilallah bermakna bahwa sesunggunya kekuasaan hanyalah milik Allah, dan sesungguhnya yang berhak menghukumi hanyalah Allah, yang menghalalkan dan mengharamkan, menilai baik atau buruk, membolehkan dan melarang hanyalah Allah. Akan tetap para "pemuka" ini menginginkan bahwa kekuasaan itu ada dalam genggaman tangan mereka, dan hanya mereka yang boleh menghukumi, sarta menghalalkan dan mengharamkan dengan cara mereka sendiri.

Walhasil, umat Rasulullah saw. saat ini juga sedang menghadapi "para pemuka" bumi yang berusaha memaksakan kehendaknya. Menghadang dakwah tauhid yang mereka serukan. Menekan kaum lemah dengan berbagai cara agar tunduk di bawah kekuasaan mereka.
"Pemuka-pemuka" yang menghendaki agar umat Islam mengikuti apa saja yang mereka putuskan tanpa perlu mereka menyanggah atau bertanya. Para "pemuka" yang siap membelanjakan harta mereka untuk menyebarkan ideologi dan 'syari'at' versi mereka, sampai umat tunduk dan 'sujud' dibawah telapak kaki mereka dengan lebel "kebebasan".
 
Bahkan, jika perlu, mereka akan menghalalkan segala cara, diantaranya, termasuk melakukan image kepada sosok Muhammad, simbol kecintaan umat Islam seluruh dunia, sebagaimana baru-baru ini terjadi.
Sayangnya, para kaum 'pemuka', tak menyadari, begitu tinggi kedudukan Muhammad di mata umatnya, bahkan Allah SWT saja, sang Penguasa dan Pencipta Alam raya ini bersolawat padanya.
Dalam  Firmannya: "Sesungguhnya Allah beserta para malaikatnya bersholawat untuk nabi, wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (Al Ahzab: 56).
 
Karena itu, kecintaan umat Islam di seluruh dunia terhadap agama ini dan kepada junjungannya bernama Muhammad, tak akan runtuh dengan cara apapun. Sebaliknya, cara-cara yang tidak elegan, termasuk dengan pelecehan dan penghinaan seperti itu, justru menjadi bumerang baru sebagai bukti pembelaan bagi kaumnya.

10 Pembatal Keislaman


10 Pembatal Keislaman
 

Diantara 10 perkara yang bisa membatalkan seseorang dari keislaman adalah; syirik, tidak mengkafirkan orang musyrik, memperolok-olok agama Allah, sayang pada orang kafir dan memusuhi saudara Islam Banyak orang mengira, setelah mengucapkan dua kalimah Syahadat predikat “Islam” langsung bersandar pada seseorang. Padahal, predikat itu bisa hilang alias batal jika tidak berhati-hati dalam menjaga amalan dalam hidupnya.

Di bawah ini ada 10 amalan yang bisa menjadikannya pembatal keislaman seseorang;

Syirik dalam beribadah kepada Allah SWT

Syirik adalah termasuk dosa besar. Karena dia menyamakan Allah (sebagai khalik) dengan manusia atau benda (sebagai makhluk). Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan Dia dengan sesuatu, dan mengampuni dosa-dosa lainnya bagi yang Dia kehendaki.” (An-Nisa’: 116)

Menjadikan suatu benda (makluk) sebagai perantara antara dirinya dengan Tuhannya

Orang-orang seperti ini, biasanya selalu menempatkan benda-benda atau makhluk ciptaan Allah sebagai perantara antara dirinya dengan Allah. Misalnya dengan berdo’a atau memohon ampun dan meminta syafaat melalui benda itu. Baik melalui benda mati atau benda hidup. Termasuk manusia atau hewan sekalipun. Meminta kaya dengan keris atau jimat. Meminta diberi panjang umur, cepat mendapat jodoh melalui makam-makan orang yang sudah mati.

Di beberapa kota di Indonesia, bahkan dikenal adat berebut kotoran hewan atau berebut air bekas cucian keris warisan raja-raja agar mendapatkan barakah. Perbuatan seperti ini sama halnya menundukkan benda setara dengan Tuhannya. Sikap seperti ini merupakan salah satu pembatal keislaman.

Tidak mengkafirkan orang musyrik dan membenarkan madzab mereka.

Sikap Islam sudah jelas, orang musyrik adalah kafir. Sayangnya, perkembangan dunia sekarang ini justru terbalik. Hanya karena ingin sebutan kaum moderat atau entah karena kedekatan hubungan, sebagian kalangan Islam segan menyebut istilah musyrik dan kafir bagi orang yang keluar dari Islam. Sikap seperti ini merupakan salah satu pembatal keislaman.

Lebih mengutamakan hukum thoghut daripada hukum Allah dan petunjuk RasulNya

Saydina Umar al-Khattab mengatakan, taghut adalah syaitan. Jabir menjelaskan bahwa taghut itu adalah tukang-tukang tenung yang turun padanya syaitan-syaitan. Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi, taghut ialah setiap apa yang melampaui oleh seseorang hamba di dalam penyembahan, ikut dan taat, pada hukum selain yang diperintahkan dalam kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Siapa yang berhukum kepada taghut mereka kufur dengannya.

Imam Malik berkata, taghut ialah apa yg disembah selain Allah SWT.

Tidak menyukai, bahkan membenci sunnah Rasulullah SAW

Allah berfirman, Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan keridhaanNya; sebab itulah Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.”

Mengejek atau memperolok dinullah (agama Allah), al-Islam, baik menyangkut pahala-Nya atau tentang berbagai ketentuan hukum-Nya

Kasus seperti ini sering terjadi. Entah bagi orang yang tidak mengerti agama atau yang mengenal sekalipun. Belakangan, sifat seperti itu justru terjadi pada orang-orang yang mengenal ilmu agama secara baik. Kebanyakan, orang-orang seperti ini adalah orang yang tidak memilik rasa percaya diri (PD) pada agamanya.

Karena bernafsu agar orang lain menyebutnya pluralisme atau eklusif, terkadang untuk agamanya sendiri mereka main-main dan memperolokkannya. Bahkan kalau perlu menjual agamanya demi kedekatan dengan orang lain yang sudah jelas berbeda agama dan hukum-hukumnya. Perlakuan seperti ini sudah membatalkan keislaman.

Allah berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” “Tidak usah kamu minta maaf, karena kafir sesudah beriman...” (QS. At-Taubah: 65-66).

Mempelajari, terpikat dan mengamalkan ilmu sihir (guna-guna)

Amalan seperti adalah amalan yang paling dibenci Allah. Karena itu dengan alasan apapun, jika seorang Muslim melakukannya, yakinlah, amalan itu telah membatalkan keislaman Anda.

Membantu dan menolong orang-orang Musyrik untuk memusuhi orang-orang Islam (kaum Muslimin)

Sejak hidup hingga mati, sikap Rasulullah Muhammad cuma satu. “Keras terhadap kaum kafir dan lembut terhadap Muslimin.” Tetapi, sebagaian dari kita (kaum Muslimin) ada yang justru menjadi ‘duri dalam daging’. Mereka hidup dan mengaku sebagai Muslim, tapi amalannya digunakan justru untuk memusuhi saudara-saudaranya seiman.

Banyak kasus tokoh-tokoh Islam --bahkan sebagaian disebut ulama-- justru paling suka mengecam dan memojokkan kaum Muslimin dan hidupnya menjadi pembela orang-orang ghoirul Islam. Biasanya, mereka paling peka jika melihat sedikit kesalahan Muslimin dan menjadi pelindung orang ghoirul Islam.

Orang-orang seperti itu, kata Allah, sudah termasuk golongan dari mereka alias keluar dari Islam. “Dan barangsiapa diantara kamu mengambil mereka (Yahudi dan Nasrani) menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk ke dalam golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Maidah: 51)

Menurut Qathlani, ciri-ciri orang yang seperti ini adalah; kaum Muslimin yang suka menyerahkan urusan Islam kepada orang musyrik dan mereka yang suka membela kedzaliman orang musyrik.

Rasulullah bersabda, “Mencaci maki sesama muslim adalah perbuatan yang fasik, dan membunuh orang muslim adalah perbuatan kafir.” (HR. Muslim)

“Barangsiapa yang berkumpul dengan orang-orang musyrik dan tinggal bersama nya maka sesungguhnya ia seperti mereka.” (HR. Abu Daud)

Berkeyakinan bahwa sebagaian manusia diperbolehkan tidak mengikuti syari’at Muhammad SAW

Kelompok seperti ini belakangan semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Mereka merupakan kelompok orang yang hobi mengutak-atik agama Allah menurut selera akal mereka. Mereka, mendudukkan wahyu di atas akal mereka. Hujah yang sering mereka kemukakan adalah, “Muhammad adalah manusia biasa, karenanya, dia bisa salah.” Pernyataan itu kemudian mereka belokkan dengan bahasa lain; diperbolehkan tidak mengikuti syari’at Muhammad SAW. Dan mereka merusak sunnah-sunnah Nabi.

“Barangsiapa menghendaki selain Islam sebagai agama, maka tak akan diterima agama itu daripada-Nya, dan ia di akhirat tergolong orang-orang yang merugi.” (Q.S: Ali Imron:85)

Berpaling dari Dinullah (agama Allah) atau dari hal-hal yang menjadi syarat utama seorang Muslim

Syarat seorang Muslim sejati adalah melaksanakan ajaran agama Allah sesuai al-Qur’an dan Sunnah nya. Tetapi sebagaian orang --karena kesombongannya—mereka melakukan rekayasa akal dengan cara ‘menyelewengkan’ pesan Allah dalam al-Qur’an dan Sunnah-nya.

Mereka, biasanya bangga akan akalnya. Karenanya, mereka merasa, apa-apa yang sudah jelas diperintahkan oleh al-Qur’an tidak perlu dikerjakan jika tidak cocok dengan akalnya. Kesombongan mereka dihadapan Allah paling utama ketika mereka berusaha merubah al-Qur’an dan Sunnah karena dianggap tidak sesuai dengan akalnya.

Orang-orang seperti ini, biasanya mudah membuat dan merekayasa hukum Allah untuk disesuaikan dengan akalnya. Entah hukum soal menikah, waris, talak, haji dan sebagainya.

“..dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-KU dengan harga sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S: al-Maidah: 44).

Sumber: Fath al-Majid dan buku “Memurnikan Laa Ilaaha Illallah”, Muhammad Said al-Qathlani, Muhammad Bin Abdul Wahab dan Muhammad Qutb, (GIP).
 

"Allah" dalam Islam dan Kristen


"Allah" dalam Islam dan Kristen

Konsep ketuhanan yang ada dalam Yahudi dan Kristen lebih 'membingungkan; dibanding pengertian 'ketuhanan' yang dimengerti dalam Islam

Bukan rahasia lagi bahwa umat Islam secara umum, dan khusus di Indonesia banyak dihadapi berbagai tantangan teologis. Dari “kristenisasi” terang-terangan hingga penggunaan istilah keagamaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dialektika Islam-Kristen di Indonesia menyisakan persoalan yang perlu diungkap dan diteliti secara serius.
Beberapa tulisan para pendeta Kristen di Indonesia banyak sekali menggunakan istilah-istilah Islam yang sudah resmi dan formal digunakan sebagai istilah “ekslusif” dalam Islam. Salah satu istilah yang sudah biasa digunakan adalah lafadz “Allah”. Lafadz ini adalah murni istilah Islam, tidak bisa sembarangan digunakan, meskipun ketiga agama Semit mengklaim masih menggunakannya.
Tulisan ini akan mengulas konsep “Allah” secara umum, yang biasa dikenal dalam agama-agama Semit (Yahudi→Kristen→Islam) yang dikenal sebagai Abrahamic religions. Dan kita akan melihat bahwa Islam benar-benar satu agama yang teguh ‘melestarikan’ konsep “Allah” ini.
Konsep “Allah” dalam Islam ini diakui dengan sangat baik oleh Dr. Jerald F. Dirk dalam bukunya “Salib di Bulan Sabit” (Serambi, 2006). Mantan diaken di ‘Gereja Metodis Bersatu’ ini mencatat bahwa “penggunaan kata Allah sering kali terdengar aneh, esoterik, dan asing bagi telinga orang Barat. Allah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa Arab terkait dengan bahasa-bahasa semitik, dan istilah Arab Allah atau al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti “Tuhan”.
“El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau sang Tuhan. Ia adalah kata Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan Tuhan. Karena itu, menurutnya, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah konsisten, bukan hanya dengan Al-Quran dan tradisi Islam, tetapi juga dengan tradisi-tradisi biblikal tertua”, kutipnya.
F. Dirk mungkin benar. Akan tetapi konsep Allah dalam Islam jauh lebih mendalam, karena bukan hanya sebagai ‘nama diri’ (proper noun). Dalam pembahasan ilmu Tauhid, konsep al-Ilah terkait erat dengan peribadatan. Oleh karenanya, dalam penjelasan “Laa ilaaha illa Allah” para ulama menjelaskan dengan “laa ma‘buda bihaqqin illa Allah”. (Tidak ada seorang tuhanpun yang berhak “diibadahi” secara benar (mutlak), kecuali hanya Allah saja).
Ini tentu berbeda dengan kata El dalam bahasa Ibrani, yang kemudian bisa menjadi El-Elohim, yang diartikan sebagai “Tuhannya para tuhan”. Berarti ada tuhan selain tuhan yang disebut El-Elohim itu. Namun dalam Islam, Allah atau Ilah hanya satu. Apalagi jika ditelusuri konsep Tuhan dalam agama Yahudi, yang banyak menyiratkan bahwa “Tuhan” Yahudi adalah ‘Tuhan nasionalistik’, atau private God bagi Yahudi. Di luar Yahudi Tuhannya berbeda.
Konsep keimanan kepada “wujud Allah” dalam Islam tidak pernah mengalami problem serius, karena konsep dasarnya sudah jelas dan fixed, tidak bisa ditawar lagi.
Imam al-Sanusi misalnya, menjelaskan bahwa tentang konsep “wujud” itu sangat jelas. Menurut mazhab Syeikh Abu al-Hasan al-Asy‘ariy, mengganggap wujud sebagai salah satu sifat merupakan satu bentuk tasamuh (toleransi). Sebab menurutnya, wujud adalah diri zat (mawjud) itu sendiri, bukan sesuatu yang lain dari zat; dan zat, jelas bukan sifat. Akan tetapi, karena dalam ucapan, wujud selalu disebut sebagai sifat zat, seperti dalam kalimat “Zat Tuhan kita Jalla wa ‘Azza adalah mawjud (ada)”, maka tidak ada salahnya kalau secara global ia dihitung sebagai salah satu sifat. Adapun menurut mazhab yang menganggap bahwa wujud itu lain dari zat, seperti imam al-Raziy, maka menghitungnya sebagai sifat adalah benar sepenuhnya, tanpa tasamuh. Ada pula yang berpendapat bahwa pada yang baharu, wujud itu lain dari zat, tetapi pada yang qadim tidak. Ini adalah mazhab para filosof. (Lihat, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yusuf al-Sanusi, Syarh Umm al-Barahin (Bahasan tentang Sifat Allah yang Duapuluh), terjemah: Lahmuddin Nasution, PT. Grafindo Persada, 1999: 32). Semua pendapat ini dapat dipahami dengan jelas dan mudah.
Absurditas ‘Trinitas’
Dalam agama Kristen, konsep Allah jauh lebih problematis. Ini disebabkan adanya konsep “Trinitas” yang hingga hari ini menjadi ‘teka-teki silang’ yang tak berujung.
Seorang penulis Kristen Koptik (Qibti), Arab-Mesir, Nashrullah Zakariya menulis satu buku yang berjudul al-Tsâlûts fî al-Masîhiyyah: Tawhîd am Syirkun bi’l-Lâh? (Trinitas dalam Kristen: Monoteis atau Syirik?), menulis, jika konsep keimanan kepada Allah terjadi lewat ‘advertensi Tuhan’ (al-I‘lân al-Ilâhiy). Tanpa ini, manusia tidak bisa mengenal Allah. ‘
Menurutnya, advertensi Tuhan’ ini terjadi lewat dua cara: Pertama, ‘advertensi umum’ (al-i‘lân al-‘âm). Ini adalah advertensi yang dengannya Allah menyingkap diri-Nya lewat dua hal: (1) Alam. Tentang ini, wahyu yang kudus (al-wahyu al-muqaddas) mencatat: “Langit menyatakan, keagungan Allah dan cakrawala mewartakan karya-Nya” (Mazmur 19: 1-2); dan (2), sejarah. Maksud dari sejarah adalah: berbagai interaksi Allah dengan manusia lewat pengalaman historiknya. Kitab suci menyatakan, “Ia tidak lupa memberi bukti-bukti tentang diri-Nya...” (Kisah Rasul-Rasul 14: 17).
Kedua, ‘advertensi khusus’. Jenis ini memiliki dua sumber: (1) tajassud (bersatunya Allah dengan Yesus, inkarnasi): dimana Allah mengenalkan diri-Nya kepada kita secara jelas dan eksplisit lewat inkarnasi (tajassud) Kristus.
Di dalam Injil, Yohanes berkata: “Pada mulanya adalah ‘Firman’. Dan firman itu bersama Allah, dan firman itu adalah Allah. Firman sudah menjadi manusia, Ia tinggal di antara kita dan kita sudah melihat keagungan-Nya, seperti yang ada pada seseorang berasal dari seorang ayah, yang penuh dengan karunia dan kebenaran” (Yohanes 1: 1-15, rujuk Ibrani 1: 1-4 dan 1 Timotius 3: 3-5); (2) firman Allah yang termaktub dan pembenar atas – eksistensi – Nya yang berasal dari Kristus.
Yesus berkata: “Janganlah kalian menganggap bahwa Aku datang untuk menghapuskan hukum Musa dan ajaran nabi-nabi. Aku datang bukan untuk menghapuskannya, tetapi untuk menyempurnakannya. Ingatlah! Selama langit dan bumi masih ada, satu huruf atau titik yang terkecil pun di dalam hukum itu, tidak akan dihapuskan, kalau semuanya belum terjadi.” (Matius 5: 17-18).
Itu lah dua bentuk ‘advertensi Tuhan’ kepada manusia menurut Nashrullah Zakariya, yang terdapat di dalam Taurat (Torah) dan Injil. Menurutnya, hal itu menyatakan bahwa Allah itu “esa” (wâhid). Tetapi, Allah juga tidak hanya ‘mengumumkan’ diri-Nya sebagai Tuhan yang esa (al-Ilah al-wahid), advertensi itu terjadi berulang-ulang dari dirinya hingga menjadi “trinitas” (tsâlûtsan).
Setelah menjelaskan itu, Nashrullah bingung dan menyatakan bahwa dogma “trinitas” dalam Kristen tidak bisa dianggap sebagai hasil studi filsafat atau konsep rasionalitas an sich. Karena hal itu menurutnya tidak mudah untuk diterima oleh akal. Sumber dogma ini menurutnya berasal dari Allah itu sendiri. Allah lah yang mengumumkan dirinya sebagai Tuhan yang memiliki tiga oknum: “trinitas” (tsâluts), bukan “trinisasi” (tatslîts). Dan dalam apologi kaum Nasrani dalam membela Allah yang trinitas itu (Allah al-tsâlûts) merupakan bukti keimanan mereka kepada Allah yang esa, seperti yang dinyatakan oleh Allah sendiri tentang diri-Nya lewat firman-firman-Nya: kitab suci.
Padahal, jika mencukupkan diri pada ayat Torah di atas, konsep Allah jelas dapat dipahami. Tapi ketika dikaitkan dengan dogma “trinitas” yang hanya ada dalam Perjanjian Baru (Injil) konsep Allah menjadi ‘kabur’.
Penulis lain, Nasyid Hana dalam “Khamsu Haqâ’iq ‘an Allah”, (cet. II, 1999) menulis bahwa ketika Allah menciptakan para malaikat, Dia mempraktekkan sebagian sifat-sifat-Nya. Dan ketika menciptakan manusia, Dia mempraktekkan sifat-sifatnya kepada manusia.
Bagaimana mungkin Allah butuh kepada makhluk-makhluk-Nya dan mempraktekkan sifat-sifatnya kepada diri-Nya?
Lebih aneh lagi, sebagaimana ditulis Nasyid Hana, “Oknum-oknum itu bukanlah bagian-bagian dalam diri Allah. Maha suci Allah. Allah tidak terdiri dari tiga oknum. Maha suci Allah, tetapi Allah itu esa, dan setiap oknum itu adalah Allah, bukan bagian dari Allah. Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah dan Roh Kudus adalah Allah. Satu esensi tetapi tiga oknum.” Inilah konsep ketuhanan yang membingungan.
Membicarakan “oknum” saja dalam agama Kristen sudah berbelit-belit, karena memang sulit dinalar oleh akal sehat. Sampai sekarang, masalah “oknum Allah” ini masih terus dibahas dan diperdebatkan hingga kini.
Akibat kebingungan ini, banyak tokoh-tokoh Kristen menyikapi dogma “trinitas” lewat ekspresi rasa ‘ketidakpuasan. St. Anselm, misalnya, harus menulis Cur Deus Homo, St. Augustine juga menulis de Trinitate dan memproklamirkan slogan: “Credo ut intellegam” (aku percaya supaya aku bisa mengerti). Senada dengan Augustine, Tertullian menyatakan: “Credo quia absurdum” (aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal). Ini sangat kontra dengan Islam, dimana “rasio” sangat berperan dalam mengenal dzat Allah. Apa yang bertentangan dengan akal sehat, berarti ada yang “eror” dan harus dikritisi. 
Dalam Islam, Allah menciptakan makhluk-Nya agar mereka mengenal-Nya lewat nama-nama-Nya yang baik (al-asma’ al-husna), sifatnya yang transenden: yang memiliki sifat kesempurnaan dan suci dari segala kekurangan.
Ketika mereka sudah mengetahui Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana mestinya, mereka melakukan ibadah kepada-Nya, yang tidak berhak diberikan kepada selain-Nya dan tidak mendekati-Nya kecuali dengan ibadah tersebut. Mereka juga memuji Allah swt. sebagaimna mestinya, sesuai dengan kemuliaan dzat-Nya dan keagungan otoritas-Nya. Ini dengan detail dijelaskan oleh Allah swt.: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS: Al-Thalaq [65]: 12).
Kata agar kamu mengetahui merupakan dalil bahwa tujuan dari penciptaan alam ini, baik alam atas maupun bawah; adalah untuk mengetahui Allah swt. Lengkap dengan nama dan sifat-sifat-Nya; yang dalam ayat tersebut disebutkan sebagiannya, yakni: kekuasaan total (al-qudrah al-syamilah) dan ilmu yang meliputi segala sesuati (al-‘ilm al-muhith). (Lihat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fushûl fî al-‘Ibâdah bayna al-Salaf wa al-Khalaf, dalam serial Nahwa Wahdah Fikriyyah li al-‘Āmilîna li al-Islâm (6), (Cairo: Maktabah Wahbah, 2005: 14).
Dengan demikian, terdapat perbedaan yang sangat prinsipil dalam konsep “Allah” dalam Yahudi, Kristen dan Islam. Dapat dibuktikan di dalam Al-Quran dan ulama-ulama klasik, bahwa Islam lah satu-satunya agama semit yang konsisten dalam melestarikan konsep “Allah”. Konsep Allah yang ‘nasionalistik’ adalah tidak benar dan harus ditolak. Dan konsep “Allah” yang ‘membutuhkan’ perantara (mediator) adalah mencederai kekuasaan dan keagungann-Nya. Maka, Islam menutup konsep “Allah” yang Mahasempurna dan tiada banding itu dengan firman Allah swt: “Laysa kamitslihi syai’un” (Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, ) (Qs. Al-Syura [42]: 11). Wallahu a‘lamu bi al-shawab. []

Tauhid, Hamka, dan Al Qur'an


Tauhid, Hamka, dan Al Qur'an

Islam adalah agama nabi Ibrahim juga agama nabi-nabi bani Israil. Tidak mungkin sama antara orang-orang yang mempercayai kenabian Muhammad dengan yang tidak bahkan melecehkannya



Ada sebuah hadis yang sahih, dirawikan dari Abd bin Humaid dari ar Rabi’ bin Anas...bahwa seketika (suatu ketika) orang bertanya kepada Rasulullah, tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat.  Lalu Rasulullah menjawab:”Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud orang-orang yang sesat ialah Nasrani.”  (Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu’1:93)

Begitulah Buya Hamka menafsirkan surat al Fatihah ayat 7, yang berbunyi: “Jalan orang-orang yang Engkau kurniai nikmat atas mereka, bukan (jalan) orang-orang yang telah dimurkai atas mereka dan bukan jalan orang-orang sesat.”

Jadi, kalau kita ingin melihat pendapat Hamka tentang Kristen, Yahudi dan agama-agama lain selain Islam, alangkah adilnya bila kita melihat pendapat Hamka kepada ayat-ayat yang lain.  Sebagaimana kalau kita ingin melihat tafsir Al Qur’an pada suatu kata, alangkah kelirunya bila kita main cuplik satu dua ayat, tapi tidak mau melihat ayat-ayat lainnya.

Sudah lama kalangan pluralis (Islam liberal) menjadikan surah Al Baqarah ayat 62 dan Al Maidah ayat 69 sebagai senjata mereka untuk membela bahwa agama-agama lain di luar Islam bukan jalan yang sesat.  “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Maidah : 69). Ayat hampir sama terdapat pula dalam surat Al Baqarah ayat 62.

Mereka beralasan, bahwa disitu hanya disebut kalimat “beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh”, sebagai syarat untuk masuk surga.  Tidak disebut disitu kalimat “beriman kepada Nabi Muhammad” sebagai syarat untuk jalan keselamatan.

Cara penafsiran seperti ini sebenarnya sangat aneh, kalau tidak mau dikatakan ngawur.  Karena ada beberapa ayat yang hanya menyebut beriman kepada Allah dan hari kemudian, tapi ada kaitannya dengan iman kepada Rasul.  Dalam surat al Ahzab dinyatakan: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. 33:21). “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha terpuji.” (QS. 60:6).

Selain itu banyak ucapan Rasulullah saw. yang terkenal hanya menyebutkan iman kepada Allah dan hari Akhir.  Misalnya: “Barangsiapa iman kepada Allah dan hari Akhir, maka hormatilah tamunya.” Ada pula: “Barangsiapa iman kepada  Allah dan hari Akhir,  maka hormatilah tetangganya.”  Bagaimana Anda menafsirkan hadits seperti ini?

Selain itu ayat-ayat Al Qur’an untuk menyebut masalah keimanan –termasuk iman kepada Nabi Muhammad saw—kadang-kadang hanya menyebut iman saja, kemudian iman kepada Allah saja, iman kepada hari kiamat, iman kepada Rasul dan kadang menyebut lengkap rukun iman (selain iman kepada takdir yang disebut dalam hadits Rasulullah saw.). “Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul -Nya. (Mereka mengatakan):"Kami tidak membeda-bedakan antara seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan:"Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa):"Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (QS. Al Baqarah 285)

Terus bagaimana kaum pluralis memahami ayat di bawah ini. Yaitu dalam surat al Maidah disini hanya menyebut  “Hai orang-orang yang beriman”, siapakah yang dimaksud di situ apakah orang Islam saja atau orang-orang non Islam juga? Firman Allah swt: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. 5:51). Juga firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. 2:153). Ratusan ayat Al Qur’an yang menyebut iman –yang maknanya Islam ini—dengan lafadz “aamanu” saja.


Agama Tauhid

Dalam Al Qur’an dan Hadits telah dijelaskan secara gamblang, bahwa seluruh agama Nabi dan Rasul adalah Islam. Maknanya tidak satu nabi pun beragama Nasrani, Yahudi, Majusi atau lainnya.  Hadits Rasulullah saw : “Kami semua nabi-nabi, agama kami sama, aku orang yang paling dekat kepada putera Maryam, karena tidak ada satu pun nabi antara aku dan dia.” (HR Bukhari-Muslim). “Nabi-nabi adalah bersaudara, agama mereka satu, meskipun ibu-ibu mereka berlainan.” (Lebih lanjut lihat buku “Tren Pluralisme Agama” karya Dr. Anis Malik Thoha, GIP, 2005. Buku ini mendapat penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik “Ismail al Faruqi Publications Award” dari IIUM, Kuala Lumpur).

Firman Allah swt: “Ketika Tuhan-nya berfirman kepadanya:"Tunduk patuhlah (Islam lah)!" Ibrahim menjawab:"Aku tunduk patuh (berislam) kepada Tuhan semesta alam.Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'kub. (Ibrahim berkata):"Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam. Adakah kamu hadir ketika Ya'kub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:"Apa yang kamu sembah sepeninggalku". Mereka menjawab:"Kami akan menyembah Tuhan-mu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya menjadi Muslim (tunduk kepada-Nya)". (QS. 2:131-133).

Jadi jelas disitu, Islam adalah agama nabi Ibrahim. Juga Islam adalah agama nabi-nabi bani Israil lainnya. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah (Muslim)...” (QS. Al Maidah  44).

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia:"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab:"Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (Muslim)”. (QS. Ali Imran 52).

Karena itu Syekh Ibn Arabi menyatakan: “Syariat-syariat semuanya adalah cahaya, dan syariat Muhammad saw. diantara cahaya-cahaya ini ibarat seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang. Ketika matahari muncul reduplah cahaya-cahaya bintang-bintang tersebut dan terserap kedalam cahaya matahari. Maka sirnanya cahaya-cahaya tersebut ibarat dinaskhnya syariat-syariat dengan syariat Muhammad saw. dengan tetap eksisnya hakikat syariat-syariat tersebut, sebagaimana tetap eksisnya cahaya bintang-bintang. Oleh karena itu kita diwajibkan mengimani semua rasul. Dan semua syariat mereka adalah benar, dan tidak dinaskh karena batal atau salah sebagaimana yang diduga orang-orang bodoh. Maka semua jalan (syariat) mengacu pada jalan (syariat)nya Nabi saw. Seandainya para rasul hidup pada zamannya (Nabi Muhammad saw.) niscaya mereka akan mengikutinya sebagaimana syariat mereka mengikuti syariatnya.”

Walhasil, karena Yahudi dan Nashrani tidak mengakui kenabian Nabi Muhammad saw, maka batallah keimanan mereka.  Tidak mungkin sama antara orang-orang yang mempercayai kenabian Nabi Muhammad dengan yang tidak mempercayai, bahkan melecehkannya.  Allah Maha Pengampun sekaligus Maha Keras Siksaan-Nya.  Lihatlah contoh di dunia ini, tidak semua orang tampan, tidak semua orang punya mata dan tidak semua orang kaya.  Keadilan Allah tidak bisa kita ukur dengan akal semata di dunia ini.  Keadilan Allah akan terbukti di akherat nanti.  Wallahu aziizun hakiim.*