KONSENTRASI UNTUK MENGHADAPI HARI INI

KONSENTRASI UNTUK MENGHADAPI HARI INI

Diantara sarana yang dapat menangkis kesedihan dan keguncangan hati adalah terputusnya pikiran sepenuhnya untuk memberikan perhatian kepada pekerjaan hari ini yang sedang dihadapinya dan menghentikan pikiran dari menoleh jauh ke waktu mendatang dari kesedihan menengok masa lampau. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah dari al-hamm (kegundahan) dan al-huzn (kesedihan) [1]. Al-huzn adalah kesedihan terhadap perkara-perkara yang telah lampau yang tidak mungkin diputar ulang ataupun di ralat. Sedangkan al-hamm : adalah kegundahan yang terjadi disebabkan oleh rasa takut dan khawatir terhadap sesuatu yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Jadi, hendaknya seorang hamba itu menjadi ‘putera harinya’ yakni ; menjadi manusia terbaik dalam menyongsong harinya yang sedang dihadapinya dan sekaligus mampu mengkonsentrasikan keseriusan dan kesungguhannya untuk memperbaiki hari dan detik yang sedang dihadapinya itu. Karena, pemusatan hati untuk berbuat demikian akan menuntutnya untuk mengoptimalkan pekerjaan, dan iapun dapat terhibur dengannya dari kegundahan dan kesedihan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a atau mengajari umatnya untuk mengamalkan suatu do’a, beliau menganjurkan –seiring memohon dan mengharap pertolongan dan karunia Allah- agar mereka serius dan sungguh-sungguh dalam melakukan apa yang menjadi sebab terwujudnya harapannya itu dan menghindari apa yang menjadi sebab terhalangnya. Karena, do’a itu bergandeng dengan perbuatan.

Maka seorang hamba harus bersungguh-sungguh untuk meraih apa yang bermanfaat baginya dalam kehidupan religinya ataupun duniawinya dan memohon kepada Allah keberhasilan maksud dan tujuannya, seiring memohon pertolongan kepadaNya untuk itu, sebagaimana apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Berupaya keraslah untuk mencapai apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah serta janganlah kamu lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata : Andaikan aku berbuat demikian tentu akan terjadi demikian dan demikian. Akan tetapi katakanlah : Allah telah mentaqdirkan (ini). Allah melakukan apa yang dikehendakiNya. Karena, kata “andaikan” membukakan pintu perbuatan syetan” [Hadits Riwayat Muslim dalam shahihnya]

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memadukan antara dua hal. Yaitu antara perintah berupaya keras untuk mencapai hal-hal yang bermanfaat dalam berbagai kondisi, seiring memohon pertolongan kepada Allah serta tidak tunduk mengalah kepada sikap lemah, yang ia adalah sikap malas yang membahayakan, dan antara sikap pasrah kepada Allah dalam hal-hal yang telah lampau dan telah terjadi seiring meniti dengan mata hati terhadap qadha’ dan taqdir Allah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi segala kejadian dua bagian :

Bagian pertama : Adalah hal yang dimungkinkan seorang hamba berupaya meraihnya atau meraih yang mungkin darinya, atau hal dimungkinkan ia menangkisnya atau meringankannya. Disini seorang hamba harus memunculkan daya upaya seiring memohon pertolongan kepada Allah, sesembahannya. Sedangkan.

Bagian kedua : Adalah hal yang tidak dimungkinkan ia melakukan itu semua. Di sini seorang hamba harus tenang, ridha dan pasrah.

Tidak diragukan, bahwa berpedoman kepada prinsip ini dengan baik adalah merupakan sarana menuju kesenangan hati dan hilangnya kegelisahan maupun kegundahan.


[Disalin dari buku Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa’idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia hal 22-26, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabai Jakarta]
_________
Foote Note.
[1] Yaitu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim

BERSIKAP ADIL DAN BIJAKSANA DALAM BERGAUL

BERSIKAP ADIL DAN BIJAKSANA DALAM BERGAUL


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Janganlah seorang mu’min lelaki membenci seorang wanita mu’minah. Karena, kalaupun ia tidak menyenangi suatu karakter yang ada padanya, tentu ia menyenangi karakter lain yang ada padanya” [1]

Hadits ini mengandung dua hikmah yang agung.

Pertama.
Arahan untuk bergaul dengan isteri, kerabat dekat, teman, orang yang bekerja sama dengan anda, dan semua yang ada keterkaitan dan hubungan antara anda dan dia. Yaitu, seyogianya anda tata batin anda dalam bergaul dengannya, bahwa pasti ia mempunyai cela atau kekurangan atau hal lain yang tidak anda sukai. Jika anda dapati hal yang demikian, bandingkanlah itu dengan kuatnya pertalian dan kesinambungan cinta antara anda dan dia yang wajib atau seyogianya anda bina, dengan mengingat sisi-sisi kebaikan, maksud-maksud baik yang bersifat umum atau khusus yang ada pada dirinya. Dengan menutup mata dari sisi-sisi keburukkan dan memandang sisi kebaikan, persahabatan dan tali hubungan akan langgeng dan ketenteraman batin akan terwujud bagi anda.

Kedua.
Yaitu hilangnya kegelisahan maupun keguncangan,langgengnya ketulusan cinta, keberlanjutan menunaikan tuntunan bergaul yang bersifat wajib maupun sunnah, dan terwujudnya ketentraman batin antara kedua belah pihak.
Baransiapa yang tidak mengambil pelajaran dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, tetapi bahkan ia melakukan sebaliknya, yaitu dengan memperhatikan sisi-sisi keburukan dan membutakan mata dari melihat sisi-sisi kebaikan, maka pasti ia akan guncang dan gelisah, dan pasti tidaklah mulus cinta yang ada antara dia dan orang yang sudah terjalin hubungan dengannya. Disamping itu, sejumlah hak maupun kewajiban yang harus dipelihara oleh masing-masing dari keduanyapun akan putus.

Banyak tokoh atau pahlawan yang mampu menguatkan hatinya untuk sabar dan tenang saat terjadinya bencana atau malapetaka besar. Namun, di saat menghadapi perkara-perkara remeh dan sederhana, maka justeru guncang, dan kepolosan hatinya tidak jernih lagi. Sebabnya adalah karena mereka dapat menguatkan hati dalam menghadapi perkara-perkara besar,namun saat menghadapi perkara-perkara kecil, justeru mereka biarkan diri mereka tanpa kontrol, sehingga membahayakan mereka dan berefek buruk pada ketenangan mereka.

Orang yang berkepribadian kokoh mampu menguatkan hatinya untuk menghadapi perkara kecil maupun besar. Ia memohon pertolongan Allah untuk menghadapinya dan memohon agar Allah tidak menitipkan dirinya kepada dirinya walau sekejap mata. Maka, di saat itulah perkara kecil menjadi mudah baginya, sebagaimana perkara besar pun menjadi mudah. Dan, ia tetap berjiwa tenteram dan berhati tenang dan nyaman.


[Disalin dari buku Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa’idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Muslim, Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab Ar-Radha bab Al-Washiyyah bin Nisa'