Bulan Muharram Dan Keutamaan Berpuasa di Dalamnya

Bulan Muharram Dan Keutamaan Berpuasa di Dalamnya

Lafaz Hadits
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: (( أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ, وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ )) [ رواه مسلم ]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Se-afdhal-afdhal puasa setelah (puasa) Ramadhanadalah (puasa) di bulan Allah, Al-Muharram. Dan se-afdhal-afdhal shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam.”

Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 1163/2755, Imam Abu Dawud no. 2431, Imam An-Nasai no. 1613, Imam At-Tirmidzi no. 438 dan yang lainnya. Hadits ini shahih.

Faidah-faidah Hadits
Di antara faidah-faidah hadits ini adalah sebagai berikut:
1.       Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan bulan Muharram dengan Syahrullah(Bulan Allah).
2.       Puasa yang paling afdhal adalah puasa Ramadhan karena puasa tersebut adalah puasa yang wajib. Begitu pula dengan shalat fardhu dia lebih afdhal daripada shalat-shalat sunnah.
3.       Puasa di bulan Muharram adalah puasa sunnah yang paling afdhal daripada puasa-puasa sunnah di bulan yang lainnya. Hal ini tidak menafikan bahwa sebagian hari seperti hari‘Arafah (9 Dzul-hijjah), 6 hari di bulan Syawal, Senin dan Kamis dan yang lainnya juga memiliki keutamaan sendiri jika berpuasa di hari-hari tersebut.
4.       Shalat sunnah yang paling utama adalah shalat malam. Ini juga dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa shalat sunnah di malam hari lebih utama daripada shalat sunnah di siang hari.

Bulan Muharram (الْمُحَرَّم)
Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan ini disebut oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Tentunya, bulan ini memilki keutamaan yang sangat besar.
Di zaman dahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bulan ini bukanlah dinamakan bulan Al-Muharram, tetapi dinamakan bulan Shafar Al-Awwal, sedangkan bulan Shafar dinamakan Shafar Ats-Tsani. Setelah datangnya Islam kemudian Bulan ini dinamakan Al-Muharram.[1]
Al-Muharram di dalam bahasa Arab artinya adalah waktu yang diharamkan. Untuk apa? Untuk menzalimi diri-diri kita dan berbuat dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قال الله تعالى: ﴿  إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ [التوبة : 36]
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu.” (QS At-Taubah: 36)

Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
((… السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان ))
“Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan, yaitu:Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah dan Al-Muharram, serta Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadadan Sya’ban. “[2]

Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قال الله تعالى: ﴿  فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di dalamnya”, karena berbuat dosa pada bulan-bulan haram ini lebih berbahaya daripada di bulan-bulan lainnya. Qatadah rahimahullah pernah berkata:
(إنَّ الظُّلْمَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ أَعْظَمُ خَطِيْئَةً وَوِزْراً مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهَا، وَإِنْ كَانَ الظُّلْمُ عَلَى كُلِّ حَالٍ عَظِيْماً، وَلَكِنَّ اللهَ يُعَظِّمُ مِنْ أَمْرِه مَا يَشَاءُ )
“Sesungguhnya berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat kezaliman di selain bulan-bulan tersebut. Meskipun berbuat zalim pada setiap keadaan bernilai besar, tetapi Allah membesarkan segala urusannya sesuai apa yang dikehendaki-Nya.”[3]
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
(…فَجَعَلَهُنَّ حُرُماً وَعَظَّمَ حُرُمَاتِهِنَّ وَجَعَلَ الذَّنْبَ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ  وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ وَاْلأَجْرُ أَعْظَمُ.)
 “…Kemudian Allah menjadikannya bulan-bulan haram, membesarkan hal-hal yang diharamkan di dalamnya dan menjadikan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dan menjadikan amalan soleh dan pahala juga lebih besar.”[4]
Haramkah berperang di bulan-bulan haram?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama memandang bahwa larangan berperang pada bulan-bulan ini telah di-naskh (dihapuskan), karena Allah subhanahu wa ta’alaberfirman:
قال الله تعالى: ﴿ فَإِذَا انسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ [التوبة : 5]
 “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS At-Taubah: 5)
Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan berperang pada bulan-bulan tersebut, tidak dihapuskan dan sampai sekarang masih berlaku. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa tidak boleh memulai peperangan pada bulan-bulan ini, tetapi jika perang tersebut dimulai sebelum bulan-bulan haram dan masih berlangsung pada bulan-bulan haram, maka hal tersebut diperbolehkan.
Pendapat yang tampaknya lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi penduduk Thaif pada bulan Dzul-Qa’dah pada peperangan Hunain.[5]

Keutamaan Berpuasa di Bulan Muharram
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Muharram atau sebagian besar bulan Muharram. Jika demikian, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa sebanyak puasa beliau di bulan Sya’ban? Para ulama memberikan penjelasan, bahwa kemungkinan besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui keutamaan bulan Muharram tersebut kecuali di akhir umurnya atau karena pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak udzur seperti: safar, sakit atau yang lainnya.

Keutamaan Berpuasa di Hari ‘Asyura (10 Muharram)
Di bulan Muharram, berpuasa ‘Asyura tanggal 10 Muharram sangat ditekankan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.))
“… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.”[6]
Ternyata puasa ‘Asyura’ adalah puasa yang telah dikenal oleh orang-orang Quraisy sebelum datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga berpuasa pada hari tersebut. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
(كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ   وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ   وَمَنْ شَاءَ تَرَكَه )
“Dulu hari ‘Asyura, orang-orang Quraisy mempuasainya di masa Jahiliyah. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempuasainya. Ketika beliau pindah ke Madinah, beliau mempuasainya dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura’. Barang siapa yang ingin, maka silakan berpuasa. Barang siapa yang tidak ingin, maka silakan meninggalkannya.” [7]

Keutamaan Berpuasa Sehari Sebelumnya
Selain berpuasa di hari ‘Asyura disukai untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkeinginan, jika seandainya tahun depan beliau hidup, beliau akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Tetapi ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada tahun tersebut.

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: (( فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ.)) قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan memerintahkan manusia untuk berpuasa, para sahabat pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila tahun depan -insya Allah- kita akan berpuasa dengan tanggal 9 (Muharram).’ Belum sempat tahun depan tersebut datang, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.”[8]
Banyak ulama mengatakan bahwa disunnahkan juga berpuasa sesudahnya yaitu tanggal 11 Muharram. Di antara mereka ada yang berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas berikut:
(( صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا))
“Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sebelumnya atau berpuasalah setelahnya satu hari.”[9]
Akan tetapi hadits ini lemah dari segi sanadnya (jalur periwayatan haditsnya).
Meskipun demikian, bukan berarti jika seseorang ingin berpuasa tanggal 11 Muharram hal tersebut terlarang. Tentu tidak, karena puasa tanggal 11 Muharram termasuk puasa di bulan Muharram dan hal tersebut disunnahkan.
Sebagian ulama juga memberikan alasan, jika berpuasa pada tanggal 11 Muharram dan 9 Muharram, maka hal tersebut dapat menghilangkan keraguan tentang bertepatan atau tidakkah hari ‘Asyura (10 Muharram) yang dia puasai tersebut, karena bisa saja penentuan masuk atau tidaknya bulan Muharram tidak tepat. Apalagi untuk saat sekarang, banyak manusia tergantung dengan ilmu astronomi dalam penentuan awal bulan, kecuali pada bulan Ramadhan, Syawal dan Dzul-Hijjah.

Tingkatan berpuasa ‘Asyura yang disebutkan oleh para ahli fiqh
Para ulama membuat beberapa tingkatan dalam berpuasa di hari ‘Asyura ini, sebagai berikut:
Tingkatan pertama: Berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
Tingkatan kedua: Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Tingkatan ketiga: Berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram.
Tingkatan keempat: Berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram.
Sebagian ulama mengatakan makruhnya berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram, karena hal tersebut mendekati penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Yang berpendapat demikian di antaranya adalah: Ibnu ‘Abbas, Imam Ahmad dan sebagian madzhab Abi Hanifah.
Allahu a’lam, pendapat yang kuat tidak mengapa berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram, karena seperti itulah yang dilakukan oleh Rasulullah selama beliau hidup.


Hari ‘Asyura, Hari Bergembira atau Hari Bersedih?
Kaum muslimin mengerjakan puasa sunnah pada hari ini. Sedangkan banyak di kalangan manusia, memperingati hari ini dengan kesedihan dan ada juga yang memperingati hari ini dengan bergembira dengan berlapang-lapang dalam menyediakan makanan dan lainnya.
Kedua hal tersebut salah. Orang-orang yang memperingatinya dengan kesedihan, maka orang tersebut laiknya aliran Syi’ah yang memperingati hari wafatnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Husain radhiallahu ‘anhu terbunuh di Karbala’ oleh orang-orang yang mengaku mendukungnya. Kemudian orang-orang Syi’ah pun menjadikannya sebagai hari penyesalan dan kesedihan atas meninggalnya Husain.
Di Iran, yaitu pusat penyebaran Syi’ah saat ini, merupakan suatu pemandangan yang wajar, kaum lelaki melukai kepala-kepala dengan pisau mereka hingga mengucurkan darah, begitu pula dengan kaum wanita mereka melukai punggung-punggung mereka dengan benda-benda tajam.
Begitu pula menjadi pemandangan yang wajar mereka menangis dan memukul wajah mereka, sebagai lambang kesedihan mereka atas terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: (( لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.))
“Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti teriakan orang-orang di masa Jahiliyah.”[10]
Kalau dipikir, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama di hari meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, Padahal beliau juga wafat terbunuh?
Di antara manusia juga ada yang memperingatinya dengan bergembira. Mereka sengaja memasak dan menyediakan makanan lebih, memberikan nafkah lebih dan bergembira layaknya ‘idul-fithri.
Mereka berdalil dengan hadits lemah:
(( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ.))
“Barang siapa yang berlapang-lapang kepada keluarganya di hari ‘Asyura’, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun tersebut.”[11]
Dan perlu diketahui merayakan hari ‘Asyura’ dengan seperti ini adalah bentuk penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Mereka bergembira pada hari ini dan menjadikannya sebagai hari raya.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang bulan Muharram dan keutamaan berpuasa di dalamnya. Mudahan kita bisa mengawali tahun baru Islam ini dengan ketaatan. Dan Mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.

Daftar Pustaka
1.       Ad-Dibaj ‘Ala Muslim. Jalaluddin As-Suyuthi.
2.       Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Imam An-Nawawi.
3.       Fiqhussunnah. Sayyid Sabiq.
4.       Risalah fi Ahadits Syahrillah Al-Muharram. ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan.http://www.islamlight.net/
5.       Tuhfatul-Ahwadzi. Muhammad ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri.
6.       Buku-buku hadits dan tafsir dalam catatan kaki (footnotes) dan buku-buku lain yang sebagian besar sudah dicantumkan di footnotes.

[1] Lihat penjelasan As-Suyuthi dalam Ad-Dibaj ‘ala Muslim tentang hadits di atas.
[2] HR Al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679/4383.
[3] Tafsir ibnu Abi hatim VI/1793.
[4] Tafsir Ibnu Abi Hatim VI/1791.
[5] Lihat Tafsir Al-Karim Ar-Rahman hal. 218, tafsir Surat Al-Maidah: 2.
[6] HR Muslim no. 1162/2746.
[7] HR Al-Bukhari no. 2002.
[8] HR Muslim no. 1134/2666.
[9] HR Ahmad no. 2153, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no. 8189 dan yang lainnya. Syaikh Syu’aib dan Syaikh Al-Albani menghukumi hadits ini lemah.
[10] HR Al-Bukhari 1294.
[11] HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 9864 dari Abdullah bin Mas’ud dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab no. 3513,3514 dan 3515 dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri. Keseluruhan jalur tersebut lemah dan tidak mungkin saling menguatkan, sebagaimana dijelaskan dengan rinci oleh Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6824.

Beberapa Kesalahan Saat Menunaikan Ibadah Haji

Beberapa Kesalahan Saat Menunaikan Ibadah Haji
Haji merupakan ibadah yang sangat mulia, yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, dalam melakukan haji, harus dikerjakan dengan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:
﴿ لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا  [ الأحزاب : 21]
"Sungguh telah ada pada Rasulullah suri tauladan yang terbaik bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak berdzikir kepada Allah". [Al Ahzab : 21].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada waktu haji wada':

(( خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ )) [رواه أحمد]

"Ambillah manasik haji kalian, sesunguhnya aku tidak mengetahui barangkali aku tidak akan mengerjakan haji lagi setelah ini". [HR Ahmad].
Betapa banyak kaum Muslimin yang pergi menunaikan ibadah haji, namun mereka tidak memahami hukum-hukumnya, dan tidak mengetahui hal-hal yang bisa membatalkan ibadahnya, atau yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya. Hal ini terjadi, bisa jadi karena haji merupakan ibadah yang pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama, serta hukum-hukumnya lebih banyak jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Sehingga bisa menyebabkan seseorang yang melaksanakan haji melakukan penyimpangan dan kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Ilmu manasik haji adalah yang paling rumit di dalam ibadah".
Sebagian jama'ah haji, mereka mengerjakan hal-hal yang tidak ada asalnya dari Al Kitab dan As Sunnah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Kedua, mereka taklid buta kepada pendapat seseorang tanpa adanya alasan yang dibenarkan.
Dalam tulisan ini kami akan menjelaskan beberapa kesalahan yang sering terjadi di kalangan jama'ah haji pada umumnya, supaya kita mampu menghindarinya dan bisa memperingatkan saudara-saudara kita agar tidak terjatuh dalam kesalahan ini.

1. KESALAHAN KETIKA IHRAM.
a. Sebagian jama'ah haji, ketika melewati miqat atau sejajar dengannya di atas pesawat, mereka menunda ihram sehingga turun di bandara Jeddah.
Dalam Al Bukhari dan Muslim, dan selainnya dari Ibnu Abbas, dia berkata:

((وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ هُنَّ لَهُنَّ وَلِكُلِّ آتٍ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِمْ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ )) [متفق عليه]
"Nabi telah menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, dan untuk penduduk Syam di Al Juhfah, dan untuk penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tempat-tempat itu untuk mereka dan untuk orang yang melewatinya, meskipun bukan dari mereka (penduduk-penduduk kota yang telah disebutkan), bagi orang yang ingin menunaikan haji dan umrah".
Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata:

(( أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ )) [رواه أبو داود و النسائي]
"Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan miqat untuk penduduk Irak di Dzatu 'Irq". [HR Abu Dawud dan An Nasa-i].
Tempat-tempat tersebut adalah miqat-miqat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai batasan syar'i. Maka tidaklah halal bagi seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah untuk merubahnya atau untuk melewatinya tanpa ihram.
Dalam Shahih Al Bukhari, dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Ketika dibuka dua kota ini, yakni Bashrah dan Kufah, mereka datang kepada Umar, lalu berkata: “Wahai, Amirul Mukminin. Sesungguhnya Nabi telah menetapkan miqat untuk penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan tempat itu menyimpang dari kita. Apabila kita hendak pergi ke Qarnul Manazil, maka akan memberatkan kita”. Umar berkata,”Lihatlah kepada tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Manazil, Pen) dari jalan kalian.”
Dalam atsar ini Umar bin Khaththab telah menentukan miqat bagi orang yang tidak lewat di tempat tersebut, namun mereka sejajar dengannya. Tidak ada bedanya orang yang melewati miqat lewat udara ataupun lewat darat.

b. Keyakinan sebagian jama'ah haji atau umrah, bahwa yang dimaksud ihram adalah sekedar mengenakan pakaian ihramnya setelah mengganti dari pakaian biasa; padahal, ihram adalah niat untuk masuk ke dalam ibadah umrah atau haji.
Yang benar, bahwa seseorang ketika mengenakan pakaian ihram, hal ini adalah persiapan untuk ihram. Karena ihram yang sebenarnya adalah niat untuk masuk ke dalam manasik. Hal inilah yang belum diketahui oleh kebanyakan orang, mereka mengira, hanya dengan mengenakan pakaian ihram, telah mulai menjauhi larangan ihram, padahal larangan-larangan ihram dijauhi ketika seseorang mulai niat masuk ke dalam manasik.
c. Ketika seorang wanita dalam keadaan haidh, dia tidak melakukan ihram karena adanya keyakinan bahwa ihram harus dalam keadaan suci, kemudian dia melewati miqat tersebut tanpa ihram.
Hal ini merupakan kesalahan yang nyata, karena haidh tidak menghalanginya untuk ihram. Seorang wanita yang haidh, ia tetap melakukan ihram dan mengerjakan semua yang harus dikerjakan oleh jama'ah haji, kecuali thawaf. Dia menunda thawaf sehingga suci dari haidhnya.
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata: “Nabi telah masuk ke tempatku, (dan) aku sedang menangis”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab: “Demi Allah, aku berkeinginan seandainya aku tidak haji pada tahun ini”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali engkau sedang haidh?” Aku menjawab: “Benar”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
(( فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي )) [رواه البخاري]
"Itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk wanita keturunan Adam. Kerjakanlah semua yang dikerjakan oleh orang yang haji, kecuali engkau jangan thawaf di Ka'bah, sehingga engkau suci". [HR Al Bukhari].

d. Keyakinan sebagian jama'ah haji bahwa pakaian ihram bagi kaum wanita harus memiliki warna tertentu, seperti warna hijau atau warna lainnya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Adapun sebagian orang awam yang mengkhususkan pakaian ihram bagi wanita dengan warna hijau atau hitam, dan tidak boleh dengan warna yang lain, maka hal ini tidak ada asalnya”.[1]
 
e. Keyakinan bahwa pakaian ihram yang dipakai oleh jama'ah haji tidak boleh diganti meskipun kotor.
Hal ini merupakan suatu kesalahan dari jama'ah haji. Sebenarnya boleh untuk mengganti pakaian ihram mereka dengan yang semisalnya, dan boleh juga untuk mengganti sandal. Tidak menjauhi kecuali larangan-larangan ketika ihram, sedangkan hal ini bukanlah termasuk larangan.
Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz: "Tidak mengapa untuk mencuci pakaian ihram dan tidak mengapa untuk menggantinya, atau menggunakan pakaian yang baru, atau yang sudah dicuci”.[2] 
f. Talbiyah secara berjama'ah dengan satu suara.
Ibnu Al Haaj berkata : "Yakni, hendaknya mereka tidak mengerjakannya dengan satu suara, karena hal ini termasuk bid'ah, bahkan setiap orang bertalbiyah sendiri-sendiri tanpa bertalbiyah dengan suara orang lain, dan hendaknya terdapat ketenangan dan keheningan yang mengiringi talbiyah ini…".[3]
g. Ketika ihram, sebagian jama'ah membuka pundak-pundak mereka seperti dalam keadaan idh-thiba' (Membuka pundak sebelah kanan dan menutup sebelah kiri dengan kain ihram).
Idh-thiba' tidak disyari'atkan kecuali ketika thawaf qudum atau thawaf umrah. Selain itu, tidak disyari'atkan dan pundak tetap dalam keadaan tertutup dengan pakaian ihramnya.
Berkata Ibnu Abidin dalam Hasyiyah-nya: "Yang sunnah adalah melakukan idh-thiba' sebelum thawaf hingga selesai, tidak ada yang lain daripada itu".[4]
Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah : "Apabila telah selesai dari thawaf, maka dia mengembalikan rida'nya (pakaian atas dari ihramnya) seperti keadaan semula, karena idh-thiba' dikerjakan ketika thawaf saja".[5]

h. Keyakinan bahwa shalat dua raka'at setelah ihram hukumnya wajib.
Tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua raka’at setelah ihram. Bahwasanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram setelah melakukan shalat fardhu, maka dianjurkan ihram setelah shalat fardhu.
 Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
 "Disunnahkan untuk ihram setelah selesai shalat, baik fardhu atau sunnah, jika dikerjakan pada waktu sunnah. (Demikian) menurut satu di antara dua pendapat. Dan menurut pendapat yang lain, jika dia shalat fardhu, maka dia ihram sesudahnya, dan jika bukan waktu shalat fardhu, maka bagi ihram tidak ada shalat yang mengkhususkannya. Dan ini adalah pendapat yang paling kuat".[6]

2. KESALAHAN KETIKA THAWAF.
a. Memulai thawaf sebelum Hajar Aswad.
Hal ini termasuk perbuatan ghuluw dalam agama. Sebagian orang mempunyai keyakinan agar lebih berhati-hati. Akan tetapi, hal ini tidak bisa diterima, karena sikap hati-hati yang benar adalah apabila kita mengikuti syari'at dan tidak mendahului Allah dan RasulNya. 
b. Sebagian jama'ah haji berpedoman dengan do'a-do'a khusus, terkadang mereka dipimpin oleh seseorang untuk mentalkin, kemudian mereka mengulang-ulanginya secara bersama-sama.
Hal ini tidak dibenarkan, karena dua hal. Pertama. Karena di dalam thawaf tidak ada do'a khusus. Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi n bahwa di dalam thawaf terdapat do'a khusus. Kedua. Bahwa do'a secara berjama'ah adalah perbuatan bid'ah. Perbuatan ini mengganggu bagi orang lain yang juga sedang thawaf. Yang disyari'atkan ialah, setiap orang berdo'a sendiri-sendiri tanpa mengeraskan suaranya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Didalam hal ini –yakni thawaf- tidak ada dzikir yang khusus dari Nabi, baik perintah atau ucapan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengajarkan hal itu. Bahkan setiap orang berdo'a dengan do'a-do'a yang masyru' (disyariatkan). Adapun yang disebut oleh kebanyakan orang bahwa terdapat do'a tertentu di bawah Mizab dan tempat lainnya, maka hal itu sama sekali tidak ada asalnya”.[7] 
c. Sebagian jama'ah haji mencium Rukun Yamani.
Hal ini merupakan kesalahan, karena Rukun Yamani hanya disentuh dengan tangan saja, tidak dicium. Yang dicium hanyalah Hajar Aswad, apabila kita mampu untuk menciumnya. Jika tidak mampu, maka diusap. Jika tidak bisa (diusap) juga, maka kita cukup dengan memberi isyarat dari jarak jauh.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Adapun Rukun Yamani, menurut pendapat yang shahih, dia tidak boleh dicium". [8]
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : "Telah shahih dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyentuh Rukun Yamani. Dan tidak ada yang sah dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menciumnya, atau mencium tangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menyantuhnya".[9] 

d. Sebagian jama'ah haji mengerjakan thawaf dari dalam Hijir Isma'il.
Dalam masalah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam Hijir Ismail ketika thawaf, karena sebagian besar hijir termasuk dalam area Ka'bah, padahal Allah memerintahkan untuk thawaf mengelilingi Ka'bah, bukan thawaf di dalam Ka'bah".[10]

e. Keyakinan sebagian orang yang thawaf, bahwa shalat dua raka'at setelah thawaf harus dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim.
Yang benar, shalat dua raka'at setelah thawaf boleh dikerjakan dimana saja dari Masjidil Haram, dan tidak wajib untuk dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim, sehingga tidak berdesak-desakan dan mengganggu jama'ah lainnya.[11]

f. Ketika thawaf, sebagian jama'ah haji mengusap-usap setiap yang mereka jumpai di dekat Ka'bah, seperti Maqam Ibrahim, dinding Hijir Isma'il dan kain Ka'bah, dan yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Adapun seluruh sudut Ka'bah dan Maqam Ibrahim, dan seluruh masjid dan dindingnya, dan kuburnya para nabi dan orang-orang yang shalih, seperti kamar Nabi kita, dan tempatnya Nabi Ibrahim dan tempat Nabi kita yang dahulu mereka gunakan untuk shalat, dan selainnya dari kuburnya para nabi serta orang yang shalih, atau batu yang di Baitul Maqdis, maka menurut kesepakatan ulama, semuanya itu tidak boleh untuk diusap dan tidak boleh juga untuk dicium".[12] 

g. Sebagian jama'ah wanita berdesak-desakan ketika hendak mencium Hajar Aswad.

Padahal Allah telah berfirman:
﴿  الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ  [ البقرة : 197]
"Haji adalah pada bulan-bulan yang telah ditetapkan, barangsiapa yang mengerjakan haji, maka janganlah berbuat rafats dan berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam mengerjakan haji". [Al Baqarah : 197].
Berdesak-desakan ketika haji akan menghilangkan rasa khusyu' dan akan melupakan dalam mengingat Allah. Padahal, dua hal ini termasuk maksud yang utama ketika kita thawaf.[13] 
h. Sebagian jama’ah haji tetap idh-thiba' setelah selesai thawaf dan shalat dua raka'at dalam keadaan idh-thiba'.
Dalam hal ini terdapat dua kesalahan. Pertama. Yang sunnah dalam idh-thiba', yaitu ketika thawaf qudum.
Kedua. Mereka terjatuh ke dalam larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang shalat sedangkan pundak mereka terbuka. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
 ((لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ)) [رواه البخاري]
"Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu baju yang tidak ada di atas kedua pundaknya sesuatu dari kain". [HR Al Bukhari].

i. Mengeraskan niat ketika memulai thawaf.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Nabi tidak mengatakan ‘aku niatkan thawafku tujuh putaran di Ka'bah begini dan begini’ -hingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata- bahkan hal ini termasuk bid'ah yang munkar".[14] 

j. Raml (lari kecil) pada tujuh putaran seluruhnya.
Yang sunnah ialah, melakukan raml pada tiga putaran yang pertama. Adapun pada empat putaran yang terakhir berjalan seperti biasanya.

k. Keyakinan mereka bahwa Hajar Aswad bisa memberi manfaat.
Sebagian di antara jamaah haji, setelah menyentuh Hajar Aswad, mereka mengusapkan tangannya ke seluruh tubuhnya atau mengusapkan kepada anak-anak kecil yang bersama mereka. Hal ini merupakan kejahilan dan kesesatan, karena manfaat dan madharat datangnya dari Allah. Dahulu Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata:
 ((وَإِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ ))
"Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu, tidak memberi madharat dan tidak bermanfaat. Jika seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu".

l. Setelah selesai dari shalat dua raka'at, mereka berdiri dan berdo'a secara berjama'ah dan dikomando oleh seseorang.
Hal ini bisa mengganggu orang lain yang sedang shalat di dekat maqam. Mereka melampaui batas ketika berdo'a. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
﴿   ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ  [ الأعراف : 55]
"Berdo'alah kepada Rabb kalian dengan khusyu' dan perlahan, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas". [Al A'raf : 55]. 

3. KESALAHAN DALAM SA'I.
a. Melakukan sa'i antara Shafa dan Marwa sebanyak empatbelas kali, dimulai dari Shafa dan berhenti di Shafa kembali.
Padahal yang sunnah ialah tujuh kali, bermula dari Shafa dan berakhir di Marwa.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Hal ini adalah salah terhadap sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak pernah dinukil oleh seorangpun dari beliau, dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun dari para imam yang telah dikenal pendapat mereka, meskipun hal ini dikatakan oleh sebagian orang belakangan yang menyandarkan kepada imam. Di antara hal yang menjelaskan kesalahan pendapat ini (sa'i empatbelas kali), bahwasanya beliau berbeda dalam hal ini. Beliau mengakhiri sa'i di Marwa. Jika seandainya berangkat dan kembali dihitung sekali, pasti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan mengakhiri sa'i di Marwa".[15] 
b. Shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i, seperti ketika selesai dari thawaf.
Shalat dua raka'at setelah selesai thawaf telah ditetapkan oleh sunnah. Adapun shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i adalah bid'ah yang munkar dan menyelisihi petunjuk Nabi. Dalam masalah ini tidak bisa diqiyaskan, karena bertentangan dengan nash yang shahih dalam sa'i.
c. Terus melakukan thawaf dan sa'i meskipun shalat di Masjidil Haram telah dikumandangkan iqamat.
Dalam masalah ini, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Hendaknya (orang yang sedang sa'i atau thawaf) shalat bersama orang lain, kemudian baru menyempurnakan thawaf dan sa'inya yang telah dia kerjakan sebelum shalat".[16] 
d. Sebagian jama'ah haji, mereka sa'i dalam keadaan idh-thiba'.
Seharusnya dia tidak idh-thiba', karena tidak ada dalilnya dalam hal ini. Imam Ahmad mengatakan: "Kami tidak mendengar sesuatu (tentang sunnahnya ketika sa'i) sedikitpun juga". [17] 
e. Sebagian jamaah haji berlari-lari di seluruh putaran antara Shafa dan Marwa.
Hal ini menyelisihi sunnah, karena berlari hanya di antara dua tanda hijau saja. Yang lainnya adalah jalan seperti biasa.

f. Sebagian wanita berlari di antara dua tanda hijau seperti yang dilakukan oleh kaum lelaki.
Padahal wanita tidak dianjurkan untuk lari, namun berjalan biasa di antara dua tanda hijau. Ibnu Umar berkata: "Bagi kaum wanita tidak disunnahkan raml (berlari kecil) di sekitar Ka'bah, dan (tidak) juga antara Shafa dan Marwa".
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Adapun kaum wanita, (ia) tidak disyari'atkan untuk berjalan cepat di antara dua tanda hijau, karena wanita adalah aurat. Akan tetapi, disyari'atkan bagi mereka untuk berjalan di seluruh putaran".[18] 


g. Sebagian orang yang sa'i, setiap kali menghadap Shafa dan Marwa selalu membaca:
﴿  إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ



Padahal yang sunnah ialah membaca ayat ini ketika pertama kali menghadap kepada Shafa saja.

4. KESALAHAN KETIKA WUKUF DI ARAFAH.
a. Sebagian jama'ah haji berdiam di luar batasan Arafah dan tinggal di tempat itu hingga terbenam matahari, kemudian mereka langsung menuju Muzdalifah.
Hal ini merupakan kesalahan besar. Karena wukuf di Arafah hukumnya rukun, dan tidak akan sah hajinya tanpa rukun ini, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
(( الْحَجُّ عَرَفَةُ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجّ )) [رواه الترمذي]
"Haji adalah Arafah, barangsiapa yang datang pada malam harinya sebelum terbit fajar (hari kesepuluh), maka dia telah mendapatkan wukuf". [HR At Tirmidzi]
b. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari.
Dalam masalah ini Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah mengatakan, hal ini adalah haram, menyelisihi sunnah Nabi. Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wukuf hingga matahari terbenam dan hilang cahayanya. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari merupakan hajinya orang jahiliyah. 

c. Mereka menghadap ke arah bukit Arafah, sedangkan kiblat berada di belakang atau di arah kanan dan kirinya. Sebagian mereka mempunyai keyakinan, bahwa ketika wukuf harus memandang bukit Arafah atau pergi dan naik kesana.
Anggapan seperti ini menyelisihi sunnah, karena sunnah dalam hal ini ialah menghadap ke arah kiblat sebagaimana dikerjakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: "Menghadap ke arah bukit Arafah atau tempat lain tidaklah terdapat keutamaan atau anjuran. Bahkan, jika dia mengharuskan hal ini dan meyakini bahwa perbuatan ini afdhal, maka mengerjakannya merupakan bid'ah. Dan naik ke atas bukit dengan maksud beribadah disana merupakan bid'ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".[20]
d. Bercepat-cepat dan bersegera ketika meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah.
Sebagian orang sangat tergesa-gesa dengan kendaraan mereka dan dengan suara klakson yang mengganggu orang lain, sehingga terjadi hal-hal yang tidak terpuji, seperti saling mencela dan saling mendo'akan kejelekan di antara mereka.
Berkata Ibnu Al Haaj: "Apabila seseorang meninggalkan Arafah setelah matahari terbenam, maka hendaknya dia berjalan pelan-pelan, dan wajib baginya untuk tenang, perlahan dan khusyu". [21] 



5. KESALAHAN KETIKA MELEMPAR JUMRAH
a. Keyakinan, bahwa mereka harus mengambil kerikil dari Muzdalifah.
Anggapan seperti ini tidak ada asalnya sama sekali. Dahulu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ialah memerintahkan Ibnu Abbas untuk mengambil kerikil, sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam naik di atas kendaraan. Yang nampak dari kisah ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di dekat jumrah.

Berkata Syaikh Ibnu Baz: "Apa yang dikerjakan oleh sebagian orang untuk mengambil kerikil ketika sampai di Muzdalifah sebelum mengerjakan shalat, kebanyakan mereka berkeyakinan bahwa hal itu masyru', maka hal ini merupakan kesalahan yang tidak ada asalnya. Nabi n tidak memerintahkan untuk diambilkan kerikil, kecuali ketika beliau n meninggalkan Masy'aril Haram menuju Mina. Kerikil yang diambil dari mana saja sah baginya, tidak harus dari Muzdalifah, akan tetapi boleh diambil di Mina". [22].
b. Keyakinan mereka bahwa ketika melempar jumrah, seakan-akan sedang melempar setan.
Maka dari itu, ketika melempar jumrah mereka berteriak dan memaki, yang mereka yakini sebagai setan. Semua hal ini tidak ada asalnya di dalam syari'at kita yang mulia.
c. Melempar dengan sandal atau sepatu dan batu yang besar.
Hal ini bertentangan dengan Sunnah Nabi, karena beliau n melempar dengan batu kerikil, dan beliau memerintahkan umatnya untuk melempar dengan semisalnya. Dalam hal ini, beliau memperingatkan dari ghuluw.

d. Mereka tidak berhenti untuk berdo'a setelah melempar jumrah yang pertama dan kedua pada hari tasyrik.
Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu berdiri setelah melempar jumrah ula dan wustha, dengan menghadap ke arah kiblat mengangkat kedua tangannya dan berdo'a dengan do'a yang panjang.

6. KESALAHAN KETIKA MENCUKUR RAMBUT.
Sebagian jama'ah haji mencukur sebagian dari rambutnya dan menyisakan sebagian lainnya.
Mengomentari hal ini Syaikh Ibnu Baz berkata: "Menurut pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama, tidak sah jika memendekkan sebagian rambut atau hanya mencukur sebagian rambutnya. Bahkan yang wajib adalah mencukur seluruh rambutnya atau memendekkan seluruhnya. Dan yang afdhal ialah memulai dengan bagian kanan terlebih dahulu sebelum yang kiri".[23] 

7. KESALAHAN KETIKA ZAIARAH KE MASJID NABAWI.
a. Keyakinan bahwa ziarah ke Masjid Nabawi ada hubungannya dengan haji dan termasuk penyempurna bagi hajinya.

Anggapan seperti ini merupakan kesalahan yang nyata, karena ziarah ke Masjid Nabawi tidak ditetapkan dengan waktu tertentu, dan tidak ada hubungannya dengan haji. Barangsiapa yang pergi haji dan tidak ziarah ke Masjid Nabawi, hajinya sah dan sempurna.
b. Sebagian orang yang ziarah ke kubur Nabi, mereka mengeraskan suara di dekat kuburan. Mereka berkeyakinan, bahwa jika berdo'a di dekat kubur Nabi akan memiliki kekhususan tertentu.
Hal ini merupakan kesalahan yang besar, dan tidak disyari'atkan untuk berdo'a di dekat kuburan, meskipun orang yang berdo'a tidak menyeru kecuali kepada Allah. Hal ini meruapakan perbuatan bid'ah dan menjadi wasilah menuju kesyirikan. Dahulu, kaum salaf tidak pernah berdo'a di dekat kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mereka mengucapkan salam kepada beliau.
Wallahu a'lam.


Maraji':
1. Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jama' Abdur Rahman bin Qasim.
2. At Tahqiq wa Al Idhah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baaz.
3. Hajjatu an Nabiyyi Kama Rawaaha anhu Jabir, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Al Maktab Al Islami, Tahun 1405H.
4. Manasiku al Hajji wa al Umrah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, Cet. Dar al Waki', Tahun 1414 H. 
5. Min Mukhalafat al Hajji wa al Umrah wa az Ziyarah, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As Sadhan, Cet. Dar Syaqraa', Tahun 1416 H, dan Mukhtashar-nya.
6. Al Mindhar Fi Bayani Katsirin min al Akhtha' asy Syaai'ah, Ma'aali Syaikh Shalih Alu Syaikh, Cet. Dar al Ashimah, Tahun 1418 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. At Tahqiq wa al Idhah, hlm. 17.
[2]. Fatawa Muhimmah, hlm. 25.
[3]. Lihat Min Mukhalafat al Hajji wa al Umrah wa az Ziyarah (mukhtashar), hlm. 11.
[4]. Hajjatu an Nabiyyi, hlm. 111.
[5]. Al Manhaj fi Shifati al Umrati wa al Hajj, hlm. 22.
[6]. Majmu' Fatawa, 26/109.
[7]. Majmu' Fatawa, 26/122.
[8]. Majmu' Fatawa, 26/97.
[9]. Zaadul Ma'ad, 2/225.
[10]. Majmu' Fatawa, 26/121.
[11]. Manasiku al Hajji wal Umrah, hlm. 92.
[12]. Majmu' Fatawa, 26/121.
[13]. Manasik al Hajji wa al Umrah, hlm. 88
[14]. Zaadu al Ma'ad, 2/225.
[15]. Zaadu al Ma'ad, hlm. 213-214.
[16]. Lihat Min Mukhalafat (mukhtashar), hlm. 23.
[17]. At Tahqiq wa Al Idhah, 41.
[18]. Manasikul Hajji wa Al Umrah, 95.
[19]. Al Mindhar, 59.
[20]. Al Mindhar,
[21]. Lihat Min Mukhalafat (mukhtashar), hlm. 25.
[22]. At Tahqiq wa al Idhah, hlm. 53.
[23]. Lihat Min Mukhalafat (mukhtashar), hlm. 29.