Memperbaiki Diri



Sangat disayangkan, kebanyakan kita lupa dengan aib yang melekat pada diri-diri kita dan menutup mata dari kekurangan yang ada. Lebih parah lagi, ada yang bersikap sebaliknya, yaitu berbaik sangka dan menganggap diri telah bersih dan sempurna, padahal Allah  Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ ٱلَّذِينَ يَجۡتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡفَوَٰحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَۚ إِنَّ رَبَّكَ وَٰسِعُ ٱلۡمَغۡفِرَةِۚ هُوَ أَعۡلَمُ بِكُمۡ إِذۡ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ وَإِذۡ أَنتُمۡ أَجِنَّةٞ فِي بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡۖ فَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ ٣٢  [النجم: 32] 
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (an-Najm: 32)
Ketika sebagian kita mendengar tentang akhlak yang mulia, ia beranggapan seolah-olah akhlak tersebut sudah ada pada dirinya dan dialah pemilik perangai mulia itu. Namun, tatkala disebutkan tentang perangai tercela, buru-buru dia menuduhkannya kepada orang lain. Seolah-olah dia jauh dari perangai tersebut. Sikap seperti ini tidak pantas dimiliki oleh orang yang menjunjung tinggi moral dan mendambakan kesempurnaan. Sikap seperti ini akan memunculkan sikap bangga diri yang tercela dan merasa puas di atas kekurangan yang ada. Ujungnya adalah meninggalkan upaya perbaikan diri. Tidak dimungkiri bahwa ini adalah sikap yang bodoh dan sangat keliru. Dengan sikap tidak mau tahu tentang kadar diri sendiri dan kondisinya, seseorang tidak akan melangkah maju kepada tingkat kemuliaan. (Lihat Su’ul Khuluq, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, hlm. 68—69)
Cara mengenal aib diri sendiri adalah menyadari bahwa kesempurnaan yang mutlak hanya milik Allah  Shubhanahu wa ta’alla dan kemaksuman (terpelihara dari dosa) hanya dipunyai oleh Rasulullah. Adapun diri kita adalah tidak lebih dari seorang manusia yang diliputi beragam kekurangan, baik dari sisi ilmu maupun amal. Kelemahan dalam dua sisi ini atau salah satunya menjadi faktor utama terjadinya ketergelinciran ketika menapaki kehidupan ini. Namun, hendaknya tidak dipahami bahwa seseorang baru dikatakan baik jika dia tidak mempunyai kesalahan karena hal ini mustahil, sebagaimana sabda Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ » [ رواه الترمذي وصححه الألباني ]
“Setiap anak Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang (mau) bertobat.” (Hadits dari sahabat Anas bin Malik, dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2499, cet. al-Ma’arif).
Dosa dan kesalahan adalah kepastian atas manusia. Namun, yang tercela ialah manakala seseorang menunda-nunda memperbaiki diri atau bahkan tidak mau menyadari kekurangannya.
Jangan sampai hilang dari ingatan kita, manusia dicipta untuk memberikan penghambaan semata-mata untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla, sebagaimana firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦ [الذاريات: 56] 
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56).
Inilah hikmah penciptaan manusia. Oleh karena itu, barang siapa belum mewujudkan beragam penghambaan yang harus diberikan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, berarti pada dirinya ada aib yang harus segera diobati. Sedikit dan banyaknya aib seseorang terkait dengan apa dan seberapa bentuk penghambaan kepada Allah  Shubhanahu wa ta’alla yang belum terealisasikan. Apabila ingin mengetahui kekurangan diri kita lebih jauh di hadapan syariat, hendaknya kita menelaah ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan cara demikian, kita akan tahu seberapa perintah Allah  Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya yang masih terabaikan dan seberapa pula larangan -Nya yang dilanggar. Memang, terkadang aib diri tidak diketahui oleh pemiliknya sehingga tidak dihiraukan. Andai seorang mengetahui aibnya, belum tentu juga mau mengobatinya karena obatnya pahit, yaitu siap menyelisihi hawa nafsunya. Seandainya dia mau bersabar dengan pahitnya obat, belum tentu juga dia mendapatkan dokter yang ahli. Dokter yang ahli dalam hal ini adalah para ulama.
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Ketahuilah bahwa apabila seorang hamba dikehendaki kebaikan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla, Ia akan menjadikannya orang yang mengetahui kekurangannya. Orang yang melek mata hatinya niscaya tidak akan samar atasnya segala kekurangannya. Jika telah mengetahui kekurangan dirinya, dia akan bisa mengobatinya. Namun, sayang sekali, kebanyakan orang tidak tahu kekurangannya. Seorang dari mereka bahkan bisa melihat kotoran kecil yang melekat pada mata saudaranya, namun tidak bisa melihat batang pohon yang ada di matanya sendiri. Ada empat cara bagi orang yang ingin mengetahui tentang aib dirinya:
1.         Duduk di hadapan syaikh (guru/orang alim) yang sangat paham tentang aib-aib jiwa.
Orang alim itu akan memberi tahu aib-aib dirinya beserta terapi pengobatannya. Akan tetapi, orang alim di zaman sekarang sangat jarang. Oleh karena itu, jika seseorang menemukannya, berarti dia telah mendapatkan seorang dokter yang mahir sehingga dia hendaknya tidak berpisah darinya.
2.         Mencari teman yang jujur, yang terbuka mata hatinya, dan bagus agamanya.
Teman yang seperti ini bisa dijadikan sebagai pengawas dirinya agar mengingatkannya dari perangai dan tingkah laku yang tidak baik. Dahulu, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Semoga Allah  Shubhanahu wa ta’alla memberi rahmat kepada seorang yang menunjukkan kepada kami kekurangan-kekurangan kami.”
Adalah salaf (pendahulu umat ini) mencintai orang yang mengingatkan kekurangan atau aibnya. Namun, di masa kita ini justru sebaliknya. Orang yang menunjukkan aib kita pada umumnya dijadikan orang yang paling tidak disukai. Ini menandakan lemahnya iman. Sesungguhnya, permisalan perangai jelek itu seperti kalajengking. Seandainya ada seseorang memberi tahu salah seorang kita bahwa di bawah pakaiannya ada kalajengking, niscaya dia akan berterima kasih lalu menyibukkan diri untuk membunuh kalajengking tersebut. Padahal perangai yang jelek lebih berbahaya daripada kalajengking.
3.         Menggali kekurangan dirinya dari ucapan (yang keluar) dari musuhnya.
Penglihatan orang yang benci akan membongkar aib orang yang dibencinya. Oleh karena itu, seseorang lebih banyak mengambil pelajaran dari musuhnya yang menyebut-nyebut aibnya daripada temannya sendiri, yang seringnya berbasa-basi dan menyembunyikan kekurangannya.
4.         Berbaur dengan manusia yang baik sehingga apa yang dipandang tercela oleh mereka, dia akan menjauhinya. (Dinukil secara ringkas dari Kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin hlm. 203—205)
Menuju kesucian diri seorang muslim yakin bahwa kebahagiaannya di dunia dan di akhirat tergantung pada upayanya membimbing dirinya dan membersihkannya dari kotoran. Allah  Shubhanahu wa ta’alla berfirman:

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9—10).

Dia berusaha membersihkan dirinya dari keyakinan yang batil dan ibadah yang menyimpang, serta akhlak dan muamalah yang tercela. Di samping itu, dia juga berusaha menghiasi dirinya dengan iman yang memancar cahayanya ke seluruh anggota tubuhnya. Oleh karena itu, ia pun lebih sibuk mengoreksi dirinya ketimbang memerhatikan aib orang lain. Al-Imam Ibnu Hibban mengatakan, “Orang yang berakal tidak akan samar baginya aibnya karena orang yang tidak mengenal aibnya tidak akan mengetahui kebaikan orang lain. Sesungguhnya, hukuman terberat yang dirasakan oleh seseorang adalah ketika ia tidak tahu aib dirinya sendiri yang karenanya ia tidak akan berhenti dari kejelekan nya dan tidak akan tahu pula kebaikan orang.” (Raudhatul ‘Uqala hlm. 22).
Sesungguhnya, sangat tercela orang yang menutup mata dari aibnya sendiri, namun ia sangat paham terhadap aib orang lain.
Abu Hurairah berkata, “Salah seorang dari kalian melihat kotoran (kecil) yang menempel pada mata saudaranya, (namun) ia lupa dengan kayu yang ada di matanya sendiri.” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 460). Ini adalah permisalan bagi orang yang bisa melihat kekurangan orang lain yang sedikit dan mencelanya karena aib tersebut, padahal dia sendiri memiliki aib yang jauh lebih besar.
Ketika kita mengajak agar sibuk memerhatikan aib diri kita sendiri, tidak berarti menutup pintu amar ma’ruf nahi mungkar. Yang dituntut dari seorang adalah mengaca kekurangan dirinya kemudian memperbaikinya, sebagaimana pula ia punya tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakatnya. Seperti itulah semestinya. Agar kesucian diri bisa terwujud dan aib bisa tertambal, kiranya ada beberapa langkah yang semestinya dilakukan.
1.     Tobat, yaitu seorang melepaskan diri dari segala dosa dan maksiat, menyesali semua dosa yang telah dilakukan dan bertekad hati untuk tidak mengulang di masa mendatang.
Allah  Shubhanahu wa ta’allaberfirman:
قال الله تعالى: ﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَيِّ‍َٔاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِي ٱللَّهُ ٱلنَّبِيَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَبِأَيۡمَٰنِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٨ [التحريم: 8] 

“Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah  dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (at-Tahrim: 8).
2.     Muraqabah, yaitu seorang menanamkan di hatinya bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah  Shubhanahu wa ta’alla pada setiap detik kehidupannya.
Apabila upaya itu terus dilakukan, akan sempurna keyakinannya terhadap pengawasan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Dia pun yakin bahwa Allah  Shubhanahu wa ta’alla mengetahui rahasia yang disembunyikan dalam dada dan apa yang dilakukannya secara lahir.
3.     Muhasabah, yaitu menghitung-hitung dan mengoreksi amalannya.
Pada kehidupan di dunia ini, seorang muslim beramal siang dan malam untuk meraih keridhaan Allah  Shubhanahu wa ta’alla dan surga -Nya. Ia jadikan dunia sebagai lahan amal untuk meraih harapan tersebut. Dia akan memandang hal yang diwajibkan oleh Allah  Shubhanahu wa ta’alla layaknya seorang pedagang yang memandang modalnya. Ia juga melihat amalan-amalan sunnah seakan-akan seorang pedagang yang melihat ada keuntungan dari pokok atau modal dagangannya. Tak lupa pula, ia memandang dosa dan kemaksiatan ibarat kerugian dalam dagangan. Lalu di sore hari dia merenung sesaat untuk memeriksa amalannya. Apabila ia melihat ada kekurangan pada perkara wajib (modal pokok), ia pun mencela dirinya lalu berusaha menambal kekurangannya. Jika bisa diganti, ia pun menggantinya. Jika tidak mungkin, ia akan menambalnya dengan memperbanyak amalan sunnah.
Apabila ternyata kekurangan ada pada amalan sunnah, dia pun berusaha menggantinya dan menambalnya. Seandainya ia melihat kerugian pada dirinya karena melakukan hal yang dilarang agama, ia akan meminta ampun kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, menyesali perbuatannya, kembali kepada jalur yang benar, dan melakukan kebaikan yang sekiranya bisa memperbaiki apa yang telah rusak.
4.     Mujahadah, yaitu berupaya mengekang hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan.
Hawa nafsu lebih menyukai sikap bersantai-santai dan bermalas-malas serta menyimpangkan hati agar terjerumus dalam kesenangan maksiat sesaat, padahal setelahnya adalah kebinasaan.
Seorang muslim yang tahu kondisi hawa nafsu yang seperti ini, niscaya ia akan mempersiapkan diri untuk melawannya. Apabila hawa nafsunya mendorongnya untuk bermalas-malas, ia menyibukan dirinya (dengan perkara yang positif). Apabila dirinya menginginkan syahwat (yang diharamkan), ia mengekangnya. Jika dirinya meremehkan amal ketaatan, ia menghukum dirinya dengan melakukan yang diremehkannya. Intinya, ia mengejar apa yang tertinggal. Dengan upaya seperti ini, dirinya akan bersih. Allah  Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ٦٩ [العنكبوت: 96-91] 
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah  benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabut: 69) (Disarikan dari Kitab Minhajul Muslim, al-Jazairi hlm. 91—96).

Di samping upaya di atas, kita juga hendaknya tidak lupa bermohon kepada Dzat Yang Mahakuasa agar Dia memperbaiki kondisi kita serta menambal aib dan kekurangan kita.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Pembunuh Sembilan Puluh Sembilan Nyawa



Pembunuh Sembilan Puluh Sembilan Nyawa
Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwasannya Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
"Adalah orang sebelum kalian, ada yang pernah membunuh Sembilan puluh Sembilan nyawa. Maka dirinya bertanya kepada orang-orang disekitarnya, siapa orang yang paling alim di muka bumi, lantas dirinya di tunjukan kepada seorang rahib (ahli ibadah). Ia pun mendatanginya, lalu ia menceritakan kepadanya, bahwa dirinya pernah membunuh Sembilan puluh Sembilan nyawa, apakah masih ada pintu taubat?! Rahib tersebut spontan menjawab: "Tidak ada taubat bagimu". Lalu rahib tersebut pun di bunuhnya, sehingga genap menjadi seratus nyawa, jiwa yang telah di bunuhnya.
Kemudian ia bertanya kembali siapa orang yang paling alim di muka bumi, maka dirinya di kasih tahu untuk mendatangi seorang yang berilmu. Iapun menceritakan bahwa dirinya telah membunuh seratus orang, lalu bertanya apakah masih ada taubat? Orang alim tersebut menjawab: "Ya, pintu taubat masih terbuka untukmu. Tidak ada yang menghalangi dirimu untuk taubat?! Tapi engkau harus pergi ke negeri ini dan itu, karena sesungguhnya di sana para penduduknya senang menyembah Allah Ta'ala, beribadahlah bersama mereka, dan jangan sekali-kali kamu kembali ke negerimu, karena negerimu adalah negeri yang buruk".
Orang tersebut lalu pergi menuju negeri yang di nasehatkan oleh orang alim itu, sehingga ketika sampai di tengah jalan, ajal datang menjemputnya, maka malaikat rahmat dan malaikat adzab berselisih. Malaikat rahmat berkata: "Dia telah datang dalam keadaan bertaubat dan hatinya condong untuk kembali kepada Allah Ta'ala". Malaikat adzab tidak mau kalah, ia mengatakan: "Sesungguhnya dia tidak pernah mengerjakan amal kebajikan sedikitpun".
Maka datanglah kepada mereka seorang malaikat yang menyerupai sosok manusia, untuk menghukumi atas mereka semua. Malaikat tersebut mengatakan: "Ukurlah jarak antara kedua negeri tersebut, mana jarak keduanya yang paling dekat dengannya, maka itu untuknya". Para malaikat tersebut mengukur dan mendapati bahwa dirinya sudah dekat dengan negeri yang menjadi tujuannya, sehingga ruhnya di bawa oleh malaikat rahmat.
Hadits ini shahih di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.


Kisah Nabi Musa alaihissalam
Nabi Musa alaihissalam dan Malaikat Maut
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia bercerita: "Telah bersabda Rasulallahu Shalallahu 'alaihi wa sallam:
"Nabi Musa 'alaihi sallam dulu pernah didatangi malaikat maut, lalu berkata kepadanya: "Penuhi panggilan Rabbmu".
            Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan: "Maka Musa 'alaihi sallam memukul mata malaikat maut tadi, sampai terlepas. Akhirnya malaikat tersebut kembali menghadap Allah Azza wa jalla, lalu mengadu kepada -Nya, seraya mengatakan: "Sesungguhnya Engkau telah mengutus hamba kepada seseorang yang belum ingin meninggal, dan ia telah memukul mataku". Kemudian Allah Shubhanahu wa ta’alla mengembalikan matanya. Lalu berfirman kepadanya: "Kembalilah kamu kepada hamba -Ku, lantas katakan padanya, kamu ingin hidup? Kalau sekiranya kamu ingin tetap hidup maka letakan kedua tanganmu di atas bulu sapi jantan, apa yang tertutupi oleh tanganmu, maka satu helai sama dengan hidupmu satu tahun".
Kemudian ia kembali kepada Musa, lalu mengatakan seperti yang diperintahkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla, Musa bertanya: "Setelah itu apa?, Malaikat tersebut menjawab: "Setelah itu kamu mati!. Musa mengatakan: "Bahkan sekarang, Ya Allah, matikanlah diriku di tempat yang suci dekat dengan bebatuan".
Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan: "Demi Allah, kalau sekiranya saya berada di sisinya, tentu akan saya beritahu kalian kuburannya yang berada di sisi jalan di tumpukan bukit berpasir yang berwarna merah".
Hadits ini shahih di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Nabi Musa alaihissalam dan Batu
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulallahu Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
"Dulu kebiasaan yang terjadi di kalangan Bani Isra'il adalah mereka biasa mandi dalam keadaan telanjang bulat, yang satu sama lain bisa saling melihat auratnya masing-masing. Adapun Musa 'alaihi sallam maka beliau biasa mandi dengan menyendiri. Sehingga pada suatu ketika kaumnya berkata: "Demi Allah, tidaklah Musa enggan mandi bersama kita melainkan karena dirinya punya aib".
Pada suatu hari Musa ‘alaihissalam pergi mandi di sungai lalu meletakan bajunya di atas sebuah batu, ketika ia sedang mandi, batu tersebut berjalan dengan membawa bajunya. Maka Musa mengejarnya, sambil berteriak: "Wahai batu, bajuku! wahai batu, bajuku!, sedangkan kaumnya yang sedang memperhatikan dirinya akhirnya melihat Musa tanpa berpakaian, sehingga mereka saling mengatakan: "Demi Allah, Musa tidak terkena penyakit apa-apa".
Akhirnya Musa dapat mengejar batu tersebut lalu berdiri di atasnya, dan mengambil pakaiannya, kemudian memukul batu tersebut".
Abu Hurairah mengatakan: "Sungguh demi Allah Shubhanahu wa ta’alla, sesungguhnya di atas batu tersebut ada bekas enam atau tujuh pukulan yang di lakukan oleh Musa 'alaihi sallam, kemudian turun ayat:

قال الله تعالى : { يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ ءَاذَوۡاْ مُوسَىٰ فَبَرَّأَهُ ٱللَّهُ مِمَّا قَالُواْۚ وَكَانَ عِندَ ٱللَّهِ وَجِيهٗا} [سورة الأحزاب : 69 ].
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah."  (QS al-Ahzab: 69).
Hadits ini shahih di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.






Berani dan Optimis Melalui Tawakal




Berani dan Optimis Melalui Tawakal
 


Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. 
Orang yang paling minim tingkat ilmunya tidak meragukan keluasan rahmat Allah Subhanahuwata’ala di dunia ini. Setiap makhluk merasakan dan mendapatkannya. Namun, semua itu tidaklah sebanding dengan keluasan rahmat -Nya di akhirat kelak.
Di dunia, Allah Subhanahuwata’ala menurunkan satu dari seratus rahmat -Nya dan 99 rahmat dipersiapkan bagi orang yang beriman kelak di hari kiamat. Tentu merugi dan celaka jika seseorang terlalaikan oleh satu rahmat dan melupakan rahmat yang akan didapatkan kelak di akhirat.
Seseorang dengan mudah bisa mendapatkan keluasan rahmat Allah Subhanahuwata’ala di dunia, akan tetapi untuk mendapatkan yang 99 tersebut membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. Dengan mengetahui luasnya rahmat Allah Subhanahuwata’ala di dunia ataupun di akhirat, menjadikan seseorang berani sekaligus berharap (raja’) di dalam hidup. Berani untuk menghadapi segala risiko dalam usaha meraih rahmat yang luas tersebut dan berharap hanya ke pada –Nya karena Allah Yang Maha Pemurah akan mencurahkan rahmat -Nya kepada siapa pun.
Di sinilah letak keistimewaan hidup orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala, kala menjalani hidup, dadanya senantiasa lapang dan luas, karena dia mengetahui rahasia hidup ini dan rahasia kebahagiaan di atasnya. Mereka berani dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dalam menjalankan roda ketaatan dan berharap dalam keluasan rahmat, pengampunan, dan kedermawanan Allah Subhanahuwata’ala.
 Namun orang-orang yang beriman tersebut sebelum menjadi orang yang berani dan berharap, mereka telah berkarya besar sembari menyandarkan diri kepada Allah Subhanahuwata’ala dalam segala usahanya.
Yang Menjadikan Dada Lapang

1.         Tauhid
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahumullah mengatakan, “Hal terbesar yang akan menjadikan dada lapang adalah ketauhidan. Berdasarkan kesempurnaannya, kekuatannya, dan bertambahnya, kelapangan dada akan mengalami hal yang serupa. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,

قال الله تعالى: ﴿ أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٖ مِّن رَّبِّهِۦۚ فَوَيۡلٞ لِّلۡقَٰسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ٢٢ [الزمر:22] 
“Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?” (az-Zumar: 22)

قال الله تعالى: ﴿ فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجٗا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي ٱلسَّمَآءِۚ كَذَٰلِكَ يَجۡعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ ١٢٥ [الأنعام : 125] 
“Barang siapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah Subhanahuwata’ala kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.” (al-An’am 125)

Petunjuk dan tauhid adalah sebab yang paling besar bagi lapangnya dada, sebagaimana syirik dan kesesatan sebagai sebab terbesar dada menjadi sempit dan sulit.
2.         Iman
Termasuk perkara yang akan menjadikan dada itu lapang adalah cahaya iman yang diletakkan oleh Allah Subhanahuwata’ala di dalam hati. Dengannya dada menjadi lapang, menjadikan hati selalu dalam kebahagiaan. Jika cahaya iman tersebut sirna, dadanya akan menjadi sempit dan sulit, berada dalam kungkungan yang paling sempit dan sulit. Seorang hamba akan mendapatkan kelapangan dada sesuai dengan bagian yang dia dapatkan dari cahaya tersebut, sebagaimana halnya cahaya yang bisa diraba serta kegelapan yang bisa di rasakan oleh panca indra akan menentukan sempit dan lapang nya dada
3.         Ilmu
Ilmu akan menjadikan dada lapang dan menjadikannya luas, bahkan melebihi luasnya dunia. Sementara itu, kejahilan akan mewariskan dada yang sempit, kerdil, dan tertutup. Di saat ilmu seorang hamba bertambah luas, maka bertambah lapang dadanya.
Tentu saja, hal ini tidak mencakup semua ilmu, tetapi hanya ilmu yang diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ilmu yang bermanfaat. Pemilik ilmu yang bermanfaat adalah orang yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling baik akhlaknya, dan paling bagus kehidupannya.
4.         Bertobat kepada Allah Subhanahuwata’ala
Bertobat kepada Allah Subhanahuwata’ala, mencintai -Nya setulus hati, memasrahkan diri kepad -Nya, dan menikmati beribadah kepad -Nya, akan menjadikan dada lapang. Sebagian mereka terkadang mengucapkan, “Jika saya di dalam surga dalam kondisi ini, niscaya saya berada dalam kehidupan yang baik.”
5.         Cinta kepada Allah Subhanahuwata’ala
Sungguh, cinta kepada Allah Subhanahuwata’ala memiliki pengaruh menakjubkan bagi lapangnya dada, baiknya jiwa, dan lezatnya hati. Tidak ada yang mengetahuinya selain orang yang bisa merasakannya. Saat cinta itu kuat dan keras, niscaya dada itu akan menjadi lapang dan luas. Tidaklah dada menjadi sempit kecuali tatkala melihat orang-orang yang telanjang dari semuanya ini. Memandang mereka akan menjadikan mata kita penuh kotoran dan bergaul dengan mereka menjadikan ruh kita panas.
Termasuk perkara besar yang akan menyebabkan dada sesak adalah berpaling dari Allah Subhanahuwata’ala, bergantungnya hati kepada selain Allah Subhanahuwata’ala, lalai dari mengingat Allah Subhanahuwata’ala, dan mencintai selain Allah Subhanahuwata’ala. Barang siapa mencintai sesuatu selain Allah Subhanahuwata’ala, niscaya Allah Subhanahuwata’ala akan memberi nya azab dengan sesuatu (selain Allah) tersebut, yang akibatnya hatinya terbelenggu dalam mencintai selain Allah Subhanahuwata’ala. Akhirnya, tidak ada orang yang paling celaka di muka bumi ini daripada dirinya, tidak ada yang paling tertutup akalnya, yang paling jelek kehidupannya, dan yang paling lelah hati daripada dirinya.
6.         Zikir kepada Allah Subhanahuwata’ala
Zikir kepada Allah Subhanahuwata’ala dalam segala kondisi dan di setiap tempat. Maka dari itu, zikir itu memiliki pengaruh menakjubkan terhadap lapangnya dada dan nikmatnya hati. Tentunya, sikap lalai memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menyempitkan, terbelenggu dan tersiksanya dada.
7.         Berbuat Baik kepada Makhluk
Berbuat baik kepada setiap makhluk dan memberikan manfaat kepada mereka dengan segala yang memungkinkan seperti dengan harta, kedudukan, dan yang bermanfaat untuk badan (jasmani), serta berbagai bentuk kebaikan lainnya. Seorang yang dermawan dan senang berbuat baik adalah orang yang paling lapang dadanya, yang paling baik jiwanya, dan yang paling tenteram hatinya.
Sementara itu, sifat bakhil yang tidak ada padanya kebaikan adalah orang yang paling sempit dadanya, paling jelek kehidupannya, serta yang paling besar keperihan dan kesedihan hidupnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan dalam riwayat yang sahih orang yang bakhil dan rajin bersedekah seperti halnya dua orang yang memiliki dua tameng besi.
Di saat orang yang gemar bersedekah mengeluarkan sedekahnya, maka melebarlah tameng itu dan meluas, hingga menutupi pakaian dan anggota badannya. Adapun apabila orang bakhil ingin bersedekah, tetaplah setiap lingkara  besi pada posisinya, tidak meluas. Demikianlah permisalan orang yang beriman dan gemar untuk bersedekah, lapang hatinya. Demikian pula pemisalan orang yang bakhil, sempit dadanya dan tersekap hatinya.
8.         Keberanian
Seseorang yang memiliki jiwa pemberani akan memiliki dada yang lapang, luwes perangainya, dan terbuka hatinya. Sementara itu, seorang yang penakut berada dalam kondisi dada yang sempit dan yang paling kerdil hatinya. Dia tidak memiliki kebahagiaan, kesenangan, kelezatan, dan kenikmatan selain sebagaimana halnya binatang.
Oleh karena itu, kebahagiaan ruh, kelezatan, kenikmatan, dan kewibawaannya, menjadi sesuatu yang haram didapatkan orang yang memiliki sifat penakut, sebagaimana halnya terhalangi bagi orang yang bakhil, orang yang berpaling dari Allah Subhanahuwata’ala, lalai dari berzikir kepada -Nya, jahil tentang Allah Subhanahuwata’ala, nama-nama -Nya, sifat-sifat -Nya, dan tentang agama -Nya, serta menggantungkan hatinya kepada selain Allah Subhanahuwata’ala.
Semua bentuk kenikmatan ini akan menjadi kebun dari salah satu kebun surga di dalam kubur. Demikian halnya kesempitan dada dan kerdilnya hati akan berubah menjadi azab dan belenggu di dalam kubur. Keberadaan seseorang di alam kubur bagaikan keberadaan hati di dalam dada, akankah mendapatkan nikmat atau mendapat siksaan, terbelenggu atau mendapatkan kemerdekaan? Tidak ada yang menjadi penghalang jika dada tersebut menjadi lapang, sebagaimana tidak ada yang akan menjadikan dada tersebut sempit, karena semuanya itu akan sirna dengan sirnanya sebab-sebabnya. Segala sifat yang akan menyentuh dan hinggap di dalam hati, maka itulah yang akan menjadikan dada tersebut lapang atau sempit. Inilah yang menjadi barometernya, wallahulmusta’an.”(Zadul Ma’ad 2/23)



Berani dan Berharap, Sebuah Pengorbanan dan Perjuangan
Berani dan berharap dalam hidup adalah dua senyawa yang jika bertemu dan berbaur, akan menjadi sebuah akhlak yang sangat terpuji. Sifat berani adalah sifat terpuji yang mengandung segala akhlak yang terpuji lainnya.
Keberanian adalah buah dari iman seseorang kepada Allah Subhanahuwata’ala. Terlebih jika dia mengimani adanya hari kebangkitan dan hari kiamat. Allah Subhanahuwata’ala telah memuji sifat berani di jalan-Nya sebagaimana dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari sahabat Abu Musa radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dikatakan, ‘Ya Rasulullah, seseorang berperang dengan keberanian, berperang karena kebangsaan, berperang dengan landasan riya, siapakah diantara mereka Yang benar-benar berjuang di jalan Allah Subhanahuwata’ala?’
Beliau menjawab, “Barangsiapa berperang untuk menegakkan kalimat Allah Subhanahuwata’ala, sesungguhnya dialah yang berada di atas jalan Allah Subhanahuwata’ala.” Kesempurnaan sifat keberanian itu ada pada sifat al-hilm yang artinya sabar, tidak tergesa-gesa, cerdas, dan tangkas, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Bukanlah yang dinamakan kuat itu adalah orang yang bisa membanting lawan, tetapi yang dikatakan kuat adalah orang yang bisa menahan diri tatkala marah.”

Berharap adalah buah dari ilmu tentang sifat rahmat Allah Subhanahuwata’ala, seperti pengampunan, kelembutan, maaf, dan kebaikan. Berharap terhadap pahala yang ada di sisi -Nya termasuk amalan hati yang paling besar dan pendorong kepada ketaatan yang paling kuat. Kekuatan berharap di dalam hati tergantung pada kekuatan ilmu kita kepada Allah Subhanahuwata’ala dan sifat-sifat     -Nya.
Ibnul Qayyim rahimahumullah berkata, “Kuatnya berharap itu tergantung pada kekuatan pengetahuan tentang Allah Subhanahuwata’ala, nama-nama dan sifat-sifat -Nya, serta pengetahuan bahwa rahmat Allah Subhanahuwata’ala mengalahkan murka -Nya. Tanpa ruh berharap, niscaya akan lenyaplah ubudiyah hati dan anggota badan. Akan hancur pula tempat-tempat menyebut nama-nama Allah Subhanahuwata’ala.”
Berharap itu adalah sebuah ibadah yang tidak boleh lepas dari kehidupan seorang muslim, baik saat melakukan kebaikan maupun melakukan kejelekan. Saat dia melakukan kebaikan, dia berharap bahwa amalnya diterima, yang wajib atau yang sunnah. Adapun saat dia melakukan kejelekan, dia berharap diterima tobatnya dan dimaafkan kesalahan-kesalahannya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,

قال الله تعالى: ﴿ إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ يَرۡجُونَ رَحۡمَتَ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٢١٨ [البقرة : 218] 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 218)

قال الله تعالى: ﴿۞قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٥٣ [الزمر : 53] 
Katakanlah,“Hai hamba-hamba -Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Alah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (az-Zumar: 53)

Maksud ayat ini adalah bagi orang yang bertobat. Oleh karena itu, Allah Subhanahuwata’ala mengumumkan bagi orang yang berbuat dosa, apa pun perbuatan dosa tersebut. Artinya, Allah Subhanahuwata’ala akan mengampuni dengan taubat yang baik, bagi siapa pun yang berdosa atas dosa apa pun, dan ini khusus taubat sebagai sebab pengampunan. Sampai-sampai ulama berselisih pendapat dalam hal mana yang lebih utama antara dua orang yang berharap tersebut. Sebagian mereka mengatakan lebih utama berharapnya orang yang berbuat baik, karena kuatnya sebab-sebab berharap itu pada dirinya.
Sebagian lagi mengatakan yang lebih utama adalah berharapnya orang yang berbuat salah untuk bertobat karena berharapnya itu bersih dari amalan yang jelek dan selalu dibarengi melihat kesalahannya. Namun, yang tampak adalah keutamaan tersebut tidak ditinjau dari sisi berharap itu, tetapi keutamaan tersebut sangatlah tergantung pada apa yang terdapat di dalam hati pemiliknya yaitu sifat takwa di saat dia berharap. Barang siapa lebih bertakwa, tentu berharapnya lebih afdal, apakah di saat dia berbuat baik ataupun berbuat salah. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,

قال الله تعالى: ﴿ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ [الحجرات : 13] 
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kalian.” (al-Hujurat: 13)

Dari penjelasan di atas, tampak jelas tentang berharap yang terpuji berupa bentuk berharapnya orang yang berbuat amalan agar amalnya diterima, atau berharapnya orang yang bertaubat agar taubatnya diterima. Adapun berharap yang kosong dari karya nyata (amal) dan terus dalam kemaksiatan lalu bersandar kepada pengampunan Allah Subhanahuwata’ala maka sikap ini adalah maghrur (tertipu) dan merasa aman dari azab Allah Subhanahuwata’ala.”

قال الله تعالى: ﴿ أَفَأَمِنُواْ مَكۡرَ ٱللَّهِۚ فَلَا يَأۡمَنُ مَكۡرَ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ٩٩ [الأعراف : 99] 
“Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (al- A’raf: 99)
Sebab, hukuman orang yang berbuat maksiat adalah istidraj (dibiarkan) atas kemaksiatannya, pada akhirnya dibinasakan setelahnya.” (Atsar al- Matsalul al-‘A’la hlm. 25)



Ilmu, Fondasi Akhlak yang Agung
Ibnu Qayyim rahimahumullah berkata, “Pengetahuan seorang hamba tentang keesaan Allah Subhanahuwata’ala dalam hal menolak mudarat, mendatangkan manfaat, memberi, tidak memberi, menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan akan membuahkan ubudiyah tawakal batiniah.
Konsekuensi tawakal dan efeknya jelas sekali. Pengetahuan dia tentang Allah Maha Mendengar, Melihat, dan tentang ilmu Allah Subhanahuwata’ala yang tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu pun yang paling kecil, baik di langit maupun di bumi. Allah Subhanahuwata’ala mengetahui yang tersembunyi dan yang tampak. Allah Subhanahuwata’ala juga mengetahui mata yang berkhianat dan segala yang tersembunyi di dalam dada. Semua ini akan membuahkan terjaganya lisan, anggota badan, dan pikirannya dari segala yang tidak diridhai oleh -Nya.
Dia menjadikan semua anggota tubuhnya tergantung kepada apa yang dicintai oleh Allah Subhanahuwata’ala dan diridhai -Nya. Semua ini juga akan melahirkan rasa malu di dalam batin yang akan membuahkan sikap menjauhkan diri dari segala yang diharamkan dan segala yang jelek. Mengenal Allah Subhanahuwata’ala bahwa dia adalah Dzat yang Mahakaya, dermawan, mudah memberi, banyak kebaikannya, dan penyayang; akan melahirkan harapan yang luas lalu membuahkan segala bentuk ubudiyah lahiriah dan batiniah.
Semuanya tergantung pada pengetahuan dan ilmunya. Demikian pula pengetahuan seorang hamba tentang keagungan Allah Subhanahuwata’ala, kemuliaan -Nya akan membuahkan ketundukan, ketenteraman, dan kecintaan yang akan melahirkan segala bentuk pengabdian lahiriah kepada -Nya dan itulah konsekuensinya.
Demikian pula tatkala berilmu tentang kesempurnaan dan keindahan, serta ketinggian sifat-sifat -Nya akan melahirkan kecintaan yang khusus dalam semua bentuk ubudiyah. Oleh karena itu, semua bentuk pengabdian akan kembali kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahuwata’ala. Semua bentuk peribadahan terikat dengan semua yang di atas, sebagaimana terikatnya ciptaan dengan -Nya.
Di alam ini, seluruh ciptaan dan perintah Allah Subhanahuwata’ala adalah konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat -Nya. Allah Subhanahuwata’ala tidak akan menjadi mulia karena ketaatan mereka dan tidak akan hina karena kemaksiatan mereka. Renungilah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahih al-Bukhari, yang beliau riwayatkan dari Rabbnya, “Hai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak mampu berbuat mudarat terhadap-Ku hingga mencelakai- Ku. Kalian juga tidak dapat berbuat kemanfaatan bagi -Ku hingga memberiku manfaat.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkannya setelahnya, “Hai para hamba -Ku, sesungguhnya kalian melakukan kesalahan dimalam hari dan sianghari, sementara Aku adalah pengampun dosa, maka minta ampunlah kalian kepada -Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.”

Ini mengandung makna bahwa apa yang diperbuat oleh Allah Subhanahuwata’ala terhadap mereka dalam hal mengampuni kesalahan-kesalahan mereka, dikabulkannya permintaan mereka, dan dilepaskannya mereka dari segala bentuk malapetaka, tidak berarti Allah mengambil manfaat dari mereka.(Madarijus Salikin 2/90)

Koreksilah Berharapmu dan Perbaruilah Cintamu
Berharap itu sumbernya adalah menyaksikan janji-janji Allah Subhanahuwata’ala dan berbaik sangka kepada Allah Subhanahuwata’ala, serta menyaksikan segala apa yang dipersiapkan oleh Allah Subhanahuwata’ala bagi orang yang mengutamakan -Nya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat. Berharap menjadikan petunjuk sebagai hakim terhadap hawa nafsunya, dan wahyu atas ra’yu -nya (pendapatnya), sunnah atas bid’ah, dan menjadikan hakim segala apa yang telah dilalui oleh para sahabat atas adat istiadat yang berlaku.
Sementara itu, cinta itu sumbernya adalah menyaksikan nama-nama Allah Subhanahuwata’ala dan sifat-sifat -Nya sebagaimana menyaksikan segala nikmat dan pemberian -Nya. Apabila mengingat dosa-dosanya, ia berbalut rasa takut; apabila mengingat rahmat Allah Subhanahuwata’ala, luas pengampuan, dan maaf -Nya, dia berbalut rasa berharap; dan apabila mengingat keindahan dan keagungan -Nya, kesempurnaan -Nya, kebaikan dan nikmat -Nya, ia akan berbalut rasa cinta.
Oleh karena itu, hendaklah setiap hamba menimbang imannya dengan tiga hal ini (takut, berharap, dan cinta) agar dia mengetahui kadar iman yang dimilikinya. Sesungguhnya, hati itu terfitrah dengan Ramah Lingkungan cinta kepada keindahan dan cinta kepada Pemberi Keindahan, dan Allah Subhanahuwata’ala adalah Dzat Yang Maha indah, keindahan yang sempurna dari segala sisi.
 Indah pada Dzat -Nya, indah pada sifat -Nya, indah pada perbuatan-perbuatan -Nya, dan indah pada nama-nama -Nya. Jika berkumpul keindahan seluruh makhluk pada seseorang, lalu dibandingkan dengan keindahan Allah Subhanahuwata’ala, perbandingannya lebih lemah daripada pancaran cahaya lentera yang paling lemah di hadapan pancaran sinar matahari. (Madarijus Salikin 3/288)
Sifat berharap yang penuh kejujuran memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang muslim. Berharap akan membangkitkan dan mendorong untuk bertobat dengan benar, mendorong untuk beramal saleh berharap keberuntungan dengan surga Allah Subhanahuwata’ala, melihat -Nya, dan mendengar pembicaraan -Nya. Berharap yang jujur akan menjaga akidah seorang muslim dari bergantung kepada makhluk mengharapkan keberkahan dari mereka, atau syafaat, atau jalan keluar dari malapetaka. Oleh karena itu, pada kehidupan seorang muslim yang jujur, Anda tidak menjumpai penampilan-penampilan syirik dalam harapan, seperti mencari berkah melalui kedudukan para nabi, dengan para wali, dan melalui kuburan-kuburan mereka; atau mencari berkah di sumber mata air, gua, atau tempat sejenisnya.
Sebab, seorang muslim mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah Subhanahuwata’ala adalah Dzat yang tunggal dalam hal mendatangkan manfaat dan menolak mudarat. Dia mengimani bahwa Allah Subhanahuwata’ala adalah satu-satunya Dzat tempat menggantungkan harapan segala yang dicita-citakannya berupa kebaikan dunia dan akhirat. (Atsaral-Matsalulal-A’la hlm. 25)