Wara’



Wara’

Segala puji hanya bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad saw, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi -Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan -Nya.
 Amma Ba’du:
Di antara sifat terpuji yang dianjurkan dan diperintahkan oleh syara’ adalah bersikap wara’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun wara’ adalah menahan diri dari perkara yang terkadang bisa memudharatkan, termasuk di dalam perkara ini adalah perkara-perkara yang diharamkan dan yang syubhat, sebab bisa berdampak negatif, dan orang yang menjaga perkara yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan orang yang terjebak ke dalam perkara yang syubhat maka dia telah terjatuh pada perkara yang diharamkan, sama seperti seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya di sekitar perbatasan, hampir saja dia melewati batasnya”.[1]
Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Wara adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan, hal itu terwujud dengan meninggalkan segala sesuatu yang hukumnya belum jelas dan belum jelas pula hakekatnya.
 Pertama: sesuatu yang belum jelas hukumnya apakah dia halal atau haram. Dan yang kedua adalah samar dalam keadaannya”.[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir RA berkata: Aku telah mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram itu telah jelas dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang masih samar yang tidak diketahui oleh sebagian besar orang, maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang syubhat maka sungguh dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, sama seperti penggembala yang menggembala di sekitar perbatasan yang hampir saja memasuki ladang orang lain dan ketahuilah bahwa setiap raja itu memiliki batas-batas dan batasan-batasan Allah adalah segala perkara yang diharamkannya”.[3]
Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Keutamaan ilmu itu lebih baik dari keutamaan ibadah dan cara terbaik untuk menjaga agamamu adalah bersikap wara’”. [4]
Diriwayatkan oleh Al-Nasa’I dari hadits Hasan bin Ali, dia berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi Muhammad SAW, “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukannmu”.[5]
Di dalam shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an berkata: Aku telah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang kebaikan dan dosa, maka beliau bersabda, “Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang telah merasuk ke dalam hati namun engkau tidak suka jika orang lain melihat hal tersebut”.[6] Di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “ Sekalipun banyak orang yang memberikan fatwa kepadamu”.[7]
Sikap wara’ ini memiliki jangkauan yang cukup luas, yaitu meliputi pandangan, pendengaran, lisan, perut, kemaluan, jual beli dan yang lain-lain. Banyak orang yang terjebak ke dalam perkara-perkara yang diharamkan dan syubhat karena meremehkan tiga perkara ini, yaitu bersikap wara’ dalam menjaga lisan, perut dan pandangan. Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isro’: 36).
Allah SWT berfirman:                                 يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat) dan apa yang
disembunyikan oleh hati. (QS. Gafir: 19)
Imam Ahmad bin Hambal berkata: Seorang lelaki yang berada pada suatu kaum lalu seorang wanita lewat dan pandangannya mengikuti langkah wanita tersebut”.[8]
Dalam ash-shahihaini dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kata yang maknanya tidak dipikirkan oleh dirinya, akibatnya dia terjatuh ke dalam jurang neraka yang dalamnya lebih dari jarak antara timur dan barat”.[9]. Arti sabda Rasulullah Muhammad SAW: (ما يتبين)   adalah dia tidak memikirkan tentang kejelasan maknanya dan tidak pula merenungkannya apakah dia baik atau buruk.
Di dalam hadits riwayat Aisyah RA tentang berita bohong yang menimpa dirinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bertanya kepada Zainab binti Jahsy RA dan dia berkata, “Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku, dan diriku tidak mengetahui kecuali kebaikan”. Aisyah berkata: Dialah dari sekian istri-istri Nabi Muhammad SAW yang selalu menyaingiku maka Allahpun menjaga dirinya dengan sikap wara’.[10]
Wuhaib bin Wurd berkata, “Seandainya engkau berada di dalam kelompok pasukan perang ini maka tidak ada yang memberikan manfaat apapun bagimu sehingga engkau meneliti apa-apa yang masuk ke dalam perutmu apakah dia halal atau haram.
Nabi Muhammad SAW adalah tauladan dalam bersikap wara’, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Anas bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Aku pergi kepada keluargaku, lalu mendapatkan sebiji buah yang terbuang di atas ranjangku, maka aku mengambilnya untuk memakannya, kemudian aku khawatir kalau dia berasal dari buah yang disedekahkan maka akupun membuangnya”.[11] Sebab sedeqah tersebut diharamkan bagi diri beliau dan keluarga beliau Muhammad SAW. Dan para shahabat mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW ini, mengikuti sunnah beliau. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Aisyah RA berkata, “Abu Bakr memiliki seorang pembantu yang yang selalu memberikannya makanan dari pajak, dan pada suatu hari pembantunya datang memberinya makanan dan Abu Bakr pun memakannya, lalu pembantunya berkata kepadanya: Tahukan anda apakah ini?. Maka Abu Bakr bertanya:  Dari manakah asal makanan ini?. Pembantunya berkata: Aku, di masa jahiliyah telah meramal seseorang, padahal diriku bukan peramal yang baik, hanya saja aku telah menipunya, lalu dia memberikan upah bagiku dengan makanan ini, dan makanan yang kamu makan ini adalah bagian darinya, maka Abu Bakr pun memasukkan tangannya ke dalam mulutnya sehingga dia memuntahkan apa-apa yang ada di dalam perutnya”.[12]
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Nafi’, yaitu dari Ibnu Umar dari Umar bin Khattab berkata, “Bahwa telah ditetapkan bagi kaum muhajirin generasi pertama empat ribu, dan ditetapkan bagi Ibnu Umar tiga ribu lima ratus. Lalu dia ditanya: dia termasuk orang muhajirin lalu mengapa engkau mengurangi bagiannya dari empat ribu?. Maka Umar menjawab: Sesungguhnya dia telah dihijrahkan oleh bapaknya, dia berkata: Bukan seperti orang yang hijrah dengan sendirinya”.[13]
Umar RA berkata, “Kami meninggalkan sembilan persepuluh yang halal karena khawatir terhadap riba”.[14]
Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”. Dan Umar bin Abdul Aziz dinyalakan baginya sebuah lilin untuk menunaikan tugas menyelesaikan perkara kaum muslimin, lalu jika dia telah selesai maka diapun memadamkan lampu lilin tersebut lalu dia menyalakan lampunya sendiri. Suatu hari, dia pernah berkata kepada istrinya: Apakah engkau memiliki satu dirham untuk membeli anggur?. Istrinya menjawab: Aku tidak memiliki uang. Dia bertanya kembali: Apakah engkau memiliki satu keping uang?. Istrinya menjawab: Aku tidak punya, dan engkau sebagai amirul mu’minin apakah engkau tidak memiliki uang satu dirham saja?. Dia menjawab: Perkara ini lebih mudah daripada melepaskan diri dari ikatan rantai di dalam neraka jahannam”.
Telah disebutkan sebelumnya tentang perkataan syekh Utsaimin bahwa kesamaran tersebut bisa terjadi dalam beberapa hal, yaitu kesamaran dalam hukum, dan seorang mu’min tidak mengetahui apakah dia termasuk di dalam perkara halal dengan jelas atau di dalam perkara yang haram dengan jelas. Perkara ini memiliki contoh yang sangat banyak, sebab perbedaannya didasarkan pada perbedaan pemahaman para ulama, di antara mereka ada yang menganggap halal dan sebagian yang lain berkata haram, hal ini terlihat dalam sebagian aqad transaksi dan cara jual beli yang banyak berkembang di masa sekarang ini”.[15]
Kedua: Samar dalam keadaan. Perkara ini tampak pada hukum tentang daging ayam yang diimpor dari luar, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa daging itu halal sebab termasuk dalam kategori makanan ahli kitab. Allah SWT berfirman:
 وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ
Makanan )sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, (QS. Al-Maidah: 5)
Dan sungguh telah jelas terbukti bagi sebagian penuntut ilmu bahwa banyak daging ayam impor disembelih dengan menggunakan strum listrik atau cara lain yang tidak sesuai dengan cara penyembelihan yang syar’i. Maka perkara ini termasuk perkara yang samar dari sisi keadaan sehingga orang yang wara’ seharusnya  meninggalkannya.
Dan hal yang perlu diingatkan bagi orang yang meninggalkan dan menjauhi perkara syubhat bahwa Allah SWT akan memberikan ganti baginya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah terlewat.  Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Abi Qotadah dan Abi Dahma’ bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah SWT kecuali Dia akan memberikan ganti bagimu dengan yang lebih baik darinya”.[16]
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad saw dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.








[1] Majmu’ Fatawa: 10/615
[2] Syarah riyadhus Shalihin: 6/168
[3] Shahih Muslim: no: 1599 dan shahih Muslim: no; 52
[4] Kasyful Astar: 1/85 no: 139 dan dishahihkan oleh Albani pada kitab shahihul Jami’ no: 4214
[5] An-Nasa’i: no: 5711
[6] Shahih Muslim: no: 2553
[7] Shahih Muslim: 4/227
[8] Al-Wara’, karangan Al-Marwazi, halaman: 111
[9] Shahih Muslim: no: 988 dan shahih Bukhari: no: 6477
[10]  Shahih Bukhari: no: 4750 dan Shahih Muslim: no: 2770
[11] Al-Bukhari: no: 2432 dan Muslim: 1070
[12] Al-Bukhari: no: 3842
[13] Al-Bukhari: 3912
[14] Mushannaf Abdur Razzaq: 8/152 no: 14683
[15] Lihat kitab: Al-Ashum Al-Mukhatalitah, karangan syekh shaleh Al-Ushaimi
[16] Musnad Imam Ahmad: 5/363 dan Al-Hutsaimi berkata di dalam kitab: Majma’uz Zawa’id: 10/296 diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad-sanadnya dan rijalnya yang merawikannya adalah rijal dalam kategori shahih. Dan AlBani berkata di dalam di dalam silsilah Al-Dahifah: 1/62 dan sanadnya shahih dengan syarat muslim

Tekanan Jiwa (stress)



Tekanan Jiwa (stress)


Pendahuluan:

Kehidupan Manusia di masa lalu relatif stabil. Ketenangan adalah keseharian dalam mayoritas kehidupan mereka karena minimnya faktor-faktor yang mempengaruhi kejiwaan ketika itu.
- Tanggung jawab yang ditanggung ketika itu belum mengacaukan pikiran atau mempengaruhi aktivitasnya yang sederhana di perkebunan, rumah produksi atau di tempat perniagaan.
- Krisis kependudukan dan kemanusiaan ketika itu belum seperti keadaannya yang sekarang, di mana realita memaksa manusia menggunakan pola baru dalam berinteraksi dan memikul tanggung jawab.
- Rumah hunian dan perabotannya tidaklah seperti sekarang yang menghimpit, di mana sebagiannya bertumpuk dengan sebagian yang lain. Sebagaimana kondisi yang ada dibanyak negara di dunia.
- Bahkan musibah yang menimpa manusia  belumlah sehebat dan sedahsyat sekarang ini. Penyakit ketika itu belum lagi sekomlek dan dengan nama yang beraneka macam, yang menghantui manusia dan mengganggu kehidupannya, yang menjadikannya dibayang-bayangi ketakutan dan kecemasan, seiring lambatnya ditemukan obat penawarnya.
- Ketika itu peperangan tidak dapat membunuh ribuan manusia dalam waktu sekejap, sebagaimana teknologi dan instrumen perang yang ada seperti sekarang ini.
- Belum ada kejadian yang menelan korban mengerikan akibat kecelakaan lalu lintas baik darat, udara, air atau alat transportasi lain ketika itu.
- Dan di atas semua itu, krisis keuangan dan ekonomi membatasi manusia dan membalikkan keadaan berbagai umat dan bangsa dari kenikmatan dan kemewahan menjadi terpuruk dalam kefakiran dan kekurangan.
Serta perkara-perkara lain dari perubahan-perubahan, halangan-halangan dan problem yang berdampak negatif pada kehidupan manusia, yang selanjutnya mempengaruhi kemampuan dan kekuatan potensialnya.
Itu artinya bahwa kemajuan teknologi yang disaksikan oleh dunia dan banyak berperan dalam memfasilitasi manusia, pada waktu yang sama justru memberatkan manusia itu sendiri dengan lebih banyak tanggung jawab dan kewajiban yang menyedot umur dan waktu mereka. Bahkan tak jarang datang bertubi-tubi sehingga tidak sanggup menghadapinya atau menyerah karena kontinuitasnya.
Dari sinilah mulai muncul tekanan kejiwaan (stres): yang berwujud pada ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan atau memikul tanggung jawab yang sebenarnya terfasilitasi dan memiliki kemungkinan yang terbuka.

Dampak Stress (Tekanan Jiwa)

Sesungguhnya stres pada banyak keadaan menyebabkan penderitanya tidak stabil, yang pada akhirnya memunculkan dampak dan efek negatif dalam kehidupan dan pergaulannya. Di antara dampak yang terpenting adalah:
1.  Ada kalanya stres pada penderitanya melahirkan semacam prilaku kasar, keradikalan, kemarahan akan realita dan melihatnya dengan gelap mata. Ia berharap dapat keluar dari permasalahannya dan terkurangi tanggung jawabnya. Akan lebih parah jika tidak ada pendampingan yang dapat mengurangi sebagian beban dan kepedihannya.

2. Stres menyebabkan menarik diri dan menjauh dari kehidupan, menjauh dari kenyataan, bahkan menjadikan penderitanya tenggelam dalam dunia khayal, terkendala dalam metode berpikir dan mencari solusi. Engkau dapati ia mendebat perkara dengan solusi filosofis yang rumit atau penafsiran yang ganjil yang tidak diterima oleh para pemikir dan orang kebanyakan.

3. Tekanan jiwa mempengaruhi dalam bergaul dengan orang lain atau menjalin hubungan dengan mereka. Dimana penderita tekanan jiwa akan sulit membangun hubungan dalam bertetangga, persahabatan dengan teman kerjanya, atau dengan siswa lain jika itu di sekolah, dengan orang banyak jika dia seorang pegawai, dengan para pegawai jika dia seorang kepala bagian atau direktur, juga dengan seluruh strata masyarakat di lingkungannya. Ia merupakan ancaman dalam membangun masyarakat, kepribadian dan lembaga sosial yang lebih maju, meningkat dan mumpuni.

4. Stres (tekanan jiwa) memiliki pengaruh yang besar pada anggota tubuh penderita. Penyakit yang di derita kebanyakannya adalah cerminan dari hakikat kondisi kejiwaan yang tengah dialami penderita. Karenanya para dokter menyarankan pasiennya untuk menjauhi hal-hal yang menimbulkan gejolak kejiwaan. Terutama mereka yang terkena liver, gangguan jiwa, kolesterol, gangguan lambung, usus dan lain sebagainya. Karena kejiwaan memiliki peran yang penting dalam mengontrol penyakit-penyakit tersebut, baik dalam penyembuhan atau dalam memperburuk dan membuatnya semakin parah.

5. Stres (tekanan jiwa) berpengaruh negatif dalam produktivitas kerja dan kreasi. Karena penderitanya kehilangan penyelaras dalam berinteraksi dengan berbagai hal. Buyar kekuatan dan kemampuan. Terlebih lagi tidak dapat konsekuen dalam mencapai tujuan dan mencapai target.


Obat Stres (Tekanan Jiwa)

Dikarenakan siapa pun dapat terkena tekanan jiwa, yang berdampak pada timbulnya masalah atau penyakit, sudah seharusnya diberikan terapi penyembuhan dan pengobatan yang dapat mencegah atau membatasi agar tidak menjangkit pada diri. Di antara penyembuhan dan terapinya:

1- Bertakwa kepada Allah I dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal saleh. 
Firman-Nya Alloh SWT.:

"Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar." (QS. At-Thalaq: 2 )
Dan firman-Nya Alloh SWT. :

"Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. At-Thalaq: 4)
Kisah tiga orang yang terjebak di dalam goa tidak asing bagi kita. Allah I telah mengeluarkan mereka dari keterjebakan ketika setiap mereka menyebutkan amalan saleh yang dikerjakan ikhlas karena Allah I. Dengan amal mereka itulah mereka bertawasul kepada Allah I.

2. Menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong. Karena dua hal ini dapat menguatkan dalam menghadapi berbagai problema dan tanggung jawab sehingga dapat tegar dan sukses menghadapinya. Hal ini sebagaimana firman Allah I:

"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153 )
Seorang sahabat Nabi, Hudzaifah t berkata, "Jika Nabi r menghadapi perkara pelik, beliau melaksanakan shalat." [HR.Ahmad]

3. Husnuzon (berbaik sangka) kepada Allah I. Sadarilah bahwa Allah sematalah yang mengangkat kesulitan manusia. Sesungguhnya kesulitan meskipun berlangsung berlarut-larut senantiasa Allah iringkan dengan solusi dan kemudahan. Allah I berfirman melalui lisan Nabi Ya'kub :

"...Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir." (QS. Yusuf: 87 )
Nabi r bersabda dalam hadits Qudsi:
أَنَا عِنْدَ ظَنَّ عَبْدِيْ بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي
"Sesungguhnya Allah r berfirman: "Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku."
[HR.Turmudzi]
Benarlah perkataan seorang penyair:
Begitu pelik, tapi ketika aku kembalikan kepada Penciptaannya
Ia teratasi, padahal aku sangka tidak akan teratasi

4. Berzikir kepada Allah (mengingat Allah) dengan keyakinan, ucapan dan amal merupakan sebab untuk dapat keluar dari kemelut, memberi ketegaran jiwa dan ketenangan. Sebagaimana firman Allah I:

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS.Ar-Ro'd:28)

5. Kontinu senantiasa beristigfar (meminta ampun kepada Allah). Sesungguhnya hal ini adalah salah satu dari sebab kebahagiaan dan ketenangan; sebagaimana ia dapat pula mengeluarkan dari bencana, menghilangkan kegalauan dan kegelisahan. Sebagaimana sabda Rasulullah r,
مَنْ لَزِمَ الاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
"Siapa yang kontinu beristigfar, Allah akan jadikan pada setiap kegalauannya solusi dan dari setiap kesulitan jalan keluar serta akan diberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkan."
[HR.Abu Dawud, Ahmad dan Hakim]

6. Kembali kepada Allah dengan berdoa, karena doa dapat menghilangkan kegelisahan dan mengeluarkan dari kesusahan. Hal ini sebagaimana hadits Abu Sa'id al-Khudri t:
"Pada suatu hari Rasulullah r masuk masjid. Beliau mendapati seorang lelaki Anshar, yang dipanggil Abu Umamah. Beliau berkata,
"Wahai Abu Umamah, aku tidak melihatmu duduk di masjid melainkan sedang shalat."
"Kegelisahan dan hutang melilitku, wahai Rasulullah." Jawabnya.
"Maukah aku ajarkan suatu kalimat, jika engkau katakan Allah akan menghilangkan kegelisahanmu dan melunaskan hutangmu?!" Tawar Rasulullah.
"Tentu wahai Rasulullah!" Jawab lelaki itu.
"Bacalah ketika pagi dan petang:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
[ Allahumma Inni A'ûdzubika minalhammi walhazan wa a'ûdzubika minal'ajzi walkasal, wa a'ûdzubika minaljubni walbukhl, wa a'ûdzubika min ghalabatiddaini wa qohril rijal ]
Artinya:
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kegelisahan dan kesedihan. Aku berlindung kepadamu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepadamu dari kepengecutan dan kebakhilan. Aku berlindung kepadamu dari dari lilitan hutang dan penindasan orang."
[HR.Abu Dawud]
Di antara doa Nabi Musa u kepada Allah agar dilapangkan dadanya, dimudahkan urusannya, dihilangkan kegelisahan dan kesedihannya, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah I melalui lisan Nabinya:

"Musa berkata: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku."
(QS.Thâhâ:25-26)

7. Mengerjakan sebab-sebab yang dapat membantunya sukses dalam kehidupan lalu bertawakal kepada Allah I. Meminta kepada-Nya agar dapat mencapai  dan memperoleh hasil yang terbaik. Amal dan tawakal adalah dua hal yang saling berkaitan untuk menangkal tekanan jiwa dan efek negatif yang ditimbulkannya. Allah I berfirman,

"Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS. At-Thalaq: 3 )
Siapa yang mencukupkan diri dengan Allah, tidak akan tersesat dan tidak akan celaka selamanya.

8. Tidak mengapa meminta bantuan para ahli dari dokter ahli jiwa atau selain mereka. Terkadang keadaan seseorang terasa begitu menghimpit, ia dikuasai rasa gundah, gelisah, sedih dan merana yang mengakibatkan tekanan pada dirinya. Jika berkonsultasi kepada yang lain, itu akan membantunya membuka pintu penting yang membuka cercahan cahaya dengan izin Allah.

Ringkas pembicaraan:
Bahwa tekanan jiwa pada akhirnya adalah buatan dan buah amal tangannya sendiri.

"(Azab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan bahwasanya Allah sekali-kali tidak Menganiaya hamba-hamba-Nya." (QS. Ali Imrah: 182 )
Karena timbulnya tekanan jiwa ini merupakan akibat dari kesalahan masa lalu yang bertumpuk dan membesar pada penderitanya. Dia tidak dapat mengolahnya dengan jalan yang benar hingga sampai pada puncaknya. Terasa begitu hebat di dalam diri dan memorak-porandakan harapan serta angan-angannya.
Setiap orang dapat mengalahkan tekanan ini dan menghindari pengaruh negatif yang timbul karenanya ketika sejak semula ia telah siap menghadapi berbagai tantangan yang dihadapinya. Hal itu diperoleh dari pendidikan imaniah (pendidikan keimanan) yang benar bagi generasi putra dan putri di rumah, masjid, sekolah, lembaga-lembaga bimbingan dan pusat-pusat pendidikan.
Karena seorang hamba ketika bergantung kepada Allah I dan dapat merasakan keagungan serta penguasaan-Nya atas sesuatu pada satu sisi, juga merasakan akan kelembutan dan rahmat-Nya terhadap hamba-Nya dari sisi yang lain, dia tidak akan merasa khawatir akan kesulitan dan tantangan, bahkan menjalani dan menghadapinya dengan ketegaran dan kesuksesan.