MENGUBAH FATWA KARENA PERUBAHAN WAKTU DAN TEMPAT



MENGUBAH FATWA KARENA PERUBAHAN WAKTU DAN TEMPAT

PENGAMBILAN tindakan yang  mudah  juga  dianjurkan  dalam  hal berikut  ini. Pentingnya pengetahuan tentang perubahan kondisi manusia,  baik   yang   terjadi   karena   perjalanan   waktu, perkembangan   masyarakat,   maupun  terjadinya  hal-hal  yang sifatnya  darurat,  sehingga  para  ahli  fiqh  yang  biasanya mengeluarkan  fatwa harus mengubah fatwa yang telah lalu untuk disesuaikan  dengan  perubahan  zaman,  tempat,  tradisi   dan kondisi  masyarakatnya;  berdasarkan petunjuk para sahabat dan apa yang pernah dilakukan oleh  para  khulafa  rasyidin,  suri tauladan  yang  kita  disuruh  untuk  mengambil  petunjuk dari 'sunnah' mereka dan berpegang teguh  kepadanya.  Yaitu  sunnah yang  sesuai  dengan  sunnah  Nabi saw dan dapat diterima oleh al-Qur'an; sebagaimana yang pernah kami jelaskan dalam risalah kecil  kami  yang  berjudul  'Awamil al-Sa'ah wa al-Murunah fi al-Syari'ah   al-Islamiyyah   (Faktor-faktor   Keluasan    dan Keluwesan dalam Syariat Islam).

Itulah yang antara lain yang mengharuskan kita untuk melakukan peninjauan kembali terhadap pandangan dan pendapat para  ulama terdahulu.  Karena boleh jadi, pandangan tersebut hanya sesuai untuk zaman dan kondisi pada masa itu, dan tidak  sesuai  lagi untuk  zaman  kita  sekarang ini yang telah mengalami pelbagai pembaruan  yang  belum  pernah   terpikirkan   oleh   generasi terdahulu.  Pendapat  dan  pandangan  ulama terdahulu itu bisa jadi membawa kondisi yang tidak baik  kepada  Islam  dan  umat Islam, serta menjadi halangan bagi da'wah Islam.

Misalnya,  pendapat  mengenai pembagian dunia kepada Dar Islam dan Dar Harb. Yaitu suatu konsep yang pada dasarnya menganggap hubungan  kaum  Muslimin  dengan  orang  bukan  Muslim  adalah peperangan, dan sesungguhnya perjuangan  itu  hukumnya  fardhu kifayat atas umat... dan lain-lain.

Pada  kenyataannya,  sebetulnya  pendapat-pendapat seperti itu tidak sesuai untuk zaman kita sekarang ini, di  samping  tidak ada   nash   hukum  Islam  yang  mendukung  terhadap  pendapat tersebut; bahkan yang ada adalah nash-nash yang menentangnya.

Islam sangat menganjurkan perkenalan  sesama  manusia,  antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, secara menyeluruh:

"... dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal..." (al-Hujurat: 13)

Islam  juga  menganggap  perdamaian  dan  pencegahan  terhadap terjadinya   peperangan   sebagai  suatu  kenikmatan.  Setelah terjadinya Perang Khandaq, Allah SWT berfirman:

"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejenglelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan..." (al-Ahzab: 25)

Al-Qur'an menganggap Perjanjian Hudaibiyah sebagai  kemenangan yang nyata yang diberikan kepada Rasulullah saw; dan pada masa yang sama turun surat al-Fath:

"Sesunggguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (al-Fath: 1)

Dalam surat ini juga dijelaskan bahwa Rasulullah saw dan  kaum Muslimin  juga  diberi  anugerah  berupa  batalnya  peperangan antara kedua belah pihak; di mana Allah SWT berfirman:

"Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka..." (al-Fath: 24)

Rasulullah  saw  sendiri  berusaha  untuk  tidak   mengucapkan perkataan  "perang," sampai beliau bersabda, "Nama yang paling jujur adalah Harits dan Hammam,  sedangkan  nama  yang  paling buruk ialah Harb (perang) dan Murrah (pahit)."

Peperangan  yang  disyariatkan  oleh  Islam  pada  zaman-zaman dahulu memiliki suatu tujuan yang jelas. Yaitu,  menyingkirkan penghalang yang bersifat material di tengah jalan da'wah. Para penguasa dan raja-raja pada masa itu membuat  penghalang  yang sulit  ditembus  oleh  da'wah  Islam kepada bangsa mereka. Dan oleh karena  itu  Rasulullah  saw  mengirimkan  surat-suratnya kepada   mereka   untuk   mengajak  mereka  masuk  Islam,  dan menimpakan dosa serta tanggung jawab kesesatan umat mereka  di pundak mereka, karena mereka sengaja menghalangi bangsa mereka untuk mendengarkan segala suara dari  luar,  karena  raja-raja itu  khawatir  bahwa  suara  itu akan membangunkan keterlenaan mereka, membangkitkan  hati  nurani  mereka,  sehingga  mereka terjaga   dari  tidur  panjang  mereka,  kemudian  memberontak terhadap kezaliman yang dilakukan oleh raja-raja mereka.  Oleh karena  itu,  kita  menemukan para raja itu membunuh para juru da'wah, atau segera memerangi kaum Muslimin,  menghalangi  dan mengacaukan kehidupan mereka yang tenang.

Pada  saat  ini,  tidak  ada  lagi  halangan  bagi  kita untuk melakukan da'wah, khususnya di negara-negara yang terbuka yang menganut  aliran  pluralisme. Kaum Muslimin dapat menyampaikan da'wah mereka melalui tulisan, suara, dan juga gambar.  Mereka dapat  menyampaikan  da'wah  melalui  radio  yang gelombangnya dipancarkan ke seluruh dunia. Mereka  dapat  berbicara  kepada semua   bangsa   dengan  bahasa  kaum  itu  agar  ajaran  yang disampaikan dapat diterima dengan jelas.

Akan tetapi, banyak sekali para juru da'wah  yang  mengabaikan sama  sekali  kesempatan dan potensi ini; padahal mereka nanti akan diminta pertanggungan jawabnya di depan Allah SWT  karena mengabaikannya,    dan    dimintai    tanggungjawab   mengenai ketidaktahuan penghuni bumi ini terhadap Islam.
 

MENGAPA PEMBINAAN LEBIH DIBERI PRIORITAS?



MENGAPA PEMBINAAN LEBIH DIBERI PRIORITAS?

MENGAPA pembinaan lebih diberi prioritas daripada peperangan?

Dalam memberikan jawaban bagi pertanyaan di  atas  dapat  kami jelaskan beberapa hal berikut ini:

Pertama,  sesungguhnya  peperangan dalam Islam bukan sembarang perang. Ia adalah  peperangan  dengan  niat  dan  tujuan  yang sangat  khusus. Ia adalah peperangan dalam membela agama Allah SWT. Nabi saw  pernah  ditanya  tentang  seorang  lelaki  yang berperang   karena  perasaan  fanatik  terhadap  kaumnya,  dan seorang yang berperang agar dia dikatakan  sebagai  pemberani, serta  orang  yang berperang untuk memperoleh barang pampasan, manakah di antara mereka  yang  termasuk  berperang  di  jalan Allah?   Nabi   saw  menjawab,  "Barangsiapa  berperang  untuk menegakkan kalimat Allah, maka dialah  yang  berada  di  jalan Allah." 4

Sikap  melepaskan  diri  dari  berbagai dorongan duniawi tidak dapat muncul dengan tiba-tiba, tetapi harus melalui  pembinaan yang  cukup  panjang,  sehingga  dia melakukan ajaran agamanya hanya untuk Allah.

Kedua, sesungguhnya hasil perjuangan yang ingin dinikmati oleh orang-orang  Islam yang ikut berperang ialah kemenangan mereka atas  kekafiran.  Kemenangan  dan  kekuasaan  ini  tidak  akan diberikan   kecuali   kepada   orang-orang  yang  beriman  dan melaksanakan   tugas   serta   kewajibannya.   Mereka   adalah orang-orang yang disebutkan dalam firman Allah:

"...sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar..." (al-Hajj: 40-41)
  
"Dan Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang salih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku..."(an-Nur: 55)

Sesungguhnya orang-orang yang diberi kedudukan dan  kemenangan oleh Allah sebelum pembinaan mereka 'matang,' seringkali malah melakukan berbagai kerusakan di muka bumi  daripada  melakukan perbaikan.

Ketiga,  menurut  sunnatullah,  kedudukan itu tidak akan dapat terwujudkan, kecuali setelah orang yang  berhak  memperolehnya lulus dari berbagai ujian Allah terhadap hati mereka, sehingga dapat dibedakan antara orang yang buruk hatinya dan orang yang baik hatinya. Itulah salah satu bentuk pendidikan praktis yang dialami oleh para nabi dan orang-orang yang menganjurkan orang lain  untuk  berpegang  kepada ajaran Allah pada setiap zaman. Imam Syafi'i pernah ditanya, "Manakah yang  lebih  utama  bagi orang  mu'min, mendapatkan ujian atau mendapatkan kedudukan di muka bumi ini?" Dia menjawab, "Apakah ada pemberian kedudukkan sebelum  terjadinya  ujian?  Sesungguhnya  Allah Azza wa Jalla memberikan kedudukan kepada Yusuf setelah dia mengalami  ujian dari Allah, sebagaimana yang difirmankan-Nya:

"Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja dia kehendaki di bumi Mesir itu..." (Yusuf: 56)

Sesungguhnya kedudukan yang diperoleh dengan cara  yang  mudah dan  gampang  dikhawatirkan  akan mudah dihilangkan oleh orang yang mendudukinya dan menyia-nyiakan hasilnya. Berbeda  dengan orang-orang  yang  berjuang dengan jiwa dan harta benda mereka sendiri, sehingga mereka merasakan suka-duka, dan  ujian  yang sangat berat hingga dia diberi kemenangan oleh Allah SWT.

Catatan kaki:

4 Diriwayatkan oleh Jama'ah (Ahmad dan penyusun al-Kutubal-Sittah), dari Abu Musa, Shahih Jami' as-Shaghir (6417) ^

MEMPRIORITASKAN PERSOALAN YANG RINGAN DAN MUDAH ATAS PERSOALAN YANG BERAT DAN SULIT



MEMPRIORITASKAN PERSOALAN YANG RINGAN DAN MUDAH ATAS PERSOALAN YANG BERAT DAN SULIT


DI ANTARA prioritas yang sangat dianjurkan di sini,  khususnya dalam  bidang  pemberian  fatwa  dan  da'wah  ialah  prioritas terhadap persoalan yang ringan dan mudah atas  persoalan  yang berat dan sulit.

Berbagai  nash yang ada di dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi saw menunjukkan bahwa yang mudah dan  ringan  itu  lebih  dicintai oleh Allah dan rasul-Nya.

Allah SWT berfirman:

"... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidakmenghendaki kesukaran bagimu..." (al-Baqarah: 185)
  
"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, danmanusia dijadikan bersifat lemah." (an-Nisa': 28)
  
"... Allah tidak hendak menyulitkan kamu..."(al-Maidah: 6)

Rasulullah saw yang mulia bersabda,

"Sebaik-baik agamamu ialah yang paling mudah darinya."1
  
"Agama yang paling dicintai oleh Allah ialah yang benar dan toleran."2

'Aisyah berkata,

"Rasulullah saw tidak diberi pilihan terkadap dua perkara kecuali dia mengambil yang paling mudah di antara keduanya selama hal itu tidak berdosa. Jika hal itu termasuk dosa maka ia adalah orang yang paling awal menjauhinya."3

Nabi saw bersabda,

"Sesungguhnya Allah menyukai bila keringanan yang diberikan oleh-Nya dilaksanakan, sebagaimana Dia membenci kemaksiatan kepada-Nya."4

Keringanan (rukhshah) itu mesti dilakukan, dan kemudahan  yang diberikan  oleh  Allah  SWT harus dipilih, apabila ada kondisi yang memungkinkannya  untuk  melakukan  itu;  misalnya  karena tubuh  yang  sangat  lemah, sakit, tua, atau ketika menghadapi kesulitan, dan lain-lain alasan yang dapat diterima.

Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa dia  melihat  Rasulullah saw sedang dalam suatu perjalanan, kemudian beliau menyaksikan orang  ramai  mengerumuni  seorang  lelaki   yang   dipayungi, kemudian  beliau  bersabda,  "Apa  ini?" Mereka menjawab: "Dia berpuasa." Beliau kemudian bersabda,

 "Tidak baik berpuasa dalam perjalanan."5

Yakni di dalam perjalanan yang amat menyulitkan ini.

Dan jika perjalanan itu  tidak  menyulitkan,  maka  dia  boleh melakukan  puasa;  berdasarkan  dalil  yang  diriwayatkan oleh 'Aisyah bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah  berkata  kepada Nabi  saw:  "Apakah  aku boleh puasa dalam perjalanan?" Hamzah adalah orang yang sering melaksanakan  puasa.  Karenanya  Nabi saw  bersabda, "Jika kamu mau, maka berpuasalah, dan jika kamu mau berbukalah."6

Khalifah Umar bin Abd al-Aziz pernah  berkata  mengenai  puasa dan  berbuka  di  dalam  perjalanan,  juga  tentang  perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan fuqaha,  manakah  di  antara kedua hal itu yang paling baik. Dia berkata, "Yang paling baik ialah yang paling mudah di antara keduanya." Hal ini merupakan pendapat  yang  boleh  diterima.  Di  antara  manusia ada yang melaksanakan puasa itu lebih mudah daripada dia harus membayar hutang  puasa  itu  ketika  orang-orang  sedang tidak berpuasa semua. Tetapi ada  orang  yang  berlawanan  dengan  itu.  Oleh karena  itu,  yang  paling  mudah  adalah menjadi sesuatu yang paling baik.

Nabi saw menganjurkan umatnya untuk bersegera  melakukan  buka puasa  dan  mengakhirkan  sahur,  dengan  tujuan untuk memberi kemudahan kepada orang yang melaksanakan puasa.

Kita juga banyak menemukan fuqaha yang memutuskan  hukum  yang paling  mudah  untuk  dilakukan oleh manusia terhadap sebagian hukum  yang  memiliki  berbagai  pandangan;   khususnya   yang berkaitan  dengan  masalah  muamalah. Ada ungkapan yang sangat terkenal dari mereka: "Keputusan  hukum  ini  lebih  mengasihi manusia."

Saya bersyukur kepada Allah karena saya dapat menerapkan jalan kemudahan dalam memberikan  fatwa,  dan  menyampaikan  sesuatu yang  menggembirakan  dalam  melakukan  da'wah,  sebagai upaya meniti jalan yang  pernah  dilakukan  oleh  Nabi  saw.  Beliau pernah mengutus Abu Musa dan Mu'adz ke Yaman sambil memberikan wasiat kepada mereka,

"Permudahlah dan jangan mempersulit; berilah sesuatu yang menggembirakan dan jangan membuat mereka lari; berbuatlah sesuatu yang baik."7

Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

"Permudahlah dan jangan mempersulit; berilah sesuatu yang menggembirakan dan jangan membuat mereka lari."8

Pada suatu kesempatan saya pernah menjawab berbagai pertanyaan setelah saya menyampaikan satu kuliah: "Apabila saya mendapati dua pendapat yang sama-sama baik atau hampir sama  dalam  satu masalah    agama;   yang   pertama   lebih   mengarah   kepada kehati-hatian dan yang  kedua  lebih  mudah,  maka  saya  akan memberikan  fatwa kepada orang awam dengan pendapat yang lebih mudah,  yang  lebih  saya  utamakan  daripada  pendapat   yang pertama."

Sebagian kawan yang hadir dalam kuliah itu berkata, "Apa dalil anda untuk lebih mengemukakan pendapat yang paling mudah  atas pendapat yang lebih hati-hati?"

Saya  jawab,  "Dalil  saya  ialah  petunjuk  Nabi  saw,  yaitu manakala beliau dihadapkan kepada  dua  pilihan,  maka  beliau tidak  akan  memilih  kecuali  pendapat yang paling mudah; dan perintahnya kepada para imam shalat jamaah  untuk  meringankan ma'mumnya, karena di antara mereka ada orang yang lemah, orangtua, dan orang yang  hendak  melaksanakan  kepentingan  mereka setelah itu."

Kadangkala  seorang ulama memberikan fatwa dengan sesuatu yang lebih hati-hati kepada sebagian orang yang  mempunyai  kemauan keras, dan orang-orang wara' yang dapat menjauhkan diri mereka dari kemaksiatan. Adapun untuk  orang-orang  awam,  maka  yang lebih utama adalah pendapat yang paling mudah.

Zaman   kita  sekarang  ini  lebih  banyak  memerlukan  kepada penyebaran hal yang lebih mudah daripada hal yang sukar, lebih senang  menerima berita gembira daripada ditakut-takuti hingga lari. Apalagi bagi orang yang baru  masuk  Islam,  atau  untuk orang yang baru bertobat.

Persoalan  ini sangat jelas dalam petunjuk yang diberikan oleh Nabi saw ketika mengajarkan Islam kepada orang-orang yang baru memasukinya. Beliau tidak memperbanyak kewajiban atas dirinya, dan tidak memberikan beban perintah  dan  larangan.  Jika  ada orang  yang bertanya kepadanya mengenai Islam, maka dia merasa cukup  untuk  memberikan  definisi   yang   berkaitan   dengan fardhu-fardhu   yang   utama,   dan  tidak  mengemukakan  yang sunat-sunat. Dan apabila ada  orang  yang  berkata  kepadanya: "Aku  tidak  menambah dan mengurangi kewajiban itu." Maka Nabi saw bersabda, "Dia akan mendapatkan  keberuntungan  kalau  apa yang  dia katakan itu benar." Atau, "Dia akan masuk surga bila apa yang dia katakan benar."

Bahkan kita melihat Rasulullah saw sangat mengecam orang  yang memberatkan kepada manusia, tidak memperhatikan kondisi mereka yang berbeda-beda; sebagaimana dilakukan oleh sebagian sahabat yang   menjadi   imam   shalat   jamaah  orang  ramai.  Mereka memanjangkan bacaan di dalam shalat, sehingga sebagian  ma'mum mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw.

Nabi saw berpesan kepada Mu'adz bahwa beliau sangat tidak suka bila Mu'adz memanjangkan bacaan itu sambil berkata  kepadanya: "Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz? Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz? Apakah  engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz?" 9

Diriwayatkan  dari  Abu  Mas'ud  al-Anshari,  ia berkata, "Ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw:  'Demi  Allah wahai  Rasulullah,  sesungguhnya aku selalu memperlambat untukmelakukan shalat Subuh dengan  berjamaah  karena  Fulan,  yang selalu  memanjangkan  bacaannya  untuk kami.' Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw memberikan nasihat dengan sangat  marah kecuali  pada  hari  itu.  Kemudian  Rasulullah  saw bersabda, 'Sesungguhnya ada di  antara  kamu  yang  membuat  orang-orang lain.  Siapapun  di antara kamu yang menjadi imam orang ramai, maka hendaklah dia meringankan  bacaannya,  karena  di  antara mereka  ada  orang  yang lemah, tua, dan mempunyai kepentingan yang hendak dikerjakan." 10

Saya juga pernah menyebutkan  bahwa  orang  yang  memanjangkan bacaan  shalat  jamaah dengan orang banyak ini adalah Ubai bin Ka'ab, yang memiliki ilmu dan keutamaan, serta  menjadi  salah seorang   yang   mengumpulkan   al-Qur'an   .   Akan   tetapi, bagaimanapun kedudukannya tidak berarti bahwa  Rasulullah  saw tidak   memungkirinya,   sebagaimana   dia  memberikan  wasiat mengenai hal inl kepada Mu'adz, walaupun dia  merupakan  orang yang sangat dicintai dan dipuji oleh Nabi saw.

Sahabat  sekaligus  pembantu  beliau, Anas r.a., berkata, "Aku tidak pernah shalat di belakang imam satu kalipun  yang  lebih ringan,  dan lebih sempurna shalatnya dibandingkan dengan Nabi saw. Jika  beliau  mendengarkan  suara  tangisan  anak  kecil, beliau  meringankan  shalat  itu, karena khawatir ibu anak itu akan terkena fitnah." 11

Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,

"Sesungguhnya ketika aku sudah memulai shalat, aku ingin memanjangkan bacannnya, kemudian aku mendengarkan suara tangisan anak kecil, maka aku percepat shalatku, karena aku mengetahui susahnya sang ibu bila anaknya menangis." 12

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw bersabda,

"Apabila salah seorang di antara kamu menjadi imam shalat maka hendaklah ia memperingan bacaan shalatnya, karena di antara mereka ada orang yang sakit, lemah, dan tua. Namun bila dia shalat sendirian, maka hendaklah dia memperpanjang shalatnya sesuai dengan kemauannya." 13

Nabi saw sangat mengecam  terhadap  hal-hal  yang  memberatkan apabila  hal itu dianggap mengganggu kepentingan orang banyak, dan bukan sekadar untuk kepentingan pribadi satu  orang  saja. Begitulah yang kita perhatikan dalam tindakan beliau ketika ia mengetahui  tiga  orang  sahabatnya  yang  mengambil   langkah beribadah yang tidak selayaknya dilakukan, walaupun sebenarnya mereka tidak menginginkan kecuali kebaikan dan pendekatan diri kepada Allah SWT.

Diriwayatkan  dari  Anas  r.a.  berkata,  "Ada tiga orang yang mendatangi rumah tiga orang istri Nabi saw  menanyakan  ibadahyang  dilakukan  oleh  Nabi  saw.  Ketika mereka diberitahukan mengenai hal itu, seakan-akan mereka  menganggap  sedikit  apa yang  telah  mereka  lakukan,  sambil berkata, 'Di mana posisi kita dari Nabi saw, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya yang  terdahulu dan yang akan datang?' Salah seorang di antara mereka juga berkata, 'Oleh  karena  itu  saya  akan  melakukan shalat  malam  selamanya.'  Orang yang kedua pun berkata, 'Aku akan berpuasa selamanya dan tidak akan meninggalkannya.' Orang yang ketiga berkata, 'Sedanglan aku akan mengucilkan diri dari wanita  dan  tidak  akan   kawin   selama-lamanya.'   Kemudian Rasulullah  saw  datang  kepada  mereka  sambil berkata, 'Kamu semua telah mengatakan begini  dan  begitu.  Demi  Allah,  aku adalah  orang  yang  paling  takut  kepada  Allah  dan  paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat  dan  aku  juga  tidur,  aku  mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahhu,  maka  dia  tidak termasuk golonganku." 14

Diriwayatkan   dari   Ibn  Mas'ud  r.a.  bahwasanya  Nabi  saw bersabda, "Celakalah  orang-orang  yang  berlebih-lebihan  itu (al-mutanaththi'un)."   Beliau  mengucapkannya  sebanyak  tiga kali.

Yang  dimaksudkan  dengan  orang-orang  yang  berlebih-lebihan (al-mutanaththi'un) ialah "orang-orang yang mengambil tindakan keras dan berat, tetapi tidak pada tempatnya."

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw bersabda,

"Sesungguhnya agama ini mudah, dan orang yang mengambil yang berat- berat dari agama ini pasti akan dikalahkan olehnya. Ambillah tindakan yang benar, dekatkan diri kepada Allah, berilah kabar gembira, dan mohonlah pertolongan kepada-Nya pada pagi dan petang hari, dan juga pada akhir malam." 15

Maksud perkataan Rasulullah saw "kecuali dia  akan  dikalahkan olehnya"  ialah bahwa orang itu akan dikalahkan oleh agama dan orang yang mengambil hal-hal yang berat itu tidak  akan  mampu melaksanakan  semua  yang  ada  pada  agama ini karena terlalu banyak jalan yang harus dilaluinya.

Apa  yang  disampaikan  oleh  Rasulullah  saw  ini  sebenarnya merupakan  kiasan  yang  artinya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah  untuk  taat  kepada-Nya,  melakukan  amal  kebaikan  di tengah-tengah  kegiatanmu  dan  ketika hatimu lapang, sehingga kamu  merasa  senang  melakukan   ibadah   dan   tidak   bosan melakukannya;  dan  dengan demikian kamu dapat mencapai maksud dan tujuan kamu." Sebagaimana yang dilakukan oleh musafir yang pintar,  dia  berjalan pada waktu-waktu tertentu, kemudian dia dan kendaraannya beristirahat pada saat  yang  lain,  sehingga dia  sampai kepada tujuannya dan tidak mengalami kepenatan dan kejenuhan. Wallah a'lam.

Saya sangat terkejut kala  saya  membaca  berita  dalam  surat kabar:

"Sesungguhnya pihak berwenang yang mengurus jamaah haji di kerajaan Arab Saudi mengumumkan kematian dua ratus tujuh puluh orang jamaah haji ketika melempar jumrah. Mereka meninggal karena terinjak kaki orang ramai yang berdesak-desakan untuk melakukan lemparan selepas tergelincirnya matahari."

Walaupun telah ada korban  yang  begitu  banyak,  tetapi  para ulama  masih  saja  memberikan  fatwa  ketidakbolehan melempar jumrah  sebelum  tergelincirnya  matahari,  padahal  Nabi  saw memudahkan  urusan  dalam melaksanakan ibadah haji; dan ketika beliau  ditanya  tentang  amalan  yang  boleh  dimajukan   dan diakhirkan,  beliau  menjawabnya,  "Lakukan  saja,  dan  tidak mengapa." Para fuqaha  sendiri  mempermudah  cara  pelaksanaan pelemparan jumrah sehingga mereka memperbolehkan kepada jamaah haji untuk melakukan lemparan pada  hari  terakhir,  dan  juga boleh  mewakilkan kepada orang lain ketika seseorang mempunyai uzur; yang boleh dilakukan setelah melakukan tahallul terakhir dari ihram.

Pelemparan  jumrah  itu,  menurut tiga orang imam besar, boleh dilakukan sebelum tergelincirnya matahari; yaitu oleh  seorang ahli   fiqh   manasik   ('Atha,),  ahli  fiqh  Yaman  (Thawus) --keduanya  merupakan  sahabat  Ibn  Abbas--  dan  Abu  Ja'far al-Baqir,  Muhammad  bin Ali bin al-Husain, salah seorang ahli fiqh Ahl al-Bait.

Jika para ahli fiqh tidak membenarkan  lemparan  seperti  itu, maka  kita  dapat  memberlakukan  fiqh darurat yang mewajibkan kepada  kita  untuk  mempermudah  ibadah  kepada  Allah,  yang membolehkan  kepada  kita  untuk melakukan lemparan selama dua puluh  empat  jam,  sehingga  kita  tidak  menjerumuskan  kaum Muslimin kepada kehancuran.

Semoga Allah memberikan pahala kepada Syaikh Abdullah bin Zaid al-Mahmud, yang telah memberikan fatwa lebih  dari  tiga  abadyang  lalu,  yang  membolehkan lemparan sebelum tergelincirnya matahari, yang termuat di dalam bukunya, Yusr al-Islam  (Islam yang Mudah).

Catatan Kaki:

1 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad; dan Thabrani dari Mahjan bin al-Adra'; dan juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Imran bin Hushain dalam al-Awsath; dan Ibn Adiy dan al-Dhiya' dari Anash (Lihat al-Jami' as-Shaghir, 3309) ^
2 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adabal-Mufrad; dan Thabrani dari Ibn Abbas. (Ibid., h. 160)^
3 Muttafaq 'Alaih, sebagaimana yang dimuat dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan (1502).^
4 Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Hibban, dan Baihaqi di dalam as-Syu'ab dari Ibn Umar (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 1886)^
5 Muttafaq 'Alaih, al-Lu'lu' wa al-Marjan (681).^
6 Muttafaq Alaih, ibid . 684^
7 Muttafaq Alaih dari Abu Burdah, ibid 1130^
8 Muttafaq Alaih ibid., 1131^
9 Diriwayatkan oleh Bukhari.^
10 Muttafaq 'Alaih lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 267.^
11 Muttafaq 'Alaih, lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 270.^
12 Muttafaq 'Alaih, lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 168.^
15 Diriwayatkan oleh Bukhari dan Nashai (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 1611)
^

MEMPRIORITASKAN KUALITAS ATAS KUANTITAS



MEMPRIORITASKAN KUALITAS ATAS KUANTITAS
 

DI ANTARA hal-hal terpenting yang perlu diprioritaskan menurut pandangan  syariat  ialah:  Mendahulukan  kualitas  dan  jenis urusan  atas  kuantitas  dan  volume  pekerjaan.  Yang   perlu mendapat perhatian kita bukanlah banyak dan besarnya persoalan yang dihadapi, tetapi kualitas dan jenis pekerjaan  yang  kita hadapi.

Al-Qur'an  sangat  mencela terhadap golongan mayoritas apabila di dalamnya hanya diisi oleh orang-orang yang  tidak  berakal, tidak  berilmu, tidak beriman dan tidak bersyukur; sebagaimana disebutkan dalam berbagai tempat di dalamnya:

"... akan tetapi kebanyakan mereka tidak memahamirya." (al-Ankabut: 63)
"... akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (al-A'raf:187)
"... akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman." (Hud:17)
"... akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur." (al-Baqarah: 243)
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah..." (al-An'am: 116)

Pada masa yang  sama,  al-Qur'an  memberikan  pujian  terhadap kelompok  minoritas apabila mereka beriman, bekerja keras, dan bersyukur; sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya:

"... kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini..." (Shad: 24)
"... dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang berterima kasih." (Saba':13)
"Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi..." (al-Anfal: 26)
"Maka mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka..." (Hud: 116)

Oleh karena itu, tidaklah penting jumlah manusia yang  banyak, akan  tetapi  yang paling penting ialah banyaknya jumlah orang Mu'min yang shaleh.

Hadits Nabi pernah menyebut jumlah manusia yang banyak:

"Menikahlah kamu, kemudian berketurunanlah, agar jumlah kamu menjadi banyak, karena sesungguhnya akubangga dengan jumlahmu yang banyak atas umat-umat yang lain."1

Akan tetapi,  Rasulullah  saw  tidak  membanggakan  kebodohan, kefasikan,  kemiskinan  dan  kezaliman  umatnya atas umat-umat yang lain. Namun beliau membanggakan  orang-orang  yang  baik, bekerja keras, dan memberikan manfaatnya kepada orang lain.

Rasulullah saw pernah bersabda,

"Manusia itu bagaikan unta, di antara seratus ekor untaitu engkau belum tentu menemukan seekor yang boleh dijadikan sebagai tunggangan."2

Perbedaan yang terjadi di antara umat manusia  sendiri  adalah paling  banyak dibandingkan dengan perbedaan yang terjadi pada semua jenis binatang dan lainnya. Dalam sebuah  hadits  pernah dikatakan,

"Tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada seribu yang semisalnya kecuali manusia."3

Kita senang sekali dengan kuantitas  dan  jumlah  yang  banyak dalam  segala  sesuatu, dan suka menonjolkan angka beribu-ribu dan berjuta-juta; tetapi kita tidak banyak  memperhatikan  apa yang  ada  di  balik  jumlah  yang  banyak  itu,  dan apa yang terkandung di dalam angka-angka tersebut.

Salah  seorang  penyair  pada  zaman  Arab   Jahiliyah   telah mengetahui  pentingnya kualitas dibandingkan dengan kuantitas, ketika dia mengatakan,

"Ia mencela kami karena jumlah kami sedikit.
  
Maka kukatakan kepadanya, "Sesungguhnya orang-orang yang mulia itu sedikit."
  
"Apalah ruginya kami sedikit, kalau dengan jumlah yang sedikit itu kami mulia.
  
Sedangkan orang-orang yang jumlahnya banyak itu terhina."

Al-Qur'anpun menyebutkan kepada kita bagaimana tentara Thalut, yang  jumlahnya  sedikit dapat mengalahkan tentara Jalut, yang jumlahnya banyak:

"Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya kecuali menciduk seciduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberang sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. Tatkala Jalut dan tentaranya telah tampak oleh mereka, merekapun berdoa: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. " Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah..." (al-Baqarah: 249-251)

Al-Qur'an menyebutkan kepada kita bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya dapat memperoleh kemenangan pada Perang Badar, padahal  jumlah  mereka  sangat  sedikit  dibandingkan  dengan jumlah  musuh  mereka,  kaum  musyrik  yang  jumlahnya  sangat banyak.

"Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya." (Ali ,Imran: 123)
  

"Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Makkah), kamu takut orang-orang Makkah akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikanrrya kamu kuat dengan pertolongan-Nya..." (al-Anfal: 26)

Pada saat yang  lain,  kaum  Muslimin  juga  hampir  menderita kekalahan  pada  Perang  Hunain,  karena mereka melihat kepada kuantitas dan bukan  kualitas,  sehingga  mereka  membanggakan diri dengan kuantitas, dan meremehkan kekuatan ruhaniah, serta kemahiran berperang.  Kemudian  pada  awal  peperangan  mereka terkepung, sehingga mereka baru mengetahui dan menyadari, lalu bertobat; dan  akhirnya  Allah  memberikan  kemenangan  kepada mereka,  dengan memberikan bantuan kekuatan tentara yang tidak mereka lihat.

"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para Mu'tmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir." (at-Taubah: 25-26)

Telah dijelaskan di dalam al-Qur'an bahwa apabila keimanan dan kemauan   kuat  atau  kesabaran  telah  berkumpul  dalam  diri manusia, maka kekuatannya  akan  menjadi  sepuluh  kali  lipat jumlah   musuh-musuhnya,  yang  tidak  memiliki  keimanan  dan kemauan. Allah SWT berfirman:

"Hai nabi, kobarkanlah semangat para Mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum Muslimin yang tidak mengerti." (al-Anfal: 65)

Yang demikian ini ialah ketika keadaan mereka kuat.  Sedangkan ketika  mereka  dalam  keadaan  lemah, maka kekuatan itu hanya menjadi   dua   kali   lipat   kekuatan   musuh,   sebagaimana diisyaratkan dalam ayat ini:

"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua rarus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah..." (al-Anfal: 66)

Oleh karena  itu,  yang  paling  penting  ialah  keimanan  dan kemauan, dan bukan jumlah yang banyak.

Barangsiapa  mau  membaca  sirah  Rasulullah saw maka dia akan mengetahui bahwa sesungguhnya perhatian beliau tertumpu kepada kualitas  dan  bukan  kuantitas.  Dan  orang yang mau menyimak sirah para sahabat dan para khalifah rasyidin  akan  mendapati hal yang sama dengan jelas sekali.

Umar bin Khatab pernah mengutus Amr bin 'Ash untuk menaklukkan Mesir, dengan membawa empat ribu orang tentara saja.  Kemudian dia  meminta  tambahan personil tentara lagi, dan Umar memberi empat  ribu  orang   tentara   lagi,   berikut   empat   orang komandannya. Umar berkata, "setiap orang komandan tambahan ini membawahkan seribu  orang  tentera;  dan  aku  menilai  jumlah mereka semuanya adalah dua belas ribu orang tentara. Dua belas ribu  (tentara)  tak  akan  dikalahkan  karena   jumlah   yang sedikit."

Umar  sangat percaya bahwa yang paling penting ialah kualitas, kemampuan, dan kemauan  mereka  dan  bukan  jumlah  dan  besar mereka.

Diriwayatkan  dari  Rasulullah  saw bahwasanya pada suatu hari beliau duduk  bersama  sebagian  sahabatnya  di  sebuah  rumah temannya, kemudian beliau berkata kepada mereka, "Tunjukkanlah cita-cita kamu." Maka salah seorang di antara mereka  berkata, "Aku  bercita-cita  ingin  mempunyai  dirham  dari  perak yang memenuhi rumah ini  sehingga  aku  dapat  menafkahkannya  pada Jalan  Allah."  Orang  yang  lain  bercita-cita  memiliki emas sepenuh rumah tersebut  dan  menafkahkannya  di  jalan  Allah. Sementara Umar berkata, "Aku, ingin memiliki orang seperti Abu Ubaidah  al-Jarrah,  Mu'adz  bin  Jabal,   Salim   Maula   Abu Hudzaifah,  sepenuh  rumah ini agar aku dapat mempergunakannya untak berjuang di jalan Allah."

Pada zaman kita sekarang ini,  jumlah  kaum  Muslimin  sedunia telah melebihi satu seperempat milyar jiwa. Akan tetapi sayang sekali jumlah  sebesar  itu  kebanyakan  memiliki  sifat  yang pernah  diutarakan  oleh  sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Tsauban,

"Pada suatu hari kelak, umar-umat akan memusuhi kalian dari segala penjuru, seperti orang-orang lapar yang  memperebutkan makanan." Para sahabat bertanya, "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada masa itu wahai Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab, "Bahkan, jumlah kalian pada waktu itu banyak, akan tetapi kalian hanya bagaikan buih yang terbawa arus air; dan sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari dada para musuh kalian; dan sungguh Allah akan menghujamkan wahn di dada kalian. " Para sahabat bertanya kembali, "Apakah wahn itu wahai Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab, "Cinta dunia dan takut mati." (lihat al-Jami' as-Shaghir: 8183).

Hadits ini menjelaskan bahwa jumlah  yang  banyak  saja  belum cukup,  apabila  jumlah  ini  hanya kelihatan megah dari luar,tetapi lemah dari dalam; sebagaimana periode ketika umat hanya bagaikan  buih  yang  terseret arus air; di mana pada masa ini umat  bagaikan  buih,  tidak  memiliki  identitas,  kehilangan tujuan dan jalan yang benar; dan benar-benar seperti buih yang terbawa arus air.

Oleh karena itu, perhatian  kita  hendaknya  ditujukan  kepada kualitas  dan  jenis,  bukan  kepada  sekadar  kuantitas. Yang dimaksudkan dengan kuantitas di sini ialah jumlah sesuatu yang dilihat   secara  material,  besarnya  angka,  luasnya  jarak, besarnya isi, beratnya timbangan, panjangnya waktu,  dan  lain sebagainya yang serupa dengan itu.

Apa  yang  kami  katakan  tentang  besarnya  angka  itu  dapat dicontohkan dalam hal yang lain.

Manusia, misalnya, tidak diukur dari tinggi tubuhnya, kekuatan ototnya,  besar  tubuhnya,  dan kecantikan wajahnya. Semua ini adalah  hal-hal  yang  berada  di  luar   inti   dan   hakikat kemanusiaan.   Tubuh  manusia  --pada  akhirnya--  tidak  lain hanyalah bungkus dan instrumennya, sedangkan hakikatnya  ialah akal dan hatinya.

Allah   SWT  pernah  memberikan  penjelasan  berkenaan  dengan sifat-sifat orang munafik sebagai berikut:

"Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum..." (al-Munafiqun: 4)

Dia juga pernah  memberikan  sifat  kaum  'Ad,  melalui  lidah nabi-Nya, Hud a.s.:

"... dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu..." (al-A'raf: 69)

Akan  tetapi  sesungguhnya  kelebihan   kekuatan   tubuh   itu menjadikan mereka terkecoh dan menyombongkan diri, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

"Adapun kaum Ad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata, "Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami?..." (Fushshilat: 15)

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

"Sungguh akan datang pada hari Kiamat seorang laki-laki besar dan gemuk, maka di sisi Allah ia tidak akan seberat timbangan sayap nyamuk. Allah berfirman: '... dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.'" (al-Kahfi: 105)4

Pada  suatu  hari  Ibn  Mas'ud  memanjat  sebuah  pohon,  maka tampaklah  kedua betisnya yang lembek dan kurus, maka sebagian sahabat tertawa karena  melihatnya.  Kemudian  Rasulullah  saw yang mulia bersabda, "Apakah kamu tertawa karena melihat kedua betisnya yang  lembek?  Sesungguhnya,  kedua  betis  itu  jika ditimbang kelak (beratnya) lebih beret daripada bukit Uhud."5

Oleh  karena  itu tidaklah begitu penting tubuh yang besar den kuat, kalau tidak disertai dengan akal pikiran yang cerdas den hati  yang  jernih.  Dahulu  penyair  Arab mengatakan, "Engkau lihat para pemuda bagaikan kurma dan  engkau  tidak  tahu  apa isinya."

Hasan  bin  Tsabit  pernah mengejek suatu kaum Muslimin dengan mengatakan,

"Tidak mengapalah suatu kaum itu memiliki tubuh yang jangkung atau pendek, berbadan keledai tetapi berhati burung."

Hal ini bukan  berarti  bahwa  Islam  tidak  menetapkan  suatu penilaian  terhadap  kekuatan  den kesehatan tubuh manusia. Ia sangat peduli dengan kedua hal ini. Bahkan, Allah  SWT  memuji Thalut dengan firman-Nya:

"... dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.." (al-Baqarah: 247)

Dalam hadits yang shahih disebutkan:

"Sesungguhnya badanmu memiliki hak atas dirimu."6
  
"Orang Mu'min yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang Mu,min yang lemah." 7

Akan tetapi, pernyataan-pernyataan ini tidak dijadikan sebagai ukuran keutamaan.

Tubuh   yang  perkasa  dan  kuat  bukanlah  ukuran  kelelakian seseorang, dan  bukan  ukuran  keutamaan  pada  diri  manusia. Begitu pula kecantikan paras wajah dan bentuk tubuhnya.

Dalam hadits disebutkan:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kamu, dan bentuk luar kamu, akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu."8

Salah seorang penyair pernah menyampaikan pujiannya kepada Abd al-Malik bin Marwan dengan mengatakan,

"Bila mahkota telah bertengger di atas kepalanya, seakan-akan wajahnya adalah wajah emas."

Kemudian Abd al-Malik mencemoohkan sang  penyair,  karena  dia memujinya  dengan  pujian  yang  menyerupai  seorang perempuan cantik,  seraya  berkata  kepadanya:  "Mengapa  engkau   tidak memujiku seperti penyair yang memuji Mush'ab bin Zubair?"

"Sesungguhnya Mush'ab adalah meteor dari Allah, yang cahayanya menerangi kegelapan. Putusan yang dia tetapkan sangat kuat, tetapi tanpa mengandung kesewenang-wenangan."

Memang... lelaki itu dinilai dari ilmu pengetahuan yang ada di otaknya,  dan keimanan yang bersemayam di dalam hatinya; serta amalan sebagai buah imannya. Dan sesungguhnya  amal  perbuatan di  dalam  Islam ini tidaklah diukur dari besar dan jumlahnya, tetapi ia diukur dari sejauh mana  kebaikan  dan  kualitasnya. Melakukan  perbuatan  yang baik bukanlah sunat di dalam Islam, tetapi merupakan sebuah fardhu yang diwajibkan oleh Allah atas orang-orang   yang  beriman,  sebagaimana  fardhu-fardhu  yang diwajibkan atas mereka, seperti puasa dan  fardhu-fardhu  yang lainnya.

Rasulullah saw bersabda,

"Sesungguhnya Allah menulis (mewajibkan) perbuatan yang baik atas segala sesuatu. Jika kamu mau membunuh binatang, maka bunuhlah dengan baik, dan apabila kamu hendak menyembelihnya, maka sembelihlah dengan menyembelih yang baik. Dan hendaklah salah seorang di antara kamu menajamkan pisaunya, dan mengistirahatkan binatang yang disembelihnya."9

Asal mula arti  menulis  (kataba)  di  dalam  hadits  tersebut menunjukkan adanya kewajiban atau fardhu.

Selain itu, Rasulullah saw juga bersabda,

"Sesungguhnya Allah mencinlai orang yang apabila melakukan sesuatu dia melakukannya dengan sebaik-baiknya."10

Dia mencintai perbuatan itu  dan  juga  mencintai  orang  yang melakukannya.

Bahkan,  sesungguhnya  al-Qur'an tidak menganggap cukup dengan pelaksanaan  yang  baik,  tetapi  menganjurkan  mereka   untuk melakukan yang terbaik. Allah SWT berfirman:

"Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu..." (az-Zumar: 55)
  
"... Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya..." (az-Zumar: 17-18)

Bahkan,   al-Qur'an   menganjurkan   kita   untuk    membantah orang-orang yang menentang kita dengan cara yang paling baik.

" ... dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik..." (an-Nahl: 125)

Serta menyuruh kita untuk menolak kejahatan  itu  dengan  cara yang baik daripada kejahatan tersebut.

   "Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah
   kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka
   tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
   permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
   setia". (Fushshilat: 34)

Dan al-Qur'an melarang kita  untuk  mendekati  harta  kekayaan anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik.

"Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat..." (al-An'am: 152)

Selain itu, al-Qur'an menjadikan penciptaan bumi  dan  isinya, penciptaan  mati  dan  hidup, penciptaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya sebagai ujian bagi orang-orang yang  dibebani  kewajiban. Semua itu untuk mengetahui siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya.

"... siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya." (al-Kahfi: 7)

Sebagaimana yang dijelaskan di  dalam  Kitab  Allah  (Hud:  7; al-Mulk: 2; dan al-Kahfi: 7) bahwa persaingan di antara mereka bukanlah  pada  perbuatan  baik  dan  buruk,   tetapi   antara perbuatan  yang  baik  dan  yang  paling baik. Perhatian orang Mu'min hendaknya senantiasa tertumpu kepada yang  paling  baik dan tertinggi nilainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

"Apabila kamu meminta surga kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus, karena ia surga yang terletak paling tengah dan paling tinggi, dan di atasnya adalah singgasana Tuhan."11

Dalam hadits yang masyhur berkaitan dengan  Jibril  a.s.  yang bertanya   kepada  Rasulullah  saw  tentang  al-ihsan,  beliau menjawab:

"Ihsan itu ialah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan kalau kamu tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu."12

Begitulah penafsiran al-ihsan dalam ibadah. Yakni  kita  mesti senantiasa  menjaganya,  dan mengikhlaskannya untuk Allah SWT. Amalan-amalan yang diterima di sisi Allah tidak  akan  dilihat bentuk  dan  kuantitasnya,  tetapi yang dilihat ialah inti dan kualitasnya. Betapa banyak amal  yang  dari  segi  lahiriahnya memenuhi syarat, tetapi amal itu kehilangan ruh yang meniupkan kehidupan ke dalamnya. Dan oleh karena itu amal tersebut tidak dianggap   oleh   agama  sebagai  amal  kebajikan,  dan  tidak diletakkan di  dalam  'tangan'  timbangan  amal  kebajikan  di akhirat kelak.

Allah SWT berfirman:

Maka celakalah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya' (al-Ma'un: 46)

Berkenaan dengan puasa, Rasulullah saw pernah bersabda,

"Barangsiapa yang tidak mau meninggalkan perkataan bohong, dan mengerjakan kebohongan, maka Allah tidak perlu darinya meninggalkan makan dan minumnya."13
  
"Bisa jadi orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala puasanya kecuali lapar, dan kebanyakan orang yang melakukan qiyam lail tidak mendapatkan pahalanya kecuali hanya keterjagaan di malam hari."14

Allah SWT berfirman:

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, ..." (al-Bayyinah: 5)

Rasulullah saw yang mulia bersabda,

"Sesungguhnya amalan harus disertai dengan niat, dan setiap orang itu akan tergantung kepada niatnya. Maka barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan mendapatkan Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa berhijrah untuk memperoleh dunia, atau berhijrah untak memperoleh wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya adalah untuk apa yang ia niatkan."15

Oleh karena itu, para ulama Islam sangat memberikan  perhatian kepada   hadits   tersebut.  Bukhari  juga  membuka  kitabnya, al-Jami'  as-Shahih,  dengan  hadits   ini.   Sebagian   ulama menganggap bahwa niat adalah seperempat amalan Islam; sebagian yang lain menilainya sepertiga; karena niat itu begitu penting dalam  hal yang berkaitan dengan diterimanya amalan seseorang. Mereka  menganggapnya  sebagai  timbangan   bagi   inti   amal perbuatan   tersebut;   sebagaimana  disebutkan  dalam  sebuah hadits:

"Barangsiapa melakukan suatu amalan, yang tidak ada landasan dari kami, maka amalan itu tidak diterima."16

Abu Ali al-Fudhail bin  Iyadh  pernah  ditanya  tentang  makna "amalan yang paling baik" pada firman Allah: " ... siapakah di antara kamu yang paling baik  amalannya...  "  (Hud:  7),  dia menjawab,  "Amalan yang paling ikhlash dan paling baik." Orang itu bertanya lagi:  "Apakah  amalan  yang  paling  ikhlas  dan paling baik ini?" Dia menjawab, "Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amal perbuatan selama ia tidak murni dan  baik. Jika  amal  perbuatan  itu baik, tetapi tidak murni untuk-Nya, maka ia tidak diterima.  Sebaliknya,  jika  amalan  itu  murni tetapi tidak baik, maka ia juga tidak diterima. Kemurnian amal itu  hendaknya  hanya  semata-mata  untuk   Allah;   sedangkan kebaikannya  ialah  bahwa amal itu hendaknya sesuai dengan apa yang digariskan oleh sunnah Nabi saw."

Itulah makna "perbuatan yang paling baik" dalam  urusan  agama dan   ibadah.   Adapun   kebaikan  dalam  urusan  dunia  ialah tercapainya  tingkat  kebaikan  yang  dapat  mengalahkan  yang lainnya, sehingga ia menjadi yang paling unggul. Dan perbuatan seperti ini tidak dapat  dilakukan  kecuali  oleh  orang-orang yang betul-betul serius.

Di  antara  hadits  Nabi saw yang menunjukkan kepada persoalan ini ialah sebuah hadits marfu' yang diriwayatkan  oleh  Muslim dari Abu Hurairah r.a.

"Barangsiapa yang membunuh kutu pada pijatan pertama, maka akan dituliskan baginya seratus kebaikan. Sedangkan pijatan kedua di bawah tingkatan itu, dan pijatan ketiga di bawahnya lagi."17

Hadits ini mengarahkan kepada kita mengenai betapa  pentingnya melaksanakan   suatu   pekerjaan  dengan  baik  dan  sempurna, walaupun hanya membunuh seekor kutu. Karena hal ini sebetulnya termasuk   membunuh  dengan  cara  yang  baik,  "Apabila  kamu menyembelih binatang, maka lakukanlah dengan  baik."  Membunuh dengan cara yang cepat membuat binatang yang dibunuh itu tidak merasakan sakit.

Kalau amal perbuatan tidak dapat diukur dengan  kuantitas  dan besarnya,  maka  umur  manusia  tidak dapat diukur dengan lama waktunya.

Ada orang yang berumur panjang, tetapi umurnya  tidak  membawa berkah;  dan  ada pula orang yang tidak berumur panjang tetapi orang itu sarat dengan pelbagai kebajikan dan  perbuatan  yang terbaik.

Sehubungan  dengan  hal  ini,  Ibn  'Atha'illah  berkata dalam hikmahnya: "Banyak sekali umur panjang yang  diberikan  kepada manusia,  tetapi  sumbangan  yang diberikannya sangat sedikit. Dan banyak sekali umur pendek yang diberikan  kepada  manusia, tetapi  sumbangan yang diberikannya sangat banyak. Barangsiapa yang umurnya diberi berkah oleh Allah SWT maka dalam masa yang pendek  dia  akan  mendapatkan berbagai karunia dari-Nya, yang sangat sulit untuk diungkapkan."

Cukuplah bagi kita sebuah contoh. Yaitu Nabi saw  yang  mulia, dalam  masa  dua  puluh tiga tahun --yaitu masa setelah beliau diangkat menjadi nabi-- beliau diberi berkah oleh  Allah  SWT. Dalam  masa  ini  beliau berhasil mendirikan agama yang paling mulia, mendidik generasi yang paling  baik,  menciptakan  umat yang  terbaik,  mendirikan  negara  yang  paling  adil, menang terhadap penyembahan berhala orang-orang kafir, Yahudi,  serta memberikan   warisan  abadi  kepada  umatnya  --setelah  kitab Allah-- sunnah yang menjadi petunjuk, dan sirah yang sempurna.

Begitu pula halnya dengan Abu Bakar r.a. Dalam masa dua  tahun setengah,  dia  berhasil  mengalahkan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai  nabi-nabi  palsu,  mengembalikan  orang-orang murtad   ke   pangkuan   Islam,   mengirimkan   tentara  untuk menaklukkan  Persia  dan  Romawi,  mendidik  orang-orang  yang enggan  membayar  zakat,  menjaga  hak-hak fakir miskin dengan mengambilkan hak  mereka  pada  harta  orang-orang  kaya,  dan merekamkan    dalam    sejarah    kedaulatan    Islam    bahwa pemerintahannya  adalah   pemerintahan   yang   pertama   kali berperang untuk membela hak-hak fakir miskin.

Umar  bin  Khatab  dalam masa sepuluh tahun berhasil melakukan pelbagai penaklukan wilayah di luar,  dan  memantapkan  kaidah pemerintahan yang adil berdasarkan musyawarah secara internal. Dia  telah  menciptakan  berbagai  tradisi  yang   baik   bagi orang-orang  sesudahnya  yang dikenal dengan "prioritas Umar." Dia  telah  berhasil  memancangkan  tiang-tiang  fiqh  sosial, khususnya  fiqh  kenegaraan,  yang  disandarkan kepada tujuan, pertimbangan   antara   pelbagai   kemaslahatan,    melindungi generasi, serta memberanikan orang untuk memberikan usu1an dan kritik kepada hakim. Dia berkata,  "Tidak  ada  kebaikan  pada dirimu  selama  kamu  tidak  mau  mengatakannya, dan tidak ada kebaikan bagi kami selama kami tidak mendengarkannya."  Selain itu,  Umar  juga  sangat menjauhi dunia, memiliki kemauan yang kuat untuk  menjalankan  kebenaran,  mewujudkan  keadilan  dan persamaan  hak  di  antara  manusia,  bahkan  bila  dia  harus melakukan qisas terhadap para gubernur dan anak-anaknya.

Umar bin Abd al-Aziz menjadi khalifah selama tiga puluh bulan. Melalui tangannya, Allah SWT menghidupkan tradisi keadilan dan kecemerlangan, mematikan kezaliman dan kesesatan. Dia  menolak berbagai  bentuk kezaliman dan memberikan hak-hak kepada orang yang berhak memperolehnya. Dia  telah  berhasil  mengembalikan kepercayaan  orang  kepada  Islam, sehingga semua orang merasa lega, tenang dan tidak merasa  ketakutan.  Dia  memberi  makan orang-orang  yang  lapar, menyebarluaskan kemakmuran, sehingga orang-orang  yang  berharta  berkata,  "Di  mana  kami   harusmeletakkan  zakat,  ketika semua manusia telah diberi kekayaan oleh Allah SWT."

Imam  Syafi'i,  yang  hidup  selama  lima  puluh  empat  tahun --menurut  perhitungan  tahun  qamariyah-- (150-204 H.) tetapi dia mampu memberikan berbagai sumbangan ilmiah yang orisinal.

Imam al-Ghazali, yang  hidup  selama  lima  puluh  lima  tahun (450-505 H.) meninggalkan kekayaan ilmiah yang bermacam-macam.

Imam  al-Nawawi,  yang  hidup  selama  empatpuluh  lima  tahun (631-676 H.) meninggalkan warisan yang sangat bermanfaat  bagi kaum  Muslimin  secara  menyeluruh;  baik berupa hadits, fiqh; yaitu dari hadits empat  puluhnya  hingga  penjelasannya  atas hadits   Muslim;   dari   metodologi   fiqh   hingga   Rawdhah al-Thalibin; dan lain-lain.

Begitu pula halnya dengan para ulama yang lain;  seperti:  Ibn Arabi,  al-Sarakhsi, Ibn al-Jawzi, Ibn Qudamah, al-Qarafi, Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim, al-Syathibi, Ibn Khaldun, Ibn  Hajar, Ibn  al-Wazir,  Ibn  al-Hammam,  al-Suyuthi,  al-Syaukani, dan lain-lain  yang   memenuhi   dunia   ini   dengan   ilmu   dan keutamaannya.

Oleh  karena  itu,  ada orang yang meninggal dunia sebelum dia mati. Umurnya telah habis padahal dia masih hidup. Tetapi  ada orang  yang  dianggap masih hidup setelah dia meninggal dunia. Karena dia  meninggalkan  amal-amal  yang  shaleh,  ilmu  yang bermanfaat,  keturunan  yang  baik,  murid-murid yang dianggap dapat memperpanjang umurnya.


Catatan Kaki:

1 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasai' dari Ma'qal bin Yasar, sebagaimana yang dimuat di dalam buku Shahih al-Jami' as-Shaghir (2940).^
2 Muttafaq 'Alaih, dari Ibn Umar. Lihat al-Lu'lu' wal-Marjan (1651).^
3 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir wa ad-Dhiya', dari Salman, dan hadits ini dianggap sebagai hadis hasan di dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (5394)^
4 Diriwayatian oleh Muttafaq Alaih dari Abu Hulairah r.a. yang dimuat dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan (1773).^
5 Hadits ini shahih dan berasal dari riwayat Ali, yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya'la, Thabrani, dengan rijal hadits yang shahih, selain Ummu Musa yang tsiqat. Selain itu, diriwayatkan pula dari Ibn Mas'ud sendiri yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya'la, al-Bazzar, dan Thabrani dari berbagai jalan. Dan juga diriwayatkan dari Qurrah bin Iyas yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Thabrani dengan rijal hadits yang shahih. (Majma' az-Zawa'id, 9:288-289).^
6 Muttafaq 'Alaih dari Abdullah bin Amir.^
7 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r a.^
8 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564)^
9 Diriwayatkan oleh Muslim dari Syidad bin Aus (1955).^
10 Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman dari Kulaib, yang dikelompokkan sebagai hadits hasan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (1891).^
11 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam "bab at-Tauhid" pada kitab Shahih-nya; yaitu dalam "bab Dan Singgasana Tuhan Berada di atas Air" (al-Fath, 13:404)^
12 Muttafaq Alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. yang dimuat dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan no. 5; dan diriwayatkan oleh Muslim dari Umar no. 8.^
13 Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r. a. dalam kitab al-Shawm, sebagaimana diriwayatkan oleh penulis kitab Sunan al-Arba'ah.^
14 al-Mundziri menulis dalam ar-Targhib "Diriwayatkan oleh Ibn Majah dengan lafal darinya; diriwayatkan oleh Nasai Ibn Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya; dan juga diriwayatkan oleh al-Hakim yang mengatakan "Hadits ini shahih menurut syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dengan lafal sebagai berikut: "Kebanyakan orang yang melakukan puasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga dari bagian puasanya, dan kebanyakan orang yang melakukan qiyam lail hanya mendapattan keterjagaan dari bagian qiyamnya."^
15 Muttafaq 'Alaih yang diriwayatkan dari Umar bin Khatab. Hadits nomor satu dalam Shahih al-Bukhari.^
16 Diriwayatkan oleh Muslim dari 'Aisyah dengan lafal tersebut; Sedangkan Muttafaq 'Alaih meriwayatkan dengan lafal: "Barangsiapa mengadakan sesuatu yang bukan urusan kami, maka amalan itu ditolak."^
17 Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibn Majah, dari Abu Huralrah r.a seperti yang tertulis dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (2460); kemudian baca buku kami al-Munraga min at-Targhib wat-Tarhib, dan komentar kami atas hadis no. 1811.
^