Muharram dan Keutamaan Puasa di Dalamnya


Muharram dan Keutamaan Puasa di Dalamnya


Lafaz Hadits
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: ((أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ, وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ))
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Se-afdhal-afdhal puasa setelah (puasa) Ramadhanadalah (puasa) di bulan Allah, Al-Muharram. Dan se-afdhal-afdhal shalat setelah shalat fardhuadalah shalat malam.”

Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 1163/2755, Imam Abu Dawud no. 2431, Imam An-Nasai no. 1613, Imam At-Tirmidzi no. 438 dan yang lainnya. Hadits ini shahih.
Faidah-faidah Hadits
Di antara faidah-faidah hadits ini adalah sebagai berikut:
1.       Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan bulan Muharram dengan Syahrullah(Bulan Allah).
2.       Puasa yang paling afdhal adalah puasa Ramadhan karena puasa tersebut adalah puasa yang wajib. Begitu pula dengan shalat fardhu dia lebih afdhal daripada shalat-shalat sunnah.
3.       Puasa di bulan Muharram adalah puasa sunnah yang paling afdhal daripada puasa-puasa sunnah di bulan yang lainnya. Hal ini tidak menafikan bahwa sebagian hari seperti hari‘Arafah (9 Dzul-hijjah), 6 hari di bulan Syawal, Senin dan Kamis dan yang lainnya juga memiliki keutamaan sendiri jika berpuasa di hari-hari tersebut.
4.       Shalat sunnah yang paling utama adalah shalat malam. Ini juga dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa shalat sunnah di malam hari lebih utama daripada shalat sunnah di siang hari.
Bulan Muharram (الْمُحَرَّم)
Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan ini disebut oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Tentunya, bulan ini memilki keutamaan yang sangat besar.
Di zaman dahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bulan ini bukanlah dinamakan bulan Al-Muharram, tetapi dinamakan bulan Shafar Al-Awwal, sedangkan bulan Shafar dinamakan Shafar Ats-Tsani. Setelah datangnya Islam kemudian Bulan ini dinamakan Al-Muharram.[1]
Al-Muharram di dalam bahasa Arab artinya adalah waktu yang diharamkan. Untuk apa? Untuk menzalimi diri-diri kita dan berbuat dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
﴿ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ   [ التوبة : 36 ] 

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu.” (QS At-Taubah: 36)
Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
((… السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان ))
“Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan, yaitu:Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah dan Al-Muharram, serta Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadadan Sya’ban. “[2]
Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
﴿ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di dalamnya”, karena berbuat dosa pada bulan-bulan haram ini lebih berbahaya daripada di bulan-bulan lainnya. Qatadah rahimahullah pernah berkata:
(إنَّ الظُّلْمَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ أَعْظَمُ خَطِيْئَةً وَوِزْراً مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهَا  وَإِنْ كَانَ الظُّلْمُ عَلَى كُلِّ حَالٍ عَظِيْماً  وَلَكِنَّ اللهَ يُعَظِّمُ مِنْ أَمْرِه مَا يَشَاءُ )
“Sesungguhnya berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat kezaliman di selain bulan-bulan tersebut. Meskipun berbuat zalim pada setiap keadaan bernilai besar, tetapi Allah membesarkan segala urusannya sesuai apa yang dikehendaki-Nya.”[3]
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
(…فَجَعَلَهُنَّ حُرُماً وَعَظَّمَ حُرُمَاتِهِنَّ وَجَعَلَ الذَّنْبَ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ  وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ وَاْلأَجْرُ أَعْظَمُ )
 “…Kemudian Allah menjadikannya bulan-bulan haram, membesarkan hal-hal yang diharamkan di dalamnya dan menjadikan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dan menjadikan amalan soleh dan pahala juga lebih besar.”[4]
Haramkah berperang di bulan-bulan haram?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama memandang bahwa larangan berperang pada bulan-bulan ini telah di-naskh (dihapuskan), karena Allah subhanahu wa ta’alaberfirman:
﴿ فَإِذَا انسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ [ التوبة : 5 ] 
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS At-Taubah: 5)
Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan berperang pada bulan-bulan tersebut, tidak dihapuskan dan sampai sekarang masih berlaku. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa tidak boleh memulai peperangan pada bulan-bulan ini, tetapi jika perang tersebut dimulai sebelum bulan-bulan haram dan masih berlangsung pada bulan-bulan haram, maka hal tersebut diperbolehkan.
Pendapat yang tampaknya lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi penduduk Thaif pada bulan Dzul-Qa’dah pada peperangan Hunain.[5]
Keutamaan Berpuasa di Bulan Muharram
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Muharram atau sebagian besar bulan Muharram. Jika demikian, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa sebanyak puasa beliau di bulan Sya’ban? Para ulama memberikan penjelasan, bahwa kemungkinan besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui keutamaan bulan Muharram tersebut kecuali di akhir umurnya atau karena pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak udzur seperti: safar, sakit atau yang lainnya.
Keutamaan Berpuasa di Hari ‘Asyura (10 Muharram)
Di bulan Muharram, berpuasa ‘Asyura tanggal 10 Muharram sangat ditekankan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ ))
“… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.”[6]
Ternyata puasa ‘Asyura’ adalah puasa yang telah dikenal oleh orang-orang Quraisy sebelum datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga berpuasa pada hari tersebut. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
(كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ   وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ  وَمَنْ شَاءَ تَرَكَه)
“Dulu hari ‘Asyura, orang-orang Quraisy mempuasainya di masa Jahiliyah. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempuasainya. Ketika beliau pindah ke Madinah, beliau mempuasainya dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura’. Barang siapa yang ingin, maka silakan berpuasa. Barang siapa yang tidak ingin, maka silakan meninggalkannya.” [7]
Keutamaan Berpuasa Sehari Sebelumnya
Selain berpuasa di hari ‘Asyura disukai untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkeinginan, jika seandainya tahun depan beliau hidup, beliau akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Tetapi ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada tahun tersebut.
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: (( فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ )) قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan memerintahkan manusia untuk berpuasa, para sahabat pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila tahun depan -insya Allah- kita akan berpuasa dengan tanggal 9 (Muharram).’ Belum sempat tahun depan tersebut datang, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.”[8]
Banyak ulama mengatakan bahwa disunnahkan juga berpuasa sesudahnya yaitu tanggal 11 Muharram. Di antara mereka ada yang berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas berikut:
((صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ  صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا))
“Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sebelumnya atau berpuasalah setelahnya satu hari.”[9]
Akan tetapi hadits ini lemah dari segi sanadnya (jalur periwayatan haditsnya).
Meskipun demikian, bukan berarti jika seseorang ingin berpuasa tanggal 11 Muharram hal tersebut terlarang. Tentu tidak, karena puasa tanggal 11 Muharram termasuk puasa di bulan Muharram dan hal tersebut disunnahkan.
Sebagian ulama juga memberikan alasan, jika berpuasa pada tanggal 11 Muharram dan 9 Muharram, maka hal tersebut dapat menghilangkan keraguan tentang bertepatan atau tidakkah hari ‘Asyura (10 Muharram) yang dia puasai tersebut, karena bisa saja penentuan masuk atau tidaknya bulan Muharram tidak tepat. Apalagi untuk saat sekarang, banyak manusia tergantung dengan ilmu astronomi dalam penentuan awal bulan, kecuali pada bulan Ramadhan, Syawal dan Dzul-Hijjah.
Tingkatan berpuasa ‘Asyura yang disebutkan oleh para ahli fiqh
Para ulama membuat beberapa tingkatan dalam berpuasa di hari ‘Asyura ini, sebagai berikut:
Tingkatan pertama: Berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
Tingkatan kedua: Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Tingkatan ketiga: Berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram.
Tingkatan keempat: Berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram.
Sebagian ulama mengatakan makruhnya berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram, karena hal tersebut mendekati penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Yang berpendapat demikian di antaranya adalah: Ibnu ‘Abbas, Imam Ahmad dan sebagian madzhab Abi Hanifah.
Allahu a’lam, pendapat yang kuat tidak mengapa berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram, karena seperti itulah yang dilakukan oleh Rasulullah selama beliau hidup.
Hari ‘Asyura, Hari Bergembira atau Hari Bersedih?
Kaum muslimin mengerjakan puasa sunnah pada hari ini. Sedangkan banyak di kalangan manusia, memperingati hari ini dengan kesedihan dan ada juga yang memperingati hari ini dengan bergembira dengan berlapang-lapang dalam menyediakan makanan dan lainnya.
Kedua hal tersebut salah. Orang-orang yang memperingatinya dengan kesedihan, maka orang tersebut laiknya aliran Syi’ah yang memperingati hari wafatnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Husain radhiallahu ‘anhu terbunuh di Karbala’ oleh orang-orang yang mengaku mendukungnya. Kemudian orang-orang Syi’ah pun menjadikannya sebagai hari penyesalan dan kesedihan atas meninggalnya Husain.
Di Iran, yaitu pusat penyebaran Syi’ah saat ini, merupakan suatu pemandangan yang wajar, kaum lelaki melukai kepala-kepala dengan pisau mereka hingga mengucurkan darah, begitu pula dengan kaum wanita mereka melukai punggung-punggung mereka dengan benda-benda tajam.
Begitu pula menjadi pemandangan yang wajar mereka menangis dan memukul wajah mereka, sebagai lambang kesedihan mereka atas terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: (( لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ ))
“Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti teriakan orang-orang di masa Jahiliyah.”[10]
Kalau dipikir, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama di hari meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, Padahal beliau juga wafat terbunuh?
Di antara manusia juga ada yang memperingatinya dengan bergembira. Mereka sengaja memasak dan menyediakan makanan lebih, memberikan nafkah lebih dan bergembira layaknya ‘idul-fithri.
Mereka berdalil dengan hadits lemah:
(( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ ))
“Barang siapa yang berlapang-lapang kepada keluarganya di hari ‘Asyura’, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun tersebut.”[11]
Dan perlu diketahui merayakan hari ‘Asyura’ dengan seperti ini adalah bentuk penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Mereka bergembira pada hari ini dan menjadikannya sebagai hari raya.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang bulan Muharram dan keutamaan berpuasa di dalamnya. Mudahan kita bisa mengawali tahun baru Islam ini dengan ketaatan. Dan Mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.
Daftar Pustaka
1.       Ad-Dibaj ‘Ala Muslim. Jalaluddin As-Suyuthi.
2.       Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Imam An-Nawawi.
3.       Fiqhussunnah. Sayyid Sabiq.
4.       Risalah fi Ahadits Syahrillah Al-Muharram. ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan.http://www.islamlight.net/
5.       Tuhfatul-Ahwadzi. Muhammad ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri.
6.       Buku-buku hadits dan tafsir dalam catatan kaki (footnotes) dan buku-buku lain yang sebagian besar sudah dicantumkan di footnotes.

[1] Lihat penjelasan As-Suyuthi dalam Ad-Dibaj ‘ala Muslim tentang hadits di atas.
[2] HR Al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679/4383.
[3] Tafsir ibnu Abi hatim VI/1793.
[4] Tafsir Ibnu Abi Hatim VI/1791.
[5] Lihat Tafsir Al-Karim Ar-Rahman hal. 218, tafsir Surat Al-Maidah: 2.
[6] HR Muslim no. 1162/2746.
[7] HR Al-Bukhari no. 2002.
[8] HR Muslim no. 1134/2666.
[9] HR Ahmad no. 2153, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no. 8189 dan yang lainnya. Syaikh Syu’aib dan Syaikh Al-Albani menghukumi hadits ini lemah.
[10] HR Al-Bukhari 1294.
[11] HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 9864 dari Abdullah bin Mas’ud dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab no. 3513,3514 dan 3515 dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri. Keseluruhan jalur tersebut lemah dan tidak mungkin saling menguatkan, sebagaimana dijelaskan dengan rinci oleh Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6824.

Benarkah cara Berislam Anda

Benarkah cara Berislam Anda

Tidak bisa dipungkiri Islam “lahir” lebih dari 14 abad yang lalu. Selang waktu yang sangat lama ini sangat memungkinkan untuk terjadi kesesatan di dalam “tubuh” Islam. Jangankan 14 abad, dalam waktu yang sangat singkat saja, suatu kaum bisa menjadi sesat, sebagaimana terjadi pada Bani Israil ketika ditinggalkan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam selama 40 hari. Yang  tadinya mereka hanya menyembah kepada Allah, akhirnya mereka menyembah kepada berhala.
Begitu pula dengan jarak yang sangat jauh dengan pusat penyebaran Islam di zaman dahulu, seperti: Madinah, Mekkah, Baghdad, Mesir dll. Untuk bisa mencapai negeri Indonesia, para penyebar Islam harus menempuh pelayaran dan perjalanan yang sangat lama. Ini juga mendukung terjadinya kesesatan.
Berdasarkan catatan sejarah, di awal-awal masuknya Islam ke Indonesia, Islam banyak disebarkan oleh para pedagang Islam yang berinteraksi dengan masyarakat pribumi. Mereka tidak terkenal sebagai ulama yang benar-benar menguasai ilmu Islam secara mendalam sebagaimana ulama-ulama yang berada di pusat penyebaran Islam di zaman dahulu. Seandainya benar mereka adalah ulama-ulama yang memiliki ilmu yang sangat dalam, tentunya kita akan mendapatkan peninggalan-peninggalan ilmiah mereka, baik berupa: tulisan tangan, riwayat perkataan mereka atau kemasyhuran mereka di dunia Islam. Tetapi ternyata kita tidak menemukannya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Islam di Indonesia dulunya diajarkan oleh orang-orang yang belum mencapai derajat ulama yang mendalam ilmunya. Jika demikian, maka Islam bisa ternoda dengan ketidakberilmuan mereka. Ini juga sangat mendukung terjadinya kesesatan di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui juga, agama yang banyak menyebar di Indonesia sebelum masuknya agama Islam adalah agama Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme dan Atheis. Disadari atau tidak, ini juga tidak menutup kemungkinan untuk terjadi percampuran agama Islam dengan agama-agama tersebut. Belum lagi dengan budaya yang beraneka ragam yang sekarang sangat tampak pengaruhnya terhadap pemeluk-pemeluk Islam di Indonesia. Ini juga bisa mendukung terjadinya kesesatan.
Dengan membaca apa yang telah penulis paparkan di atas, maka Indonesia bisa menjadi “lahan” subur untuk menyebarnya berbagai kesesatan. Oleh karena itu, dalam berislam kita harus benar-benar memperhatikan apakah Islam yang kita jalani pada saat ini adalah Islam yang benar dan jauh dari kesesatan ataukah tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan di dalam hadits Abu Hurairah:
(( افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً ))
Artinya: “Umat Yahudi terpecah-belah menjadi 71 atau 72 kelompok. Umat Kristen juga terpecah belah menjadi 71 atau 72 kelompok. Sedangkan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 kelompok [1]. Seluruhnya di neraka kecuali satu kelompok.[2]
Hadits di atas dengan jelas mengabarkan bahwa kaum muslimin akan berpecah-belah dan hanya ada satu kelompok yang selamat. Ini harus kita imani, karena Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-lah yang mengatakannya.
Hadits di atas juga mengabarkan bahwa ketujuh puluh kelompok tersebut masih digolongkan sebagai umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beragama Islam, sehingga meskipun mereka terjatuh kepada kesesatan, mereka di akhirat nanti masih berada di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak untuk mengazab mereka maka Allah akan mengazab mereka, jika tidak maka Allah tidak akan mengazab mereka. Akan tetapi, kesemuanya pada akhirnya akan masuk surga.
Penulis perlu mengingatkan bahwa ada kelompok-kelompok di dalam Islam yang menisbatkan diri mereka kepada Islam, tetapi kelompok-kelompok tersebut sebenarnya bukanlah termasuk umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti: Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal (JIL), beberapa tarikat Shufiyah dan Syi’ah/Rafidhah yang melampaui batas dll. Kelompok-kelompok tersebut tidak termasuk ketujuh puluh kelompok yang disebutkan di dalam hadits di atas.
Siapakah satu kelompok yang disebutkan di dalam hadits tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita tidak boleh mengaku-ngaku berada dalam kebenaran kecuali memang ada dalilnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seharusnya kita selalu merasa was-was atau ragu apakah Islam yang kita jalani pada saat ini sudah benar ataukah belum. Dengan demikian kita akan bersemangat untuk mencari kebenaran tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka pada kelanjutan hadits di atas:
(( فَقِيلَ لَهُ : مَا الْوَاحِدَةُ   قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي ))
Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ditanya, “Siapakah satu kelompok itu, Ya Rasulullah?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Apa yang sesuai dengan yang saya dan para sahabatku berada di atasnya pada hari ini.”
Dengan demikian, Islam yang paling benar adalah Islam yang sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada penambahan dan pengurangan di dalamnya dan juga Islam yang dijelaskan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka langsung menerima ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekarang ini banyak orang mengatakan bahwa kelompoknya adalah kelompok yang paling benar, karena kelompoknya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, mengapa masih terjadi perpecahan di antara mereka sehinga yang satu kelompok mengkafirkan yang lain dan yang lainnya mengatakan sesat kelompok yang lain?
Ini semua terjadi karena mereka memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya dengan akal-akal mereka atau mencukupkan diri dengan bahasa Arab yang mereka kuasai. Sehingga mereka tidak tahu apakah mereka telah terjatuh kepada kesesatan ataukah tidak.
Saudara pembaca yang mudah-mudahan Allah merahmati kita semua, Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah ditafsirkan atau dijelaskan dengan akal-akal manusia, maka akan terjadilah keberagaman pemahaman, karena setiap orang sangat berbeda tingkat pemahamannya dengan yang lain. Jika terus berlangsung demikian, maka Islam di setiap zaman akan berbeda-beda dan akan menjadi agama baru yang berbeda dengan Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu, kita harus mengikuti pemahaman siapa? Jawabannya adalah kita harus mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik.
Apakah mereka masih ada pada zaman sekarang ini? Ya, orang-orang yang mengikuti pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik masih ada pada zaman sekarang ini sampai hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ ))
Artinya : ”Senantiasa ada sekelompok orang di kalangan umatku yang selalu tampak dengan kebenarannya. Orang yang tidak mengacuhkan mereka tidak dapat memberikan mudarat kepada mereka sampai datang perkara Allah dan mereka tetap dengan kebenarannya.”[3]
Mengapa kita harus mengikuti pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik? Setidaknya ada empat alasan mengapa kita harus mengikuti pemahaman mereka, yaitu:
1.       Allah subhanahu wa ta’ala telah me-ridha-i mereka di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya:
﴿ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
     Artinya: “Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun telah ridha kepada Allah.” (QS Al-Bayyinah : 8)
2.       Mereka adalah umat terbaik di hadapan Allah

(( خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ  ))
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang hidup setelah zamanku, kemudian yang hidup setelahnya.” [4]
3.       Allah mengancam orang-orang yang menyelisihi mereka di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya

﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [ النساء : 115

Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An-Nisa’ : 115)
“Jalan orang-orang mukmin”, siapakah mereka? Tidak lain, mereka adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4.       Allah di dalam Al-Qur’an telah memuji mereka dan menyediakan untuk mereka surga
  
﴿ وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ [ التوبة : 100
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah me-ridha-i mereka dan mereka pun telah ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah : 100)
Pada ayat di atas Allah menyebutkan keutamaan kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah telah me-ridha-i mereka dan menyediakan surga untuk mereka kelak. Oleh karena itu, kita harus bisa mengikuti jejak mereka agar bisa menjadi seperti orang-orang yang disebutkan setelah kaum Muhajirin dan Anshar dan mendapatkan keutamaan berupa ke-ridha-an Allah dan surga.
Bagaimana agar kita bisa benar-benar yakin bahwa Islam yang kita jalani adalah Islam yang sesuai dengan pemahaman mereka? Agar kita bisa yakin, maka kita harus benar-benar mempelajari Islam ini dan menghidupkan keilmiahan dalam beragama. Kita tidak menerima, mengamalkan dan berkeyakinan kecuali benar-benar memiliki dalil dari Al-Qur’an dan HaditsNabi shallallahu ‘alaihi wa sallamHadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebar di dunia Islam pun harus diseleksi lagi, karena hadits tersebut bermacam-macam; Ada hadits shahih dan hasan (kedua hadits inilah yang bisa menjadi hujjah/dalil); dan ada juga haditsdha’if/lemah dan maudhu’/palsu (kedua hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah).
Tidak cukup dengan itu, kita harus meneliti lagi apakah pemahaman kita akan tafsir Al-Qur’an danhadits tersebut sudah sesuai dengan pemahaman orang-orang Islam yang terdahulu (kaum salaf dari kalangan sahabat, tabi’intabi’ut-tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik) dengan membaca nukilan-nukilan perkataan mereka di kitab-kitab para ulama yang terpercaya keilmuannya.
Di dalam urusan dunia saja kita harus ilmiah dalam menerima segala sesuatu, contohnya:
Dalam bidang kedokteran, para dokter tidak bisa menerima suatu cara pengobatan kecuali dengan adanya penelitian dan bukti ilmiah. Begitu pula dalam bidang teknologi, para ilmuan tidak bisa mengatakan bahwa sesuatu penemuan tersebut adalah ilmu pengetahuan kecuali bisa dibuktikan dan dijelaskan dengan teori-teori ilmiah.
Apalagi dalam beragama, maka kita juga harus menghidupkan keilmiahan dalam beragama, sehingga kita nantinya tidak salah dalam memahami agama ini dan tidak tersesat.
Kita juga seharusnya jangan terlalu fanatik dengan madzhab fiqh tertentu, seperti: madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali (Ahmad), madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Imam-imam madzhabtersebut tidaklah ma’shum (terjaga dari dosa), sehingga memungkinkan bagi mereka terjatuh kepada kesalahan-kesalahan.
Tidaklah ada pada suatu madzhab fiqh tersebut kecuali di dalamnya ada kebenaran dan kesalahan. Apa-apa yang benar dan sesuai dengan dalil, maka kita ikuti. Dan apa-apa yang salah atau menyelisihi dalil maka kita harus tolak. Kebenaran yang muthlaq tidak ada terdapat pada suatu madzhab tertentu.
Dengan demikian, Sudah benarkah cara berislam Anda? Jika belum benar, maka marilah kita sama-sama memperbaikinya, berlapang dada menerima kebenaran dan tidak sombong.
Akhirul-kalam, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk bisa menyebarkan kebaikan yang terdapat pada tulisan ini dengan menyampaikannya kepada orang-orang di sekitar pembaca, keluarga dan kaum muslimin. Mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.

[1] Sampai di sini HR Abu Dawud no. 4596, At-Tirmidzi no. 2640 dan Ibnu Majah no. 3991 (Hadits ini di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani).
[2] HR Al-Marwazi di As-Sunnah no. 59 dan Al-Hakim di Al-Mustadrak no. 444. Hadits ini memiliki syahid dari Anas bin Malik, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Aushath no. 4886.
[3] HR Muslim no. 5059
[4] HR Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 6635