Ujian dari Allah dan Cara Mengatasinya


Ujian dari Allah dan Cara Mengatasinya


﴿ لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ [ آل عمران : 186 ]
Artinya: “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”[1] (QS Âli ‘Imrân : 186)

Tafsir Ringkas
Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Allah ta’âla mengabarkan dan mengatakan kepada orang-orang mukmin bahwa mereka akan diuji pada harta mereka dengan mengeluarkan nafkah-nafkah yang wajib dan juga yang sunnah serta dengan kehilangan harta mereka untuk (beribadah/berjuang) di jalan Allah. (Mereka juga akan diuji) pada diri-diri mereka dengan berbagai hal yang berat yang dibebankan oleh banyak manusia.
(Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati) berupa celaan terhadap diri-diri, agama, Kitab dan Rasul kalian…Oleh karena itu, Allah berkata, ‘(Jika kamu bersabar dan bertakwa)‘ maknanya adalah jika kalian bersabar atas apa-apa yang kalian dapatkan pada harta dan diri kalian berupa ujian, cobaan dan gangguan dari orang-orang yang zolim, serta kalian dapat bertakwa kepada Allah di dalam kesabaran itu dengan meniatkannya untuk mengharap wajah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan kalian tidak melampaui batas kesabaran yang ditentukan oleh syariat yang mana pada saat itu tidak dihalalkan menghadapinya hanya dengan kesabaran, tetapi harus dengan membalas perlakuan musuh-musuh Allah. (Maka Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan) artinya itu termasuk urusan yang harus didahulukan dan saling berlomba-lomba untuk meraihnya. Tidaklah ada yang diberi taufik untuk dapat melakukan hal ini kecuali orang-orang yang memiliki tekad kuat dan semangat tinggi sebagaimana firman Allah ta’âla, (artinya): ‘Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.
[2].”[3]

Sebab Turunnya Ayat (sababun-nuzûl)
Sebagian ayat-ayat Al-Qur’ân memiliki sebab mengapa ayat tersebut diturunkan. Ayat ini diturunkan berhubungan dengan kisah yang terjadi di pemukiman Al-Hârits bin Al-Khazraj (Madinah) sebelum terjadinya perang Badar.
Kaum muslimin ketika itu sedang berkumpul dengan kaum musyrikin dan  orang-orang Yahudi. Datanglah Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam ke tempat itu dan memberi salam. Di majlis itu ada ‘Abdullâh bin Ubai bin Salûl, dia berkata, “Janganlah kalian mengotori kami!” Rasulûlullâhshallallâhu ‘alaihi wa sallam pun mengajak mereka untuk masuk ke dalam Islam dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka. ‘Abdullâh bin Ubai menyahut, “Wahai lelaki! Apa yang engkau katakan bukanlah sesuatu yang bagus.  Jika itu adalah sesuatu yang hak, maka Janganlah kamu mengganggu kami dengan perkataan itu! Kembalilah ke hewan tungganganmu! Barang siapa mendatangimu, maka ceritakanlah perkataan itu!”
Perkataan itu sangat menyakitkan hati kaum muslimin, sehingga terjadilah pertengkaran di majlis itu antara orang-orang muslimin dengan orang-orang kafir. Akhirnya, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun menenangkan mereka. Setelah mereka tenang Rasûlullullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun kembali ke tunggangannya dan pergi. Setelah itu Allah menurunkan ayat ini yang berisi perintah untuk bersabar atas gangguan-gangguan orang-orang kafir.[4]

Penjabaran dan tafsir ayat
Ujian adalah sunnah kauniyah (ketetapan Allah yang pasti akan terjadi) untuk setiap muslim
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
Artinya: “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.”


Ujian adalah sunnah kauniyah untuk setiap muslim. Seorang muslim tidak mungkin mengelak dari ujian tersebut. Oleh karena itu, Allah memberi dua penekanan pada ayat ini dengan firman-Nya ( لَتُبْلَوُنَّ ) “kamu sungguh sungguh dan benar-benar akan diuji.”[5]
Al-Mufassir Ibnu Katsir berkata, “Firman Allah (Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu) seperti firman-Nya: (Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn’)[6]Seorang mukmin pasti akan diuji pada sesuatu dari harta, jiwa, anak dan keluarganya.[7]
Allah subhânahu wata’âla juga berfirman:

﴿ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْض [ محمد : 4]
Artinya: “Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.” (QS Muhammad : 4)
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

(( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ عَلَى الْقَبْرِ فَيَتَمَرَّغُ عَلَيْهِ وَيَقُولُ: يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَكَانَ صَاحِبِ هَذَا الْقَبْرِ وَلَيْسَ بِهِ الدِّينُ إِلَّا الْبَلَاءُ ))
Artinya: “Demi yang jiwaku berada di tangannya! Dunia ini tidak akan fana, kecuali setelah ada seseorang yang melewati sebuah kuburan dan merenung lama di dekatnya seraya berkata, ‘Seandainya aku dulu seperti penghuni kubur ini, tidak ada yang dirasakan pada agamanya kecuali hanya ujian saja.’.”[8]

Kuatnya iman dan besarnya ujian selalu berbanding lurus
Semakin kuat keimanan seseorang, maka ujian yang akan diberikan oleh Allah akan semakin besar. Rasulûllâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Sa’d bin Abî Waqqâsh radhiallâhu ‘anhu:
(( يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ))
Artinya: “Ya Rasûlullâh! Manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para Nabi kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar keberagamaannya. Jika agamanya kuat maka akan ditambahkan ujian itu. Jika agamanya lemah maka akan diuji sesuai kadar keberagamaannya.”[9]
Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
(( إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ ))
Artinya: “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Barang siapa yang rida dengan ujian itu maka ia akan mendapat keridaan-Nya. Barang siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan kebencian-Nya.”[10]


Mengapa Allah mengabarkan bahwa ujian ini pasti akan terjadi?
Ada beberapa faidah yang bisa kita “petik” dari pengabaran itu, di antaranya:
1.       Kita akan mengetahui bahwa ujian tersebut mengandung hikmah Allah ta’âla. Dengan hikmah itu, Allah membedakan muslim yang benar keimanannya dengan yang tidak.
2.       Kita akan mengetahui bahwa Allah-lah yang mentakdirkan ini semua.
3.       Kita akan bersiap-siap untuk menghadapi ujian itu dan akan bisa bersabar serta akan merasakan keringanan dalam menghadapinya.[11]

Ujian tidak hanya dengan sesuatu yang buruk
Allah tidak hanya menguji seseorang dengan sesuatu yang buruk. Akan tetapi, Allah juga menguji seseorang dengan sesuatu yang baik. Allah subhanahu wa ta’âla berfirman:

﴿ كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ [الأنبياء: 35 ]
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan Hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS Al-Anbiyâ’ : 35)
Terkadang seorang muslim apabila ditimpa dengan musibah dan kesusahan, maka dia dapat bersabar. Akan tetapi, begitu dia diberikan kenikmatan yang berlebih maka terkadang dia tidak bisa “lulus” dari ujian tersebut. ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiallâhu ‘anhu pernah berkata:
 (( ابْتُلِينَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالضَّرَّاءِ فَصَبَرْنَا ثُمَّ ابْتُلِينَا بِالسَّرَّاءِ بَعْدَهُ فَلَمْ نَصْبِرْ ))
Artinya: “Kami diuji dengan kesusahan-kesusahan (ketika) bersama Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan kami dapat bersabar. Kemudian kami diuji dengan kesenangan-kesenangan setelah beliau wafat dan kami pun tidak dapat bersabar.”[12]

Ujian itu adalah rahmat dari Allah
Ujian yang diberikan oleh Allah adalah rahmat kepada seluruh manusia terlebih lagi untuk kaum muslimin.
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ [ محمد: 31 ]

Artinya: “Dan Sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (QS Muhammad : 31)
Dengan adanya ujian itu, akan tampak orang yang benar-benar beriman dengan yang tidak. Ini adalah rahmat dari Allah. Allah subhânahu wata’âla berfirman:

﴿ أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ [ العنكبوت: 2]
Artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami Telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al-‘Ankabût : 2)

Ujian yang lebih berat dari harta dan jiwa
Ternyata ada ujian yang lebih berat dari ujian pada harta dan jiwa. Apakah ujian tersebut? Allahsubhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا [ آل عمران : 186 ]
Artinya: “Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati.”
Dengan penggalan ayat tersebut kita dapat menjawab pertanyaan di atas. Ujian yang lebih berat dari hal-hal tersebut adalah ujian pada agama kita.
Kalau kita memperhatikan makna ayat yang kita bahas ini, maka kita akan menemukan bahwa Allah mengurutkan ujian-ujian tersebut dari yang lebih ringan ke yang lebih berat. Ujian pada harta lebih ringan daripada ujian pada jiwa. Ujian pada jiwa lebih ringan daripada ujian pada agama. Seseorang bisa saja memiliki harta yang melimpah dan badan yang sangat sehat, tetapi jika dia keluar dari agama Islam karena tidak tahan dengan cemohan orang-orang kafir, maka ini adalah sesuatu kerusakan yang besar baginya, baik di dunia maupun di akhirat.

Orang-orang kafir tidak akan berhenti mengganggu kaum muslimin
Gangguan dari orang-orang kafir, baik berupa ejekan maupun tindakan fisik, pasti akan terus ada. Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ [ البقرة: 109 ]

Artinya: “Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran, maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah : 109)
Dan juga firman-Nya:

﴿ وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ [ البقرة: 120 ]
Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah : 120)

Hakikat ahlul-kitâb berbeda berbeda dengan orang-orang musyrik
Dari ayat di atas, Allah subhânahu wa ta’âla membedakan antara ahlulkitâb (Yahudi dan Nasrani) dengan kaum musyrikin. Ini menunjukkan bahwa hakikat dari Ahlul-kitâb dan musyrikin itu berbeda. Meskipun mereka berbeda, mereka tetap memiliki kesamaan yaitu kesamaan dalam kekafiran.  Tempat kembali mereka di akhirat nanti adalah neraka –na’udzu billah min dzalik-.

Cara yang diajarkan oleh Allah untuk menghadapi segala ujian
Allah tidak akan melalaikan hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Allah juga mengajarkan kepada kaum muslimin bagaimana cara menghadapi ujian tersebut. Allah subhânahu wa ta’âlaberfirman:
﴿ وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ [ آل عمران : 186 ]
Artinya: “Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”
Menghadapi semua ujian harus dengan kesabaran dan ketakwaan. Hukum bersabar dan bertakwa dalam menghadapi ujian bukanlah sunnah, tetapi itu adalah sesuatu yang wajib dikerjakan oleh semua muslim.

Penyebutan kesabaran yang berdampingan dengan ketakwaan di dalam Al-Qur’an
Setidaknya, di Al-Qur’an ada enam tempat dimana Allah menggabungkan kata kesabaran dan ketakwaan dalam konteks yang sama, yaitu: di dalam surat Ali ‘Imran ayat 118, 125, dan 186, di dalam surat Yusuf ayat 90, di dalam surat An-Nahl ayat 125 hingga 128 dan surat Thâha ayat 132.[13] Ini menunjukkan bahwa kesabaran memiliki hubungan yang sangat erat dengan ketakwaan.

Hasil yang didapatkan dengan bersabar
Orang yang dapat bersabar menghadapi semua ujian akan memperoleh hal-hal yang terpuji, di antaranya[14]:
1.       Dia akan mendapatkan pahala seperti orang-orang yang memiliki keteguhan hati (ulul-‘azm).[15]
2.       Dia akan mendapatkan keberkatan yang sempurna, rahmat dan petunjuk dari Allah.
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman (artinya): “Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah : 157)
1.       Dia akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Allah subhânahu wa ta’âla berfirman (artinya): “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS Fushshilat : 35)
2.       Dia akan mendapatkan pahala tanpa batas. Allah subhânahu wa ta’âla berfirman (artinya): “Sesungguhnya Hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az-Zumar : 10)
3.       Dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah ta’âla. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallambersabda:

)فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ(
Artinya: “Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allah membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa.”[16]

Dakwah pun pasti penuh dengan ujian
Para dai (pendakwah) adalah penerus Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang yang akan mendapatkan ujian yang paling berat. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk dapat berilmu, beramal dan berdakwah. Mereka tidak hanya akan diuji dengan kekurangan harta, kelelahan fisik dan lain-lain, tetapi mereka juga akan diuji dengan ejekan, cemohan dan fitnah, baik dari kaum muslimin sendiri maupun dari kaum kafirin. Di antara mereka ada yang dapat bersabar menghadapinya dan terus berdakwah di masyarakat, tetapi ada juga yang tidak bisa bersabar dan mencari tempat yang sepi untuk menjauhi masyarakat. Para pendakwah yang dapat bersabar menghadapi gangguan dari masyarakat lebih baik daripada yang tidak dapat bersabar. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(( الْمُسْلِمُ إِذَا كَانَ مُخَالِطًا النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنْ الْمُسْلِمِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ ))
Artinya: “Seorang muslim yang berkecimpung dengan manusia dan dapat bersabar atas gangguan-gangguan mereka lebih baik dari muslim yang tidak berkecimpung dengan mereka dan tidak sabar dengan gangguan mereka.”

Kesimpulan dan faidah dari ayat
1.       Ujian pada harta, diri dan agama adalah sunnah kauniyah (ketetapan Allah yang pasti terjadi) pada setiap muslim.
2.       Kaum kafirin akan selalu mengganggu kaum muslimin, baik dengan perkataan ataupun perbuatan
3.       Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar mereka bisa bersabar dan bertakwa untuk menghadapi seluruh ujian tersebut.

Tamma bifadhlillâh wa karamihi. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Jember, Shafar 1431 H

[1] Lihat terjemahan ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya di dalam artikel ini di ‘Al-Qur’an dan Terjemahannya’ yang diterbitkan oleh Mujamma’ Al-Malik Fahd: Madinah Munawwarah, KSA.
[2] QS Fushshilat : 35
[3] Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân hal. 160.
[4] Penulis ringkas dengan bahasa bebas dari Shahîh Al-Bukhâri no. 4577 (Kitab At-Tafsîr, Surat Âli ‘Imrân)
[5] Syaikh Ibnu ‘Âsyûr berkata, “Allah memberi penekanan pada kata kerja ini dengan lâm al-qasam dan nûn at-taukîd asy-syadîdah untuk menunjukkan bahwa ujian itu akan benar-benar terjadi. Karena nûn at-taukîd asy-syadîdah lebih kuat dari segi pendalilan daripada (nûn) at-taukîd alkhafîfah.” (At-Tahrîr wa At-Tanwîr Jilid IV hal. 189)
[6] QS Al-Baqarah : 155-156.
[7] Tafsîr Al-Qur’an Al-‘Adzîm milik Ibnu Katsîr Jilid II hal. 179
[8] HR Muslim no. 7302
[9] HR At-Tirmidzi No. 2398, An-Nasâi di As-Sunan Al-kubrâ no. 7482  dan Ibnu Mâjah No. 4523 (Hadits ini di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 143 dan Al-Misykah no. 1562).
[10] HR At-Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Mâjah no. 4031 (Hadîts ini di-shahîh-kan oleh Syaikh Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 146).
[11] Lihat Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân hal. 160.
[12] HR At-Tirmidzi no. 2464 (Hadîts ini di-hasan-kan sanadnya oleh Syaikh Al-Albâni di Shahihwa Dha’îf Sunan At-Tirmidzi jilid V hal. 464.
[13] Untuk empat dari keenam tempat itu penulis mendapatkan faidah dari Daqâiq At-Tafsîr Al-Jâmi’ Li Tafsîr Ibni Taimiyah jilid II hal. 299-300, adapun sisanya penulis memanfaatkan Software Maktabah Syâmilah untuk mencarinya.
[14] Poin ke-2 hingga ke-4 Penulis mengambil faidah dari Adhwâ’ Al-Bayân jilid I hal. 187
[15] Lihat At-Tahrîr wa At-Tanwîr jilid IV hal. 190
[16] HR At-Tirmidzi no.2398 , An-Nasâ’i di As-Sunan Al-kubrâ no. 7482 dan Ibnu Mâjah no. 4523 (Hadîts ini di-shahîh-kan oleh Syaikh Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 143 dan Al-Misykâhno. 1562).

Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur'an Dan As-Sunnah


Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur'an Dan As-Sunnah
Sesungguhnya segala puji adalah milik Allah. Kita memuji, memohon pertolongan dan meminta ampunan-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan dan keburukan amal perbuatan kita. Siapa yang ditunjuki Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesemabahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada beliau, keluarga, sahabat, dan segenap orang yang mengikutinya. Amma ba’du.
Di antara hal yang menyibukkan hati kebanyakan umat Islam adalah mencari rizki. Dan menurut pengamatan, sejumlah umat Islam memandang bahwa bepegang kepada Islam akan mengganggu rizki mereka. Tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan lagi bahwa ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syariat Islam tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi, hendaknya menutup mata dari sebagian hukum-hukum Islam, terutama yang berkenaan dengan halal dan haram.
Mereka itu lupa atau pura-pura lupa bahwa Sang Khaliq Azza wa Jalla tidak mensyariatkan agamaNya hanya sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam perkara-perkara akhirat dan kebahagiaan mereka di sana saja, tetapi Allah mensyaratkan agama ini juga untuk menunjuki manusia dalam urusan kehidupan dan kebahagian mereka di dunia. Bahkan doa yang sering dipanjatkan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dijadikanNya sebagai teladan bagi umat manusia adalah.
﴿ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار ِ
“Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka”[1]
Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia tidak meninggalkan umat Islam tanpa petunjuk dalam kegelapan, berada dalam keraguan dalam usahanya mencari penghidupan. Tetapi sebaliknya, sebab-sebab rizki itu telah diatur dan dijelaskan. Seandainya umat ini mau memahami, menyadari, berpegang teguh dengannya serta menggunakan sebab-sebab itu dengan baik, niscaya Allah Yang Maha Pemberi Rizki dan memiliki kekuatan akan memudahkannya mencapai jalan-jalan untuk mendapatkan rizki dari setiap arah, serta akan dibukakan untuknya keberkahan dari langit dan bumi.
Didorong oleh keinginan untuk mengingatkan dan mengenalkan saudara-saudara sesama Muslim tentang berbagai sebab di atas dan untuk meluruskan pemahaman mereka tentang hal ini serta untuk mengingatkan orang yang telah tersesat dari jalan yang lurus dalam berusaha mencari rizki, maka saya bertekad dengan memohon taufik dari Allah untuk mengumpulkan sebagian sebab-sebab untuk mendapatkan rizki tersebut dalam buku kecil ini. Buku ini saya beri judul “Mafatih ar-Rizqi fi Dhau’al Kitab wa as-Sunnah”.

HAL-HAL YANG SAYA PERHATIKAN DALAM MAKALAH INI
Di antara hal-hal yang saya perhatikan –dengan karunia Allah- dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Rujukan utama dalam makalah ini adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya yang mulia.
2. Saya menukil hadits-hadits dari maraji’ (sumber) aslinya. Saya juga menyebutkan pandangan ulama tentang derajat hadits tersebut (shahih, hasan, dha’if dan lain sebagainya,-pent), kecuali apa yang saya nukil dari ash-Shahihain (al-Bukhari dan Muslim). Sebab segenap umat Islam telah sepakat untuk menerima (keshahian keduanya) [2]
3. Ketika menggunakan dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits, saya berusaha mengambil faidah (penjelasan) dari kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarah (keterangan) hadits-hadits.
4. Saya memaparkan tentang apa yang dimaksud dengan sebab-sebab yang disyariatkan dalam mencari rizki dengan bantuan keterangan-keterangan –setelah memohon pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala- dari ucapan-ucapan para ulama, untuk menghilangkan keraguan-keraguan di dalamnya.
5. Saya tidak bermaksud membicarakan manfaat-manfaat dari sebab-sebab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan selain masalah rizki. Kecuali disebutkan secara kebetulan. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan saya untuk membicarakan hal-hal tersebut di masa yang akan datang.
6. Saya jelaskan beberapa kata asing yang ada di dalam hadits-hadits, untuk lebih menyempurnakan manfaat, insya Allah.
7. Saya tuliskan beberapa maraji’ (sumber) yang cukup untuk memudahkan siapa saja yang ingin kembali padanya.
8. Saya tidak bermaksud menyebutkan sebab-sebab rizki seluruhnya. Tetapi yang saya bahas adalah apa yang dimudahkan oleh Allah padaku untuk mengumpulkannya.
Hakikat rizki
Rizki atau sering juga disebut rezeki, berasal dari kata rozaqo – yarzuku – rizqon, yang bermakna “memberi / pemberian”. Sehingga makna dari rizki adalah segala sesuatu yang dikaruniakan Alloh Subhanahu wa Ta’laa kepada hamba-hamba-Nya dan dimanfaatkan oleh hamba tersebut.
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa yang termasuk dalam ketagori rizki, tidak terbatas hanya pada besar kecilnya gaji dan pendapatan atau banyak tidaknya harta maupun uang yang tersimpan. Tetapi makna rizki lebih luas daripada itu. Kesehatan tubuh dan jiwa, udara yang kita hirup, air hujan yang turun, keluarga yang menyenangkan, kepandaian, terhindarnya dari kecelakaan atau musibah, dan lain sebagainya adalah bagian dari rizki Alloh Subhanahu wa Ta’laa.
Termasuk juga turunnya hidayah Islam pada diri seorang hamba, pemahaman akan ilmu agama, terbukanya pintu-pintu amal sholih dan bahkan khusnul khotimah dan mati syahid juga merupakan bagian dari rizki yang tiada tara. Dan masih banyak lagi karunia Alloh Subhanahu wa Ta’laa yang sangat luar biasa, yang di-karuniakan kepada hamba-hamba-Nya dan tidak mungkin terhitung.
Setelah kita memahami makna dari rizki, tentu tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur kepada Ar Roziq (Maha Pemberi Rizki). Semua makhluk pasti mendapatkan rizkinya. Entah dia manusia yang beriman atau kafir, kelompok jin yang taat atau jin syetan, semua binatang, para malaikat, tumbuhan dan semua makhluk-Nya yang Dia ciptakan. Hal ini menunjukkan asma dan sifat-Nya Ar Rohman (Maha Pengasih).
Rizki Alloh Subhanahu wa Ta’laa pasti terus mengalir. Tidak ada satu makhlukpun yang sanggup menghalangi berjalannya rizki pada seseorang bila, Alloh Subhanahu wa Ta’laa menghendaki itu terjadi pada seseorang. Begitu pula sebaliknya, tidak ada satu makhlukpun yang sanggup memberikan rizki pada seseorang, bila Alloh Subhanahu wa Ta’laa menghendaki hal itu tidak terjadi padanya. Kepastian datangnya rizki di dunia, seiring kepastian nyawa hadir pada diri seorang makhluk. Atau kata lainnya, tanda rizki dunia seseorang itu habis adalah hadirnya kematian padanya.
Bila rizki sudah tetap, lalu kenapa dibutuhkan kunci-kunci rizki?
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
(( ثمُ َّيُرْسَلُ إلِيَهِْ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَات : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ))
“…Kemudian diutuslah malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh kepadanya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal : menulis rizkinya, ajalnya, amalnya dan apakah ia celaka atau bahagia…”
(HR. Bukhori dan Muslim)
Memang ada empat perkara ketetapan Alloh Subhanahu wa Ta’laa yang terjadi pada diri manusia, dimana tidak ada satu manusiapun yang bisa merubah hal itu, yaitu rizki, ajal, amal dan celaka dimana manusia tidak ada yang bisa untuk memahaminya kecuali atas izin Alloh Subhanahu wa Ta’laa. Empat perkara di atas adalah permasalahan ghoib yang tidak ada makhluk yang mengetahuinya selain Alloh Subhanahu wa Ta’laa.
Sementara itu, berkenaan dengan rizki, jodoh, amal serta kebahagiaan, manusia hanya diberi kesempatan untuk menentukan pilihan dan berikhtiyar untuk mengusahakan sebab agar terpenuhinya segala pi-lihannya. Sedangkan hasil, kembalinya tetap kepada takdir Alloh Subhanahu wa Ta’laa. Manusia tidak akan bisa memastikan akan hidup selamanya walaupun dia berusaha semaksimal mungkin untuk memperpanjang usianya. Manusia tidak akan bisa menjamin akan miskin dan sengsara selamanya, kalau Alloh Subhanahu wa Ta’laa mentakdirkan dia menjadi kaya atau bahagia di waktu tertentu, begitu pula sebaliknya.
Segala bentuk usaha / ikhtiyar yang dilakukan manusia di dalam meraih pilihannya, dinilai sebagai ibadah bila dilaksanakan karena Alloh Subhanahu wa Ta’laa dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ajaran Islam. Walaupun terkadang hasil yang dia capai dari ikhtiyarnya tersebut tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Tapi yang harus ada pada hati setiap muslim, adalah sikap husnudzon (prasangka baik) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’laa. Apa yang Dia pilihkan untuk makhluknya, adalah yang terbaik bagi makhluk tersebut. Alloh Subhanahu wa Ta’laa tidak mungkin salah dalam memberikan suatu ketetapan.
Banyak hikmah yang diambil dari ditentukannya kunci-kunci rizki :
-Akan lebih melapangkan jalan rizki, yang sebelumnya terasa sempit.
-Seandainya secara lahir, jalan rizki belum lapang, bisa jadi dengan kunci-kunci rizki yang diusahakan, akan menambah sikap qonaah (menerima segala takdir Alloh Subhanahu wa Ta’laa) di hati.
-Dengan kunci-kunci rizki, maka akan menambah barokah rizki yang didapat manusia, walupun menurut ukuran lahir, rizki tersebut sangat sedikit.
-Bila di dunia ini belum terkabulkan apa yang kita usahakan akan atau kebahagiaan. Tetapi wajib difahami juga, bahwa empat hal di atas adalah meliputi ilmu Alloh Subhanahu wa Ta’laa berkenaan dengan kunci-kunci rizki, maka bisa jadi Alloh Subhanahu wa Ta’laa akan menggantinya di akhirat kelak.
-Dengan mengusahakan kunci-kunci rizki seperti yang disyariatkan Alloh Subhanahu wa Ta’laa, maka bertambah pula amal sholih kita.
-Dan fadhilah-fadhilah lain yang Alloh Subhanahu wa Ta’laa janjikan pada umat-Nya yang selalu beramal sholih.
Diantara hal yang menyibukkan hati kebanyakan umat Islam adalah mencari rizki (yang bersifat materi dan kemapanan duniawi). Sejumlah besar umat Islam memandang bahwa berpegang dengan Islam akan mengurangi rizki mereka. Tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan lagi bahwa ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syari’at tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari sebagian hukum Islam. Na’udzu billahi min dzalik.





Kunci – Kunci Rizki
1. Istighfar dan Taubat
Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Maka aku katakan kepada mereka, ”Mohonlah ampun kepada Robb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan yang lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan me-ngadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
(QS. Nuh : 10-12).
Ibnu Katsir berkata,”Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Alloh, meminta ampun kepada-Nya dan kalian senantiasa menta’ati-Nya, niscaya Dia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan untuk kalian, membanyakkan anak dan melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di da-lamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta menga-lirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4 / 449)
Sebagian umat Islam menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata, dengan hanya memperbanyak kalimat, “Astaghfirullohal ‘adzim”. Tetapi kalimat itu tidak membe-kas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat ini adalah taubatnya orang yang dusta.
Imam An Nawawi menjelaskan,”Para ulama berkata,”Bertaubat dari segala dosa adalah wajib. Jika dosa itu antara hamba dengan Alloh, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga, -pertama, hendaknya ia menjauhi dosa (maksiat) itu, -dua, ia harus menyesali perbuatan dosa itu, -tiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang maka taubatnya tidak sah. Jika taubat itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan -ke empat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa (had) hukuman tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalas-nya atau meminta maaf padanya. Jika berupa ghibah (menggunjing) maka ia harus meminta maaf.”
(Riyadush Sholihin).

2. Taqwa
Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman : “Barangsiapa bertaqwa kepada Alloh, niscaya Dia akan mengada-kan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Tholaq : 2-3 )
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata,”Maknanya, barangsiapa bertaqwa kepada Alloh dengan melakukan apa yang diperinyahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Alloh akan memberi-nya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, QS. Ath Tholaq : 2-3).
Para ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar Roghib Al Ashfahani berkata,”Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan.”
(Al Mufrodat fie Ghoribil Qur’an)

Orang yang melihat dengan kedua bola matanya apa yang diharam-kan Alloh, atau mendengarnya dengan kedua telinganya apa yang di-murkai Alloh Subhanahu wa Ta’laa, atau mengambilnya dengan kedua tangannya apa yang tidak diridloi Alloh Subhanahu wa Ta’laa, atau berjalan ke tempat yang di kutuk Alloh Subhanahu wa Ta’laa, berarti ia tidak menjaga dirinya dari dosa.
Jadi, orang yang membangkang perintah Alloh Subhanahu wa Ta’laa serta melakukan apa yang dilarang-Nya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa. Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat, sehingga ia pantas mendapat murka Alloh Subhanahu wa Ta’laa, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.

3. Tawakkal kepada Alloh Subhanahu wa Ta’laa
Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Alloh, niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Alloh telah menga-dakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
(QS. Ath Tholaq : 3) Menafsirkan ayat tersebut, Ar Robi’ bin Khutsaim berkata,”(mencu-kupkan) dari setiap yang membuat sempit manusia.”
(Syarhus Sunnah, 14 / 298)
Menjelaskan makna tawakkal para ulama berkata, diantaranya Imam Ghozali, Beliau berkata,”Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada “WAKIIL” (yang ditawakkali) semata.”
(Ihya’ Ulumuddin, 4 / 259)
Al Allamah Al Manawi berkata,”Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali.”
(Faidhul Qodir, 5 / 311)
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :

(( لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكَّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا )) [رواه الترمذي وابن حبان]
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Alloh sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban)

Sebagian manusia ada yang berkata,”Jika orang yangbertawakkal kepada Alloh itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit.”
Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya tentang hakekat tawakkal. Imam Ahmad berkata,”Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha. Sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal pada Alloh dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengeta-hui bahwa kebaikan (rizki) itu di tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.”(Tuhfatul Ahwadzi, 7 / 8)
Imam ahmad menambahkan,”Para shahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan merekalah teladan kita.”
(Fathul Bari, 11 / 305-306)

4. Beridah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’laa sepenuhnya
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
(( إِنَّ اللهَ تَعَلىَ يَقُولُ : يَا ابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَدَتِى أَمَْـَلأُصَدْرَكَ غِنىً، وَأَسُدُّ فَقْرَكَ. وَإِنْ لاَ تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَكَ شُغْلاً، وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ ))
“Sesungguhnya Alloh Ta’laa berfirman,”Wahai anak Adam. Beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku ! Niscaya Aku penuhi di dalam dada dengan kekayaan dan aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak aku penuhi kebutuhanmu.” (HR. Ibnu Majah)
Al Mulla Ali Al Qori menjelaskan makna hadits -تَفَرَّغْ لِعِبَدَتِى – “beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku.”, Beliau berkata,”Makna-nya, jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya (konsentrasi) untuk beribadah kepada Robb-mu.” (Murqotul Mafatih, 9 / 26)
Hendaknya seseorang tidak mengira bahwa yang dimaksud beribadah sepenuhnya adalah dengan meninggalkan usaha untuk mendapatkan penghidupan dan duduk di masjid sepanjang siang dan malam. Hendaknya seorang hamba beribadah dengan hati dan jasadnya, khusyu’ dan merendahkan diri dihadapan Alloh Maha Esa. Menghadirkan hati, betapa besar keagungan Alloh Subhanahu wa Ta’laa.
5. Melajutkan Haji dengan Umroh atau sebaliknya
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :

(( تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وِالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ ))
“Lanjutkanlah haji dengan umroh atau sebaliknya. Karena sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana api dapat mengilangkan kotoran besi.”
(HR. An Nasa’i)
Syaikh Abul Hasan As Sindi menjelaskan haji dengan umroh atau sebaliknya, berkata,”Jadikanlah salah satunya mengikuti yang lain, dimana ia dilakukan sesudahnya. Artinya, jika kalian menunaikan haji maka tunaikanlah umroh. Dan jika kalian menunaikan umroh maka tunaikanlah haji, sebab keduanya saling mengikuti.”
(Hasyiyatul Imam As Sindi ‘ala Sunan An Nasa’i, 5 / 115)
Sedangkan Imam Ath Thoyyibi dalam menjelaskan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :

(( فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ ))

“…Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa…”
“Kemampuan keduanya untuk menghilangkan kemiskinan seperti kemampuan amalan bersedekah dalam menambah harta.”
(Faidhul Qodir, 3 / 225)


6. Silaturrahim
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
(( مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُسْطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ ))
“Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (diperpanjang usianya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturrahmi.” (HR. Bukhori)
Makna “ar rahim” adalah para kerabat dekat. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,”Ar rahim secara umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat dekat. Antar mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahrom atau tidak. Menurut pendapat lain, mereka adalah “maharim” (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja. Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian.”(Fathul Bari, 10 / 14)
Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qori adalah kinayah (ungkapan / sindiran) tentang berbuat baik kepada para kerabat dekat -baik menurut garis keturunan maupun perkawinan- berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka. (Murqotul Mafatih, 8 / 645)
7. Berinfaq di Jalan Alloh Subhanahu wa Ta’laa
Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman : “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Alloh akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’ : 39)
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas,”Betapapun sedikit apa yang kamu infaqkan dari apa yang diperintahkan Alloh kepadamudan apa yang diperbolehkan-Nya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia, dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3 / 595)
Syaikh Ibnu Asyur berkata,”Yang dimaksud dengan infaq di sini adalah infaq yang dianjurkan dalam agama. Seperti berinfaq kepada orang-orang fakir dan berinfaq di jalan Alloh untuk menolong agama.” (Tafsirut Tahrir wa Tanwir, 22 / 221)

8. Memberi Nafkah kepada Orang yang Sepenuhnya Menuntut Ilmu Syari’at (Agama)
(( كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَكَانَ أَحَدُهُمَا يَأْتِى النَّبِي صلى الله عليه وسلم وَاْلآخِرُ يَحْتَرِفُ، فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلَى النَّبِى ، فَقَالَ صلى الله عليه وسلم لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ ))


“Dahulu ada dua orang bersaudara pada masa Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam . Salah seorang dari mereka mendatangi Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam (untuk menuntut ilmu) dan (saudaranya) yang lain pergi bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu pada Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam . Maka Beliau Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda,”Mudah-mudahan engkau diberi rizki karena sebab dia” (HR. Tirmidzi)
Al Mulla Ali Al Qori menjelaskan sabda Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam :
(( لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ))
”…Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia”
“Yang menggunakan shighot majhul (ungkapan kata kerja pasif) itu berkata, yakni, aku berharap atau aku takutkan bahwa engkau sebe-narnya diberi rizki karena berkahnya. Dan bukan berarti dia(si penuntut ilmu) diberi rizki karena pekerjaanmu. Oleh sebab itu jangan engkau mengungkit-ungkit pekerjaanmu kepadanya.”
(Murqotul Mafatih, 9 / 171)



9. Berbuat Baik pada Orang yang Lemah
Mush’ab bin Sa’d Rodliallohu ‘anhu berkata : “Bahwasanya Sa’d Rodliallohu ‘anhu merasa dirinya memiliki kelebihan daripada orang lain, maka Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda:

(( هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلاَّ بِضُعَفَا ئِكُمْ ))
“Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki lantaran orang-orang yang lemah diantara kalian ?” (HR. Bukhori)

Karena itu, siapa yang ingin ditolong Alloh dan diberi rizki oleh-Nya maka hendaklah ia memuliakan orang-orang yang lemah dan berbuat baik kepada mereka.” (Shohihul Bukhori)

10. Hijrah di Jalan Alloh Subhanahu wa Ta’laa
Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Barangsiapa berhijrah di jalan Alloh, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.”
(QS. An Nisa : 100)
Qotadah berkata,”Maknanya, keluasan dari kesesatan kepada petunjuk, dan dari kemiskinan kepada banyaknya kekayaan.”
(Tafsir Al Qurthubi, 5 / 348)
Imam Al Qurthubi berkata,”Sebab, keluasan negeri dan banyaknya bangunan menunjukkan keluasan rizki. Juga menunjukkan kela-pangan dada yang siap menanggung kesedihan dan pikiran serta hal-hal lain yang menunjukkan kemudahan.”
(Tafsir Al Qurthubi, 5 / 348)
Imam Ar Roghib Al Ashfahani berkata bahwa hijrah adalah keluar dari negeri kafir kepada negeri yang iman, sebagaimana para shahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Sayid Muhammad Rosyid Ridlo mengatakan bahwa hijrah di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’laa harus dengan sebenar-benarnya. Artinya, maksud orang yang berhijrah dari negerinya itu adalah untuk mendapatkan ridho Alloh Subhanahu wa Ta’laa dengan menegakkan agam-Nya yang ia merupakan kewajiban baginya, dan merupakan sesuatu yang dicintai Alloh Subhanahu wa Ta’laa, juga untuk menolong saudara-saudaranya yang beriman dari permusuhan orang-orang kafir.




UCAPAN TERIMA KASIH DAN DOA
Inilah (karya sederhana itu), dan segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, tempat meminta segala sesuatu, yang semoga memberi nikmat kepada hambaNya yang lemah ini berupa rahmat, ampunan dan kemuliaan untuk menyelesaikan pembahasan ini. Kami ucapkan terima kasih sekaligus panjatkan doa kepada saudaraku Dr.Sayyid Muhammad Sadati asy-Syinqithi. Saya banyak mengambil manfaat dari beliau dalam penulisan makalah ini. Ucapan terima kasih serta penghargaan juga kami sampaikan kepada para pengurus Maktab at-Ta’awun li ad-Da’wah wa al-Irsyad (Kantor Urusan Kerjasama Dakwah dan Penyuluhan) Divisi Orang-Orang Asing di Batha’, Riyadh yang berada di bawah Koordinasi Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Kerajaan Saudi Arabia. Dimana sebelumnya makalah ini berasal dari dua kali materi ceramah yang saya sampaikan di kantor tersebut. Doa saya juga untuk putra saya tersayang, Hammad Ilahi serta anak-anak saya yang lain. Mereka secara bersama-sama dengan saya, memeriksa naskah yang telah di seting dari buku ini. Mudah-mudahan Allah melimpahkan balasan kepada semuanya dengan sebaik-baik balasan di dunia maupun di akhirat.
Saya memohon kepada Allah yang memiliki keagungan dan kemuliaan, semoga Dia menjadikan pekerjaan saya ini benar-benar ikhlas karena mencari ridhaNya, serta menjadikannya sebagai simpanan saya dan simpanan kedua orang tua saya pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih. Sebagaimana saya juga memohon kepada Rabb yang Mahahidup lagi terus menerus mengurus makhlukNya, semoga Dia memberi taufik kepada saya, juga kepada saudara-saudara, anak-anak, karib-kerabat saya serta segenap umat Islam untuk berpegang dan mengambil manfaat dari sebab-sebab rizki yang disyariatkan. Semoga pula Dia memudahkan kebaikan bagi kita di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Amin
Semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga, sahabat, dan segenap pengikutnya.
[Disalin dari kitab Mafatih ar-Rizq fi Dhau’ al-Kitab was-Sunnah, Penulis DR Fadhl Ilahi, Edisi Indonesia Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. Penerbit Darul Haq- Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata :
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ))رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ  ((
"Doa yang sering dipanjatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah : Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka”[Shahih al-Bukhari, Kitab ad-Da’awat, Bab Qaul an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbana Atina fi ad-Dunya Hasanah, 11/191 no. 6389]
[2]. Muqadimah Imam an-Nawawi dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim, hal.14, juga Nuzhat an-Nazhar fi Taudhih Nukhbat al-Fikar, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, hal.29