Al-Qur'an Menyelamatkan Dari Fitnah




Al-Qur'an Menyelamatkan Dari Fitnah


Dari Ibnu Abbas r.a., ketika Jibril mengabarkan kepada Nabi saw
Bahwa akan terjadi banyak fitnah. Beliau bertanya, ‘Apakah jalan keluar darinya, wahai Jibril?’ Jawab Jibril, “Kitabullah.”
(Razin – Ar Rahmatul Muhdah).
Mengamalkan isi al Qur’an akan menjauhkan diri kita dari fitnah, dan keberkahan dari membacanya dapat menyelamatkan kita dari fitnah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits ke-22, bahwa rumah yang didalamnya dibacakan al Qur’an, maka sakinah dan rahmat akan turun kedalam rumah itu, dan syetan-syetan akan keluar dari rumah itu.
Para ulama menafsirkan bahwa maksud fitnah di sini adalah kemunculan Dajjal, kekejaman bangsa Tartar, dan lain-lain. Ali karamallahu wajhah juga meriwayatkan hadits seperti itu dengan panjang lebar. Ali r.a, memerintahkan bahwa Nabi Yahya a.s. berkata kepada Bani Israil, “Allah telah memerintahkan kalian agar membaca kalam-Nya. Dan perumpamaannya adalah seperti suatu kaum yang terpelihara dalam bentengnya, sehingga dari manapun musuh menyerang, maka kalian akan dapati kalimat Allah sebagai penjaga dan pelindung dari mereka

Satu Ayat Al-Qur'an Lebih Baik Dari Shalat 100 Rakaat




Satu Ayat Al-Qur'an Lebih Baik Dari Shalat 100 Rakaat


Dari Dzar r.a., Rasulullah saw. bersabda,
“Wahai Abu Dzar, Sesungguhnya kepergianmu padapagi hari untuk mempelajari satu ayat dari kitab Allah itu lebih baik bagimu dari pada kamu Shalat seratus rakaat. Dan sesungguhnya kepergianmu pada pagi hari untuk mempelajari satu bab dari ilmu, baik diamalkan atau tidak, itu lebih baik bagimu daripada shalat seribu rakaat.”
(Hr. Ibnu Majah)
Banyak riwayat hadits yang menyebutkan bahwa menuntut ilmu itu lebih utama dari pada ibadah. Selain hadits diatas, masih banyak hadits lainnya mengenai keutamaan menuntut ilmu yang tidak dapat dijelaskan seluruhnya disini. Di antaranya ialah sabda Nabi saw., “Keutamaan seseorang alim dibanding seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaanku terhadap orang yang paling rendah diantara kalian.” Sabda beliau lainnya, “Satu orang alim lebih berat bagi syetan daripada seribu orang ahli ibadah

Al-Qur'an Melindungi Pembacanya Di Yaumil Hisab




Al-Qur'an Melindungi Pembacanya Di Yaumil Hisab


Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda,
“Tiga orang yang tidak akan mengalami ketakutan pada hari yang sangat menakutkan dan mereka tidak akan dihisab, mereka berada diatas tumpukan kasturi hingga selesai hisab terhadap semua manusia: (1) Seseorang yang membaca al Qur’an semata-mata mengharap ridha allah, dan ia mengimami suatu kaum sedang mereka menyukainya; (2) Da’I yang mengajak shalat semata-mata mengharap ridha Allah Swt.; (3) Orang yang menjaga hubungan baik antara ia dengan tuannya dan antara ia dengan bawahannya.”
(Hr. Thabrani ` al Mu’jamuts Tsalatsah).
Adakah seorang muslim yang tidak menyadari, bahkan tidak memikirkan tentang kehebatan, kesedihan, kengerian, bencana, dan kesusahan hari Kiamat? Jika ada sesuatu yang dapat membuat kita tenang dari bencana hari Kiamat, maka hal itu lebih berharga daripada beribu-ribu kenikmatan dan berjuta-juta kesenangan. Sungguh ia telah mendapat kebahagiaan yang sangat besar apabila ketenangan itu ditambah dengan kegembiraan dan kesenangan.
Sungguh celaka dan merugi orang yang mengira bahwa membaca al Qur’an adalah perbuatan sia-sia dan membuang-buang waktu. Tertulis dalam Mu’jiam al Kabir bahwa perawi pertama dalam hadits di atas ialah Abdullah bin Umar r.huma. yang ia mengatakan, “Apabila aku tidak mendengar hadits ini dari Rasulullah saw. sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi, (diulang sampai 7 kali), maka aku tidak akan meriwayatkannya

Hafidz Al-Qur'an Dilarang Marah dan Bertindak Bodoh




Hafidz Al-Qur'an Dilarang Marah dan Bertindak Bodoh


Dari Abdullah bin Amr r.a., Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa membaca al Qur’an, maka ia telah menyimpan ilmu kenabian diantara kedua lambungnya, sekalipun wahyu tidak diturunkankepadanya. Tidak pantas bagi hafizh al Qur’an memarahi seorang pemarah dan bertindak bodoh terhadap orang bodoh, sedang al Qur’an berada dalam dadanya.”
(Hakim ~ at Targhib)
Disebabkan wahyu kepada Nabi saw. telah terhenti, maka dengan demikian wahyu tidak akan turun lagi. Tetapi karena al Qur’an adalah Kalamullah yang suci, maka tidak menutup kemungkinan ilmu Nubuwwah belum tertutup. Orang yang telah memperoleh ilmu Nubuwwah, sangat penting baginya untuk menunjukan akhlak mulia dan menjauhi akhlak yang buruk. Fudhail bin ‘Iyadh rah.a. berkata, “Seorang hafizh al Qur’an adalah pembawa bendera Islam. Sangat tidak pantas baginya bercampur gaul dengan ahli maksiat dan orang-orang yang berbuat lalai atau tidak berguna

Syafaat Al-Qur'an Lebih Tinggi Derajatnya di Sisi ALLAH




Syafaat Al-Qur'an Lebih Tinggi Derajatnya di Sisi ALLAH


Dari Sa’id bin Sulaim r.a. secara mursal bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak ada pemberi syafaat (penolong) yang lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada al Qur’an. Bukan Nabi, bukan malaikat, dan bukan pula yang lain.”
(Hr. Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya)
Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa al Qur’an adalah pemberi syafaat yang syafaatnya pasti dikabulkan Allah Swt.. Semoga Allah dengan kemulian-Nya menjadikan al Qur’an sebagai syafaat bagi kita, bukan sebagai penuntut atau penentang kita. Al Bazzar rah.a. meriwayatkan dalam kitab La’aali Mashnu’ah bahwa jika seseorang meninggal dunia, sementara dirimahnya orang-orang sibuk menyediakan kain kafan dan persiapat pengebumian, tiba-tiba ada seseorang yang sangat tampan berdiri dikepala si mayit. Ketika kain kafan mulai dikenakan, ia berada diantara dada dan kain kafan itu. Ketika sudah dikuburkan dan orang-orang mulai meninggalkannya, datanglah dua malaikat, yaitu Munkar dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan proses Tanya jawab.
Namun orang tampan itu berkata, “Orang ini adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun, aku tidak bisa meningalkannya. Jika kalian ditugaskan menanyainya, lakukanlah tugas kalian. Aku tidak akan berpisah dengannya sehingga ia dimasukkan ke dalam Surga.” Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata, “Aku adalah al Qur’an yang telah engkau baca kadangkala dengan suara keras dan kadangkala dengan perlahan. Jangan khawatir, setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini engkau tidak akan lagi mengalami kesulitan.” Setelah para malaikat itu selesai member paetanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dari Mala’il A’la. Semoga Allah dengan karunia-Nya menganugerahkan hal itu kepada kita

Al-Qur'an Memberikan Syafaat Di Hari Kiamat II




Al-Qur'an Memberikan Syafaat Di Hari Kiamat II


Dari Abdullah bin Amr r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Shaum dan al Qur’an akan memberi syafaat bagi hamba (yang mengerjakannya). Shaum akan memohon, ‘Ya Allah, aku akan menghalanginya dari makan dan minum pada siang hari, maka teimalah syafaatku ini untuknya.’ Dan al Qur’an berkata, ‘Ya Allah, aku telah menghalangi dari tidur pada malam hari, maka terimalah syafaatku ini untuknya.’ Akhirnya kedua syafaat itu diterima.”
(Hr. Ahmad, Ibnu Abi Dunya, dan Thabrani)
Dalam kitab at Targhib ini ditulis dengan tha’am dan syarab yang artinya makan dan minum, sebagaimana terjemahan di atas. Tetapi dalam riwayat Hakim kata syarab ditulis syahwat, yaitu tha’am dab syahwat yang berarti bahwa shaum itu menahan diri dari makan dan kesenangan nafsu. Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang yang bershaum hendaklah menjauhkan diri dari kesenangan nafsu, walaupun hal itu dibolehkan, seperti bermesraan dengan istri dan menciumnya.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa al Qur’an akan datang dalam bentuk seorang pemuda, lalu berkata, “Akulah yang membuatmu bangun pada malam hari dan membuatmu haus pada siang hari.” Hadits ini menyatakan bahwa seseorang hafizh al Qur’an hendaknya bangun pada malam dan membaca al Qur’an dalam Tahajudnya, sebagaimana telah dijelaskan hal ini dalam berbagai ayat, misalnya:
“Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.” (Qs. Al Isra [7] :79)
“Dan pada sebagian malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbilah kepada-Nya pada bagian yang panjang pada malam hari.” (Qs. Al Insan 76]:26)
“Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu pada malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat).” (Qs. Ali Imran [3] :113)
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (Qs. Al Furqan [25] :64)
Sebuah hadits meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. dan para sahabat pada seluruh malamnya sering sibuk dengan tilawat al Qur’an. Diriwayatkan bahwa Utsman r.a. kadangkala mengkhatamkan seluruh al Qur’an hanya dalam satu rakaat shalat Witir. Abdullah bin Zubair r.a. sering mengkhatamkan al Qur’an dalam satu malam. Sa’id bin Jubair rah.a. mengkhatamkan al
Qur’an dalam dua rakaat shalat di dalam Ka’bah. Tsabit al Banani rah.a. sering mengkhatamkan al Qur’an dalam sehari semalam. Abu Harrah juga sering melakukan demikian. Abu Syaikh Hana’I r.a. berkata, “Aku dapat mengkhatamkan al Qur’an dua kali dalam se,alam ditambah sepuluh juz. Bahkan jika aku mau, aku dapat mengkhatamkannya tiga kali.”
Dalam perjalanan menunaikan haji, Shalih bin Kisan rah.a. mengkhatamkan al Qur’an dua kali setiap malamnya. Manshur bin Zadzan rah.a. juga mengkhatamkan al Qur’an satu kali dalam shalat Dhuha dan satu kali lagi antara Zhuhur dan Ashar, dan selalu menghabiskan waktu malamnya dengan shalat Nafil. Begitu lamanya ia menangis sehingga ujung sorbannya basah oleh ari mata. Selain mereka, masih banyak orang yang telah biasa melakukan hal tersebut sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad bin Nasr dalam kitab Qiyamul Lail.
Dalam Syarh Ihya diterangkan bahwa dalam mengkhatamkan al Qur’an para ulama kita dahulu memiliki berbagai kebiasaan. Sebagaimana mereka ada yang mengkhatamkan al Qur’an satu kali setiap hari sebagaimana yang bisa dilakukan oleh Iman Syafi’I di luar bulan Ramadhan. Ada juga yang mengkhatamkan al Qur’an dua kali setiap hari, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam bulan Ramadhan. Demikian juga yang dilakukan oleh Aswad, Shalih bin Kisan, Sa’id bin Jubair rah.a., dan masih banyak lagi.
Ada juga sebagian mereka yang mengkhatamkan al Qur’an tiga kali setiap hari, seperti kebiasaan Sulaim bin Atar rah.a., seorang tabi’in yang mashur. Ia pernah turut serta dalam penaklukkan Mesir pada masa sahabat Umar r.a.. ia juga pernah diangkat sebagai penguasa Qasas oleh Mu’awiyah r.a.. Dan ia biasa mengkhatamkan mengkhatamkan al Qur’an tiga kali setiap malamnya.
Imam Nawawi rah.a. menulis dalam kitab al Adzkar bahwa orang yang biasa mengkhatamkan al qur’an paling banyak dalam sehari semalam adalah Ibnu Khatib. Ia selalu mengkhatamkan al Qur’an delapan kali sehari semalam.
Ibnu Qudamah meriwayatkan dari Ahmad bin Hambal rah.a. bahwa tidak ada batasan dalam hal tilawat al Qur’an, hal itu bergantung kepada semangat orang yang membacanya. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa Imam a’zham (Imam Hanafi rah.a.) pernah mengkhatamkan al Qur’an 61 kali dalam sebulan Ramadhan, yaitu satu kali pada siamh hari, satu kali pada malam hari, dan satu kali pada shalat Tarawih.
Tetapi Rasulullah saw. bersabda, “Mengkhatamkan al Qur’an kurang dari tiga hari, maka sulit untuk merenungkannya.” Karena alas an inilah Ibnu Hazam rah.a. dan ulama lainnya berpendapat bahwa mengkhatamkan al qur’an kurang dari tiga hari adalah haram.
Menurut penyusun, hadits ini disesuaikan dengan kedaan umum, sebab jika hal itu dilarang, tentu tidak aka nada riwayat mengenai sebagian sahabat yang mengkhatamkan al Qur’an kurang dari tiga hari. Sehingga jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan dalam mengkhatamkan al Qur’an , lebih atau kurang dari tiga hari tidakmasalah. Jadi dalam jangka beberapa harisaja diperbolehkan, asalkan ia dapat mengkhatamkan dengan mudah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa jangan sampai mengkhatamkan al Qur’an lebih dari empat puluh hari. Oleh karena itu, al Qur’an hendaklah dibaca setidak-tidaknya kurang lebih ¾ juz setiap hari. Jika ada hari yang tidak ditunaikan, maka hendaknya diganti keesokan harinya. Dengan demikian, al Qur’an dapat di khatamkan dalam empat puluh hari. Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu tidaklah begitu penting. Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwa mengkhatamkan al qur’an kurang dari empat puluh hari adalah lebih baik. Pendapat ini didukung oleh beberapa hadits Nabi saw,. diantaranya yang dikutip oleh penyusun kitab Majma’uz Zawa’id yaitu:
“Barangsiapa mengkhatamkan al Qur’an dalam empat puluh hari, sungguh ia telah berlambat-lambat."
Sebagian ulama berfatwa, al Qur’an hendaknya dikhatamkan sekali dalam sebulan. Dan yang lebih baik lagi adalah setiap tujuh hari sekali. Inilah kebiasaan para sahabat r.a., mereka mulai membacanya pada hari jum’at dan setiap harinya membaca manzil selama tujuh hari, maka al ur’an dapat dikhatamkan pada hari kamis.
Imam Abu Hanifah rah.a. berpendapat bahwa hak al Qur’an adalah dikhatamkan dua kali dalam setahun, tidak kurang dari itu.
Sebuah hadits menyebutkan, “Jika al Qur’an dikhatamkan pada siang hari, maka para malaikat akan mendoakan rahmat baginya pada hari itu. Jika al Qur’an dikhatamkan pada malam hari, para malaikat akan mendoakan rahmat baginya pada malam itu.” Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa mengkhatamkan al Qur’an ketika musim panas sebaiknya dilakukan pada permulaan siang. Dan ketika musim dingin dilakukan pada permulaan malam, agar malaikat dapat mendo’akan lebih lama

Al-Qur'an Memberikan Syafaat Di Hari Kiamat




Al-Qur'an Memberikan Syafaat Di Hari Kiamat


Dari Jabir r.a. Nabi saw., beliau bersabda,
“Al Qur’an adalah pemberi syafaat yang syafaatnya diterima dan sebagai penuntut yang tuntutannya dibenarkan. Barangsiapa menjadikan al Qur’an di depannya, maka ia akan membawanya ke Surga dan barangsiapa meletakannya di belakang, ia akan mencampakannya ke dalam neraka.”
(Hr.Ibnu Hibbab dan Hakim).
Hadits di atas maksudnya adalah, jika al Qur’an member syafaat kepada seseorang, maka syafaatnya akan diterima oleh Allah. Barangsiapa yang dibela oleh al Qur’an, maka pembelaannya dibenarkan seperti telah dijelaskan dalam hadits ke-8 yang lalu. Barangsiapa yang memperhatikan al Qur’an, maka al Qur’an akan mengadukan kepada Allah agar meninggikan derjat mereka.
Barangsiapa yang berpaling dari al Qur’an, maka al Qur’an akan menuntutnya, mengapa hak-haknya tidak ditunaikan. Barangsiapa meletakkan al Qur’an didepannya, yakni melaksanakan perintahnya dan menjadikannya sebagai paduan setiap perbuatannya, maka al Qur’an akan membawanya ke dalam Surga. Dan barangsiapa meletakan al Qur’an dibelakangnya, yakni tidak menaati ajarannya, maka ia akan dilemparkan ke neraka.
Menurut penyusun, tidak menghiraukan al Qur’an juga tidak termasuk meletakan al Qur’an dibelakang. Banyak hadits yang menyatakan ancaman bagi orang yang tidak mempedulikan al Qur’an. Dijelaskan dalam Shahih Bukhari dengan hadits yang panjang bahwa Allah Swt. telah memperlihatkan sebagian siksa-Nya kepada Nabi Saw.. Di antara siksa yang diperlihatkan kepada beliau adalah orang yang dipukulkan batu ke kepalanya dengan sangat keras sehingga kepalanya hancur. Nabi saw. diberitahu bahwa orang itu telah diajari al Qur’an, tetapi ia tidak mengamalkannya pada malam hari dan tidak mengamalkannya pada siang hari. Dan siksa itu berlansung hingga hari kiamat.
Semoga allah dengan kelembutan-Nya melindungi kita dari azab-Nya. Pada dasarnya, al Qur’an adalah nikmat yang sangat agung. Siapa yang melalaikannya, sudah sepatutnya ia mendapat siksa

Pahala Membaca Al-Qur'an Dengan Suara Keras & Perlahan




Pahala Membaca Al-Qur'an Dengan Suara Keras & Perlahan


Dari Uqpah bin Amir r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Orang yang membaca al Qur’an dengan suara keras adalah seumpama orang yang memberikan sedekahnya secara terang-terangan, dan orang yang membaca al al Qur’an dengan suara perlahan adalah seumpama orang yang memberikan sedekahnya secara sembunyi-sembunyi.”
(Hr. Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’I dan Hakim).
Kadangkala bersedekah dengan terang-terangan itu lebih baik jika hal itu dapat menimbulkan semangat bersedekah kepada orang lain atau untuk suatu kebaikan. Namun pada kesempatan yang lai, bersedekah dengan sembunyi-sembunyi itu lebih baik jika dikhawatirkan akan menimbulkan riya atau dianggap merendahkan orang lain. Demikian juga dengan membaca al Qur’an, kadangkala dengan suara keras itu lebih baik daripada dengan suara perlahan, jika bacaan itu menyebabkan orang lain bergairah membaca al Qur’an dan menyebabkan pahala bagi orang yang mendengarnya.
Dan pada saat yang lain, membaca dengan perlahan itu lebih baik jika dapat mengganggu orang lain, atau dikhawatirkan riya atau karena lainnya. Oleh karena itu, baik membaca dengan suara keras atau pelahan, keduanya mempunyai keutamaan masing-masing. Kadangkala membaca dengan suara keras itu lebih sesuai, dan kadangkala membaca dengan suara pelahan lebih sesuai.
Banyak yang berdalil bahwa membaca dengan suara pelahan itu lebih baik, berdasarkan hadits sedekah yang disebutkan di atas. Imam Baihaqi menulis dalam kitab asy Syu’abu sebuah hadits dari Aisyah r.ha., (sebagai ulama melemakan hadits ini), “Amalan yang dikerjakan dengan sembunyi-sembunyi tujuh kali lipat lebih baik daripada amalan dengan terang-terangan.” Jabir r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Janganlah membaca al Quran terlalu keras sehingga tercampur suara yang satu dengan suara yang lain.”
Umar bin Abdul Aziz r.a. melihat seseorang yang membaca al Qur’an dengan suara keras di dalam masjid Nabawi, maka ia menghentikannya. Tetapi orang yang membaca itu menentangnya. Kemudian Umar bin Abdul Aziz r.a. berkata, “Jika kamu membacanya karena Allah, maka bacalah dengan perlahan. Namun jika kamu membacanya karena manusia, maka bacaanmu tidak ada gunanya.”
Selain itu, Nabi saw. juga memerintahkan agar membaca al Qur’an dengan suara keras. Dalam Syarah Ihya juga ditulis mengenai kedua cara tersebut, baik dalam riwayat hadits ataupun atsar sahabat r.a..

Pahala Mendengar & Membaca Al-Qur'an Adalah Nur Pada Kiamat




Pahala Mendengar & Membaca Al-Qur'an Adalah Nur Pada Kiamat


Dari AbuHurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa mendengarkan satu ayat dari Kitab Allah, akan ditulis untuknya satu kebaikan yang dilipatgandakan, dan barangsiapa membacanya, maka baginya nur pada hari Kiamat.”
(Hr. Ahmad)
Para muhadditsin mempermasalahkan sanad hadits diatas, namun dari segi isinya, hadits tersebut banyak didukung oleh riwayat-riwayat lain yang kesemuanya menyatakan bahwa mendengar bacaan al Qur’an pahalanya sangat besar. Bahkan ada sebagian yang menyebutkan bahwa mendengarkan bacaan al Qur’an lebih baik daripada membacanya. Ibnu Mas’ud r.a. menceritakan, “Suatu ketika, Rasulullah saw. duduk diatas mimbar. Lalu beliau bersabda, ‘Bacakanlah al Qur’an untukku!’ Aku menyahut, ‘Ya Rasulullah, bukankah al Qur’an itu diturunkan kepada engkau, mengapa aku yang membacakannya untuk engkau?’ Beliau bersabda, ‘Hatiku ingin mendengarnya.’ Lalu Ibnu Mas’ud r.a. membacakannya untuk Nabi saw., maka terlihatlah air mata beliau menetes membasahi mata beliau.”
Suatu ketika salim r.a., maula Hudzaifah r.a. membaca al Qur’an dan Nabi saw. berdiri disampingnya sambil mendengarkan bacaan al Qur’an Abu Musa al Asy’ari r.a. dan beliau memuji bacaannya

Pembaca Al-Qur'an Mendapat Cahaya Sempurna Di Hari Kiamat




Pembaca Al-Qur'an Mendapat Cahaya Sempurna Di Hari Kiamat


Dari abi Sa’id al Khudri r.a., ia menceritakan,
“Pernah pada suatu ketika aku duduk dengan sekumpulan Muhajirin yang lemah. Dan sungguh, sebagian mereka menutupi dirinya dengan sebagian lainnya agar tidak terlihat auratnya, sedang seorang Qari membacakan (al Qur’an) kepada kami. Tiba-tiba datanglah Rasulullah saw. lalu berdiri diantara kami. Ketika Rasulullah saw. berdiri, Qari itu pun diam, kemudian beliau member salam dan bertanya, ‘Apa yang sedang kamu lakukan?’ Kami menjawab, ‘Kami sedang mendengarkan bacaan kitab Allah Swt..’ ‘Beliau bersabda, ‘Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan sebagian umatku orang-orang yang aku perintah agar bersabar bersama mereka.’ Kemudian beliau duduk ditengah mengatur kami. Kemudian beliau berisyarat dengan tangan beliau, ‘Melingkarlah kalian seperti ini!’ Maka wajah mereka pun tertuju ke a ah beliau. Beliau bersabda, ‘Bergembiralah kalian, wahai sekalian Muhajirin yang miskin, (kalian akan mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari Kiamat. Kalian akan masuk Surga setengah hari lebih dulu daripada orang-orang kaya, sedang setengah hari (akhirat) sama dengan lima ratus tahun’.”
(Abu Dawud)
‘Telanjang badan’ maksudnya adalah yang diluar batas aurat tidak tertutupi, sebab apabila didepan umum, walaupun bukan aurat, mereka tetap menutupinya. Oleh karena itu dimajelis tersebut mereka saling duduk menutupi saudaranya yang tidak memiliki cukup pakaian agar badan saudaranya itu tidak terlihat oleh orang lain. Ketika Rasulullah saw. datang, mereka tidak segera menyadarinya karena ketawajjuhan mereka. Mereka baru menyadarinya ketika beliau telah berada di depan mereka. Sebagai adab, orang yang membacapun diam sejenak. Meskipun Nabi saw. melihat langsung bahwa mereka sedang membaca al Qur’an, beliau tetap bertanya tentang apa yang mereka lakukan. Hal ini menunjukan betapa kegembiraan beliau terhadap amalan mereka.
Dalam hadits diatas juga disebutkan bahwa ‘satu hari di akhirat sebanding dengan seribu tahun dunia.’ Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah Swt.,
“Sesungguhnya sehari di sisi Rabbmu adalah seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung.” (Qs. Al Hajj [22]: 47)
Inilah sebabnya, mengapa hari Kiamat sering disebut ghadam (besok). Namun hitungan ini hanya berlaku untuk orang-orang yang beriman, sedangkan untuk orang-orang kafir, al Qur’an telah menjelaskan:
“Satu hari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun.” (Qs. Al Ma’aarij [70]: 4)
Dan bagi kaum mu’ minin tertentu, waktu tersebut akan lebih singkat lagi, sesuai dengan derajat masing-masing. Bahkan bagi sebagian mu’ min, lamanya sehari di akhirat itu hanya seperti dua rakaat shalat Shubuh.
Banyak sekali riwayat yang menjelaskan keutamaan membaca al Qur’an, dan ada juga hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menyimak bacaan al Qur’an. Amalan apalagi yang dapat melebihi keutamaan ini? Sehingga Nabi saw. sendiri diperintah agar duduk bersama mereka, sebagaimana termakyub dalam hadits diatas.
Sebagian ulama berfatwa bahwa mendengarkan bacaan al Qur’an lebih baik daripada membacanya, karena membaca al Qur’an adalah sunnah, sedang mendengarkannya adalah wajib. Dan yang wajib itu selalu lebih tinggi derajatnya daripada yang sunnah.
Berdasarkan hadits diatas diambil kesimpulan mengenai masalah yang sering diperselisihkan oleh alim ulama, yaitu: Manakah yang lebih utama antara orang fakir yang bersabar dengan kemiskinannya (tidak mengeluh kemiskinannya kepada siapapun), dan orang kaya yang bersyukur kepada Allah serta menunaikan kewajibannya. Hadits diatas mendukung pendapat bahwa orang fakir yang bersabar dengan kemiskinannya adalah lebih utama

Al-Qur'an Sebagai Pengganti Kitab Terdahulu




Al-Qur'an Sebagai Pengganti Kitab Terdahulu


Dari Watsilah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Aku telah diberi Sab’a Thuwal sebagai pengganti Taurat, Mi’in sebagai pengganti Zabur, Matsani sebagai pengganti Injil, dan Mufashshal sebagai anugerah istimewa kepadaku.”
(Hr. Ahmad ~ Jam’ul Fawa’id)
Tujuh surat pertama dalam al Qur’an disebut sebagai Sab’at Thuwal (Tujuh surat yang terpanjang), sebelas surat disebut sebagai Mi’in (surat-surat yang mengandung sekitar seratus ayat), dua puluh surat disebut Matsani (surat yang berulang-ulang), dan dari sini sampai khatam al Qur’an disebut Mufashshal (surat yang dipisah-pisahkan). Inilah pendapat yang termasyhur.
Ada beberapa surat yang menjadi perbedaan, apakah termasuk dalam golongan Sab’at Thuwal dan Mi’in, termasuk dalam golongan Matsani atau Mufashshal. Namun, perbedaan itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap maksud dan tujuan hadits diatas. Maksud hadits diatas adalah bahwa al Qur’an mengandung kitab-kitab Samawi yang mansyur yang telah diturunkan sebelumnya. Dan sebagai tambahannya adalah Mufashshal, yaitu surat-surat istimewa yang tidak ada dalam kitab-kitab sebelumnya
div id="footer">

Al-Qur'an dan Ganjaran Besar Di Akhirat




Al-Qur'an dan Ganjaran Besar Di Akhirat


Dari Ubaidah al Mulaiki r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Wahai ahli-ahli al Qur’an, janganlah kalian menggunakan al Qur’an sebagai bantal dan bacalah al Qur’an dengan sebenar-benarnya bacaan pada malam dan siang hari, sebarkanlah ia, bacalah ia dengan suara merdu, dan pikirkanlah isi kandungannya! Mudah-mudahan kalian beruntung. Janganlah kalian meminta disegerakan upahnya (didunia), karena ia mempunyai ganjaran (diakhirat).”
(Hr. Baihaqi – Syu’abul Iman)
Hadits diatas mengandung beberapa pelajaran bagi kita:
(1) Jangan jadikan al Qur’an sebagai bantal. Pernyataan ini mempunyai dua pengertian.
Pertama, menggunakan al Qur’an sebagai bantal, perbuatan ini jelas menyalahi adab. Ibnu Hajar rah.a. menulis menjadikan al Qur’an sebagai bantal menjulurkan kaki ke arahnya, membelakanginya dan menginjaknya, adalah haram. Kedua, mengandung maknakiasan, yakni melalaikan al Qur’an dan membiarkannya di atas bantal seperti yang dilakukan di kuburan-kuburan, yakni sekedar untuk mendapat berkah, al Qur’an diletakan diatas bangku di samping batu nisan. Hal ini sama dengan mengabaikan hak al Qur’an, sebab hak al Qur’an adalah untuk dibaca.
(2) Membaca al Qur’an sesuai haknya, yakni dengan menjaga adab-adabnya semaksimal mungkin, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an:
“Orang-orang yang telah Kami berikan al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya…” (Qs. Al Baqarah [2] : 121)
Yaitu membaca dengan penghormatan seperti halnya terhadap perintah raja, dan membacanya dengan penuh rasa cinta sebagaimana halnya membaca surat dari seorang kekasih, demikianlah hendaknya kita membaca al Qur’an.
(3) Menyebarkan al Qur’an, baik melalui ceramah, tulisan, dorongan, perbuatan, atau dengan cara apapun. Nabi saw. menyuruh kita menyebarkan dan mengembangkan al Qur’an. Tetapi para cendekiawan malah beranggapan bahwa membacanya merupakan perbuatan sia-sia. Padahal mereka mengaku sebagai orang Islam dan orang yang mencintai Rasulullah saw…sebuah syair Persia menyatakan:
“Wahai orang A’rabi, aku takut kamu tidak akan sampai ke ka’bah karena jalan yang kamu tempuh menuju ke Turkistan.
Nabi saw. menyuruh kita agar menyebarkan al Qur’an, tetapi yang kita lakukan malah berusaha merintanginya. Kita menetapkan bagi anak-anak kita peraturan wajib belajar, sehingga anak-anak terjauh dari al Qur’an dan beralih ke sekolah umum. Kita membenci para Ustadz di madrasah, karena kita anggap mereka telah menyia-nyiakan umur anak kita, sehingga kita tidak memasukan anak kita ke madrasah. Para ustadz itu mungkin saja berbuat salah, tetapi jika kita berlepas tangan dari masalah ini atau melepaskan tanggung jawab dan kewajiban menyebarkan al Qur’an, maka dalam keadaan demikian kitapun sebenarnya tetap bertanggung jawab atasnya. Sedangkan kekurangan/kesalahan para ustadz itu, mereka sendirilah yang akan menanggungnya.
Para ustadz di madrasah mempunyai kekurangan, tetapi apakah hanya dengan melihat kekurangan para ustadz itu lalu kita menahan anak-anak kita agar tidak belajar di madrsah al Qur’an? Kita mengirim surat kepada para orang tua bahwa ‘ustadz-ustadz di madrasah itu mengajar anak-anak membaca atau menghafal al Qur’an hanya karena terpaksa, sehingga beban tersebut sekarang berada di pundak-pundak kalian.’ Hal itu ibarat mengobati orang yang sakit batuk dengan racun. Apakah dimahkamah tertinggi (di akhirat) kelak, jawaban seperti itu yang akan kita berikan, bahwa kita terpaksa menarik anak-anak dari belajar al Qur’an karena pengurus madrasah tidak serius dalam mengajar?
Silahkan Anda pikirkan sendiri, berapa banyak perhatian kita terhadap pelajaran al Qur’an. Untuk membuka toko kain untuk menjadi pegawai pemerintah saja, tiga perempat perhatian kita tercurah untuk mempelajarinya. Padahal Allah telah menegaskan pentingnya mempelajari al Qur’an daripada yang lainnya.
(4) Membaca al Qur’an dengan suara merdu, sebagaimana telah dijelaskan pada hadits yang lalu.
(5) Merenungkan makna kandungan al Qur’an. Dijelaskan di dalam Ihya, bahwa Allah berfirman di dalam Taurat, “Wahai hamba-Ku, apakah kalian tidak malu kepada-Ku? Jika kalian menerima surat dari kawanmu dan kalian sedang berjalan di jalan, maka kalian akan berhenti dan duduk di suatu tempat untuk membacanya dengan penuh perhatian dan berusaha memahami setiap perkataannya. Sedangkan Aku telah menurunkan kitab-Ku kepadamu, Aku telah menjelaskan segala sesuatu di dalamnya dan mengenai masalah yang penting, Aku telah mengulanginya beberapa kali agar kalian memperhatikannya, tetapi kalian tidak memperhatikannya, tetapi kalian tidak mempedulikannya. Apakah kalian anggap Aku ini lebih rendah dari kawanmu? “Wahai hamba-Ku, jika ada kawanmu yang duduk berbicara di dekatmu,kamu akan segera mendengarkannya dengan penuh perhatian dan memikirkan ucapannya. Jika ada yang menyela di tengah pembicaraannya, kamu akan menegurnya dengan isyarat tanganmu. Aku telah berbicara kepadamu melalui kitab-Ku, tetapi sedikit pun kamu tidak mempedulikannya. Apakah kalian anggap Aku ini lebih rendah dari kawanmu?” mengenai tadabbur ini, sudah dijelaskan dalam muqaddimah dan dalam hadits ke-8.
(6) jangan mengharapkan upahnya di dunia ini, yakni jangan menerima upah sedikitpun dari membaca al Qur’an, sebab kita akan mendapat pahala yang lebih besar di akhirat kelak. Jika kita mengharapkan upah dari membacanya di dunia ini, hal itu ibarat orang yang lebih senang menukar uangnya dengan kulit-kulit kerang.
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila ummatku telah mengagungkan keduniaan, maka hilanglah kehebatan Islam darinya. Dan apabila ummatku meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, maka diharamkan atas mereka keberkahan wahyu.” Yakni disulitkan memahami al Qur’an. Demikianlah penjelasan di dalam al Ihya.
“Ya Allah, perihalalah kami darinya"

Allah Memperhatikan Penuh Pembaca Al-Qur'an




Allah Memperhatikan Penuh Pembaca Al-Qur'an


Dari Fudhalah bin Ubaid r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Allah lebih mendengarkan dengan penuh perhatian kepada pembaca al qur’an dari pada seorang tuan yang mendengarkan nyanyian hamba perempuannya.”
(Hr. Ibnu Majah, Ibnu Haban, dan Hakim Berkata Sahih dengan syaratnya, dan Aldhahibi berkata Mungatie).
Telah menjadi fitrah dan adat kita menyukai nyanyian. Namun, karena syari’at agama telah melarangnya, maka orang-orang yang kuat beragama tidak akan mendengarkannya. Walaupun demikian, seorang tuan boleh mendengarkan nyanyian hamba sahaya wanitanya. Tetapi al Qur’an tidak boleh dinyanyikan seperti lagu. Hal itu berdasarkan hadits:
“Hindarilah oleh kalian (membaca al Qur’an) dengan nada orang bercinta!”
Maksudnya, jangan membaca al Qur’an dengan nada yang diatur oleh nada-nada musik dan suara penyanyi lagu cinta. Alim ulama menulis bahwa orang yang membaca al Qur’an seperti itu dianggap fasik dan pendengarnya berdosa besar. Al Qur’an hendaknya dibaca dengan merdu tanpa nada nyanyian, tanpa lagu yang berlebihan. Diantara sekian banyak hadits yang menerangkan hal ini adalah hadits yang berbunyi, “Hiasilah al Qur’an dengan suara yang merdu.” Hadits yang lain menyebutkan, “Suara merdu melipatgandakan keindahan al Qur’an.”
Syaikh Abdul Qadir Jailani rah.a menulis di dalam al Ghunyah, ketika Abdullah bin Mas’ud r.a. berjalan di Kufah ada sekelompok ahli maksiat yang sedang berkumpul di sebuah rumah. Dalam kumpulan itu, seorang penyanyi yang bernama Zadzan menyanyi dengan diiringi alat music. Mendengar suaranya yang merdu, Ibnu Mas’ud berkata, “Alangkah baiknya jika suara itu jika digunakan untuk membaca al Qur’an.” Lalu ia menutupkan kain dikepalanya dan meninggalkan tempat itu. Mendengar ucapan itu, Zadzan pun bertanya kepada orang lain, maka tahulah ia bahwa orang itu adalah Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat Nabi saw., Ucapan itu sangat bberpengaruh kedalam hatinya sehingga ia hancurkan alat-alat musiknya dan mulai menjadi pengikut Ibnu Mas’ud r.a.. di kemudian hari, ia dikenal sebagai seorang ulama pada zamannya.
Banyak riwayat yang menganjurkan agar membaca al Qur’an dengan suara yang lebih indah, namun banyak juga riwayat yang melarang membacanya dengan suara seperti nyanyian sebagaimana riwayat diatas. Hudzaifah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Bacalah al Qur’an dengan gaya Arab, jangan membacanya seperti seorang yang mabuk cinta atau seorang Yahudi atau Nasrani. Sebentar lagi aka nada suatu kaum yang membaca al Qur’an dengan dilagukan seperti para penyanyi dan seperti orang yang berteriak-teriak meratapi duka, bacaannya tidak akan bermanfaat sedikit pun baginya. Mereka akan mendapat fitnah dan orang-orang yang menganggap bacaan mereka itu bagus pun kan terkena fitnah.”
Thawus r.a. berkata, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw., “Siapakah yang palinh bagus suaranya dalam membaca al Qur’an?” Beliau saw., menjawab, ‘Seseorang yang jika kamu melihatnya membaca al Qur’an terasa bahwa ia takut kepada Allah, yakni dari suaranya terasa ia dalam keadaan takut.”
Merupakan kenikmatan dari Allah bahwa Dia tidak membebani seseorang itu kecuali sesuai dengan kemampuannya. Sebuah hadits menyebutkan bahwa Allah mengutus malaikat dengan tugas khusus, yaitu jika ada seseorang yang membaca al Qur’an tetapi ia tidak mampu membacanya dengan benar, maka malaikat akan membawanya ke langit setelah ia memperbaiki bacaan orang itu terlebih dahulu.
“Ya Allah, aku tidak mampu menghitung pujian bagi-Mu

Allah Memberi Perhatian Kepada Pembaca Al-Qur'an




Allah Memberi Perhatian Kepada Pembaca Al-Qur'an


Dari Abu Hurairahr.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Allah tidak pernah mendengarkan sesuatu dengan penuh perhatian sebagaimana Dia mendengarkan dengan penuh perhatian kepada seorang nabi yang melagukan al Qur’an.”
(Hr. Bukhari dan Muslim)
Telah kita ketahui sebelumnya bahwa Allah Swt. memberikan perhatian istimewa kepada kalam-Nya. Anbiya a.s. membaca al Qur’an dengan adab yang sempurna, oleh karenanya, maka Allah sangat memperhatikan mereka. Apalagi dengan suara mereka yang merdu, perhatian Allah tentu lebih besar lagi. Sedangkan orang-orang setelah Anbiya a.s akan mendapatkan perhatian dari Allah Swt. sesuai dengan taraf keindahan bacaan mereka

Ahli Al-Qur'an Merupakan Keluarga ALLAH




Ahli Al-Qur'an Merupakan Keluarga ALLAH


Dari Anas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya Allah memiliki keluarga dari kalangan manusia.” Para sahabatnya bertanya, “Siapakah mereka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya.”
(Hr. nasai, Ibnu Majah, Hakim, dan Ahmad)
Ahli al Qur’an adalah orang-orang yang senantiasa sibuk dengan al Qur’an. Mereka diberi keistimewaan sebagai ahlullah dan orang-orang istimewa-Nya, sehingga jelaslah bahwa Allah akan senantiasa memperhatikan orang yang selalu sibuk membaca al Qur’an. Barangsiapa yang selalu bersaman-Nya tentu akan menjadi ahli-Nya dan menjadi orang istimewa-Nya. Betapa tinggi kemuliaannya, dengan sedikit pengorbanannya saja ia telah disebut sebagai ahlullah, sehingga dengan keistimewaannya itu ia akan dimuliakan.
Padahal untuk memasuki istana di dunia ini atau untuk menjadi anggota suatu majelis terhormat, berapa banyak harta dan jiwa yang mesti dikorbankan? Meskipun harus dengan menghinakan diri dan menahan malu demi mengambil hati peserta siding, tetapi kita tetap menganggap bahwa itu suatu kebaikan. Sebaliknya, usaha untuk mendalami al Qur’an kita anggap sebagai suatu kerugian.
“Perhatikan perbedaan jalan, manakah yang kau tuju dan kemana jalan itu menuju"

Al-Qur'an Merupakan Bekal Utama Saat Kembali Ke ALLAH




Al-Qur'an Merupakan Bekal Utama Saat Kembali Ke ALLAH


Dari Abu Dzar r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
sesunggguhnya kalian tidak akan kembali kepada Allah dengan membawa sesuatu yang lebih utama selain membawa apa yang keluar dari-Nya, yakni al Qur’an.”
(Hr. Hakim)
Berdasarkan beberapa riwayat, jelas bahwa tidak ada yang dapat mendekatkan kita kepada Allah kecuali dengan al Qur’an. Imam Ahmad bin Hambal rah.a. berkata, Seakan-akan aku melihat Allah dalam mimpiku dan aku bertanya kepada-Nya, ‘Apa yang terbaik untuk mendekatkan diri kepadaMu?” Allah Swt. menjawab “Ahmad, kalam-Ku (yakni al Qur’an).” Aku bertanya, “Membaca dengan memahaminya atau tanpa memahaminya?” Allah berfirman, “Paham atau tidak, keduanya akan mendekatkan kepada-Ku.”
Jelaslah bahwa cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan al Qur’an. Diterangkan dalam tafsir Syaikh Baqiyatus Salaf, Hujjatul Khalaf Syaikh Abdul Aziz Dahlawi yang kesimpulan dan penafsirannya adalah bahwa suluk kepada Allah atau untuk mencapai derajat ihsan kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah dengan tiga cara:
1. Tashawwur. Dalam syari’at lebih dikenal dengan istilah tafakkur dan tadabbur, dan dalam istilah tasawwuf lebih dikenal dengan muraqabah. 2. Dzikir Lisan.
3. Tilawah al Qur’an.
Cara yang pertama sebenarnya adalah dzikir Qalbi (dzikir dengan hati). Pada dasarnya, hanya dilakukan dengan dua cara: Pertama, dzikir secara umum, baik dengan hati atau dengan lisan; Kedua, dzikir dengan tilawat al Qur’an.
Dengan menyebut salah satu nama Allah berulang-ulang, maka tujuan dzikir akan didapatkan, yakni memperoleh mudrikah (bertawajuh kepada-Nya) dan menimbulkan perasaan bahwa yang diingat itu ada didepan kita. Jika terus berlangsung seperti itu, maka itulah ma’iyyat (kebersamaan dengan Allah) sebagaimana yang diterangkan di dalam hadits:
“Hamba-Ku selalu mendekati-Ku dengan amal nawafil (sunnat), sehingga Aku menciptakannya. Maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya, menjadi tangannya yang ia memegang dengannya, dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan.”
Apabila seseorang hamba memperbanyak ibadah, Allah akan dekat kepadanya dan akan menjadi penjaganya. Mata, telinga, dan yang lainnya akan mengikuti keinginan Allah.
Dalam riwayat itu dikatakan ‘memperbanyak shalat-shalat nafil’ adalah karena fardhu itu sudah ditetapkan jumlahnya, tidak boleh dilebihkan, sehingga sangat penting bagi kita untuk selalu merasakan kehadiran Allah di dalam ibadah kita sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Namun, cara bertaqarrub seperti ini hanya digunakan untuk mendekati Dzat Allah Yang Kita cintai. Kita tidak mungkin dapat mendekati manusia hanya dengan sering menyebut namanya. Karena untuk bertaqarrub seperti ini harus ada dua hal:
1. Yang diingat harus mengetahui dzikir setiap orang yang mengingatnya, baik secara lisan ataupun di dalam hati, walaupun dalam waktu dan bahasa yang berbeda.
2. Dia harus mampu bertajalli (manifestasi) dan memenuhi keinginan orang yang mengingatnya, yang biasa disebut dengan dunuw (kedekatan) dan tadalli (pendekatan), atau dikenal dengan istilah nuzul (turun) dan qrub (kedekatan)
Kedua sifat ini hanya dimiliki oleh Allah Swt., sehingga cara taqarub diatas hanyamungkin untuk mendekatkan diri kepada Dzat Allah. Disebutkan didalam hadits Qudsi.
“Barangsiapa mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta.”
Ini sekadar perumpamaan, sebab sesunggguhnya Allah Maha Suci dari berjalan dan berlari. Dan keinginan serta usaha Allah lebih tawajjuh dan lebih dekat daripada usaha dan keinginan seseorang yang selalu mengingat dan mencari-Nya. Mereka memang pantas mendapatkan kasih saying Allah, sebab sifat Rabb Yang Maha Mulia adalah selama orang yang mengingatnya ia terus berdzikir, maka tawajuh dan kedekatan Allah padanya pun terus menerus.
Kallamullah adalah untuk mengingat Allah Swt., tidak ada stu ayat pun yang tidak bertujuan untuk mengingat Allah. Hal itu menegaskan bahwa al Qur’an memiliki sifat-sifat dzikir sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Dan satu kelebihan khusus lainnya yang ada pada al Qur’an yang dapat mendekatkan kita kepada Allah adalah bahwa setiap ucapan jelas akan membawa sifat dan pengaruh terhadap pembicaraannya; sebagaimana orang yang membaca ayar’ir-sya’ir orang fasik dan durjana, maka akan mengakibatkan pengaruh buruk baginya. Dan orang yang membaca sya’ir orang-orang yang bertakwa akan menyebabkan ia juga bertakwa. Dengan alasan inilah maka dikatakan bahwa banyak mempelajari ilmu logika dan filsafat akan menimbulkan kesombongan dan keangkuhan. Sedang banyak mengkaji hadits akan menimbulkan sifat tawadhu’. Oleh sebab itu, walaupun dari segi bahasa, bahasa Persia dan Inggris itu sama-sama bahasa, tetapi karena perbedaan pada pengarangnya dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pembacanya. Singkatnya, setiap bacaan akan mempengaruhi pembacanya.
Demikian pula dengan terus-menerus membaca al Qur’an, tentu akan menimbulakn pengaruh khusus dari Sang Pencipta kepada pembacanya. Telah menjadi kaidah bagi setiap [engarang, bahwa jika ada orang yang betul-betul memperhatikan tulisannya, berarti ia memperhatikan dan mencintai pengarang itu sehingga pengarang itu pun akan memperhatikannya. Demikian pula orang yang senantiasa membaca firman-firman Allah Swt., maka akan lebih mendekati-Nya. Semoga Allah Yang MAha Mulia menganugerahkan Taufik-Nya kepada kita.

Malaikat Merahmati Kaum Yang Membaca Al-Qur'an Di Rumah




Malaikat Merahmati Kaum Yang Membaca Al-Qur'an Di Rumah


Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan saling mengajarkannya di antara mereka, melainkan diturunkan ke atas mereka sakinah, rahmat menyirami mereka, para malaikat mengerumuni mereka, dan Allah Swt. menyebut-nyebut mereka di kalangan (malaikat) yang ada disisinya.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Hadits ini menerangkan keutamaan khusus madrasah-madrasah dan pondok pesantren yang memiliki berbagai kemuliaan. Setiap kemuliaan itu memiliki derajat sangat tinggi, sehingga jika seseorang menghabiskan umurnya untuk mendapatkan suatu kemuliaan saja, itu pun masih murah dan sangat banyak nikmat yang diperolehnya. Khususnya keutamaan yang terakhir, yaitu akan disebut-sebut di majelis Allah. Dan disebutnya nama kita dimajelis Kekasih kita merupakan nikmat yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Mengenai turunnya sakinah telah banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. Ulama hadits telah banyak menjelaskan penafsirannya, tetapi tidak ada pertentangan diantara perbedaan mereka, bahkan jika disatukan akan memiliki maksud yang sama.
Ali r.a. menafsirkan sakinah adalah sejenis udara khusus yang mempunyai wajah manusia. Suji rah.a. berpendapat bahwa sakinah adalah nama sejenis mangkuk di surge yang terbuat dari emas yang digunakan untuk mencuci hati para Nabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa sakinah adalah suatu rahmat khusus. Thabrani rah.a. mendukung pendapat yang mengatakan bahwa sakinah adalah ketenangan hati. Sebagian lagi menafsirkan sakinah sebagai kedamaian. Pendapat lain menyebutkan sakinah sebagai kewibawaan. Dan lainnya lagi menafsirkan sakinah adalah malaikat. Selain itu masih banyak penafsiran lainnya.
Hafizh Ibnu Hajar rah.a. menulis dalam Fathul-Bari bahwa arti sakinah mencakup semua yang telah disebutkan di atas. Imam Nawawi rah.a menafsirkan bahwa sakinah adalah gabungan antara ketenangan, rahmat, dan lain-lainnya, yang diturunkan bersama malaikat.
Allah Swt. Berfirman,
“Maka Allah menurunkan sakinah-Nya ke atasnya.” (Qs. At Taubah [9] : 40).
Dalam ayat yang lain disebutkan:
“Dialah yang menurunkan sakinah ke dalam hati orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Fath [48]:4)
“…Di dalamnya terdapat ketenangan dari Rabbmu…” (Qs. Al Baqarah [2]:248)
Ternyata banyak sekali ayat al Qur’an dan hadits yang menyebutkan kabar gembira itu. Diriwayatkan dalam kitab Ihya bahwa Ibnu Tsauban r.a. pernah berjanji kepada saudaranya bahwa ia akan berbuka shaum bersama, tetapi ternyata ia baru tiba keesokan paginya. Ketika saudaranya menanyakan penyebab keterlambatannya, Ibnu Tsauban menjawab, “Seandainya bukan karena janjiku kepadamu, tentu aku tidak akan membuka rahasia keterlambatanku ini. Kejadiannya adalah sebagai berikut: tanpa disengaja aku telah terlambat hingga waktu Isya. Setelah shalat Isya aku merasa bahwa aku harus shalat Witir, karena aku tidak tenang jika kematian datang pada malam itu, dan hal itu akan menjadi sisa tanggung jawabku. Ketika aku sedang membaca do’a Qunut, terlihat olehku sebuah taman Surga hijau yang dipenuhi berbagai jenis bunga. Demikian asyiknya aku memandang taman itu, sehingga tanpa terasa tibalah waktu Shubuh.”
Kisah seperti di atas juga telah banyak terjadi pada alim ulama kita dahulu, namun hal itu akan diperoleh jika telah terputus hubungan dengan segala sesuatu kecuali dengan Allah semata, serta dengan bertawajuh secara sempurna kepada-Nya.
Mengenai ‘malaikat yang datang mengelilingi’, banyak riwayat yang menjelaskan hal itu. Demikian juga mengenai kisah Usaid bin Hudhair r.a., telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab hadits. Yaitu ketika ia sedang membaca al Qur’an, ia merasa ada segumpal awan mendekatinya. Ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi saw. maka beliau bersabda, “Itu adalah para malaikat yang datang untuk mendengarkan bacaan al Qur’an. Begitu banyak malaikat yang datang, sehingga terlihat seperti kumpulan awan.” Suatu ketika, seorang sahabat merasakan ada awan yang mengiringinya, maka Rasulullah saw. bersabda, “Itu adalah sakinah,” yaitu rahmat yang diturunkan karena bacaan al Qur’an. Dalam Shahih Muslim, hadits ini diriwayatkan dengan lebih jelas lagi, dan kiamat terakhir dari hadits tersebut adalah:
“Siapa yang karena kemaksiatannya menjauhkan ia dari rahmat Allah, maka kemuliaan keturunannya tidak dapat mendekatkan dirinya kepada rahmat Allah.”
Orang yang mulia nasabnya tetapi sering berbuat dosa dan maksiat tidak dapat disamakan di hadapan Allah dengan orang yang hina nasabnya tetapi bertakwa kepada Allah. Al Qur’an menyebutkan:
‘….Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa…” (al Hujarat [49]:13

Al-Qur'an Merupakan Cahaya & Bekal Yang Disimpan Di Langit




Al-Qur'an Merupakan Cahaya & Bekal Yang Disimpan Di Langit


Dari Abu Dzar r.a., ia menceritakan,
“Aku pernah berkata pada Rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat! ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah Swt., karena takwa adalah akar dari setiap urusan.’ Saya berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, tambahkan wasiat untukku!’ Rasulullah pun bersabda, ‘Hendaklah engkau membaca al Qur’an, karena sesungguhnya al Qur’an itu nur bagimu di muka bumi dan bekal yang disimpan di langit.”
(Hr. Ibnu Habban)
Sesungguhnya takwa adalah akar segala urusan. Hati yang memiliki rasa takut kepada Allah tidak akan pernah bermaksiat kepada-Nya dan tidak akan mengalami kesusahan. Firman Allah Swt.
“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka akan dijadikan baginya jalan keluar dari segala kesusahan dan diberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka…” (Qs. Ath Thalaq [65] : 2-3)
Dari beberapa riwayat yang lalu kita telah mengetahui tentang nur tilawat al Qur’an. Disebutkan dalam Syarh Ihya dari Ma’rifah Abu Nuaim, bawa Basith r.a. meriwayatkan dari Nabi saw., sabdanya, “Rumah-rumah yang didalamnya terdapat bacaan al Qur’an akan terlihat bersinar oleh para penduduk langit sebagaimana bintang-bintang terlihat bersinar oleh para penduduk bumi.”
Dalam kitab at Targhib dan yang lainnya, hadits di atas telah diringkas dari sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibbandan yang lainnya. Mulla Ali Qari rah.a. telah menulisnya secara rinci, sedangkan Imam Suyuthi sedikit meringkasnya. Walaupun bagian hadits diatas telah mencukupi keperluan risalah ini, seluruh hadits tersebut mengandung banyak hal penting dan bermanfaat. Oleh karena itu, maksud seluruh hadits diatas akan dijelaskan di bawah ini:
Abu Dzar al Ghifari r.a. menceritakan: Saya bertanya kepada Nabi saw., “Berapa banyakkah kitab yang telah diturunkan oleh Allah?”
Beliau menjawab, “Seratus shahifah dan empat kitab suci. Lima puluh shahifah diturunkan kepada Syits a.s., tiga puluh shahifah kepada Idris a.s.,sepuluh shahifah kepada Ibrahim a.s. sepuluh mushaf kepada Musa a.s. sebelum Taurat diturunkan kepadanya. Dan selain mushaf-mushaf itu ada empat kitab suci yang diturunkan kepadanya. Dan selain mushaf-mushaf itu ada empat kitab suci yang diturunkan, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan al Qur’an.’ Saya bertanya lagi, ‘Apakah kandungan mushaf-mushaf yang diturunkan kepada Ibrahim a.s.?’ Beliau menjawab, ‘Berisi tamsil-tamsil, misalnya:
‘Wahai raja yang kuat dan angkuh! Aku tidak melantikmu untuk mengumpulkan harta, tetapi Aku melantikmu untuk mencegah sampainya do’a seseorang yang dizhalimi. Kamulah yang harus lebih dulu memperbaikinya, karena Aku tidak menolak doa orang yang didzhalimi walaupun dia seorang kafir.”
Hamba yang hina ini (Maulana Zakariya – pent.) menyatakan, “Jika Nabi saw. akan mengangkat seorang sahabatnya sebagai gubernur atau hakim, maka beliau dengan penuh perhatian akan menambahkan di dalam nasihatnya:
“Takutilah do’a orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara ia dengan Allah tidak ada hijab.”
Dalam sebuah syair Persia disebutkan,
“Berhati-hatilah dengan keluhan orang yang teraniaya jika mereka berdo’a karena penerimaan Allah itu dekat dengan mereka.” Juga disebutkan dalam shahifah-shahifah tersebut bahwa orang yang berakal sehat selama akalnya masih normal, hendaknya ia membagi seluruh waktunya menjadi tiga bagian, yaitu: (1) Untuk beribadah kepada Rabbnya; (2) Untuk menghisab dirinya, beberapa banyak keburukan atau kebaikan yang telah ia lakukan; (3) Untuk mencari penghasilan yang halal.
Seseorang yang berakal juga harus mengatur waktunya, memperbaiki dirinya, dan menjaga lidahnya dari bicara yang sia-sia. Orang yang selalu menghisab setiap ucapannya, maka lidahnya akan berkurang dari bicara sia-sia. Orang yang berakal juga tidak akan berpergian kecuali untuk tiga tujuan, yaitu: (1) Mencari bekal akhirat; (2) Mencari nafkah sekadarnya; (3) Bersantai yang diperbolehkan (oleh agama).
Abu Dzar r.a. bertanya lagi,
“Ya rasulullah, apakah kandungan shahifah yang diturunkan kepada Musa a.s.?” Beliau menjawab, “Semuanya berisi pelajaran-pelajaran, misalnya: ‘Aku heran terhadap orang yang meyakini kematian, tetapi ia masih bergembira dengan sesuatu, (biasanya seseorang jika telah diputus akan di hukum mati, ia tidak akan merasa tenang dengan apapun).
Aku heran terhadap orang yang meyakini kematiannya, tetapi ia masih bisa tertawa. Aku heran terhadap orang yang selalu memperhatikan kejadian-kejadian, perubahan-perubahan, dan gejola dunia, tetapi ia masih merasa tenang dengannya. Aku heran terhadap orang yang meyakini takdir, tetapi ia masih berduka cita bersedih hati. Aku heran terhadap orang yang meyakini hisab itu dekat, tetapi ia tidak beramal shalih.
Abu Dzar r.a. meminta lagi,. “Ya Rasulullah, tambahkan lagi wasiat untukku!”
Pertama-tama Rasulullah saw. mewasiatkan takwa kepadaku. Lalu beliau bersabda, “Takwa adalah dasar dan akar segala urusan.”
Aku memonta lagi, “Ya Rasulullah, tambahkan lagi wasiat untukku.” Beliau bersabda, “Perbanyaklah membaca al Qur’an dan mengingat Allah, karena yang demikian itu adalah nur bagimu di bumi dan simpanan bagimu di langit.”
Aku meminta lagi, “Tambahkan lagi wasiat untukku!”
Beliau bersabda,
“jangan banyak tertawa, karena sesungguhnya banyak tertawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan nur wajah (merugikan jasmani dan Ruhani).” Beliau bersabda lagi, “Pentinglah jihad, karena jihad adalah rahbaniah umatku. (Pada zaman dahulu, rahib adalah orang-orang yang memutuskan seluruh hubungan dengan dunia dan diri mereka hanya pasrah kepada Allah).”
Aku minta tambahan lagi. Lalu ia bersabda, “Pandanglah selalu orang-orang yang berada dibawahmu (lebih rendah darimu), dengan begitu kamu dapat bersyukur; dan jangan memandang orang yang berada diatasmu, sehingga kamu akan meremehkan nikmat Allah.”
Aku meminta tambahan lagi. Lalu beliau bersabda,
“Hendaklah keburukanmu menahanmu dan mencaci orang lain. Dan janganlah mencari aib orang lain, sedangkan kamu sendiri melakukannya. Cukuplah sebagai bahan untuk mencela dirimu bahwa kamu melihat aib orang lain, sedangkan aib itu ada pada dirimu tetapi kamu tidak menyadarinya, atau kamu mengoreksi kesalahan orang lain sedangkan kamu sendiri melakukannya.”
Kemudian dengan tangannya yang mulia, Nabi saw. menepuk daadku sambil bersabda,
“Wahai Abu Dzar, tidak ada kebijaksanaan yang lebih baik daripada pengaturan, tidak ada ketakwaan yang lebih baik daripada menjauhi larangan, dan tidak ada kemuliaan yang lebih baik daripada sopan santun.”
Ini hanyalah ringkasan maksud hadits diatas, sedangkan terjemah tekstual tidaklah demikian

Al-Qur'an Merupakan Kemuliaan Umat Islam




Al-Qur'an Merupakan Kemuliaan Umat Islam


Dari Aisyah r.ha. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai kemuliaan yang mereka banggakan. Dan sesungguhnya kebanggaan dan kemuliaan umatku adalah al Qur’an.”
(Hr. Abu Nu’aim – al HIlyah)
Banyak orang yang membanggakan keturunan, keluarga, dan sebagainya sebagai kebesaran dan kemuliaan mereka. Padahal kebanggaan bagi umat ini adalah al Qur’an, yaitu membaca, menghafal, mengajarkan, dan mengamalkannya. Setiap amalannya merupakan sesuatu yang patut dibanggakan. Betapa tidak, karena al Qur’an adalah kalam Allah Swt., Kekasih kita, yang di dunia ini tidak ada satu kebesaran pun yang dapat menyamainya. Kehebatan dunia pasti akan binasa, jika tidak sekarang, pada suatu saat nanti. Sedangkan kesempurnaan Kalamullah tidak akan binasa selamanya, bahkan karena kesempurnaannya seperti keindahan susunan dan paduan kata, penyesuaian kata, hubungan antar kalimat, berita tentang kejadian-kejadian pada masa lalu dan yang akan datang, pernyataannya terhadap tingkah laku manusia yang tidak mungkin bisa dipungkiri, misalnya kisah kaum Yahudi yang menyatakan cintanya kepada Allah tetapi enggan mati. Selain itu, pendengar akan terpesona dan pembacanya tidak akan bosan membacanya. Setiap susunan kata akan menimbulkan rasa cinta. Seindah apa pun surat dari seorang yang kita cintai hingga membuat kita mabuk cinta, kita akan bosan setelah membacanya sepuluh kali. Jika tidak, mungkin pada yang kedua puluh atau keempat puluh kalinya. Bagaimanapun juga, pasti ia akan bosan.
Sedangkan al Qur’an, jika kita menghafal satu ‘ain, kita tidak akan bosan membacanya, walaupun untuk kedua ratus atau keempat ratus kalinya, bahkan selama hidup kita, kita tidak akan merasa bosan. Jika ada sesuatu yang menghalangi kita untuk membacanya, itu hanya bersifat sementara dan pasti akan hilang. Semakin sering membacanya akan semakin terasa keindahan dan kenikmatannya.
Begitu hebatnya keistimewaan al Qur’an sehingga seandainya ada perkataan selain al Qur’an yang memiliki satu saja (walaupun tidak seluruhnya) dari keistimewaan tersebut, betapa dibanggakannya. Apalagi jika seluruhnya, tentu akan lebih membanggakan.
Sekarang marilah kita memikirkan diri kita, berapa banyaknya diantara kita yang merasa bangga sebagai hafizh al Qur’an, dan berapa banyak di antara kita yang menghormati dan bangga terhadap hafizhal al Qur’an? Sayangnya, kita lebih merasa bangga dengan gelar dan pangkat yang tinggi, padahal setelah meninggal dunia, semua itu akan ditinggalkan. Kepada Allah lah kita mengadu