Dusta Dalam islam




Dusta Dalam islam


MAKNA DUSTA MENURUT ISLAM
Hari ini dunia telah dipenuhi dengan virus dusta yang berbahaya. Tidak hanya orang dewasa saja, anak kecilpun telah terbiasa dengan dusta dalam kehidupannya. Mulai dari masyarakat kelas awam sampai komunitas tingkat elit dan parlente telah terbiasa dengan dusta sebagai penghias kesehariannya. Hari ini sulit sekali kita dapati orang yang jujur dalam bertutur, karena mereka beranggapan bahwa pada zaman fitnah ini jika jujur akan hancur. Maka dari itu merebaklah berbagai manipulasi dan keresahan karena tercampur aduknya antara kebenaran dan kesalahan.
Begitu juga tersamarnya antara tauhid dan syirik, sunnah dan bid’ah, serta yang haq dan yang batil, karena lisan-lisan pecundang yang penuh dengan seribu kedustaan. Berdusta dengan perkataan yang indah dan menyihir. Seolah seribu kedustaannya tertutupi dengan serentet gelar yang disandang didepan namanya. Sungguh bahaya sekali lisan para pendusta. Makna Dusta Dalam bahasa arab, dusta adalah terjemah dari kata “al-Kadzibu ( ا لْكَذِبُ )”. Sedangkan maknanya di jelaskan oleh Ibnu Mandzur , seorang pakar bahasa dalam kitabnya, Lisanul Arob. Ibnu Mandzur berkata:
) الْكَذِبُ نَقِيْضُ الصِّدْقِ(
“Dusta itu lawan dari jujur.” Adapun hakikat dari dusta telah dijelaskan oleh imam al-Mawardi dalam kitabnya, Adab ad dunya wa ad diin sebagai berikut: “Hakikat dusta yaitu pengkabaran tentang sesuatu yang bertentangan dengan realita. Dan pengkabaran tersebut tidaklah terbatas pada perkataan, akan tetapi terkadang dengan perbuatan.
Seperti dengan isyarat tangan, atau dengan anggukan kepala, bahkan terkadang dengan sikap diam.” Dalam bahasa Arab, kata “dusta” digunakan dalam kondisi disengaja maupun tidak disengaja sebagaimana dalam masalah pembunuhan, terkadang terjadi secara sengaja mapun tidak sengaja. Contoh makna berdusta secara tidak sengaja sebagaimana dijelaskan dalam hadits di bawah ini:
))كَذَبَ أَبُو السَّنَابِلِ لَيْسَ كَمَا قَالَ قَدْ حُلِلْتِ فَانْكِحِيْ((
“Telah berdusta Abu Sanabil, permasalahannya bukan seperti yang dia katakan. Sungguh engkau telah halal (dinikahi), maka menikahlah.” (HR. al-Bukhori dan Muslim) Arti kata berdusta dalam hadits di atas sebagaimana dijelaskan oleh para ulama adalah berdusta secara tidak sengaja, karena Abu Sanabil memberikan kabar yang bertentangan dengan realita yang ada berdasarkan pemahamannya yang keliru.
Adapun dusta yang disengaja adalah dusta yang haram dan menyeret pelakunya ke dalam api neraka sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi :
))إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا ((
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang selalu bertindak jujur sehingga ia ditulis di sisi Alloh sebagai orang yang sangat jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu membawa ke neraka.
Seseorang selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Alloh sebagai pendusta.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)

Bahaya Adu Domba Dalam Islam




Bahaya Adu Domba Dalam Islam


Adu domba atau namimah merupakan sebuah perbuatan yang sangat tercela karena tujuan daripada adu domba itu ialah menyebarluaskan berita yang tidak benar (fitnah) agar antar individu atau masyarakat muslim tidak saling menyukai satu sama lain dan akhirnya terjadi pertikaian dan peperangan. Dengan kata lain, adu domba merupakan suatu perbuatan rekayasa yang sengaja dilakukan untuk merusak, memfitnah, atau menghancurkan orang lain serta merupakan pemicu terjadinya permusuhan. Hal ini sangat bertentangan dengan syari’at Islam, dimana tujuan bermasyarakt di dalam Islam ialah membangun individu dan masyarakat yang berlandaskan iman dan taqwa serta pribadi yang shahih yang tersambung dalam jalinan cinta dan kasih sayang serta keramahan antara sesama.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q. S. Al-Hujurat : 6).
Dalam Islam, hukum namimah atau adu domba ialah haram. Salah satu dalillnya ialah firman Allah SWT yang artinya;
”Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.” (QS. Al Qalam : 10-11).
Oleh karena itu, siapa saja yang melakukan adu domba, berarti ia telah melakukan apa yang telah dilarang oleh Allah SWT dan telah berbuat dosa, maka nerakalah baginya sebagai balasan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya; “Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu domba).” (H. R. Al Bukhari). Oleh Ibnu Katsir kemudian dijelaskan bahwa mereka yang disebut sebagai Al-Qattat ialah orang-orang yang senang mencuri dengan pembicaraan orang lain tanpa sepengetahuan oleh mereka yang didengarkan olehnya akan perbincangannya, kemudian olehnya disebar luaskanlah pembicaraan tersebut kepada orang lain atau ke masyarakat akan tetapi dengan tujuan untuk mengadu domba orang tersebut. Dengan kata lain, apa yang kemudian disampaikan kepada masyarakat bisa saja sama seperti apa yang dibicarakan tetapi ditambah-tambahi dengan sesuatu yang menjelekkan atau berbeda sama sekali hingga benar-benar menjadi sebuah fitnah yang sangat merugikan. Oleh sebab itu, adu domba juga merupakan pemicu hilangnya rasa kepercayaan terutama pada korbannya.
Untuk lebih jelasnya, yang dimaksud dengan perilaku adu domba ialah sebagai berikut:
Orang yang sedang mengadu domba pasti memiliki niat atau maksud dan tujuan yang tidak baik terhadap korbannya (orang yang diadu), misalnya agar orang lain dibenci atau dipecat dari pekerjaannya.
Seorang pengadu domba ialah mereka yang senang sekali menyebabkan pertikaian atau menjadi provokatornya. Hal paling mendasar dan yang paling sering menjadi penyebabnya ialah perasaan iri terhadap seseorang sampai muncul keinginan untuk membuat buruk atau menghancurkan orang tersebut. Cara paling mudah ialah dengan menyebarkan berita palsu atau memfitnah sehingga orang lain juga turut membenci orang yang ia benci.
Orang yang suka mengadu domba biasanya juga merupakan orang yang munafik atau bermuka dua, sehingga dihadapan orang yang ia adu domba ia akan tetap terlihat baik padahal dibelakangnya tanpa sepengetahuan orang itu, ia bersikap jahat dengan menjelek-jelekkan orang yang ia adu domba.
Bahaya Namimah (Adu Domba)
Bahaya adu domba dalam islam sangat besar. Bukan tidak ada alasan mengapa Islam mengharamkan perbuatan namimah atau ado domba. Selain merupakan perbuatan tercela yang berujung dosa, adu domba juga memiliki berbagai bahaya jika perbuatan itu tidak dihentikan. Adapun bahaya adu domba dalam Islam ialah sebagai berikut:
Adu domba merupakan perbuatan dosa yang mana surga diharamkan baginya, dengan kata lain neraka adalah balasan daripadanya.
Bahaya utama daripada adu domba ialah dapat menyebabkan terjadinya kebencian dan permusuhan dan sesama muslim.
Adu domba merupakan pemicu terputusnya tali silaturrahmi dan tali persaudaraan.
Terjadi keresahan dan mengganggu ketentraman kehidupan bermasyarakat karena tidak jarang adu domba berujung pada terjadinya pertingkaian fisik seperti perkelahian yang memberikan kerugian baik fisik maupun materi. Akibat daripada perkahian itu bisa menghancurkan berbagai fasilitas atau sarana prasaran serta menyakiti fisik mereka sendiri. Bahkan bisa sampai menyebabkan seseorang kehilangan nyawa.
Kehilangan kepercayaan karena setelah perbuatan adu domba itu terbongkar orang lain justru akan berbalik menjadi tidak menyukai si pelaku penyebar adu domba tersebut sehingga sebenarnya adu domba itu sendiri tidak hanya menyebabkan kerugian bagi mereka yang menjadi korban adu domba tetapi juga paling buruk adalah kerugian bagi pelakunya sendiri.
Lantas, bagaimana kita sebagai muslim untuk menghindari perilaku adu domba tersebut? Berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menghindari perbuatan tercela namimah, yakni;
Meningkatkan taqwa kepada Allah SWT
Mulai dari diri sendiri untuk menyadari bahwa adu domba merupakan perbuatan tercela yang berakibat dosa serta dampak yang disebabkannya tidaklah main-main sehingga harus dijauhi.
Menghindar daripada hal-hal yang bisa menyebabkan adu domba seperti begosip.
Menjalin silaturrahmi yang baik terhadapa sesama muslim.
Biasakan diri bersikap ramah dan jujur.
Selalu meminta perlindungan kepada Allah SWT agar terhindar daripada pebuatan keji dan munkar.
Kemudian, apabila suatu ketika kita mendapati seorang yang memberikan berita fitnah atau berniat menyebar luaskan adu domba kepada kita, maka seperti yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi; “Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya perkataan namimah (adu domba), dikatakan kepadanya: “Fulan telah berkata tentangmu begini begini. Atau melakukan ini dan ini terhadapmu,” maka lakukanlah perkara berikut ini;
Jangan pernah membenarkan perkataan daripada mereka yang berniat untuk mengadu domba.
Berikan nasihat agar ia tersadar bahwa perbuatan adu domba yang ia lakukan adalah salah.
Orang yang melakukan adu domba adalah orang yang dibenci Allah SWT jadi sebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa kita juga membenci orang yang berbuat dosa tersebut (ialah membenci karena Allah SWT).
Jangan berprasangka buruk pada orang yang menjadi korban adu domba.
Jangan mencurigai, memata-matai, maupun mencari-cari aib daripada orang yang menjadi korban adu domba.
Jangan ikut-ikutan melakukan adu domba.

Bahaya Ghibah dalam Pandangan Islam




Bahaya Ghibah dalam Pandangan Islam


Bahaya Ghibah dalam Pandangan Islam
Ghibah merupakan perbuatan yang tergolong dalam dosa besar, sebagaimana Imam Al-Qurthubi ungkapkan dalam kitab Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, bahwasanya ghibah itu sebanding dengan dosa zina, pembunuhan, dan dosa besar lainnya. Sedangkan menurut Hasan Al Bashri, perbuatan bergunjing lebih cepat merusak agama dibandingkan dengan penyakit yang menggerogoti tubuh. Ghibah sendiri membahayakan baik bagi orang yang dibicaraka, diri sendiri, bahkan masyarakat.
1. Mendapat murka Allah SWT
Seorang muslim yang mempergunjingkan saudaranya dalam hal bukan ghibah yang diperbolehkan, sama saja artinya ia telah menghina makhluk ciptaan Allah. Selain itu, ia juga telah melanggar larangan Allah SWT, sehingga pantas jika ia mendapat kemarahan dan kemurkaan dari Allah SWT. Tiada ada balasan kepada orang yang mendapat kebencian daripadanAllah SWT kecuali siksa neraka.
2. Hatinya menjadi keras
Ghibah yang buruk itu dimana bibirnya terasa seperti diberi manisnya madu sehingga sangat senang ketika membicarakan keburukan orang lain. Tidak jarang diiringi dengan kata-kata yang tidak pantas atau umpatan. Dalam keadaan begini, bukan Allah yang berada di hatinya, melainkan iblis yang turut bersarang di hati bahkan di bibirnya. Tiada ada kebaikan atau keberkahan yang ia peroleh melainkan dosa.
3. Memicu terjadinya pertikaian dan perpecahan
Tidak ada yang senang ketika aibnya diumbar-umbar kepada khalayak. Sedangkan mereka yang berghibah, artinya telah membeberkan sesuatu yang mungkin saja memalukan dan sangat dirahasiakan. Saat hal demikian terjadi, tak jarang timbul rasa kebencian yang akhirnya berujung pada permusuhan, pengrusakan, perkelahian, bahkan sampai tindak kejahatan pembunuhan.
Andai kata dendam itu hanya dipendam sekalipun, pasti akan membuat hubungan di antara keduanya menjadi renggang karena menyimpan perasaan tidak suka satu sama lain.
4. Berani berbuat maksiat
Orang yang senang bergunjing berarti senang berbuat maksiat. Ia tidak malu menceritakan aib saudaranya kepada orang lain bahkan ia justru merasa bangga karena telah berhasil mempermalukan orang yang ia gunjing. Tidak ada lagi rasa segan dan takut dalam berbuat dosa, maka tidak menutup kemungkinan perbuatan maksiat lainnya juga akan ia lakukan.
5. Melenyapkan amal ibadah seorang mukmin
Dengan mengghibah, sebenarnya tanpa sadar seseorang sudah menghapuskan sendiri kebaikan-kebaikan yang ia miliki. Dengan kata lain, ghibah dapat melenyapkan amal ibadah.
6. Amal ibadah ditolak Allah
Ghibah juga menjadi penyebab mengapa amal ibadah seseorang tidak diterima di sisi Allah SWT.
7. Allah menjadi murka
Ghibah menjadikan Allah murka sehingga Ia meninggalkan orang tersebut dan tidak lagi melindunginya. Dalam keadaan demikian, adalah iblis menjadi lebih mudah dalam mempengaruhi manusia sehingga ia pun semakin gencar berbuat maksiat sekaligus semakin jauh dari Allah SWT.

Marah dalam Islam




Marah dalam Islam


Akhir-akhir ini beberapa orang kerap kali menganggap bahwa marah adalah salah satu perilaku yang diperbolehkan, atau bahkan sangat dianjurkan dalam Islam, ketika agama Allah mendapatkan celaan, sindiran atau hinaan. Bagaimana sebenarnya Nabi Muhammad, sebagai simbol utama agama Islam, mengekspresikan kemarahannya.
Imam Abu Zakaria al-Nawawi (631-676 H), telah menghimpun beberapa riwayat hadis yang khusus memotret persoalan akhlak dan adab Nabi Muhammad SAW. Riwayat-riwayat tersebut ia kumpulkan dari beberapa penulis hadis kenamaan seperti Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad. Ia mengumpulkannya dalam karyanya Riyadh al-Shalihin.
Dalam Riyadh al-Shalihin terdapat bab yang membahas tentang kemarahan Nabi yang timbul dari dirusaknya kehormatan syariat dan untuk memenangkan agama Allah. Di bab tersebut ditampilkan empat riwayat hadis. Pertama adalah hadis diriwayatkan oleh ‘Amr al-Badri, tentang seorang sahabat yang menceritakan kisah Nabi yang marah:
“Aku tidak pernah melihat Nabi SAW marah semarah itu dalam salah satu nasihatnya, -kecuali ketika ia berbicara tentang seorang sahabat yang memanjangkan bacaannya ketika ia menjadi imam-, Nabi SAW bersabda: ‘Wahai umat manusia! Ada di antara kalian yang kabur karena jera, oleh sebab itu barang siapa di antara kalian yang menjadi imam ketika salat, maka hendaklah ia meringankan salatnya karena di belakang kalian bermakmum berbagai macam orang. Ada yang tua renta, ada yang masih muda, dan ada yang memiliki kebutuhan mendesak.’”
Riwayat kedua adalah ketika Aisyah RA kedapatan memasang penutup kain yang terdapat gambar berhala. Mengetahui hal tersebut sebagaimana dituturkan oleh ‘Aisyah, Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai ‘Aisyah, orang yang paling pedih siksaannya di akhirat nanti di hadapan Allah adalah orang-orang yang membuat sesuatu yang menyerupai ciptaan Allah.” Pada riwayat kedua ini tidak nampak kemarahan Rasulullah sebagaimana riwayat pertama, hanya saja Nabi menyampaikan teguran kerasnya kepada ‘Aisyah RA.
Riwayat ketiga, adalah kemarahan Nabi SAW ketika terdapat seorang perempuan, yakni perempuan dari kabilah Makhzum kedapatan mencuri, dan hendak mengajukan keringanan agar terbebas dari hukuman. Mendengar hal itu Nabi SAW berkhutbah.
“Sesungguhnya yang membuat orang-orang sebelum kalian binasa adalah, apabila orang-orang mulia di tengah-tengah mereka mencuri, mereka dibiarkan saja. Tapi jika orang yang lemah di antara mereka mencuri mereka akan menegakkan hukuman. Demi Allah, seandainya Fathimah puteri Muhammad mencuri, maka sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Keempat, riwayat yang terakhir ini adalah ketika Nabi SAW merasa kurang nyaman dengan beberapa kelakuan sahabat yang meludah ke arah kiblat. Ketika beliau menyaksikan dengan kedua mata beliau sendiri, beliau membersihkannya dan kemudian berkhutbah:
“Sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan salat, maka pada dasarnya ia sedang bermunajat kepada Tuhannya, Tuhannya saat itu berada di antara dia dan arah kiblat. Maka janganlah kalian meludah ke arah kiblat. Akan tetapi ke arah kiri atau di bawah kakinya.”
Setelah itu Nabi SAW mengambil ujung selendangnya dan meludah lalu membersihkannya dengan mengelapnya dengan ujung selendangnya yang lain, kemudian beliau mengatakan, “atau kalian juga bisa melakukan sebagaimana yang saya lakukan.”
Dijelaskan bahwa meludah ke kiri atau ke bawah kaki dapat dilakukan ketika berada di tempat selain masjid, adapun jika ia berada di masjid maka seyogyanya ia melakukannya di atas pakaiannya sendiri.
Jika diperhatikan, dari empat riwayat di atas, yang memiliki penekanan lebih terkait kemarahan Nabi SAW adalah riwayat ‘Amr al-Badri, yakni ketika Nabi melihat sahabat yang menyusahkan orang lain meskipun atas dasar kepentingan agama. Ketika kepentingan agama individual mengalahkan kepentingan sosial maka hal itu benar-benar dimurkai oleh Nabi SAW.
Tidak heran muncul kaidah dari para ulama yang mengatakan, “ibadah sosial lebih baik dari pada ibadah individual.” Nabi dalam riwayat tersebut juga tidak senang kepada sikap beberapa sahabat yang ketika menampilkan Islam sebagai sesuatu yang memberatkan umat Islam dan membuat orang-orang kehilangan rasa hormat kepada agama Islam, atau dalam hadis tersebut membuat orang-orang meninggalkan salat berjamaah di masjid.
Poin kedua adalah, ketika Nabi Muhammad menegur ‘Aisyah, beliau hanya menyampaikan teguran dan nasehat kepada ‘Aisyah ketika terdapat sesuatu yang melanggar syariat, tidak lebih dari itu.
Poin ketiga, adalah ketika hukum tidak dijalankan dengan semestinya. Ketika hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, Nabi SAW akan marah. Tapi apakah marah Nabi berlebihan? Tidak justru Nabi mencontohkan dengan sebaik-baiknya dengan mengatakan, bahwa jika keluargaku sendiri yang melanggar, maka aku sendiri yang akan menghukumnya. Semangat Nabi dalam riwayat ini adalah kesetaraan hukum bagi seluruh warga. Jika proses hukum berlaku bagi seorang, maka berlaku pula bagi orang lain.
Sementara pada poin terakhir, Nabi tidak menyukai sahabat yang tidak mengedepankan moral ketika mereka beribadah, berhadapan dan bermunajat kepada Allah SWT.
Dari keseluruhannya terlihat bahwa Nabi SAW ketika melihat sesuatu yang tidak sesuai, maka beliau akan berdiri dan memberikan nasehatnya. Bukan malah memaki atau pun membalas mereka dengan membabi buta. Ketika itu berkaitan dengan hukum, maka nabi mengadilinya dengan sebaik mungkin, namun Nabi juga memberikan contoh terbaiknya.
Dalam riwayat-riwayat tersebut juga kental terlihat bagaimana seorang muslim sudah selayaknya memiliki moral dalam banyak keadaan. Moral terhadap manusia atau masyarakat sosial, moral kepada syariatnya, moral kepada hukum dan moral kepada Tuhannya.

Iri Dengki Dalam Islam




Iri Dengki Dalam Islam


Manusia adalah makhluk sempurna yang diciptakan oleh Allah dengan berbagai kelebihan, yaitu akal dan hati. Akal digunakan untuk berpikir dan berkembang sedangkan hati fungsinya untuk merasakan dan menjaga akhlak seseorang. Dalam Islam, hati seseorang menjadi penentu akhlaknya, apabila seseorang memiliki hati yang baik, maka akhlaknya juga pasti baik. Dan sebaliknya, apabila seseorang memiliki hati yang buruk, maka akhlaknya pun pasti akan buruk.
Akhlak dalam Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu akhlak terpuji dan akhlak tercela atau buruk. Dan salah satu dari akhlak tercela adalah sifat iri dengki atau hasad.
Kata hasad berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah iri hati, atau dengki. Iri dengki adalah sebuah emosi yang timbul karena merasa kurang senang, kurag bersyukur dengan apa yang dimilikinya dan cemburu dengan apa yang didapatkan atau dimiliki oleh orang lain karena dia anggap hal tersebut lebih dari apa yang dimilikinya. Iri dengki merupakan sebuah sifat yang termasuk kedalam salah satu penyakit hati menurut Islam.
Iri Dengki Menurut Islam
Allah telah melarang umatnya untuk iri kepada sesamanya dalam hal kemewahan, dan kenikmatan dunia yang hanya sesaat, karena segala yang Allah berikan telah sesuai dengan usaha masing-masing hambanya.
Dalam sebuah ayat, Allah SWT. berfirman : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada sebahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa ayat 32)
Dalam firman-Nya, Allah SWT. melarang hambanya untuk berbuat iri dengki kepada sesamanya, baik itu laki-laki ataupun perempuan, karena masing-masing dari mereka mendapatkan bagian dari apa yang mereka usahakan. Hendaknya manusia selalau memohon karunia dari Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dan dalam sebuah hadist, dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah shallallah’ alaihi wa sallam bersabda : “Jagalah dirimu dari hasad, karena sesungguhnya hasad merusak kebaikan, sebagaimana api yang memakan kayu bakar.” (HR. Abu Daud)
Maksud dari hadits tersebut adalah, hasad adalah perbuatan yang dapat menghapus pahala kebaikan kita, itulah mengapa hasad disebut merusak kebaikan.
Dalam Islam kita memang tidak diperbolehkan untuk merasa iri hati terhadap kemewahan dan kenikmatan dunia yag dimiliki oleh orang lain. Namun, kita diperbolehkan merasa iri dalam perihal ilmu dan bersedekah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lallu dia belanjakan pada jalan yang benar (sedekah), dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksanaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits tersebut dapat kita ketahui, bahwa sebagai umat muslim kita hanya diperbolehkan untuk merasa iri dalam hal kebaikan, seperti iri dengan seseorang yang mempunyai ilmu lebih dari kita sehingga kita dapat termotivasi untuk belajar lebih giat. Perlu diingat, bahwa tidak ada batasan umur untuk menuntut ilmu bagi seseorang, meskipun orang tersebut telah berumur dan tidak sedang menempuh pendidikan. Dan dalam Islam, kita diperbolehkan iri dalam hal bersedekah, misalnya : ketika ada orang yang bersedekah lebih sering dari kita, hal tersebut diperbolehkan karena bersedekah merupakan perbuatan baik.
Lalu, apabila kita merasa kagum dengan apa yang menjadi milik orang lain, hendaklah berdoa memohon keberkahan kepada Allah SWT. agar terhindar dari rasa iri dengi. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’ alaihi wa sallam dalam hadits berikut ini :
“Apabila seseorang melihat dirinya, harta miliknya atau saudaranya, sesuatu yang menarik hatinya (dikaguminya) maka hendaklah dia mendoakannya dengan limpahan barokah. Sesungguhnya pengaruh iri adalah benar.” (HR. Abu Ya’la)
Dan orang yang memiliki dengki dalam hatinya menurut Islam adalah apabila melihat orang lain senang ia merasa susah hati dan gelisah. Dan apabila dia mellihat orang lain susah, maka ia merasa senang. Perbuatan dengki dapat membuat orang yang menderita penyakit hati tersebut melakukan perbuatan tercela terhadap orang yang dia dengki, misalnya : memfitnah orang yang dia dengki, menggibahkan orang yang dia benci, dan lain sebagainya.
Perbuatan iri dengki selain termasuk ke dalam akhlak tercela, namun juga termasuk ke dalam ciri-ciri orang munafik menurut Islam dan merupakan salah satu tanda ciri-ciri akhir zaman. Dan untuk menjaga hati dalam Islam dan menyembuhkan penyakit hati, Allah telah menyediakan obatnya. Obat hati dalam Islam adalah dengan membaca Al-Qur’an dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT., agar hati dan pikiran senantiasa merasa tenang.

Mengenal Syirik Ashghar (Syirik Kecil)




Mengenal Syirik Ashghar (Syirik Kecil)


Karena kebodohan kita, seringkali kita meremehkan perbuatan dosa tertentu padahal perbuatan tersebut sangat besar nilainya (dosanya) di sisi Allah Ta’ala. Di antara bentuk dosa yang seringkali luput dari perhatian kita adalah syirik ashghar. Beberapa bentuk syirik ashghar sangat berkaitan dengan amalan hati, sehingga mungkin tidak tampak secara nyata dalam bentuk amal lahiriyah yang bisa dilihat.
Bisa jadi seseorang tanpa sadar terjatuh ke dalam syirik ashghar karena tidak memperhatikan ke manakah hatinya condong, kepada Allah atau kepada selain Allah? Kesyirikan adalah perbuatan dosa yang sangat samar dan tersembunyi. Bisa jadi kita telah terjerumus ke dalam perbuatan syirik tanpa kita sadari karena kebodohan kita sendiri. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
الأَنْدَادُ هُوَ الشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ عَلَى صَفَاةٍ سَوْدَاءَ، فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ
“(Menjadikan) ‘andaad’ [sekutu-sekutu] adalah berbuat syirik, (dosa) yang lebih samar daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam dalam kegelapan malam.” [1]
Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini, kami ingin menjelaskan sedikit tentang syirik ashghar , sehingga kita tidak serta merta meremehkan bentuk dosa yang satu ini. [2] Syirik Akbar vs Syirik Ashghar
Syirik kepada Allah Ta’ala dibagi menjadi dua macam, yaitu syirik akbar dan syirik ashghar. Syirik akbar adalah perbuatan syirik yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam, menghapuskan seluruh amal, dan pelakunya kekal di neraka. Sedangkan syirik ashghar, maka tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, meskipun mengurangi derajat tauhid seseorang. Syirik ashghar hanya menghapus amal yang tercampur dengan syirik ashghar tersebut (bukan semua amal) dan tidak terancam kekal di neraka.
Adapun pengertian syirik ashghar, maka terdapat dua pendapat di kalangan para ulama. Pendapat pertama, syirik ashghar adalah segala sesuatu yang disebut dengan istilah syirik oleh dalil-dalil syariat, namun terdapat juga dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut tidak termasuk ke dalam syirik akbar. Contohnya, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah berbuat syirik.” [3]
Yang dimaksud dengan syirik dalam hadits tersebut adalah syirik ashghar, karena terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa semata-mata bersumpah dengan selain Allah Ta’ala tidaklah mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
Pendapat kedua, syirik ashghar adalah setiap sarana atau jalan menuju syirik akbar, meskipun syariat tidak menyebutnya dengan istilah syirik [4]. Contohnya, seseorang bersandar kepada sesuatu sebagaimana dia bersandar kepada Allah Ta’ala, akan tetapi dia tidak menjadikan sesuatu tersebut sebagai sesembahannya. Maka ini adalah syirik ashghar, karena penyandaran hati ini –yang persis dengan bersandarnya hati kepada Allah Ta’ala- pada akhirnya akan menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam syirik akbar.
Definisi yang kedua ini lebih luas daripada definisi yang pertama karena pendapat pertama tidak memasukkan suatu perbuatan sebagai kesyirikan kecuali jika terdapat dalil yang menyebutkan bahwa perbuatan tersebut adalah syirik, sedangkan pendapat ke dua menjadikan seluruh perbuatan yang merupakan sarana kesyirikan (menuju syirik akbar) sebagai syirik ashghar.
Apakah Syirik Ashghar mungkin Diampuni Tanpa Taubat?
Lalu, di antara kedua bentuk syirik tersebut, manakah yang tidak diampuni apabila seseorang tidak bertaubat sampai meninggal dunia?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa dosa syirik tidak diampuni oleh Allah Ta’ala apabila seseorang tidak bertaubat sampai meninggal dunia, meskipun syirik ashghar. Hal ini karena termasuk dalam kandungan firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisa’ [4]: 48).
Menurut beliau rahimahullah, “dosa syirik” dalam firman Allah Ta’ala tersebut bersifat umum, mencakup baik syirik akbar maupun syirik ashghar. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “dosa syirik” dalam ayat tersebut adalah syirik akbar. Adapun syirik ashghar, maka ada kemungkinan diampuni karena tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Hal ini karena seluruh dosa yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam statusnya terserah pada kehendak Allah Ta’ala. Jika Allah Ta’ala menghendaki, akan diampuni. Dan jika Allah Ta’ala menghendaki, tidak akan diampuni. [5]
Meskipun demikian, pelaku syirik ashghar berada dalam bahaya yang amat nyata karena tingkatan dosa syirik ashghar tersebut “lebih besar” daripada dosa besar yang paling besar (akbarul kabaa-ir), seperti mencuri, berzina, membunuh, dan lain-lain. Apalagi jika dosa syirik ashghar itu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لأَنْ أَحْلِفَ بِاللهِ كَاذِباً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ صَادِقاً
“Bersumpah bohong dengan menyebutkan nama Allah lebih aku sukai daripada bersumpah jujur tetapi dengan menyebutkan nama selain-Nya.” [6]
Hal ini karena dosa bersumpah dengan selain Allah Ta’ala (yang termasuk syirik ashghar) lebih berat dosanya daripada dosa berbohong (sumpah palsu). Oleh karena itu, kita tidak boleh meremehkan bentuk dosa yang satu ini (syirik ashghar), bahkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari apa yang aku takutkan menimpa kalian adalah syirkul ashghar (syirik kecil).” Maka para shahabat bertanya, ”Apa yang dimaksud dengan syirkul ashghar?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab,“Ar-riya’.” [7]
Di antara bentuk usaha yang harus kita lakukan adalah dengan mempelajari rincian dosa syirik ashghar sehingga kita senantiasa waspada dan tidak terjerumus ke dalamnya. [8]
Catatan kaki:
[1] Tafsir Ibnu Katsir, 1/196.
[2] Pembahasan ini disarikan dari Al-Qoulul Mufiid, 1/206-208.

Keutamaan Membaca Shalawat




Keutamaan Membaca Shalawat


Keutamaan Membaca Shalawat
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ
“Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anjuran memperbanyak shalawat tersebut[2], karena ini merupakan sebab turunnya rahmat, pengampunan dan pahala yang berlipatganda dari Allah Ta’ala[3].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
Banyak bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan tanda cinta seorang muslim kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam[4], karena para ulama mengatakan: “Barangsiapa yang mencintai sesuatu maka dia akan sering menyebutnya”[5].
Yang dimaksud dengan shalawat di sini adalah shalawat yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih (yang biasa dibaca oleh kaum muslimin dalam shalat mereka ketika tasyahhud), bukan shalawat-shalawat bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang datang belakangan, seperti shalawat nariyah, badriyah, barzanji dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya. Karena shalawat adalah ibadah, maka syarat diterimanya harus ikhlas karena Allah Ta’ala semata dan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [6]. Juga karena ketika para sahabat radhiyallahu ‘anhum bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Wahai Rasulullah), sungguh kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, maka bagaimana cara kami mengucapkan shalawat kepadamu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ucapkanlah: Ya Allah, bershalawatlah kepada (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau…dst seperti shalawat dalam tasyahhud[7].
Makna shalawat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia memuji dan mengagungkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat, di dunia dengan memuliakan penyebutan (nama) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, memenangkan agama dan mengokohkan syariat Islam yang beliau bawa. Dan di akhirat dengan melipatgandakan pahala kebaikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, memudahkan syafa’at beliau kepada umatnya dan menampakkan keutamaan beliau pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk[8].
Makna shalawat dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah limpahan rahmat, pengampunan, pujian, kemualian dan keberkahan dari-Nya[9]. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari Allah Ta’ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya
,{هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا}
“Dialah yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS al-Ahzaab:43).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[1] HR an-Nasa’i (no. 1297), Ahmad (3/102 dan 261), Ibnu Hibban (no. 904) dan al-Hakim (no. 2018), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, juga oleh Ibnu hajar dalam “Fathul Baari” (11/167) dan al-Albani dalam “Shahihul adabil mufrad” (no. 643).

Berdzikir dalam Setiap Keadaan




Berdzikir dalam Setiap Keadaan


Allah Ta’ala berfirman,
إنَّ في خَلْقِ السَّماوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي الأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring.” (QS. Ali Imran: 190-191)
Faedah Ayat
Qatadah rahimahullah mengatakan, “Inilah keadaanmu wahai manusia. Ingatlah Allah ketika berdiri. Jika tidak mampu, ingatlah Allah ketika duduk. Jika tidak mampu, ingatlah Allah ketika berbaring. Inilah keringanan dan kemudahan dari Allah.” (Dinukil dari Tafsir Az-Zahrawain, hlm. 846)
Hadits #1444
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdzikir (mengingat) Allah pada setiap waktunya.” (HR. Muslim) [HR. Bukhari, no. 19 dan Muslim, no. 737] Faedah Hadits
Dzikir bisa dilakukan dalam keadaan apa pun sesuai keadaan seseorang. Ini sekaligus kritikan kepada orang sufi (tasawwuf) yang berdzikir mesti dengan membuat ritual tertentu, seperti dengan dansa, lompat-lompat, dan dengan alat musik. Ini semua termasuk amalan yang tidak ada petunjuknya dalam agama kita.
Lafaz “Allah, Allah, Allah” yang disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal) yang diucapkan dalam rangka ibadah termasuk amalan yang menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak pernah dilakukan oleh beliau dan para sahabatnya.
Seorang muslim yang baik adalah yang tidak lalai dari berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaan. Hadits ini menjadi dalil bagi sebagian ulama seperti ulama Malikiyyah mengenai bolehnya membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh dan nifas. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambali menyatakan haramnya membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh dan nifas. Hadits larangan yang menjadi dukungan adalah,
لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
“Janganlah wanita haidh dan orang junub membaca Al-Qur’an sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi, no. 131 dan Ibnu Majah, no. 595. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if).
Para ulama empat madzhab sepakat bahwa haram bagi orang yang junub membaca Al-Qur’an. Dalil pendukungnya adalah hadits berikut dari ‘Ali bin Abi Thalib,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ لا يَحْجُبُهُ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جُنُبًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang dari membaca Al-Qur’an sedikit pun juga kecuali dalam keadaan junub.” (HR. Ibnu Hibban, 3:79; Abu Ya’la dalam musnadnya, 1:400. Husain Salim Asad menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Abul Hasan Al-Mawardi menyatakan bahwa haramnya membaca Al-Qur’an bagi orang yang junub sudah masyhur di kalangan para sahabat Nabi, sampai hal ini tidak samar lagi bagi mereka baik di kalangan laki-laki maupun perempuan.” (Al-Hawi Al-Kabir, 1:148)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari empat madzhab dan lainnya, orang junub dilarang membaca Al-Qur’an sebagaimana ada hadits yang mendukung hal ini.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 17:12)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh menyatakan, “Wajib bagi yang junub untuk mandi sebelum membaca Al-Qur’an. Karena membaca Al-Qur’an bagi orang yang junub itu diharamkan menurut pendapat paling kuat. Tidak boleh membaca Al-Qur’an sedikit pun dengan niatan untuk qira’ah (membaca) ketika dalam keadaan junub.” Sedangkan membaca dzikir bagaimana ketika junub?
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah dalam Fath Al-Bari-nya berkata, “Ini adalah dalil bahwa dzikir tidaklah terhalang karena hadats dan junub. Namun dalil yang menyatakan ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdzikir (mengingat) Allah pada setiap waktunya’ bukanlah dalil bahwa membaca Al-Qur’an itu boleh bagi orang yang junub. Karena dzikir karena disebut secara mutlak bukanlah yang dimaksudkan itu Al-Qur’an.”
Lalu bagaimana dengan orang yang junub sebelum tidur bolehkah membaca dzikir yang berisi ayat Al-Qur’an seperti ayat kursi, surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas? Syaikh Dr. Khalid Al-Mushlih hafizahullah, salah seorang murid senior Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan masih bolehnya hal ini karena niatannya untuk berdzikir (bukan tilawah Al-Qur’an)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin juga ditanya mengenai hukum membaca Al-Qur’an bagi orang junub. Jawaban beliau rahimahullah adalah tidak boleh. Karena ada hadits yang melarang. Adapun kalau ia membaca Al-Qur’an dengan maksud doa, seperti membaca “ALHAMDULILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN” atau ia berdoa “ROBBANAA LAA TUZIGH QULUUBANAA BA’DA IDZ HADAYTANAA WAHAB LANAA MILLADUNKA ROHMAH, INNAKA ANTAL WAHHAAB”, maka tidaklah mengapa. Namun kalau maksudnya tilawah dalam membaca ayat tadi, maka tidaklah boleh. (Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh, no. 108, pertanyaan no. 9, 5:308-309)
Referensi:
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah.

Bacaan Zikir pagi dan petang




Bacaan Zikir pagi dan petang


BACAAN DZIKIR PAGI DAN PETANG
Berikut ini secara ringkas diantara bacaan dzikir di waktu pagi dan petang. Boleh dibaca yang manapun dan tidak harus berurutan. Perlu diketahui masih banyak bacaan yang lainnya yang diriwayatkan dari Nabi.
Pertama, banyak membaca tasbih.
Sebagaimana Firman Allah ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut Nama) Allah dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42). Lihat pula QS Al Mu’min 55 dan Qaaf 39.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa mengucapkan di waktu pagi dan petang: “Subhanallah wa bihamdih“; seratus kali tidak ada seorangpun di hari kiamat yang datang membawa suatu kebaikan yang lebih baik darinya, kecuali orang yang mengucapkan hal yang sama atau lebih dari itu“. (HR. Muslim 2692)
Kedua, membaca Al Ikhlash, Al Falaq dan An Nas (3x) (HR. Abu Dawud 5082 dan Tirmidzi 3575, dihasankan Albani)
Ketiga, ketika pagi membaca (1x):
أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ
“Kami telah memasuki waktu pagi dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Bagi-Nya kerajaan dan bagiNya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala se-suatu. Hai Tuhan, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Tuhan, aku berlindung kepadaMu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Tuhan! Aku berlindung kepadaMu dari siksaan di Neraka dan kubur.”
Ketika sore membaca (1x):
أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ للهِ، وَالْحَمْدُ للهِ، لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ
“Kami telah memasuki waktu sore dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji hanya milik Allah. Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Wahai Rabb, aku mohon kepada-Mu kebaikan di malam ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan malam ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabb, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabb, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di Neraka dan siksaan di kubur.” ( Lihat HR. Muslim 2723)
Keempat, ketika pagi membaca (1x):
اَللَّهُمَّ بِكَ أَصْبَحْنَا، وَبِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ النُّشُوْرُ
“Ya Allah, dengan rahmat dan pertolonganMu kami memasuki waktu pagi, dan dengan rahmat dan pertolonganMu kami memasuki waktu sore. Dengan rahmat dan pertolonganMu kami hidup dan dengan kehendakMu kami mati. Dan kepadaMu kebangkitan (bagi semua makhluk).”
Ketika sore membaca (1x):
اَللَّهُمَّ بِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ أَصْبَحْنَا، وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ.
“Ya Allah, dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu sore dan dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu pagi. Dengan rahmat dan kehendak-Mu kami hidup dan dengan rahmat dan kehendak-Mu kami mati. Dan kepada-Mu tempat kembali (bagi semua makhluk).” (HR. Tirmidzi 3391, Abu Dawud 5068, Ibnu Majah 3868. Dishahihkan Albani)
Kelima, membaca sayyidul istighfar (1x):
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.
“Ya Allah! Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakan aku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.” (HR. Bukhari 6306)
Keenam, membaca (3x):
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا
“Aku rela (ridha) Allah sebagai Rabb-ku (untukku dan orang lain), Islam sebagai agamaku dan Muhammad صلي الله عليه وسلم sebagai Nabiku (yang diutus oleh Allah).” (HR Ahmad 4/337 dan Tirmidzi 3389, dia berkata hasan gharib)
Ketujuh, membaca (1x):
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Wahai Rabb Yang Maha hidup, Wahai Rabb Yang Maha berdiri sendiri (tidak butuh segala sesuatu) dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan (urusanku) kepada diriku sendiri meskipun hanya sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” (HR. Hakim dan lainnya. Albani mengatakan sanadnya hasan, Silsilah Shahihah 227)
Maraji’: Tuhfatul Akhyar dan Hisnul Muslim

Keutamaan dan Fadilah Membaca Al-Quran




Keutamaan dan Fadilah Membaca Al-Quran


MEMBACA Al-Quran bagi setiap Muslim merupakan kebutuhan yang tak dapat dihindari. Quran sudah disebutkan menjadi pedoman hidup setiap Muslim. Untuk itu, membacanya menjadi ibadah tersendiri.
Berikut ini beberapa fadhilah atau keutamaan melaksanakan, membaca dan membaguskan suara ketika membacanya.
Fadhilah Orang yang Melaksanakan Ajaran Al-Quran.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu `anhu dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam , ia bersabda : “Tidak dibenarkan iri hati kecuali kepada dua orang; seorang lelaki yang dikaruniai Allah hapalan Al Qur’an maka ia membacanya sepanjang malam dan siang, dan seorang lelaki yang diberi Allah harta lalu ia menginfakkannya sepanjang malam dan siang”. (HR. Muttafaq ’alaih)
Fadhilah Membaguskan Suara Saat Membaca Al Quran .
Dari Abu Huraira r.a, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda : “Allah tidak mendengar sesuatu seperti Ia mendengar seorang nabi yang bersuara bagus melantunkan Al Qur’an dengan nyaring”. (HR. Muttafaq’alaih)
Fadhilah Surat Al Fatihah.
Dari Raafi’ bin Al Mu’ala r.a, ia berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau mengatakan “Aku mengajarimu surat yang paling agung dalam Al Qur’an”, ia bersabda, ini adalah tujuh ayat yang Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam”, (HR. Bukhari)
Wasiat Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Dari Thalhah , ia berkata : ” aku bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa, “apakah ada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berwasiat ? dia berkata : “tidak”. Aku berkata,” bagaimana mungkin orang – orang diwajibkan berwasiat, sedangkan beliau tidak berwasiat ? dia berkata ,” beliau berwasiat dengan kitabullah”. (HR. Muttafaq‘alaih)
Fadhilah Membaca Al Quran.
Dari Abu Umamah r.a , ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah Al Qur’an karena di hari kiamat ia datang memberi syafaat pada orang yang membacanya. Bacalah Az Zahrawain, yaitu; surat Al-Baqarah dan Ali Imran, nanti di hari kiamat kedua surat tersebut datang bagaikan dua gumpalan awan, atau bagaikan dua rombongan burung yang terbang membentangkan sayapnya , membela orang yang selalu membacanya, bacalah surat al Baqarah, karena membacanya membawa keberkahan, dan meninggalkannya adalah penyesalan, dan tukang sihir tidak mampu menyihir orang yang membacanya”. [HR. Muslim.]
Dari Abu Hurairah r.a , ia berkata : “Rasulullah shallallahu`alaihi wasallam bersabda, “ Sukakah salah seorang kamu apabila kembali ke rumahnya mendapati tiga ekor unta gemuk besar yang sedang hamil ? kami berkata: tentu. Beliau bersabda,” sesungguhnya tiga ayat yang yang dibaca saat shalat lebih baik baginya daripada tiga ekor unta gemuk besar yang sedang hamil”. (H.R. Muslim.)
Dari Abdullah bin Amru r.a, dari Nabi SAW, ia bersabda : “Kelak akan dikatakan kepada orang yang mengamalkan Al Qur’an : “Bacalah sambil naik (tangga surga), dan bacalah dengan tartil seperti engkau membacanya dahulu di dunia dengan tartil karena sesungguhnya tempatmu di akhir ayat yang engkau baca”. (HR. Abu Daud dan Tirmizi).

Adab-adab Berziarah ke Makam Nabi




Adab-adab Berziarah ke Makam Nabi


Ketika berziarah ke makam Nabi Saw., harus memperhatikan adab yang benar agar mendapat pahala dan kebaikan dari Allah. Dalam kitab Almajmu Syarh Almuhadzdzab, Imam Nawawi menyebutkan beberapa adab yang disunahkan saat berziarah ke makam Nabi Saw. sebagai berikut:
Pertama, memperbanyak membaca salawat dan salam kepada Nabi Saw. saat menuju ke makam Nabi Saw. Kedua, saat menuju ke makam Nabi Saw., hendaknya berdoa kepada Allah agar ziarahnya bermanfaat dan diterima oleh-Nya. Ketiga, mandi sebelum masuk makam Nabi Saw. dan memakai baju yang paling bersih. Keempat, menghadirkan hati atas kemuliaan kota Madinah dan bahwa Madinah adalah tempat paling utama setelah Makkah.
Kelima, sejak awal kedatangan, hendaknya peziarah mengagungkan Rasulullah Saw. seakan melihatnya. Keenam, ketika sampai ke pintu Masjid Nabawi, maka hendaknya mengucapkan bacaan yang disunahkan dalam memasuki setiap masjid yaitu:
بسم الله، والصلاة والسلام على رسول الله، اللهم افتح لي أبواب رحمتك أعوذ بالله العظيم، وبوجهه الكريم، وسلطانه القديم من الشيطان الرجيم
Bismillah wash sholatu was salamu ‘ala Rasulillah. Allahummaftahli abwaba rohmatik. A’udzubillahil adzim wa biwajhihil karim wasulthonihil qodim minasy syaitonir rojim.
Ketujuh, mendahulukan kaki kanan saat masuk Masjid Nabawi, dan mendahulukan kaki kiri saat keluar sebagaimana tatacara ketika masuk dan keluar di masjid yang lain. Kedelapan, ketika masuk masjid, maka peziarah mengarah ke Raudhah, yaitu tempat antara makam dan Mimbar Masjid Nabawi, lalu melaksanakan salat tahitul masjid di samping mimbar. Kesembilan, setelah salat tahiyatul masjid, peziarah mendekati makam dan disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada Nabi Saw., sahabat Abu Bakar dan Umar:
السلام عليك يا رسول الله ورحمة الله وبركاته، السلام عليك يا أبا بكر، السلام عليك يا عمرابن الخطاب
Assalamu ‘alaika Ya Rasulallah warohmatullohi wabarokatuh. Assalamu alaika Ya Aba Bakr. Assalamu alaika Ya Umar bin Alkhotthob.
Kesepuluh, setelah itu, peziarah dapat membaca doa di dekat makam Rasulullah Saw. sesuai yang diinginkannya.

Ziarah Ke Makam Rasulullah SAW di Madinah




Ziarah Ke Makam Rasulullah SAW di Madinah


Ziarah Ke Makam Rasulullah SAW di Madinah. Pada saat berziarah ke makam Muhammad SAW ada sebuah getaran kuat yang kita rasakan. Getaran tersebut menyerupai saat kita berada didepan Multazam, pintu Ka’bah. Di bagian awal bab sudah kuceritakan, bahwa kita tidak kuasa menahan haru dan gembira. Tanpa terasa air mata membasahi pipi sebagai tanda bangga dan bahagia. Mimpi untuk berziarah ke makam Nabi sudah tersampaikan. Shalawat dan salam kuhaturkan kepada baginda Muhammad SAW.
Setiap muslim yang berziarah ke makam beliau hampir bisa dipastikan juga merasakan hal yang sama. Sebuah perjumpaan yang dapat mengisi ruang batin yang haus akan sentuhan ruhani dalam rangka memperbarui Iman, Islam, dan Ihsan. Ketiga ajaran tersebut merupakan inti dari tuntunan yang dibawa Muhammad SAW. Ketika berziarah ke makam beliau, semuanya hadir dalam waktu bersamaan.
Berziarah ke makam Nabi mempunyai kenikmatan tersendiri. Utamanya kenikmatan batin, yang tidak mudah didapatkan ditempat lain, kecuali di Ka’bah. Sebab itu, barangsiapa mendapat “panggilan” untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah, Nabi juga mengundang agar berziarah ke Masjid Nabawi, yang dulunya juga menjadi tempat tinggal Nabii selama di Madinah. Jika dulu, rumah Nabi terpisah dengan Masjid Nabawi, sekarang rumah tersebut sudah menjadi satu dalam area Masjid Nabi. Makam Nabi terdapat didalam lingkungan masjid.
Sebab itu, berziarah ke Masjid Nabawi diantara daya tariknya adalah berziarah ke makam Nabi. Apalagi kalangan Sunni yang meyakini ziarah makam Nabi sebagai sebuah keutamaan, ada sentuhan batin dan pengalaman spiritual yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Berziarah ke makam para ulama saleh adalah keutamaan, apalagi ke makam Muhammad SAW yang telah membawa ajaran Islam dengan segala perjuangan dan pengorbanannya.
Di pesantren, pelajaran tentang perjalanan hidup Nabi (al-sirah al-nabawiyyah) merupakan pelajaran utama. Sejak tahun-tahun pertama, kita dikenalkan dengan perjalanan hidup Nabi sejak sebelum lahir hingga meninggal dunia di Madinah. Kiai Idris Jauhari adalah kiai yang kita banggakan, karena dari buku beliaulah kita mengerti secara detail tentang perjalanan hidup Nabi.
Intinya, mengenal perjalanan hidup Nabi merupakan sebuah petualangan intelektual yang mencerahkan. Setiap gerak, ucapan, dan kebijakan Nabi merupakan teladan yang sangat baik, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, Sungguh bagi kalian dalam diri Rasulullah SAW terdapat teladan yang baik (QS. Al-Ahzab [33]: 21).
Sembilan tahun kemudian kita mendapatkan panggilan untuk berziarah ke makam Nabi. Sebuah kesempatan emas yang harus digunakan sebaik mungkin agar pengenalan dan pemahaman yang menghujam kuat dalam sanubariku menjelma sebagai tuntunan hidup dan sumber inspirasi. Bagiku yang dibesarkan dalam tradisi Nahdlatul Ulama, ziarah ke makam Nabi akan memberikan tambahan nilai yang sangat berharga untuk senantiasa mengikuti ajarannya yang lurus dan toleran (al-hanifiyyah al-samhah).
Berziarah ke makam Nabi hakikatnya dalam rangka menghadirkan kembali makna-makna yang dapat mengisi kehidupan pada kedamaian dan keadaban publik. Salah satu makna tersebut adalah pentingnya ilmu. Saat berziarah ke makam Nabi, posisiku sebagai mahasiswa Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, yang sedang terhanyut dalam lautan ilmu merupakan fondasi yang sangat penting untuk mengayuh perahu di samudera peradaban yang amat luas. Apalagi pada masa modern yang salah satu ukurannya adalah ilmu pengetahuan.
Berziarah ke makam Nabi dengan subyektivitas personal yang terlibat langsung dengan sejarah dan ajarannya memberikan harapan yang sangat berarti. Pengalaman berziarah telah menyisakan sebuah kenangan indah, yaitu perjumpaan batin yang tidak akan pernah terlupakan.

Keutamaan kota Mekah




Keutamaan kota Mekah


Tanah haram jika dimutlakkan secara umum yang dimaksudkan adalah tanah Haram Makkah. Inilah tanah yang dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika disebut Haromain, maka yang dimaksudkan adalah Makkah dan Madinah. Ibnu Qayyim Al Jauziyah menyebutkan dalam Zaadul Ma’ad, “Allah Ta’ala telah memilih beberapa tempat dan negeri, yang terbaik serta termulia adalah tanah Haram. Karena Allah Ta’ala telah memilih bagi nabinya –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan menjadikannya sebagai tempat manasik dan sebagai tempat menunaikan kewajiban. Orang dari dekat maupun jauh dari segala penjuru akan mendatangi tanah yang mulia tersebut.”
Selain Madinah, kota suci umat Islam adalah Makkah. Keduanya berada di wilayah Arab Saudi. Orang yang berziarah ke Madinah, biasanya juga berkunjung ke Makkah.
Baik umrah maupun haji. Beberapa keutamaan Madinah, juga dimiliki Makkah. Misalnya keduanya termasuk tanah haram, kota yang aman dan tempat berlindung dari Dajjal.
Namun Makkah punya kelebihan di banding Madinah. Di Makkah berdiri masajid tertua di dunia. Abu Dzar al Ghifari bertanya, “Masjid apakah yang pertama kali dibangun di muka bumi?” Rasulullah menjawab, “Masjidil Haram.”
Abu Dzar bertanya lagi, “Lantas masjid apa?” Rasulullah menjawab, “Masjidil Aqsha.” Berapa lama jarak pembangunan kedua masjid itu? “Empat puluh tahun,” kata Rasulullah. (HR: Bukhari).
Dibanding kota lain, Allah memberi keistimewaan pada Makkah.
Sebagaimana Allah menyebutkan mengenai do’a Nabi Allah –kholilullah (kekasih Allah)- Ibrahim ‘alaihis salam;
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Dajjal akan muncul dan menelusuri muka bumi. Tidak ada satu negeri pun melainkan Dajjal akan mampir di tempat tersebut kecuali Kota Makkah dan Madinah karena malaikat akan menjaga dua kota tersebut.
Dajjal tidak akan memasuki kedunya hingga akhir zaman. Dalam hadits Fathimah bin Qois radhiyallahu ‘anha disebutkan bahwa Dajjal mengatakan,
فَأَخْرُجَ فَأَسِيرَ فِى الأَرْضِ فَلاَ أَدَعَ قَرْيَةً إِلاَّ هَبَطْتُهَا فِى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً غَيْرَ مَكَّةَ وَطَيْبَةَ فَهُمَا مُحَرَّمَتَانِ عَلَىَّ كِلْتَاهُمَا كُلَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَدْخُلَ وَاحِدَةً أَوْ وَاحِدًا مِنْهُمَا اسْتَقْبَلَنِى مَلَكٌ بِيَدِهِ السَّيْفُ صَلْتًا يَصُدُّنِى عَنْهَا وَإِنَّ عَلَى كُلِّ نَقْبٍ مِنْهَا مَلاَئِكَةً يَحْرُسُونَهَا
“Aku akan keluar dan menelusuri muka bumi. Tidaklah aku membiarkan suatu daerah kecuali pasti aku singgahi dalam masa empat puluh malam selain Makkah dan Thoybah (Madinah Nabawiyyah). Kedua kota tersebut diharamkan bagiku. Tatkala aku ingin memasuki salah satu dari dua kota tersebut, malaikat menemuiku dan menghadangku dengan pedangnya yang mengkilap. Dan di setiap jalan bukit ada malaikat yang menjaganya.” (HR. Muslim no. 2942)
Makkah di masa lalu
Makkah adalah kota yang dilindungi Allah dari kerusakan dan kepunahan populasinya.
Sebagaimana disabdakan Rasulullah tentang Harāmnya berburu saat berihram:
“Sesungguhnya tanah ini telah di-Haram-kan oleh Allah, maka tidak boleh ditebang tumbuhannya, tidak boleh diburu hewan buruannya, dan tidak boleh dipungut satupun barang yang hilang padanya, kecuali orang yang mencari pemiliknya.” (HR Bukhari).
Ketika Allah menundukkan kota Makkah untuk Rasulullah, beliau berdiri di tengah orang-orang, lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda: “Sesungguhnya Allah telah melindungi kota Shalallahu ‘Alaihi Wassallam Makkah dari pasukan gajah dan menguasakannya kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan sesungguhnya kota ini tidak halal bagi seorang pun sebelumku, ia hanya dihalalkan bagiku sebentar pada waktu siang, dan tidak dihalalkan bagi seorang pun setelahku. Oleh karena itu, binatang buruan yang ada di dalamnya tidak boleh dikejar, duri pohon yang tumbuh di dalamnya tidak boleh dipatahkan, benda-benda yang jatuh tidak boleh diambil, kecuali bagi orang yang mengumumkannya; dan barangsiapa terbunuh, maka keluarganya boleh memilih yang terbaik antara dua perkara (denda atau qishash).” Lalu Abbas berkata: kecuali tumbuhan idkhir, wahai Rasulullah. Sebab kami menggunakannya di kuburan dan rumah kami. Beliau bersabda: “Kecuali tumbuhan idkhir. (HR Bukhari).
Disamping paling tua, shalat di Masjidil Haram juga lebih utama ketimbang di Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ
“Satu shalat di Masjidil Haram, lebih utama dibandingkan seratus ribu shalat di tempat lainnya.” [HR Ahmad, Ibnu Majah].*