8 Kekhususan dan Keistimewaan Bulan Ramadhan dalam Al-Qur'an dan Hadis

 8 Kekhususan dan Keistimewaan Bulan Ramadhan dalam Al-Qur'an dan Hadis 

 Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam Qadar, Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailat Al-Qadr. 

Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu, yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.

Di sisi lain, dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa --siapa pun yang dengan tulus berdoa.

ari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang keistimewaan bulan suci Ramadhan. Namun seandainya tidak ada keistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia.

Beberapa Keutamaan Bulan Ramadhan dibandingkan dengan Bulan Lain


Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia dan banyak sekali keutamaan yang dijumpai di dalamnya, antara lain: 

 1. Bulan yang diberkahi oleh Allah. 

Dibukakan pintu-pintu surga, pintu-pintu neraka ditutup. setan-setan dibelenggu. Sabda Rasulullah SAW :

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةُ وَ غُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ 

“Apabila datang bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka,dan setan-setan diikat (dibelenggu).” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Waktu yang Mustajab untuk Berdoa.

لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ يَدْعُوْ بِهَا فِيْ رَمَضَانَ 

“Setiap muslim memiliki doa yang mustajab (terkabulkan) yang ia berdoa dengannya pada bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad)

ثَلاَثٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الصَّائِمُ حِيْنَ يُفْطِرُ وَ اْلإِمَامُ الْعَادِلُ وَ دَعْوَةُ المَظْلُوْمِ

“Tiga hal yang tidak tertolak doa mereka : orang yang puasa ketika berbuka, imam (pemimpin) yang adil, doa orang yang terdzolimi.” (HR. Ahmad)

3. Ramadhan Bulan Turunya Al-Qur'an.

Al Qur’an diturunkan di bulan Ramadhan sebagai petunjuk bagi umat manusia dan sebagai penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan batil)”.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَان

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan batil)” (QS. Al Baqoroh : 185)

4. Puasa Ramadhan adalah Salah Satu Rukun Islam

Firman Allah SWT : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan asas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. "(Al-Baqarah: 183). 

Sabda Nabi SAW: “Islam didirikan di atas lima sendi, yaitu: syahadat tiada sembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke Baitul Haram. " (Hadits Muttafaq 'Alaih). 

Ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab mendapatkan ampunan dosa, pelipatgandaan kebaikan, dan pengangkatan derajat. Allah SWT telah menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya dari amal-amal ibadah lainnya. 

Firman Allah SWT dalam hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW: "Puasa itu untuk-Ku dan Aku langsung membalasnya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum dari pada aroma kesturi." (Hadits Muttafaq 'Alaih). 

Dan sabda Nabi SAW: "Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. " (Hadits Muttafaq 'Alaih). 

Maka untuk memperoleh ampunan dengan puasa Ramadhan, harus ada dua syarat berikut ini: a. Mengimani dengan benar akan kewajiban ini. b. Mengharap pahala karenanya di sisi Allah SWT. 

5. Pada Bulan Mulia ini Disunatkan Shalat Tarawih.

Yakni shalat malam pada bulan Ramadhan, untuk mengikuti jejak Nabi SAW, para sahabat dan Khulafaur Rasyidin. Sabda Nabi SAW: "Barangsiapa mendirikan shalat malam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah) niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. " (Hadits Muttafaq 'Alaih). 

6. Pada bulan Ramadhan terdapat Lailatul Qadar.

,Malam yang lebih baik daripada seribu bulan, atau sama dengan 83 tahun 4 bulan. Malam di mana pintu-pintu langit dibukakan, do'a dikabulkan, dan segala takdir yang terjadi pada tahun itu ditentukan. Sabda Nabi SAW: "Barangsiapa mendirikan shalat pada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Hadits Muttafaq 'Alaih). 

Malam ini terdapat pada sepuluh malam terakhir, dan diharapkan pada malam-malam ganjil lebih kuat daripada di malam-malam lainnya. Karena itu, seyogianya seorang muslim yang senantiasa mengharap rahmat Allah dan takut dari siksa-Nya, memanfaatkan kesempatan pada malam-malam itu dengan bersungguh-sungguh pada setiap malam dari kesepuluh malam tersebut dengan shalat malam, membaca Al-Qur'anul Karim, dzikir, do'a, istighfar dan taubat yang sebenar-benamya. Semoga Allah menerima amal ibadah kita, mengampuni, merahmati, dan mengabulkan do'a kita. 

7. Peristiwa Perang Badar

Pada bulan ini terjadi peristiwa besar yaitu Perang Badar, yang pada keesokan harinya Allah membedakan antara yang haq dan yang bathil, sehingga menanglah Islam dan kaum muslimin serta hancurlah syirik dan kaum musyrikin. 

8. Pembebesan Kota Mekkah

Pada bulan suci ini terjadi pembebasan kota Makkah Al-Mukarramah, dan Allah SWT memenangkan Rasul-Nya, sehingga umat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong dan Rasulullah SAW menghancurkan syirik dan paganisme (keberhalaan) yang terdapat di kota Makkah, sehingga Makkah pun menjadi negeri Islam. 

Perlu diingat, bahwa ada sebagian orang berpuasa tetapi tidak shalat, atau hanya shalat pada bulan Ramadhan saja. Orang seperti ini tidak berguna baginya puasa, haji, maupun zakat. Karena shalat adalah sendi agama Islam yang ia tidak dapat tegak kecuali dengannya. Sabda Nabi SAW:

"Jibril datang kepadaku dan berkata, 'Wahai Muhammad, siapa yang menjumpai bulan Ramadhan, namun setelah bulan itu habis dan ia tidak mendapat ampunan, maka jika mati ia masuk Neraka. Semoga Allah menjauhkannya. Katakan: Amin!. Aku pun mengatakan: Amin." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya) "' Lihat kitab An Nasha i'hud Diniyyah, him. 37-39. 

Maka seyogianya waktu-waktu pada bulan Ramadhan dipergunakan untuk berbagai amal kebaikan, seperti shalat, sedekah, membaca Al-Qur'an, dzikir, do'a dan istighfar. Ramadhan adalah kesempatan untuk menanam bagi para hamba Allah SAW, untuk membersihkan hati mereka dari kerusakan. 

Juga wajib menjaga anggota badan dari segala dosa, seperti berkata yang haram, melihat yang haram, mendengar yang haram, minum dan makan yang haram agar puasanya menjadi bersih dan diterima serta orang yang berpuasa memperoleh ampunan dan pembebasan dari api Neraka. 

  Tentang keutamaan Ramadhan, RasulullahSAW bersabda: '"Aku melihat seorang laki-laki dari umatku terengah-engah kehausan, maka datanglah kepadanya puasa bulan Ramadhan lalu memberinya minum sampai kenyang " (HR. At-Tirmidzi, Ad-Dailami dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir dan hadits ini hasan). 

"Shalat lima waktu, shalat Jum'at ke shalat Jum 'at lainnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan. " (HR.Muslim). 

Jadi hal-hal yang fardlu ini dapat menghapuskan dosa-dosa kecil, dengan syarat dosa-dosa besar ditinggalkan. Dosa-dosa besar, yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman di dunia dan siksaan di akhirat. Misalnya: zina, mencuri, minum arak, mencaci kedua orang tua, memutuskan hubungan kekeluargaan, transaksi dengan riba, mengambil risywah (uang suap), bersaksi palsu, memutuskan perkara dengan selain hukum Allah SWT. 

Seandainya tidak terdapat dalam bulan Ramadhan keutamaan-keutamaan selain keberadaannya sebagai salah satu fardhu dalam Islam, dan waktu diturunkannya Al-Qur'anul Karim, serta adanya lailatul dadar -yang merupakan malam yang lebih baik daripada seribu bulan- di dalamnya, niscaya itu sudah cukup. Semoga Allah SWT melimpahkan taufik-Nya. Lihat kitab Kalimaat Mukhtaarah, hlm. 74 - 76. 

Adab Menjalankan Puasa Ramadhan

 Menggapai Ampunan Di Bulan Ramadhan

Dalam bulan Ramadhan banyak sekali sebab-sebab turunnya ampunan. Ampun tersebut akan di dapatkan bilamana kita mengerjakan segaa yang diperntahkan dan menjauhi segala yang di larang oleh Allah SWT. 

Ada banyak amalan yang dapat mempengaruhi mafirah ramadhan, sehingga kita dianjurkan untuk memperbanyak amalan sunna di bulan yang penuh keberkahan ini. Di antara sebab-sebab ampuan tersebut adalah: 

1. Melakukan puasa di bulan Ramadhan. 

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, niscaya ia diampuni dosanya yang telah lalu." (Hadits Muttafaq 'Alaih).

2. Melakukan shalat tarawih dan tahajiud di dalamnya Shalat Lailatul Bulan Ramadhan. 

Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa melakukan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu." (Hadits Muttafaq 'Alaih).

3. Melakukan shalat dan ibadah lain di Ramadhan Lailatul Qadar. 

Yaitu pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Ia adalah malam yang penuh berkah, yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'anul Karim. Dan pada malam itu pula dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa melakukan shalat di malam Lailatul Qadar kavena iman dan mengharap pahala Allah, niscaya ia diampuni dosanya yang telah lalu.” (Hadits Muttafaq 'Alaih).

4. Memberi ifthar (makanan untuk berbuka) kepada orang yang berpuasa. 

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang di dalamnya (bulan Ramadhan) memberi ifthar kepada orang berpuasa, niscaya hal itu menjadi sebab) ampunan dari dosa~osanya, dan pembebasan dirinya dari api Neraka." (HR. Ibnu Khuzaimah (dan ia menshahihkan hadits ini), Al-Baihaqi dan lainnya). 
 5. Beristighfar: Meminta ampunan serta berdo'a ketika dalam keadaan puasa, berbuka dan ketika makan sahur. 

Do'a orang puasa adalah mustajab (dikabulkan), baik ketika dalam keadaan puasa ataupun ketika berbuka Allah SWT, memerintahkan agar kita berdo'a dan Dia menjamin mengabulkannya. Allah SWT berfirman: "Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya untukmu. "(Ghaafir: 60). 

Dan dalam sebuah hadits disebutkan: "Ada tiga macam orang yang tidak ditolak do'anya. Di antaranya disebutkan,"orang yang berpuasa hingga ia berbuka." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasaa'i dan Ibnu Majah). (Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih mereka masing-masing, dan At-Tirmidzi mengatakannya hadits shahih hasan).

Karena itu, hendaknya setiap muslim memperbanyak, dzikir, do'a dan istighfar di setiap waktu, terutama pada bulan Ramadhan, ketika sedang berpuasa, berbuka dan ketika sahur, di saat turunnya Tuhan di akhir malam. Nabi SAW bersabda:

"Tuhan kami Yang Mahasuci dan Maha tinggi turun pada setiap malam ke langit dunia, (yaitu) ketika masih berlangsung sepertiga malam yang akhir seraya berfirman, ‘Barangsiapa berdo'a kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan untuknya, barangsiapa memohon kepada-Ku, niscaya Aku memberinya dan barangsiapa memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya’." (HR.Muslim).

6. Di antara sebab-sebab ampunan yaitu istighfar (permohonan ampun) para malaikat untuk orang-orang berpuasa, sampai mereka berbuka. Demikian seperti disebutkan dalam hadits Abu Hurairah di muka, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. 

Jika sebab-sebab ampunan bulan Ramadhan demikian banyak, maka orang yang tidak mendapatkan ampunan di dalamnya adalah orang yang memiliki seburuk-buruk nasib. Kapan lagi ia mendapatkan ampunan jika ia tidak diampuni pada bulan ini? Kapan dikabulkannya (permohonan) orang yang ditolak pada saat Lailatul Qadar? Kapan baiknya orang yang tidak menjadi baik pada bulan Ramadhan ? 

Dahulu, ketika datang bulan Ramadhan Marhaban ya ramadhan, umat Islam senantiasa berdo'a: "Ya Allah, bulan Ramadhan telah menaungi kami dan telah hadir maka serahkanlah ia kepada kami dan serahkanlah kami kepadanya Karuniailah kami kemampuan untuk berpuasa dan shalat di dalamnya, karuniailah kami di dalamnya kesungguhan, semangat, kekuatan dan sikap rajin. Dan lindungilah kami di dalamnya dari berbagal fitnah”

Mereka berdo'a kepada Allah SWT selama enam bulan agar bisa mendapatkan Ramadhan, dan Selama enam bulan (berikutnya) mereka berdo'a agar puasanya diterima. Di antara, do'a mereka itu adalah: "Ya Allah serahkanlah aku kepada Ramadhan, dan serahkan Ramadhan kepadaku, dan Engkau menerimanya daripadaku dengan rela." (Lihat Lathaa'iful Ma'aarif, oleh Ibnu Rajab, him. 196-203). 

Adab Menjalankan Puasa Ramadhan

Ketahuilah -semoga Allah SWT merahmatimu-, bahwasanya puasa tidak sempurna kecuali dengan merealisasikan enam perkara:  

 1. Menundukkan pandangan serta menahannya dari pandangan-pandangan liar yang tercela dan dibenci. 
2. Menjaga lisan dari berbicara tak karuan, menggunjing, mengadu domba dan dusta. 
3. Menjaga pendengaran dari mendengarkan setiap yang haram atau yang tercela. 
4. Menjaga anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa. 
5. Hendaknya tidak memperbanyak makan. 
6. Setelah berbuka, hendaknya hatinya antara takut dan harap. 

Sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima, sehingga ia termasuk orang-orang yang dekat kepada Allah, ataukah ditolak, sehingga ia termasuk orang-orang yang dimurkai. Hal yang sama hendaknya ia lakukan pada setiap selesai melakukan ibadah. (Lihat Mau'idzatul Mukminiin min Ihyaa'i Uluumid Diin, hlm. 59-60.) 

Ya Allah, jadikanlah kami dan segenap umat Islam termasuk orang yang puasa pada bulan ini, yang pahalanya sempurna, yang mendapatkan Lailatul Qadar, dan beruntung menerima hadiah dari Tuhan; wahai Dzat Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), wahai Dzat Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan segenap sahabatnya. 

Puasa Ramadhan yang Sempurna

  Puasa Ramadhan yang Sempurna 

Saudaraku kaum muslimin, agar sempurna puasamu, sesuai dengan tujuannya, ikutilah langkah-langkah berikut ini : Makanlah sahur, sehingga membantu kekuatan fisikmu selama berpuasa; Rasulullah saw bersabda: "Makan sahurlah kalian, sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat berkah." HR.'Al-Bukhari dan Muslim). dan juga hadis "Bantulah (kekuatan fisikmu) untuk berpuasa di siang hari dengan makan sahur, dan untuk shalat malam dengan tidur siang." (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya).

Akan lebih utama jika makan sahur itu diakhirkan waktunya, sehingga mengurangi rasa lapar dan haus . Hanya saja harus hati-hati, untuk itu hendaknya Anda telah berhenti dari makan dan minum beberapa menit sebelum terbit fajar, agar Anda tidak ragu-ragu.

 Segeralah berbuka jika matahari benar-benar telah tenggelam. Rasulullah saw bersabda: "Manusia senantiasa dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur ." (HR. Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi).

Usahakan mandi dari hadats besar sebelum terbit fajar, agar bisa melakukan ibadah dalam keadaan suci. Manfaatkan bulan Ramadhan dengan sesuatu yang terbaik yang pernah diturunkan di dalamnya, yakni membaca Al-Qur'anul Karim. 

Sesungguhnya Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan selalu menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk membacakan Al-Qur'an baginya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). Dan pada diri Rasulullah saw ada teladan yang baik bagi kita.

Jagalah lisanmu dari berdusta, menggunjing, mengadu domba, mengolok-olok serta perkataan mengada-ada. Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa tidak meninggalkan pevkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum." (HR. Al-Bukhari).

 Hendaknya puasa tidak membuatmu keluar dari kebiasaan. Misalnya cepat marah dan emosi hanya karena sebab sepele, dengan dalih bahwa engkau sedang puasa. Sebaliknya, mestinya puasa membuat jiwamu tenang, tidak emosional. Dan jika Anda diuji dengan seorang yang jahil atau pengumpat, jangan Anda hadapi dia dengan perbuatan serupa. Nasihati dan tolaklah dengan cara yang lebih baik. Nabi r bersabda:

"Puasa adalah perisai, bila suatu hari seseorang dari kamu beupuasa, hendaknya ia tidak bevkata buruk dan berteriak-teriak. Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata 'Sesungguhnya aku sedang puasa’." (HR. Al- Bukhari, Muslim dan para penulis kitab Sunan).

Ucapan itu dimaksudkan agar ia menahan diri dan tidak melayani orang yang mengumpatnya Di samping, juga mengingatkan agar ia menolak melakukan penghinaan dan caci-maki. Hendaknya Anda selesai dari puasa dengan membawa taqwa kepada Allah SWT, takut dan bersyukur pada-Nya, serta senantiasa istiqamah dalam agama-Nya.

Hasil yang baik itu hendaknya mengiringi Anda sepanjang tahun. Dan buah paling utama dari puasa adalah taqwa, sebab Allah SWT berfirman : "Agar kamu bertaqwa." (Al-Baqarah: 183)

Jagalah dirimu dari berbagai syahwat (keinginan), bahkan meskipun halal bagimu. Hal itu agar tujuanpuasa tercapai, dan mematahkan nafsu dari keinginan. Jabir bin Abdillah berkata: "Jika kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta dan dosa-dosa, tinggalkan menyakiti tetangga, dan hendaknya kamu senantiasa bersikap tenang pada hari kamu berpuasa jangan pula kamu jadikan hari berbukamu sama dengan hari kamu berpuasa."

Hendaknya makananmu dari yang halal. Jika kamu menahan diri dari yang haram pada selain bulan Ramadhan maka pada bulan Ramadhan lebih utama. Dan tidak ada gunanya engkau berpuasa dari yang halal, tetapi kamu berbuka dengan yang haram.

Perbanyaklah bersedekah dan berbuat kebajikan. Dan hendaknya kamu lebih balk dan lebih banyak berbuat kebajikan kepada keluargamu dibanding pada selain bulan Ramadhan. Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan, dan beliau SAW lebih dermawan ketika bulan Ramadhan

 Ucapkanlah bismillah ketika kamu berbuka seraya berdo'a :"Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, dan atas rezki-Mu aku berbuka. Ya Allah terimalah daripadaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui " (44) (Lihat Mulhaq (bonus) Majalah Al WaLul Islami bulan Ramadhan, 1390 H, hlm. 38-40).

Tujuan Seorang Muslim Melakukan Puasa Ramadhan

Tujuan ibadah puasa adalah untuk menahan nafsu dari berbagai syahwat, sehingga ia siap mencari sesuatu yang menjadi puncak kebahagiaannya; menerima sesuatu yang menyucikannya, yang di dalamnya terdapat kehidupannya yang abadi, mematahkan permusuhan nafsu terhadap lapar dan dahaga serta mengingatkannya dengan keadaan orang-orang yang menderita kelaparan di antara orang-orang miskin; menyempitkan jalan setan pada diri hamba dengan menyempitkan jalan aliran makanan dan minuman.

  Puasa adalah untuk Tuhan semesta alam, tidak seperti amalan-amalan yang lain, ia berarti meninggalkan segala yang dicintai karena kecintaannya kepada Allah SWT; ia merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya, sebab para hamba mungkin bisa diketahui bahwa ia meninggalkan hai-hal yang membatalkan puasa secara nyata, tetapi keberadaan dia meninggalkan hal-hal tersebut karena Sembahannya, maka tak seorangpun manusiayang mengetahuinya, dan itulah hakikat puasa. 

Puasa Meneladani Sifat-Sifat Allah SWT

Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, "Takhallaqu bi akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).

Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum, dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri: Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101) Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin [72]: 3). 

Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan, Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).

Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.

Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai.

Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut --bukan pada sisi lapar dan dahaga-- sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw. menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."

Kebersihan dalam Kehidupan Sehari-hari

 Kebersihan dalam Kehidupan Sehari-hari

Allah adalah pencipta langit dan bumi seisinya, termasuk hal-hal eskatologi (tidak tampak) yang diciptakan, pemberi beberapa nikmat yang tidak mampu direalisasikan dalam hitungan jumlah, serta Dzat yang wajib disembah. Sudahlah kewajiban bagi makhluk Nya untuk mensyukuri nikmatnya, yaitu selain mengucapkan dengan lisan juga mesti harus memanfaatkan nikmat tersebut dengan sebaik-sebaiknya. 

Seorang Muslim mempunyai kewajiban menjaga beberapa nikmat yang telah diberikan, seperti menjaga kelestarian, kebersihan dan keindahan alam agar tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari secara terus menerus. Allah berfirman dalam Q.S Ar Ruum 41 bahwa sebenarnya kerusakan- kerusakan baik di daratan maupun di lautan tidak lain hanyalah kesalahan atau campur tangan manusia itu sendiri.

Adanya alam ini mengindikasikan adanya pencipta yang perlu diimani exsistensinya, meski pencipta tersebut tidak tampak di mata kita. Justru yang demikian, Allah memberi pahala terhadap yang mengimaninya. Bagaimana tidak, secara realita tidak mungkin seseorang akan tumbuh rasa cinta kepada yang lainnya kalau tidak pernah bertemu, begitu juga iman kepada Allah. 

Akan tetapi dengan maujud bumi ini sudah cukup sebagai buku besar atau bukti bagi orang-orang yang melihatnya, membaca fenomena-fenomena alam atas dasar buku induk Allah (Al Qur’an). Demikian, Iman kepada Allah memberi contoh relasi yang paling mulia antara manusia dan pencipta.

Penciptaan Allah yang paling mulia di bumi adalah manusia karena dalam diri manusia, Allah menciptakan hati, di mana hati adalah wadah keimanan seseorang. Hati itu perlu dijaga dan dirawat melalui kebersihan lahir dan batin, agar mampu terealisasikan dalam bentuk sifat-sifat yang terpuji, sebagai bentuk salah satu sifat seorang muslim. Oleh karena itu, petunjuk iman merupakan salah satu nikmat yang paling agung dan paling utama dari pemberian Allah.

Pengertian iman

Kata iman berasal dari madli "امن- يؤمن- ايمانا", sedangkan iman merupakan kebalikan dari kufr, dan iman bermakna membenarkan kebalikan dari membohongi.[1]di dalam al-Qur’an disebutkan:

Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman." mereka menjawab: "Akan berimankah Kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.(al-Baqarah: 13)Menurut At Tobari yang dimaksud (وإذا قيل لهم آمنوا كما آمن الناس) adalah ketika diucapkan kepada orang-orang yang disifati Allah bahwa mereka mengucapkan (آمنا بالله وباليوم الآخر وما هم بمؤمنين) yaitu mereka membenarkan Nabi Muhammad dan ajaran yang dibawa dari Allah. Sebagaimana dalam keterangan hadits dari Ibn Abbas

حدثنا أبو كُريب، قال: حدثنا عثمان بن سعيد، عن بشر بن عُمارة، عن أبي رَوْق، عن الضحاك، عن ابن عباس في قوله:( وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ )، يقول: وإذا قيل لهم صدِّقوا كما صدَّق أصحاب محمد، قولوا: إنَّه نبيٌّ ورسول، وإنّ ما أنزل عليه حقّ، وصدِّقوا بالآخرة، وأنَّكم مبعوثون من بعد الموت[2]

Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.[3]

Iman tidak hanya terealisasikan lewat mulut saja, akan tetapi juga harus diringi amal atau bukti konkretnya. Dan iman juga tidak hanya berupa kepercayaan terhadap surga, akan tetapi iman adalah akidah yang memenuhi hati dan memunculkan pengaruh. Diantara pengaruh iman, Allah dan Rasul Nya harus lebih dicintai daripada yang lainnya dan harus dibuktikan secara konkret, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun pelaksanaan. 

Jika kegiatan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka akan memungkinkan terjadinya dikotomi keimanan dan akidah akan goncang. Allah mengindikasikan dalam Q.S At Taubah 24 dengan pemahaman bahwa siapa saja yang lebih mencintai suatu yang kalian miliki daripada Allah, Rasul Nya, dan perjuangan di jalan Nya. Maka Allah akan mendatangkan perintah (siksaan) Nya.

Iman mendapat apresiasi yang sempurna jika iman didasarkan hanya pada cinta hakiki, yaitu cinta kepada Allah, Rasul Nya, syariat yang telah diwahyukan. Di dalam hadits terdapat keterangan :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّار[4]ِ

“ Terdapat tiga orang yang akan memperoleh kenikmatan iman yaitu: Pertama: Allah dan Rasul Nya lebih dicintai oleh seseorang daripada yang lain. Kedua, orang yang tidak mencintai orang lain karena hanya Allah. Ketiga, orang yang tidak ingin kembali kepada kekafiran sebagaiman dia tidak ingin terlempar ke dalam neraka".

Iman merupakan bentuk hubungan yang variabel, ia akan menghubungkan orang-orang mukmin dengan Allah dilandaskan rasa cinta, ia akan tetap mengatur hubungan orang-orang mukmin dengan yang lainnya atas dasar kasih saying, ia juga akan mampu menetapkan orang-orang mukmin dengan para musuh atas dasar kekerasan.[5]

Di samping itu, iman memberi pengaruh besar berupa segala perbuatan yang mahmudah (baca: baik) yang membersihkan jiwa, menyucikan hati, dan meramaikan kehidupan. Iman menjadi unsur terpenting dalam rangka membantu pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manusia. Oleh karena itu, amal lahir dalam beberapa ayat Al Quran bersamaan dengan amal baik dengan konsekuensi pahala baik yang bermacam-macam.[6] 

Begitu juga sebaliknya, jika iman tidak bersamaan dengan amal baik, maka imannya percuma dan tidak berguna yaitu tiadalah arti dan sia-sia saja, bagai pohon yang tidak berbuah, dan jika pohon ini tumbang itu lebih bagus daripada tetap hidup. Jika iman telah tertanam lekat dalam hati seseorang, secara otomatis sikap perbuatan baik akan muncul dengan sendirinya tanpa harus dipaksa karena adanya kesadaran yang tumbuh dalam hati nurani seseorang. Al hasil, iman tersebut juga akan menghasilkan tsamrah (buah atau hasil).

Hubungan iman dengan kebersihan

Setelah menguraikan iman dengan sedikit pemaparan yang dapat ditangkap penulis, penulis berusaha mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, baik hubungan terhadap sesama manusia maupun manusia dengan lingkungannya.

Studi kajian terpenting dalam makalah ini, yaitu Keimanan dan Kebersihan. Dalam hal ini, terdapat keterkaitan yang fundamental mengenai wilayah kebersihan. Kebersihan merupakan salah satu hal baik sebagai cerminan rasa iman. Akan tetapi dalam ranah kebersihan, Suci dan bersih itu berbeda. Orang yang bersih belum tentu disebut suci, dan juga sebaliknya. 

Misalkan orang yang dalam keadaan hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil belum bisa dikatakan suci sehingga seseorang itu mandi besar jika hadats besar dan wudhu jika hadats kecil. Orang yang beriman itu harus suci, baik badannya, pakaiannya, maupun tempatnya, lebih-lebih dalam hal ibadah. Sebagaimana Allah berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.(al-Maidah: 6)

Di dalam hadits Nabi saw. juga disebutkan:

وقوله صلى الله عليه وسلم الطهور شطر الإيمان فسر بعضهم الطهور ها هنا بترك الذنوب كما في قوله تعالى إنهم أناس يتطهرون وقوله وثيابك فطهر المدثر وقوله إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين البقرة وقال الإيمان نوعان فعل وترك فنصفه فعل المأمورات ونصفه ترك المحظورات وهو تطهير النفس بترك المعاصي

Nabi mengatakan kebersihan sebagian dari iman, sebagian ahli tafsir memaknai “at thohur” di sini meninggalkan dosa. Nabi juga berkata iman ada 2 macam yaitu, mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan, dengan kata lain membersihkan jiwa dengan meninggalkan ma’siat.

حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنِ ابْنِ حُجَيْرَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنْ الدُّنْيَا حِفْظُ أَمَانَةٍ وَصِدْقُ حَدِيثٍ وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ وَعِفَّةٌ فِي طُهْرٍ

Pemahaman hadits tersebut, bahwa bersih juga meliputi bersihnya hati melalui cara ‘iffah yaitu menjaga dari hal-hal yang kurang jelas.

Arti lain dari “Nadhif” adalah “thahir” (suci), sebagaimana hadits:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ إِلْيَاسَ عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي حَسَّانَ قَال سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ فَنَظِّفُوا أُرَاهُ قَالَ أَفْنِيَتَكُمْ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ قَالَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِمُهَاجِرِ بْنِ مِسْمَارٍ فَقَالَ حَدَّثَنِيهِ عَامِرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ نَظِّفُوا أَفْنِيَتَكُمْ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ وَخَالِدُ بْنُ إِلْيَاسَ يُضَعَّفُ وَيُقَالُ ابْنُ إِيَاسٍ[7]

قوله : ( إن الله طيب ) أي منزه عن النقائص , مقدس عن العيوب ( يحب الطيب ) بكسر الطاء , أي طيب الحال والقال أو الريح الطيب بمعنى أنه يحب استعماله من عباده ويرضى عنهم بهذا الفعل , وهذا يلائم معنى قول نطيف ( نظيف ) أي طاهر ( يحب النظافة ) أي الطهارة الظاهرة والباطنة ( إن الله طيب يحب الطيب ) إلخ . وقال البخاري : منكر الحديث ليس بشيء , وقال النسائي : متروك الحديث , وقال مرة : ليس بثقة ولا يكتب حديثه . كذا في تهذيب التهذيب

Allah itu Zat yang suci menyukai kesucian, dan yang Zat yang bersih menyukai kebersihan. Yang dimaksud dengan kalimat “الله طيب” di sini ialah منزه عن النقائص , مقدس عن العيوب (Allah itu suci dari sifat-sifat yang kurang dan bersih dari cacat-cacat). Sedangkan Allah menyukai kesucian ialah menyukai dan meridhoi amal hamba Nya yang dilakukan dengan suci tingkah lakunya.[8]

Matan hadits ini dirasa sesuai dengan hadits-hadits yang sepadan dengannya, meski telah diindikasikan pada hadits tersebut bahwa terdapat banyak perowi yang menentangnya atau menganggap munkar, matruk, dll. Mungkin perowi-perowi tersebut menganggap demikian karena Nabi tidak pernah meriwayatkan hadits itu, dan hadits tersebut termasuk Menurut tinjauan penulis, hadits tersebut tetap dapat dipakai sebagai pedoman karena tidak bertentangan dengan teks dalam Al Quran, akan tetapi pengamalannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Nabi bersabda:

الطهور شطر الايما ن

Artinya: “Kebersihan adalah separoh dari iman.”[9]

Bersih dan suci itu mempunyai banyak bentuk, di antaranya:

Membersihkan tujuan,- Seseorang jika ingin mendapat pertolongan Allah, maka harus membersihkan atau memurnikan niat semata-mata karena Allah. Karena itu, ia tidak berani jika melakukan suatu perintah kecuali telah mantab terlebih dahulu keikhlasan niatnya karena Allah SWT.

Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Memurnikan tauhid,- Tauhid mengesakan Allah, tiada lain Dzat yang wajib disembah, membersihkan dari ketergantunganhati selain kepada Allah. Jika terjadi yang sebaliknya berarti menjadi bentuk kemusyrikan, yaitu menyekutukan atau menyamakan Allah dengan yang lainnya.

Memurnikan ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi),- Seseorang dituntut memurnikan tujuan (niat), maka juga dituntut membersihkan perbuatan. Jadi, ia tidak akan melaksanakan suatu perbuatan melainkan perbuatan itu sesuai syari’at Islam dan benar-benar ittiba’ kepada petunjuk Rasulullah.[10]

Dari ketiga term tersebut, penulis memberi contoh seperti sholat. Sholat tersebut harus didasarkan pada jiwa yang bersih, baik lahir yang meliputi bersih dari kotoran (najis) dan juga batin yang meliputi bersih dari niat jelek.

Al hasil, bahwa kebersihan itu terbagi menjadi 2 bagian: Kebersihan lahir, yaitu bersih dari hadats dan kotoran serta Kebersihan batin, yaitu bersih dari sifat tercela, sifat yang menodai hati, dll.

Keimanan dan Kebersihan dalam Tinjauan Teologis dan Sosiologis

Iman dan kebersihan dapat memberikan dorongan semangat dalam kegiatan ibadah kepada Allah SWT, yakni:

Iman dan perbuatan seseorang tidak bergantung kepada iman dan perbuatan orang lain, dan kebersihan sangat memberikan dampak positif kepada lainnya,yaitu memberi kenyamanan.

Iman menuntut legitimasi atas exsistensi Allah dengan sifat-sifat Nya bahwa Allah Maha Menghidupkan, dll, dan kebersihan dituntut adanya jiwa kesadaran, peka terhadap lingkungannya.

Iman akan selalu mengingatkan dan mengetuk hati seseorang jika sedikit lalai akan tugasnya, dan menumbuhkan kesemangatan jiwa untuk mencapai hal-hal yang diridhoi Allah dan Rasul Nya. Begitu juga kebersihan, baik lahir maupun batin.

Iman sebagai pengendali sikap, ucapan, dan perbuatan. Jika seseorang menghadapi masalah yang rumit atau kegagalan, maka ia akan menghadapi semua itu dengan tenang dan sabar, bahkan ia akan mensyukurinya. Inilah bentuk manifestasi dari iman.[11]

Kesimpulan

Iman menjadi bagian yang utama dan paling utama dalam pembentukan jiwa yang kuat, dan merupakan cara awal menuju pendekatan kepada Allah SWT. Seseorang yang iman yaitu percaya kepada Allah dan Rasul Nya, akan selalu menjalankan segala perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya, dengan harapan semata-mata mencari ridho Allah SWT.

Kebersihan lahir dan batin menjadi karakter seorang muslim yang beriman. Sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Bentuk kebersihan diantaranya, yaitu: Membersihkan tujuan, Memurnikan tauhid (Allah), Memurnikan ittiba’ kepada Rasulullah (sunnah Nabi)

Iman dan kebersihan dapat memotivasi seseorang untuk melaksanakan ibadah, yakni: Iman seseorang tidak bergantung kepada yang lainnya, sedangkan kebersihan member dampak positif terhadap lingkungan sekitar, Iman mempercayai adanya Allah dan kebersihan sebagian dari iman, Iman dan kebersihan (hati) sebagai pengendali sikap dan ucapan, karena seorang muslim yang memiliki keduanya akan berpikir sebelum melakukannya.

Hukum Zakat Profesi

  Hukum Zakat Profesi 

Pengertian Profesi

Dalam kamus Bahasa Inggris, istilah profesi disebut sebagai profession,  yang  artinya  pekerjaan, sedangkan  menurut  kamus  besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan  keahlian (ketrampilan,  kerajinan,  dan sebagainya).

Mahjuddin mengartikan profesi sebagai suatu pekerjaan tetap dengan keahlian   tertentu,   yang  dapat   menghasilkan   gaji,  honor,   upah,   atau imbalan.3  Jadi usaha profesi erat kaitannya dengan sikap profesional, yaitu sesuatu  hal yang dilakukan  dengan  dukungan  kepandaian  khusus  untuk menjalankannya. 

Menurut Yusuf Qardlawi, profesi dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kasb al-Amal dan Mihan al-Hurrah. Kasb al-Amal adalah pekerjaan seseorang yang tunduk pada perseroan atau perseorangan dengan mendapatkan upah. Mihan Al-Hurrah adalah pekerjaan bebas, tidak terikat pada orang lain. Dalam definisi yang lain menurut Fachrudin, sebagaimana dikutip oleh Muhammad mengklasifikasikan usaha profesi ke dalam beberapa kriteria bila dilihat dari bentuknya:

a. Usaha fisik
b. Usaha fikiran
c. Usaha kedudukan
d. Usaha modal

Kemudian bila ditinjau dari hasil usahanya, profesi itu  bisa berupa:

a. Hasil yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari
b. Hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti

Dari beberapa  pengertian  yang disebutkan  di atas, penulis  dapat menyimpulkan  bahwa secara umum, profesi adalah segala kegiatan atau aktifitas kerja yang dilakukan oleh manusia dengan dibekali keahlian dan ketrampilan tertentu untuk mendapatkan hasil berupa upah atau gaji dalam kurun waktu tertentu.

Pengertian profesi secara lebih terinci dapat dibedakan menjadi dua kategori.  Pertama,  profesi  yang  tidak  terkena  kewajiban  zakat,  kedua profesi yang wajib zakat. Profesi yang tidak wajib zakat adalah profesi yang  dilakukan  oleh  seseorang  dengan  keahlian  tertentu  untuk mendapatkan gaji. Adapun profesi yang wajib zakat adalah profesi yang dilakukan oleh manusia dengan keahlian tertentu yang dilakukan dengan mudah dan mendatangkan  hasil (pendapatan) yang cukup melimpah (di atas rata-rata  pendapatan  penduduk). Seperti misalnya komisaris perusahaan, bankir,  konsultan, analisis,  broker,  dokter  spesialis, pemborong  berbagai  konstruksi,  eksportir  dan  importir, akuntan,  artis, notaris, dan berbagai penjual jasa, serta macam-macam  profesi kantoran (white collar) lainnya.

 Artinya bahwa, mudah dan cukup melimpah tersebut di atas adalah dimungkinkan   dengan   jangka waktu   yang   sama   dalam   melakukan pekerjaan atau profesinya, seseorang akan mendapatkan pendapatan atau penghasilan yang jauh berbeda. Misalkan antara seorang buruh bangunan yang bekerja siang dan malam dalam waktu satu bulan, mungkin hanya mendapatkan  hasil  yang  cukup untuk  makan  dan kebutuhan  sehari-hari keluarganya,  sedangkan  seorang dokter spesialis  juga dalam waktu satu bulan memungkinkan mendapatkan hasil yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari bersama keluarga. Jadi,  profesi seperti dokter spesialis tersebut yang dimungkinkan wajib zakat atas dasar mudah dan melimpahnya hasil yang didapat. Mahjuddin juga menggambarkan beberapa contoh profesi yang dimungkinkan wajib zakat, antara lain:

a. Profesi dokter (The medical profession).
b. Profesi pekerja teknik/Insinyur (The engineering profession).
c. Profesi guru, dosen, guru besar atau tenaga pendidik  (The teaching profession).
d. Profesi advokat (pengacara), konsultan, wartawan, dan sebagainya.

2.  Pengertian Zakat Profesi

Menurut  Yusuf  Qardlawi,  kategori  zakat  profesi  (yang  wajib dizakati) adalah segala macam pendapatan yang didapat bukan dari harta yang sudah  dikenakan  zakat. Artinya,  zakat  profesi  didapat  dari hasil usaha  manusia  yang  mendatangkan   pendapatan   dan  sudah  mencapai nishab. Bukan dari jenis harta kekayaan yang memang sudah ditetapkan kewajibannya  melalui al-Qur’an dan hadits Nabi, seperti hasil pertanian, peternakan,  perdagangan,  harta  simpanan  (uang,  emas,  dan  perak),  dan harta rikaz. Jadi kewajiban zakat profesi merupakan kewajiban baru dari hasil ijtihad ulama yang belum ditetapkan sebelumnya,  melalui dalil al- Qur’an ataupun al-Sunnah.

Mahjuddin  berpendapat,  zakat profesi memiliki arti  zakat  yang  dikeluarkan  dari  sumber  usaha profesi atau pendapatan jasa. Dalam bukunya Masail Fiqhiyah, Masjfuk Zuhdi juga memberikan keterangannya tentang zakat profesi, yaitu zakat yang diperoleh dari semua jenis penghasilan  yang halal yang diperoleh setiap  individu  Muslim,  apabila  telah mencapai  batas minimum  terkena zakat (nishab) dan telah jatuh tempo / haul-nya.

Menurut Didin Hafidhuddin, zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama orang lain / dengan lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab    (batas minimum untuk berzakat).

Berdasarkan beberapa pengertian zakat profesi di atas, dapat disimpulkan bahwa zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat  mendatangkan  hasil  (uang)  yang  relatif banyak  dengan  cara  yang  mudah,  melalui  suatu  keahlian  tertentu  dan sudah mencapai nishab.

3.  Dasar Hukum Zakat Profesi

Kewajiban  tentang  zakat  profesi  memang  masih  perlu dipertanyakan, karena tidak ada nash yang sharih (jelas) dalam al-Qur’an maupun  as-Sunnah.  Oleh  karena  itu,  perlu  dicari  kejelasan  hukumnya dengan jalan menggali hukum dengan metode ijtihad (ra’yu), yang antara lain meliputi: metode qiyqs, maslahah mursalah, istihsan, ataupun metode yang lain.

Pada masa yang akan datang manusia akan lebih memerlukan ijtihad untuk mereformasi kebudayaan, menggeser tradisi, dan mengganti keputusan agar sejalan dengan perubahan  zaman dan tempat. Karena sesuatu yang baik menurut suatu zaman tertentu kadang-kadang  tidak selalu baik pada masa yang lain. Begitupun sesuatu yang dapat direalisasikan pada suatu tempat tertentu, belum tentu dapat direalisasikan pada suatu tempat yang lain.

Dalam masalah zakat hukum Islam berkembang, hal-hal yang dulu belum dikenai zakat sekarang sudah banyak yang ditetapkan zakatnya, di antaranya adalah zakat profesi.16  Ketika dikembalikan  kepada nash-nash yang ada, pengambilan hukum tentang hukum-hukum 'amaliyah, jumhur ulama telah menyepakatinya bahwa dalil-dalil syar’iyyah berpangkal pada empat pokok, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Mengenai istinbath hukum tentang kewajiban membayar zakat profesi, terlebih dahulu mencari landasan  hukumnya  pada nash-nash  al- Qur’an. Oleh karenanya, ketika mencari landasan hukum kewajiban membayar zakat profesi, Yusuf Qardlawi antara lain mendasarkannya pada al-Qur’an surat al-Baqarah: 267 yang berbunyi :

 Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan) Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya  lagi Maha Terpuji.” (Q.S.  al-Baqarah: 267)

Yusuf Qardlawi menafsirkan keumuman lafal "Maa Kasabtum" dalam ayat di atas yang   berarti mencakup segala macam usaha; perdagangan atau pekerjaan dan profesi, sedangkan jumhur ulama fiqh mengambil keumuman maksud surat Al-Baqarah: 267 tersebut di samping sebagai landasan wajibnya zakat perdagangan juga menjadikan wajibnya zakat atas usaha profesi Sesuai ayat tersebut di atas, kata “anfiquu” memfaedahkan wajib, karena kata “anfiquu” merupakan fiil amar dari fiil madhi “anfaqo” Sesuai dengan kaidah ushul fiqh “pada asalnya perintah itu memfaedahkan wajib” Menurut Fachrudin, sebagaimana dikutip oleh Muhammad kata “Maa Kasabtum” dalam surat tersebut bersifat umum (‘am) dan memang sudah mendapat takhsis-nya, yaitu hadis Rasulullah SAW. tentang bentuk dan  jenis  harta  yang  wajib  dikeluarkan  zakatnya.  Akan  tetapi,  karena hukum pada ‘am dan ‘khas ini sama, maka keumuman itu tetap berlaku secara utuh untuk menetapkan zakat profesi.

Sayyid  Quthb  dalam  tafsirnya  Fi  Zhilalil  Qur'an,  menafsirkan surat al-Baqarah :267, bahwa nash tersebut mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT. dari dalam dan atas bumi, baik yang terdapat di zaman Rasulullah  SAW., maupun  di  zaman  sesudahnya,  sedangkan  menurut

Amir Syarifuddin, penggunaan kata "Maa" dalam ayat tersebut di atas adalah mencakup segala apa-apa yang diperoleh melalui hasil usaha atau jasa, dan juga apa-apa yang  dikeluarkan atau diusahakan dari bumi. Dengan argumentasi bahwa kekuatan lafadz umum terhadap semua satuan pengertian yang tercakup di dalamnya secara pasti, sebagaimana penunjukkan lafadz khusus terhadap arti yang terkandung di dalamnya. Penggunaan lafadz umum untuk semua satuan pengertian ini berlaku sampai ada dalil lain yang membatasinya.

Hamid Laonso juga mengatakan  bahwa  kata dalam ayat tersebut memberikan  legitimasi  terhadap  semua  jenis usaha dan profesi yang dimiliki  yang kesemuanya  mendatangkan  penghasilan yang cukup banyak, seperti pengacara, dokter ahli, jasa perhotelan,  jasa penginapan, dan sebagainya.


 Makna terminologi generik ayat tersebut menunjuk pada harta kekayaan,  tidak  menunjuk  dari  mana  harta  itu  diperoleh  (usaha)  yang bernilai ekonomi, dan karena spektrumnya lebih bersifat umum, maka di dalamnya termasuk jasa/gaji yang secara rasional adalah bagian dari harta kekayaan, sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.Selanjutnya dengan dasar as-Sunnah untuk mengukuhkan kewajiban zakat profesi, berdasarkan pada keumuman makna hadits. Yang antara lain hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai berikut:

“Setiap  orang muslim wajib bersedekah, Mereka bertanya: “Wahai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya?, Nabi menjawab:” Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah”.  Mereka bertanya kembali: ”Kalau tidak mempunyai pekerjaan?,  Nabi menjawab: “Kerjakan  kebaikan  dan tinggalkan keburukan, hal itu merupakan sedekah.” (H.R Bukhari)

Yusuf Qardlawi menafsirkan keumuman dari makna hadits tersebut  di  atas  bahwa  zakat  wajib atas penghasilan sesuai  dengan tuntunan  Islam yang menanamkan nilai-nilai    kebaikan, kemauan, berkorban, belas kasihan, dan suka memberi dalam jiwa seorang muslim. Untuk itu Nabi mewajibkan pada setiap muslim mengorbankan  sebagian harta penghasilannya atau apa saja yang bisa ia korbankan.

Adapun dalam hal qiyas, wajibnya zakat profesi diqiyaskan pada tindakan khalifah Mu’awiyah yang mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena beliau adalah khalifah  dan  penguasa  umat  Islam.  Dan  perbuatan  khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz yang memungut zakat pemberian (u'tiyat) dan hadiah. Juga memungut zakat  dari  para  pegawainya  setelah  menerima  gaji,  serta menarik zakat dari orang yang menerima barang sitaan (mazalim) setelah dikembalikan kepadanya.

Menurut para Imam Madzhab terjadi perbedaan pendapat. Menurut Imam Syafi’i, zakat penghasilan tidak wajib zakat meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nishab. Tetapi ia mengecualikan anak-anak binatang  piaraan,  di  mana  anak-anak  binatang  itu  tidak  dikeluarkan zakatnya bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nishab.

Dan bila belum mencapai nishab, maka tidak wajib zakatnya. Dalam   kitabnya   al-Umm,   Imam   Syafi’i   mengatakan   apabila seseorang  menyewakan  rumahnya  kepada  orang  lain dengan  harga  100 dinar selama 4 tahun dengan syarat pembayarannya  sampai batas waktu tertentu, maka apabila ia telah mencapai satu tahun, ia harus mengeluarkan zakatnya  untuk  25 dinar pada satu tahun  pertama  dan membayar  zakat untuk 50 dinar pada tahun kedua, dengan memperhitungkan uang 25 dinar yang  telah  dikeluarkan  zakatnya  pada  tahun  pertama  dan  seterusnya, sampai ia mengeluarkan zakatnya dari 100 dinar dengan memperhitungkan zakat yang telah dikeluarkan, baik sedikit atau banyak.

Menurut   Imam   Malik,   harta   penghasilan   tidak   dikeluarkan zakatnya kecuali sampai penuh waktu setahun. Baik harta tersebut sejenis dengan  harta  yang  ia  miliki  atau  tidak,  kecuali  jenis  binatang  piaraan. Karena orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan yang sejenis dan sudah mencapai nishab, maka ia harus mengeluarkan zakat dan keseluruhan  binatang  itu  apabila  sudah  genap  satu  tahun.  Dan  apabila kurang dari satu nishab, maka tidak wajib zakat.

Dalam suatu kasus tentang seseorang yang memiliki 5 dinar hasil dari sebuah transaksi, yang kemudian ia investasikan dalam perdagangan, maka  begitu  jumlahnya  meningkat  pada  jumlah  yang  harus  dibayarkan zakat dan satu tahun telah berlalu dari transaksi pertama, menurut Imam Malik ia harus membayar zakat meskipun jumlah yang harus dizakatkan itu  tercapai  satu  hari  sebelum  ataupun  sesudah  satu  tahun.  Karena  itu, tidak ada zakat yang harus dibayarkan sejak hari zakat diambil (oleh pemerintah) sampai dengan waktu satu tahun telah melewatinya.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan   zakatnya   bila mencapai masa   satu   tahun   penuh   pada pemiliknya kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya, yang untuk itu zakat harta penghasilan. Dari beberapa  dalil dan pendapat-pendapat  tersebut  di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa wajibnya zakat profesi didasarkan pada surat al-Baqarah: 267 yang bersifat umum dan hadits-hadits yang bersifat umum pula, baik keumumannya menyangkut materi hasil usaha, apakah yang diperoleh dari perdagangan, investasi modal, honorarium, gaji, dan sebagainya.  Atau  keumumannya  dari  segi  waktu  yang  tidak  membatasi harus sudah satu tahun pemilikan harta Untuk menetapkan teknis penerapan ketentuan zakat profesi mulai dari nishab,  kadar,  dan  waktunya  menggunakan  dalil  qiyas  (analogical reasoning).  Sudah  barang  tentu  menggunakan  dalil  qiyas  sebagai  dalil syar’i,  harus  memenuhi  syarat  dan  rukunnya  agar  menemukan  hukum ijtihadi yang aktual dan proporsional.

B.  Metode Qiyas dalam Penghitungan Zakat

Salah satu sumber hukum Islam yang disepakati  oleh jumhur ulama setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ adalah qiyas. Menurut jumhur ulama, qiyas merupakanhujjah syar’iyyah  atas hukum-hukum mengenai  perbuatan manusia (amaliyyah). Qiyas menduduki peringkat keempat di antara hujjah- hujjah syar’iyyah, dengan maksud apabila dalam suatu kasus hukum tidak ditemukan ketetapannya dalam nash (al-Qur’an dan Sunnah) serta ijma’, tetapi diperoleh ketetapan bahwa kasus tersebut menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illath hukumnya, maka kasus tersebut di-qiyas-kan dengan kasus tersebut dan dikenai hukum berdasarkan hukum kasus yang terdapat  ketetapannya  dalam  nash,  dan  hal  ini  termasuk  dalam  ketetapan syar’i.

1. Pengertian Qiyas

Secara bahasa qiyas  berarti  ukuran,  mengetahui  ukuran  sesuatu, membandingkan, atau    menyamakan sesuatu dengan yang lain. Misalnya, “saya mengukur baju dengan hasta,” sedangkan menurut istilah, qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.  Menurut al-Amidi, qiyas adalah mempersamakan illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal yang diistinbatkan dari hukum asal,  yang terakhir menurut Wahbah az- Zuhaili, qiyas yaitu menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash   dengan  sesuatu yang   disebutkan hukumnya   oleh   nash, disebabkan kesatuan illat hukum antara keduanya.

Menurut  istilah  ahli  Ushul  Fiqh,  qiyas  adalah  mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada hukumnya, dalam hukum yang ada nash-nya karena persamaan keduanya dalam illat hukumnya.44  Karena qiyas selalu bersendikan persamaan illat hukum,  maka qiyas dapat dilakukan  hanya jika illat hukum nash dapat diketahui dengan akal.

2. Macam-Macam Qiyas

a.   Dilihat  dari  kekuatan  illat  yang  terdapat  pada  furu’  dibandingkan dengan yang terdapat pada ashl, terdiri atas:

1)  Qiyas  Aula,  yaitu  qiyas  yang  hukumnya  pada  furu’  lebih  kuat daripada hukum ashl, karena illat yang terdapat pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada ashl. Seperti meng-qiyaskan perbuatan memukul,  kepada  kata-kata  yang  kurang  mengenakkan  terhadap Ibu-Bapak karena illatnya menyakiti. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan kata-kata yang kurang mengenakan, seperti kata ah.

2)  Qiyas  Musaway,  yaitu  illat  yang  terdapat  pada  yang  diqiyaskan (furu’)  sama  dengan  illat  yang  ada  pada  tempat  mengqiyaskan (asal),  karena  itu  hukum  keduanya  sama.  Seperti  mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya, karena illatnya sama-sama menghabiskan.

3) Qiyas al-Adna, yaitu illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan illat’ yang ada pada ashl. Misalnya mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena  keduanya  mengandung  illat yang sama,  yaitu sama-sama jenis makanan.

b.   Dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum, terbagi atas:

1) Qiyas al-Jaliy, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan  dengan hukum ashl, atu nash tidak menetapkan  illat- nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan  antar ashl dengan furu’.

2)  Qiyas al-Khafiy, qiyas yang illat-nya tidak disebutkan dalam nash.

Contohnya,   meng-qiyaskan   pembunuhan   dengan   benda   berat kepada  pembunuhan  dengan  benda  tajam dalam  memberlakukan hukuman qishas, karena illat-nya sama-sama pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan.

c.   Dilihat dari segi keserasian illat dengan hukum, terbagi atas:

1)  Qiyas al-Mu’atstsir,  qiyas yang menjadi penghubung  antara ashl dengan  furu’  ditetapkan  melalui  nash  sharih  atau  ijma.’ Contohnya, meng-qiyaskan hak perwalian dalam menikahkan anak di bawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan illat belum dewasa. Illat belum dewasa ini ditetapkan melalui ijma’.

2)  Qiyas   al-Mula’im,   yaitu   qiyas   yang   illat   hukum   ashl-nya mempunyai hubungan yang serasi. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan  dengan  benda  berat  kepada  pembunuhan   dengan benda  tajam.  Illat pada  hukum  ashl  mempunyai  hubungan  yang serasi.

d.   Dilihat  dari  segi  dijelaskan  atau  tidaknya  illat  pada  qiyas  tersebut, terbagi atas:

1)  Qiyas  Dalalah,  yaitu  illat  yang  ada  pada  qiyas  menjadi  dalil (alasan)  bagi  hukum,  tetapi  tidak  diwajibkan  baginya  (furu’). Seperti  mengqiyaskan  wajib  zakat  pada  harta  anak-anak  kepada harta orang dewasa yang telah sampai senishab, tetapi bagi anak- anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji yang tidak diwajibkan atas anak-anak.

2)  Qiyas  al-Illat,  yaitu  qiyas  yang  dijelaskan  illat-nya  dan Illat itu sendiri merupakan  motivasi bagi hukum ashl. Contohnya,  meng- qiyaskan minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur (nabidz)  kepada  khamar,  karena  kedua  minuman  tersebut  sama- sam memiliki rangsangan yang kuat , baik pada ashl maupun pada furu’.

3)  Qiyas  al-Ma’na,  yaitu  qiyas  yang  di  dalamnya  tidak  dijelaskan illat-nya  tetapi  antara  ashl  dengan  furu’  tidak  dapat  dibedakan, sehingga   furu’   seakan-akan   ashl,   Contohnya,   meng-qiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya.

e. Dilihat dari segi metode dalam menemukan illat, terdiri atas :

1) Qiyas  al-Ikhalah,  yaitu  qiyas  yang  illat-nya  ditetapkan  melalui munashabah dan ikhalah.

2)  Qiyas  al-Sibru,  yaitu  qiyas  yang  illat-nya  ditetapkan   melalui metode al-sibru wa al-taqsim

3) Qiyas  al-Thard,  yaitu  qiyas  yang  illat-nya  ditetapkan  melalui metode  third

4) Qiyas Syabah, yaitu  qiyas  yang  illat-nya  menggunakan  metode syabah,  (mempunyai  keserupaan). Menurut  ulama  Ushul  Fiqh, terbagi atas dua bentuk :

a) Melakukan qiyas kesamaan yang dominan  dalam hukum dan sifat, yaitu   mengkaitkan   furu’ yang mempunyai bentuk kesamaan dengan dua hukum ashl. Tetapi  kemiripannya dengan  salah  satu  sifat  lebih  dominan  dibandingkan  dengan sifat lainnya. Contohnya,  menyamakan  hamba sahaya dengan harta, karena statusnya  yang bisa dimiliki,  atau menyamakan hamba sahaya dengan orang merdeka, disebabkan keduanya adalah   manusia. Dalam  persoalan ganti  rugi  akibat  suatu tindakan  hukum yang dilakukan  seorang  hamba sahaya,  sifat kesamaannya dengan orang  merdeka  lebih dominan dibandingkan  sebagai  sesuatu  yang dimiliki. Artinya,  apabila kesamaannya dengan harta yang dimiliki lebih dominan, maka ganti  rugi  terhadap  kelalaiannya  tidak  dapat  dituntut.  Oleh sebab itu, dalam kasus ganti rugi ini, hamba sahaya lebih mirip dan   lebih   dominan   kesamaannya   dengan   orang   merdeka, sehingga tindakan hukumnya harus dipertanggung-jawabkan.

b)  Qiyas shuri atau qiyas yang semu, yaitu meng-qiyaskan sesuatu kepada yang lain semata-mata karena kesamaan bentuknya. Contohnya, menyamakan kuda dengan keledai dalam kaitannya dengan  masalah  zakat, sehingga  apabila  keledai  tidak  wajib zakat, maka kuda pun tidak wajib zakat.

3. Rukun dan Syarat Qiyas

a. Asal,  yaitu  dasar, titik  tolak  di  mana  suatu  masalah  itu  dapat disamakan (musabbah bih), syaratnya :

1) Hukum asal-nya  tidak berubah-ubah  atau belum dinasakhkan, artinya hukum yang tetap berlaku.
2) Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya  menurut agama, artinya    sudah ada menurut ketegasan al-Qur’an dan al-Hadits.
3) Hukum  yang  berlaku  pada  asal  berlaku  pula  qiyas,  artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qiyas
b. Furu’ (cabang) yaitu suatu masalah yang akan diqiyaskan disamakan dengan asal (musabbah), syaratnya :

1). Hukum furu’ tidak boleh lebih dahulu dari hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya.
2). Hukum yang ada pada furu’ harus sama dengan hukum yang ada pada asal, tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal.
3.) Illat yang ada pada furu’ harus sama dengan illat yang ada pada asal

c. Illat,  yaitu  suatu  sebab  yang  menjadikan  adanya  hukum  sesuatu dengan persamaan. Dengan sebab ini baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (asal), syaratnya : 
1)  Illat harus selalu ada.
2)  Illat tidak bertentangan dengan ketentuan agama.

d. Hukum, yaitu ketentuan yang ditetapkan  pada furu’ bila sudah  ada ketetapan hukumnya pada asal (buahnya).

C.  Makna Filosofis Dibalik Kewajiban Membayar Zakat Profesi

Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang yang telah   memenuhi   syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya,   bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau perlu dengan tekanan penguasa. Pensyari'atan  zakat  di  dalam  Islam  menunjukkan  bahwa  Islam sangat   memperhatikan   masalah-masalah   kemasyarakatan,   terutama nasib orang-orang yang lemah secara  ekonominya. Sehingga mendekatkan hubungan kasih sayang antara sesama manusia dalam mewujudkan kata-kata bahwa  Islam  itu bersaudara,  saling  membantu,  dan  tolong-menolong;  yang kuat menolong yang lemah, yang kaya membantu yang miskin.

Salah  satu  tujuan  zakat  yang terpenting  adalah  mempersempit ketimpangan ekonomi dalam masyarakat sampai batas yang seminimal mungkin. Tujuannya adalah menjadikan perbedaan ekonomi di antara masyarakat secara adil dan seksama, sehingga yang kaya tidak semakin kaya (dengan mengeksploitasi  anggota masyarakat yang miskin) dan yang miskin tidak semakin miskin.

Makna  filosofi  yang  bisa  digali  dari  adanya  kewajiban  zakat  profesi kiranya mengacu dari garis besar tujuan disyariatkannya zakat. Namun dalam kesempatan lain, kewajiban zakat pada semua hasil kerja profesi menunjukkan tingkat  apresiasi  yang lebih pada sumber-sumber  harta yang wajib dizakati yang muncul di masa setelah Nabi.

Pengertian filosofis adalah sesuatu yang berhubungan dengan filsafat, sedangkan   filsafat  yang  dimaksud   adalah  ajaran  hukum  dan  perilaku. Memahami adanya kewajiban membayar zakat profesi, kiranya dari sudut keadilan, yang merupakan ciri utama ajaran (hukum) Islam dan anjuran dalam berperilaku, adalah sangat tepat.

Penetapan zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas- komoditas  tertentu  saja  yang  konvensional.  Petani  yang  kondisinya  secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai  nishab.  Karena  itu sangat adil pula apabila zakat profesi bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan   para dokter, ahli hukum, konsultan dalam  berbagai bidang,  dosen, pegawai, dan  karyawan  yang  memiliki  gaji tinggi, dan profesi lainnya.

Di samping itu, kewajiban zakat atas usaha profesi merupakan investasi produktif yang menghasilkan sumber produktif. Yang berarti bahwa al maal harus diupayakan untuk tidak mandeg, agar fungsinya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat  terpenuhi.  Menurut  syari’at,  investasi mengutamakan  hal-hal yang menyentuh kebutuhan pokok masyarakat, yakni berkenaan dengan sandang, pangan, dan papan yang dinilai vital dalam peningkatan kesejahteraan orang banyak.

Menurut Prof. Dr. Quraisy Shihab, ada tiga alasan yang bisa dijadikan landasan filosofis mengapa Allah SWT. mensyari'atkan kewajiban zakat. Dan juga  merupakan  pemaknaan  yang  tepat  ketika  zakat  profesi  menjadi  wajib untuk ditunaikan. Menurutnya tiga alasan tersebut antara lain:

1.   Istikhlaf (Penugasan sebagai Khalifah di Bumi)

Allah  SWT.  adalah  pemilik  seluruh  alam  raya  dan  segala  isinya, termasuk  pemilik  harta  benda.  Seseorang  yang  beruntung  memperolehnya pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemiliknya (Allah SWT). Manusia yang dititipi itu berkewajiban memenuhi ketetapan-ketetapan  yang digariskan oleh sang pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun dalam penggunaannya.

Zakat merupakan salah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan shadaqah  dan  infaq  pun  demikian.  Karena  Allah  SWT.  menjadikan  harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka harta tersebut harus diarahkan guna kepentingan bersama. Allah melarang manusia memberikan  harta benda kepada siapapun  yang diduga keras akan menyia- nyiakannya, walaupun harta itu "milik" (atas nama) orang yang menyia- nyiakannya., karena tindakan penyia-nyiaan akan merugikan semua pihak.

Sejak semula Tuhan telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan guna kepentingan bersama, bahkan agaknya tidak berlebihan jika dikatakan  bahwa "pada  mulanya"masyarakatlah  yang  berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian dari harta tersebut kepada pribadi-pribadi yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

2 .  Solidaritas Sosial

Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan  antara individu dalam suatu wilayah   membentuk   masyarakat   yang  walaupun   berbeda   sifatnya dengan individu-individu tersebut, namun manusia tidak dapat dipisahkan darinya.

Manusia tidak dapat hidup tanpa adanya masyarakat, karena sekian banyak   pengetahuan   diperoleh   manusia   melalui   masyarakatnya,   seperti bahasa, adat istiadat, sopan santun, dan lain-lain. Demikian juga dalam bidang material,   betapapun   seseorang   memiliki   kepandaian, namun hasil-hasil material  yang  diperolehnya  adalah  berkat  bantuan  pihak-pihak  lain,  baik secara langsung dan disadari, maupun tidak langsung.

Seorang   petani   dapat   berhasil   karena   adanya   irigasi,   alat-alat, makanan, pakaian, stabilitas keamanan yang kesemuanya tidak mungkin dapat diwujudkan secara mandiri. Demikian pula bagi seorang pedagang, siapakah yang menjual atau membeli dari dan kepadanya?. Dari segi lain, harus disadari bahwa produksi apapun bentuknya, pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang diciptakan   dan  dimiliki   Tuhan.   Dalam   berproduksi, manusia hanya mengadakan perubahan, penyesuaian, perakitan satu bahan dengan bahan lain yang telah diciptakan Allah SWT.

Manusia mengelola, tetapi Tuhan yang menciptakan dan memilikinya. Dengan  demikian   wajar  jika  Allah  memerintahkan   untuk  mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang diamanatkannya kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.

3.  Persaudaraan

Manusia  berasal dari satu keturunan,  antara seorang  dengan  lainnya terdapat pertalian darah, dekat atau jauh. Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya persamaan-persamaan  lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi, domisili, dan sebagainya.

Disadari oleh manusia semua bahwa hubungan persaudaraan menuntut bukan  sekedar  hubungan  take  and  give  (memberi  dan  menerima), atau pertukaran manfaat. Tetapi melebihi itu semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan, atau membantu tanpa dimintai bantuan.

Kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantarkan kepada kesadaran  menyisihkan  sebagian  harta kekayaan  khususnya  kepada  mereka yang  membutuhkan,  baik dalam  bentuk  dalam  kewajiban  membayar  zakat, maupun shadaqah dan infaq.

Kewajiban  membayar  zakat  profesi  adalah sesuai dengan tuntunan Islam  yang  menanamkan   nilai-nilai  kebaikan,  kemauan  berkorban,  belas kasihan, dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim. Sesuai pula dengan prinsip  kemanusiaan   yang  memang  harus  ada  dalam  masyarakat;  ikut merasakan beban orang lain dan menanamkannya dalam keyakinan beragama juga, sebagai pokok sifat kepribadiaannya.