Mengkhatamkan Al Quran di Bulan Ramadhan

Mengkhatamkan Al Quran di Bulan Ramadhan

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Tiada kata yang paling indah untuk diucapkan selain memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkah dan rahmat-Nya sehingga pada kesempatan ini, tahun ini, kita masih diberikan kekuatan, napas serta kesehatan sehingga kita masih dipertemukan oleh bulan Ramadhan tahun ini. Marilah kita sambut Ramadhan dengan perasaan riang gembira serta mengucapkan “Marhaban ya Ramadhan” sambutan yang berarti penuh kegembiraan, lapang dada, suka cita dan tidak ada batasan pada tamu yang sangat dinantikan oleh seluruh umat islam seluruh dunia.
Jamaah yang dirahmati oleh Allah SWT
Haruskah mengkhatamkan Al Quran di bulan Ramadhan? Dalam bahasan kajian ramadhan yang telah lewat telah kita bahas bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al Quran (Kajian Ramadhan 9).
Di antara ayat yang membuktikan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al Quran yaitu,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran” (QS. Al Baqarah: 185). Ayat ini masih membicarakan puasa Ramadhan. Berarti bisa dipahami bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang dikhususkan bagi kita untuk mengkaji Al Quran.

* Khatam Al Quran di Bulan Ramadhan *
Apakah mesti Al Quran itu dikhatamkan di bulan Ramadhan, baik saat shalat tarawih maupun di luar shalat?. Ibnu Taimiyah berkata, “Dalam shalat tarawih disunnahkan untuk mengkhatamkan Al Quran kala itu. Inilah yang disepakati oleh para ulama bahkan itulah bagian dari maksud tarawih. Tujuannya adalah supaya kaum muslimin bisa mendengarkan Al Quran seluruhnya di bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Quran. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang begitu semangat melakukan kebaikan. Beliau lebih bertambah semangat lagi di bulan Ramadhan, saat itu pula Jibril mengajari beliau Al Quran.” (Majmu’ Al Fatawa, 23: 122-123).
Jelas sekali apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Hal ini dianjurkan oleh para ulama supaya kaum muslimin bisa mendengar Al Quran seluruhnya selama sebulan penuh. Kalau ini tidak kita dapatkan dalam shalat, maka kita peroleh dengan tilawah Al Quran di luar shalat dari mushaf.

* Memang Tidak Harus *
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِى شَهْرٍ » . قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً حَتَّى قَالَ « فَاقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ وَلاَ تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ »
“Bacalah (khatamkanlah) Al Quran dalam sebulan.” ‘Abdullah bin ‘Amr lalu berkata, “Aku mampu menambah lebih dari itu.” Beliau pun bersabda, “Bacalah (khatamkanlah) Al Qur’an dalam tujuh hari, jangan lebih daripada itu.” (HR. Bukhari No. 5054).

Bukhari membawakan judul Bab untuk hadits ini,

باب فِى كَمْ يُقْرَأُ الْقُرْآنُ .وَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) .
“Bab Berapa Banyak Membaca Al Qur’an?”. Lalu beliau membawakan firman Allah,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” (QS. Al Muzammil: 20).

Kata Ibnu Hajar bahwa yang dimaksud oleh Imam Bukhari dengan membawakan surat Al Muzammil ayat 20 di atas berarti bukan menunjukkan batasan bahwa satu bulan harus satu juz. Dalam riwayat Abu Daud dari jalur lain dari ‘Abdullah bin ‘Amr ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Berapa hari mesti mengkhatamkan Al Qur’an?” Beliau katakan 40 hari [artinya, satu hari bisa jadi kurang dari satu juz]. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab lagi, “Satu bulan.” [Artinya, satu hari bisa rata-rata mengkhatamkan satu juz] (Lihat Fathul Bari, 9: 95).

Ibnu Hajar mengatakan,

لِأَنَّ عُمُوم قَوْله : ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) يَشْمَل أَقَلّ مِنْ ذَلِكَ ، فَمَنْ اِدَّعَى التَّحْدِيد فَعَلَيْهِ الْبَيَان
“Karena keumuman firman Allah yang artinya, “ Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran ” mencakup pula jika kurang dari itu (kurang dari satu juz). Barangsiapa yang mengklaim harus dengan batasan tertentu, maka ia harus datangkan dalil (penjelas).” (Fathul Bari, 9: 95)

Ibnu Hajar juga menukil perkataan Imam Nawawi,

وَقَالَ النَّوَوِيّ : أَكْثَر الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا تَقْدِير فِي ذَلِكَ ، وَإِنَّمَا هُوَ بِحَسَبِ النَّشَاط وَالْقُوَّة ، فَعَلَى هَذَا يَخْتَلِف بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَال وَالْأَشْخَاص
“Imam Nawawi berkata, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan hari dalam mengkhatamkan Al Qur’an, semuanya tergantung pada semangat dan kekuatan. Dan ini berbeda-beda satu orang dan lainnya dilihat dari kondisi dan person.” (Fathul Bari, 9: 97).

Abu Sa’id Al Khudri ketika ditanya firman Allah,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ
“Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran ” (QS. Al Muzammil: 20). Jawab beliau, “Iya betul. Bacalah walau hanya lima ayat.” (Disebutkan dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 414).
Dalam riwayat Ath Thabari disebutkan dengan sanad yang shahih, dijawab oleh Abu Sa’id, “Walau hanya lima puluh ayat.” (Diriwayatkan oleh Ath Tahabari, 29: 170).
Dari As Sudi, ditanya mengenai ayat di atas, maka beliau jawab, “Walau 100 ayat.” (Idem). Intinya semuanya tergantung kemudahan. Bagi yang mudah untuk mengkhatamkan Al Quran satu bulan penuh, silakan khatamkan. Bagi yang tidak mampu, tidaklah terkena dosa.

Ada tips yang bisa kami berikan bagi yang ingin mengkhatamkan Al Quran satu bulan penuh :
– Al Quran terdiri dari 30 juz.
– 1 Juz terdiri dari 20 halaman (10 lembar).
– Buat target, sehabis tiap shalat 5 waktu untuk membaca 4 halaman (2 lembar).
– 1 hari bisa 1 juz yang didapatkan, sebulan bisa dapat 30 juz.

Semoga Allah memudahkan kita untuk menjadikan bulan Ramadhan sebagai syahrul quran (bulan Al Quran). Hanya Allah yang memberi taufik.
Sungguh bulan Ramadhan memiliki kedudukan istimewa daripada 11 bulan yang lain. Semoga kita masih bisa dipertemukan dengan bulan Ramadhan yang akan datang...Aamiin

Zakat Fitrah

Zakat Fitrah

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Tiada kata yang paling indah untuk diucapkan selain memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkah dan rahmat-Nya sehingga pada kesempatan ini, tahun ini, kita masih diberikan kekuatan, napas serta kesehatan sehingga kita masih dipertemukan oleh bulan Ramadhan tahun ini. Marilah kita sambut Ramadhan dengan perasaan riang gembira serta mengucapkan “Marhaban ya Ramadhan” sambutan yang berarti penuh kegembiraan, lapang dada, suka cita dan tidak ada batasan pada tamu yang sangat dinantikan oleh seluruh umat islam seluruh dunia.
Jamaah yang dirahmati oleh Allah SWT
umat Islam diwajibkan untuk membayar zakat fitrah untuk diri sendiri, untuk anak dan istri, serta untuk para pelayannya, atau orang yang menjadi tanggungannya. Semua itu harus dikeluarkan zakat fitrahnya sebanyak 2,5 kg walaupun masih kecil yang baru lahir.
Kewajiban membayar zakat itu ada tiga hal, yaitu:

  • 1.Islam, maka tidak ada kewajiban bagi orang-orang kafir untuk membayar zakat.
  • 2.Terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadhan. Oleh sebab itu bagi orang yang mati sebelum terbenamnya matahari tidak wajib dikeluarkan zakat fitrahnya.
  • 3.Ada kelebihan makanan pokok, untuk dirinya dan keluarganya pada hari raya itu. Jadi orang miskin yang tidak punya beras di rumahnya, maka ia tidak wajib untuk membayar zakat fitrah.
    Perhatikan firman Allah SWT dalam Al-Quran yang artinya “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana*” (QS. At-Taubah: 60).
    Keterangan*: Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
    Sungguh bulan Ramadhan memiliki kedudukan istimewa daripada 11 bulan yang lain. Semoga kita masih bisa dipertemukan dengan bulan Ramadhan yang akan datang...Aamiin

Pintu Surga Ar Rayyan bagi Orang yang Berpuasa

Pintu Surga Ar Rayyan bagi Orang yang Berpuasa

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Tiada kata yang paling indah untuk diucapkan selain memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkah dan rahmat-Nya sehingga pada kesempatan ini, tahun ini, kita masih diberikan kekuatan, napas serta kesehatan sehingga kita masih dipertemukan oleh bulan Ramadhan tahun ini. Marilah kita sambut Ramadhan dengan perasaan riang gembira serta mengucapkan “Marhaban ya Ramadhan” sambutan yang berarti penuh kegembiraan, lapang dada, suka cita dan tidak ada batasan pada tamu yang sangat dinantikan oleh seluruh umat islam seluruh dunia.
Jamaah yang dirahmati oleh Allah SWT
Ar Rayyan secara bahasa berarti puas, segar dan tidak haus. Ar Rayyan ini adalah salah satu pintu di surga dari delapan pintu yang ada yang disediakan khusus bagi orang yang berpuasa.
Dari Sahl bin Sa’ad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di surga ada suatu pintu yang disebut “ar rayyan“. Orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak akan memasukinya. Nanti orang yang berpuasa akan diseru, “Mana orang yang berpuasa.” Lantas mereka pun berdiri, selain mereka tidak akan memasukinya. Jika orang yang berpuasa tersebut telah memasukinya, maka akan tertutup dan setelah itu tidak ada lagi yang memasukinya” (HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152).
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Al Fath menyebutkan, “Ar Rayyan dengan menfathahkan huruf ro’ dan mentasydid ya’, mengikuti wazan fi’il (kata kerja) dari kata ‘ar riyy‘ yang maksudnya adalah nama salah satu pintu di surga yang hanya dikhususkan untuk orang yang berpuasa memasukinya. Dari sisi lafazh dan makna ada kaitannya. Karena kata ar rayyan adalah turunan dari kata ar riyy yang artinya bersesuaian dengan keadaan orang yang berpuasa. Orang yang berpuasa kelak akan memasuki pintu tersebut dan tidak pernah merasakan haus lagi.” (Fathul Bari, 4: 131).
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa dalam lafazh hadits lainnya disebutkan bahwa di surga itu ada delapan buah pintu. Salah satu pintu dinamakan Ar Rayyan. Pintu tersebut tidaklah dimasuki selain orang yang berpuasa (lihat Fathul Bari, 4: 132). Hadits yang dimaksud adalah,
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « فِى الْجَنَّةِ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابٍ ، فِيهَا بَابٌ يُسَمَّى الرَّيَّانَ لاَ يَدْخُلُهُ إِلاَّ الصَّائِمُونَ »
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Surga memiliki delapan buah pintu. Di antara pintu tersebut ada yang dinamakan pintu Ar Rayyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari no. 3257).
Hadits di atas juga menunjukkan al jaza’ min jinsil ‘amal, yaitu balasan dari Allah sesuai dengan jenis amalan. Dan juga menandakan bahwa siapa saja yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka akan diganti dengan yang lebih baik, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً اتِّقَاءَ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ إِلاَّ أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْراً مِنْهُ
“Jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah ‘azza wa jalla, maka Allah akan mengganti padamu dengan yang lebih baik” (HR. Ahmad 5: 78, sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Karena orang yang berpuasa itu meninggalkan syahwat hubungan intim, makan dan minum semuanya karena Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِى
“Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku” (HR. Bukhari no. 7492 dan Muslim no. 1151).
Karena ia meninggalkan kenikmatan-kenikmatan ini karena Allah, maka Dia akan mengganti dengan yang lebih baik. Bahkan amalan puasa ini dikhususkan untuk Allah, Dialah yang nanti akan membalasnya. Dalam hadits qudsi disebutkan,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ ، إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
“Setiap amalan manusia adalah untuknya. Kecuali amalan puasa itu untuk Allah dan Dia yang nanti akan membalasnya” (HR. Bukhari no. 5927 dan Muslim no. 1151).
Mengenai hadits balasan pintu Ar Rayyan di atas mengandung pelajaran tentang keutamaan puasa dan karomah bagi orang yang berpuasa. Demikian kata Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (8: 31).
Semoga Allah memudahkan kita untuk memasuki pintu tersebut dengan amalan puasa kita.
Sungguh bulan Ramadhan memiliki kedudukan istimewa daripada 11 bulan yang lain. Semoga kita masih bisa dipertemukan dengan bulan Ramadhan yang akan datang...Aamiin

Hikmah I’tikaf di Bulan Ramadhan

Hikmah I’tikaf di Bulan Ramadhan

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Tiada kata yang paling indah untuk diucapkan selain memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkah dan rahmat-Nya sehingga pada kesempatan ini, tahun ini, kita masih diberikan kekuatan, napas serta kesehatan sehingga kita masih dipertemukan oleh bulan Ramadhan tahun ini. Marilah kita sambut Ramadhan dengan perasaan riang gembira serta mengucapkan “Marhaban ya Ramadhan” sambutan yang berarti penuh kegembiraan, lapang dada, suka cita dan tidak ada batasan pada tamu yang sangat dinantikan oleh seluruh umat islam seluruh dunia.
Jamaah yang dirahmati oleh Allah SWT
Kita tahu namanya i’tikaf adalah di antara jalan mudah untuk meraih malam penuh kemuliaan, lailatul qadar. Apa hikmah lainnya di balik i’tikaf?
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid untuk beribadah kepada Allah dilakukan oleh orang yang khusus dengan tata cara yang khusus. (Lihat Ahkamul I’tikaf, hal. 27 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 5: 206)
I’tikaf ini dikaitkan dengan masalah puasa karena dalam Al Qur’an ketika menyebut masalah puasa disinggung pula perihal i’tikaf. Sampai-sampai para ulama fikih pun ketika membahas kitab shiyam (puasa) melanjutkan dengan bahasan i’tikaf karena mengikuti metode Al Qur’an dalam menyebutkannya. Mengenai masalah i’tikaf disebutkan dalam ayat,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
Ayat di atas menerangkan bahwa saat i’tikaf tidak boleh seseorang keluar dari masjid lalu menemui istrinya untuk berhubungan intim kemudian kembali lagi ke masjid. Allah melarang seperti itu. Ini semua ingin menunjukkan di antaranya hikmahnya i’tikaf adalah untuk bisa berkonsentrasi dalam ibadah.

Kesimpulannya, di antara hikmah dilakukannya i’tikaf adalah :
1- Hati lebih berkonsentrasi dan bersendirian dalam ibadah pada Allah.
2- Memutuskan diri dari berinteraksi dengan lainnya dan hanya menyibukkan diri dengan Allah.
3- Mudah untuk konsentrasi dalam dzikir.
4- Tafakkur (merenungkan diri).
5- Muhasabah (introspeksi diri).
6- Mudah untuk memanjatkan doa.
7- Lebih memperbanyak ibadah.
8- Menggapai malam lailatul qadar.

Sedangkan hikmah terbesar dari i’tikaf -sebagaimana kata Ibnul Qayyim- adalah untuk membuat seseorang makin cinta pada Allah sebagai ganti kecintaannya pada makhluk. Lihat Zaadul Ma’ad, 2: 86-87.

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan i’tikaf ini dan bisa meraih hikmah di dalamnya.
Sungguh bulan Ramadhan memiliki kedudukan istimewa daripada 11 bulan yang lain. Semoga kita masih bisa dipertemukan dengan bulan Ramadhan yang akan datang...Aamiin

Sibuk Cari Pakaian Baru di Akhir Ramadhan

Sibuk Cari Pakaian Baru di Akhir Ramadhan

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Tiada kata yang paling indah untuk diucapkan selain memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkah dan rahmat-Nya sehingga pada kesempatan ini, tahun ini, kita masih diberikan kekuatan, napas serta kesehatan sehingga kita masih dipertemukan oleh bulan Ramadhan tahun ini. Marilah kita sambut Ramadhan dengan perasaan riang gembira serta mengucapkan “Marhaban ya Ramadhan” sambutan yang berarti penuh kegembiraan, lapang dada, suka cita dan tidak ada batasan pada tamu yang sangat dinantikan oleh seluruh umat islam seluruh dunia.
Jamaah yang dirahmati oleh Allah SWT
Memikirkan pakaian baru sah-sah saja, itu adalah bagian dari yang dihalalkan. Namun jika karena memikirkan baru sehingga membuat kesibukan di akhir-akhir Ramadhan malah di mall dan tempat perbelanjaan, itu yang masalah. Pakaian baru jadinya hanya membuat seseorang luput dari nikmatnya shalat tarawih, indahnya bermunajat dengan Allah lewat i’tikaf, juga tilawah Al Qur’an. Padahal yang lebih dipentingkan adalah pakaian takwa, bukan pakaian baru.
Tujuan ibadah puasa adalah untuk menggapai takwa,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan pada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).

Pakaian takwa itulah yang terbaik, bukanlah pakaian lahiriyah. Allah Ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS. Al A’raf: 26).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa pakaian itu ada dua macam, yaitu pakaian lahiriyah dan pakaian batin. Pakaian lahiriyah yaitu yang menutupi aurat dan ini sifatnya primer. Termasuk pakaian lahir juga adalah pakaian perhiasan yang disebut dalam ayat di atas dengan riisya’ yang berarti perhiasan atau penyempurna.
Pakaian batin sendiri adalah pakaian takwa. Pakaian ini lebih baik daripada pakaian lahir yang nampak. Setelah menyebutkan dua penjelasan di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan, “Kita dapati bahwa orang-orang begitu semangat sekali memperhatikan bersihnya pakaiannya yang nampak. Jika ada kotoran yang menempel di pakaiannya, maka ia akan mencucinya dengan air dan sabun sesuai kemampuannya. Namun untuk pakaian takwa, sedikit sekali yang mau memperhatikannya. Kalau pakaian batin tersebut kotor, tidak ada yang ambil peduli. Ingatlah, pakaian takwa itulah yang lebih baik. Itu menunjukkan seharusnya perhatian kita lebih tinggi pada pakaian takwa dibanding badan dan pakaian lahir yang nampak. Pakaian takwa itulah yang lebih penting.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 266).

Dari penjelasan Syaikh di atas, kita lihat bahwa yang mesti diperhatikan adalah pakaian takwa, bukanlah pakaian baru. Termasuk pula di akhir-akhir Ramadhan, takwa inilah yang seharusnya jadi perhatian kita. Hanya Allah yang memberi taufik.
Sungguh bulan Ramadhan memiliki kedudukan istimewa daripada 11 bulan yang lain. Semoga kita masih bisa dipertemukan dengan bulan Ramadhan yang akan datang...Aamiin

Tanda Lailatul Qadar dan Kapan Lailatul Qadar Terjadi?

Tanda Lailatul Qadar dan Kapan Lailatul Qadar Terjadi?

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Tiada kata yang paling indah untuk diucapkan selain memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkah dan rahmat-Nya sehingga pada kesempatan ini, tahun ini, kita masih diberikan kekuatan, napas serta kesehatan sehingga kita masih dipertemukan oleh bulan Ramadhan tahun ini. Marilah kita sambut Ramadhan dengan perasaan riang gembira serta mengucapkan “Marhaban ya Ramadhan” sambutan yang berarti penuh kegembiraan, lapang dada, suka cita dan tidak ada batasan pada tamu yang sangat dinantikan oleh seluruh umat islam seluruh dunia.
Jamaah yang dirahmati oleh Allah SWT
Lailatul qadar adalah malam yang ditetapkan Allah bagi umat Islam. Ada dua pengertian mengenai maksud malam tersebut. Pertama, lailatul qadar adalah malam kemuliaan. Kedua, lailatul qadar adalah waktu ditetapkannya takdir tahunan. Kedua makna ini adalah maksud dari lailatul qadar.

Lailatul qadar adalah waktu penetapan takdir sebagaimana disebutkan dalam ayat,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhon: 4). Qotadah berkata, “Yang dimaksud adalah pada malam lailatul qadar ditetapkan takdir tahunan.” (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 13: 132)

* Kapan Lailatul Qadar Terjadi? *
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169).
Yang dimaksud dalam hadits ini adalah semangat dan bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh hari tersebut. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 53.

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017).

Kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun (lihat Fathul Bari, 4: 262-266 dan Syarh Shahih Muslim, 6: 40).
Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021)
Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan (lihat Fathul Bari, 4: 266).

* Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar *
Ibnu Hajar Al Asqolani berkata,

وَقَدْ وَرَدَ لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ عَلَامَاتٌ أَكْثَرُهَا لَا تَظْهَرُ إِلَّا بَعْدَ أَنْ تَمْضِي
“Ada beberapa dalil yang membicarakan tanda-tanda lailatul qadar, namun itu semua tidaklah nampak kecuali setelah malam tersebut berlalu.” (Fathul Bari, 4: 260).
Di antara yang menjadi dalil perkataan beliau di atas adalah hadits dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,

هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.
“Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru.” (HR. Muslim no. 762).

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul Ahadits 18: 361. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 5475.) Jika demikian, maka tidak perlu mencari-cari tanda lailatul qadar karena kebanyakan tanda yang ada muncul setelah malam itu terjadi. Yang mesti dilakukan adalah memperbanyak ibadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan, niscaya akan mendapati malam penuh kemuliaan tersebut.

* Jangan Hanya Memilih Malam Ganjil, Malam Lailatul Qadar Bisa Jadi di Malam Genap *
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa sepantasnya bagi seorang muslim untuk mencari malam lailatul qadar di seluruh sepuluh hari terakhir. Karena keseluruhan malam sepuluh hari terakhir bisa teranggap ganjil jika yang dijadikan standar perhitungan adalah dari awal dan akhir bulan Ramadhan. Jika dihitung dari awal bulan Ramadhan, malam ke-21, 23 atau malam ganjil lainnya, maka sebagaimana yang kita hitung. Jika dihitung dari Ramadhan yang tersisa, maka bisa jadi malam genap itulah yang dikatakan ganjil. Dalam hadits datang dengan lafazh,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
“Carilah malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Bisa jadi lailatul qadar ada pada sembilan hari yang tersisa, bisa jadi ada pada tujuh hari yang tersisa, bisa jadi pula pada lima hari yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021). Jika bulan Ramadhan 30 hari, maka kalau menghitung sembilan malam yang tersisa, maka dimulai dari malam ke-22. Jika tujuh malam yang tersisa, maka malam lailatul qadar terjadi pada malam ke-24. Sedangkan lima malam yang tersisa, berarti lailatul qadar pada malam ke-26, dan seterusnya (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25: 285).

Semoga Allah memudahkan kita bersemangat dalam ibadah di akhir-akhir Ramadhan dan moga kita termasuk di antara hamba yang mendapat malam yang penuh kemuliaan.
Sungguh bulan Ramadhan memiliki kedudukan istimewa daripada 11 bulan yang lain. Semoga kita masih bisa dipertemukan dengan bulan Ramadhan yang akan datang...Aamiin