SYARAT SHALAT KE-3

SYARAT SHALAT KE-3



وَ ثَالِثُهَا- أَيْ شُرُوْطِ الصَّلَاةِ (سَتْرُ رَجُلٍ) وَ لَوْ صَبِيًّا (و أَمَةٍ) وَ لَو مُكَاتَبَةً وَ أُمَّ وَلَدٍ (مَا بَيْنَ سُرَّةٍ وَ رُكْبَةٍ) لَهُمَا وَ لَوْ خَالِيًا فِيْ ظُلْمَةٍ لِلْخَبَرِ الصَّحِيْحِ: “لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ أَيْ بَالِغٍ إِلَّا بِخِمَارٍ”. وَ يَجِبُ سَتْرُ جُزْءٍ مِنْهُمَا لِيَتَحَقَّقَ بِهِ سَتْرُ الْعَوْرَةِ. (وَ) سَتْرُ (حُرَّةِ) وَ لَوْ صَغِيْرَةً (غَيْرَ وَجْهٍ وَ كَفَّيْنِ) ظَهْرُهُمَا وَ بَطْنُهُمَا إِلَى الْكُوْعَيْنِ (بِمَا لَا يَصِفُ لَوْنًا) أَيْ لَوْنِ الْبَشَرَةِ فِيْ مَجْلِسِ التَّخَاطُبِ. كَذَا ضَبَطَهُ بِذلِكَ أَحْمَدُ بْنُ مُوْسَى بْنِ عُجَيْل. وَ يَكْفِيْ مَا يُحْكِيْ لِحَجْمِ الْأَعْضَاءِ، لَكِنَّهُ خِلَافُ الْأَوْلَى، وَ يَجِبُ السَّتْرُ مِنَ الْأَعْلَى وَ الْجَوَانِبِ لَا مِنَ الْأَسْفَلِ (إِنْ قَدَرَ) أَيْ كُلٍّ مِنَ الرَّجُل وَ الْحُرَّةِ وَ الْأَمَةِ. (عَلَيْهِ) أَيِ السَّتْرُ. أَمَّا الْعَاجِزُ عَمَّا يَسْتُرُ الْعَوْرَةَ فَيُصَلِّيْ وُجُوْبًا عَارِيًا بِلَا إِعَادَةٍ، وَ لَوْ مَعَ وُجُوْدِ سَاتِرٍ مُتَنَجِّسٍ تَعَذَّرَ غَسْلُهُ، لَا مَنْ أَمْكَنَهُ تَطْهِيْرُهُ، وَ إِنْ خَرَجَ الْوَقْتُ، وَ لَوْ قَدَرَ عَلَى سَاتِرِ بَعْضِ الْعَوْرَةُ لَزِمَهُ السَّتْرُ بِمَا وُجِدَ، وَ قَدَّمَ السَّوْأَتَيْنِ فَالْقُبُلَ فَالدُّبُرَ، وَ لَا يُصَلِّيْ عَارِيًا مَعَ وُجُوْدِ حَرِيْرٍ بَلْ لَابِسًا لَهُ، لِأَنَّهُ يُبَاحُ لِلْحَاجَةِ. وَ يَلْزَمُ التَّطْيِيْنُ لَوْ عَدِمَ الثَّوْبَ أَوْ نَحْوُهُ. وَ يَجُوْزُ لِمُكْتَسٍ اِقْتِدَاءٌ بِعَارٍ، وَ لَيْسَ لِلْعَارِيْ غَصْبُ الثَّوْبِ. وَ يُسَنُّ لِلْمُصَلِّيْ أَنْ يَلْبِسَ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَ يَرْتَدِيْ وَ يَتَعَمَّمَ وَ يَتَقَمَّصَ وَ يَتَطَيْلَسَ، وَ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ ثَوْبَانِ فَقَطْ لَبِسَ أَحَدَهُمَا وَ ارْتَدَى بِالْآخَرِ إِنْ كَانَ ثَمَّ سُتْرَةً، وَ إِلَّا جَعَلَهُ مُصَلَّى. كَمَا أَفْتَى بِهِ شَيْخُنَا.

(Syarat shalat yang kedua) adalah (menutupinya seorang lelaki) – walaupun seorang anak kecil – , dan budak wanita walaupun budak mukātab dan umm-ul-walad, (anggota badan di antara pusar dan lutut) walaupun menyepi dalam kegelapan sebab hadits shaḥīḥ: Allah tidak menerima shalatnya seorang yang telah baligh tanpa menggunakan penutup kepala.1 Wajib untuk menutup sebagian dari pusar dan lutut supaya penutupan aurat tersebut nyata terjadi. Dan menutupinya seorang wanita yang merdeka2 – walaupun seorang anak kecil – , anggota tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan bagian luar dan dalam sampai dua pergelangan tangan (dengan menggunakan penutup yang tidak dapat menyifati warna kulit dari tempat percakapan. Begitulah Imām Aḥmad bin Mūsā bin ‘Ujail membatasinya. Penutup yang dapat menampakkan bentuk tubuh hukumnya mencukupi, namun Khilāf-ul-Aulā.3 Wajib menutup aurat dari arah atas dan seluruh sisi bukan dari bagian bawah,4 jika lelaki dan wanita tersebut mampu untuk mendapatkan penutup. Sedangkan orang yang tidak mampu dari penutup aurat5 maka wajib shalat dalam keadaan telanjang tanpa harus mengulangi shalatnya, walaupun besertaan adanya penutup aurat yang terkena najis dan sulit untuk dihilangkan. Bukan orang yang mampu untuk mensucikan penutup aurat itu walaupun sampai keluar waktu shalat. Jikalau seseorang hanya mampu menemukan sebagian penutup aurat, maka wajib menggunakan penutup tersebut dengan mendahulukan dua kemaluannya, alat kelamin lalu anusnya. Tidak diperbolehkan shalat dengan keadaan telanjang besertaan adanya kain sutra sebab sutra diperbolehkan bila ada hajat. Wajib untuk melumuri tubuhnya dengan lumpur6 jikalau tidak ditemukan pakaian dan semacamnya. Diperbolehkan bagi seorang yang shalat dengan memakai baju untuk bermakmum pada imam yang telanjang7. Tidaklah diperbolehkan bagi seorang yang telanjang untuk mengashab baju.8 Disunnahkan bagi seorang yang shalat untuk memakai baju yang paling bagus, memakai selendang, memakai serban, memakai baju kurung, dan memakai jubah. Jika seandainya ia hanya memiliki dua baju, maka yang satu dipakai dan yang lain digunakan untuk selendang bila di tempat shalat itu telah ada batas shalat, jika belum ada maka baju yang lain dijadikan sebagai sajadah seperti yang telah difatwakan oleh guru kita.

1Dalil ini adalah dalil kewajiban mutlak menutup aurat, bukan dalil untuk aurat yang berada di antara pusar dan lutut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 133 Darul Fikr.
2Wanita memiliki empat aurat: (Disamping lelaki lain): Seluruh badannya. (Disamping mahram dan tempat sepi): Anggota di antara pusar dan lutut). (Disamping wanita kafir): Anggota yang tertutup saat bekerja. (Di dalam shalat): Seluruh badan selain muka dan dua telapak tangan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 134 Darul Fikr.
3Bagi seorang lelaki. Sedang bagi wanita dan khuntsa hukumnya makruh. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 134 Darul Fikr.
4Bagi wanita wajib pula menutup telapak kaki dari arah bawah dan itu cukupkan dengan tanah yang diinjak. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 134 Darul Fikr.
5Tidak wajib menerima pemberian kain penutup aurat dan wajib menerima dari sebuah pinjaman. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 134 Darul Fikr.
6Dalam Bujairamī disebutkan bahwa diperbolehkan dalam shalat untuk melumuri tubuhnya dengan lumpur walaupun memiliki kain penutup. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 135 Darul Fikr.
7Sebab shalat orang yang telanjang tidak wajib untuk diulangi. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 135 Darul Fikr.
8Hukumnya haram namun shalatnya sah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 135 Darul Fikr.


فَرْعٌ- يَجِبُ هذَا السَّتْرُ خَارِجَ الصَّلَاةِ أَيْضًا، وَ لَوْ بِثَوْبٍ نَجِسٍ أَوْ حَرِيْرٍ لَمْ يجِدْ غَيْرَهُ، حَتَّى فِي الْخُلْوَةِ، لكِنِ الْوَاجِبُ فِيْهَا [^1]: سَوْأَتَيِ الرَّجُلِ، وَ مَا بَيْنَ سُرَّةِ وَ رُكْبَةِ غَيْرِهِ. وَ يَجُوْزُ كَشْفُهَا فِي الخُلْوَةِ، وَ لَوْ مِنَ الْمَسْجِدِ، لِأَدْنَى غَرَضٍ كَتَبْرِيْدٍ وَ صِيَانَةِ ثَوْبٍ مِنَ الدَّنَسِ، وَ الْغُبَارِ عِنْدَ كَنْسِ الْبَيْتِ، وَ كَغَسْلٍ.

(Cabangan Masalah). Menutup aurat ini hukumnya juga wajib di luar shalat, – walaupun dengan baju yang najis atau sutra yang tidak ditemukan baju selainnya – sampai di tempat yang sepi, namun kewajiban di dalam tempat yang sepi bagi seorang lelaki adalah menutup kedua kemaluan dan bagi selainnya adalah anggota di antara pusar dan lutut. Diperbolehkan membuka aurat di tempat yang sepi walaupun di dalam masjid, sebab minimal tujuan seperti mendinginkan tubuh, menjaga baju dari kotoran, dan debu saat menyapu rumah dan seperti saat mandi.9

9Faidah: Diperbolehkan untuk melihat auratnya sendiri di selain shalat, namun hukumnya makruh tanpa hajat. Sedangkan bila di dalam shalat hukumnya tidak diperbolehkan dan hukumnya membatalkan shalat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 136 Darul Fikr.

TENTANG NAJĀSAH


TENTANG NAJĀSAH

وَ لَا يَجِبُ اجْتِنَابُ النَّجَسِ- فِيْ غَيْرِ الصَّلَاةِ، وَ مَحَلُّهُ فِيْ غَيْر التَّضَمُّخِ بِهِ فِيْ بَدَنٍ أَوْ ثَوْبٍ، فَهُوَ حَرَامٌ بِلَا حَاجَةٍ، وَ هُوَ شَرْعًا مُسْتَقْذَرٌ، يَمْنَعُ صِحَّةَ الصَّلَاةِ حَيْثَ لَا مُرَخِّصَ، فَهُوَ (كَرَوْثٍ وَ بَوْلٍ وَ لَوْ) كَانَا مِنْ طَائرٍ وَ سَمَكٍ وَ جَرَادٍ وَ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ، أَوْ (مِنْ مَأْكُوْلٍ) لَحْمُهُ عَلَى الْأَصَحِّ. قَالَ الْإِصْطَخْرِيُّ وَ الرَّوْيَانِيُّ مِنْ أَئِمَّتِنَا، كَمَالِكٍ وَ أَحْمَدَ: إِنَّهُمَا طَاهِرَانِ مِنَ الْمَأْكُوْلِ. وَ لَوْ رَاثَتْ أَوْ قَاءَتْ بَهِيْمَةٌ حَيًّا، فَإِنْ كَانَ صُلْبًا بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ، فَمُتَنَجِّسٌ يُغْسَلُ وَ يُؤكَلُ، وَ إِلَّا فَنَجِسٌ. وَ لَمْ يُبَيِّنُوْا حُكْمَ غَيْرِ الْحَبِّ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ الَّذِيْ يَظْهَرُ أَنَّهُ إِنْ تَغَيَّرَ عَنْ حَالِهِ قَبْلَ الْبَلْعِ وَ لَوْ يَسِيْرًا فنَجِسٌ، وَ إِلَّا فمُتَنَجِّس. وَ فِي الْمَجْمُوْعِ عَنْ شَيْخِ نَصْرِ: الْعَفْوُ عَنْ بَوْلِ بَقَرِ الدِّيَاسَةِ عَلَى الْحَبِّ. وَ عَنِ الْجُوَيْنِيِّ: تَشْدِيْدُ النَّكِيْرِ عَلَى الْبَحْثِ عَنْهُ وَ تَطْهِيْرِهِ. وَ بَحَثَ الْفَزَارِيُّ الْعَفْوَ عَنْ بَعْرِ الْفَأْرَةِ إِذَا وَقَعَ فِيْ مَائِعٍ وَ عَمَّتِ الْبَلْوَى بِهِ. وَ أَمَّا مَا يُوْجَدُ عَلَى وَرَقِ بَعْضِ الشَّجَرِ كَالرّغْوَةِ فَنَجِسٌ، لِأَنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ بَاطِنِ بْعْضِ الدِّيْدَانِ، كَمَا شُوْهِدَ ذلِكَ وَ لَيْسَ الْعَنْبَرُ رَوْثًا، خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَهُ، بَلْ هُوَ نَبَاتٌ فِي الْبَحْرِ.

(Tidak wajib menghindari najis) di selain shalat,1 selagi orang tersebut tidak sengaja melumuri tubuh atau bajunya dengan najis, maka hukumnya haram. Najis secara syara‘ adalah sesuatu yang menjijikkan yang dapat mencegah keabsahan shalat sekira tidak mendapat keabsahan shalat sekira tidak mendapat dispensasi.2 (Najis itu seperti kotoran hewan dan air kencing) walaupun keduanya dari burung, ikan, belalang dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, (atau dari hewan yang halal dimakan dagingnya) menurut pendapat yang Ashaḥ. Imām Isthahrī dan Rauyānī dari ulama’ kita Shāfi‘iyyah3 seperti halnya madzhab Mālik dan Aḥmad mengatakan bahwa kotoran dan kencing hewan dari hewan yang halal dimakan dagingnya keduanya suci. Kalau seandainya ada hewan yang mengeluarkan kotoran dan memuntahkan sebuah biji dan biji tersebut masih keras sekira bila ditanam masih dapat tumbuh, maka hukumnya mutanajjis yang dapat menjadi suci dengan dibasuh dan dapat dimakan, jika tidak seperti itu maka hukumnya najis. Para ulama’ tidak menjelaskan hukum selain biji-bijian,4 guru kita berkata: Kejelasannya, jika selain biji tersebut berubah dari bentuk awalnya sebelum ditelan, walaupun dengan sedikit perubahan, maka hukumnya najis dan jika tidak berubah, maka hukumnya mutanajjis. Dalam Majmū‘-nya disebutkan permasalahan yang dikutib dari Syaikh Nashir: Bahwa biji-bijian yang terkena air kencing sapi yang digunakan untuk menggiling, hukumnya diampuni, dikutip pula dari Imām Juwainī bahwa beliau sangat mengingkari atas pembahasan dan sucinya biji tersebut. Imām al-Fazārī juga membahas tentang diampuninya kotoran tikus ketika kotoran itu jatuh ke dalam benda cair dan hal itu umum terjadi. Sedangkan benda yang ditemukan di sebagian daun pepohonan seperti halnya buih, hukumnya adalah najis sebab buih tersebut keluar dari batin sebagian ulat seperti realita yang telah disaksikan. ‘Anbar bukanlah kotoran, sedang sebagian ulama’ mengira hal itu, bahkan ‘Anbar adalah rumput laut.

1Ketika ada hajat, seperti menguras WC, menyembelih hewan dan digunakan obat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 98 Darul Fikr.
2Seperti bekas istinja’ dengan batu. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 99 Darul Fikr.
3Pendapat ini adalah muqābil ashaḥ. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 99 Darul Fikr.
4Imām Ramlī dalam Nihāyah-nya mengatakan bahwa hukum telur yang ditelan kemudian keluar masih dalam keadaan utuh hukumnya mutanajjis bila kemungkinan besar masih dapat menetas. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 99 Darul Fikr.


وَ مَذِيٍّ- بِمُعْجَمَةٍ، لِلْأَمْرِ بِغُسْلِ الذَّكَرِ مِنْهُ، وَ هُوَ مَاءٌ أَبْيَضٌ أَوْ أَصْفَرٌ رَقِيْقٌ، يَخْرُجُ غَالِبًا عِنْدَ ثَوْرَانِ الشَّهْوَةِ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ قَوِيَّةٍ. (وَ وَدِيٍّ) بِمُهْمَلَةٍ، وَ هُوَ مَاءٌ أَبْيَضٌ كَدِرٌ ثَخِيْنٌ، يَخْرُجُ غَالِبًا عَقِبَ الْبَوْلِ أَوْ عِنْدَ حَمْلِ شَيْءٍ ثَقِيْلٍ. (وَ دَمٍ) حَتَّى مَا بَقِيَ عَلَى نَحْوِ عَظْمٍ، لكِنَّهُ مَعْفُوٌّ عَنْهُ. وَ اسْتَثْنُوْا مِنْهُ الْكَبِدَ وَ الطِّحَالَ وَ الْمِسْكَ، أَيْ وَ لَوْ مِنْ مَيِّتٍ، إِنِ انْعَقَدَ. وَ الْعَلَقَةُ وَ الْمُضْغَةَ، وَ لَبَنًا خَرَجَ بِلَوْنِ دَمٍ، وَ دَمُ بَيْضَةٍ لَمْ تَفْسُدْ. (وَ قَيْحٍ) لِأَنَّهُ دَمٌ مُسْتَحِيْلٌ، وَ صَدِيْدٌ: وَ هُوَ مَاءٌ رَقِيْقٌ يُخَالِطُهُ دَمٌ، وَ كَذَا مَاءُ جُرْحٍ وَجُدْرِيٍّ وَ نَفَطٍ إِنْ تَغَيَّرَ، وَ إِلَّا فَمَاؤُهَا طَاهِرٌ (وَ قَيْءِ مَعِدَةٍ) وَ إِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ، وَ هُوَ الرَّاجِعُ بَعْدَ الْوُصُوْلِ لِلْمَعْدَةِ وَ لَوْ مَاءً، أَمَّا الرَّاجِعُ قَبْلَ الْوُصُوْلِ إِلَيْهَا يَقِيْنًا أَوِ احْتمَالًا فَلَا يَكُوْنُ نَجِسًا وَ لَا مُتَنَجِّسًا، خِلَافًا لِلْقَفَّالِ. وَ أَفْتَى شَيْخُنَا أَنَّ الصَّبِيِّ إِذَا ابْتُلِيَ بِتَتَابُعِ الْقَيْءِ عُفِيَ عَنْ ثَدْيِ أُمِّهِ الدَّاخِلِ فِيْ فِيْهِ، لَا عَنْ مُقَبِّلِهِ أَوْ مُمَاسِّهِ، وَ كَمِرَّةٍ وَ لَبَنٍ غَيْرِ مَأْكُوْلٍ إِلَّا الْآدَمِيِّ، وَ جِرَّةِ نَحْوِ بَعِيْرٍ. أَمَّا الْمَنِيُّ فَطَاهِرٌ، خِلَافًا لِمَالِكٍ. وَ كَذَا بُلْغَمٌ غَيْرُ مَعْدَةٍ مِنْ رَأْسِ أَوْ صَدْرٍ وَ مَاءُ سَائِلٍ مِنْ فَمِ نَائِمٍ، وَ لَوْ نَتْنًا أَوْ أَصْفَرَ، مَا لَمْ يَتَحَقَّقْ أَنَّهُ مِنْ مَعْدَةٍ، إِلَّا مِمَّنْ ابْتُلِيَ بِهِ فَيُعْفَى عَنْهُ وَ إِنْ كَثُرَ.

(Najis itu seperti halnya madzi) sebab perintah untuk membasuh dzakar dari madzi tersebut. Madzi adalah air berwarna putih atau kuning yang bersifat cari. Secara umum keluar ketika syahwat naik, namun tidak terlalu kuat. Begitu pula wadi, yakni air berwarna putih, keruh dan kental, secara umum keluar setelah selesai kencing atau saat membawa barang yang berat. (Dan seperti darah) sampai darah yang tersisa pada semacam tulang, namun hukumnya di-a‘fuw. Para ulama’ mengecualikan dari darah adalah hati, limpa, misik – walaupun misik tersebut dari kijang yang mati bila misik tersebut mengental, darah dan daging kempal, air susu5 yang keluar dengan warna darah, dan darah telur yang belum rusak.6 (Dan seperti nanah), sebab nanah adalah darah yang telah berubah bentuk dan shadīd yakni cairan yang bercampur darah. Begitu pula cairan dari luka, cairan dari cacar, cairan dari tubuh yang melepuh jika semua cairan tersebut telah berubah. (Dan seperti muntahan dari lambung),7 walaupun tidak berubah, yakni sesuatu yang kembali setelah sampai pada lambung walaupun berupa air. Sedangkan sesuatu yang kembali sebelum sampai pada lambung secara yakin atau kemungkinan hukumnya tidaklah najis dan juga tidak mutanajjis, berbeda dengan pendapat Imām al-Qaffāl. Guru kita telah berfatwa bahwa ketika seorang anak kecli diuji dengan selalu muntah, maka puting susu ibunya yang masuk ke dalam mulut anak tersebut di-ma‘fuw, tidak dari orang yang menciumnya atau menyentuhnya. Dan seperti empedu, susu hewan yang tidak halal dimakan dagingnya kecuali dari manusia, dan makanan mamahan yang kedua kali dari semacam unta. Sedangkan mani hukumnya adalah suci,8 berbeda dengan pendapat Imām Mālik.9 Begitu pula suci air lendir yang keluar selain dari lambung yakni dari kepala atau dada dan air liur dari orang yang tidur walaupun sangat busuk atau berwarna kuning selama tidak jelas bahwa air liur tersebut tidak berasal dari lambung, kecuali bagi orang yang diuji10 dengan hal tersebut maka hukumnya di-ma‘fuw walaupun sangat banyak.

5Dari hewan yang halal dimakan dagingnya atau dari manusia. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 101 Darul Fikr.
6Sekira tidak mungkin bisa menetas lagi. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 99 Darul Fikr.
7Kecuali madu, sebab madu keluar dari mulut lebah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 101 Darul Fikr.
8Selama ujung dzakar dan vagina yang mengeluarkan mani suci. Jika najis maka hukumnya menjadi mutanajjis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 102 Darul Fikr.
9Imām Bujairamī mengatakan bahwa Imām Mālik dan Abū Ḥanīfah menghukumi najis mani dari manusia. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 102 Darul Fikr.
10Maksud dari orang yang diuji adalah sekira hal tersebut sering terjadi dan jarang ketiadaannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 103 Darul Fikr.


وَ رُطُوْبَةِ فَرْجٍ، أَيْ قُبُلٍ عَلَى الْأَصَحِّ. وَ هِيَ مَاءٌ أَبْيَضُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ الْمَذْيِ وَ الْعِرْقِ، يَخْرُجُ مِنْ بَاطِنِ الْفَرْجِ الَّذِيْ لَا يَجِبُ غَسْلُهُ، بِخِلَافِ مَا يَخْرُجُ مِمَّا يَجِبُ غَسْلُهُ فَإِنَّهُ طَاهِرٌ قَطْعًا، وَ مَا يَخْرُجُ مِنْ وَرَاءِ بَاطِنِ الْفَرْجِ فَإِنَّهُ نَجِسٌ قَطْعًا، كَكُلِّ خَارِجٍ مِنَ الْبَاطِنِ، وَ كَالْمَاءِ الْخَارِجِ مَعَ الْوَلَدِ أَوْ قَبْلَهُ، وَ لَا فَرْقَ بَيْنَ انْفِصَالِهَا وَ عَدَمِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ. قَالَ بَعْضُهُمْ: الْفَرْقُ بَيْنَ الرُّطُوْبَةِ الطَّاهِرَةِ وَ النَّجِسَةِ الْاِتِّصَالُ وَ الْاِنْفِصَالُ. فَلَوِ انْفَصَلَتْ، فَفِي الْكِفَايَةِ عَنِ الْإِمَامِ أَنَّهَا نَجِسَةٌ، وَ لَا يَجِبُ غُسْلُ ذَكَرِ الْمُجَامِعِ وَ الْبَيْضِ وَ الْوَلَدِ.

Dihukumi suci air yang membasahi vagina – keputihan – menurut pendapat yang ashaḥ, yakni air yang berwarna putih yang bersifat di antara madzi dan keringat, keluar dari dalam vagina yang tidak wajib untuk dibasuh.11 Berbeda bila keluar dari anggota yang wajib dibasuh, maka hukumnya pasti suci. Cairan yang keluar dari bagian paling dalam vagina hukumnya pasti najis seperti setiap hal yang keluar dari bagian dalam. Dan seperti air yang keluar besertaan anak yang dilahirkan atau sebelumnya. Tidak ada perbedaan di antara terpisahnya cairan tersebut dan tidaknya menurut pendapat yang mu‘tamad. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa perbedaan antara cairan yang suci dan yang najis adalah bertemu dan terpisahnya cairan itu, maka jika cairan tersebut terpisah maka dalam kitab Kifāyah dari Imām Ḥaramain hukumnya adalah najis. Tidak wajib untuk membasuh dzakar12 seorang yang menyetubuhinya, membasuh telur dan anak.

11Kesimpulan dari permasalahan tersebut ada tiga hal: Suci secara mutlak yakni ketika keluar dari anggota yang wajib dibasuh saat istinja’, najis secara mutlah yakni bila keluar dari dalam vagina yang dzakar tidak sampai ke tempat tersebut, suci menurut pendapat yang ashah yakni saat keluar dari bagian dalam vagina namun dzakar sampai ke tempat tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 104 Darul Fikr.
12Dari cairan vagina tersebut baik suci ataupun najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 104 Darul Fikr.


وَ أَفْتَى شَيْخُنَا بِالْعَفْوِ عَنْ رُطُوْبَةِ الْبَاسُوْرِ لِمُبْتَلِيْ بِهَا، وَ كَذَا بِيْضِ غَيْرِ مَأْكُوْلٍ، وَ يَحِلُّ أَكْلُهُ عَلَى الْأَصَحِّ. وَ شَعْرِ مَأْكُوْلٍ وَ رِيْشِهِ إِذَا أُبِيْنَ فِيْ حَيَاتِهِ. وَ لَوْ شَكَّ فِيْ شَعْرٍ أَوْ نَحْوِهِ، أَهُوَ مِنْ مَأْكُوْلٍ أَوْ غَيْرِهِ؟ أَوْ هَلِ انْفَصَلَ مِنْ حَيِّ أَوْ مَيِّتٍ؟ فَهُوَ طَاهِرٌ، وَ قِيَاسُهُ أَنِ الْعَظْمَ كَذلِكَ. وَ بِهِ صَرَّحَ فِي الْجَوَاهِرِ. وَ بِيْضُ الْمَيْتَةِ إِنْ تَصَلَّبَ طَاهِرٌ وَ إِلَّا فَنَجِسٌ. وَ سُؤْرُ كُلِّ حَيَوَانٍ طَاهِرٍ طَاهِرٌ، فَلَوْ تَنَجَّسَ فَمُهُ ثُمَّ وَلَغَ فِيْ مَاءٍ قَلِيْلٍ أَوْ مَائِعٍ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ غَيْبَةٍ يُمْكِنُ فِيْهَا طَهَارَتُهُ بِوُلُوْغِهِ فِيْ مَاءٍ كَثِيْرٍ أَوْ جَارٍ لَمْ يُنَجِّسْهُ وَ لَوْ هِرًّا وَ إِلَّا نَجَّسَهُ.

Guru kita berfatwa bahwa cairan dari penyakit bawasir hukumnya diampuni bagi seorang yang diuji dengan hal itu, begitu pula telur hewan yang tidak halal dimakan dagingnya,13 dan halal untuk memakannya menurut pendapat yang Ashaḥ.14 Dan suci pula rambut dari hewan yang halal dimakan dagingnya begitu pula bulu-bulunya yang dicabut di waktu hidupnya. Jikalau terjadi keraguan di dalam rambut atau sejenisnya, apakah dari hewan yang halal dimakan dagingnya atau tidak atau apakah terpisah dari hewan yang masih hidup atau telah mati maka hukumnya suci. Begitu pula disamakan dengan kasus tersebut adalah tulangnya, seperti yang telah dijelaskan Imām Qamullī dalam kitab Jawāhir-nya. Telur dari bangkai bila masih dalam keadaan keras, maka hukumnya suci dan bila tidak, maka najis. Air minum sisa dari hewan yang suci hukumnya adalah suci. Jika mulut hewan tersebut najis, lalu hewan tersebut menjilati air yang jumlahnya sedikit, maka bila kasus tersebut terjadi setelah perginya hewan itu dalam jangka waktu yang mungkin untuk sucinya mulutnya dengan menjilat air yang banyak atau yang mengalir, maka hukumnya tidak najis walaupun hewan tersebut itu kucing dan bila tidak demikian itu maka hukumnya najis.

13Namun dari hewan yang suci atau bangkai namun telur masih keras. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 104 Darul Fikr.
14Selama tidak membahayakan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 104 Darul Fikr.


قَالَ شَيْخُنَا كَالسُّيُوْطِيِّ، تَبْعًا لِبَعْضِ الْمَتَأَخِّرِيْنَ إِنَّهُ يُعْفَى عَنْ يَسِيْرٍ عُرْفًا، مِنْ شَعْرٍ نَجِسٍ مِنْ غَيْرِ مُغَلَّظٍ، وَ مِنْ دُخَانِ نَجَاسَةٍ، وَ مَا عَلَى رِجْلِ ذُبَابٍ، وَ إِنْ رُؤْيَ، وَ مَا عَلَى مَنْفَذِ غَيْرِ آدَمِيٍّ مِمَّا خَرَجَ مِنْهُ، وَ ذَرْقِ طُيُرٍ وَ مَا عَلَى فَمِهِ، وَرَوْثِ ما نَشْؤُهُ مِنَ الْمَاءِ أَوْ بَيْنَ أَوْرَاقِ شَجَرِ النَّارَجِيْلِ الَّتِيْ تُسْتَرُ بِهَا الْبُيُوْتُ عَنِ الْمُفْطِرِ حَيْثُ يَعْسُرُ صَوْنُ الْمَاءِ عَنْهُ. قَالَ جَمْعٌ: وَ كَذَا مَا تُلْقِيْهِ الْفَئْرَانُ مِنَ الرَّوْثِ فِيْ حِيَاضِ الْأَخْلِيَةِ إِذَا عَمَّ الْاِبْتِلَاءُ بِهِ، وَ يُؤَيّدُهُ بَحْثُ الْفَزَارِيْ، وَ شَرْطُ ذلِكَ كُلُّهُ إِذَا كَانَ فِي الْمَاءِ أَنْ لَا يُغَيِّرَ. انْتَهَى. وَ الزَّبَادُ طَاهِرٌ وَ يُعْفَى عَنْ قَلِيْلِ شَعْرِهِ كَالثَّلَاثِ. كَذَا أَطْلَقُوْهُ وَ لَمْ يُبَيِّنُوْا أَنَّ الْمُرَادَ الْقَلِيْلَ فِي الْمَأْخُوْذِ لِلْاِسْتِعْمَالِ أَوْ فِي الْإِنَاءِ الْمَأْخُوْذِ مِنْهُ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ الَّذِيْ يُتَّجَهُ الْأَوَّلُ إِنْ كَانَ جَامِدًا، لِأَنَّ الْعِبْرَةَ فِيْهِ بِمَحَلِّ النَّجَاسَةِ فَقَطْ، فَإِنْ كَثُرَتْ فِيْ مَحَلٍ وَاحِدٍ لَمْ يُعْفَ عَنْهُ، وَ إِلَّا عُفِيَ، بِخِلَافِ الْمَائِعِ فَإِنَّ جَمِيْعَهُ كَالشَّيْءِ الْوَاحِدِ. فَإِنْ قَلَّ الشَّعْرُ فِيْهِ عُفِيَ عَنْهُ وَ إِلَّا فَلَا، وَ لَا نَظَرَ لِلْمَأْخُوْذِ حِيْنَئِذٍ. وَ نَقَلَ الْمُحِبُّ الطَّبَرِيُّ عَنِ ابْنِ الصَّبَّاغِ وَ اعْتَمَدَهُ، أَنَّهُ يُعْفَى عَنْ جِرَّةِ الْبَعِيْرِ وَ نَحْوَهُ فَلَا يُنَجِّسُ مَا شَرِبَ مِنْهُ، وَ أُلْحِقَ بِهِ فَمُّ مَا يَجْتَرُّ مِنْ وَلَدِ الْبَقَرَةِ وَ الضَّأْنِ إِذَا الْتَقَمَ أَخْلَافَ أُمِّهِ. وَ قَالَ ابْنُ الصَّلَّاحِ: يُعْفَى عَمَّا اتَّصَلَ بِهِ شَيْءٌ مِنْ أَفْوَاهِ الصِّبْيَانِ مَعَ تَحَقُّقِ نَجَاسَتِهَا، وَ أَلْحِقَ غَيْرُهُ بِهِمْ أَفْوَاهَ الْمَجَّانِيْنَ. وَ جَزَمَ بِهِ الزَّرْكَشِيُّ.

Guru kita seperti halnya Imām Suyūthī sebab mengikuti sebagian ulama’ kurun akhir mengatakan: Hukumnya di-ma‘fuw-kan dari sedikitnya najis secara umumnya, yakni dari sedikitnya rambut najis selain dari najis mughallazhah, dari asap yang najis,15 dari najis yang melekat di kaki lalat walaupun dapat terlihat dengan mata, najis yang berada pada lubang keluarnya kotoran selain manusia yakni dari sesuatu yang keluar dari lubang tersebut, kotoran burung dan yang berada pada mulutnya, kotoran dari hewan yang muncul dari air atau kotoran yang muncul di antara dedaunan pohon kelapa yang digunakan sebagai atap rumah pelindung hujan sekira sulit untuk menghindari air dari kotoran hewan itu. Sekelompok ulama’ mengatakan: Begitu pula kotoran dari hewan tikus yang berada pada tempat air di WC, jika telah umum terjadi. Hal itu dikuatkan dengan pembahasan Imām al-Fazārī. Syarat di-ma‘fuw-nya keseluruhan permasalahan di atas, bila najis tersebut mengenai air16 adalah tidak merubah sifat air.17 Keringat atau susu musang kasturi hukumnya suci dan sedikit rambutnya seperti tiga helai di-ma‘fuw. Begitulah para ulama’ memutlakkan permasalahan di atas tanpa menjelaskan yang dikehendaki dari sedikitnya itu apakah rambut yang berada pada keringat/susu yang akan digunakan atau rambut yang berada pada wadah tempat diambilnya susu tersebut. Guru kita mengatakan bahwa yang lebih unggul adalah permasalahan yang awal jika susu/keringat tersebut telah padat, sebab yang dipertimbangkan adalah tempat yang terkena najis saja. Jika terdapat najis dengan jumlah yang banyak pada satu tempat, maka hukumnya tidak diampuni dan bila tidak satu tempat hukumnya diampuni, berbeda dengan benda cair, sebab seluruh benda tersebut seperti satu kesatuan. Jika rambut di dalam benda cair itu sedikit, maka diampuni, bila tidak demikian, maka tidak diampuni, dan tentunya saat benda tersebut cari, maka yang dipertimbangkan tidak hanya terhadap susu/keringat yang diambil saja.18 Imām al-Muḥibb at-Thabarī mengutip dari Imam Ibnu Shabāgh dan ia jadikan sebuah pedoman bahwa diampuni dari mamahan kedua kali dari unta dan sejenisnya, maka air yang diminumnya tidaklah najis. Disamakan dengan permasalahan mulut dari hewan memamah baik adalah permasalahan anak dari hewan sapi dan biri-biri ketika menyesap puting induknya. Imām Ibnu Shalāh mengatakan: Sesuatu yang tersentuh dengan mulut anak kecil serta diyakini kenajisannya hukumnya diampuni. Disamakan dengan anak kecil adalah mulutnya orang gila dan Imām Zarkasyī memutuskan dengan hukum tersebut.

15Yakni asap yang dihasilkan dari api walaupun uap air yang dimask dengan api dari kotoran. Syarat di-ma‘fuw-nya dengan kadar sedikit adalah ketika tempat yang terkena asap tidak basah dan tidak dengan kesengajaan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 106 Darul Fikr.
16Untuk selain air disyaratkan tempat yang terkena najis tidak basah dan tidak dengan kesengajaan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 107 Darul Fikr.
17Dan bukan najis mughallazhah, dan juga tidak dengan kesengajaannya. Untuk selain air disyaratkan tempat yang terkena najis tidak basah dan tidak dengan kesengajaan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 107 Darul Fikr.
18Namun pertimbangan menuju pada seluruh barang yang berada pada wadah.


وَ كَمَيْتَةٍ- وَ لَوْ نَحْوَ ذُبَابٍ مِمَّا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ، خِلَافًا لِلْقَفَّالِ وَ مَنْ تَبِعَهُ فِيْ قَوْلِهِ بِطَهَارَتِهِ لِعَدَمِ الدَّمِ الْمُتَعَفِّنِ، كَمَالِكٍ وَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ. فَالْمَيْتَةُ نَجِسَةٌ وَ إِنْ لَمْ يَسِلْ دَمُهَا، وَ كَذَا شَعْرُهَا وَ عَظْمُهَا وَ قَرْنُهَا، خِلَافًا لِأَبِيْ حَنِيْفَةَ، إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا دَسَمٌ. وَ أَفْتَى الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلَانِيُّ بِصِحَّةِ الصَّلَاةِ إِذَا حَمَلَ الْمُصَلِّيُ مَيْتَةَ ذُبَابٍ إِنْ كَانَ فِيْ مَحَلٍ يَشُقُّ الْاِحْتِرَازُ عَنْهُ. (غَيْرَ بَشَرٍ وَ سَمَكٍ وَ جَرَادٍ) لِحِلِّ تَنَاوُلِ الْأَخِيْرَيْنِ. وَ أَمَّا الْآدَمِيُّ فَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَ لَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ آدَمَ} وَ قَضِيَّةُ التَّكْرِيْمِ أَنْ لَا يَحْكُمَ بِنَجَاسَتِهِمْ بِالْمَوْتِ. وَ غَيْرَ صَيْدٍ لَمْ تُدْرَكْ ذُكَاتُهُ، وَ جَنِيْنِ مُذَكَّاةٍ مَاتَ بِذُكَاتِهَا. وَ يَحِلُّ أَكْلُ دُوْدٍ مَأْكُوْلٍ مَعَهُ، وَ لَا يَجِبُ غَسْلُ نَحْوَ الْفَمِ مِنْهُ. وَ نَقَلَ فِي الْجَوَاهِرِ عَنِ الْأَصْحَابِ: لَا يَجُوْزُ أَكْلُ سَمَكٍ مِلْحٍ وَ لَمْ يُنْزَعْ مَا فِيْ جَوْفِهِ، أَيْ مِنَ الْمُسْتَقْذِرَاتِ. وَ ظَاهِرُهُ: لَا فَرْقَ بَيْنَ كَبِيْرِهِ وَ صَغِيْرِهِ. لكِنْ ذَكَرَ الشَّيْخَانِ جَوَازَ أَكْلِ الصَّغِيْرِ مَعَ مَا فِيْ جَوْفِهِ لِعُسْرِ تَنْقِيَّةِ مَا فِيْهِ.

(Dan seperti halnya bangkai) walaupun dari sejenis lalat yakni dari hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir – berbeda dengan pendapat Imām Qaffāl dan ulama’-ulama’ yang mengikutinya dalam pendapatnya yang mengatakan suci sebab tidak adanya darah yang menyebabkan hewan itu busuk seperti madzhab Mālikī dan Abū Ḥanīfah – , maka bangkai hukumnya najis walaupun darahnya tidak mengalir, begitu pula bulu, tulang dan tanduknya berbeda dengan Imām Abū Ḥanīfah ketika bangkai tersebut tidak memiliki lemak. Imām al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar al-Asqalānī berfatwa dengan sahnya shalat ketika seorang yang shalat membawa bangkai lalat ketika hal tersebut terjadi di tempat yang sulit menghindari lalat itu. 19 (Selain bangkai manusia, ikan20 dan belalang) sebab dua yang akhir halal untuk dikonsumsi. Sedangkan manusia itu sebab firman Allah: Dan sungguh telah aku muliakan keturunan dari Adam. Dari kemuliaan yang diberikan manusia sudah tentunya tidak dihukumi najis ketika matinya. Dan selain hewan buruan ketika tidak ditemukan sembelihannya21 dan selain janin hewan yang disembelih yang mati sebab penyembelihan induknya. Halal memakan ulat dari makanan bersamanya dan tidak wajib untuk membasuh mulutnya dari memakan ulat itu. Imām Qamullī mengutip dalam kitab Jawāhir-nya sebuah pendapat dari ashhab bahwa tidak diperbolehkan memakan ikan asin yang kotoran di dalamnya tidak dihilangkan. Secara lahir tidak ada perbedaan antara ikan yang besar dan kecil, namun Imām Rāfi‘ī dan Nawawī memperbolehkan memakan ikan asin yang kecil besertaan kotoran yang ada di dalamnya, sebab sulitnya untuk membersihkan.

19Sekira banyak sekali di tempat shalat tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 108 Darul Fikr.
20Maksudnya adalah setiap hewan yang tidak bisa hidup di darat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 108 Darul Fikr.
21Dengan kematian sebab luka atau dengan desakan hewan buruan. Dikecualikan dengan itu adalah hewan yang ditemukan masih dalam keadaan hidup lantas tidak disembelih, maka hukumnya najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 107 Darul Fikr.


وَ كَمُسْكِر- أَيْ صَالِحٍ لِلْإِسْكَارِ، فَدَخَلَتِ الْقَطْرَةُ مِنَ الْمُسْكِرِ. (مَائِعٍ) كَخَمْرٍ، وَ هِيَ الْمُتَّخَذَةُ مِنَ الْعِنَبِ، وَ نَبِيْذٍ، وَ هُوَ الْمتَّخَذُ مِنْ غَيْرِهِ. وَ خَرَجَ بِالْمَائِعِ نَحْوُ الْبَنْجِ وَ الْحَشِيْشِ. وَ تَطْهُرُ خَمْرٌ تَخَلَّلَتْ بِنَفْسِهَا مِنْ غَيْرِ مُصَاحَبَةِ عَيْنٍ أَجْنَبِيَّةٍ لَهَا وَ إِنْ لَمْ تُؤْثِرْ فِي التَّخْلِيْلِ كَحَصَاةٍ. وَ يَتْبَعُهَا فِي الطَّهَارَةِ الدَّنُّ، وَ إِنْ تَشَرَّبَ مِنْهَا أَوْ غَلَتْ فِيْهِ وَ ارْتَفَعَتْ بِسَبَبِ الْغَلْيَانِ ثُمَّ نَزَلَتْ، أَمَّا إِذَا ارْتَفَعَتْ بِلَا غَلْيَانَ بَلْ بِفِعْلِ فَاعِلٍ فَلَا تَطْهُرُ، وَ إِنْ غُمِرَ الْمُرْتَفِعُ قَبْلَ جَفَافِهِ أَوْ بَعْدَهُ بِخَمْرٍ أُخْرَى عَلَى الْأَوْجَهِ. كَمَا جَزَمَ بِهِ شَيْخُنَا. وَ الَّذِيْ اِعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا الْمُحَقِّقُ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ زِيَادٍ أَنَّهَا تَطْهُرُ إِنْ غُمِرَ الْمُرْتَفِعُ قَبْلَ الْجَفَافِ لَا بَعْدَهُ. ثُمَّ قَالَ: لَوْ صُبَّ خَمْرٌ فِيْ إِنَاءٍ ثُمَّ أُخْرِجَتْ مِنْهُ، وَ صُبَّ فِيْهِ خَمْرٌ أُخْرَى بَعْدَ جَفَافِ الْإِنَاءِ وَ قَبْلَ غَسْلِهِ لَمْ تَطْهُرْ، وَ إِنْ تَخَلَّلَتْ بَعْدَ نَقْلِهَا مِنْهُ فِيْ إِنَاءٍ آخَرَ. انْتَهَى. وَ الدَّلِيْلُ عَلَى كَوْنِ الْخَمْرِ خَلًّا. الْحُمُوْضَةُ فِيْ طَعْمِهَا، وَ إِنْ لَمْ تُوْجَدْ نِهَايَةُ الْحُمُوْضَةِ، وَ إِنْ قُذِفَتْ بِالزَّبَدِ. وَ يَطْهُرُ جِلْدُ نَجِسٍ بِالْمَوْتِ بِانْدِبَاغٍ نَقَّاهُ بِحَيْثُ لَا يَعُوْدُ إِلَيْهِ نَتْنٌ وَ لَا فَسَادٌ لَوْ نُقِعَ فِي الْمَاءِ.

(Dan seperti sesuatu yang memabukkan) maksudnya adalah pantas untuk membuat mabuk, maka masuklah satu tetes dari minuman itu.22 (yang berbentuk cair) seperti arak yakni minuman yang terbuat dari anggur dan tuak yakni minuman yang terbuat dari selain anggur. Dikecualikan dari benda cair adalah sejenis daun kecubung dan rumput yang memabukkan.23 Arak tersebut dapat menjadi suci ketika menjadi cuka dengan sendirinya tanpa disertai dengan benda lain walaupun benda tersebut tidak memberi dampak di dalam proses menjadi cuka seperti kerikil. Wadah dari arak tersebut juga ikut dalam hukum kesuciannya24 walaupun arak tersebut meresap ke dalam wadah itu atau sekalipun arah tersebut mendidih hingga arak tersebut naik dan surut kembali. Sedangkan bila arak tersebut naik tanpa sebab mendidih, bahkan disebabkan karena ada yang melakukannya maka arak tersebut tidak suci walaupun arah yang naik tersebut dituangi sebelum kering atau setelahnya dengan arak yang lain menurut pendapat yang lebih unggul seperti pendapat yang telah diputuskan oleh guru kita. Sedangkan pendapat yang dipakai pedoman oleh guru kita al-Muḥaqqiq ‘Abd-ur-Raḥmān az-Ziyādī adalah hukum suci jika arak yang naik tersebut dituangi sebelum keringnya, tidak bila setelah kering. Kemudian beliau berkata lagi: Kalau seandainya arak dituangkan pada sebuah wadah dan wadah itu dituangi arang yang lain setelah keringnya dan sebelum mencucinya, maka arak tersebut tidak bisa suci,25 walaupun arak yang dipindah dari wadah itu menuju ke wadah lain telah menjadi cuka –selesai – . Tanda dari arak yang telah menjadi cuka adalah rasanya masam walaupun tidak begitu masam dan masih berbuih. Kulit hewan yang najis sebab mati dapat menjadi suci dengan cara disamak sampai bersih sekira bau busuk dan hancur tidak kembali lagi jika direndam di dalam air.26

22Walaupun dengan mengumpulkannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 109 Darul Fikr.
23Penilaian benda tersebut keras atau cair adalah saat membabukkan, maka benda padat saat memabukkan hukumnya suci dan benda cair saat memabukkan hukumnya najis walaupun asalnya adalah benda padat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 110 Darul Fikr.
24Sebab jika tidak dihukumi suci, maka arak yang telah menjadi cuka akan najis lagi hingga tidak akan pernah ditemui arak yang menjadi cuka yang dihukumi suci. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 110 Darul Fikr.
25Sebab wadah tersebut telah najis dengan arak yang pertama. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 112 Darul Fikr.
26Sedangkan alat yang digunakan menyamak adalah setiap hal yang memiliki rasa menyengat di lidah, walaupun dari perkara najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 112 Darul Fikr.


وَ كَكَلْبٍ وَ خِنْزِيْرٍ- وَ فَرْعِ كُلٍّ مِنْهُمَا مَعَ الْآخَرِ أَوْ مَعَ غَيْرِهِ، وَ دُوْدُ مَيْتَتِهِمَا طَاهِرٌ، وَ كَذَا نَسْجُ عَنْكَبُوْتٍ عَلَى الْمَشْهُوْرِ. كَمَا قَالَهُ السُّبْكِيُّ وَ الْأَذْرَعِيُّ، وَ جَزَمَ صَاحِبُ الْعِدَّةِ وَ الْحَاوِيْ بِنَجَاسَتِهِ. وَ مَا يَخْرُجُ مِنْ جِلْدِ نَحْوِ حَيَّةِ فِيْ حَيَاتِهَا كَالْعِرْقِ، عَلَى مَا أَفْتَى بِهِ بَعْضُهُمْ. لكِنْ قَالَ شَيْخُنَا: فِيْهِ نَظَرٌ، بَلِ الْأَقْرَبُ أَنَّهُ نَجِسٌ لِأَنَّهُ جُزْءٌ مُتَجَسِّدٌ مُنْفَصِلٌ مِنْ حَيٍّ، فَهُوَ كَمَيْتَتِهِ. وَ قَالَ أَيْضًا: لَوْ نَزَا كَلْبٌ أَوْ خِنْزِيْرٌ عَلَى آدَمِيَّةٍ فَوَلَدَتْ آدَمِيًا كَانَ الْوَلَدُ نَجِسًا، وَ مَعَ ذلِكَ هُوَ مُكَلَّفٌ بِالصَّلَاةِ وَ غَيْرِهَا. وَ ظَاهرٌ أَنَّهُ يُعْفَى عَمَّا يُضْطَرُّ إِلَى مَلَامَسَتِهِ، وَ أَنَّهُ تَجُوْزُ إِمَامَتُهُ إِذْ لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، وَ دُخُوْلُهُ الْمَسْجِدَ حَيْثُ لَا رُطُوْبَةَ لِلْجَمَاعَةِ وَ نَحْوِهَا.

(Dan seperti halnya anjing dan babi), anak-anak keturunan dari setiap keduanya dengan hewan yang lain dari keduanya atau besertaan dengan hewan dari selain keduanya. Ulat dari kedua hewan itu hukumnya suci27 begitu pula sarang laba-laba menurut disampaikan oleh Imām Subkī dan al-Adzra‘ī. Imām ath-Thabarī pemilik kitab al-‘Iddah dan Imām Mawardzī pemilik kitab Ḥāwī memutuskan kenajisan sarang laba-laba tersebut. Sesuatu yang keluar dari sejenis ular di waktu hidupnya seperti halnya keringat hukumnya suci atas keterangan yang telah difatwakan sebagian ulama’, namun guru kita mengatakan: Dalam masalah ini perlu dikaji ulang bahkan pendapat yang lebih tepat adalah najis sebab sesuatu itu adalah bagian yang telah menjadi jasad yang terlepas di waktu hidupnya, maka hukumnya seperti halnya matinya. Guru kita berkata lagi: Jika seekor anjing atau babi mengawini manusia kemudian lahir darinya seorang manusia pula maka anaknya dihukumi najis,28 dan besertaan dengan hukum itu, ia adalah termasuk orang yang tertuntut melakukan shalat dan lainnya. Sudah jelas pula bahwa setiap hal yang terpaksa tersentuh olehnya diampuni dan baginya diperbolehkan untuk menjadi imam, sebab shalat yang ia lakukan tidak wajib diulang. Boleh pula baginya untuk masuk masjid guna melakukan jama‘ah dan selainnya sekira tubuhnya tidak basah.

27Sebab ulat tersebut tidak lahir dari keduanya, namun hanya lahir di dalamnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 113 Darul Fikr.
28Sedang fatwa Imam Ramli menghukumi suci bila berwujud manusia. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 107 Darul Fikr.


وَ يَطْهُرَ مُتَنَجِّسٌ بِعَيْنيَّةٍ بِغَسْلٍ مُزِيْلٍ لِصِفَاتِهَا، مِنْ طَعْمٍ وَ لَوْنٍ وَ رِيْحٍ. وَ لَا يَضُرُّ بَقَاءُ لَوْنٍ أَوْ رِيْحٍ عَسُرَ زَوَالُهُ وَ لَوْ مِنْ مُغَلَّظٍ، فَإِنْ بَقِيَا مَعًا لَمْ يَطْهُرْ. وَ مُتَنَجِّسٌ بِحُكْمِيَّةٍ كَبَوْلٍ جَفَّ لَمْ يُدْرَكْ لَهُ صِفَةٌ بِجَرْيِ الْمَاءِ عَلَيْهِ مَرَّةً، وَ إِنْ كَانَ حَبًّا أَوْ لَحْمًا طُبِخَ بِنَجَسٍ، أَوْ ثَوْبًا صُبِغَ بِنَجِسٍ، فَيَطْهُرُ بَاطِنُهَا بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى ظَاهِرِهَا، كَسَيْفٍ سُقِيَ وَ هُوَ مُحَمًّى بِنَجَسٍ. وَ يٌشْتًرَطُ فِيْ طُهْرِ الْمَحَلِّ وُرُوْدُ الْمَاءِ الْقَلِيْلِ عَلَى الْمَحَلِّ الْمُتَنَجِّسِ، فَإِنْ وَرَدَ مُتَنَجِّسٌ عَلَى مَاءٍ قَلِيْلٍ لَا كَثِيْرٍ تَنَجَّسَ، وَ إِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ فَلَا يُطَهِّرْ غَيْرَهُ. وَ فَارَقَ الْوَارِدُ غَيْرَهُ بِقُوَّتِهِ لِكَوْنِهِ عَامِلًا، فَلَوْ تَنَجَّسَ فَمُهُ كَفَى أَخْذُ الْمَاءِ بِيَدِهِ إِلَيْهِ وَ إِنْ لَمْ يَعْلُهَا عَلَيْهِ كَمَا قَالَ شَيْخُنَا وَ يَجِبُ غَسْلُ كُلِّ مَا فِيْ حَدِّ الظَّاهِرِ مِنْهُ وَ لَوْ بِالْإِدَارَةِ، كَصَبِّ مَاءٍ فِيْ إِنَاءٍ مُتَنَجِّسٍ وَ إِدَارَتِهِ بِجَوَانِبِهِ. وَ لَا يَجُوْزُ لَهُ ابْتِلَاعُ شَيْءٍ قَبْلَ تَطْهِيْرِ فَمِّهِ، حَتَّى بِالْغَرْغَرَةِ.

Benda yang terkena Najis ‘Ainiyyah29 dapat suci dengan basuhan yang dapat menghilangkan sifat-sifatnya yakni rasa, warna dan baunya. Tidak masalah masih utuhnya warna atau bau yang sulit untuk dihilangkan30 walaupun dari najis mughallazhah. Jika keduanya masih tersisa bersamaan31 maka benda itu tidaklah suci. Sedang benda yang terkena najis ḥukmiyyah seperti air kencing yang telah kering dan tidak ditemukan sifat najis, maka cukup dengan mengalirkan air satu kali padanya. Walaupun benda tersebut berupa biji-bijian atau daging yang dimasuk dengan najis atau baju yang diwarnai dengan najis, maka batinnya akan suci dengan menuangkan air di luarnya. Seperti hal kasus pedang yang disiram, sedang pedang tersebut telah dibakar dengan najis. Diisyaratkan di dalam sucinya tempat yang terkena najis32 mendatangkannya air yang jumlahnya sedikit kepada benda yang terkena najis, jika malah benda yang terkena najis tersebut yang didatangkan ke dalam air yang jumlahnya sedikit, – bukan pada air yang banyak – maka air tersebut menjadi najis – walaupun air tersebut tidak berubah – dan air itu tidak dapat mensucikan yang lainnya. Air yang datang pada sebuah benda berbeda dengan yang lainnya dengan kuatnya air tersebut, sebab air itu dapat menolak najis. Jikalau mulut seseorang terkena najis, maka cukup mengambil air dengan menggunakan tangan untuk mulutnya walaupun tangannya tidak diletakkan di atas mulut seperti yang telah disampaikan guru kami. Wajib membasuh setiap anggota yang masih berada di batasan luar dari mulut33 tersebut, walaupun dengan memutarkan air tersebut, walaupun dengan memutarkan air tersebut seperti kasus menuangkan air di wadah yang terkena najis dan memutar-mutarnya ke arah kanan dan kirinya. Tidak diperbolehkan baginya untuk menelan sesuatu apapun sebelum mulutnya suci meskipun sekedar membolak-balikkan air ke tenggorokan.

29Adalah najis yang memiliki warna, bau dan rasa. Sedangkan najis hukmiyyah adalah najis yang tidak ditemukan ketiga sifat tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 113 Darul Fikr.
30Batasannya sekira tidak hilang dengan digosok dengan air tiga kali. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 113 Darul Fikr.
31Kecuali memang benar-benar sulit dihilangkan sekira tidak dapat hilang kecuali dipotong. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 113 Darul Fikr.
32Dengan syarat baju atau benda lain tidak terdapat bentuk najisnya, maka bila masih ada bentuk najisnya air akan menjadi najis dengan hanya diguyurkan pada benda tersebut.
33Yakni makhraj khā’. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 115 Darul Fikr.


فَرْعٌ - لَوْ أَصَابَ الْأَرْضَ نَحْوَ بَوْلٌ وَ جَفَّ، فَصُبَّ عَلَى مَوْضِعِهِ مَاءٌ فغَمَرَهُ، طَهُرَ، وَ لَوْ لَمْ يَنْضَبْ أَيْ يَغُوْرَ سَوَاءٌ كَانَتِ الْأَرْضُ صَلْبَةً أَمْ رَخْوَةً. وَ إِذَا كَانَتِ الْأَرْضُ لَمْ تَتَشَرَّبْ مَا تَنَجَّسَتْ بِهِ فَلَا بُدَّ مِنْ إِزَالَةِ الْعَيْنِ قَبْلَ صَبِّ الْمَاءِ الْقَلِيْلِ عَلَيْهَا، كَمَا لَوْ كَانَتْ فِيْ إِنَاءٍ. وَ لَوْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ جَامِدَةً فَتَفَتَّتَتْ وَ اخْتَلَطَتْ بِالتُّرَابِ لَمْ يَطْهُرْ، كَالْمُخْتَلِطِ بِنَحْوِ صَدِيْدٍ، بِإِفَاضَةِ الْمَاءِ عَلَيْهِ. بَلْ لَا بُدَّ مِنْ إِزَالَةِ جَمِيْعِ التُّرَابِ الْمُخْتَلِطِ بِهَا. وَ أَفْتَى بَعْضُهُمْ فِيْ مُصْحَفٍ تَنَجَّسَ بِغَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهُ بِوُجُوْبِ غَسْلِهِ وَ إِنْ أدَّى إِلَى تَلَفِهِ، وَ إِنْ كَانَ لِيَتِيْمٍ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ يَتَعَيَّن فَرْضُهُ فِيْمَا إِذَا مَسَّتِ النَّجَاسَةُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ، بِخِلَافِ مَا إِذَا كَانَتْ فِيْ نَحْوِ الْجِلْدِ أَوِ الْحَوَاشِيْ.

(Cabangan Masalah). Jikalau tanah terkena semacam air kencing dan mengering lalu tempat itu disiram dengan air sampai merata, maka tanah tersebut hukumnya suci walaupun air tidak sampai meresap baik tanahnya keras ataupun gembur. Ketika ada sebuah tanah yang tidak dapat meresap najis yang mengenainya, maka wajib untuk menghilangkan bentuk najisnya sebelum menyiramkan air yang jumlahnya sedikit, seperti kasus bentuk najis yang berada pada sebuah wadah.34 Jikalau najis tersebut keras kemudian najis hancur dan bercampur dengan debu, maka tempat itu tidak dapat suci – seperti debu yang tercampur dengan nanah berdarah – dengan cara menyiramkan air pada tempat itu bahkan wajib untuk menghilangkan seluruh debu yang telah tercampur dengan najis. Sebagian ulama’ berfatwa tentang kewajiban membasuh mushḥaf35 yang terkena najis yang tidak diampuni walaupun menyebabkan rusaknya mushḥaf itu dan walalupun milik anak yatim. Guru kita berkata: Menghilangkan najis tersebut menjadi fardhu ‘ain bila najis tersebut menjadi fardhu ‘ain bila najis tersebut mengenai sesuatu dari al-Qur’ān berbeda jika mengenai semacam kulit atau pinggirnya.

34Dengan syarat najis pada wadah tersebut tidak berbentuk lagi walaupun cair. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 116 Darul Fikr.
35Begitu pula kitab-kitab yang berisi ilmu syari‘at. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 117 Darul Fikr.


فَرْعٌ - غَسَالَةُ الْمُتَنَجِّسِ وَ لَوْ مَعْفُوًّا عَنْهُ كَدَمٍ قَلِيْلٍ إِنِ انْفَصَلَتْ وَ قَدْ زَالَتِ الْعَيْنِ وَ صِفَاتُهَا، وَ لَمْ تَتَغَيَّرْ وَ لَمْ يَزَدْ وَزْنُهَا بَعْدَ اعْتِبَارِ مَا يَأْخُذُهُ الثَّوْبُ مِنَ الْمَاءِ وَ الْمَاءُ مِنَ الْوَسَخِ وَ قَدْ طَهَرَ الْمَحَلُّ: طَاهِرَةٌ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ يَظْهُرُ الْاِكْتِفَاءُ فِيْهِمَا بِالظَّنِّ.

(Cabangan Masalah). Bekas sisa air yang digunakan untuk menghilangkan najis – walaupun di-ma‘fuw seperti darah yang sedikit – jika telah terpisah,36 bentuk najis serta sifat-sifatnya telah hilang,37 tidak berubah, tidak bertambah kadarnya setelah mengkalkulasi air yang meresap ke dalam baju gan mengkalkulasi air dari kotoran dan tempatnya telah suci,38 maka hukumnya suci. Guru kita berkata: Dan jelas dicukupkan di dalam pengkalkulasinya tersebut dengan sebuah praduga.

36Dari tempat yang dibasuh, jika masih belum terpisah maka hukumnya suci sebab air selama masih belum terpisah dari tempat yang dibasuh hukumnya suci mensucikan tanpa ada perbedaan dari para ulama’. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 116 Darul Fikr.
37Syarat berikut dengan syarat terakhir yakni sucinya tempat adalah sama. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 116 Darul Fikr.
38Sekira tidak ada tersisa sifat-sifat najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 117 Darul Fikr.


فَرْعٌ - إِذَا وَقَعَ فِيْ طَعَامٍ جَامِدٍ كَسَمْنٍ فَأْرَةٌ مَثَلًا فَمَاتَتْ، أُلْقِيَتْ وَ مَا حَوْلَهَا مِمَّا مَاسَّهَا فَقَطْ، وَ الْبَاقِيْ طَاهِرٌ. وَ الْجَامِدُ هُوَ الَّذِيْ إِذَا غُرِفَ مِنْهُ لَا يَتَرَادُّ عَلَى قُرْبٍ.

(Cabangan Masalah). Ketika seekor tikus jatuh ke dalam makanan padat seperti minyak samin, kemudian tikus itu mati maka tikus tersebut dibuang,39 begitu pula sekelilingnya yang terkena tikus itu saja dan sisanya hukumnya suci. Benda padat adalah benda yang bila diciduk, maka ia tidak akan kembali dengan waktu dekat.40

39Berbeda dengan benda cair, maka hukumnya tidak dapat disucikan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 107 Darul Fikr.
40Sekira memenuhi tempat yang diambil tersebut sedangkan benda cair adalah kebalikannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 117 Darul Fikr.


فَرْعٌ - إِذَا تَنَجَّسَ مَاءُ الْبِئْرِ الْقَلِيْلِ بِمُلَاقَاةِ نَجَسٍ لَمْ يَطْهُرْ بِالنَّزْحِ، بَلْ يَنْبَغِيْ أَنْ لَا يُنْزَحَ لِيَكْثُرَ الْمَاءُ بِنَبْعٍ أَوْ صَبُّ مَاءٍ فِيْهِ، أَوِ الْكَثِيْرِ بِتَغَيُّرٍ بِهِ لَمْ يَطْهُرْ إِلَّا بِزَوَالِهِ. فَإِنْ بَقِيْتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ كَشَعْرِ فَأْرَةٍ وَ لَمْ يَتَغَيَّرْ فَطُهُوْرٌ تَعَذَّرَ اسْتِعْمَالُهُ إِذْ لَا يَخْلُوْ مِنْهُ دَلْوٌ فَلْيُنْزَحْ كُلُّهُ. فَإِنِ اغْتَرَفَ قَبْلَ النَّزْحِ وَ لَمْ يَتَيَقَّنْ فِيْمَا اغْتَرَفَهُ شَعْرًا لَمْ يَضُرَّ وَ إِنْ ظَنَّهُ، عَمَلًا بِتَقْدِيْمِ الْأَصْلِ عَلَى الظَّاهِرِ.

(Cabangan Masalah). Ketika ada air sumur yang jumlahnya sedikit menjadi najis sebab najis yang mengenainya, maka air sumur tersebut tidak akan suci dengan mengurasnya41 bahkan sebaiknya jangan dikuras supaya air menjadi banyak dengan sebab sumber atau dengan menuangkan air ke dalamnya. Atau jumlah air di dalam sumur itu jumlahnya banyak dan berubah sebab najis, maka air tidak akan suci kecuali dengan hilangnya najis itu. Jika masih tersisa di dalam sumur tersebut sebuah najis seperti bulu-bulu tikus dan air tidak berubah, maka hukumnya suci mensucikan yang sulit digunakan sebab timba air tidak mungkin terlepas dari bulu-bulu itu. Maka kuraslah seluruh air.42 Jika seseorang menciduk air sumur itu sebelum mengurasnya dan ia tidak yakin dari cidukannya ada bulu-bulu tikusnya, maka tidaklah masalah walaupun ia menduganya sebab mengamalkan kaidah mendahulukan hukum asal dari hukum zhāhir.

41Sebab dinding-dinding sumur hukumnya najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 117 Darul Fikr.
42Supaya bulu-bulunya dapat hilang seluruhnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 117 Darul Fikr.


وَ لَا يَطْهر مُتَنَجِّسٌ بِنَحْوِ كَلْبٍ إِلَّا بِسْبْعِ غَسَلَاتٍ بَعْدَ زَوَالِ الْعَيْنِ وَ لَوْ بِمَرَّاتٍ، فَمُزِيْلُهَا مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ إِحْدَاهُنَّ بِتُرَابِ تَيَمُّمٍ مَمْزُوْجٍ بِالْمَاءِ، بِأَنْ يُكَدِّرَ الْمَاءُ حَتَّى يَظْهُرَ أَثَرُهُ فِيْهِ وَ يَصِلُ بِوَاسِطَتِهِ إِلَى جَمِيْعِ أَجْزَاءِ الْمَحَلِّ الْمُتَنَجِّسِ. وَ يَكْفِيْ فِي الرَّاكِدِ تَحْرِيْكُهُ سَبْعًا. قَالَ شَيْخُنَا: يَظْهُرُ أَنَّ الذِّهَابَ مَرَّةٌ وَ الْعَوْدَ أُخْرَى. وَ فِي الْجَارِيْ مُرُوْرُ سَبْعِ جِرْيَاتٍ، وَ لَا تَتْرِيْبَ فِيْ أَرْضٍ تُرَابِيَةٍ.

Benda yang terkena najis semacam anjing tidak akan suci kecuali dengan tujuh basuhan setelah hilangnya bentuk najis itu walaupun berkali-kali, maka basuhan yang digunakan untuk menghilangkan bentuk najisnya dihitung satu kali. Salah satu dari tujuh basuhan tersebut dicampur dengan menggunakan debu yang sah untuk tayammum43 sekira air menjadi keruh sampai terlihat bekas debu di dalamnya dan sehingga debu sampai pada seluruh bagian tempat yang najis dengan perantara air itu. Cukup di dalam air yang diam menggerakkan tempat yang terkena najis sebanyak tujuh kali.44 Guru kita berkata: Jelas bahwa gerakan ke depan dihitung satu kali dan kembalinya dihitung sekali lagi. Cukup pada air yang mengalir lewatnya tujuh aliran air itu. Tidaklah butuh pencampuran debu terhadap tanah yang telah berdebu.45

43Sekira debu tersebut suci yang belum digunakan untuk menghilangkan hadats dan najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 118 Darul Fikr.
44Besertaan mengeruhkan air disalah satu basuhannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 118 Darul Fikr.
45Saat terkena najis mughallazhah, sebab tidak ada gunanya memberi debu tanah yang berdebu. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 119 Darul Fikr.


فَرْعٌ - لَوْ مَسَّ كَلْبًا دَاخِلَ مَاءٍ كَثِيْرٍ لَمْ تُنَجَّسْ يَدُهُ، وَ لَوْ رَفَعَ كَلْبٌ رَأْسَهُ مِنْ مَاءٍ وَ فَمُّهُ مُتَرَطِّبٌ، وَ لَمْ يُعْلَمْ مُمَاسَّتُهُ لَهُ، لَمْ يُنَجِّسْ. قَالَ مَالِكٌ وَ دَاوُدٌ: الْكَلْبُ طَاهِرٌ وَ لَا يُنَجِّسُ الْمَاءُ الْقَلِيْلُ بِوُلُوْغِهِ، وَ إِنَّمَا يَجِبُ غَسْلُ الْإِنَاءِ بِوُلُوْغِهِ تَعَبُّدًا.

Cabangan Masalah). Jikalau seorang menyentuh anjing yang berada di dalam air dengan jumlah banyak, maka tangannya tidak dihukumi najis.46 Jika seekor anjing mengangkat kepalanya dari wadah air dan mulutnya basah, namun tidak diketahui menyentuhnya mulut anjing tersebut terhadap air, maka air itu tidak dihukumi najis. Imām Mālik dan Imām Dāūd mengatakan bahwa anjing hukumnya suci dan air tidak dihukumi najis dengan sebab dijilat anjing itu, sedangkan kewajiban membasuh wadah yang terjilat olehnya adalah murni ibadah kepada Allah.

46Sebab itu merupakan penghalang, berbeda bila menggenggam dengan kuat sekira di antara tangan dan anjing yang digenggam tidak terdapat airnya lagi, maka hukumnya najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 119 Darul Fikr.

وَ يُعْفَى عَنْ دَمِ نَحْوِ بُرْغُوْثٍ- مِمَّا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ كَبَعُوْضٍ وَ قَمْلٍ، لَا عَنْ جِلْدِهِ. (وَ) دَمِ نَحْوِ (دُمَّلٍ) كَبُثْرَةٍ وَ جُرْحٍ، وَ عَنْ قَيْحِهِ وَ صَدِيْدِهِ، (وَ إِنْ كَثُرَ) الدَّمُ فِيْهِمَا وَ انْتَشَرَ بِعِرْقٍ، أَوْ فَحُشَ الْأَوَّلُ بِحَيْثُ طَبَقَ الثَّوْبُ عَلَى النُّقُوْلِ الْمُعْتَمَدَةِ (بِغَيْرِ فِعْلِهِ) فَإِنْ كَثُرَ بِفِعْلِهِ قَصْدًا، كَأَنْ قَتَلَ نَحْوَ بَرْغُوْثٍ فِيْ ثَوْبِهِ، أَوْ عَصَرَ نَحْوَ دُمَّلٍ أَوْ حَمَلَ ثَوْبًا فِيْهِ دَمُ بَرَاغِيْثَ مَثَلًا، وَ صَلَّى فِيْهِ أَوْ فَرَشَهُ وَ صَلَّى عَلَيْهِ، أَوْ زَادَ عَلَى مَلْبُوْسِهِ لَا لِغَرَضٍ كَتَجَمُّلٍ، فَلَا يُعْفَى إِلَّا عَنِ الْقَلِيْلِ عَلَى الْأَصَحِّ كَمَا فِي التَّحْقِيْقِ وَ الْمَجْمُوْعِ وَ إِنَ اقْتَضَى كَلَامُ الرَّوْضَةِ الْعَفْوَ عَنْ كَثِيْرِ دَمِ نَحْوِ الدُّمَّلِ وَ إِنْ عُصِرَ. وَ اعْتَمَدَهُ ابْنُ النَّقِيْبِ وَ الْأَذْرَعِيُّ. وَ مَحَلَّ الْعَفْوِ هُنَا وَ فِيْمَا يَأْتِيْ بِالنِّسْبَةِ لِلصَّلَاةِ لَا لِنَحْوِ مَاءٍ قَلِيْلٍ، فَيُنَجِّسُ بِهِ وَ إِنْ قَلَّ، وَ لَا أَثَرَ لِمُلَاقَاةِ الْبَدَنِ لَهُ رُطْبًا، وَ لَا يُكَلِّفُ تَنْشِيْفُ الْبَدَنِ لِعُسْرِهِ. (وَ) عَنْ (قَلِيْلِ) نَحْوِ دَمٍ (غَيْرِهِ) أَيْ أَجْنَبِيٍّ غَيْرَ مُغَلَّظٍ، بِخِلَافِ كَثِيْرِهِ. وَ مِنْهُ كَمَا قَالَ الْأَذْرَعِيُّ: دَمٌ انْفَصَلَ مِنْ بَدَنِهِ ثُمَّ أَصَابَهُ

(Dan diampuni dari darah semacam nyamuk) yakni dari hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti nyamuk dan kutu, tidak dari kulitnya.47 (Diampuni pula dari darah semacam bisul) seperti jerawat, darah luka, nanah dan darah bernanah dari bisul, (walaupun jumlah darah dari keduanya banyak) dan menyebar sebab keringat atau sangat banyak sekali dalam contoh yang awal yakni darah nyamuk sekira merata pada baju menurut pendapat yang dikutip dan mu‘tamad. (Hal itu dilakukan tanpa ada kesengajaan).48 Jika darah tersebut banyak dengan unsur kesengajaan seperti seseorang yang sengaja membunuh nyamuk yang berada pada bajunya, memeras semacam bisul atau membawa baju yang ada darah nyamuknya – sebagai contoh – dan ia shalat dengan memakai baju itu atau baju itu digelar untuk shalat atau ia merangkap bajunya tidak dengan tujuan seperti memperindah diri, maka darah itu tidak diampuni kecuali dengan kadar yang sedikit menurut pendapat yang Ashaḥ seperti keterangan dalam kitab Taḥqīq dan Majmū‘. Walaupun ucapan Imām Nawawī dalam Raudhah menuntut diampuninya darah semacam bisul walaupun diperas49 dan pendapat dalam Raudhah itu dipakai pedoman oleh Imām Ibnu Naqīb dan Adzra‘ī. Status ampunan dalam masalah ini dan masalah yang akan disebutkan nanti adalah dalam permasalahan shalat bukan semacam air yang jumlahnya sedikit, maka air hukumnya menjadi najis dengan sebab darah itu walaupun darahnya sedikit. Tidak mempengaruhi terhadap badan basah yang terkena darah itu,50 dan tidak dituntut baginya untuk mengusap tubuhnya sebab hal itu sulit dilakukan. (Dan) diampuni dari (sedikitnya) semacam darah (orang lain) selain najis mughallazhah, beda bila dalam jumlah yang banyak. Sebagian contoh dari darah orang lain adalah – seperti yang telah disampaikan Imām Adzra‘ī – darah yang telah terpisah dari badan seseorang, lalu kembali mengenai dirinya lagi.

47Tidak diampuni dari kulit dari hewan-hewan tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 120 Darul Fikr.
48Dan tidak melewati tempat yang semestinya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 120 Darul Fikr.
49Namun pendapat ini tidak dianggap. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 119 Darul Fikr.
50Dan hal itu diperbolehkan menurut Imām Mutawallī dan tidak boleh menurut Imām Abū ‘Alī sebab tidak ada darurat untuk menajiskan badannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 121 Darul Fikr.


وَ- عَنْ قَلِيْلٍ (نَحْوِ دَمِ حَيْضٍ وَ رُعَافٍ) كَمَا فِي الْمَجْمُوْعِ. وَ يُقَاسُ بِهِمَا دَمُ سَائِرِ الْمَنَافِذِ، إِلَّا الْخَارِجَ مِنْ مَعْدَنِ النَّجَاسَةِ كَمَحَلِّ الْغَائِطِ. وَ الْمَرْجِعُ فِي الْقِلَّةِ وَ الْكَثْرَةِ الْعُرْفُ، وَ مَا شَكَّ فِيْ كَثْرَتِهِ لَهُ حُكْمُ الْقَلِيْلِ. وَ لَوْ تَفَرَّقَ النَّجَسُ فِيْ مَحَالٍّ وَ لَوْ جُمِعَ كَثُرَ كَانَ لَهُ حُكْمُ الْقَلِيْلِ عِنْدَ الْإِمَامِ، وَ الْكَثِيْرِ عِنْدَ الْمُتَوَلِّيْ وَ الْغَزَالِيْ وَ غَيْرَهِمَا، وَ رَجَّحَهُ بَعْضُهُمْ. وَ يُعْفَى عَنْ دَمِ نَحْوِ فَصْدٍ وَ حَجْمٍ بِمَحَلِّهِمَا وَ إِنْ كَثُرَ. وَ تَصُحُّ صَلَاةُ مَنْ أَدْمَى لَثَّتَهُ قَبْلَ غَسْلِ الْفَمِ، إِذَا لَمْ يَبْتَلِعْ رِيْقَهُ فِيْهَا، لِأَنَّ دَمَ اللَّثَّةِ مَعْفُوٌّ عَنْهُ بِالنَّسْبَةِ إِلَى الرِّيْقِ. وَ لَوْ رَعُفَ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَ دَامَ فَإِنْ رَجَا اِنْقِطَاعَهُ وَ الْوَقْتُ مُتَّسِعٌ اِنْتَظَرَهُ، وَ إِلَّا تَحَفَّظْ كَالسَّلِسِ خِلَافًا لِمَنْ زَعُمَ اِنْتِظَارَهُ، وَ إِنْ خَرَجَ الْوَقْتُ. كَمَا تُؤَخَّرُ لِغَسْلِ ثَوْبِهِ الْمُتَنَجِّسِ وَ إِنْ خَرَجَ. وَ يُفَرَّقُ بِقُدْرَةِ هذَا عَلَى إِزَالَةِ النَّجَسِ مِنْ أَصْلِهِ فَلَزِمَتْهُ، بِخِلَافِهِ فِيْ مَسْأَلَتِنَا. وَ عَنْ قَلِيْلِ طِيْنٍ مَحَلِّ مُرُوْرٍ مُتَيَقِّنِ نَجَاسَتِهِ وَ لَوْ بِمُغَلَّظٍ، لِلْمَشَقَّةِ، مَا لَمْ تَبْقَ عَيْنُهَا مُتَمَيِّزَةً. وَ يَخْتَلِفُ ذلِكَ بِالْوَقْتِ وَ مَحَلِّهِ مِنَ الثَّوْبِ وَ الْبَدَنِ. وَ إِذَا تَعَيَّنَ عَيْنُ النَّجَاسَةِ فِي الطَّرِيْقِ، وَ لَوْ مَوَاطِىءَ كَلْبٍ، فَلَا يُعْفَى عَنْهَا، (وَ إِنْ عَمَّتِ الطَّرِيْقَ عَلَى الْأَوْجَهِ). (وَ أَفْتَى شَيْخُنَا) فِيْ طَرِيْقٍ لَا طِيْنَ بِهَا بَلْ فِيْهَا قَذَرُ الْأَدَمِيِّ وَ رَوْثُ الْكِلَابِ وَ الْبَهَائِمِ وَ قَدْ أَصَابَهَا الْمَطَرُ، بِالعَفْوِ عِنْدَ مَشقَّةِ الْاِحْتِرَازِ..

Diampuni dari sedikitnya semacam darah haid dan darah dari hidung seperti keterangan dalam kitab Majmū‘. Disamakan dengan dua darah tersebut darah dari semua lubang tubuh kecuali darah yang keluar dari tempat keluarnya najis seperti tempat keluarnya berak. Dasar penilaian sedikit dan banyaknya najis adalah umumnya,51 sedangkan darah yang masih disangsikan banyaknya, maka darah tersebut dihukumi sedikit. Jikalau ada najis yang itu dihukumi sedikit menurut Imām Ḥaramain dan dihukumi banyak menurut Imām al-Mutawallī, Imām Ghazālī dan selain keduanya dan sebagian ulama’ mengunggulkan pendapat ini. Diampuni dari darah semacam tusuk jarum dan bekam yang masih berada di tempatnya,52 walaupun jumlahnya banyak. Sah shalatnya seseorang yang gusinya berdarah sebelum mencuci mulutnya ketika ia tidak menelan ludahnya di dalam shalat, sebab darah gusi hukumnya diampuni bila dinisbatkan dengan air ludah. Jika hidungnya mengeluarkan darah sebelum shalat dan berlanjut terus, maka bila ia memiliki harapan berhentinya darah sebelum shalat dan berlanjut terus, maka bila ia memiliki harapan berhentinya darah itu sedang waktu shalat masih lama habisnya, hendaknya ia menanti darahnya berhenti. Dan bila tidak ada harapan, maka sumbatlah aliran darah itu seperti halnya orang yang beser kencing. Lain halnya dengan pendapat ulama’ yang menduga harus menanti berhentinya pendarahan walaupun sampai waktu shalat habis, seperti diakhirkannya shalat untuk mencuci baju yang terkena najis walaupun sampai waktu shalat habis. Masalah hidung berdarah dan pencucian pakaian haruslah dibedakan sebab dalam masalah pencucian pakaian terdapat kemampuan untuk menghilangkan najis dari asalnya, maka wajib untuk menghilangkan najis itu, lain halnya dengan permasalahan orang yang mengeluarkan darah dari hidung dalam permasalahan kita. Diampuni sedikitnya53 lumpur tempat orang berlalu yang telah diyakini najisnya sekalipun dari najis mughallazhah sebab beratnya untuk menghindari selagi bentuk najisnya tidak tampak jelas. Ampunan najis tersebut akan berbeda sesuai dengan waktu dan tempat, yakni dari baju dan badan.54 Ketika bentuk najis nyata terlihat di jalan walaupun berupa jejak kaki anjing, maka najis itu tidak diampuni, walaupun jalan itu rata dengan najis menurut pendapat yang unggul. Guru kita berfatwa tentang permasalahan jalan yang tidak berlumpur tetapi di jalan itu terdapat kotoran manusia, anjing, dan hewan ternak sedang jalan tersebut terkena guyuran hujan dengan hukum ma‘fuw ketika memang sulit untuk dihindari.

51Maka bila secara umum najis tersebut dianggap sedikit, maka najis tersebut sedikit dan sebaliknya. Sebagian pendapat mengatakan bahwa penilaian banyak adalah bila seorang melihat langsung mengatakan banyak tanpa berfikir. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 122 Darul Fikr.
52Yakni tempat yang umumnya mengalir dan yang sejajar dengannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 122 Darul Fikr.
53Batasan sedikit adalah sekira pelakunya tidak dianggap seperti orang yang jatuh pada sesuatu atau tersungkur atau ceroboh secara umumnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 123 Darul Fikr.
54Maka diampuni lumpur yang mengenai kaki dan ujung kainnya bukan pada lengan tangan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 124 Darul Fikr.


قَاعِدَةٌ مُهِمَّةٌ- وَ هِيَ أَنَّ مَا أَصْلُهُ الطَّهَارَةُ وَ غَلَبَ عَلَى الظَّنَّ تَنَجُّسُهُ لِغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِيْ مِثْلِهِ فِيْهِ قَوْلَانِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَي الْأَصْلِ. وَ الظَّاهِرُ أَوِ الْغَالِبُ أَرْجَحُهُمَا أَنَّهُ طَاهِرٌ، عَمَلًا بِالْأَصْلِ الْمُتَيَقَّنِ، لِأَنَّهُ أَضْبَطُ مِنَ الْغَالِبِ الْمُخْتَلِفِ بِالْأَحْوَالِ وَ الْأَزْمَانِ، وَ ذلِكَ كَثِيَابِ خَمَّارٍ وَ حَائِضٍ وَ صِبْيَانٍ، وَ أَوَانِيْ مُتَدَيِّنِيْنَ بِالنَّجَاسَةِ، وَ وَرَقٍ يَغْلِبُ نَثْرُهُ عَلَى نَجَسٍ، وَ لُعَابِ صَبِيٍّ، وَ جُوْخٍ اِشْتَهَرَ عَمَلُهُ بِشَحْمِ الْخِنْزِيْرِ، وَ جُبْنٍ شَامِيٍّ اِشْتَهَرَ عَمَلُهُ بِإْنْفَحَّةِ الْخِنْزِيْرِ. وَ قَدْ جَاءَهُ جُبْنَةٌ مِنْ عِنْدِهِمْ فَأَكَلَ مِنْهَا وَ لَمْ يَسْأَلْ عَنْ ذلِكَ. ذَكَرَهُ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحِ الْمِنْهَاجِ.

(Kaidah Penting). Yaitu benda yang asalnya suci dan terjadi praduga najisnya benda itu dengan alasan benda semacam itu umumnya najis, dalam masalah ini ada dua pendapat yang terkenal dengan hukum Asal dan Zhāhir atau Ghālib. Yang lebih unggul dari dua kaidah itu adalah benda tersebut dihukumi suci, dengan mengamalkan hukum asal yang diyakini sebab hukum asal lebih terjaga kondisinya dibanding dengan hukum ghālib yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Hal itu dapat dicontohkan seperti pakaian pembuat khamer, orang haid, anak-anak, bejana milik pemeluk agama kafir yang menggunakan najis, dedaunan yang umumnya jatuh pada tempat yang najis, air liur anak kecil, gula batu yang terkenal terbuat dari lemak babi,55 keju Syam yang terkenal terbuat dari isi perut babi. Rasūlullāh s.a.w. pernah disuguhi keju dari penduduk Syam, lalu Rasūl memakan sebagiannya tanpa bertanya tentang hal itu. Guru kita menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab Syarḥ Minhāj.

55Hukumnya tidak najis kecuali telah nyata najisnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 125 Darul Fikr.

وَ- يُعْفَى عَنْ (مَحَلِّ اسْتِجْمَارِهِ وَ) عَنْ (وَنِيْمِ ذُبَابٍ) وَ بَوْلِ (وَ رَوْثِ خُفَّاشٍ) فِي الْمَكَانِ، وَ كَذَا الثَّوْبِ وَ الْبَدَنِ، وَ إِنْ كَثُرَتْ، لِعُسْرِ الْاِحْتِرَازِ عَنْهَا. وَ يُعْفَى عَمَّا جَفَّ مِنْ ذَرْقِ سَائِرِ الطُّيُوْرِ فِي الْمَكَانِ إِذَا عَمَّتِ الْبَلْوَى بِهِ. وَ قَضِيَّةُ كَلَامِ الْمَجْمُوْعِ الْعَفْوُ عَنْهُ فِي الثَّوْبِ وَ الْبَدَنِ أَيْضًا، وَ لَا يُعْفَى عَنْ بَعْرِ الْفَأْرِ وَ لَوْ يَابِسًا عَلَى الْأَوْجَهِ. لكِنْ أَفْتَى شَيْخُنَا ابْنُ زِيَادٍ كَبَعْضِ الْمُتَأَخِّرِيْنَ بِالْعَفْوِ عَنْهُ إِذَا عَمَّتِ الْبَلْوَى بِهِ، كَعُمُوْمِهَا فِيْ ذَرْقِ الطُّيُوْرِ. وَ لَا تَصِحُّ صَلَاةُ مَنْ حَمَلَ مُسْتَجْمِرًا أَوْ حَيَوَانًا بِمَنْفَذِهِ نَجَسٌ، أَوْ مُذَكَّى غُسِلَ مَذْبَحُهُ دُوْنَ جَوْفِهِ، أَوْ مَيِّتًا طَاهِرًا كَآدَمِيٍّ وَ سَمَكٍ يُغْسَلْ بَاطِنُهُ، أَوْ بَيْضَةً مُذِرَةً فِيْ بَاطِنِهَا دَمٌ. وَ لَا صَلَاةُ قَابِضِ طَرَفٍ مُتَّصِلٍ بِنَجَسٍ وَ إِنْ لَمْ يَتَحَرَّكْ بِحَرَكَتِهِ.

Diampuni dari tempat bekas bersuci dari batu dan dari kotoran lalat, air kencing dan kotoran kelelawar yang mengenai tempat shalat, begitu pula baju dan badan walaupun sangat banyak56 sebab sulitnya menghindari hal itu. Diampuni dari kotoran semua burung yang telah kering yang berada di tempat shalat, jika kotoran itu telah rata adanya.57 Malah dalam Majmū‘-nya menghukumi ma‘fuw pula bila mengenai baju dan badan. Kotoran tikus walaupun telah kering tidaklah diampuni menurut pendapat yang lebih unggul namun guru kita Ibnu Zaid mengeluarkan fatwa seperti ulama’ kurun akhir lain dengan menghukumi ma‘fuw, jika memang telah rata di tempat itu seperti telah meratanya kotoran burung. Tidak sah shalatnya seseorang yang menggendong orang yang istinja’ dengan menggunakan batu, membawa binatang yang jalan keluar kotorannya terdapat najis, membawa binatang sembelihan yang telah dicuci tempat penyembelihannya tanpa mencuci perutnya, atau bangkai suci seperti manusia,58 ikan yang tidak dibersihkan bagian dalamnya atau telur rusak yang di dalamnya terdapat darah. Tidak sah pula shalatnya seseorang yang menggenggam pucuk suatu benda yang bertemu dengan najis walaupun benda itu tidak ikut bergerak dengan gerakannya.

56Tidak ada perbedaan antara najis yang kering dan basah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 126 Darul Fikr.
57Dan tidak ada kesengajaan untuk menginjaknya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 126 Darul Fikr.
58Shalat seseorang tidak sah dengan menggendong bangkai yang suci, sebab telah menggendong sesuatu yang di dalamnya terdapat najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 127 Darul Fikr.


فَرْعٌ - لَوْ رَأَى مَنْ يُرِيْدُ صَلَاةً وَ بِثَوْبِهِ نَجَسٌ غَيْرَ مَعْفُوٍّ عَنْهُ لَزِمَهُ إِعْلَامُهُ. وَ كَذَا يَلْزَمُ تَعْلِيْمَ مَنْ رَآهُ يُخِلُّ بِوَاجِبِ عِبَادَةِ فِيْ رَأْيِ مُقَلَّدِهِ.

(Cabangan Masalah). Jikalau seseorang melihat orang yang ingin mengerjakan shalat sedang dibajunya terdapat najis yang tidak diampuni, maka wajib baginya untuk memberitahunya59 begitu pula wajib untuk mengajarkan60 orang yang ia lihat melanggar kewajiban ibadah menurut imam yang diikuti.

59Sebab amar ma‘rūf dan nahi munkar tidak terkhusus pada orang yang durhaka seperti melihat seorang anak kecil yang berzina. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 127 Darul Fikr.
60Bila ilmu yang diajarkan umumnya harus diberi upah, maka tidak diajarkan kecuali dengan upah menurut pendapat yang mu‘tamad. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 127 Darul Fikr.

SYARAT SHALATYANG KE-2


SYARAT SHALAT
YANG KE-2



Sucinya Badan, Pakaian dan Tempat dari Najis


وَ ثَانِيْهَا - أَيْ ثَانِيْ شُرُوْطِ الصَّلَاةِ. (طَهَارَةُ بَدَنٍ) وَ مِنْهُ دَاخِلُ الْفَمِ وَ الْأَنْفِ وَ الْعَيْنِ. (وَ مَلْبُوْسٍ) وَ غَيْرِهِ مِنْ كُلِّ مَحْمُوْلٍ لَهُ، وَ إِنْ لَمْ يَتَحَرَّكْ بِحَرَكَتِهِ. (وَ مَكَانٍ) يُصَلَّى فِيْهِ (عَنْ نَجَسٍ) غَيْرَ مَعْفُوٍّ عَنْهُ، فَلَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ مَعَهُ، وَ لَوْ نَاسِيًا أَوْ جَاهِلًا بِوُجُوْدِهِ، أَوْ بِكَوْنِهِ مُبْطِلًا، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: * (وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ) * وَ لِخَبَرِ الشَّيْخَيْنِ. وَ لَا يَضُرُّ مُحَاذَاةُ نَجَسٍ لِبَدَنِهِ، لكِنْ تُكْرَهُ مَعَ محُاَذَاتِهِ، كَاسْتِقْبَالِ نَجَسٍ أَوْ مُتَنَجِّسٍ. وَ السَّقْفِ كَذلِكَ إِنْ قَرُبَ مِنْهُ بِحَيْثُ يُعَدُّ مُحَاذِيًا لَهُ عُرْفًا.

(Syarat yang kedua) dari shalat adalah (sucinya badan), sebagian dari badan adalah bagian dalam mulut,1 hidung, dan kedua mata, (sucinya pakaian) dan selainnya, yakni dari setiap hal yang dibawa walaupun tidak ikut bergerak dengan gerakannya.2 (Dan tempat) shalatnya (dari najis) yang tidak dapat diampuni. Maka tidak sah shalat besertaan dengan najis tersebut atau tidak mengerti dapat membatalkannya najis terhadap shalat.3 Hal itu sebab firman Allah ta‘ālā: Dan sucikanlah pakaianmu,4 dan hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhar-Muslim. Tidak masalah sejajarnya najis terhadap badannya, namun hukumnya makruh seperti menghadap najis atau benda yang terkena najis. Melurusi terhadap atap yang najis hukumnya juga makruh jika atap tersebut dekat dengannya, sekira orang tersebut dianggap melurusinya secara umumnya.

Catatan:
1Oleh karenanya jika mulut seseorang terkena najis dan belum mensucikannya, maka shalatnya tidak sah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 97 Darul Fikr.
2Perbedaan sahnya sujud pada sesuatu yang ikut bergerak dengan gerakannya adalah bahwa anjuran untuk menjauhi najis dalam shalat adalah untuk mengagungkan shalat dan keberadaan najis menafikannya, sedang tujuan sujud adalah menetap pada sebuah tempat dan itu sudah dapat dihasilkan dengan hal tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 97 Darul Fikr.
3Sebab suci dari najis merupakan syarat yang masuk dalam kategori khithāb Wadh‘i, hingga kebodohan atau kelupaan seseorang tidak memberi efek pengampunan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 98 Darul Fikr. ↩ 4Al-Muddatstsir, ayat: 4.

TENTANG MANDI

TENTANG MANDI



(وَ) الطَّهَارَةُ (الثَّانِيَةُ: الْغُسْلُ) هُوَ لُغَةً: سَيَلَانُ الْمَاءِ عَلَى الشَّيْءِ. وَ شَرْعًا: سَيَلَانُهُ عَلَى جَمِيْعِ الْبَدَنِ بِالنِّيَّةِ. وَ لَا يَجِبُ فَوْرًا وَ إِنْ عَصَى بِسَبَبِهِ، بِخِلَافِ نَجَسٍ عَصَى بِسَبَبِهِ. وَ الْأَشْهَرُ فِيْ كَلَامِ الْفُقَهَاءِ ضَمُّ غَيْنِهِ، لكِنَّ الْفَتْحَ أَفْصَحُ، وَ بِضَمِّهَا مُشْتَرَكٌ بَيْنَ الْفِعْلِ وَ مَاءِ الْغُسْلِ.

(Bersuci yang kedua adalah mandi). Mandi secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedang secara syara‘ adalah mengalirkan air pada seluruh tubuh disertai dengan niat. Tidak wajib untuk segera mandi1 walaupun sebab yang mengharuskan mandi itu adalah maksiat2 berbeda dengan najis yang sebabnya adalah maksiat.3 Pendapat yang masyhur dalam pembicaraan ulama’ fiqh adalah dengan membaca dhammah ghain lafazh al-ghuslu, namun dengan membaca fatḥah akan lebih fasih. Dengan membaca dhammah berarti memiliki makna pekerjaan mandi dan air yang digunakan.

وَ مُوْجِبُهُ- أَرْبَعَةٌ: أَحَدُهَا: (خُرُوْجُ مَنِيِّهِ أَوَّلًا) وَ يُعْرَفُ بِأَحَدِ خَوَاصِّهِ الثَّلَاثِ: مِنْ تَلَذُّذٍ بِخُرُوْجِهِ، أَوْ تَدَفُّقٍ، أَوْ رِيْحِ عَجِيْنٍ رَطْبًا وَ بَيَاضِ بِيْضٍ جَافًا. فَإِنْ فُقِدَتْ هذِهِ الْخَوَّاصُ فَلَا غُسْلَ. نَعَمْ، لَوْ شَكَّ فِيْ شَيْءٍ أَمَنِيٌّ هُوَ أَوْ مَذِيٌّ؟ تَخَيَّرَ وَ لَوْ بِالتَّشَهِيْ. فَإِنْ شَاءَ جَعَلَهُ مَنِيًّا وَ اغْتَسَلَ، أَوْ مَذِيًا وَ غَسَلَهُ وَ تَوَضَّأَ. وَ لَوْ رَأَى مَنِيًّا مُجَفَّفًا فِيْ نَحْوِ ثَوْبِهِ لَزِمَهُ الْغُسْلُ وَ إِعَادَةُ كُلِّ صَلَاةٍ تَيَقَّنَهَا بَعْدَهُ، مَا لَمْ يَحْتَمِلْ عَادَةً كَوْنُهُ مِنْ غَيْرِهِ. (وَ) ثَانِيْهَا: (دُخُوْلُ حَشَفَةٍ) أَوْ قَدْرِهَا مِنْ فَاقِدِهَا، وَ لَوْ كَانَتْ مِنْ ذَكَرٍ مَقْطُوْعٍ أَوْ مِنْ بَهِيْمَةٍ أَوْ مَيِّتٍ. (فَرْجًا) قُبُلًا أَوْ دُبُرًا، (وَ لَوْ لِبَهِيْمَةٍ ) كَسَمَكَةٍ أَوْ مَيِّتٍ، وَ لَا يُعَادُ غُسْلُهُ لِانْقِطَاعِ تَكْلِيْفِهِ.

(Hal yang mewajibkan mandi) ada empat. Yang pertama adalah (keluarnya mani seseorang; yang pertama).4 Air mani dapat diketahui dengan salah satu dari tiga sifatnya khususnya: Merasa nikmat sebab keluarnya, keluar dengan tercurat, berbau adonan roti saat basah dan putih telur ketika kering. Jika tidak dijumpai kekhususan ini, maka tidaklah wajib untuk mandi. Benar tidak wajib mandi, namun kalau seandainya seseorang ragu pada sesuatu apakah itu mani ataukah madzi? maka diperbolehkan baginya untuk memilih walaupun sekehendak hatinya. Jika ia mau, boleh menjadikannya mani dan wajib mandi atau menjadikan madzi dan membasuhnya lalu berwudhu’. Kalau seandainya seseorang melihat mani yang kering di bajunya maka wajib untuk mandi dan mengulangi setiap shalat yang diyakini telah dikerjakan setelah melihat mani tersebut selama mani tersebut tidak ada kemungkinan secara adatnya milik orang lain. (Yang) kedua adalah masuknya (kepala penis) atau kadar dari kepala penis yang terpotong, dari hewan atau dari mayit. (ke dalam kemaluan) baik kelamin ataupun anus (walaupun milik hewan) seperti ikan laut ataupun mayit. Mandinya mayit tidak perlu di ulangi sebab tanggungannya terhadap hukum syari‘at telah terputus.5

وَ- ثَالِثُهَا: (حَيْضٌ) أَيِ انْقِطَاعُهُ، وَ هُوَ دَمٌ يَخْرُجُ مِنْ أَقْصَى رَحِمِ الْمَرْأَةِ فِيْ أَوْقَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ. (وَ أَقَلُّ سَنَةٍ تِسْعُ سِنِيْنَ قَمَرِيَّةً) أَيِ اسْتِكْمَالُهَا. نَعَمْ، إِنْ رَأَتْهُ قَبْلَ تَمَامِهَا بِدُوْنِ سِتَّةَ عَشَرَ يَوْمًا فَهُوْ حَيْضٌ، وَ أَقَلُّهُ يَوْمٌ وَ لَيْلَةٌ، وَ أَكْثَرُهُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، كَأَقَلِّ طُهْرٍ بَيْنَ الْحَيْضَتَيْنِ. وَ يَحْرُمُ بِهِ مَا يَحْرُمُ بِالْجَنَابَةِ، وَ مُبَاشَرَةُ مَا بَيْنَ سُرَّتِهَا وَ رُكْبَتِهَا. وَ قِيْلَ: لَا يَحْرُمُ غَيْرُ الْوَطْئِ. وَ اخْتَارَهُ النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيْقِ، لِخَبَرِ مُسْلِمٍ: اصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ. وَ إِذَا انْقَطَعَ دَمُهَا حَلَّ لَهَا قَبْلَ الْغُسْلِ صَوْمٌ لَا وَطْئٌ، خِلَافًا لِمَا بِحَثَهُ الْعَلَامَةِ الْجَلَالُ السُّيُوْطِيُّ رَحِمَهُ اللهُ.

وَ- رَابِعُهَا: (نِفَاسٌ) أَيِ انْقِطَاعُهُ، وَ هُوَ دَمُ حَيْضٍ مُجْتَمِعٍ يَخْرُجُ بَعْدَ فِرَاغِ جَمِيْعِ الرَّحْمِ، وَ أَقَلُّهُ لَحْظَةً، وَ غَالِبُهُ أَرْبَعُوْنَ يَوْمًا، وَ أَكْثَرُهُ سِتُّوْنَ يَوْمًا. وَ يَحْرُمُ بِهِ مَا يَحْرُمُ بِالْحَيْضِ، وَ يَجِبُ الْغَسْلُ أَيْضًا بِوِلَادَةٍ وَ لَوْ بِلَا بَلَلٍ، وَ إِلْقَاءِ عَلَقَةٍ وَ مُضْغَةٍ، وَ بِمَوْتِ مُسْلِمٍ غَيْرِ شَهِيْدٍ.

(Yang) ketiganya adalah (berhentinya haid). Haid adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita di waktu-waktu tertentu. (Minimal wanita dapat mengalami haid adalah wanita yang sempurna berumur sembilan tahun Qamariyyah). Benar minimalnya sempurna sembilan tahun, namun jika ada seorang wanita yang belum sempurna umur tersebut dengan kurang 16 hari, maka itu namanya haid. Minimal haid adalah satu hari satu malam6 dan maksimalnya adalah 15 hari seperti minimal suci di antara dua haid. Diharamkan dengan sebab haid hal-hal yang diharamkan sebab junub, dan ditambah dengan keharaman menyentuh anggota di antara pusar dan lutut. Sebagian pendapat mengatakan hal itu tidaklah haram selain bersetubuh. Pendapat tersebut dipilih oleh Imām Nawawī dalam kitab Taḥqīq-nya sebab hadits yang diriwayatkan Imam Muslim: Lakukanlah segala sesuatu selain bersetubuh. Ketika darah telah terputus maka halal bagi wanita tersebut sebelum mandi untuk melakukan puasa, tidak bersetubuh, berbeda dengan pendapat yang telah dibahas oleh al-‘Allāmah Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī7 semoga Allah mengasihinya –

(Yang) keempatnya adalah (berhentinya nifas). Nifas adalah darah haid yang terkumpul setelah kosongnya seluruh rahim. Minimal dari nifas adalah satu tetes, umumnya 40 hari, dan maksimalnya 60 hari. Haram sebab nifas (adalah sama dengan) semua keharaman sebab haid. Dan juga wajib untuk melakukan mandi sebab melahirkan8 walaupun tanpa cairan basah, sebab mengeluarkan segumpal darah, segumpal daging9 dan sebab matinya orang muslim yang tidak syahid.

وَ فَرْضُهُ – أَيِ الْغُسْلِ – شَيْئَانِ: أَحَدُهُمَا: (نِيَّةُ رَفْعِ الْجَنَابَةِ) لِلْجُنُبِ، أَوِ الْحَيْضِ لِلْحَائِضِ. أَيْ رَفْعِ حُكْمِهِ. (أَوْ) نِيَّةُ (أَدَاءِ فَرْضِ الْغُسْلِ) أَوْ رَفْعِ حَدَثٍ، أَوِ الطَّهَارَةِ عَنْهُ، أَوْ أَدَاءِ الْغُسْلِ. وَ كَذَا الْغُسْلُ لِلصَّلَاةِ لَا الْغُسْلُ فَقَطْ. وَ يَجِبُ أَنْ تَكُوْنَ النِّيَّةُ (مَقْرُوْنَةً بِأَوَّلِهِ) – أَيِ الْغُسْلِ – يَعْنِيْ بِأَوَّلِ مَغْسُوْلٍ مِنَ الْبَدَنِ، وَ لَوْ مِنْ أَسْفَلِهِ. فَلَوْ نَوَى بَعْدَ غَسْلِ جُزْءٍ وَجَبَ إِعَادَةُ غَسْلِهِ. وَ لَوْ نَوَى رَفْعَ الْجَنَابَةِ وَ غَسَلَ بَعْضَ الْبَدَنِ ثُمَّ نَامَ فَاسْتَيْقَظَ وَ أَرَادَ غَسْلَ الْبَاقِيْ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى إِعَادَةِ النِّيَّةِ.

(Kefardhuan mandi) ada dua hal. Yang pertama adalah (niat menghilangkan hukum janabah) bagi orang junub, menghilangkan hukum haid bagi orang haid (atau) berniat (menunaikan kefardhuan mandi), menghilangkan hadats, niat bersuci dari hadats atau niat menunaikan mandi, begitu pula berniat mandi untuk shalat, tidak berniat mandi saja. Niat haruslah (dibarengkan dengan permulaan mandi) maksudnya adalah awal anggota yang dibasuh walaupun dari anggota tubuh bagian bawah. Jika seseorang berniat setelah membasuh satu bagian tubuh, maka wajib mengulangi membasuh anggota tersebut. Jika setelah berniat menghilangkan janabah dan membasuh sebagian tubuhnya lalu tidur kemudian bangun dan meneruskan anggota tubuh yang lain, maka tidak perlu untuk mengulangi niatnya.10

وَ- ثَانِيْهُمَا: (تَعْمِيْمُ) ظَاهِرِ (بَدَنٍ حَتَّى) الْأَظْفَارَ وَ مَا تَحْتَهَا، وَ (الشَّعْرِ) ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا وَ إِنْ كَثُفَ، وَ مَا ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتْ قَبْلَ غَسْلِهَا، وَ صُمَاخٍ وَ فَرْجِ امْرَأَةٍ عِنْدَ جُلُوْسِهَا عَلَى قَدَمَيْهَا، وَ شُقُوْقٍ (وَ بَاطِنِ جُدْرِيٍّ) انْفَتَحَ رَأْسُهُ لَا بَاطِنِ قَرْحَةٍ بَرِئَتْ وَ ارْتَفَعَ قَشْرُهَا وَ لَمْ يَظْهَرْ شَيْءٌ مِمَّا تَحْتَهُ. وَ يَحْرُمُ فَتْقُ الْمُلْتَحِمِ (وَ مَا تَحْتَ قُلْفَةٍ) مِنَ الْأَقْلَفِ فَيَجِبُ غَسْلُ بَاطِنِهَا لِأَنَّهَا مُسْتَحِقَّةُ الْإِزَالَةِ، لَا بَاطِنِ شَعْرٍ اِنْعَقَدَ بِنَفْسِهِ وَ إِنْ كَثُرَ، وَ لَا يَجِبُ مَضْمَضَةٌ وَ اسْتِنْشَاقٌ بَلْ يُكْرَهُ تَرْكُهُمَا. (بِمَاءٍ طَهُوْرٍ) وَ مَرَّ أَنَّهُ يَضُرُّ تَغَيُّرُ الْمَاءِ تَغَيُّرًا ضَارًّا وَ لَوْ بِمَا عَلَى الْعُضْوِ، خِلَافًا لِجَمْعٍ. (وَ يَكْفِيْ ظَنُّ عُمُوْمِهِ) – أَيِ الْمَاءِ – عَلَى الْبَشَرَةِ وَ الشَّعْرِ وَ إِنْ لَمْ يَتَيَقَّنْهُ، فَلَا يَجِبُ تَيَقُّنُ عُمُوْمِهِ بَلْ يَكْفِيْ غَلَبَةُ الظَّنِّ بِهِ فِيْهِ كَالْوُضُوْءِ.

(Yang) kedua adalah (meratakan air ke seluruh anggota luar badan) sampai pada kuku-kuku, anggota yang berada di bawahnya, (seluruh rambut) luar dalam walaupun tebal, anggota yang terlihat dari tempat tumbuhnya rambut yang terlepas sebelum membasuhnya, lubang kuping, vagina wanita saat duduk jongkok,11 anggota tubuh yang robek dan bagian dalam bisul yang terbuka ujungnya, tidak batin luka yang telah sembuh dan kulitnya telah hilang dan tidak tampak sesuatu di bawahnya. Haram hukumnya menyobek jari-jari yang rekat.12 (Kewajiabn tersebut sampai pada anggota yang berada di bawah kuncup bagi lelaki yang belum khitan). Maka wajib untuk membasuh bagian dalamnya sebab kuncup tersebut harus dihilangkan, tidak batin rambut yang terikat dengan sendirinya walaupun banyak. Tidak wajib berkumur dan menyerap air dari hidung, akan tetapi hukumnya makruh meninggalkan keduanya.13 (Dengan menggunakan air yang suci mensucikan). Telah lewat penjelasan tentang bahayanya perubahan air dengan perubahan yang dapat merusak kesucian air, walaupun dengan sebab sesuatu yang berada pada anggotanya sendiri, berbeda dengan pendapat segolongan ‘ulama’. (Cukup adanya praduga telah ratanya air terhadap kulit dan rambut) walaupun tidak meyakinkannya. Maka tidak wajib baginya untuk yakin telah ratanya air, bahkan cukup dengan praduga saja seperti halnya wudhu’.

وَ سُنَّ - لِلْغُسْلِ الْوَاجِبِ وَ الْمَنْدُوْبِ (تَسْمِيَّةٌ) أَوَّلَهُ، (وَ إِزَالَةُ قَذَرٍ طَاهِرٍ) كَمَنِيٍّ وَ مُخَاطٍ، وَ نَجَسٍ كَمَذِيٍّ، وَ إِنْ كَفَى لَهُمَا غَسْلَةٌ وَاحِدَةٌ، وَ أَنْ يَبُوْلَ مَنْ أَنْزَلَ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ لِيَخْرُجَ مَا بَقِيَ بَمَجْرَاهُ. (فَ‍) – بَعْدَ إِزَالَةِ الْقَذَرِ (مَضْمَضَةٌ وَ اسْتِنْشَاقٌ ثُمَّ وُضُوْءٌ) كَامِلًا – لِلْاِتِّبَاعِ -، رَوَاهُ الشَّيْخَانِ. وَ يُسَنُّ لَهُ اسْتِصْحَابُهُ إِلَى الْفِرَاغِ، حَتَّى لَوْ أَحْدَثَ، سُنَّ لَهُ إِعَادَتُهُ. وَ زَعْمُ الْمَحَامِلِيْ اخْتِصَاصَهُ بِالْغُسْلِ الْوَاجِبِ ضَعِيْفٌ، وَ الْأَفْضَلُ عَدَمُ تَأْخِيْرِ غَسْلِ قَدَمَيْهِ عَنِ الْغُسْلِ، كَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي الرَّوْضَةِ، وَ إِنْ ثَبَتَ تَأْخِيْرُهُمَا فِي الْبُخَارِيِّ. وَ لَوْ تَوَضَّأَ أَثْنَاءَ الْغُسْلِ أَوْ بَعْدَهُ حَصَلَ لَهُ أَصْلُ السُّنَّةِ، لكِنِ الْأَفْضَلُ تَقْدِيْمُهُ، وَ يُكْرَهُ تَرْكُهُ. وَ يَنْوِيْ بِهِ سُنَّةَ الْغُسْلِ إِنْ تَجَرَّدَتْ جَنَابَتُهُ عَنِ الْأَصْغَرِ، وَ إِلَّا نَوَى بِهِ رَفْعَ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِ أَوْ نَحْوِهِ، خُرُوْجًا مِنْ خِلَافِ مُوْجِبِهِ الْقَائِلِ بِعَدَمِ الْاِنْدِرَاجِ. وَ لَوْ أَحْدَثَ بَعْدَ ارْتِفَاعِ جَنَابَةِ أَعْضَاءِ الْوُضُوْءِ لَزِمَهُ الْوُضُوْءُ مُرَتَّبًا بِالنِّيَّةِ. (فَتَعَهُّدُ مَعَاطِفٍ) كَالْأُذُنِ و الْإِبْطِ وَ السُّرَّةِ وَ الْمُوْقِ وَ مَحَلُّ شَقٍّ، وَ تَعَهُّدُ أُصُوْلِ شَعْرٍ، ثُمَّ غَسْلُ رَأْسٍ بِالْإِفَاضَةِ بَعْدَ تَخْلِيْلِهِ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ شَعْرٌ، وَ لَا تَيَامُنَ فِيْهِ لِغَيْرِ أَقْطَعَ. ثُمَّ غَسْلُ شَقٍّ أَيْمَنَ ثُمَّ أَيْسَرَ، (وَ دَلْكٌ) لِمَا تَصِلُهُ يَدُهُ مِنْ بَدَنِهِ، خُرُوْجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ. (وَ تَثْلِيْثٌ) لِغُسْلٍ جَمِيْعِ الْبَدَنِ، وَ الدَّلْكُ وَ التَّسْمِيَةُ وَ الذِّكْرُ عَقِبَهُ، وَ يَحْصُلُ فِيْ رَاكِدٍ بِتَحَرُّكِ جَمِيْعِ الْبَدَنِ ثَلَاثًا، وَ إِنْ لَمْ يَنْقُلْ قَدَمَيْهِ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ، عَلَى الْأَوْجَهِ (وَ اسْتِقْبَالٌ) لِلْقِبْلَةِ وَ مُوَالَاةٌ، وَ تَرْكُ تَكَلُّمٍ بِلَا حَاجَةٍ، وَ تَنْشِيْفٌ بِلَا عُذْرٍ. وَ تُسَنُّ الشَّهَادَتَانِ الْمُتَقَدِّمَتَانِ فِي الْوُضُوْءِ مَعَ مَا مَعَهُمَا عَقِبَ الْغُسْلِ، وَ أَنْ لَا يَغْتَسِلَ لِجَنَابَةٍ أَوْ غَيْرِهَا، كَالْوُضُوْءِ فِيْ مَاءٍ رَاكِدٍ لَمْ يَسْتَبْحِرْ كَنَابِعٍ مِنْ عَيْنٍ غَيْرِ جَارٍ.

Disunnahkan di dalam mandi wajib dan sunnah untuk melafazhkan basamalah14 pada permulaannya dan menghilangkan kotoran yang suci seperti mani dan liur dahak dan kotoran yang najis seperti madzi, walaupun cukup bagi keduanya satu basuhan.15 Sunnah untuk kencing lebih dahulu bagi seorang yang mengeluarkan mani sebelum mandi supaya mani yang tersisa ikut keluar dari tempat lewatnya air kencing. Setelah menghilangkan kotoran, disunnahkan berkumur dan menyerap air dari hidung, kemudian berwudhu’ secara sempurna, sebab mengikuti sabda Nabi yang diriwayatkan Imām Bukhārī-Muslim. Disunnahkan baginya untuk melanggengkan kesucian wudhu’ sampai selesainya mandi, hingga kalau seandainya ia hadats disunnahkan untuk mengulangi wudhu’nya. Dugaan Imām Maḥāmilī tentang kekhususan kesunnahkan wudhu’ terhadap mandi wajib adalah pendapat yang lemah. Yang lebih utama adalah tidak mengakhirkan membasuh kedua telapak kaki dari mandi seperti yang telah dijelaskan oleh Imām Nawawī dalam kitab Raudhah-nya walaupun mengakhirkan dua telapak kaki tersebut terdapat dalam hadits Imam Bukhari. Kalau seandainya seseorang berwudhu’ di tengah mandi atau setelah selesai, maka kesunnahan telah ia dapatkan. Namun yang lebih utama adalah mendahulukannya dan dimakruhkan untuk meninggalkannya. Berniatlah kesunnahan mandi saat berwudhu’ jika jinabahnya tidak bersamaan dengan hadats kecil. Jika bersamaan hadats kecil, maka berniatlah menghilangkan hadats kecil atau sesamanya sebagai upaya keluar dari perbedaan ‘ulama’ yang mewajibkannya yang mengatakan bahwa wudhu’ tidak masuk dalam mandi besar. Kalau seseorang berhadats setelah hilangnya janabah dari anggota wudhu’nya maka wajib baginya untuk berwudhu’ secara tertib disertati dengan niat wudhu’. (Disunnahkan untuk memperhatikan lipatan-lipatan tubuhnya seperti telinga, ketiak, pusar, saluaran air mata, daerah-daerah yang sobek, memperhatikan akar-akar rambut, kemudian setelah itu diguyur dengan air setelah disela-sela jika ia punya rambut, dan tidak ada kesunnahan mendahulukan kepala kanan bagi selain seorang yang tangannya terpotong. Setelah itu membasuh anggota badan yang kanan, disusul yang kiri dan menggosok anggota badan yang terjangkau oleh tangannya sebagai upaya keluar dari perselisihan ‘ulama’ yang mewajibkannya.16 (Sunnah untuk meniga kalikan) dalam membasuh seluruh tubuhnya, menggosok, bismillah dan dzikir setelahnya. Kesunnahan meniga kalikan ini akan didapatkan dengan menggerakkan tubuhnya tiga kali di air yang diam walaupun tidak sampai memindah dua telapak kakinya ke tempat lain, menurut pendapat yang lebih unggul. Sunnah menghadap ke arah kiblat, teruns-menerus, meninggalkan perbincangan tanpa ada hajat dan meninggalakan mengelap tanpa udzur. Disunnahkan membaca dua kalimat syahadat setelah mandi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya dalam bab wudhu’ beserta doa-doanya. Disunnahkan untuk tidak mandi junub atau selainnya – seperti halnya wudhu’ – dia air yang diam selama tidak berjumlah yang banyak seperti halnya mata air yang tidak mengalir.17

فَرْعٌ- لَوِ اغْتَسَلَ لِجَنَابَةٍ وَ نَحْوُ جُمْعَةٍ بِنِيَّتِهِمَا حَصَلَا، وَ إِنْ كَانَ الْأَفْضَلُ إِفْرَادُ كُلٍّ بِغُسْلٍ، أَوْ لِأَحَدِهِمَا حَصَلَ فَقَطْ. (وَ لَوْ أَحْدَثَ ثُمَّ أَجْنَبَ كَفَى غُسْلٌ وَاحِدٌ) وَ إِنْ لَمْ يَنْوِ مَعَهُ الْوُضُوْءُ وَ لَا رَتَّبَ أَعْضَاءَهُ.

(Cabang Masalah). Kalau seandainya seseorang melakukan mandi junub dan semacam mandi Jum‘at dengan niat keduanya, maka keduanya dapat dihasilkan,18 walaupun yang utama adalah menyendirikan setiap satu mandi. Atau berniat salah satunya, maka yang hasil hanyalah satu saja. Kalau seandainya seseorang berhadats kemudian junub, maka cukup melakukan satu mandi walaupun ia tidak berniat wudhu’ besertana mandi itu. Dan tidaklah ada hukum tartib di antara anggota-anggotanya.

فَرْعٌ- يُسَنَّ لِجُنُبٍ وَ حَائِضٍ وَ نُفَسَاءُ بَعْدَ انْقِطَاعِ دَمِهِمَا غَسْلُ فَرْجٍ وَ وُضُوْءٍ لِنَوْمٍ وَ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ، وَ يُكْرَهُ فِعْلُ شَيْءٍ مِنْ ذلِكَ بِلَا وُضُوْءٍ. وَ يَنْبَغِيْ أَنْ لَا يُزِيْلُوْا قَبْلَ الْغُسْلِ شَعْرًا أَوْ ظُفْرًا، وَ كَذَا دَمًا، لِأَنَّ ذلِكَ يَرِدُ فِي الْآخِرَةِ جُنُبًا. (وَ جَازَ تَكَشُّفٌ لَهُ) أَيْ لِلْغُسْلِ، (فِيْ خَلْوَةٍ) أَوْ بِحَضْرَةِ مَنْ يَجُوْزُ نَظْرُهُ إِلَى عَوْرَتِهِ كَزَوْجَةٍ وَ أَمَةٍ، وَ السَّتْرُ أَفْضَلُ. وَ حَرُمَ إِنْ كَانَ ثَمَّ مَنْ يَحْرُمُ نَظْرُهُ إِلَيْهَا، كَمَا حَرُمَ فِي الْخَلْوَةِ بِلَا حَاجَةٍ وَ حَلَّ فِيْهَا لِأَدْنَى غَرَضٍ، كَمَا يَأْتِيْ.

(Cabangan Masalah). Disunnahkan bagi seorang yang junub, haidh dan nifas setelah berhentinya darah untuk membasuh kemaluannya dan berwudhu’ sebelum tidur, makan dan minum.19 Dimakruhkan untuk melakukan sesuatu dari itu tanpa berwudhu’. Sebaiknya mereka sebelum mandi tidak memotong rambut dan kuku, begitu pula menghilangkan darah, sebab semua itu akan dikembalikan di akhirat dalam keadaan junub.20 Diperbolehkan untuk membuka aurat ketika mandi di tempat yang sepi atau disamping orang yang diperbolehkan untuk melihat auratnya, seperti istri dan budak wanitanya. Sedangkan menutupinya adalah hal yang lebih utama. Haram membuka aurat bila di tempat tersebut dapat seorang yang haram melihat auratnya,21 seperti diharamkan membuka aurat di tempat yang sepi tanpa ada hajat. Boleh membukanya bila ada minimal hajat seperti keterangan nanti.

Catatan:
1Secara hukum asal, dan hukumnya dapat menjadi wajib segera saat waktu shalat hampir habis agar shalat dapat dilaksanakan di dalam waktunya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 86 Darul Fikr.
2Sebab maksiatnya telah berakhir dengan berakhirnya zina. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 86 Darul Fikr.
3Maka wajib untuk bersegera menghilangkannya sebab selama najis itu belum hilang maka ia tetap berdosa. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 86 Darul Fikr.
4Maksudnya adalah keluarnya mani seseorang itu sendiri dan terpisah menuju bagian luar pangkal penis, luar vagina wanita perawan dan tempat istinja’ bagi wanita yang sudah tidak perawan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 86 Darul Fikr.
5Sedangkan kewajiban memandikan mayit adalah karena memuliakan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 86 Darul Fikr.
6Maksudnya kadar satu hati satu malam besertaan bersambungnya haidh tersebut yakni 24 jam. Maksud dari bersambungnya haidh adalah sekira bila kapuk dimasukkan ke dalam vagina maka akan basah walaupun darah tidak keluar pada batas daerah yang wajib untuk dibersihkan dalam istinja’. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 88 Darul Fikr.
7Yang memperbolehkan bersetubuh juga sebab berhentinya darah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 89 Darul Fikr.
8Sebab anak merupakan mani yang menggumpal. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 90 Darul Fikr.
9Yang keduanya telah divonis oleh ahlinya sebagai asal dari manusia. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 90 Darul Fikr.
10Sebab mualah atau terus-menerus dalam mandi tidaklah menjadi syarat, namun hukumnya hanya sunnah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 91 Darul Fikr.
11Baik perawan ataupun tidak namun apa yang terlihat dari yang perawan dan yang tidak berbeda hingga kewajibannya juga berbeda. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 91 Darul Fikr.
12Sebab dengan rekatnya anggota tersebut berarti tidak dihukumi zhahir badan hingga wajib untuk dibasuh. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 92 Darul Fikr.
13Sebab keluar dari perselisihan Imām Abū Ḥanīfah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 92 Darul Fikr.
14Wajib untuk berniat dzikir saja atau dimutlakkan bila mandi dari hadats besar. Bila hanya berniat qira’ah saja atau besertaan dengan dzikir maka haram. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 92 Darul Fikr.
15Untuk kotoran yang suci disyaratkan tidak sampai berubah air dengan perubahan yang dapat mencegah kemutlakan air dan tidak mencegah masuknya air pada kulit anggota yang dimandikan. Untuk yang najis ‘ainiyyah disyaratkan: Hilangnya najis tersebut dengan satu basuhan, jika airnya sedikit, maka harus mendatangkan air tersebut pada tempat najisnya, tidak merubah air bekasnya dan tidak bertambah kadarnya setelah memperkirakan jumlah air yang meresap dan kotoran yang ada. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 93 Darul Fikr.
16Yakni Imām Mālik r.a. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 94 Darul Fikr.
17Sebab para ‘ulama’ berbeda pendapat atas kesucian air setelah digunakan mandi dengan cara seperti itu. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 95 Darul Fikr.
18Seperti orang yang berniat shalat fadhu besertaan niat tahiyat-ul-masjid. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 96 Darul Fikr.
19Dicukupkan dengan membasuh kemaluan saja. Tidak besertaan wudhu’. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 96 Darul Fikr.
20Fa’idah dikembalikannya rambut dan kuku tersebut adalah menghina dan mencela pelakunya. Hal itu akan terjadi bila pelaku ceroboh seperti orang yang telah masuk shalat namun tidak segera mandi. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 96 Darul Fikr.
21Baik orang-orang tersebut memejamkan matanya ataupun tidak. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 97 Darul Fikr.

HAL-HAL YANGHARAM SEBAB HADATS


HAL-HAL YANG
HARAM SEBAB HADATS



خَاتِمَةٌ- يَحْرُمُ بِالْحَدَثِ: صَلَاةٌ وَ طَوَافٌ وَ سُجُوْدٌ، وَ حَمْلُ مُصْحَفٌ، وَ مَا كُتِبَ لِدَرْسِ قُرْآنٍ وَ لَوْ بَعْضَ آيَةٍ كَلَوْحٍ. وَ الْعِبْرَةُ فِيْ قَصْدِ الدِّرَاسَةِ وَ التَّبَرُّكِ بِحَالَةِ الْكِتَابَةِ دُوْنَ مَا بَعْدَهَا، وَ بِالْكَاتَبِ لِنَفْسِهِ أَوْ لِغَيْرِهِ تَبَرُّعًا، وَ إِلَّا فَآمِرُهُ لَا حَمْلُهُ مَعَ مَتَّاعٍ، وَ الْمُصْحَفُ غَيْرُ مَقْصُوْدٍ بِالْحَمْلِ وَ مَسُّ وَرَقِهِ، وَ لَوْ لِبَيَاضٍ أَوْ نَحْوِ ظَرْفٍ أُعِدُّ لَهُ وَ هُوَ فِيْهِ، لَا قَلْبُ وَرَقِهِ بِعَوْدٍ إِذَا لَمْ يَنْفَصِلْ عَلَيْهِ، وَ لَا مَعَ تَفْسِيْرٍ زَادَ وَ لَوِ احْتِمَالًا. وَ لَا يُمْنَعُ صَبِيٌّ مُمَيَّزٌ – مُحْدِثٌ وَ لَوْ جُنُبًا – حَمْلُ وَ مَسُّ نَحْوِ مُصْحَفٍ لِحَاجَةِ تَعَلُّمِهِ وَ دَرْسِهِ وَ وَسِيْلَتِهِمَا، كَحَمْلِهِ لِلْمَكْتُبِ وَ الْإِتْيَانِ بِهِ لِلْمُعَلِّمِ لِيُعَلِّمُهُ مِنْهُ. وَ يَحْرُمُ تَمْكِيْنُ غَيْرُ الْمُمَيِّزِ مِنْ نَحْوِ مُصْحَفٍ، وَ لَوْ بَعْضَ آيَةٍ، وَ كِتَابَتُهُ بِالْعَجَمِيَّةِ، وَ وَضْعُ نَحْوِ دِرْهَمٍ فِيْ مَكْتُوْبِهِ، وَ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ. وَ كَذَا جَعْلُهُ بَيْنَ أَوْرَاقِهِ – خِلَافًا لِشَيْخِنَا – وَ تَمْزِيْقُهُ عَبَثًا، وَ بَلْعُ مَا كُتِبَ عَلَيْهِ لَا شُرْبُ مَحْوِهِ، وَ مَدُّ الرِّجْلِ لِلْمُصْحَفِ مَا لَمْ يَكُنْ عَلَى مُرْتَفِعٍ. وَ يُسَنُّ الْقِيَامُ لَهُ كَالْعَالِمِ بَلْ أَوْلَى، وَ يُكْرَهُ حَرْقُ مَا كُتِبَ عَلَيْهِ إِلَّا لِغَرَضِ نَحْوِ صِيَانَةٍ، فَغَسْلُهُ أَوْلَى مِنْهُ.

Haram sebab berhadats melakukan shalat,1 thawaf,2 sujud,3 membawa mushhaf, dan benda yang ditulis al-Qur’ān dengan tujuan untuk dirasah4 (nderes; jawa) – walaupun sebagian ayat –seperti papan tulis. Penilaian di dalam tujuan untuk dirasah atau untuk mencari barakah adalah terletak ketika menulis bukan setelah hal tersebut, dan juga terletak pada penulis untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain dengan cuma-cuma. Jika tidak cuma-cuma, maka niat terletak pada orang yang menyuruh. Tidak haram membawa mushhaf bila bersamaan dengan benda lain, sedang mushhaf tidak dimaksud untuk dibawa.5 Haram menyentuh kertas mushhaf walaupun pada bagian yang kosong atau walaupun mushhaf tersebut berada pada wadah khusus yang telah disiapkan dan mushhaf ada di dalamnya. Tidak haram membuka lembaran mushhaf dengan kayu asal lembaran tersebut tidak terlepas dari kayu tersebut. Juga tidak haram ketika besertaan dengan tafsir yang melebihi dari tulisan mushhaf walaupun masih kemungkinan. Anak kecil yang telah tamyiz dan berhadats walaupun junub tidak boleh untuk dilarang membawa dan menyentuhnya sebab kebutuhan belajar dan mengajinya, begitu pula kebutuhan perantara keduanya seperti membawanya ke tempat belajar dan ke hadapan guru supaya guru tersebut mengajarinya. Haram membiarkan selain anak yang tamyiz untuk membawa atau menyentuh sejenis mushhaf walaupun sebagian ayat.6 Haram menulisnya selain dengan huruf ‘Arab, haram pula meletakkan sejenis uang dirham di bagian yang tertulis mushhaf dan ilmu syari‘at, begitu pula menjadikan uang dirham di antara lembaran-lembarannya, sedang guru kami berbeda pendapat. Haram menyobek mushhaf tanpa tujuan dan menelan barang yang bertuliskan mushhaf7. Tidak haram meminum air leburannya. Haram memanjangkan kaki ke arah mushhaf selama mushhaf itu tidak berada pada tempat yang tinggi. Disunnahkan untuk berdiri karena mushhaf seperti berdiri untuk orang alim bahkan untuk mushhaf lebih utama. Dimakruhkan membakar barang yang bertuliskan mushhaf kecuali karena ada tujuan untuk menjaganya, namun membasuh lebih utama dari pada membakarnya.

وَ يَحْرُمُ بِالْجَنَابَةِ الْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ وَ قِرَاءَةُ قُرْآنٍ بِقَصْدِهِ، وَ لَوْ بَعْضَ آيَةٍ، بِحَيْثُ يَسْمَعُ نَفْسَهُ وَ لَوْ صِبِيًّا – خِلَافًا لِمَا أَفْتَى بِهِ النَّوَوِيُّ -. وَ بِنَحْوِ حَيْضٍ، لَا بِخُرُوْجِ طَلْقٍ، صَلَاةٌ وَ قِرَاءَةٌ وَ صَوْمٌ. وَ يَجِبُ قَضَاؤُهُ لَا الصَّلَاةُ، بَلْ يَحْرُمُ قَضَاؤُهَا عَلَى الْأَوْجَهِ.

Haram sebab janabah berdiam di dalam masjid,8 menyengaja membaca al-Qur’ān9 walaupun sebagian ayat sekira terdengar diri sendiri walaupun anak kecil, berbeda dengan fatwa Imām Nawawī. Haram dengan sebab sesamanya haid tidak dengan sebab keluarnya darah saat melahirkan.10 – untuk melakukan shalat, membaca al-Qur’ān dan puasa. Wajib untuk mengqadha’ puasa dan tidak wajib mengqadha’ shalat, bahkan haram hukumnya menurut pendapat yang lebih unggul.11

Catatan:
1Walaupun shalat sunnah. Keharaman ini bagi selain seorang yang selalu hadats dan orang yang tidak menemukan alat bersuci, maka diperbolehkan baginya shalat dengan hadats, namun harus mengulanginya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 80 Darul-Fikr.
2Dengan semua jenis thawaf, sebab thawaf semakna dengan shalat. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 80 Darul-Fikr.
3Sujud tilawah atau syukur sebab dua sujud ini juga semakna dengan shalat. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 80 Darul-Fikr.
4Dikecualikan dari tujuan dirasah adalah tujuan lainnya seperti tujuan dijadikan jimat. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 80 Darul-Fikr.
5Menurut Imām Ibnu Hājar ketika mushhaf dibawa dengan benda lain, maka keharaman membawa mushhaf tersebut saat hadats terjadi pada tiga permasalahan: Ketika menyengaja membawa mushhaf saja, besertaan dengan niat membawa selain mushhaf, atau dimutlakkan. Dan halal pada satu kasus yakni dengan niat membawa selain mushhaf saja. Sedangkan Imam Ramli yang haram hanya pada satu kasus yakni ketika menyengaja mushhaf saja. Untuk selainnya hukumnya boleh. . I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 81 Darul-Fikr.
6Dalam kitab I‘āb disebutkan bahwa anak kecil yang belum tamyiz boleh menyentuh mushhaf unutk kebutuhan belajarnya bila hal itu di hadapan walinya. . I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 83 Darul-Fikr
7Sebab mushhaf yang ditelan akan bertemu dengan najis yang ada dalam perut dan itu menghina mushhaf. . I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 84 Darul-Fikr
8Tambahan dari keharaman dalam hadats kecil yang telah disebutkan. Artinya semua yang telah diharamkan bagi orang hadats kecil juga diharamkan bagi seorang yang janabah. . I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 85 Darul-Fikr
9Dengan niat al-Qur’ān saja atau dengan niat lain. Berbeda bila tidak dengan niat tersebut seperti niat dzikir menjaganya dan lain-lain, maka hukumnya tidak haram. . I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 85 Darul-Fikr
10Sebab bukanlah termasuk darah haid dan bukan nifas. . I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 85 Darul-Fikr
11Menurut Imām Ramlī hukumnya makruh dan sah menjadi sunnah mutlak tanpa pahala. . I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 81 Darul-Fikr

PERKARA YANGMEMBATALKAN WUDHU’

PERKARA YANG
MEMBATALKAN WUDHU’



وَ نَوَاقِضُهُ - أَيْ أَسْبَابُ نَوَاقِضِ الْوُضُوْءِ أَرْبَعَةٌ: أَحَدُهَا: (تَيَقُّنُ خُرُوْجِ شَيْءٍ) غَيْرُ مَنِيِّهِ، عَيْنًا كَانَ أَوْ رِيْحًا، رَطْبًا أَوْ جَافًا، مُعْتَادًا كَبَوْلٍ أَوْ نَادِرًا كَدَمِ بَاسُوْرٍ أَوْ غَيْرِهِ، انْفَصَلَ أَوْ لَا – كَدُوْدَةٍ أَخْرَجَتْ رَأْسَهَا ثُمَّ رَجَعَتْ – (مِنْ أَحَدِ سَبِيْلِيْ) الْمُتَوَضِّئِ (الْحَيِّ) دُبُرًا كَانَ أَوْ قُبُلًا. (وَ لَوْ) كَانَ الْخَارِجُ (بَاسُوْرًا) نَابِتًا دَاخِلَ الدُّبُرِ فَخَرَجَ أَوْ زَادَ خُرُوْجُهُ. لكِنْ أَفْتَى الْعَلَّامَةُ الْكَمَالُ الرَّدَّادُ بِعَدَمِ النَّقْضِ بِخُرُوْجِ الْبَاسُوْرِ نَفْسِهِ بَلْ بِالْخَارِجِ مِنُهُ كَالدَّمِ. وَ عَنْ مَالِكٍ: لَا يَنْتَقِضُ الْوُضُوْءُ بِالنَّادِرِ.

Sebab-sebab yang membatalkan wudhu’ ada empat. 1 Yang pertama adalah (yakin keluarnya sesuatu) yang selain spermanya sendiri2 baik berupa benda atau angin, basah ataupun kering, yang telah lumrah keluar seperti air kencing atau jarang seperti darah bawasir atau yang lainnya, terpisah ataupun tidak3 seperti cacing yang mengeluarkan kepalanya lantas kembali lagi. (dari salah satu dari dua jalan) orang yang berwudhu’ (yang masih hidup)4 baik itu anus ataupun alat kelamin. (Walaupun) perkara yang keluar adalah (penyakit bawasir) yang tumbuh di dalam anus, lalu penyakit itu keluar atau semakin keluar, namun seorang yang sangat alim yakni Imām al-Kamāl ar-Raddād berfatwa bahwa keluarnya penyakit bawasir sendiri tidaklah membatalkan wudhu’, namun yang membatalkan adalah dengan sebab sesuatu yang keluar dari efek penyakit itu seperti darah. Dari Imam Malik: Tidaklah batal wudhu’ dengan sebab benda yang jarang keluar.

1Empat hal tersebut telah ada dalam al-Qur’ān dan Ḥadīts. Alasan membatalkan wudhu’ dengan empat hal tersebut tidaklah dapat di akal, hingga tidak dapat diqiyaskan dengan yang lain. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 73 Darul-Fikr.
2Batasannya adalah sperma yang keluar pertama kali, maka tidak membatalkan wudhu’ seperti orang yang tertidur dengan menetapkan pantatnya, kemudian bermimpi hingga keluar sperma sebab kewajiban orang tersebut adalah mandi bukan berwudhu’. Jika yang keluar adalah spermanya orang lain walaupun dengan sepermanya seperti sperma orang lain tersebut dimasukkan ke dalam kelamin lalu keluar maka wudhu’nya menjadi batal. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 73 Darul-Fikr.
3Kecuali bayi yang keluar sebagian dan yang sebagian masih di dalam. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 73 Darul-Fikr.
4Sedangkan mayit wudhu’nya tidak batal, namun kewajibannya adalah menghilangkan najisnya saja. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 73 Darul-Fikr.



وَ- ثَانِيْهَا: (زَوَالُ عَقْلِ) أَيْ تَمْيِيْزٍ، بِسُكْرٍ أَوْ جُنُوْنٍ أَوْ إِغْمَاءٍ أَوْ نَوْمٍ، لِلْخَبَرِ الصَّحِيْحِ: فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ. وَ خَرَجَ بِزَوْالِ الْعَقْلِ النُّعَاسُ وَ أَوَائِلُ نَشْوَةِ السُّكْرِ، فَلَا نَقْضَ بِهِمَا، كَمَا إِذَا شَكَّ هَلْ نَامَ أَوْ نَعُسَ؟ وَ مِنْ عَلَامَةِ النُّعَاسِ سِمَاعُ كَلَامِ الْحَاضِرِيْنَ وَ إِنْ لَمْ يَفْهَمْهُ، (لَا) زَوَالُهُ (بِنَوْمٍ) قَاعِدٍ (مُمَكِّنُ مَقْعَدَهُ) أَيْ أَلْيَيْهِ مِنْ مَقَرِّهِ، وَ إِنِ اسْتَنَدَ لِمَا لَوْ زَالَ سَقَطَ أَوِ احْتَبَى، وَ لَيْسَ بَيْنَ مَقْعَدِهِ وَ مَقَرِّهِ تِجَافٍ. وَ يَنْتَقِضُ وُضُوْءُ مُمَكِّنٍ اِنْتَبَهَ بَعْدَ زَوَالِ أَلْيَتِهِ عَنْ مَقَرِّهِ، لَا وُضُوْءُ شَاكٍّ هَلْ كَانَ مُمْكِنًا أَوْ لَا؟ أَوْ هَل زَالَتْ أَلْيَتِهِ قَبْلَ الْيَقَظَةِ أَوْ بَعْدَهَا؟.. وَ تَيَقُّنُ الرُّؤْيَا مَعَ عَدَمِ تَذَكُّرِ نَوْمٍ لَا أَثَرَ لَهُ بِخِلَافِهِ مَعَ الشَّكِّ فِيْهِ لِأَنَّهَا مُرَجَّحَةٌ لِأَحَدِ طَرْفَيْهِ.

(Yang) keduanya adalah (hilangnya akal) maksudnya adalah kesadarannya dengan sebab mabuk, gila, epilepsi atau tidur sebab hadits yang shaḥīḥ: Barang siapa tidur, maka berwudhu’lah. Dikecualikan dengan hilangnya kesadaran adalah mengantuk dan permulaan mabuk, maka dua hal tersebut tidak membatalkan wudhu’ seperti ketika seorang ragu apakah telah tertidur atau hanya mengantuk. Sebagian dari tanda mengantuk adalah masih mendengar pembicaraan orang yang ada walaupun tidak faham. (Tidak) dengan hilangnya kesadaran (sebab tidur) dengan posisi duduk (yang menetapkan pantatnya di tempat duduknya5 walaupun ia bersandar pada suatu benda sekira benda tersebut hilang, maka ia akan ambruk, atau walaupun ia tidur dengan posisi memeluk lutut sedang di antara tempat duduk dan menetapnya tidak ada renggang.6 Batal wudhu’nya seorang yang menetapkan pantatnya yang tersadar setelah kondisi pantat tidak pada tempat menetapnya. Tidak batal wudhu’nya orang yang ragu apakah menetapkan pantat atau tidak?, apakah kedua pantatnya tidak pada kondisi di tempat menetapnya sebelum sadar atau setelahnya? Yakin bermimpi besertaan tidak ingat tidur tidaklah memberi dampak sama sekali. Berbeda bila ketika ragu tentang hal itu sebab yakin bermimpi merupakan hal yang lebih diunggulkan dari salah satu dari dua sisi keraguan.7

5Sebab dengan posisi demikian amanlah keluarnya sesuatu dari anus. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 75 Darul-Fikr.
6Maksudnya: Wudhu’ tidak batal dengan sebab tidur dengan menetapkan pantatnya dengan syarat tidak renggang atau rongga di antara pantat dan tempat menetapnya atau ada, namun disumbat dengan semacam kapuk. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 75 Darul-Fikr.
7Maksudnya: Ketika seseorang yakin bermimpi namun ragu dalam tidurnya, maka hal tersebut berdampak dalam batalnya wudhu’ sebab mimpi adalah tanda dari tidur dan mimpi ini lebih diunggulkan dari salah satu sisi keraguan yakni tidur. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 75 Darul-Fikr.



وَ- ثَالِثُهَا: (مَسَّ فَرْجِ آدَمِيٍّ) أَوْ مَحَلُّ قَطْعِهِ، وَ لَوْ لِمَيِّتٍ أَوْ صَغِيْرٍ، قُبُلًا كَانَ الْفَرْجُ أَوْ دُبُرًا مُتَّصِلًا أَوْ مَقْطُوْعًا، إِلَّا مَا قُطِعَ فِي الْخِتَانِ. وَ النَّاقِضُ مِنَ الدُّبُرِ مُلْتَقَى الْمُنْفَذِ، وَ مِنْ قُبُلِ الْمَرْأَةِ مُلْتَقَى شُفْرَيْهَا عَلَى الْمَنْفَذِ لَا مَا وَرَاءَهُمَا كَمَحَلِّ خِتَانِهَا. نَعَمْ، يُنْدَبُ الْوُضُوْءُ مِنْ مَسِّ نَحْوِ الْعَانَةِ، وَ بَاطِنِ الْأَلْيَةِ، وَ الْأُنْثَيَيْنِ، وَ شَعْرٍ نَبَتَ فَوْقَ ذَكَرٍ، وَ أَصْلِ فَخْذٍ، وَ لَمْسِ صَغِيْرَةٍ وَ أَمْرَدٍ وَ أَبْرَصَ وَ يَهُوْدِيٍّ، وَ مِنْ نَحْوِ فَصْدٍ، وَ نَظْرٍ بِشَهْوَةٍ وَ لَوْ إِلَى مَحْرَمٍ، وَ تَلَفُّظٍ بِمَعْصِيَةٍ، وَ غَضَبٍ، وَ حَمْلٍ مَيِّتٍ وَ مَسِّهِ، وَ قَصِّ ظُفْرٍ وَ شَارِبٍ، وَ حَلْقِ رَأْسِهِ. وَ خَرَجَ بِآدَمِيٍّ فَرْجُ الْبَهِيْمَةِ إِذْ لَا يُشْتَهَى، وَ مِنْ ثَمَّ جَازَ النَّظْرُ إِلَيْهِ. (بِبَطْنِ كَفٍّ) لِقَوْلِهِ (ص): مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ، وَ فِيْ رِوَايَةٍ: مَنْ مَسَّ ذَكَرًا فَلْيَتَوَضَّأْ. وَ بَطْنُ الْكَفِّ هُوَ بَطْنُ الرَّاحَتَيْنِ وَ بَطْنُ الْأَصَابِعِ و الْمُنْحَرِفِ إِلَيْهِمَا عِنْدَ انْطِبَاقِهِمَا، مَعَ يَسِيْرِ تَحَامُلٍ دُوْنَ رُؤُوْسِ الْأَصَابِعِ وَ مَا بَيْنَهَا وَ حَرْفُ الْكَفِّ.

Yang ketiganya adalah menyentuh kemaluan manusia atau tempat terpotongnya walaupun milik mayit atau anak kecil, baik kemaluan tersebut kelamin atau anus, masih menempel atau sudah terputus8 kecuali anggota yang terputus di saat khitan.9 Anggota yang batal disentuh dari anus adalah dua bibir lubang anus dan dari kelamin wanita adalah dua bibir vagina, tidak bagian selain dari keduanya seperti tempat khitan. Benar tidak membatalkan, namun disunnahkan berwudhu’ dari menyentuh sejenis bulu kemaluan, bagian dalam pantat,10 dua testis, rambut yang tumbuh di atas dzakar, pangkal paha, menyentuh wanita kecil, menyentuh lelaki tampan yang belum berkumis, menyentuh orang berpenyakit lepra, menyentuh orang Yahudi, setelah bekam, melihat dengan syahwat, walaupun pada mahramnya, mengucapkan maksiat, marah, membawa mayit dan menyentuhnya, memotong kuku dan mencukur kumis, dan mencukur rambut. Dikecualikan dari manusia adalah kemaluan hewan sebab hewan tidaklah menimbulkan nafus oleh karena itu diperbolehkan untuk melihat kemaluannya. (Menyentuh yang dapat membatalkan adalah bila dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan) sebab sabda Rasūl s.a.w.: Barang siapa menyentuh kemaluan – dalam satu riwayat – Barang siapa menyentuh dzakar, maka berwudhu’lah. Batin telapak tangan adalah bagian dalam dari telapak tangan, batin jari-jari, dan anggota yang membengkok ke arah keduanya ketika ditelangkupkan dengan sedikit menekan,11 bukan ujung jari-jari dan anggota yang berada di antara jari-jari dan sisi telapak tangan.

8Sekira masih dinamakan dengan kemaluan. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 76 Darul-Fikr.
9Seperti kuncup kelamin lelaki dan klitoris wanita. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 76 Darul-Fikr.
10Yakni anggota yang tertutup saat berdiri dari anggota yang berada disekitar anus. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 77 Darul-Fikr.
11Kecuali dua ibu jari, maka harus ditekan kuat. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 78 Darul-Fikr.



وَ- رَابِعُهَا: (تَلَاقَيْ بَشَرَتَيْ ذَكَرٍ وَ أُنْثَى) وَ لَوْ بِلَا شَهْوَةٍ، وَ إِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا مُكْرَهًا أَوْ مَيْتًا، لكِنْ لَا يَنْقُضُ وُضُوْءُ الْمَيِّتِ. وَ الْمُرَادُ بِالْبَشَرَةِ هُنَا غَيْرُ الشَّعْرِ وَ السِّنِّ وَ الظُّفْرِ – قَالَهُ شَيْخُنَا – وَ غَيْرُ بَاطِنِ الْعَيْنِ، وَ ذلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: * (أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ) * أَيْ لَمَسْتُمْ. وَ لَوْ شَكَّ هَلْ مَا لَمَسَهُ شَعْرٌ أَوْ بَشَرَةٌ، لَمْ يَنْتَقِضْ، كَمَا لَوْ وَقَعَتْ يَدُهُ عَلَى بَشَرَةٍ لَا يَعْلَمُ أَهِيَ بَشَرَةُ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ، أَوْ شَكَّ: هَلْ لَمَسَ مَحْرَمًا أَوْ أَجْنَبِيَّةً؟ وَ قَالَ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحِ الْعُبَابِ: وَ لَوْ أَخْبَرَهُ عَدْلٌ بِلَمْسِهَا لَهُ، أَوْ بِنَحْوِ خُرُوْجِ رِيْحٍ مِنْهُ فِيْ حَالِ نَوْمِهِ مُمَكِّنًا، وَجَبَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ بِقَوْلِهِ. (بِكِبَرٍ) فِيْهِمَا، فَلَا نَقْضَ بِتَلَاقَيْهِمَا مَعَ صِغَرِ فِيْهِمَا، أَوْ فِيْ أَحَدِهِمَا، لِاِنْتِفَاءِ مَظِنَّةِ الشَّهْوَةِ. وَ الْمُرَادُ بِذِي الصِّغَرِ: مَنْ لَا يُشْتَهَى عُرْفًا غَالِبًا. (لَا) تَلَاقَيْ بَشَرَتَيْهِمَا) (مَعَ مَحْرَمِيَّةٍ) بَيْنَهُمَا، بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَةٍ، لِانْتِفَاءٍ مَظَنَّةِ الشَّهْوَةِ. وَ لَوِ اشْتَبَهَتْ مَحْرَمُهُ بِأَجْنَبِيَّاتٍ مَحْصُوْرَاتٍ فَلَمَسَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ لَمْ يَنْتَقِضْ، وَ كَذَا بِغَيْرِ مَحْصُوْرَاتٍ عَلَى الْأَوْجَهِ. (وَ لَا يُرْتَفَعُ يَقِيْنُ وُضُوْءٍ أَوْ حَدَثٍ بِظَنِّ ضِدِّهِ) وَ لَا بِالشَّكِّ فِيْهِ الْمَفْهُوْمُ بِالْأَوْلَى فَيَأْخُذُ بِالْيَقِيْنِ اسْتِصْحَابًا لَهُ.

(Yang) keempatnya adalah (bertemunya kulit lelaki12 dan perempuan) walaupun dengan tanpa syahwat, dan walaupun salah satunya dipaksa satu mayit namun wudhu’nya mayit tidaklah batal. Yang dikehendaki dari kulit dalam bab ini adalah selain rambut, gigi dan kuku seperti yang telah disampaikan guru kita dan selain batin mata.13 Hal itu karena firman Allah: Atau kalian semua menyentuh wanita. Kalau seandainya seseorang ragu apakah ia menyentuh rambut atau kulit, maka wudhu’nya tidak batal seperti kasus ketika tangannya berada di atas kulit, namun ia tidak tahu apakah kulit tersebut milik lelaki atau wanita atau seseorang ragu, apakah ia menyentuh mahram atau wanita lain. Guru kita mengatakan dalam Syaraḥ ‘Ubāb: Kalau seandainya ada seorang yang adil memberi kabar bahwa yang ia sentuh adalah wanita lain atau kabar tentang kentut saat tidur dengan menetapkan pantatnya, maka wajib untuk mengindahkan ucapannya.14

(Besertaan keduanya telah dewasa), maka tidak membatalkan dengan sebab pertemuan dua kulit anak kecil atau salah satunya sebab tiadanya tempat praduga timbulnya syahwat.15 Yang dimaksud anak kecil adalah anak yang belum menimbulkan nafsu secara umumnya. (Tidak batal) bertemunya dua kulit yang di antara keduanya (terdapat sifat mahram) dengan sebab jalur pernikahan 16 karena tidak adanya kecurigaan timbulnya syahwat. Kalau seandainya mahramnya serupa dengan wanita lain yang dapat terhitung jumlahnya kemudian ia menyentuh salah satu wanita itu maka wudhu’nya tidak batal. Begitu pula bila dengan wanita lain yang tak terhitung menurut pendapat yang unggul. (Keyakinan telah berwudhu’ atau telah hadats tidaklah dapat hilang dengan dugaan sebaliknya) dan juga tidak dengan keraguan dengan pemahaman yang lebih utama. Maka orang itu harus mengambil hukum yang yakin sebagai upaya untuk melanggengkan hukum semula.

12Yang berstatus jelas, mensyahwati secara wataknya, secara yakin, menurut orang yang wataknya selamat. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 78 Darul-Fikr.
13Berbeda dengan Imām Jamāl-ar-Ramlī yang menyamakan batin mata dengan kulit. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 79 Darul-Fikr.
14Menurut pendapat Mu‘tamad dari ‘Alī Sibramalisī hukumnya tidak batal dengan khabar tersebut. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 79 Darul-Fikr.
15Batasan dari syahwat adalah berdirinya dzakar pada lelaki dan condongnya hati bagi wanita. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 79 Darul-Fikr.
16Mahram jalur pernikahan yang selamanya, berbeda bila tidak selamanya seperti saudara wanita sang istri, maka hukumnya batal menyentuhnya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 79 Darul-Fikr.