Orang Yang Waswas Dan Ketaatan Terhadap Syaitan

Orang Yang Waswas Dan Ketaatan Terhadap Syaitan

Kemudian, sekelompok orang yang waswas benar-benar telah mentaati syaitan sehingga bersifat dengan waswas dari syaitan itu, menerima perkataan syaitan dan mentaatinya, dan enggan berittiba' kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan jalannya, hingga salah seorang dari mereka apabila berwudhu' atau shalat sebagaimana wudhu' dan shalatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka wudhu'nya dianggap batal dan shalatnya tidak sah. Dia memandang bila dia melakukannya sebagaimana perlakuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, misalnya dalam memberikan makan pada anak-anak kecil, atau memakan makanan umumnya kaum muslimin, maka itu semua bisa teranggap najis, wajib atasnya mencuci tujuh kali tangan dan mulutnya, seperti layaknya apabila seekor anjing menjilat tangan dan mulutnya atau seekor kucing mengencinginya. Demikianlah, penguasaan iblis terhadap mereka, mereka mentaatinya hingga seperti orang gila, dan mendekati madzhab kaum Sufisthaiyyah yang mengingkari hakikat wujud dan hal-hal yang terindera. Sedangkan pengetahuan seorang manusia akan dirinya sendiri adalah termasuk perkara yang dharuri dan yakin, tetapi mereka ini ada yang mencuci lengannya, dan dia saksikan hal itu dengan pandangannya (sendiri), kemudian takbir, membaca dengan lisannya, kedua telinganya pun mendengarkannya dan hatinya pun mengetahui, bahkan orang lain juga tahu (apa yang dilakukannya) dan yakin, (tetapi) kemudian dia ragu, apakah dia sudah melakukan hal itu atau belum?? Demikian juga syaitan memberikan keraguan pada niat dan maksudnya yang diketahui oleh dirinya sendiri dengan yakin, bahkan orang lain juga mengetahui dengan adanya indikasi, dari perbuatannya. Tetapi meski demikian dia menerima saja apa kata iblis bahwa dirinya tidak berniat dan belum bermaksud untuk melakukan shalat, mengingkari apa yang dilihatnya dan menolak keyakinannya sendiri. Sehingga engkau akan melihatnya ragu dan bingung, seakan dia melakukan sesuatu yang harus ia tarik, atau mendapatkan sesuatu dibatinnya yang akan dia keluarkan. Itu semua adalah karena berlebihan dalam mentaati iblis, menerima waswas darinya. Dan barangsiapa yang ketaatannya kepada iblis telah sampai seperti ini, maka dia telah sampai ke puncak ketaatan kepadanya.

Juga berarti dia menerima kata-kata iblis untuk menyiksa dirinya sendiri, mentaatinya untuk memberikan mudharat pada tubuhnya, sesekali dengan mencelupkan diri ke dalam air yang dingin, di lain waktu dengan menggunakan banyak air, melebihkan dalam menggosok-gosok, dan mungkin juga dengan membuka kedua matanya pada air yang dingin, dan membasuh bagian dalamnya sampai membahayakan penglihatannya, atau sampai mengakibatkan dia membuka auratnya di hadapan manusia, atau sampai pada keadaan yang menjadi bahan tertawaan anak-anak kecil, dan orang yang menyaksikannya pun akan menghinanya.

Aku katakan, berkata Abul Faraj Ibnul Jauzi, dari Abul Wafa bin 'Uqail: Bahwa seorang lelaki berkata kepadanya, "(Aku) mencebur ke air berkali-kali, dan (aku) masih ragu, sahkah mandiku atau tidak? Bagaimana pendapatmu tentang hal itu?" Maka syaikh berkata kepadanya, "Pergilah, telah gugur darimu kewajiban shalat!" Dia berkata, "Bagaimana bisa?" Maka syaikh berkata kepadanya, 'Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: اَلْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ، اَلنَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَالصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ.

"Telah diangkat qalam (catatan dosa) dari tiga golongan, orang yang gila hingga ia sembuh, orang yang tidur hingga ia bangun, dan anak kecil hingga ia baligh. "


"Dan barangsiapa yang menceburkan diri ke air berkali-kali kemudian masih ragu apakah air telah sampai kepadanya atau belum, maka dia adalah orang gila."

Dia (Abul Wafa') berkata, "Dan mungkin saja waswasnya itu menyibukkan dirinya, sehingga dia tertinggal dari jama'ah, atau terluput dari waktu shalat, kemudian waswasnya dalam niat menyibukkannya sehingga dia ketinggalan takbiratul ihram, atau bahkan kehilangan satu rakaat atau lebih. Dan di antara mereka ada yang menyatakan bahwa dia tidak akan mungkin (berbuat) melebihi hal tersebut, sebenarnya ia hanya berdusta. "

Saya (Ibnul Qayyim) berkata: Aku mendapatkan cerita dari orang yang aku percayai, tentang seorang yang sudah parah dalam waswas, aku benar-benar melihatnya mengulang-ulang niat, banyak sekali, dan hal itu membuat makmum sangat terganggu, maka kemudian diminta kepadanya untuk bersumpah cerai, yaitu dengan cara dia tidak melebihi pengulangannya pada saat itu, tetapi iblis tidak meninggalkannya, maka dia pun mengulanginya, maka dipisahkanlah antara dia dan isterinya, kemudian hal itu menjadikannya sangat bingung, keduanya berpisah untuk waktu yang lama, sampai akhirnya isterinya menikah dengan lelaki lain dan melahirkan darinya seorang anak, kemudian orang itu melanggar sumpahnya terhadap isterinya, maka dipisahkanlah antara wanita itu dengan suami keduanya dan kemudian kembali ke suami pertamanya, setelah suami pertamanya ini hampir hancur karena berpisah dengan isterinya.

Ada cerita orang lain yang juga sampai kepadaku (Ibnul Qayyim), tentang seorang yang sangat memberatkan diri (memfasihkan ucapan) dalam melafazhkan niat, dia mengucapkannya dari dalam kerongkongannya. Suatu hari sikap berlebihannya ini menjadi parah, sampai dia mengatakan, "Ushalli, ushalli, shalata kadza wa kadza" (aku niat shalat, aku niat shalat, shalat ini dan shalat itu), kemudian dia ingin mengatakan, "Ada-an" (aku menunaikannya), kemudian dia keliru dalam pengucapan huruf daal, dengan mengucapkan (dzaa), "Adza-an lillaah" (sehingga artinya menjadi: Mengganggu Allah), maka orang yang disampingnya memutuskan shalatnya dan berkata, "Wa lirasulihi, wa Malaaikatihi, wa jamaa'atil mushallin," (dan mengganggu Rasul-Nya, Malaikat-Nya dan para makmum.")

Dia berkata, "Di antara mereka ada yang waswas dalam mengeluarkan huruf, sehingga dia mengulang-ulangnya berkali-kali. "

Dia (Abul Wafa') berkata: Aku melihat diantara mereka ada yang mengatakan, "Allaahu Akkkbar." Dia juga berkata, "Salah seorang dari mereka mengatakan kepadaku, 'Aku tidak bisa mengucapkan Assalaamu 'alaikum', maka aku katakan kepadanya, "Nah sekarang engkau telah mengucapkannya, dan engkau telah lega kini."


Syaitan benar-benar telah menyiksa mereka di dunia dan di akhirat dan mengeluarkan mereka dari ittiba' kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang ghuluw dan berlebih-lebihan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

"...Sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." [Al-Kahf/18: 104)

Maka barangsiapa yang ingin terbebas dari musibah ini, hendaklah dia merasa bahwa kebenaran adalah dengan cara berittiba' kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam perkataan dan perbuatannya, dan berazam untuk menapaki jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tekad yang dia tidak ragu lagi bahwa dirinya telah berada di atas jalan yang lurus, dan bahwa cara/jalan yang menyelisihinya adalah tipu daya iblis dan waswasnya/ godaannya, dan dia harus yakin bahwa iblis adalah musuhnya, tidak akan mengajaknya kepada kebaikan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

"...Karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala." [Faathir/35: 6]

Hendaklah dia tinggalkan menetapi segala yang menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apa pun hal itu, dan hendaknya dia tidak ragu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berada di atas jalan yang lurus. Barangsiapa yang ragu akan hal ini, maka dia bukanlah seorang muslim. Barangsiapa yang sudah mengetahui hal ini, maka ke mana lagikah ia akan berpaling dari Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam? Jalan yang mana lagikah yang diinginkan oleh seorang hamba selain jalannya Shallallahu 'alaihi wa sallam? Dan dia hendaknya mengatakan pada jiwanya, "Bukankah engkau mengetahui bahwa jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah jalan yang lurus?" Bila jiwanya mengatakan, "Ya." Lalu hendaknya ia mengatakan kepadanya, "Apakah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan perbuatan seperti ini?" Maka jiwanya akan mengatakan, "Tidak." Maka katakanlah kepada jiwamu, "Hal apalagikah selain kebenaran, melainkan kesesatan? Jalan apalagikah setelah jalan ke Surga melainkan jalan ke Neraka? Jalan apalagikah setelah jalan Allah dan Rasul-Nya kalau bukan jalan syaitan?" Bila engkau mengikuti jalan syaitan maka engkau telah menjadi temannya, dan kelak engkau akan berkata:

يَا لَيْتَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ بُعْدَ الْمَشْرِقَيْنِ فَبِئْسَ الْقَرِينُ

"...Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara timur dan barat, maka syaitan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia)." [Az-Zukhruf/43: 38]

Hendaklah dia melihat kondisi para Salaf dalam mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ambillah contoh dari mereka, pilihlah jalan mereka!

Suatu hari Zainal 'Abidin berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, ambilkan untukku sepotong kain untuk kupergunakan ketika buang hajat, sesungguhnya aku melihat lalat hinggap pada sesuatu (kotoran) kemudian mengenai pakaian(ku), kemudian awasilah!" maka anaknya berkata, "Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tidak mengenakan melainkan satu potong pakaian, maka (Zainal 'Abidin) meninggalkannya (tidak jadi meminta kain yang lain).

Pada suatu hari 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menginginkan sesuatu dan bermaksud melakukannya, namun bila kemudian dikatakan kepadanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka dia tidak meneruskannya, sehingga dia mengatakan, "Sungguh aku telah berkeinginan untuk melarang mengenakan pakaian ini, sebab sampai kepadaku berita, pakaian ini dicelup dengan air kencing binatang," kemudian Ubay mengatakan, "Engkau tidak bisa melarangnya, sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memakainya, dan telah dipakaikan pula kepadaku pada masanya Shallallahu 'alaihi wa sallam, seandainya Allah mengetahui bahwa memakainya adalah haram, pasti Dia telah menjelaskannya kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam." Maka 'Umar berkata, "Engkau benar."

Kemudian hendaknya diketahui bahwa pada Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak ada orang yang waswas, bila waswas adalah sebuah keutamaan, tentu Allah tidak akan menyembunyikannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Sahabatnya, sementara mereka adalah sebaik-baik makhluk. Dan bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjumpai orang-orang yang waswas pasti beliau akan murka terhadap mereka, kalau seandainya 'Umar Radhiyallahu anhu yang mendapatkannya, niscaya dia akan memukul dan memberikan pelajaran kepada mereka, bila para Sahabat yang menemukannya niscaya mereka akan membid'ahkan orang-orang yang waswas itu. Di sini akan saya bawakan penjelasan yang detail yang menyelisihi madzhab mereka, atas kemudahan dari Allah Ta'aala.

[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi', Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H - Februari 2005 M]

Waswas Dalam Niat, Thaharah Dan Shalat

Waswas Dalam Niat, Thaharah Dan Shalat

Niat adalah maksud dan keinginan untuk melakukan sesuatu, tempatnya adalah di hati, tidak sedikit pun berhubungan dengan lisan. Oleh karenanya tidak ada keterangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga para Sahabatnya lafazh apa pun dalam niat, dan kami pun tidak pernah mendengar mereka menyebut akan hal itu.

Ungkapan-ungkapan yang diada-adakan ketika memulai bersuci atau memulai shalat adalah peperangan dari syaitan pada orang-orang yang waswas, syaitan menahan dan menyiksa mereka dengannya, mereka dijerumuskan dengan tuntutan agar membenarkan niatnya, engkau bisa lihat salah seorang dari mereka mengulang-ulangnya dan memayahkan dirinya untuk melafazhkannya, padahal melafazhkannya bukan bagian dari shalat sedikit pun, niat hanyalah maksud untuk melakukan sesuatu, setiap orang yang berkeinginan untuk melakukan sesuatu maka dia berarti telah berniat untuknya, tidak terbayangkan terpisahkan hal itu (keinginan melakukan sesuatu) dengan niat, sebab memang itulah hakikatnya, maka tidak mungkin tidak ada niat ketika ada keinginan melakukannya.

Seorang yang jongkok untuk melakukan wudhu', berarti ia telah berniat untuk wudhu', seorang yang berdiri untuk shalat berarti ia telah berniat untuk shalat, hampir tidak ada seorang pun yang berakal yang melakukan salah satu ibadah atau yang lainnya tanpa niat.

Maka niat adalah perkara yang pasti, yang mengikuti perbuatan manusia yang dimaksudkan (untuk dilakukan), tidak membutuhkan kepayahan atau (usaha) pencapaian. Jikalau seseorang menginginkan untuk memisahkan perbuatan yang menjadi ikhtiarnya dari niat, maka niscaya dia tidak akan mampu, dan kalau seandainya Allah Azza wa Jalla membebani untuk melakukan shalat dan wudhu' tanpa niat niscaya Allah telah membebani dengan sesuatu yang di luar kemampuan (hamba), tidak berada di bawah kemampuannya, dan tidak mungkin demikian karena akan sangat payah untuk melakukannya.

Bila seorang ragu akan niat yang telah dicapainya, maka hal itu adalah salah satu dari jenis kegilaan. Bila dia sudah mengetahui masalah jiwanya dengan yakin, bagaimana mungkin seorang yang berakal meragukan hal itu pada dirinya? Seorang yang berdiri shalat Zhuhur dibelakang imam, bagaimana mungkin ia bisa meragukan (shalat)nya? Seandainya ada orang yang mengajaknya untuk mengerjakan sesuatu sedangkan dia dalam kondisi itu (akan menunaikan shalat), pastilah dia akan mengatakan, "Aku sibuk, aku ingin shalat Zhuhur." Dan seandainya ada orang yang bertanya kepadanya, saat dia keluar menuju shalat, "Mau kemana engkau?" Pasti dia akan menjawab, "Aku ingin shalat Zhuhur bersama imam." Bagaimana seorang yang berakal bisa ragu dalam kondisi seperti ini pada dirinya sendiri, sedangkan dia mengetahuinya dengan yakin? Bahkan yang lebih mengherankan lagi bahwa orang lain pun mengetahui niatnya dengan adanya indikasi pada kondisi-kondisinya. Bila seorang melihat orang lain yang duduk dalam barisan shalat pada waktu shalat, pada kumpulan manusia (yang akan shalat), maka orang itu tahu bahwa orang yang dilihatnya itu sedang menunggu shalat, kemudian bila dia melihatnya berdiri tatkala iqamat untuk shalat dikumandangkan, bersamaan dengan berdirinya jama'ah shalat yang bangkit untuk shalat, orang yang melihatnya akan memahami bahwa dirinya berdiri untuk melakukan shalat, bila dia maju ke depan di hadapan para makmum, diketahuilah bahwa dia ingin mengimami mereka, bila dilihat dia berada di shaf, dimengertilah bahwa dia ingin menjadi makmum.

Dia berkata: Bila orang lain mengetahui niatnya yang ada dalam batinnya dengan melihat indikasi dari kondisinya, bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dari dirinya, padahal dia tahu apa yang ada dalam batinnya? Maka penerimaannya kepada syaitan bahwa dirinya belum berniat, merupakan pembenaran terhadap syaitan dalam mengingkari sesuatu yang nyata adanya, mengingkari hakikat yang sudah diketahui dengan yakin, menyelisihi syari'at, dan membenci Sunnah, juga jalan yang telah ditempuh oleh para Sahabat.

Selain itu, niat yang sudah dihasilkan tidak mungkin untuk dihasilkan kembali, dan apa yang sudah ada tidak perlu diadakan lagi, sebab di antara syarat mewujudkan sesuatu adalah bila sesuatu yang dimaksudkan itu belum ada, oleh sebab itu, mengadakan sesuatu yang sudah ada itu adalah mustahil. Bila kenyataan yang ada adalah seperti itu maka tidak akan ada hasil apa pun yang akan di dapat, meskipun ia berdiri seribu tahun.

Beliau berkata: Termasuk hal yang mengherankan, bahwa dia berada dalam keadaan waswas tersebut adalah pada saat ia berdiri, sehingga apabila imam ruku', dan dia khawatir tidak akan men-dapatkan ruku' bersama imam, maka ia pun cepat-cepat melakukan takbir supaya dapat ruku' (bersama imam) dan ia pun mendapatkan niatnya. Bagaimana mungkin orang yang tidak mampu menghasilkan niat di saat berdiri lama, yaitu pada saat fikirannya tenang tidak memikirkan yang lain, tetapi bisa menghasilkan niatnya di waktu yang sempit, padahal pikirannya sedang disibukkan dengan adanya kekhawatiran ketinggalan satu rakaat (bila tidak ruku' bersama imam).

Kemudian apa yang dia cari itu sebenarnya tidak lepas dari dua hal yaitu; bisa jadi hal itu mudah atau bisa jadi hal yang susah, bila mudah kenapa dia menyulitkannya, tetapi bila dia mengatakan sulit kenapa tiba-tiba menjadi mudah ketika imam telah ruku'? Dan bagaimana mungkin hal ini tidak diketahui oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat sejak yang pertamanya hingga terakhirnya, juga Tabi'in dan orang-orang yang setelahnya? Kenapa tidak ada orang yang perhatian dengan masalah ini kecuali orang yang dikuasai oleh syaitan? Apakah dia menyangka dengan kebodohannya bahwa syaitan akan memberikan nasihat kepadanya? Tidakkah dia tahu bahwa syaitan itu tidak akan mengajaknya kepada petunjuk? Dan tidak akan menunjuki kepada kebaikan? Apa yang kiranya akan ia katakan terhadap shalatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan seluruh kaum muslimin yang tidak melakukan seperti yang dilakukan orang yang waswas ini? Apakah shalat itu adalah shalat yang kurang atau tidak lebih baik? Ataukah dia akan mengatakan bahwa shalat itu adalah shalat yang sempurna dan utama? Kalau begitu, apa yang menjadikannya menyelisihi mereka dan tidak menyukai cara mereka?

Apabila dia mengatakan, "Ini adalah penyakit yang menjadi ujian bagiku," maka kami katakan, ya memang, dan sebabnya adalah karena engkau menerimanya dari syaitan, sementara itu Allah tidak mengizinkan  sementara itu Allah tidak mengizinkan dari seorang pun untuk itu. Tidakkah engkau lihat bahwa Nabi Adam Alaihissallam dan Hawa ketika digoda oleh syaitan lalu mereka berdua menerimanya, akhirnya keduanya dikeluarkan dari Jannah, keduanya pun diseru dengan apa yang engkau dengar, tetapi mereka berdua lebih berhak untuk mendapatkan uzur, sebab selain keduanya belum ada orang yang melakukan, sehingga mereka bisa mengambil pelajaran, sedangkan dirimu, engkau telah mendengar (nasihat) dan Allah pun sudah memperingatkanmu dari fitnah syaitan, Dia juga telah menjelaskan permusuhannya denganmu, Allah pun telah menerangkan jalan untukmu, maka tidak ada lagi uzur atau hujjah bagimu untuk meninggalkan Sunnah dan menerima syaitan.


Aku berkata, Syaikh kami menuturkan, "Di antara mereka ada yang mendatangkan sepuluh bid'ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan seorang pun dari para Sahabatnya, di antaranya, ada yang berkata,

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْـمِ، نَوَيْتُ أُصَلِّيْ صَلاَةَ الظُّهْرِ فَرِيْضَةَ الْوَقْتِ، أَدَاءً ِللهِ تَعَالَى، إِمَامًا أَوْ مَئْمُوْمًا، أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ.

"Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk, aku berniat shalat Zhuhur, sebagai kewajiban yang aku tunaikan untuk Allah, Ta'aala, sebagai imam atau pun makmum, sebanyak empat rakaat, dengan menghadap kiblat."

Kemudian dia menggerakkan anggota tubuhnya, menundukkan dahinya, menegakkan lehernya, dan meneriakkan Allaahu Akkkbar, layaknya bertakbir di hadapan musuh. Bila seorang dari mereka ini tinggal sepanjang usia Nabi Nuh Alaihissallam untuk meneliti apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau salah seorang dari Sahabatnya melakukan hal itu, niscaya dia tidak akan mendapatkannya, kecuali kalau dia melakukan kebohongan belaka dengan terang-terangan. Apabila hal ini adalah baik tentulah mereka (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya) sudah mendahului kita dalam melakukannya, dan niscaya mereka telah memberikan petunjuk kepada kita untuk melakukannya, kalau dikatakan apa yang dilakukannya itulah yang merupakan petunjuk, berarti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya telah luput dari petunjuk itu, tetapi apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya yang berada di atas petunjuk dan kebenaran, maka hal apalagikah setelah kebenaran selain kesesatan?"

Beliau berkata, "Di antara jenis-jenis waswas ada yang merusak shalat, seperti pengulangan sebagian kata, seperti dalam tahiyat, mengatakan, "At, at, attahiy attahiy," ketika salam berucap, "As, as," dalam takbir, "Akkkbar," ini adalah jelas, bahwa shalatnya batal karenanya, atau barangkali apabila dia sebagai imam, maka ia merusak shalat makmum dengan hal itu. Shalat yang semestinya termasuk perkara-perkara ketaatan, menjadi dosa besar yang menjauhkan dirinya dari Allah. Adapun hal yang tidak sampai membatalkan shalat maka hukumnya adalah makruh, tidak disukai dan menyimpang dari Sunnah dan membenci jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan petunjuknya dan jalan para Sahabatnya. Barangkali dia mengangkat suaranya sehingga menganggu orang-orang yang mendengarnya, sehingga membuat manusia mencela dan mengumpatnya

maka dia kumpulkan pada dirinya antara ketaatan kepada iblis dan pelanggaran terhadap Sunnah, menjalani sejelek-jelek perkara ibadah yang diada-adakan, menyiksa diri karena celaan manusia terhadapnya dan menipu orang jahil (bodoh)sehingga mengikutinya. Orang jahil (bodoh) itu akan mengatakan, "Kalau bukan keutamaan, tentu dia tidak akan melakukan untuk dirinya." Dia dengan perbuatan ini telah berburuksangka terhadap Sunnah, bahwa Sunnah itu tidaklah cukup (menurutnya), sehingga jiwanya terpengaruh dan tunduk terhadap syaitan, sehingga keinginannya pun semakin menguat, mengorbankan jiwanya untuk menjadi orang yang bersifat waswas dengan ketentuan Allah, sebagai hukuman atasnya, dia membangunnya dia atas kebodohan dan rela dengan kerusakan pada akalnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan yang lainnya, "Waswas sebabnya adalah kejahilan terhadap syari'at atau kerusakan pada akal, dan keduanya adalah termasuk kekurangan dan aib yang paling besar."

Demikianlah sekitar lima belas kerusakan dalam sikap waswas dan masih banyak lagi kerusakan yang lainnya. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahiih-nya, dari hadits 'Utsman bin Abil 'Ash dia berkata, Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya syaitan telah menghalangi antara aku dan shalatku, dia memberikan keraguan padaku, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبُ، فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَّوَذْ بِاللهِ مِنْهُ، وَاتْفِلْ عَنْ يَسَارِكَ ثَلاَثًا!

'Itulah syaitan yang disebut dengan khinzib, maka bila engkau merasakannya, berlindunglah kepada Allah darinya, dan meludahlah tiga kali ke samping kirimu!' Maka aku pun melakukannya, dan Allah menghilangkannya dariku." [HR. Muslim, no. 2203]

Maka ahlu waswas adalah buah hatinya khinzib dan sekutu-sekutunya, kita berlindung kepada Allah darinya.

[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi', Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H - Februari 2005 M]





Waswas Tentang Batalnya Wudhu'

Waswas Tentang Batalnya Wudhu'

Termasuk dalam pembahasan waswas ini adalah waswas tentang batalnya wudhu', yang mestinya tidak perlu dianggap.

Dalam Shahiih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخْرَجَ مِنْهُ شَيْئٌ أَمْ لاَ؟ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا!

"Apabila salah seorang dari kalian mendapatkan sesuatu dalam perutnya, maka membuatnya ragu, apakah ada yang keluar (angin) darinya atau tidak? Maka janganlah keluar dari masjid hingga mendengar suara atau mendapatkan bau!"[1]

Dalam ash-Shahiihain dari 'Abdillah bin Zaid, dia berkata, diadukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentang seseorang yang diberikan gambaran kepadanya, bahwa dirinya mendapatkan sesuatu dalam shalatnya, beliau bersabda,

لاَ يَنْصَرِفُ، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا!

"Janganlah dia berpaling dari shalatnya hingga mendengar suara (angin) atau mendapatkan baunya!"[2]

Dalam Musnad dan Sunan Abii Daawud, dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِيْ أَحَدَكُمْ وَهُوَ فِي صَلاَتِهِ فَيَأْخُذُ شَعَرَةً مِنْ دُبُرِهِ فَيَمُدُّهَا، فَيَرَى أَنَّهُ قَدْ أَحْدَثَ، فَلاَ يَنْصَرِفَنَّ حَـتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا!

"Sesungguhnya syaitan akan mendatangi salah seorang dari kalian dalam shalatnya, kemudian dia akan memegangi sehelai rambut yang ada di duburnya kemudian dia akan ulurkan, sehingga orang itu mengira bahwa dirinya telah ber-hadats, maka janganlah dia meninggalkan (shalatnya) sampai mendengar suara atau mencium bau!"[3]

Sedangkan dalam lafazh Abu Dawud,

إِذَا أَتَى الشَّيْطَانُ أَحَدَكُـمْ فَقَالَ لَهُ: إِنَّكَ قَدْ أَحْدَثَ، فَلْيَقُلْ لَهُ: كَذَبْتَ. إِلاَّ مَنْ وَجَدَ رِيْحًا بِأَنْفِهِ أَوْ سَمِعَ صَوْتًا بِأُذُنِهِ.

"Bila syaitan mendatangi salah seorang dari kalian dan berkata kepadanya, 'Kamu telah berhadats,' hendaklah dia katakan kepadanya, 'Kamu dusta,' kecuali seorang yang mencium bau dengan hidungnya atau mendengar suara dengan telinganya."
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendustakan syaitan, meskipun pada sesuatu yang dimungkinkan kebenarannya, lalu bagaimana jika kedustaannya tersebut adalah sesuatu yang sudah maklum dan yakin, seperti perkataannya kepada orang yang waswas, "Kamu belum melakukan ini," padahal dia benar-benar telah melakukannya?

Syaikh Abu Muhammad berkata, "Disukai dari seseorang untuk memercikkan air pada kemaluannya dan juga celananya apabila buang air kecil, untuk menepis waswas dari dirinya, apabila dia mendapatkan sesuatu yang basah, maka hendaknya dia katakan, bahwa itu adalah air yang tadi dia percikkan, berdasarkan riwayat Abu Dawud dengan sanadnya dari Sufyan bin al-Hakam ats-Tsaqafi, atau al-Hakam bin Sufyan, dia berkata, "Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila buang air kecil, beliau berwudhu' dan memercikkan air." Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam buang air kecil, kemudian memerciki kemaluannya." Dan adalah Ibnu 'Umar memercikkan air pada kemaluannya sehingga membasahi celananya.

Sebagian sahabat Imam Ahmad mengadu kepadanya, bahwa dirinya mendapatkan sesuatu yang basah setelah berwudhu', maka Imam Ahmad memeritahkannya untuk memercikkan air bila buang air kecil, dan dia mengatakan "Janganlah hal itu menjadi perhatianmu, abaikanlah!"

Al-Hasan ditanya atau orang lain dalam perkara sejenis ini, maka dia mengatakan, "Abaikanlah!" kemudian masalah yang sama diulangi disampaikan kepadanya, maka dia berkata, "Apakah engkau banyak mengalirkannya? Celaka engkau. Abaikanlah!"

[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi', Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H - Februari 2005 M]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 362).
[2]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 361).
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (III/97, no. 11934).

Berlebih-Lebihan Dalam Menggunakan Air Ketika Berwudhu' Dan Mandi

Berlebih-Lebihan Dalam Menggunakan Air Ketika Berwudhu' Dan Mandi

Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam Musnadnya, dari hadits 'Abdillah bin 'Amr, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati Sa'ad yang sedang berwudhu', maka beliau mengatakan, "Jangan berlebihan!" maka Sa'ad berkata, "Ya Rasulullah apakah ada berlebihan dalam masalah air?" Beliau berkata, "Ya, walaupun engkau berada pada sungai yang mengalir."[1]

Dalam Jaami'ut Tirmidziyy dari hadits Ubay bin Ka'b, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya dalam wudhu' ada syaitan yang disebut dengan walhan, maka hati-hatilah terhadap waswas dalam (menggunakan) air."[2]

Kemudian dalam Musnad dan Sunan dari hadits 'Amr bin Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, "Datang seorang badui kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bertanya kepada beliau tentang wudhu', maka Nabi memperagakannya dengan tiga kali-tiga kali, kemudian bersabda, "Inilah wudhu', maka barangsiapa menambahnya maka ia telah berbuat keliru, melampaui batas dan berbuat zhalim."[3]

Dalam kitab asy-Syaafi'i, tulisan Abu Bakar bin 'Abdul 'Aziz, dari hadits Ummu Sa'ad, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Satu mudd itu cukup untuk berwudhu', sedangkan untuk mandi itu satu shaa', dan akan datang sebuah kaum yang menganggap sedikit (ukuran) itu, maka mereka itu menyelisihi Sunnahku, sedangkan yang memegangi Sunnahku akan berada di Jannah Hadziiratul Qudus, yang menjadi tempat hiburannya penghuni Jannah.[4]

Dalam Sunanul Atsraam, dari hadits Salim bin Abil Ja'd, dari Jabir bin 'Abdillah dia berkata, "Satu mudd cukup untuk berwudhu', untuk mandi janabat satu shaa', maka ada orang yang berkata, "Tidak cukup buatku," maka Jabir marah hingga wajahnya memerah kemudian berkata, "Telah cukup bagi orang yang lebih baik darimu dan lebih lebat rambutnya."

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, secara marfu', dan lafazhnya dari riwayat Jabir, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يُجْزِىءُ مِنَ الْغُسْلِ الصَّاعُ، وَمِنَ الْوُضُوءِ الْمُدُّ.

"Satu shaa' cukup untuk mandi, sedangkan untuk wudhu' satu mudd."[5]

Dalam Shahiih Muslim, dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, "Bahwa dirinya dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mandi dari satu bejana yang menampung tiga mudd atau mendekatinya."[6]

Dalam Sunan an-Nasaa-iyy dari 'Ubaid bin 'Umair, bahwa 'Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, " Aku benar-benar telah menyaksikan diriku mandi bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari ini, -ternyata sebuah bejana kecil tempat minum yang berukuran satu shaa' atau lebih kecil- kami menyelupkan tangan kami seluruhnya, aku mencelupkan dengan tanganku pada kepalaku tiga kali dan aku tidak menguraikan rambut."[7]

Dalam Sunan Abii Daawud dan an-Nasaa-iyy, dari 'Abbad bin Tamim, dari Ummu Imarah binti Ka'b, "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu' maka didatangkan (untuknya) air dalam bejana sebesar dua pertiga mudd"[8]

Abdur Rahman bin Atha' mengatakan, Aku mendengar Sa'id bin Musayyib mengatakan, "Aku mempunyai bejana kulit untuk minum atau gelas, tidak menampung kecuali hanya setengah mudd atau kurang lebih seperti itu, aku kencing kemudian aku berwudhu' dan aku masih menyisakannya." 'Abdur Rahman berkata, "Maka hal itu aku ceritakan kepada Sulaiman bin Yasar, dia mengatakan, "Bagiku cukup juga seperti itu," 'Abdur Rahman berkata, maka hal itu aku ceritakan kepada Abu 'Ubaidah bin Muhammad bin 'Ammar bin Yasir, maka dia mengatakan, "Demikianlah yang kami dengar dari para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." Diriwayatkan oleh al-Atsram dalam Sunannya.

Ibrahim an-Nakha'i berkata, "Mereka dahulu lebih sedikit dalam menggunakan air ketimbang kalian, mereka memandang bahwa seperempat mudd cukup untuk wudhu'."

(Tetapi) ini adalah (berita) sangat berlebihan, sebab seperempat mud tidak sampai satu setengah uqiyah Damaskus.

Dalam ash-Shahiihain dari Anas dia berkata, "Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu' dengan satu mudd dan mandi dengan satu shaa' sampai lima mudd."[9]

Dalam Shahiih Muslim, dari Safinah dia berkata, "Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mandi janabat dengan satu shaa' dan cukup wudhu' dengan satu mudd."[10]

Ibrahim an-Nakha'i berkata, "Aku berwudhu' dengan wadah semacam tempayan, dua kali." Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq berwudhu' dengan setengah mudd atau lebih sedikit.

Muhammad bin 'Ajlan berkata, "Fiqh dalam diin Allah adalah, menyempurnakan wudhu' dan sedikit menumpahkan air." Imam Ahmad berkata, "Dahulu dikatakan, 'Termasuk ketidakfaqihan seseorang adalah, apabila menyukai (banyak) air (dalam bersuci)."

Al-Maimuni berkata, "Aku berwudhu' dengan air yang banyak, maka Ahmad berkata kepadaku, "Wahai Abu Hasan, apakah engkau suka dengan seperti ini? maka aku pun meninggalkannya (tidak memakai banyak air lagi)."

'Abdullah bin Ahmad mengatakan, "Aku katakan kepada bapakku, 'Aku sungguh (menggunakan) banyak air, maka dia melarangku dan mengingatkan, 'Wahai anakku sesungguhnya dalam wudhu' itu ada syaitan yang disebut dengan walhan,' dia mengatakan hal itu kepadaku bukan sekali saja, melarangku banyak menuangkan air, dan berkata kepadaku, 'Sedikitkanlah dari air ini, wahai anakku."

Ishaq bin Manshur berkata, "Aku berkata kepada Ahmad, apakah kita dalam berwudhu' melebihkan dari tiga kali? maka dia menjawab, "Tidak, demi Allah kecuali orang yang diuji (dengan penyakit waswas)."

Aswad bin Salim berkata -seorang lelaki yang shalih, syaikh dari Imam Ahmad-, "Dulu aku kena ujian (sikap waswas) dalam berwudhu', aku menuruni Daljah (sungai Tigris) untuk berwudhu', maka aku mendengar suara bisikan, membisikkan, " Wahai Aswad, Yahya dari Sa'id, wudhu' tiga kali-tiga kali, adapun yang lebih dari itu maka tidak diangkat, lalu aku menoleh dan aku tidak melihat seorang pun."


Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya, dari hadits 'Abdullah bin Mughaffal, dia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

سَيَكُوْنُ فِي هَذِهِ اْلأُمَّةِ، قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الطَّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ.

"Akan ada di umat ini suatu kaum yang melampaui batas (berlebihan) dalam bersuci dan berdo'a."[11]

Bila engkau bandingkan hadits ini dengan firman Allah Ta'aala:

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

"...Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." [Al-A'raaf/7: 55]

Maka engkau akan mengetahui bahwa Allah menyukai peribadatan kepada-Nya, dan menjadi jelas bagimu sekarang, bahwa wudhu'nya orang yang waswas bukanlah ibadah yang diterima Allah, walaupun telah gugur kewajiban darinya, tetapi tidak akan dibukakan karena wudhu'nya itu pintu Surga yang delapan, untuk dia masuk dari pintu mana pun dia suka.

Di antara kerusakan akibat sikap waswas, dia menyibukkan tanggung jawabnya pada sesuatu yang melebihi kebutuhan, bila air (yang digunakan) adalah miliki orang lain, seperti jamban misalnya, maka ketika dia keluar (selesai berwudhu') dia terbebani dengan hutang karena melebihi kebutuhan dan bersikap berlebihan dalam agama, sehingga dia akan menjadi terbebani dengan banyak sekali hutang, dan nanti dia akan merasakan mudharatnya di alam barzakh dan di hari Kiamat.

[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi', Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H - Februari 2005 M]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad dan al-Albani menyatakan, "Bahwa hadits ini dha'iif."
[2]. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, hadits ini dha'iif.
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud dan an-Nasa-i.
[4]. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i.
[5]. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, hadits tersebut shahiih.
[6]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud dan an-Nasa-i.
[7]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud dan an-Nasa-i
[8]. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i, Abu Dawud, dan hadits ini shahiih.
[9]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab al-Wudhuu' bil mudd, juga Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi.
[10]. Diriwayatkan oleh Muslim dan juga al-Bukhari.
[11]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 96).

Apa Yang Dilakukan Orang Waswas Setelah Buang Air Kecil

Apa Yang Dilakukan Orang Waswas Setelah Buang Air Kecil

Yang banyak dilakukan oleh orang yang waswas setelah buang air kecil ada sepuluh macam, as-salt, an-natr, an-nahnahah, al-masy, al-qafz, al-habl, at-tafaqqud, al-wujuur, al-hasywu, al-'ashaabah,dan ad-darajah.

Adapun as-salt adalah, menarik dari pangkal kemaluannya sampai ujungnya. Atas dasar hadits gharib yang tidak tsubut, dalam Musnad dan Sunan Ibni Maajah, dari 'Isa bin Yazdad al-Yamaniy dari bapaknya, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ، فَلْيَنْـتُرْ ذَكَرَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ!

"Bila salah seorang dari kalian buang air kecil, maka tariklah/ urutlah kemaluannya tiga kali!"

Jabir bin Zaid berkata, "Apabila engkau buang air kecil, maka usaplah bagian bawah dari kemaluanmu, maka (air kencing pun) akan berhenti!" Diriwayatkan oleh Sa'id darinya.

Mereka mengatakan, "Sebab dengan as-salt dan an-natr bisa mengeluarkan sesuatu yang dikhawatirkan kembali setelah istinja.'"

Mereka mengatakan, "Dan bila membutuhkan untuk al-masy, (yaitu) berjalan beberapa langkah untuk itu dan dia melakukannya maka dia telah berbuat ihsan (kebaikan). Adapun an-nahnahah (berdehem) adalah untuk mengeluarkan kelebihan yang tersisa, demikian juga al-qafz (meloncat) yaitu meninggi sedikit dari tanah kemudian duduk dengan cepat. Adapun al-habl (tali): (yaitu dengan cara), sebagian mereka ada yang mengambil tali dan bergantung padanya hingga naik ke atas, kemudian turun darinya hingga duduk. Makna at-tafaqqud (memeriksa) adalah memegang kemaluannya, kemudian melihat ke bagian tempat keluarnya, apakah masih tersisa sesuatu atau tidak. Al-wujuur (memasukkan) adalah memegangi kemaluannya kemudian membuka lubangnya lalu menuangkan air padanya. Al-hasywu (mengisi/menyumpal) adalah, membawa kapas untuk mengusapnya, seperti mengusap bisul setelah terpecah. Al-'ishaabah adalah, membalutnya dengan kain. Ad-darajah adalah, naik sedikit ke tangga, kemudian turun dengan cepat, sedangkan al-masy adalah: berjalan beberapa langkah, kemudian melakukan istijmar lagi.

Syaikh kami (Ibnu Taimiyyah) mengatakan, "Semua itu adalah waswas dan bid'ah" maka aku kembali menanyakan tentang as-salt dan an-natr, maka dia tidak menganggap hal itu, dan mengatakan, "Haditsnya tidak shahiih," beliau berkata, "Air kencing adalah seperti susu dalam puting, bila engkau tinggalkan maka akan berhenti, bila engkau peras maka ia akan keluar." Beliau juga berkata, "Barangsiapa membiasakan hal itu maka dia akan terkena ujian (dalam masalah ini), yang mana telah terbebas darinya orang yang tidak menghiraukannya."

Beliau berkata, "Kalau seandainya ini sunnah, tentu saja yang yang paling berhak dengannya adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Seorang Yahudi telah berkata kepada Salman, 'Sesungguhnya Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) masuk jamban' Salman mengatakan, 'Ya.'[1] Nabi kami Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kami segala sesuatu. Juga mengajarkan kepada orang yang terkena mustahadhah untuk menyumbatnya, yang kemudian diqiaskan dengannya orang yang menderita kencing terus-menerus, untuk membalutnya, dan membalutkan kain padanya."

[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi', Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H - Februari 2005 M]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah

Kemudahan Dari Nabi, Menggosok Sepatu Bila Najis Mengenai Bagian Bawahnya

Kemudahan Dari Nabi, Menggosok Sepatu Bila Najis Mengenai Bagian Bawahnya

Termasuk dalam pembahasan ini adalah, beberapa hal yang telah dimudahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana beliau adalah orang yang diutus dengan hanifiyyah samhah (lurus lagi mudah), lalu dipersulit oleh mereka. Di antara hal yang dijadikan mudah itu adalah, berjalan tanpa alas kaki di jalanan, kemudian shalat dengan tidak membasuh kakinya terlebih dahulu.

Abu Dawud telah meriwayatkan dalam Sunannya, dari seorang wanita Bani 'Abdil Asyhal, dia berkata, aku bertanya, "Wahai Rasulullah, kami memiliki jalan yang berbau busuk menuju masjid, apa yang harus kami lakukan kalau kami sudah bersuci," beliau bersabda, 'Bukankah sesudahnya ada tanah yang lebih baik,' wanita itu menjawab, Aku berkata, 'Ya,' beliau bersabda, "Tanah yang baik tersebut adalah untuk tanah yang itu (yang bau)."

'Abdulah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu mengatakan, "Kami tidak berwudhu' karena tanah yang kami injak."

Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, bahwa dirinya berjalan pada tanah yang kena hujan, kemudian masuk masjid dan shalat, dan tidak mencuci kedua kakinya.

Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma ditanya tentang seorang lelaki yang menginjak kotoran, beliau berkata, "Bila kering maka tidak mengapa, bila basah maka dicuci yang terkena."

Hafsh mengatakan, "Aku berjumpa dengan 'Abdullah bin 'Umar, kami sedang menuju masjid, ketika kami sampai, aku berbelok menuju tempat bersuci untuk membasuh kedua kakiku yang tertimpa sesuatu, maka 'Abdullah berkata, 'Tidak usah engkau lakukan, sebab engkau tadi menginjak tempat yang kotor, kemudian setelah itu menginjak tempat yang baik, -atau dia mengatakan: yang bersih,- maka hal itu menjadi penyucinya, lalu kami masuk masjid dan melakukan shalat."

Abu Sya'tsa' mengatakan, "Adalah Ibnu 'Umar dahulu berjalan di Mina pada kotoran hewan, dan darah kering tanpa alas kaki, kemudian masuk masjid dan shalat di dalamnya dan tidak membasuh kedua kakinya."

'Imran bin Hudair mengatakan, "Aku berjalan bersama Abi Mujliz menuju shalat Jum'at, dan di jalanan terdapat kotoran yang kering, maka dia melewatinya dan berkata, ini tidak lain adalah barang-barang hitam saja (yang telah mengering), dia pun datang tanpa alas kaki ke masjid dan shalat tidak mencuci kedua kakinya."

'Ashim al-Ahwal mengatakan, "Kami mendatangi Abul 'Aliyah, kemudian kami meminta air untuk berwudhu', dia berkata, 'Bukankah kalian telah berwudhu'?' kami katakan, 'Ya,' tetapi (bagaimana) dengan kotoran-kotoran yang telah kami lewati itu?' Dia berkata, 'Apakah kalian menginjak sesuatu yang basah dan menempel pada kaki kalian?' Kami katakan, 'Tidak', dia berkata, 'Terus bagaimana dengan yang melebihi kotoran-kotoran ini, yang mengering kemudian ditebarkan oleh angin di kepala dan janggut kalian?'"

Menggosok Khuf Atau Sepatu Bila Najis Mengenai Bagian Bawahnya
Termasuk dalam pembahasan ini adalah apabila khuf atau sepatu terkena najis pada bagian bawahnya, maka cukup dengan menggosokkannya di tanah, hal ini adalah mutlak (umum), dan sah pula shalat dengannya, berdasarkan Sunnah yang telah tetap. Hal ini dinashkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan dipilih oleh para muhaqqiq dari para sahabatnya.

Abul Barakat berkata, "Dan riwayat yang menyatakan Sah dengan menggosokkan secara mutlak adalah shahih menurutku, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ اْلأَذَى، فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُوْرٌ، وَفِي لَفْظٍ: إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ اْلأَذَى بِخُفَّيْهِ فَطَهُوْرُهُمَا التُّرَابُ.

"Bila salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah menjadi penyucinya,"[1]25

dalam lafazh yang lain,
"Bila salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan kedua sepatunya, maka tanah/debu menjadi penyuci keduanya."[2]

Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, kemudian melepas kedua sandalnya, maka para Sahabat pun melepaskan sandal mereka, ketika telah selesai shalat beliau berbalik dan mengatakan, "Kenapa kalian lepas?" Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami melihatmu melepaskannya, maka kami pun melepasnya, maka beliau bersabda: "Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabariku bahwa ada kotoran pada kedua sandal, maka bila salah seorang dari kalian mendatangi masjid hendaknya membalikkan kedua sandalnya, kemudian lihatlah, kalau dia melihat ada kotoran (khobats), maka bersihkanlah ke tanah, kemudian shalatlah mengenakan keduanya." Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Penjelasan hadits di atas: Tidaklah benar apabila sesuatu yang dianggap kotor itu ditafsirkan dengan ingus atau yang lainnya yang suci. Hal itu karena beberapa alasan :

Pertama: Bahwa semua hal itu tidak dinamakan kotoran.

Kedua: Ingus dan sejenisnya tidaklah diperintahkan untuk mengusapnya ketika shalat, karena tidak membatalkannya.

Ketiga: Tidak perlu melepas sandal karenanya dalam shalat, sebab berarti melakukan amal perbuatan yang tidak perlu, minimalnya adalah makruh.

Keempat: Ad-Daraquthni meriwayatkan dalam Sunannya pada hadits al-Khal', dari riwayat Ibnu 'Abbas, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Jibril mendatangiku, kemudian mengabariku, bahwa pada keduanya (sepasang sandal beliau) terdapat darah puting susu."[3]

Karena biasanya sandal itu merupakan tempat yang sering terkena najis, sehingga cukup mengusapnya dengan benda keras, sebagaimana halnya tempat untuk di-istijmar-i (disucikan dengan menggunakan batu atau yang lainnya, yaitu qubul dan dubur,-ed.), bahkan hal ini lebih utama, karena tempat untuk diistijmari itu dalam seharinya hanya (dibersihkan) dua atau tiga kali dalam sehari.

Begitu juga dalam masalah kain yang melebihi kaki seorang wanita, -menurut pendapat yang benar,- seperti yang pernah ditanyakan oleh seorang wanita kepada Ummu Salamah :"Sesungguhnya saya melebihkan ujung pakaianku, dan saya berjalan ditempat yang kotor?" Ia menjawab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ.

"Ia akan dibersihkan oleh (tanah)sesudahnya."[4]


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan keringanan kepada wanita untuk memanjangkan pakaiannya satu jengkal, dan sudah barang tentu itu akan mengenai kotoran, dan beliau tidak memerintahkan untuk mencucinya, bahkan memberikan fatwa kepada mereka, bahwa hal itu akan disucikan oleh tanah.

[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi', Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H - Februari 2005 M]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 385).
[2]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 386).
[3]. Sanadnya dha'if sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar.
[4]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.