Kematian Yang Tidak Bisa Dihindari

Kematian Yang Tidak Bisa Dihindari 


Kematian tak bisa dihindari, tidak mungkin ada yang bisa lari darinya. Namun seribu sayang, sedikit yang mau mempersiapkan diri menghadapinya.

Kata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Aku tidaklah pernah melihat suatu yang yakin kecuali keyakinan akan kematian. Namun sangat disayangkan, sedikit yang mau mempersiapkan diri menghadapinya.” (Tafsir Al Qurthubi)

Ingatlah …

Tak mungkin seorang pun lari dari kematian …

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Jumu’ah: 8).

Harus diyakini …

Kematian tak bisa dihindari …

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’: 78).

Semua pun tahu …

Tidak ada manusia yang kekal abadi …

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad).” (QS. Al Anbiya’: 34).

Yang pasti …

Allah yang kekal abadi …

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ (27)

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar Rahman: 26-27).

Lalu …

Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian …

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan ayat-ayat di atas adalah setiap orang pasti akan merasakan kematian. Tidak ada seseorang yang bisa selamat dari kematian, baik ia berusaha lari darinya ataukah tidak. Karena setiap orang sudah punya ajal yang pasti.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 163).

Jadilah mukmin yang cerdas …

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : « أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : « أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ ».

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

Hanya Allah yang memberi taufik.

Bidadari Surga Marah Lantaran Isteri Menyakiti Suaminya

Bidadari Surga Marah Lantaran Isteri Menyakiti Suaminya 

Jika istri menyakiti suami, maka bidadari di surga akan marah. Kenapa bisa?

Abu ‘Isa Tirmidzi membawakan judul bab dalam kitab jami’nya: “Ancaman bagi wanita yang menyakiti suaminya.” Imam Nawawi membawakan judul bab dalam Riyadhus Sholihin tentang kewajiban istri pada suami. Keduanya membawakan hadits berikut ini setelahnya.

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُؤْذِى امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللَّهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

Jika seorang istri menyakiti suaminya di dunia, maka calon istrinya di akhirat dari kalangan bidadari akan berkata:

“Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah mencelakakanmu sebab ia hanya sementara berkumpul denganmu. Sebentar lagi ia akan berpisah dan akan kembali kepada kami.” (HR. Tirmidzi no. 1174 dan Ibnu Majah no. 2014. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Beberapa faedah dari hadits di atas:

  • Yang dimaksud janganlah menyakiti suami adalah menyakitinya dengan alasan yang tidak benar.
  • Bidadari surga yang dimaksud adalah wanita yang putih matanya begitu putih dan hitam matanya begitu hitam. Matanya pun begitu mempesona.
  • Hadits di atas menunjukkan tidak bolehnya seorang istri menyakiti hati suaminya di antara bentuknya adalah tidak mau taat pada suami dalam hal yang ma’ruf (perkara kebaikan).
  • Namun hendaklah masing-masing pasangan berlaku baik satu dan lainnya, tidak menuntut yang lain untuk menunaikan haknya. Dengan demikian ikatan cinta suami istri akan terus langgeng.
  • Allah menjanjikan balasan bagi orang beriman dengan mendapatkan pasangan yang suci, enak dipandang, yang membuat seseorang begitu cinta dan rindu padanya.
  • Surga dan kenikmatannya ada saat ini.
  • Dunia negeri ujian, sedangkan akhirat negeri balasan.

Semoga bermanfaat. Semoga kita mendapatkan istri yang shalihah yang jadi penyejuk mata di dunia dan akhirat.

Referensi:

Nuzhatul Muttaqin dan Bahjatun Nazhirin.

Jagalah Lisanmu Dari Ghibah

Jagalah Lisanmu Dari Ghibah 


Bismillahirrahmanirrahim

Pengertian Gibah

Ghibah sebagaimana telah jelas pengertiannya yang terdapat dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخْيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

 “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “’Tahukah kalian apa itu ghibah?’ Lalu sahabat berkata: ‘Allah dan rasulNya yang lebih tahu’. Rasulullah bersabda: Engkau menyebut saudaramu tentang apa yang dia benci’. Beliau ditanya: ‘Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku katakan benar tentang saudaraku?’ Rasulullah bersabda: ‘jika engkau menyebutkan tentang kebenaran saudaramu maka sungguh engkau telah ghibah tentang saudaramu dan jika yang engkau katakan yang sebaliknya maka engkau telah menyebutkan kedustaan tentang saudaramu.’” (HR. Muslim no. 2589)

Hukum Ghibah

Ghibah adalah perkara yang diharamkan sebagaimana dalam firman-Nya, Allah telah melarangnya sebagaimana dalam kaidah ushul fikih bahwa lafadz larangan asalnya menghasilkan hukum haram. Di antara dalil larangan ghibah adalah firman Allah ta’ala:

 يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اجْتَنِبُوْا كَثيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمُ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُم أَنْ يَأكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ ۚ وَاتَّقُوْا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوّابٌ رَحيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah kamu mencari kesalahan orang lain dan jangan di antara kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kalian akan merasa jijik. Bertakwalah kalian pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12)

Ibnu Katsir menjelaskan dalam Tafsirnya bahwa pada ayat ini terdapat pelarangan dari perbuatan ghibah. Penjelasan hal tersebut sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah yang telah disebutkan sebelumnya.

Ghibah tetap haram, baik itu sedikit atau banyak sebagaimana dijelaskan dalam Sunan Abu Dawud (4875), diriwayatkan oleh  Aisyah radhiyallahu ‘anha,  beliau berkata:

حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَ كَذَا. قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِيْ قَصِيْرَةً. فَقَالَ : لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.

“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah, yaitu bahwa Shafiyah itu orangnya pendek. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya”. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Dawud.

Sebagaimana juga dalam kitab Shahihain, hadits dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahawasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا.

 “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian (juga kehormatan kalian) adalah haram di antara kalian seperti haramnya hari ini, bulan ini, dan negeri ini.

Dalam Sunan At-Tirmidzi (2032) dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah dulu berdiri di atas mimbar lalu menyeru dengan suara yang keras: ’Wahai sekumpulan manusia yang merasa aman dengan lisan dan yang tidak menjadikan iman dalam hatinya. Janganlah kalian mengganggu muslimin, janganlah kalian mencela mereka, dan janganlah kalian mencari aib mereka. Barangsiapa yang mencari aib saudaranya muslim maka Allah akan membuka aibnya. Dan barang siapa yang Allah buka aibnya maka allah membongkar keburukannya walaupun dia bersembunyi.’” Hadits ini dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi.

Dalam Shahih Musnad (131) dan di Sunan Abu Dawud (4878) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tatkala aku  dimi’raj, aku berpapasan dengan kaum yang kukunya dari tembaga lalu mereka mencakar wajah mereka dan dada mereka maka aku berkata: ‘Siapa mereka wahai Jibri?’ Jibril berkata: ‘Mereka adalah orang yang memakan daging manusia karena mereka menjatuhkan harga diri manusia.’

Ghibah diharamkan oleh ijma’. Tidaklah ghibah diharamkan,  kecuali jika di sana mendatangkan maslahat sebagaimana Allah ta’ala telah menyerupakan gibah seperti seseorang memakan daging manusia yang mati dalam firman-Nya yang artinya: “Apakah di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kalian akan merasa jijik”. Maknanya adalah sebagaimana kalian membenci watak atau perbuatan ini maka tentulah kalian membenci terjurumus ke dalamnya.

Oleh karena itu, ghibah sangatlah berbahaya maka hendaknya seseorang agar senantiasa waspada terhadap diri sendiri agar tidak terjerumus dalam  perbuatan yang diharamkan. Adapun jika sudah terlanjur terjatuh ke dalamnya maka hendaknya kita bersegera untuk bertaubat.

Cara Menghindari Ghibah

  1. Mengingat bahwa semua amalan akan dicatat termasuk ucapan

Kita harus sadar bahwa segala sesuatu apa yang telah kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana Allah berfirman yang artinya :

ما يَلفِظُ مِن قَولٍ إِلّا لَدَيهِ رَقيبٌ عَتيدٌ

Tiada suatu ucapan apapun yang diucapkan melaikan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf : 18)

  1. Mengingat aib sendiri yang lebih seharusnya  diperhatikan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه

“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” [semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak, pen] (Az-Zuhd war Raqaiq Ibnul Mubarak, 211)

  1. Anggap diri kita lebih rendah dari orang lain

‘Abdullah Al Muzani mengatakan,

إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو ير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.

Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu maka seharusnya engkau katakan: “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal shalih dariku maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu”. (Hilyatul Auliya, 2/226)

Cara bertaubat dari ghibah

Dalam masalah ini, ada dua pendapat ulama. Keduanya dari riwayat Imam Ahmad rahimahullah, yaitu: Apakah bertaubat dari ghibah cukup dengan memintakan ampunan untuk orang yang dighibahi? Atau apakah harus diumumkan untuk orang yang dighibahi? Atau apakah harus diumumkan dan meminta penghalangnya?

Pendapat yang benar adalah tidak perlu diumumkan. Sebaliknya, dia cukup memintakan ampunan untuknya dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat ia menggibahinya. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya. Sedangkan yang berpendapat bahwa pelaku gibah harus mengumumkan taubatnya, mereka menganggap gibah seperti hak harta.

Perbedaan keduanya sangat jelas. Sesungguhnya hak-hak harta, orang terzalimi masih dapat mengambil manfaat dengan dikembalikannya harta yang sebanding. Bila mau, dia dapat mengambilnya atau dapat pula menyedekahkannya..

Adapun ghibah, yang demikian tersebut tidak mungkin. Orang yang di-ghibah-i tidak memperoleh sesuatu dengan diumumkannya taubat itu, kecuali sesuatu yang berlawanan dengan tujuan syariat. Sesungguhnya pengumuman taubat itu justru akan membangkitkan kemarahannnya, dan menyakitkannya jika dia mendengar seusatu yang dituduhkan kepadanya. Bahkan mungkin akan membangkitkan permusuhannya dan tidak akan menjernihkan permasalahannya selama-lamanya.

Ini bukanlah jalan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya penetapan syariat yang bijaksana tidak membolehkannya terlebih lagi mewajibkannya dan memerintahkannya. Poros perputaran syariat adalah menghilangkan dan mempersedikit kerusakan, bukan mendatangkan dan menyempurnakannya.

Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada kita semua agar kita terjauhkan dari dosa ini yaitu ghibah. Betapa banyak manusia yang terjerumus ke neraka disebabkan mereka tidak mampu menahan lisan mereka dari ghibah lebih-lebih di zaman yang penuh fitnah saat ini. Hanya kepada Allah ta’ala kita meminta pertolongan. Wallahu a’lam

***

Referensi:

  1. Terjemahan Nasihat lin Nisa’ karya Ummu Abillah Al-Wadi’iyyah. Cetakan Pustaka Ar Rayyan
  2. Sibuk Memikirkan Aib Sendiri, Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, https://rumaysho.com/1201-sibuk-memikirkan-aib-sendiri.html
  3. Hukum Mendengarkan Ghibah, Bertaubat Dari Ghibah Dan Ghibah Yang Dibolehkan, Ust. Ibnu Abidin As Soronji, https://almanhaj.or.id/2851-hukum-mendengarkan-ghibah-bertaubat-dari-ghibah-dan-ghibah-yang-dibolehkan.html
  4. Tafsir Ibnu Katsir, http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura49-aya12.html

Pulanglah Nak, Berbakti Pada Ibumu

Pulanglah Nak, Berbakti Pada Ibumu 


Semua orang tua pasti ingin dekat dengan anak-anaknya, terutama di masa tua dan masa sepuh mereka. Setiap orang tua, terutama ibu pasti sangat ingin berada bersama anak-anak yang sangat ia cintai. Tidak jarang sang ibu meminta anaknya agar tidak tinggal jauh darinya atau agar tidak tinggal di luar kota, atau sang ibu meminta anaknya agar segera pulang ke kampung masa kecilnya untuk menemani orang tua dan ibunya.

Kasih Sayang Ibu Tidak Lekang Oleh Jarak dan Waktu

Sekiranya sang ibu mengatakan:
“Ibu sih terserah kamu nak, jika di kota A kamu lebih sukses, ibu hanya bisa mendoakan kamu dari kampung masa kecilmu ini”

Ketauhilah, ketika engkau memilih bertahan di kota A, hati ibumu sangat kecewa sekali tetapi ia berusaha menguatkan diri dan tersenyum di depan mu dan tentunya selalu mendoakanmu, buah hati tercinta.

Saudaraku, meskipun kita sukses di kota A atau merasa sangat senang dan nyaman tinggal di kota A, jika engkau ada kesempatan tinggal bersama orang tua khususnya ibumu, maka pulang lah, temani ibumu dan berbaktilah. Mereka lah yang menjadikan engkau suskes dan berhasil dengan izin Allah

Catatan: berbakti pada ibu adalah prioritas utama anak laki-laki, adapun anak perempuan yang sudah menikah, maka ia mengikuti suaminya.

Jangan Sia-Siakan Kesempatan Berbakti Kepada Ibu

Berbaktilah kepada kedua orang tua kita, terutama ibu, karena berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang paling mudah memasukkan seseorang ke surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪُ ﺃَﻭْﺳَﻂُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺄَﺿِﻊْ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﺒَﺎﺏَ ﺃَﻭِ ﺍﺣْﻔَﻈْﻪُ

Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya. (HR. Ahmad, hasan)

Maksud pintu yang paling tengah adalah pintu yang palong mudah dimasuki. Perhatikan jika ada tembok di depan kita, lalu ada pintu di tengah, di samping pinggir kanan dan kiri, tentu secara psikologi kita akan pilih yang tengah karena mudah untuk memasukinya.

Mengapa mudah berbakti pada orang tua, terurama ketika mereka sudah tua? Karena orang yang sudah tua sudak tidak menginginkan “gemerlapnya dunia” lagi.

Ibu Merindukan Kehadiranmu, Nak!

Mereka sudah tidak minta pada anaknya makanan-makanan lezat karena lidah mereka mungkin sudah kaku
Mereka sudah tidak minta pada anaknya jalan-jalan yang jauh karena kaki sudah mulai rapuh
Mereka sudah tidak minta kepada anaknya perhiasan dunia karena mata mulai merabun

Yang mereka inginkan hanyalah engkau menemani mereka, mengajak ngobrol, membawa cucu-cucu mereka untuk bermain dengan mereka. Suatu perkara yang cukup mudah dengan balasan yang surga Allah

Saudaraku, karenanya sangat celaka seseorang yang mendapati kedua orang tuanya sudah tua dan sepuh tetapi tidak masuk surga, karena tidak memanfaatkan amalan yang cukup mudah yaitu berbakti kepada mereka kemudian masuk surga.

Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [HR. Muslim 2551]

Baktimu untuk Ibu adalah Kewajiban

Perintah berbakti kepada orang tua terutama ibu

Allah memerintahkan kepada kita dalam Al-Quran agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bagaimana pengorbanan dan perjuangan ibu untuk anaknya. Beliau menafsirkan,

وقال هاهنا {ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن} . قال جاهد: مشقة وهن الولد. وقال قتادة: جهدا على جهد. وقال عطاء الخراساني: ضعفا على ضعف

“Mujahid berkata bahwa yang dimaksud [“وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ”] adalah kesulitan ketika mengandung anak. Qatadah berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dengan penuh usaha keras. ‘Atha’ Al Kharasani berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.”[Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim 6/336,]

Demikian juga firman Allah,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Al-Ahqaaf : 15)

Pengorbanan Ibu Tidak Akan Terbalas

Diriwayatkan Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang yaman itu bersenandung,

إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.

Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.

Orang itu lalu bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”[Adabul Mufrad no. 11, shahih]

Az-Dzahabi rahimahullah menyusun sebuah tulisan yang sangat menyentuh mengenai jasa dan pengorbanan ibu dan motivasi agar kita berbakti pada ibu. Beliau berkata,

حملتك في بطنها تسعة أشهر كأنها تسع حجج و كابدت عند الوضع ما يذيب المهج و أرضعتك من ثديها لبنا و أطارت لأجلك وسنا و غسلت بيمينها عنك الأذى و آثرتك على نفسها بالغذاء و صيرت حجرها لك مهدا و أنالتك إحسانا و رفدا فإن أصابك مرض أو شكاية أظهرت من الأسف فوق النهاية و أطالت الحزن و النحيب و بذلت مالها للطبيب و لو خيرت بين حياتك و موتها لطلبت حياتك بأعلى صوتها هذا و كم عاملتها بسوء الخلق مرارا فدعت لك بالتوفيق سرا و جهارا فلما احتاجت عند الكبر إليك جعلتها من أهون الأشياء عليك فشبعت و هي جائعة و رويت و هي قانعة و قدمت عليها أهلك و أولادك بالإحسان و قابلت أياديها بالنسيان و صعب لديك أمرها و هو يسير و طال عليك عمرها و هو قصير هجرتها و مالها سواك نصير هذا و مولاك قد نهاك عن التأفف و عاتبك في حقها بعتاب لطيف ستعاقب في دنياك بعقوق البنين و في أخراك بالبعد من رب العالمين يناديك بلسان التوبيخ و التهديد ( ذلك بما قدمت يداك و أن الله ليس بظلام للعبيد )

Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.

Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.

Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.

Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari padadirinya serta makanannya.

Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.

Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu.

Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.

Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.

Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.

Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.

Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.

Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.

Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.

Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.

Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.

Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.

Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.

(Akan dikatakan kepadanya),

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (Al-Hajj : 10) [Al-Kaba’ir hal. 39, Darun Nadwah]

Semoga Allah Ta’ala Memudahkan Kita untuk Berbakti pada Ibu

Semoga kita termasuk orang yang bisa berbakti kepada orang tua khususnya ibu. Semoga kita termasuk orang yang tidak melupakan jasa-jasa ibu kita. Semoga anak-istri dan pekerjaan kita tidak menyibukkan kita dan melalaikan kita untuk berbakti dan memberikan perhatian kepada ibu kita. Ingatlah di masa kecil kita sangat sering membuat susah orang tua terutama ibu kita, bersabarlah ketika berbakti kepada keduanya

Demikian semoga bermanfaat.

Menghadapi Orang Tua Yang Bermaksiat

Menghadapi Orang Tua Yang Bermaksiat 


Pada sebuah kesempatan, seorang remaja bertanya kepada Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz –rahimahullah-, “Saya seorang remaja muslimah. Ayah saya adalah orang yang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban agama yang telah ditetapkan Allah. Ia pun melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar, semisal durhaka kepada orang tuanya, menelantarkan anak-anaknya, tidak peduli dan sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap dengan rumah tangganya. Ia pun sering menghina saya dihadapan orang-orang, di hadapan kerabat dekat, kerabat jauh, orang terpandang, maupun di hadapan orang biasa. Jika berbicara dengan saya, ia menggunakan kata-kata yang paling kotor. Ia pun tidak memenuhi hak-hak saya, baik dalam hal sandang ataupun pangan. Ia pun selalu berusaha menjatuhkan image saya di hadapan orang. Apakah saya boleh membalasnya dengan kata-kata hinaan? Ataukah saya cukup diam saja dan tidak membalas sedikitpun? Perlu diketahui, bahwa sikap dan perlakuannya terhadap orang lain pun sama buruknya sebagaimana ia memperlakukan anak dan istrinya”

Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz –rahimahullah– menjawab: “Allah Jalla Wa ‘Alaa berfirman dalam Al Qur’an Al Karim,

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ * وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Luqman: 14-15)

Yang dibahas dalam ayat ini, kedua orang tua musyrik yang memerintahkan anaknya untuk berbuat musyrik. Namun Allah Ta’ala berfirman:

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik

Sekali lagi, kedua orang tua ini adalah orang musyrik yang memerintahkan anaknya untuk berbuat musyrik.

Maka hendaknya anda bersabar, berbicaralah dengan orang tua anda dengan perkataan yang baik, doakan ia agar mendapat hidayah. Semisal anda mengatakan kepadanya ‘Hadaakallah‘ (Semoga Allah memberimu hidayah), atau ‘Afaakallah‘ (Semoga Allah memberimu kebaikan lahir batin), atau ‘Waffaqakallah‘ (Semoga Allah memberimu taufiq). Karena nyatanya ia bersikap demikian kepada anda dan juga kepada orang lain. Maka sudah semestinya anda bersabar dan tidak menghadapi ujian ini kecuali dengan kesabaran.

Bertutur-katalah sesuai dengan yang diperintahkan Allah Ta’ala:

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik

Andaikan ia tidak menunaikan shalat, maka ia diperlakukan sama seperti orang tua yang musyrik, yaitu sebagaimana firman Allah Ta’ala tersebut.

Bimbing dan tuntunlah ia ke jalan hidayah, dengan doa anda. Berdoalah kepada Allah di waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Mintalah agar Allah melimpahkan hidayah kepadanya, melindunginya dari godaan setan, memberinya rahmat, agar ia luluh terhadap anak-anaknya, agar ia diberi taufiq untuk berbakti kepada orang tua dan doa yang lainnya.

Wajib bagi anda untuk bersabar dan memperlakukannya dengan baik serta mendoakan agar ia mendapatkan hidayah. Hendaknya anda juga mengusahakan cara-cara yang bisa menjadi sebab datangnya hidayah, misalnya dengan berbicara baik-baik kepada orang tuanya, menyarankan mereka untuk menasehati anaknya. Atau menyarankan teman dan kerabat baiknya untuk menasehatinya, atau cara-cara baik yang lain. Semoga Allah membalas kebaikan anda dan memberikan hasil yang baik bagi anda.”

Hidup Boros Temannya Setan

Hidup Boros Temannya Setan 


Saudaraku, perlu diketahui bahwa hidup boros, senang membuang-buang harta untuk hal yang sia-sia termasuk meniru perbuatan setan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27).  Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini.

Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.”

Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Seandainya seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).”

Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/474-475)

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

Sesungguhnya Allah meridlai tiga hal bagi kalian dan murka apabila kalian melakukan tiga hal. Allah ridha jika kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan (Allah ridla) jika kalian berpegang pada tali Allah seluruhnya dan kalian saling menasehati terhadap para penguasa yang mengatur urusan kalian. Allah murka jika kalian sibuk dengan desas-desus, banyak mengemukakan pertanyaan yang tidak berguna serta membuang-buang harta.” (HR. Muslim no.1715)

Termasuk perbuatan boros (tabdzir) adalah apabila seseorang menghabiskan harta pada jalan yang keliru. Semisal seseorang berjam-jam duduk di depan internet, lalu membuka Facebook, blog, email dan lainnya, lantas dia tidak memanfaatkannya untuk hal yang bermanfaat, namun untuk hal-hal yang mengandung maksiat. Na’udzu billahi min dzalik. Cobalah internet kita manfaatkan untuk berdakwah atau untuk mempelajari Islam lebih dalam.

Semoga Allah memudahkan kita untuk mengisi waktu kita di setiap tempat dengan hal-hal yang bermanfaat dan berguna bagi orang lain terutama dalam masalah agama dan akhirat.

Always remember this …! Wallahu waliyyut taufiq.

Masa Mudamu Mempengaruhi Masa Tuamu

Masa Mudamu Mempengaruhi Masa Tuamu 


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Ingatlah, penjagaanmu terhadap hak Allah di masa mudamu bisa mempengaruhi masa tuamu! Kita dapat menyaksikannya dalam pelajaran hadits berikut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasehat pada Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-,

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ

Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”[1]

Yang dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan, hak-hak, perintah, dan  larangan-larangan Allah. Yaitu seseorang menjaganya dengan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui batas dari batasan-Nya (berupa perintah maupun larangan Allah). Orang yang melakukan seperti ini, merekalah yang menjaga diri dari batasan-batasan Allah sebagaimana yang Allah puji dalam kitab-Nya,

هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ (٣٢)مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ (٣٣)

Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada Setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya), (yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan Dia datang dengan hati yang bertaubat.” (QS. Qaaf: 32-33). Yang dimaksud dengan menjaga di sini adalah menjaga setiap perintah Allah dan menjaga diri dari berbagai dosa serta bertaubat darinya.[2]

Menjaga Hak Allah

Di antara bentuk penjagaan hak Allah sebagai berikut.

Pertama: Menjaga shalat

Yang utama  untuk dijaga adalah shalat lima waktu yang wajib sebagaimana yang Allah firmankan,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (٢٣٨)

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (shalat Ashar)[3]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 238). Yang dimaksud shalat wustho di sini adalah shalat Ashar menurut kebanyakan ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan keras orang yang meninggalkan shalat Ashar sebagaimana dalam sabdanya,

مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka hapuslah amalannya.”[4]

Allah Ta’ala pun memuji orang-orang yang menjaga shalatnya dalam ayat lainnya,

وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاتِهِمْ يُحَافِظُونَ

Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS. Al Ma’arij: 34)

Begitu pula termasuk dalam hal ini adalah dengan menjaga thoharoh (bersuci) karena thoharoh adalah pembuka shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ

Tidak ada yang selalu menjaga wudhu melainkan ia adalah seorang mukmin.”[5]

Kedua: Menjaga kepala dan perut

Begitu pula kita diperintahkan untuk menjaga kepala dan perut. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى

Sifat malu pada Allah yang sebenarnya adalah engkau menjaga kepalamu dan setiap yang ada di sekitarnya, begitu pula engkau menjaga perutmu serta apa yang ada di dalamnya.”[6] Yang dimaksud menjaga kepala dan setiap apa yang ada di sekitarnya, termasuk di dalamnya adalah menjaga pendengaran, penglihatan dan lisan dari berbagai keharaman. Sedangkan yang dimaksud menjaga perut dan segala apa yang ada di dalamnya, termasuk di dalamnya adalah menjaga hati dari terjerumus dalam yang haram.[7] Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ

Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 235)

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isro’: 36)

Ketiga: Menjaga lisan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِى مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Barangsiapa yang menjamin padaku apa yang ada di antara dua janggutnya (yaitu bibirnya) dan antara dua kakinya (yaitu kemaluan), maka ia akan masuk surga.”[8]

Keempat: Menjaga kemaluan

Allah memuji orang-orang yang menjaga kemaluan dalam beberapa ayat. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat“.” (QS. An Nur: 30)

وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.” (QS. Al Mu’minun: 5-6)[9]

Yang lebih penting dari hal di atas dan merupakan hak Allah yang paling utama untuk dijaga adalah mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya (baca: berbuat syirik). Karena syirik adalah kezholiman yang teramat besar. Luqman pernah berkata pada anaknya,

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya kesyirikan adalah kezholiman yang paling besar.” (QS. Luqman: 13)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membonceng Mu’adz dengan keledai -yang bernama ‘Ufair-, beliau bersabda,

« يَا مُعَاذُ ، هَلْ تَدْرِى حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ » . قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ . قَالَ « فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا »

Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba-Nya dan apa hak hamba yang berhak ia dapat dari Allah?” Mu’adz mengatakan, ”Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba adalah mereka harus menyembah Allah dan tidak boleh berbuat syirik pada-Nya dengan sesuatu apa pun. Sedangkan hak hamba yang berhak ia dapat adalah Allahh tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apa pun.”[10] Inilah hak Allah yang mesti dan wajib ditunaikan oleh setiap hamba sebelum hak-hak lainnya.

Siapa yang Menjaga Hak Allah, maka Allah akan Menjaganya

Barangsiapa menjaga diri dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan, maka ia akan mendapatkan penjagaan dari Allah Ta’ala.

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ

Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.

Inilah yang dimaksud al jaza’ min jinsil ‘amal, yaitu balasan sesuai dengan amal perbuatan. Sebagaimana Allah mengatakan dalam ayat-ayat lainnya.

وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ

Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 40)

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 152)

إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ

Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad: 7)

Bentuk Penjagaan Allah

Jika seseorang menjaga hak-hak Allah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka Allah pun akan selalu menjaganya. Bentuk penjagaan Allah ada dua macam, yaitu:

Penjagaan pertama: Allah akan menjaga urusan dunianya yaitu ia akan mendapatkan penjagaan diri, anak, keluarga dan harta.

[Penjagaan melalui Malaikat Allah]

Di antara bentuk penjagaan Allah adalah ia akan selalu mendapatkan penjagaan dari malaikat Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar Ro’du: 11). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap hamba memiliki malaikat yang selalu menemaninya. Malaikat tersebut akan menjaganya siang dan malam. Mereka akan menjaganya danri berbagai kejelekan dan kejadian-kejadian.”[11] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Mereka adalah para malaikat yang akan selalu menjaganya atas perintah Allah. Jika datang ajal barulah malaikat-malaikat tadi meninggalkannya.” Inilah salah bentuk penjagaan Allah melalui para malaikat bagi orang yang selalu menjaga hak-hak Allah.

[Penjagaan di Kala Usia Senja]

Begitu pula Allah akan menjaga seseorang di waktu tuanya, jika ia selalu menjaga hak Allah di waktu mudanya. Allah akan menjaga pendengaran, penglihatan, kekuatan dan kecerdasannya. Inilah maksud yang kami singgung dalam judul artikel ini.

Sebagaimana kami pernah membaca dalam salah satu buku fiqh madzhab Syafi’i, matan Abi Syuja’. Dalam buku tersebut diceritakan mengenai penulis matan yaitu Al Qodhi Abu Syuja’ (Ahmad bin Al Husain bin Ahmad Asy Syafi’i rahimahullah Ta’ala). Perlu diketahui bahwa beliau adalah di antara ulama yang mati di usia sangat tua. Umur beliau ketika meninggal dunia adalah 160 tahun (433-596 Hijriyah). Beliau terkenal sangat dermawan dan zuhud. Beliau sudah diberi jabatan sebagai qodhi pada usia belia yaitu 14 tahun. Keadaan beliau di usia senja (di atas 100 tahun), masih dalam keadaan sehat wal afiat. Begitu pula ketika usia senja semacam itu, beliau masih diberikan kecerdasan. Tahukah Anda apa rahasianya? Beliau tidakk punya tips khusus untuk rutin olahraga atau yang lainnya. Namun perhatikan apa tips beliau, “Aku selalu menjaga anggota badanku ini dari bermaksiat pada Allah di waktu mudaku, maka Allah pun menjaga anggota badanku ini di waktu tuaku.” Cobalah lihat, beliau bukanlah memberikan kita tips untuk banyak olahraga. Namun apa tips beliau? Yaitu taat pada Allah dan menjauhi segala maksiat di waktu muda.[12]

Ibnu Rajab rahimahullah juga pernah menceritakan bahwa sebagian ulama ada yang sudah berusia di atas 100 tahun. Namun ketika itu, mereka masih diberi kekuatan dan kecerdasan. Coba bayangkan bagaimana dengan keadaan orang-orang saat ini yang berusia seperti itu? Diceritakan bahwa di antara ulama tersebut pernah melompat dengan lompatan yang amat jauh. Kenapa bisa seperti itu? Ulama tersebut mengatakan, “Anggota badan ini selalu aku jaga agar jangan sampai berbuat maksiat di kala aku muda. Balasannya, Allah menjaga anggota badanku ini di waktu tuaku.” Namun ada orang yang sebaliknya, sudah berusia senja, jompo dan biasa mengemis pada manusia. Para ulama pun mengatakan tentang orang tersebut,  “Inilah orang yang selalu melalaikan hak Allah di waktu mudanya, maka Allah pun melalaikan dirinya di waktu tuanya.”[13]

[Penjagaan pada keturunan]

Begitu pula Allah akan menjaga keturunan orang-orang sholih dan selalu taat pada Allah. Di antaranya kita dapat melihat pada kisah dua anak yatim yang mendapat penjagaan Allah karena ayahnya adalah orang yang sholih. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا

Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz pernah mengatakan, “Barangsiapa seorang mukmin itu mati (artinya: ia selalu menjaga hak Allah, pen), maka Allah akan senantiasa menjaga keturunan-keturunannya.

Sa’id bin Al Musayyib mengatakan pada anaknya, “Wahai anakku, aku selalu memperbanyak shalatku dengan tujuan supaya Allah selalu menjagamu.”[14]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Barangsiapa menjaga (hak-hak) Allah, maka Allah akan menjaganya dari berbagai gangguan.” Sebagian salaf mengatakan, “Barangsiapa bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjaga dirinya. Barangsiapa lalai dari takwa kepada Allah, maka Allah tidak ambil peduli padanya. Orang itu berarti telah menyia-nyiakan dirinya sendiri. Allah sama sekali tidak butuh padanya.”

Jika seseorang berbuat maksiat, maka ia juga dapat melihat tingkah laku yang aneh pada keluarganya bahkan pada hewan tunggangannya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Jika aku bermaksiat pada Allah, maka pasti aku akan menemui tingkah laku yang aneh pada budakku bahkan juga pada hewan tungganganku.”[15]

Penjagaan kedua: Penjagaan yang lebih dari penjagaan pertama, yaitu Allah akan menjaga agama dan keimanannya. Allah akan menjaga dirinya dari pemikiran rancu yang bisa menyesatkan dan dari berbagai syahwat yang diharamkan. Inilah penjagaan yang lebih luar biasa dari penjagaan pertama tadi.

Hal ini dapat kita lihat sebagaimana dalam do’a sebelum tidur yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 

بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِى وَبِكَ أَرْفَعُهُ ، إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِى فَاغْفِرْ لَهَا ، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ

Dengan menyebut nama-Mu, aku meletakkan lambungku, dan dengan nama-Mu aku mengangkatnya. Jika engkau ingin menarik jiwaku, maka ampunilah ia. Jika engkau ingin membiarkannya, maka jagalah ia sebagaimana engkau menjaga hamba-hambaMu yang sholih”[16] Dalam do’a ini terlihat bahwa Allah akan senantiasa menjaga orang-orang yang sholih.[17]

Demikian pembahasan yang singkat dari hadits di atas. Semoga hadits ini bisa selalu menjadi pengingat dalam setiap langkah kita. Jagalah hak Allah, niscaya Allah akan menjagamu.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Boyolali (Jawa Tengah), 30 Shofar 1431 H (bertepatan dengan 14 Februari 2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com


[1] HR. Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad 1/303. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 223, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.

[3] Yang dimaksud shalat wusthaa terdapat lima pendapat. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah shalat Ashar. Ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah shalat Shubuh, Zhuhur, Maghrib atau Isya (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 1/241, Mawqi’ At Tafaasir).

Namun kebanyakan ulama mengatakan bahwa yang dimaksud shalat wustha adalah shalat Ashar sebagaimana banyak yang meriwayatkan hal ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang memilih pendapat ini adalah ‘Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abu Ayyub, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibrahim An Nakhoi, Qotadah dan Al Hasan (Lihat Ma’alimut Tanzil, Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi, 1/288, Dar Thoyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H)

[4] HR. Bukhari no. 553, dari Buraidah.

[5] HR. Ibnu Majah no. 277, dari Tsauban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[6] HR.. Tirmidzi no. 2458, dari Abdullah bin Mas’ud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[7] Demikian penjelasan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 224.

[8] HR. Bukhari no. 6474, dari Sahl bin Sa’ad.

[9] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 223-224.

[10] HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30.

[11] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/114, Muassasah Qurthubah.

[12] Demikian cerita yang kami peroleh dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab Matan Al Ghoyah wat Taqrib, yang memberikan syarh terhadap Matan Abi Syuja’ (Ikhtishorul Ghoyah).

[13] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 225.

[14] Idem.

[15] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 225-226.

[16] HR. Bukhari no. 7393 dan Muslim no. 2714.

[17] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 226.

Memilih Istri Dan Berbagai Kriterianya

Memilih Istri Dan Berbagai Kriterianya 


Terdapat banyak kriteria yang dituntut dari diri wanita, dan dianjurkan menikahi wanita yang memiliki berbagai kriteria ter-sebut. Kita cukupkan dengan menyebut kriteria-kriteria terpenting.

Pertama:
MENTAATI AGAMA DAN SANGAT MENCINTAI-NYA.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“… Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu…”  [Al-Hujuraat/49: 13].

Dia berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“… Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…”  [An-Nisaa/4: 34].

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”[1]

Wahai saudaraku, ini bukan berarti bahwa kecantikan itu tidak diperlukan. Tetapi yang dimaksud ialah jangan membatasi pada kecantikan, karena itu bukan prinsip bagi kita dalam memilih isteri. Pilihlah karena agamanya; dan jika tidak, maka engkau tidak akan bahagia. Yakni, berlumuran dengan tanah berupa aib yang bakal terjadi padamu setelah itu disebabkan isteri tidak mempunyai agama.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr secara marfu’, ia mengatakan: “Jangan menikahi wanita karena kecantikannya, karena bisa jadi kecantikannya itu akan memburukkannya; dan jangan menikahi wanita karena hartanya, bisa jadi hartanya membuatnya melampui batas. Tetapi, nikahilah wanita atas perkara agamanya. Sungguh hamba sahaya wanita yang sebagian hidungnya terpotong lagi berkulit hitam tapi taat beragama adalah lebih baik.”[2]

Syaikh al-‘Azhim Abad berkata: “Makna ‘fazhfar bidzaatid diin (ambillah yang mempunyai agama)’ bahwa yang pantas bagi orang yang mempunyai agama dan adab yang baik ialah agar agama menjadi pertimbagannya dalam segala sesuatu, terutama berkenaan dengan pendamping hidup. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah-kan supaya mencari wanita beragama yang merupakan puncak pencarian. Taribat yadaaka, yakni menempel dengan tanah.”[3]

Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ، إِنْ أَمَرَهَـا أَطَاعَتْهُ، وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ، وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ.

“Seorang mukmin tidak mengambil manfaat sesudah takwa kepada Allah, yang lebih baik dibandingkan wanita yang shalihah: Jika memerintahnya, ia mentaatinya; jika memandang kepadanya, ia membuatnya senang; jika bersumpah terhadapnya, ia memenuhi sumpahnya; jika bepergian meninggalkannya, maka ia tulus kepadanya dengan menjaga dirinya dan harta suaminya.”[4]

Imam Ahmad meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مِنْ سَعَـادَةِ ابْنُ آدَمَ ثَلاَثَةٌ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْـكَنُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ، وَمِنْ شَقَاوَةِ ابْنُ آدَمَ: اَلْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ السُّوْءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.

“Kebahagiaan manusia ada tiga: Wanita yang shalihah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan yang baik. Sedangkan ke-sengsaraan manusia ialah: Wanita yang buruk (perangainya), tempat tinggal yang buruk, dan kendaraan yang buruk.”[5]

Ibnu Majah meriwayatkan dari Tsauban, ia mengatakan: “Ketika turun (ayat al-Qur-an) mengenai perak dan emas, mereka bertanya: ‘Lalu harta apakah yang harus digunakan?’ ‘Umar berkata: ‘Aku akan memberitahu kepadamu mengenai hal itu.’ Lalu dia mengendarai untanya hingga menyusul Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan aku mengikutinya dari belakang. Lalu dia bertanya: ‘Wahai Rasulullah, harta apakah yang akan kita gunakan?’ Beliau menjawab: ‘Hendaklah salah seorang dari kalian mempunyai hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir, dan isteri beriman yang dapat mendukung (memotivasi) salah seorang dari kalian atas perkara akhirat.’”[6]

Ini adalah Perumpamaan Hidup Tentang Wanita yang Taat Beragama, dan Banyak Bertanya Tentangnya (Juru Bicara Kaum Wanita).
Dari Asma’ binti Yazid al-Anshariyyah, ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berada di tengah-tengah Sahabatnya seraya mengatakan: “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah. Aku utusan para wanita kepadamu. Ketahuilah -diriku sebagai tebusanmu- bahwa tidak seorang wanita pun yang berada di timur dan barat yang mendengar kepergianku ini melainkan dia sependapat denganku. Sesungguhnya Allah mengutusmu dengan kebenaran kepada kaum pria dan wanita, lalu kami beriman kepadamu dan kepada Rabb-mu yang mengutusmu. Kami kaum wanita dibatasi; tinggal di rumah-rumah kalian, tempat pelampiasan syahwat kalian, dan mengandung anak-anak kalian. Sementara kalian, kaum pria, dilebihkan atas kami dengan shalat Jum’at dan berjama’ah, menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, haji demi haji, dan lebih utama dari itu ialah jihad fii sabiilillaah. Jika seorang pria dari kalian keluar untuk berhaji, berumrah atau berjihad, maka kami me-melihara harta kalian, membersihkan pakaian kalian, dan merawat anak-anak kalian. Lalu apa yang bisa membuat kami mendapatkan pahala seperti apa yang kalian dapatkan, wahai Rasulullah?” Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada para Sahabatnya, kemudian bertanya: “Apakah kalian pernah mendengar perkataan seorang wanita yang lebih baik daripada wanita ini dalam pertanya-annya tentang urusan agamanya?” Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka ada seorang wanita yang men-dapat petunjuk seperti ini.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepadanya seraya berkata kepadanya: “Pergilah wahai wanita, dan beritahukan kepada kaum wanita di belakangmu bahwa apabila salah seorang dari kalian berbuat baik kepada suaminya, mencari ridhanya dan menyelarasinya, maka pahalanya menyerupai semua itu.” Kemudian wanita ini berpaling dengan bertahlil dan bertakbir karena gembira dengan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[7]

Ilustrasi Mengenai Wanita yang Rasa Malunya Tidak Menghalanginya untuk Bertanya Tentang Agamanya.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha, ia menuturkan: “Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya: ‘Wahai Rasulullah, Allah tidak malu dalam hal kebenaran. Apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Jika dia melihat air.’” Ummu Salamah menutupi wajahnya dan bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah wanita bermimpi?” Beliau menjawab: “Ya, semoga engkau beruntung, lantas dari mana anaknya dapat mirip dengannya?”[8]


Mereka adalah Kaum Wanita yang Mengetahui Keutama-an Ilmu dan Mencarinya.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ketika kaum wanita merasa-kan keutamaan ilmu, mereka pergi kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau suatu majelis yang khusus untuk mereka. Abu Sa’id menutur-kan: “Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengata-kan: ‘Wahai Rasulullah, kaum pria pergi dengan membawa hadits-mu, maka berikan untuk kami sehari dari waktumu di mana kami datang kepadamu pada hari itu agar engkau mengajarkan kepada kami dari apa yang Allah ajarkan kepadamu.’ Beliau bersabda: ‘Berkumpullah kalian pada hari ini dan hari itu di tempat demikian dan demikian.’ Mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada mereka untuk mengajarkan kepada mereka apa yang Allah ajarkan kepada beliau. Kemudian beliau bersabda: ‘Tidaklah seorang wanita dari kalian mendahulukan tiga perkara dari anaknya, melainkan itu menjadi hijab baginya dari api Neraka.’ Maka seorang wanita dari mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, dua?’ Ia mengulanginya dua kali. Kemudian beliau bersabda: ‘Dua, dua, dua.’”[9]

Dalam riwayat an-Nasa-i disebutkan: “Dikatakan kepada mereka: ‘Masuklah ke dalam Surga.’ Mereka mengatakan: ‘Hingga bapak-bapak kami masuk.’ Maka diperintahkan: ‘Masuklah kalian beserta ayah-ayah kalian.’”

Kedua:
TIDAK MENGENAL KATA-KATA YANG TERCELA.
Ditanyakan kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anha : “Siapakah wanita yang paling utama?” Ia menjawab: “Yaitu wanita yang tidak mengenal kata-kata yang tercela dan tidak berfikir untuk menipu suami, serta hatinya kosong kecuali berhias untuk suaminya dan untuk tetap memelihara keluarganya.”

Seorang Arab mengabarkan kepada kita tentang wanita yang sebaiknya dijauhi, ketika berfikir untuk menikah.

Ia mengatakan: “Jangan menikahi enam jenis wanita, yaitu yang annanah, mannanah, hannanah, dan jangan pula menikahi haddaqah, barraqah, dan syaddaqah.”

Annanah ialah wanita yang banyak merintih, mengeluh serta memegang kepalanya setiap saat. Sebab, menikah dengan orang yang sakit atau pura-pura sakit tidak ada manfaatnya.

Mannanah ialah wanita yang suka mengungkit-ungkit (kebaikan) di hadapan suaminya, dengan mengatakan: “Aku telah melakukan demikian dan demikian karenamu.”

Hannanah ialah wanita yang senantiasa rindu kepada suaminya yang lain (yang terdahulu) atau anaknya dari suami yang lain. Ini pun termasuk jenis yang harus dijauhi.

Haddaqah ialah wanita yang memanah segala sesuatu dengan kedua matanya lalu menyukainya dan membebani suami untuk membelinya.

Barraqah mengandung dua makna:

Wanita yang sepanjang hari merias wajahnya agar wajahnya menjadi berkilau yang diperoleh dengan cara meriasnya.
Marah terhadap makanan. Ia tidak makan kecuali sendirian dan menguasai bagiannya dari segala sesuatu. Ini bahasa Yaman. Mereka mengatakan: “Bariqat al-Mar-ah wa Bariqa ash-Shabiyy ath-Tha’aam,” jika marah pada makanan itu.
Dan syaddaqah ialah wanita yang banyak bicara.[10]

Ketiga:
DI ANTARA SIFATNYA IALAH BERSABAR DAN TIDAK BERSEDIH.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ وَشَقَّ الْجُيُوْبَ وَدَعَـا بَدُعَـاءِ الْجَـاهِلِيَّةِ.

‘Bukan termasuk golonganku orang yang menampar pipi dan merobek saku baju serta berseru dengan seruan Jahiliyyah (ketika mendapat musibah).‘”[11]

Seruan Jahiliyah, sebagaimana kata al-Qadhi: “Ialah meratapi mayit dengan mengutuk.”

Dalam kitab ash-Shahiihain, dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: “Abu Musa sakit keras, lalu dia pingsan dan kepalanya berada di pangkuan salah seorang isterinya, maka isterinya berteriak dan Abu Musa tidak mampu mencegahnya sedikit pun. Ketika siuman, dia berkata: ‘Aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri shaliqah, haliqah, dan syaqqah.[12]‘”[13]

Abu Dawud meriwayatkan dari seorang wanita yang turut membai’at Rasulullah, ia mengatakan: “Di antara isi janji yang diambil oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kami di dalam kebaikan yang mana kami tidak boleh melanggarnya ialah: ‘Kami tidak boleh mencakar-cakar wajah, tidak boleh mengutuk, tidak boleh merobek-robek baju, dan tidak boleh mengacak-acak rambut.’”[14]

Muslim meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha, ia menuturkan: “Ketika Abu Salamah meninggal, aku mengatakan: ‘Ia asing dan di bumi asing.’ Sungguh aku akan menangisinya dengan tangisan yang akan terus dibicarakan orang. Aku telah siap untuk menangisinya. Tiba-tiba datang seorang wanita dari dataran tinggi bermaksud menyertaiku (dalam tangisan). Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadangnya seraya bertanya: ‘Apakah engkau ingin memasukkan syaitan ke dalam rumah yang telah Allah bebaskan darinya?’ Diucapkannya dua kali. Lalu aku menahan tangisan, sehingga aku tidak menangis.”[15]

Keempat:
DIA TIDAK MEREMEHKAN DOSA.
Ahmad meriwayatkan dari Suhail bin Sa’ad, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ، كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ فَجَاءَ ذَا بِعُوْدٍ وَجَـاءَ ذَا بِعُوْدٍ، حَتَّـى انْضَجُوْا خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكُهُ.

‘Janganlah kalian meremehkan dosa-dosa kecil, seperti kaum yang berada di perut lembah lalu masing-masing orang mem-bawa sepotong kayu sehingga dapat menanak roti mereka. Sesungguhnya bila dosa-dosa kecil itu pelakunya dihukum, maka dosa-dosa tersebut akan mencelakakannya.‘”[16]

Kelima:
IA BERAKHLAK MULIA.
Inilah wanita yang senantiasa mempergauli suaminya dengan akhlak mulianya.

Ibnu Ja’dabah berkata: “Di tengah kaum Quraisy ada seorang pria yang berakhlak buruk. Tetapi tangannya suka berderma, dan dia orang yang berharta. Bila dia menikahi wanita, dipastikan dia akan menceraikannya karena akhlaknya yang buruk dan kurangnya ketabahan isterinya. Kemudian dia meminang seorang wanita Quraisy yang berkedudukan mulia. Ia telah mendapatkan kabar tentang keburukan akhlaknya. Ketika mahar diputuskan di antara keduanya, pria ini berkata: ‘Wahai wanita, sesungguhnya pada diriku terdapat akhlak yang buruk dan itu tergantung pada ketabahan, jika engkau bersabar terhadapku (maka kita lanjutkan pernikahan ini), namun jika tidak, maka aku tidak ingin memperdayamu terhadapku.’ Wanita ini mengatakan: ‘Sesungguhnya orang yang akhlaknya lebih buruk darimu ialah orang yang membawamu kepada akhlak yang buruk.’ Akhirnya wanita ini menikah dengan-nya, dan tidak pernah terjadi di antara keduanya kata-kata (cerai) hingga kematian memisahkan di antara keduanya.”[17]


Keenam:
DI ANTARA SIFATNYA IALAH TIDAK MENCERITA-KAN TENTANG WANITA LAINNYA KEPADA SUAMI-NYA.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تُبَاشِرُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا، كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا.

“Janganlah wanita bergaul dengan wanita lainnya lalu menceritakannya kepada suaminya, seolah-olah suaminya melihat-nya.“[18]

Ketujuh:
IA TIDAK MEMAKAI PARFUM (MINYAK WANGI) KETIKA KELUAR DARI RUMAHNYA DAN MEMELIHARA HIJABNYA.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَ.

‘Siapa pun wanita yang mengasapi dirinya dengan pedupaan (sebagai parfum), maka janganlah ia mengikuti shalat ‘Isya’ yang terakhir bersama kami.’”[19]

Hal ini dalam hubungannya dengan shalat; maka bagaimana halnya dengan wanita yang keluar rumah dengan berhias serta memakai parfum untuk selain shalat?!

Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa shalatnya ini tidak diterima, sekiranya dia pergi ke masjid dengan keadaan seperti ini. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa dia bertemu seorang wanita yang memakai parfum hendak menuju ke masjid, maka dia berkata: “Wahai hamba Allah Yang Mahaperkasa, engkau hendak ke mana?” Ia menjawab: “Ke masjid.” Abu Hurairah bertanya: “Untuk ke masjid engkau memakai parfum?” Ia menjawab: “Ya.” Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَـا امْرَأَةٍ تَطَيَبَّتْ ثُمَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ لَمْ تُقْبَلْ لَهَا صَلاَةٌ حَتَّى تَغْتَسِلَ.

‘Wanita mana saja yang memakai parfum kemudian keluar menuju masjid, maka tidak diterima shalatnya hingga ia mandi.’”[20]

Dalam riwayat Ahmad:

فَتَغْتَسِلُ مِنْ غَسْلِهَا مِنَ الْجَنَابَةِ.

“Maka dia harus mandi seperti dia mandi dari janabah.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa jika wanita memakai wewangian di rumahnya lalu keluar sehingga orang-orang mencium aromanya, maka dia adalah pezina. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لَيَجِدُوْا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ.

“Wanita mana saja yang memakai parfum lalu melintas di hadapan orang-orang agar mereka mencium aromanya, maka dia adalah pezina.”[21]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]


Footnote
[1] HR. Al-Bukhari (no. 5090) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1466) kitab ar-Radhaa’, Abu Dawud (no. 2046) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3230) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1858) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 9237).
[2] HR. Ibnu Majah (no. 1859) kitab an-Nikaah.
[3] ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud.
[4] HR. Ibnu Majah (no. 1857) kitab an-Nikaah, dan didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Misykaah (no. 3095).
[5] Ahmad (I/168) dengan sanad yang shahih.
[6] HR. Ibnu Majah (no. 1856) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1505), dan lihat as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 2176).
[7] HR. ‘Abdurrazzaq (II/152), al-Bazzar dalam Kasyful Astaar (no. 1474). Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawaa-id (III/308): “Di dalamnya terdapat Rusydain bin Kuraib dan dia dha’if.”
[8] HR. Al-Bukhari (no. 130) kitab ath-Thahaarah, Muslim (no. 313) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 122), an-Nasa-i (no. 196), Ibnu Majah (no. 601), Ahmad (no. 25964), Malik (no. 118).
[9] HR. Al-Bukhari (no. 7310), Muslim (no. 2634), an-Nasa-i (no. 1876), Ibnu Majah (no. 1603), Ahmad (no. 10722).
[10] Al-Ihyaa’ (IV/712-713).
[11] HR. Al-Bukhari (no. 1298) kitab al-Janaa-iz, Muslim (no. 103) kitab al-Iimaan, at-Tirmidzi (no. 999) kitab al-Janaa-iz, an-Nasa-i (no. 1860) kitab al-Janaa-iz, Ibnu Majah (no. 1584) kitab Maa Jaa-a fil Janaa-iz, Ahmad (no. 3650).
[12] Shaaliqah ialah wanita yang mengeraskan suaranya dan meraung-raung ketika mendapatkan musibah, haaliqah ialah wanita  yang menggunting rambutnya ketika mendapat musibah, dan syaaqqah ialah wanita yang merobek bajunya (ketika mendapat musibah).
[13] Al-Bukhari, Fat-hul Baari (III/165), Muslim (no. 104) kitab al-Janaa-iz, an-Nasa-i (no. 1861) kitab al-Janaa-iz, Abu Dawud (no. 3130) kitab al-Janaa-iz, Ibnu Majah (no. 1586) kitab Maa Jaa-a fil Janaa-iz, Ahmad (no. 19041).
[14] HR. Abu Dawud (no. 3131) kitab al-Janaa-iz, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkaamul Janaa-iz (hal. 30), hadits ini hanya diriwayatkan oleh Abu Dawud.
[15] HR. Muslim (no. 922) kitab al-Janaa-iz, Ahmad (no. 25933).
[16] HR. Ahmad (no. 22302).
[17] Ahkaamun Nisaa’, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (hal. 82).
[18] HR. Al-Bukhari (no. 5240) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2150) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 2792) kitab al-Adab, Ahmad (no. 3659).
[19] HR. Muslim (no. 444) kitab az-Ziinah, an-Nasa-i (no. 5128) kitab az-Ziinah, Abu Dawud (no. 4173) kitab at-Tarajjul, Ahmad (no. 7975).
[20] HR. Abu Dawud (no. 4174) kitab at-Tarajjul, Ibnu Majah (no. 4002) kitab al-Fitan. Para perawinya tsiqah kecuali ‘Ashim bin ‘Abdillah, dia seorang yang dha’if dan para ahli hadits mengingkari haditsnya.
[21] HR. At-Tirmidzi (no. 2786) kitab al-Adab, an-Nasa-i (no. 5126) kitab az-Ziinah, Abu Dawud (no. 4173) kitab at-Tarajjul, Ahmad (no. 19080, 19212, 19248), ad-Darimi (no. 2646) kitab al-Isti’-dzaan, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i (no. 4737) dan al-Misykaah (no. 1065).

Surat Al-Baqarah, Mengusir Setan Dari Rumah Anda

Surat Al-Baqarah, Mengusir Setan Dari Rumah Anda

Bismillah, walhamdulillah, was sholaatu was salaam ‘ala Rasulillah, wa ba’du..

Kita semua gelisah dan tidak suka, jika rumah kita menjadi tempat singgahan setan. Karena Allah ta’ala telah menetapkan, setan sebagai musuh yang sebenarnya bagi manusia. Sudah pasti tak ada keiinginan yang lebih besar dalam benak mereka, kecuali menimpakan bahaya dan malapetaka kepada manusia, baik berkaitan agama ataupun dunia mereka.

Membaca surat Al-Baqarah, adalah salah satu senjata jitu untuk mengusir setan dari rumah anda.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan,

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

 “Jangan jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan itu akan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah di dalamnya.” 

(HR. Muslim no. 780, dari Abu Hurairah –radhiyallahu’anhu-)

Dalam hadis lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ سَنَامًا وَسَنَامُ الْقُرْآنِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا سَمِعَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ تُقْرَأُ خَرَجَ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي يُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

“Sesungguhnya segala sesuatu punya puncak, dan puncak Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah, dan sesungguhnya setan jika mendengar surah Al-Baqarah dibaca maka ia akan keluar dari rumah yang dibaca di dalamnya surah Al Baqarah.” (HR. Hakim, dinilai Hasan oleh Syaikh Albani).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan sebab mengapa membaca surat Al-Baqarah dapat mengusir setan dari rumah,

“ Setan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah. Maksudnya adalah, jika anda membaca surat Al-Baqarah, maka setan akan lari keluar dari rumah anda dan tidak akan mendekat. Sebabnya, karena dalam surat Al-Baqarah terdapat ayat kursi, nama-nama Allah serta terkandung ayat-ayat yang dapat mengusir setan dan membekas pada diri mereka.”

(Syarah Riyadhusshalihin 4/684).

Bagaimana Teknis Membacanya?

Tidak diharuskan dibaca dengan suara lantang. Membacanya dengan lirih, itu sudah mencukupi.

Demikian juga tidak disyaratkan supaya berkhasiat mengusir setan, harus dibaca selesai pada hari itu juga. Boleh dicicil setiap harinya.

Dan boleh dikhatamkan dengan cara dibagi beberapa orang. Masing-masing membaca jatahnya. Akantetapi yang lebih utama, masing-masing membaca surat Al-Baqarah secara sempurna.

(https://islamqa.info/ar/69963)

Cukupkah dengan Rekaman Mp3?

Kita simak penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berikut ini,

لا، لا، صوت الشريط ليس بشيء، لا يفيد؛ لأنه لا يقال ” قرأ القرآن “، يقال: ” استمع إلى صوت قارئ سابق “، ولهذا لو سجلنا أذان مؤذن فإذا جاء الوقت جعلناه في ” الميكرفون ” وتركناه يؤذن هل يجزئ؟ لا يجزئ، ولو سجلنا خطبة مثيرة، فلما جاء يوم الجمعة وضعنا هذا المسجل وفيه الشريط أمام ” الميكرفون ” فقال المسجل ” السلام عليكم ورحمة الله وبركاته ” ثم أذن المؤذن، ثم قام فخطب، هل تجزئ؟ لا تجزئ، لماذا؟ لأن هذا تسجيل صوت ماض، كما لو أنك كتبته في ورقة أو وضعت مصحفا في البيت، هل يجزئ عن القراءة؟ لا يجزئ

Suara murotal pada kaset tidak cukup, tidak dapat berfungsi mengusir setan. Karena rekaman kaset tidak bisa dikatakan “membaca Alquran”. Lebih tepat bila dikatakan,”Dengarkanlah suara Qori’ (pembaca Alquran) sebelumnya.” Oleh karena itu seandainya kita merekam azan, kemudian saat tiba waktu sholat kita perdengarkan di mikrofon, tanpa kita mengumandang azan, apakah ini cukup? Tidak cukup..

Atau kita merekam khutbah jumat yang membangkitkan semangat, kemudian ketika tiba hari jumat, rekaman tersebut kita perdengarkan melalui mikrofon, khotib dalam rekaman itu mengucapkan “Assalamualaikum waeahmatullah wa barakatuh,” Lalu muadzin mengumandangkan azan. Setelah azan selesai khutbah diperdengarkan kembali, apakah seperti ini sah? Tidak sah.

Mengapa?

Karena rekaman adalah suara yang telah berlalu. Seperti misalnya anda menulis transkip rekaman pada secarik kertas atau meletakkan mushaf di rumah, apakah hal tersebut dapat mewakili bacaan? Tidak…

(Liqa’ Bab Al-Maftuh, soal nomor 986).

Berapa Kali Membaca Al-Baqarah?

Ada hadis yang menjelaskan, bahwa surat Al-Baqarah dibaca setiap malamnya atau siangnya. Dengan melakukan hal tersebut, setan tidak akan mendekat sampai tiga malam atau tiga hari berikutnya.

Dari Sahl bin Said beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahualaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ سَنَامًا ، وَإِنَّ سَنَامَ الْقُرْآنِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ ، مَنْ قَرَأَهَا فِي بَيْتِهِ لَيْلًا لَمْ يَدْخُلِ الشَّيْطَانُ بَيْتَهُ ثَلَاثَ لَيَالٍ ، وَمَنْ قَرَأَهَا نَهَارًا لَمْ يَدْخُلِ الشَّيْطَانُ بَيْتَهُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ

“Sesungguhnya segala sesuatu punya puncak, dan puncak Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah. Siapa yang membacanya di rumahnya pada malam hari, setan tidak akan masuk ke rumahnya selama tiga malam. Dan siapa yang membacanya di siang hari, setan tidak akan bisa masuk rumahnya selama tiga hari.” (HR. Ibnu Hibban dan Baihaqi).

Namun, kalimat terkahir dari hadis ini; yaitu bagian yang menjelaskan siapa yang membaca surat Al-BAqarah pada malam hari, setan tidak akan masuk rumahnya selama tiga malam, sampai akhir hadis, dinilai oleh para ulama hadis statusnya dhaif. Mengingat diantara daftar perawinya ada yang bernama Khalid bin Sa’id, yang dinilai oleh para ulama sebagai perawi yang lemah.

(Lihat : Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho’ifah, Syaikh Albani, nomor hadis 1349).

Sehingga yang benar, dalam hal ini tidak ada batasan tertentu terkait harus berapa kali membacaan surat Al-Baqarah. Sebagaimana dijelaskan dalam fatwa Lajnah Daimah (Komisi Riset Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi),

” ليس لقراءة سورة البقرة حد معين ، وإنما يدل الحديث على شرعية عمارة البيوت بالصلاة وقراءة القرآن ، كما يدل على أن الشيطان يفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة ، وليس في ذلك تحديد ، فيدل على استحباب الإكثار من قراءتها دائما لطرد الشيطان

Tidak ada batasan tertentu terkait pembacaan surat Al-Baqarah.Yang ditunjukkan oleh hadis adalah, perintah memakmurkan rumah dengan sholat dan membaca Alquran. Sebagaimana dijelaskan bahwa setan akan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah. Dan tidak ada batasan jumlah tertentu dalam hal ini. Hadis tersebut menunjukkan anjuran memperbanyak membaca surat Al-Baqarah, untuk mengusir setan dari rumah… (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 3/127-128).

Diantara hikmahnya adalah, kita akan mempersering membaca surat Al-Baqarah. Tidak ada dalil yang menerangkan jaminan, bahwa setan tidak akan lagi kembali ke rumah setelah dibacakan surat Al-Baqarah.

Setan mungkin saja kembali setelah selesai pembacaan surat Al-Baqarah. Sebagaimana yang terjadi pada adzan, setan lari terbirit-birit ketika mendengar azan. Namun setelah azan selesai, setan kembali lagi untuk menggoda orang-orang sholat. Demikian pula yang terjadi pada pembacaan surat Al-Baqarah di rumah.

Maka tidak adanya dalil yang menerangkan batasan pembacaan surat Al-Baqarah, seyogyannya menjadi motivasi untuk sering mengisi rumah kita, dengan bacaan surat Al-Baqarah.

Demikian..

Wallahua’lam bis showab.

Masa Muda Waktu Utama Beramal Salih

Masa Muda Waktu Utama Beramal Salih 


Masa muda adalah waktu utama kita untuk beramal sholeh.

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.

Wahai Pemuda, Hidup Di Dunia Hanyalah Sementara

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ , أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)

Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia. Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)

Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ

Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)

Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu

Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara :

[1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,

[2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,

[3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,

[4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,

[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)

Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.” Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.” Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatklah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.” Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: ”Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.” Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”

Al Munawi mengatakan,

فَهِذِهِ الخَمْسَةُ لَا يَعْرِفُ قَدْرَهَا إِلاَّ بَعْدَ زَوَالِهَا

“Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)

Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti berada di usia senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.

Orang yang Beramal Di Waktu Muda Akan Bermanfaat Untuk Waktu Tuanya

Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu [1] Baitul Maqdis yang terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-, [2] Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95] : 4-6)

Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah. “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”. Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal”. Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.

An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka akan dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”

Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka, walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)

Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54.

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)

Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan mengenai fase kehidupan, tahap demi tahap. Awalnya adalah dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh (segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu berubah menjadi tulang yang dibalut daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari perut ibunya dalam keadaan lemah, kecil dan tidak begitu kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga menjadi seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi seorang pemuda, remaja. Inilah fase kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu setelah itu, dia menginjak fase dewasa (usia 30-50 tahun). Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase inilah berkurangnya semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)

Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan.

Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan beramal.

Daud Ath Tho’i mengatakan, “Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada akhir perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka lakukanlah. Berakhirnya safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, kematian itu datangnya tiba-tiba“. (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh Abdurrahman As Suhaim)

Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)

Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang membaca risalah ini. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.

***