Menebar Kasih Sayang

Menebar Kasih Sayang 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada :

إِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang (HR At-Thobrooni dalam al-Mu’jam al-Kabiir, dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam shahih Al-Jaami’ no 2377)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda

الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَانُ، اِرْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Para pengasih dan penyayang dikasihi dan di sayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yagn ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Thirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925)

Kata dalam مَنْ sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah isim maushuul, yang dalam kadiah ilmu ushuul fiqh memberikan faedah keumuman. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memerintahkan kita untuk merahmati orang yang sholeh saja… bahkan Nabi memerintahkan kita untuk merahmati seluruh manusia… dan bukan hanya manusia.. bahkan hewan-hewanpun termasuk di dalamnya.

Al-Munaawi rahimahullah berkata,

بِصِيْغَةِ الْعُمُوْمِ يَشْمَلُ جَمِيْعَ أَصْنَافِ الخَلاَئِقِ فَيُرْحَمُ البَرّ وَالفَاجِرُ وَالنَّاطِقُ والْمُبْهَمُ وَالْوَحْشُ وَالطَّيْرُ

“Sabda Nabi ((rahmatilah yang ada di bumi)) dengan konteks keumuman, mencakup seluruh jenis makhluk, maka mencakup rahmat kepada orang baik, orang fajir, orang yang berbicara, orang yang bisu, hewan dan burung” (Faidhul Qodiir 1/605)

Perhatikanlah para pembaca yang budiman… kita diperintahkan oleh Allah bukan hanya untuk merahmati manusia… bahkan kita diperintahkan untuk merahmati hewan…!!!

قال رجلٌ : يا رسول الله! إني لأذبح الشاة فأرحمُها، قال: ” والشَّاة إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ اللهُ” مَرَّتَيْنِ

Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, aku menyembelih seekor kambing lantas aku merahmatinya”, Rasulullah berkata, “Bahkan seekor kambing jika engkau merahmatinya maka Allah akan merahmati engkau”, Rasulullah mengucapkannya dua kali (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dishahihkan oleh Syaikh Albani di as-Shahihah no 26)

Orang yang menyembelih seekor kambing tanpa ada rasa rahmat dengan mengasah parangnya di hadapan kambing tersebut misalnya, atau menyembelihnya dengan parang yang tidak tajam sehingga menyakiti kambing tersebut misalnya… tentu tidak sama dengan seseorang yang menyembelih kambing namun dengan rasa rahmat kepada sang kambing, sehingga ia berusaha menyembelih kambing tersebut dengan sebaik-baiknya. Orang yang merahmati kambing maka Allah akan merahmati orang tersebut, bahkan Rasulullah menegaskan hal ini sebanyak dua kali.

Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةً، رَحِمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat” (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dihasankan oleh Syaikh Albani)

Seseorang yang merahamati seekor sembelihan bukan hanya dirahmati oleh Allah di dunia, bahkan dirahmati oleh Allah pada hari kiamat kelak, hari dimana setiap kita membutuhkan kasih sayang Allah.

Bahkan jika seseorang merahmati seekor anjing… renungkanlah hadits ini

بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ

Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)

Jika merahamati seekor hewan maka mendatangkan rahmat Allah dan kasih sayang Allah maka bagaimana lagi jika kita merahmati sesama manusia ???

Merahmati seorang fajir

Perintah Allah untuk menebarkan kasih sayang berlaku umum bahkan mencakup seorang pelaku kemaksiatan –sebagaimana perkataan Al-Munaawi di atas-. Bukankah kita kasihan tatkala melihat seseroang yang terjerumus dalam kemaksiatan… kasihan kehidupannya yang pernuh dengan kegelapan di dunia, terlebih-lebih lagi jika akhirnya masuk ke dalam neraka jahannam. Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk kasihan dan merahmatinya…??

Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk berdakwah kepadanya…??

Bukankah sebagian kita dahulu juga seperti itu..?? bukankah sering kita menanti-nanti ada yang mendakwahi kita tatkala itu..?? sungguh hati ini sangat bersedih jika ternyata orang-orang sholeh malah menjauhi mereka para pelaku kemaksiatan… hanya bisa mencemooh tanpa berusaha mendakwahi mereka…!!!

Saya jadi teringat dengan tentang pengakuan seorang remaja yang saya dengar di Idzaa’atul Qur’aan Al-Kariim (Radio dakwah Arab Saudi). Remaja tersebut bercerita bahwa ia dahulunya adalah seorang pecandu morfin selama bertahun-tahun, dan ibunya selalu melarangnya untuk mengkonsumsi morfin, akan tetapi teguran sang ibu tidak pernah ia hiraukan. Hingga bertahun-tahun berlalu sang ibu tidak bosan-bosannya menasehati dengan penuh kelembutan dan kasih sayang adapun ia juga tidak bosan-bosannya tidak menghiraukan teguran sang ibu. Hingga akhirnya pada suatu hari di hari jum’at setelah ashar (yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa sebagaimana pendapat sebagian ulama) maka sang ibu pun berdoa : “Yaa Allah sadarkanlah putraku atau cabutlah nyawanya agar ia berhenti dari kemaksiatannya“. Ternyata Allah mengabulkan doa sang ibu dan menyadarkannya dari kemaksiatan ini, hingga akhirnya iapun meninggalkan heroin. Demikian tutur sang pemuda.

Yang menjadi perhatian saya adalah di akhir tuturannya sang pemuda berkata, “Saya sering lewat di depan mesjid tatkala adzan dikumandangkan… dan saya tidak sholat, akan tetapi tidak seorang pun dari jama’ah masjid yang menegurku…!!!, bertahun-tahun lamanya.. tidak seorang pun dari mereka yang menegurku..!!”

Oleh karenanya para pembaca yang budiman kita juga semestinya berusaha untuk menebarkan rahmat dan kasih sayang meskipun kepada pelaku kemaksiatan dengan mendekatinya dan mendakwahinya semampu kita dengan cara yang selembut-lembutnya.

Merahmati pelaku bid’ah

Para pembaca yang budiman, termasuk pelaku kemaksiatan adalah pelaku bid’ah. Ketahuilah kebanyakan para pelaku bid’ah di zaman kita –terutama di tanah air kita- adalah orang-orang yang bodoh dan tidak paham dengan sunnah dan al-haq. Bahkan banyak diantara mereka yang sama sekali tidak mengenal dakwah sunnah, mereka mewarisi bid’ah yang mereka lakukan secara turun temurun.

Saya tidak berbicara tentang gembong-gembong bid’ah yang mengikuti hawa nafsu mereka sehingga nekad menolak atau mempelintir dalil-dalil demi melarisakan bid’ah mereka. Akan tetapi saya berbicara tentang mayoritas saudara-saudara kita yang terjerumus ke dalam bid’ah karena kejahilan dan ketidak tahuan mereka. Bukankah banyak diantara kita –bahkan sebagian besar kita- tidak mengenal sunnah sejak kecil?, akan tetapi mayoritas kita dahulu tenggelam di atas bid’ah sebagaimana kebanyakan masyarakat yang terjerumus dalam praktek-praktek bida’h. Bukankah kita mendapatkan hidayah dengan adanya seseorang salafy yang kemudian mendekat kepada kita sehingga kemudian menjelaskan sunnah kepada kita…??.

Oleh karenanya marilah kita merahmati para pelaku bid’ah dengan menyebarkan dakwah sunnah kepada mereka.

Syaikh Utsaimin berkata tentang para pelaku bid’ah:

وَهؤلاء الْمُخَرِّفُوْنَ مَسَاكِيْنُ، إِنْ نَظَرْنَا إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الْقَدْرِ؛ فَنَرَقَّ لَهُمْ، وَنَسْأَلُ اللهَ لَهُمُ السَّلاَمَةَ، وَإِنْ نَظَرْنَا إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الشَّرْعِ؛ فَإِنَّنَا يَجِبُ أَنْ نُنَابِذَهُمْ بِالْحُجَّةِ حَتىَّ يَعُوْدُوا إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ

“Para pelaku khurofat tersebut kasihan mereka, jika kita memandang mereka dengan pandangan taqdir (bahwasanya semua terjadi dengan taqdir Allah-pen) maka kita kasihan mereka, dan kita memohon kepada Allah keselamatan bagi mereka. Jika kita memandang mereka dengan pandangan syari’at mak wajib bagi kita melawan mereka dengan hujjah agara mereka kembali kepada jalan yang lurus” (Al-Qoul Al-Mufiid 1/65)

Bukankah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِِهِ

“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga ia menyukai bagi saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya”

Bukankah kita senang jika kita berada di atas ketaatan kepada Allah…??, maka hendaknya kita juga senang jika saudara kita juga demikian dan meninggalkan kemaksiatan yang dilakukannya. Bukankah seorang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan atau bid’ah juga masih merupakan saudara kita sesama muslim???

Praktek Ibnu Taimiyyah dalam merahmati pelaku bid’ah

Seseorang yang ikhlash adalah seseorang yang bersikap sesuai dengan kehendak Allah, bukan bergerak dengan kehendak hawa nafsunya. Inilah orang yang berjiwa besar. Tidak sebagaimana praktek sebagian orang yang berjiwa kecil, sehingga jika mudah marah karena mengikuti hawa nafsunya. Bahkan terkadang menghembuskan kemarahannya tersebut di balik topeng membela agama.. wallahul musta’aan.

Lihatlah bagaimana praktek Ibnu Taimiyyah terhadap musuh-musuhnya para pelaku bid’ah.. sungguh pelajaran yang sangat luar biasa.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berjihad dan membantah berbagai macam model bid’ah. Oleh karenanya kita dapati mayoritas kitab-kitab beliau adalah bantahan terhadap bid’ah-bid’ah terutama bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan aqidah. Sehingga banyak ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mereka berfatwa akan kafirnya Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Bahkan mereka berfatwa kepada Raja untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi… apakah Ibnu Taimiyyah pernah berfikir untuk membalas dendam jika ia mendapatkan kesempatan..??? perhatikanlah tiga kisah berikut ini:

Kisah pertama : Tentang Ibnu Taimiyyah dan sulthon Ibn Qolawuun

Ibnu Katsiir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-Nihaayah bercerita tentang kisah Ibnu Taimiyyah.

Sulthon An-Nashir Ibn Qolawuun memiliki para petinggi dari kalangan para ulama bid’ah yang memusuhi Ibnu Taimiyyah, dan mereka berfatwa kepada sang Sulthoon agar membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi sang sulthoon hanya memenjarakan Ibnu Taimiyyah dan tidak membunuhnya. Maka pada suatu saat datanglah Al-Jaasyinkir kemudian menggulingkan dan merebut kekuasaan sang Sulthoon. Akhirnya para petinggi tersebut berkhianat dan membelot meninggalkan sang sulthoon dan membai’at Al-Jaasyinkiir. Tentu hal ini membuat murka sang sulthoon. Maka sang sulthoon akhirnya berusaha merebut kembali kekuasaannya dan akhirnya ia berhasil. Ternyata para petinggi tersebut kembali kepada sang sulthoon, yang hal ini membuat sang sulthoon marah dan mengetahui bahwasanya mereka adalah para penjilat. Akhirnya sang suthoonpun mengeluarkan Ibnu Taimiyyah dari penjara dan menyambut Ibnu Taimiyyah dengan pernuh penghormatan di hadapan para petinggi tersebut yang pernah berfatwa untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Lantas sang sulthoon mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya yang ternyata isi kertas tersebut adalah fatwa para petinggi tersebut untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Tentunya sang sulthoon sudah menyimpan dendam yang sangat besar, dan berharap agar Ibnu Taimiyyah berfatwa sebaliknya untuk membunuh para petinggi tersebut.

Ibnu Taimiyyah berkata, “Akupun faham maksud sang Sulthoon, dan aku tahu bahwasanya ia menyimpan dendam dan kemarahan yang sangat dalam terhadap para ptinggi tersebut, karena mereka telah membelot darinya dan membai’an Al-Jasyinkir…, maka akupun mulai memuji para ulama, yaitu para petinggi tersebut, dan menyebutkan jasa mereka, dan seandainya mereka pergi maka sang sulthoon tidak akan mendapatkan petinggi-petinggi yang seperti mereka”. Sang sulthoon berkata, “Mereka (para ulama dan petinggi) tersebut telah menyakitimu dan berulang-ulang ingin agar engkau dibunuh”. Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang menyakitiku maka aku telah memafkannya, dan barangsiapa yang menyakiti Allah dan RasulNya maka Allah akan membalasnya, aku tidak akan membela diriku sendiri”. Akhirnya hilanglah kemarahan sang sulthoon. (Lihat kisah ini Al-Bidaayha wa An-Nihaayah 18/93-95 (tahqiq At-Turki) dan juga Al-‘Uquud Ad-Durriyyah hal 221)

Kisah kedua : Tatkala musuh beliau meninggal dunia

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih mengumpulkan sifat-sifat tersebut dari pada Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah (yaitu memafkan dan berbuat ihsan kepada orang lain). Sebagian sahabat senior Ibnu Taimiyyah berkata,

وَدِدْتُ أَنِّي لأَصْحَابِي مِثْلُهُ لأَعْدِائِهِ وَخُصُوْمِهِ

“Aku sangat berharap sikapku kepada sahabat-sahabatku sebagaimana sikap Ibnu Taimiyyah kepada musuh-musuh beliau”

Aku tidak pernah melihatnya mendoakan kejelekan kepada seorangpun dari musuh-musuhnya, bahkan beliau mendoakan mereka. Suatu hari aku mendatangi beliau member kabar gembira tentang meninggalnya musuh besarnya dan yang paling keras menentang dan menyakiti Ibnu Taimiyyah, maka beliaupun membentak aku dan mengingkari sikapku dan mengucapkan inaa lillahi wa inaa ilaihi rooji’uun. Lalu beliapun segera pergi menuju rumah keluarga musuhnya yang meninggal tersebut menyatkan turut berduka cita dan menghibur mereka dan berkata : “Sesungguhnya aku menggantikan posisinya bagi kalian. Karenanya jika kalian membutuhkan sesuatu dan bantuan maka aku akan membantu kalian” atau semisal perkataan ini, maka merekapun gembira dan mendoakan Ibnu Taimiyyah dan mereka menganggap ini perkara yang besar dari Ibnu Taimiyyah” (Lihat perkataan Ibnul Qoyyim ini di kitab beliau Madaarij As-Saalikiin 3/139-140)

Lihatlah bagaimana lapangnya hati Ibnu Taimiyyah, musuh besarnya yang sangat menentang dan paling menyakiti beliau tatkala meninggal maka Ibnu Taimiyyah segera menghibur keluarganya yang ditinggalkan. Bahkan Ibnu Taimiyyah membentak Ibnul Qoyyim yang bergembira dengan kematian musuhnya tersebut.

Kisah ketiga : Ibnu Taimiyyah dan Al-Bakri

Abul Hasan Nuurudiin Al-Bakri adalah salah seorang tokoh sufi yang membolehkan beristighotsah kepada Nabi setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pemikirannya telah dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Al-Istighootsah fi Ar-Rod ‘alaa Al-Bakriy”. Al-Bakri telah menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah seorang zindiiq bahkan terkadang ia mengkafirkan Ibnu Taimiyyah. Bahkan ia bersama pengikutnya telah mengeroyok untuk memukul Ibnu Taimiyyah. Tatkala orang-orang semakin banyak berkumpul melihat pengkeroyokan tersebut maka Al-Bakry pun kabur karena ketakutan. Akhirnya datanglah banyak orang dan juga tentara kepada Ibnu Taimiyyah meminta izin kepada beliau untuk menghukumi Al-Bakri akibat perbuatannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah berkata, “Aku tidak mau membela diriku”. Akan tetapi mereka tetap ngotot agar menghukumi perbuatan Al-Bakri. Akhirnya Ibnu Taimiyyah berkata, “Kalau bukan hak menghukuminya merupakan hak saya, atau merupakan hak kalian atau merupakan hak Allah. Jika hak tersebut adalah hak saya maka Al-Bakriy telah saya maafkan, dan jika hak menghukum adalah hak kalian maka jika kalian tidak mendengar nsehatku maka jangan meminta fatwa kepadaku, dan silahkan kalian melakukan apa yang kalian kehendaki. Dan jika hak adalah milik Allah maka Allah akan mengambil hakNya sesuai kehendakNya dan kapan saja Ia kehendaki”.

Maka tatkala kerajaan mencari-cari Al-Bakry untuk dihukum maka Al-Bakriy pun lari dan bersembunyi di rumah Ibnu Taimiyyah –tatkala beliau bermukim di Mesir- hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah member syafaat agar Raja mengampuni Al-Bakriy, dan akhirnya iapun dimaafkan” (Silahkan lihat kisah ini di Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 14/76 (tahqiq Ahmad Fatiih, cet pertama, daarul hadiits Al-Qoohiroh) dan Adz-Dzail ‘alaa Tobaqoot Al-Hanaabilah 2/400)

Para pembaca yang budiman… sungguh akhlaq yang sangat mulia dari Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Tatkala tiba kesempatan baginya untuk membalas dendam justru ia malah memaafkan musuh-musuhnya dari kalangan Ahlul Bid’ah. Hal ini bahkan telah dipersaksikan dan diakui oleh musuh-musuhnya. Diantaranya ada yang berkata,

مَا رَأَيْنَا مِثْلَ ابْنِ تَيْمِيَّةَ، حرَّضنَا عَلَيْهِ فَلَمْ نَقْدِرْ عَلَيْهِ، وقَدِرَ عَلَينَا فَصَفَحَ عَنَّا، وَحَاجَجَ عَنَّا

“Kami tidak pernah melihat seorangpun seperti Ibnu Taimiyyah, kami berusaha untuk mengganggunya namun kami tidak mampu untuk menjatuhkannya, dan tatkala ia mampu untuk menjatuhkan kami maka iapun memaafkan kami bahkan membela kami” (Ini merupakan perkataan Ibnu Makhluuf, silahkan lihat Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/95 tahqiq At-Turki)

Itulah Ibnu Taimiyyah yang berjiwa besar, mengambil tindakan bukan dengan hawa nafsunya, akan tetapi dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan kecuali oleh seseorang yang telah mengumpulkan keyakinan yang tinggi akan janji Allah dan kesabaran. Karena dengan dua sikap inilah (yakin dan sabar) maka seseorang akan meraih kepemimpinan dalam agama, sebagaimana yang telah diraih oleh Ibnu Taimiyyah. Beliu berkata dalam kalimat emasnya;

بِالصَّبْرِ وَالْيَقِيْنِ تُنَالُ الإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ

“Dengan kesabaran dan keyakinan maka akan diraih kepimimpinan dalam agama” (Al-Mustadrok ‘alaa Majmuu’ Al-Fataawaa 1/145)

Allah telah berfirman

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami (As-Sajdah ayat 24)

Para pembaca yang budiman… sungguh merupakan perkara yang sangat menyedihkan tatkala kita melihat diri kita atau sebagian kita yang sangat jauh dari akhlak orang yang kita kagumi ini yaitu Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yang seluruh hidupnya ia korbankan demi menegakkan aqidah dan manhaj salaf. Sungguh hati ini merasa sedih dan tersayat tatkala melihat sebagian kita mencela dan menghabisi sebagian yang lain diantara ahlus sunnah… lihatlah sikap Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mengkafirkan beliau… bahkan mengroyok beliau…, ini sikap beliau terhadap Ahlul Bid’ah, bagaimana lagi sikap terhadap sesame ahlus sunnah. Ya Allah Engkau Maha Tahu bahwasanya kami para dai jauh dari sikap dan akhlaq tersebut, maka ampunilah kami Yaa Gofuur Yaa Rohiim.

Apa yang saya tuliskan ini bukan berarti saya mengingkari praktek hajr terhadap pelaku maksiat ataupun kepada ahlul bid’ah… semuanya tetap berlaku dengan menimbang antara maslahat dan mudhorot sebagaimana telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya yang lalu. Allahul Musta’aan.

Berbuat Baik Dalam Segala Urusan

Berbuat Baik Dalam Segala Urusan 

Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus rodhiallohu ‘anhu, Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya Alloh mewajibkan (kalian) berbuat baik terhadap segala sesuatu, maka bila kalian hendak membunuh orang (dalam peperangan ataupun yang lainnya), bunuhlah dengan cara yang baik, dan bila kamu menyembelih (binatang), maka sembelihlah dengan cara yang baik, hendaklah kalian menajamkan pisau dan memperlakukan hewan sembelihan dengan lembut.” (HR Muslim)

AL-IHSAN
Al-Ihsan adalah menjadikan sesuatu menjadi baik. Dengan demikian, hakikat ihsan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan konteks pembicaraannya. Apabila dalam konteks pembicaraan ibadah maka hakikat ihsan dalam ibadah seperti telah dijelaskan pada hadits ke-2. Apabila dalam konteks pembicaraan muamalah dengan sesama maka hakikat ihsan adalah menunaikan hak-hak sesama dan tidak menzholiminya. Karena wujud sesama berbeda-beda, maka bentuk ihsannya pun berbeda-beda sesuai dengan keadaannya masing-masing.

Syariat mewajibkan untuk berbuat ihsan dalam segala hal. Pengambilan hukum wajib tersebut diambil dari kata kitaabah. Ulama ushul menyatakan bahwa kata kitaabah dan derivasinya menunjukkan makna wajib.

Tata Cara Menyembelih Yang Memenuhi Kriteria Ihsan
Ihsan dalam menyembelih adalah mencari cara terbaik agar sembelihan cepat mati tanpa menderita kesakitan. Hal itu bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Menajamkan pisau.
  2. Mempercepat jalannya pisau.
  3. Memegang sembelihan dengan benar.
  4. Ahli menggunakan pisau.
  5. Tidak di hadapan binatang lain.

Demikianlah Islam memerintah berbuat ihsan kepada binatang dan menunjukkan contoh prakteknya. Maka ihsan kepada yang lebih mulia kedudukannya dari pada binatang tentu lebih diperintahkan dan lebih dijelaskan contohnya. Oleh karena itu tuntutlah ilmu sebanyak-banyaknya tentang ihsan kepada Alloh, kepada sesama makhluk baik yang berakal atau tidak berakal. Sungguh rahmat Alloh dekat dengan muhsiniin.

Masihkah Terbuka Pintu Tobat?

Masihkah Terbuka Pintu Tobat?

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar. Selawat dan salam semoga tercurah kepada sang pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, Nabi akhir zaman pembawa rahmat bagi segenap alam. Amma ba’du.

Tobat adalah nikmat yang sangat besar bagi seorang hamba. Karena dengan bertobat kepada Allah, maka seorang hamba kembali kepada jalan ketaatan dan amal saleh setelah sebelumnya dia terjerumus dan terseret dalam arus dosa dan kemaksiatan. Maka, menjadi harapan setiap muslim untuk terus bertobat dalam setiap hari yang dia lalui karena dia menyadari bahwa dirinya penuh dengan dosa dan kekurangan dalam mengabdi kepada Ar-Rahman.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima tobat pelaku dosa di siang hari dan membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima tobat pelaku dosa di malam hari, sampai matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Muslim)

Kesempatan untuk bertobat masih terus terbuka selama nyawa belum berada di tenggorokan. Tidakkah kita mengingat kisah seorang pembunuh 100 nyawa yang masih diberi kesempatan bertobat dan Allah pun menerima tobatnya. Tidakkah kita ingat kisah tobatnya Ka’ab bin Malik dan teman-temannya radhiyallahu ’anhum yang diabadikan di dalam Al-Qur’an, sebagai pelajaran, peringatan, dan nasihat bagi setiap insan beriman.

Bertobat dari keteledoran

Nikmat yang Allah berikan kepada kita tiada terhingga, tetapi seringkali kita tidak menunaikan syukur atasnya dengan baik. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hakikat syukur adalah mengakui limpahan nikmat (dari Allah) dan berusaha menunaikan pengabdian (kepada-Nya). Barangsiapa yang perkara ini semakin banyak muncul dari dirinya, maka dia disebut sebagai syakuur (orang yang pandai bersyukur). Dari sanalah, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan, “Betapa sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (lihat Fath Al-Bari, tahqiq Syaibatul Hamdi, 3: 20)

Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hak-hak Allah itu terlalu agung sehingga para hamba tidak akan bisa menunaikan hak-hak Allah secara sepenuhnya. Sebab, nikmat-nikmat dari-Nya amat besar sehingga terlalu banyak untuk bisa dihingga (dihitung). Meskipun demikian, mereka selalu berusaha untuk menjadi orang-orang yang patuh di pagi hari dan menjadi orang-orang yang selalu bertobat di sore hari.” (lihat Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Ibnu Baththal, 3: 122)

Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Sungguh apabila aku mendapatkan kesehatan dan kelapangan kemudian aku menunaikan syukur, itu jauh lebih aku sukai daripada aku tertimpa cobaan (musibah) sehingga aku harus bersabar menghadapinya.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 441)

Abu Abdillah Ar-Razi rahimahullah berkata, “Sufyan bin ‘Uyainah berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya di antara bentuk syukur atas nikmat-nikmat Allah adalah dengan engkau memuji-Nya atas hal itu dan engkau gunakan nikmat-nikmat itu di atas ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu, bukanlah orang yang bersyukur kepada Allah orang yang menggunakan nikmat-nikmat dari-Nya justru untuk melakukan maksiat (kedurhakaan) kepada-Nya.’” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 441)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Orang yang bersyukur itu adalah orang yang mengetahui (menyadari) bahwa nikmat itu berasal dari Allah Ta’ala. Allah memberikan nikmat itu kepadanya untuk melihat bagaimana dia bersyukur, bagaimana dirinya bersabar?” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang memandang tidak ada kenikmatan dari Allah kepada dirinya selain hanya dalam urusan makanan dan minumannya, sungguh telah sedikit fikih/ilmunya dan telah datang azab pada dirinya.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 885)

Wajibnya bersabar dan bersyukur

Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah berkata, “Setiap kenikmatan yang tidak semakin menambah kedekatan kepada Allah ‘Azza  Wa Jalla, maka pada hakikatnya hal itu adalah bencana.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 888)

Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ’anhu berkata, “Kami diuji dengan kesulitan, maka kami pun bisa bersabar. Akan tetapi, tatkala kami diuji dengan kesenangan, maka kami pun tidak bisa bersabar.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 163)

Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah, itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 164)

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah menjadi fakih (ahli ilmu) barangsiapa yang tidak bisa menganggap bahwa musibah (duniawi) adalah nikmat (agama) dan kelapangan (dunia) adalah musibah.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 165)

Bisyr bin Al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui seorang pun, kecuali dia pasti tertimpa cobaan. Seorang yang Allah berikan kelapangan pada rezekinya, maka Allah ingin melihat bagaimana dia menunaikan syukur atas hal itu. Dan seorang yang Allah ‘Azza Wajalla cabut sebagian dari rezekinya, ketika itu Allah ingin melihat bagaimanakah dia bisa bersabar.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i li Hilyah Al-Auliya’, hal. 172)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Ibnu Katsir rahimahullah menyimpulkan bahwa makna ayat di atas adalah, “Sesungguhnya Aku menciptakan mereka tidak lain untuk Aku perintahkan mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena kebutuhan-Ku kepada mereka.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim [7: 425])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bahkan, ibadah kepada Allah, ma’rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya, itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya…” (lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir [5: 97])

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Dia (Allah) tidaklah membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kafir, maka kerajaan Allah tidak akan berkurang. Bahkan, kamulah yang membutuhkan diri-Nya. Kamu yang memerlukan ibadah itu. Salah satu bentuk kasih sayang Allah adalah memerintahkanmu beribadah kepada-Nya demi kemaslahatan dirimu. Jika kamu beribadah kepada-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Ibadah menjadi sebab Allah memuliakan kedudukanmu di dunia dan di akhirat. Jadi, siapakah yang memetik manfaat dari ibadah? Yang memetik manfaat dari ibadah adalah hamba. Adapun Allah Jalla Wa ‘Ala, Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 

Tips Tips Mengurus Anak

Tips Tips Mengurus Anak 

1. Menyusukan anak pada selain ibunya

Hendaknya seorang bayi disusui oleh wanita selain ibunya setelah dua atau tiga hari dari kelahirannya. Inilah yang terbaik. Pasalnya, air susu ibu (ASI) pada saat itu terlalu kasar dan bercampur, berbeda dengan air susu wanita yang profesinya adalah menyusui. Setiap orang Arab sangat peduli dalam hal ini sehingga mereka menyusukan anak-anak mereka kepada kaum wanita di pedesaan. Sebagaimana penyusuan Nabi shalallahu’alaihi wa sallam pun dilakukan di Bani Sa’ad. (Menurut kebiasaan orang Arab_ red. )

2. Jangan diajak jalan sebelum tiga bulan

Sebaiknya jangan membawa bayi untuk diajak jalan berkeliling sampai ia berumur tiga bulan atau lebih. Sebab, pada saat itu bayi masih dekat dengan perut ibunya, dan fisiknya yang masih lemah.

3. Memberi ASI sampai gigi tumbuh

Hendaknya ASI diberikan secara eksklusif sampai gigi bayi tumbuh. Karena, pada saat itu lambung bayi masih lemah dan daya mereka untuk mencerna makanan pun belum kuat. Setelah tumbuh gigi, lambung bayi pun menjadi kuat sehingga mampu mencerna makanan. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menunda tumbuhnya gigi sampai mereka mulai membutuhkan makanan. Hal itu menunjukkan kebijaksanaan, kelembutan serta kasih sayang-Nya kepada para ibu dan puting susunya sehingga bayi itu tidak menggigit puting tersebut dengan giginya.

4. Memberi makanan secara bertahap

Hendaknya makanan tambahan diberikan secara bertahap kepada sang anak. Makanan pertama yang diberikan adalah makanan yang lembut, seperti roti yang lembut dicampur dengan air hangat dan susu cair atau susu kental (jelly). Setelah itu, barulah mereka diberi makanan berupa masakan dan sayuran tanpa dicampuri dengan daging. Tahap berikutnya, mereka diberi daging yang sangat lembut setelah dihancurkan atau dilembutkan secara halus.

5. Saat anak sudah mulai bicara

Apabila masa seorang anak untuk mulai berbicara telah dekat, dan Anda ingin memudahkan mereka berbicara, maka tetesilah lidah mereka dengan madu dan air hangat dicampur garam dzar-ani (garam yang warnanya sangat putih atau garam beryodium). Karena keduanya (madu dan garam) dapat mengurai kelembaban yang pekat pada enzim mulut yang dapat menghalangi anak itu dari berbicara.

Ketika mulai berbicara, maka tuntunlah sang anak mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah. Hendaklah yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah pengetahuan untuk mengenal dan mengesakan Allah ‘azza wa jalla. Katakan kepada mereka bahwa Allah ‘azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya, Dia melihat mereka, mendengar segala perkataan dan senantiasa bersama mereka di mana pun mereka berada.

Kaum Bani Israil sering memberi nama anak-anak mereka dengan Immanuel, yang berarti “Tuhan kami bersama kami’. Oleh karena itu, nama yang paling dicintai oleh Allah yaitu ‘Abdullah (hamba Allah) dan ‘Abdurrahman (hamba ar-Rahman). Dengan harapan, semoga ketika anak itu sadar dan mampu memahami maknanya, maka ia akan mengetahui bahwasanya ia adalah hamba Allah, dan Allah adalah Majikan dan Penolongnya.

6. Saat gigi anak tumbuh

Apabila masa tumbuh gigi telah tiba, sebaiknya setiap hari gusi-gusi si bayi diolesi keju atau mentega. Sementara pangkal leher mereka diolesi minyak sesering mungkin. Ekstra hati-hatilah pada saat gigi mereka mulai tumbuh hingga semuanya tumbuh secara sempurna dan kuat, sebaiknya hindari makanan yang keras, jangan sampai mereka mengonsumsinya. Sebab, hal itu akan mengakibatkan gigi menjadi rusak, tidak rata, dan berbagai jenis kerusakan lainnya.

7. Tangisan bayi

Sebaiknya orang tua jangan merasa terganggu dengan tangisan dan teriakan bayi, terutama ketika dia membutuhkan air susu saat merasa lapar, karena tangisan tersebut sangat bermanfaat bagi perkembangan bayi. Dengan menangisnya seorang bayi, maka seluruh anggota badannya akan bergerak. Selain itu juga dapat memperluas lambung dan melapangkan dadanya, menghangatkan otak dan menghidupkan nalurinya, serta membangkitkan kekuatan instingnya. Dengan tangisan itu pula, seorang bayi membuang segala kotoran dan hal yang tidak diperlukan oleh tubuhnya, serta dapat membuang zat dan materi yang berlebihan dan tidak berguna bagi otaknya, seperti lendir pada hidungnya serta kotoran lainnya.

8. Melatih anak bergerak

Hendaknya jangan diremehkan untuk membedong bayi-walaupun membuatnya sedikit merasa tidak nyaman-sampai badannya tegak dan anggota-anggota tubuhnya kuat untuk duduk di lantai. Pada saat inilah, anak harus dilatih dan dibiasakan untuk bergerak, namun jangan terburu-buru. Begitu juga ia harus dilatih untuk belajar berdiri sedikit demi sedikit hingga betul-betul memiliki kekuatan untuk melakukannya sendiri.

9. Menghindarkan anak dari gangguan

Anak bayi seharusnya dilindungi dari segala sesuatu yang mengejutkan. Seperti suara yang keras, pemandangan yang mengerikan, serta gerakan-gerakan yang mengganggu. Sebab, hal itu mungkin akan mengakibatkan melemahnya daya intelegensi, sehingga dia tidak bisa memanfaatkannya saat besar nanti. Apabila si anak mengalami hal tersebut, maka sesegera mungkin ia harus dikembalikan dalam kondisi yang tenang, yaitu dengan memberikan ketenangan dan ketenteraman pada dirinya. Seperti dengan menyusuinya, supaya ingatannya pada sesuatu yang telah mengganggunya itu hilang, sehingga tidak meresap dalam pikirannya kemudian sulit untuk dihilangkan.

Setelah itu, baringkanlah anak bayi itu di tempat tidur dengan cara yang lembut sampai tertidur, sehingga dia dapat melupakan kejadian yang baru dialaminya. Hal ini jangan diremehkan, karena mengabaikannya berarti akan menumbuhkan rasa takut dan ngeri pada hati si anak, lalu perasaan itu akan membekas dalam dirinya sehingga sulit untuk dihilangkan.

10. Anak pada masa Pertumbuhan gigi

Tumbuhnya gigi bagi seorang bayi dapat mempengaruhi kondisi kesehatannya. Keadaan ini akan membuatnya muntah, suhu badan meningkat, dan kebiasaan yang buruk. Apalagi jika gigi tersebut tumbuh pada musim yang sangat dingin atau pada musim yang sangat panas. Masa pertumbuhan gigi yang paling baik adalah pada musim semi dan musim gugur.

Gigi mulai tumbuh ketika anak berusia tujuh bulan. Adakalanya sudah mulai tumbuh pada usia lima bulan atau malah terkadang tumbuhnya itu terlambat hingga usia sepuluh bulan.

Hendaknya anak bayi diperlakukan dengan lemah lembut pada masa-masa pertumbuhan giginya. Sering diajak masuk kamar mandi, diberi makanan yang lembut, dan tidak sampai perutnya kekenyangan. Terkadang pada saat ini ia sering buang air besar. Hal ini dapat diatasi dengan memasang perban berupa wol dari tanaman cumin, seledri (celery), dan aniseed di perutnya. Selain itu, gusi-gusinya sambil digosok sebagaimana dijelaskan di atas. Meskipun demikian, keadaannya itu lebih baik daripada sulit buang air besar.

Jika pada saat giginya tumbuh kemudian ia sulit buang air besar, maka tindakan yang sebaiknya diambil ketika itu yaitu segera melakukan pembersihan isi perutnya. Karena, tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi si anak pada waktu giginya mulai tumbuh daripada menahan dirinya untuk buang air besar, dan tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat baginya ketika itu daripada mengeluarkan kotoran dari pencernaannya secara teratur dan seimbang.

Cara terbaik membersihkan isi perut bayi adalah dengan memberikannya madu yang dihangatkan dan dijadikan sebagai minuman yang menyegarkan hingga perutnya terasa nyaman. Selain itu, dapat pula dengan diberikan ramuan dari tanaman habaq yang dihaluskan dan dicampur dengan madu lalu dibuat minuman penghangat juga. Pada saat-saat ini sebaiknya wanita yang menyusui mengonsumsi makanan dan minuman yang lembut dan menjauhi segala makanan yang membahayakan.

Ditulis ulang dari buku Hanya Untukmu Anakku, terj. Tuhfatul Mauduud bi Akhkaamil Mauluud, karya Ibnul Qayyim Al Jauziyah, cetakan ke 1 (hal. 435-439)

Memahami Takdir Ilahi

Memahami Takdir Ilahi 

Mari kita bersama memahami takdir ilahi.

Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu.

Beriman kepada Takdir

Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah Ta’ala, salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.

Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan :

[1] Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.

[2] Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.

[3] Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.

[4] Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk juga amalan manusia.

Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),”Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22] : 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman Allah (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81] : 29). Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya),”Allah menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37] : 96). Pada ayat ‘Wa ma ta’malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.

Macam-macam Takdir

Takdir itu ada 2 macam :

[1] Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut,“Tulislah”. Kemudian qalam berkata,“Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman,“Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).

[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari :

(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal : (1) rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.

(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam setahun. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 4). Ibnu Abbas mengatakan,”Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)

Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.

Salah dalam Menyikapi Takdir

Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya.

Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama adalah yang paling ekstrim. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang ta’at dan berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada lagi.

Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.

Kebalikan dari Qodariyyah adalah kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.

Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya),”(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81] : 28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat,“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat selanjutnya,”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan bantahan untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.

Keyakinan yang Benar dalam Mengimani Takdir

Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.

As Safariny mengatakan, ”Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At Takwir [81] : 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.” 

Jangan Hanya Bersandar pada Takdir Allah

Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali. Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan,”Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.

Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim) 

Buah dari Beriman kepada Takdir

Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.

Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, ”Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)

Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.

Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.

[Sumber rujukan utama : [1] Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan, [2] Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin]\

***

Musibah Datang Karena Maksiat Dan Dosa

Musibah Datang Karena Maksiat Dan Dosa

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu– mengatakan,

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Perkataan ‘Ali –radhiyallahu ‘anhu– di sini selaras dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Para ulama salaf pun mengatakan yang serupa dengan perkataan di atas.

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Ibnu Rajab Al Hambali –rahimahullah- mengatakan, “Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa.” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)

Saatnya Merubah Diri

Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap hamba merenungkan hal ini. Ketahuilah bahwa setiap musibah yang menimpa kita dan datang menghampiri negeri ini, itu semua disebabkan karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Betapa banyak kesyirikan merajalela di mana-mana, dengan bentuk tradisi ngalap berkah, memajang jimat untuk memperlancar bisnis dan karir, mendatangi kubur para wali untuk dijadikan perantara dalam berdoa. Juga kaum muslimin tidak bisa lepas dari tradisi yang membudaya yang berbau agama, namun sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masih banyak yang enggan meninggalkan tradisi perayaan kematian pada hari ke-7, 40, dst. Juga masih gemar dengan shalawatan yang berbau syirik semacam shalawat nariyah. Juga begitu banyak kaum muslimin gemar melakukan dosa besar. Kita dapat melihat bahwa masih banyak di sekitar kita yang shalatnya bolog-bolong. Padahal para ulama telah sepakat –sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qoyyim- bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar yang lainnya yaitu lebih besar dari dosa berzina, berjudi dan minum minuman keras. Na’udzu billah min dzalik. Begitu juga perzinaan dan perselingkuhan semakin merajalela di akhir-akhir zaman ini. Itulah berbagai dosa dan maksiat yang seringkali diterjang. Itu semua mengakibatkan berbagai nikmat lenyap dan musibah tidak kunjung hilang.

Agar berbagai nikmat tidak lenyap, agar terlepas dari berbagai bencana dan musibah yang tidak kunjung hilang, hendaklah setiap hamba memperbanyak taubat yang nashuh (yang sesungguhnya). Karena  dengan beralih kepada ketaatan dan amal sholeh, musibah tersebut akan hilang dan berbagai nikmat pun akan datang menghampiri.
Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri , dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal: 53)

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ro’du: 11)

Referensi:

Al Jawabul Kaafi Liman Sa-ala ‘anid Dawaa’ Asy Syafii, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah,cetakan kedua: 1427 H

Kaifa Nakuunu Minasy Syakirin, ‘Abdullah bin Sholeh Al Fauzan, Asy Syamilah

***

Hakikat Kekayaan Yang Sebenarnya

Hakikat Kekayaan Yang Sebenarnya 

Hanya dengan cara pandang agama, manusia akan percaya bahwa sesungguhnya kekayaan tidak selalu berwujud harta benda. Kekayaan yang sebenarnya tidak selalu diukur dengan besarnya angka-angka materi. Keluasan hati saat seorang hamba mampu menekan hawa nafsunya, bersikap menerima dan mensyukuri apa yang ada justru Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan sebagai kekayaan yang sebenarnya.

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Kekayaan bukanlah banyak harta benda, akan tetapi kekayaan adalah kekayaan hati.” (Hadis riwayat Bukhari Muslim)

Ibnu Baththal berkata, “Hadis ini bermakna bahwa kekayaan yang hakiki bukan pada harta yang banyak. Karena, banyak orang yang Allah luaskan harta padanya namun ia tidak merasa cukup dengan pemberian itu, ia terus bekerja untuk menambah hartanya hingga ia tidak peduli lagi dari mana harta itu didapatkan, maka, sesungguhnya ia orang miskin, disebabkan karena ambisinya yang sangat besar.”

Oleh karena itu kekayaan sesungguhnya adalah kekayaan jiwa. Orang yang merasa cukup dengan pemberian Allah, tidak terlalu berambisi untuk menambah hartanya dan terus-menerus mencarinya, maka berarti ia orang yang kaya”

Al-Qurthubi berkata, “Hadis ini bermakna bahwa harta yang bermanfaat, agung dan terpuji adalah kekayaan jiwa.”

Dengan demikian, tidak selalu harta benda yang banyak itu mendatangkan kebahagian, kebaikan dan kesenangan bagi pemiliknya. Kekayaan yang sebenarnya adalah sesuatu yang manusia rasakan dalam hatinya. Hatilah yang menentukan seorang manusia menjadi senang atau sengsara, kaya atau miskin dan bahagia atau sedih. Pangkalnya ada dalam hati.

Hati yang takut kepada azab Allah, beriman, penuh rasa syukur dan cinta kepada Pemilik dan Pemberi rizki sebenarnyalah yang akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan dari harta yang dimilikinya, sebesar apapun harta tersebut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dunia adalah ambisinya, maka Allah akan menghancurkan kekuatannya, menjadikan kemiskinan di depan matanya dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah Allah takdirkan. Dan barangsiapa akhirat adalah tujuannya, maka Allah akan menguatkan urusannya, menjadikan kekayaannya pada hatinya dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk.” (HR Ibnu Majah)

Semoga Allah mengaruniakan kepada kita semua hati yang kaya, hati yang selalu bergantung dan bersandar kepada Dzat yang Mahakaya.

Wallahu a’lam

Hanya Berharap Kepada Allah

Hanya Berharap Kepada Allah

Tidak semua kebaikanmu
Akan dibalas dan diapresiasi oleh manusia
Manusia cepat lupa dan melupakan

Akan tetapi berharaplah hanya kepada Allah
Allah pasti membalasnya
Allah tidak akan menyia-nyiakan kebaikan seorang mukmin

Allah berfirman,

وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 115)

Berharaplah pada Allah saja balasannya
Jangan pernah berharap pada manusia
Engkau akan kecewa

Dalam pelajaran TAUHID
Kita diajarkan agar hanya berharap pada Allah saja
Ini menandakan semakin Ikhlasnya seseorang

Adapun balasan manusia
Tidak kita harap-harapkan
Jika mereka balas berbuat baik
Maka alhamdulillah
Jika mereka tidak membalas dengan kebaikan
kita tidak akan sakit hati dan kecewa

Betapa indahnya hanya berharap kepada Allah
Segeralah beramal baik dan menyebarkan manfaat

Allah berfirman,

ﻓَﻤَﻦ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺮْﺟُﻮ ﻟِﻘَﺎﺀ ﺭَﺑِّﻪِ ﻓَﻠْﻴَﻌْﻤَﻞْ ﻋَﻤَﻠًﺎ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺸْﺮِﻙْ ﺑِﻌِﺒَﺎﺩَﺓِ ﺭَﺑِّﻪِ ﺃَﺣَﺪًﺍ ‏

“Barangsiapa BERHARAP perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (SQ. Al Kahfi : 107- 110).

Sangat ingin kita berkata
Sebagaimana perkataan para Nabi dan orang yang ikhlas:

ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﺃَﺟْﺮٍ ۖ ﺇِﻥْ ﺃَﺟْﺮِﻱَ ﺇِﻟَّﺎ ﻋَﻠَﻰٰ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ  

“Dan aku sekali-kali tidak minta upah/balasan kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.” [asy-Syu’ara’:164]

Syirik Penghapus Amalan Amalan Shalih

Syirik Penghapus Amalan Amalan Shalih

Bismillah. Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarganya dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti jalannya dengan ihsan.

Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an yang mulia:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Az Zumar: 65).

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan sebab turunnya ayat ini: “para salaf menyebutkan sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu: bahwasanya kaum Musyrikin dengan kejahilan mereka, mengajak Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk beribadah kepada sesembahan mereka bersama mereka” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/113).

Kesyirikan adalah penghapus amalan shalih. Hal ini berlaku sejak dahulu, yaitu para Nabi dan Rasul terdahulu. As Sa’di rahimahullah menjelaskan : “‘Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang yang sebelummu‘ maksudnya seluruh para Nabi terdahulu. ‘Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapuslah amalmu‘ amaluka di sini merupakan mufrad mudhaf, sehingga maksudnya mencakup semua amalan dan seluruh para Nabi. Yaitu bahwa perbuatan syirik itu menghapus semua amalan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan (QS. An An’am: 88)

dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi maksudnya rugi dunia dan akhirat. Maka, dengan kesyirikan, terhapuslah semua amalan. Dan pelakunya berhak mendapatkan hukuman dan adzab” (Taisir Karimirrahman, 729).

Imam Ath Thabari rahimahullah menafsirkan: “maksudnya, jika engkau berbuat syirik terhadap Allah wahai Muhammad, maka akan terhapus amalanmu. Dan engkau tidak akan mendapatkan pahala, juga tidak mendapatkan balasan, kecuali balasan yang pantas bagi orang yang berbuat syirik kepada Allah” (Tafsir Ath Thabari, 21/322).

Ayat ini menjadi menarik karena yang teks ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Sehingga banyak sekali pelajaran penting yang bisa kita petik. Muhammad Ali Ash Shabuni rahimahullah menjelaskan: “ini merupakan bentuk pengasumsian dan perumpamaan. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam itu telah dijamin maksum oleh Allah. Tidak mungkin beliau berbuat kesyirikan terhadap Allah. Dan ayat ini juga datang untuk menegakkan penguatan iman dan tauhid. Abu Mas’ud berkata: ‘ayat ini dipaparkan dalam gaya bahasa asumsi untuk mengancam dan membuat takut para Rasul terhadap perbuatan kekufuran. Serta membawa pembaca untuk menyadari betapa fatalnya dan buruknya kesyirikan itu’” (Shafwatut Tafasir, 3/80).

Inilah faidah yang berharga untuk kita. Jika Rasulullah dan para Nabi saja diancam dari perbuatan syirik, maka kita lebih lagi terancam dan hendaknya lebih takut darinya. Jika amalan Rasulullah dan para Nabi terdahulu yang tidak terbayangkan besarnya, dalam mendakwahkan Islam, dalam bersabar mengadapi perlawanan dari orang-orang Musyrik, dalam menghadapi cobaan-cobaan dari Allah, tetap akan terhapus semua amalan itu jika mereka berbuat syirik. Apalagi kita? Yang sedikit amalannya, bahkan banyak berbuat dosa!?!

Oleh karena itu saudaraku, jauhi… jauhi… jauhi… perbuatan syirik terhadap Allah.

Terhapusnya amalan-amalan shalih yang mungkin dikerjakan dengan lelah, banyak pengorbanan dan waktu yang lama adalah sebuah kerugian yang sangat besar. Dan solusi agar terhindar dari ini adalah ayat selanjutnya:

بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Maka beribadahlah hanya kepada Allah semata, dan jadilah orang yang bersyukur” (QS. Az Zumar: 66)

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: “maksudnya, ikhlaskanlah ibadah hanya kepada Allah semata, jangan berbuat syirik kepada-Nya. Ini berlaku untukmu (Muhammad) dan orang-orang yang bersamamu. Untukmu (Muhammad) dan orang-orang yang mengikuti jalanmu dan membenarkanmu” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/113).

Wabillahi At Taufiq Was Sadaad

Riba dosanya semisal Menzinahi Ibu Kandung Sendiri

Riba dosanya semisal Menzinahi Ibu Kandung Sendiri 

Jika Ada Berita Seorang Anak Menzinahi Ibu Sendiri, Tentu Kita Geram Sekali “Anak Durhaka Dan Tidak Tahu Malu”, Itu Mungkin Komentar Kita

Bagaimana Jika Kita Mendengar Hadits Ini?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

“Riba Itu Ada 73 Pintu (Dosa). Yang Paling Ringan Adalah Semisal Dosa Seseorang Yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri. Sedangkan Riba Yang Paling Besar Adalah Apabila Seseorang Melanggar Kehormatan Saudaranya.”

(HR. Al Hakim Dan Al Baihaqi Dalam Syu’abul Iman Syaikh Al Albani Mengatakan Bahwa Hadits Ini Shahih Dilihat Dari Jalur Lainnya)

Itu Yang Paling Ringan..
Demikianlah Bagaimana Sistem Riba Merusak Kehidupan Dan Merusak Perekonomian Suatu Bangsa Dan Banyak Dari Umat Islam Yang Tidak Menyadari. Memang Sistem Riba Tidak Langsung Terlihat Dampaknya Atau Secara Individu Tidak Terlalu Terlihat. Akan Tetapi Secara Sistem Akan Merusak Sistem Perekonomian Dan Bisa Menruntuhkan Perekonomian Suatu Bangsa

Berikut bahaya lain dan ancaman bagi pelaku dan pendukung riba:

-Akan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَْ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” [Al-Baqarah: 278-279]

-Dilaknat semua yang mendukung riba

dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasannya ia menuturkan,

لعن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: (هم سواء). رواه مسلم

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan / membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda, ‘Mereka itu sama dalam hal dosanya’.” (HR. Muslim).

Termasuk dosa besar yang membinasakan,

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?” Beliau mengatakan, “(1) Menyekutukan Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, (4) memakan harta anak yatim, (5) memakan riba, (6) melarikan diri dari medan peperangan, (7) menuduh wanita yang menjaga kehormatannya (bahwa ia dituduh berzina)” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)

Demikian semoga bermanfaat.

Bergaul di Dunia itu Seperlunya saja

Bergaul di Dunia itu Seperlunya saja 

Bukan berarti kita tidak boleh bergaul. Namun, bergaul yang tepat adalah sesuai hajat atau kebutuhan, tidak melampaui batas sampai sibuk dengan dunia yang fana, lalai negeri Akhirat.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

فُضُوْلُ المخَالَطَةِ فِيْهِ خَسَرَاةُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَإِنَّمَا لِلْعَبْدِ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ المخَالَطَةِ بِمِقْدَارِ الحَاجَةِ

“Banyak bergaul itu dapat mendatangkan kerugian di dunia dan akhirat. Selaku hamba seharusnya bergaul sesuai kadar hajat saja.”

(Lihat Badaai’ Al-Fawaid, 2/821)

Al ‘Allamah Al-Ghazali rahimahullah juga pernah memberikan petuah,

وَكُلُّ مَنْ خَالَطَ النَّاسَ كَثُرَتْ مَعَاصِيْهِ وَإِنْ كَانَ تَقِيًّا

“Siapa saja yang (banyak) bergaul dengan manusia, maka akan banyak maksiatnya, walaupun ia termasuk orang bertakwa.”

Mukmin Harus Senantiasa Husnuzan Kepada Allah

Mukmin Harus Senantiasa Husnuzan Kepada Allah 

Allah Ta’ala telah menjadikan kehidupan dunia ini sebagai ladang ujian dan cobaan. Setiap manusia tanpa terkecuali pastilah akan menghadapi ujian dan coban masing-masing. Ada yang Allah Ta’ala berikan ujian berupa kelapangan, dan tidak sedikit juga yang Allah berikan ujian berupa kesempitan dan kesusahan. Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 35)

Dengan kondisi seperti itu, seorang mukmin dituntut untuk senantiasa berhusnuzan (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala. Karena hal tersebut merupakan salah satu sebab datangnya kebahagiaan dan ketenangan kepada seorang mukmin. Selain itu, husnuzan juga mengantarkan seorang mukmin kepada sikap optimis yang disenangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pernah bersabda,

وَيُعۡجِبُنِي الۡفَأۡلُ. قَالُوا: وَمَا الۡفَأۡلُ؟ قَالَ: كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ

“Dan fa`l (sikap optimis) membuatku senang.” Mereka bertanya, “Apakah fa`l itu?” Nabi bersabda, “Ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 5776 dan Muslim no. 2224)

Sudah sewajarnya setiap mukmin mengedepankan husnuzan, sangka baiknya kepada Allah Ta’ala dalam setiap kondisi yang dihadapinya baik itu saat mendapatkan kenikmatan maupun saat sedang ditimpa kesulitan.

Pada artikel kali ini akan kita bahas dua alasan penting yang insyaAllah akan semakin menguatkan sangka baik (husnuzan) kita kepada Allah Ta’ala.

Daftar Isi

Alasan pertama: Berbaik sangka kepada Allah merupakan intisari tauhid kita

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya berbaik sangka kepada Allah Ta’ala merupakan salah satu konsekuensi pengesaan dan pengagungan kita kepada Allah Ta’ala. Di dalam salah satu ayat Al-Qur’an, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah dan memberikan pahala kepada mereka atas hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ اَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ الْغَمِّ اَمَنَةً نُّعَاسًا يَّغْشٰى طَۤاىِٕفَةً مِّنْكُمْ ۙ وَطَۤاىِٕفَةٌ قَدْ اَهَمَّتْهُمْ اَنْفُسُهُمْ يَظُنُّوْنَ بِاللّٰهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ۗ يَقُوْلُوْنَ هَلْ لَّنَا مِنَ الْاَمْرِ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ اِنَّ الْاَمْرَ كُلَّهٗ لِلّٰهِ ۗ

“Kemudian setelah kamu ditimpa kesedihan, Dia menurunkan rasa aman kepadamu (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri. Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, ‘Adakah sesuatu yang dapat kita perbuat dalam urusan ini?’ Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah.’ ” (QS. Ali Imran: 154)

Sedangkan orang-orang yang berburuk sangka kepada Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala mencela mereka dan mengutuk mereka. Allah Ta’ala berfirman,

وَّيُعَذِّبَ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْمُنٰفِقٰتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكٰتِ الظَّاۤنِّيْنَ بِاللّٰهِ ظَنَّ السَّوْءِۗ عَلَيْهِمْ دَاۤىِٕرَةُ السَّوْءِۚ وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا

“Dan Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (azab) yang buruk dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka serta menyediakan neraka Jahanam bagi mereka. Dan (neraka Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Fath: 6)

Semakin bertambah keimanan di hati seseorang, maka semakin baik pula persangkaannya kepada Allah Ta’ala. Sebaliknya, semakin berkurang keimanan di hati seseorang, maka persangkaannya kepada Allah pun akan semakin memburuk.

Kalau kita lihat fenomena di zaman sekarang, saat seseorang ditimpa musibah atau sedang menghadapi ujian, maka tentu ia akan banyak berdoa kepada Allah Ta’ala. Sayangnya, kebanyakan dari mereka saat Allah Ta’ala belum mengabulkan keinginan dan doanya, mereka meratap, pesimis, lalu meninggalkan berdoa dan mengatakan, “Allah tidak mau mengabulkan doa-doaku.” Ataupun ucapan yang semisalnya. Sungguh ini merupakan bentuk buruk sangka seorang hamba kepada Allah Ta’ala karena kurangnya keimanan kepada Allah di hatinya.

Belum lagi di antara mereka ada yang pesimis, menduga Allah Ta’ala tidak akan menolong hamba-Nya, menyangka bahwa apa yang akan ia peroleh dari Allah Ta’ala dengan bermaksiat kepada-Nya sama dengan apa yang akan ia peroleh jikalau dirinya menaati-Nya. Menduga, bahwa jika ia meninggalkan sebuah perkara karena Allah Ta’ala, maka tidak akan Allah ganti dengan yang lebih baik. Sungguh praduga dan persangkaan semacam ini termasuk bentuk persangkaan yang buruk (su’uzhan) kepada Allah Ta’ala. Pelakunya telah jatuh ke dalam perbuatan yang terlarang.

Kenapa bisa begitu? Karena ia beranggapan perihal Allah Ta’ala dengan sesuatu yang tidak sesuai dan tidak layak disandingkan dengan nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang agung, menisbatkan Allah Ta’ala kepada sesuatu yang tidak sejalan dengan keindahan dan kesempurnaan-Nya.

Sungguh, kebanyakan manusia pastilah pernah beranggapan buruk dan bersangka buruk kepada Allah Ta’ala tanpa ia sadari. Kunci keselamatan dari perkara ini adalah mengenal Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya, mengenal nama-nama-Nya, serta mengetahui juga kewajiban-kewajiban dan tuntutan-tuntutan yang ada pada setiap nama-Nya. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah pernah mengatakan,

أَنَّهُ لَا يَسْلَم مِن ذَلِك إلاَّ مَن عَرَفَ الأَسمَاء وَالصِّفَات وعَرَفَ نَفْسَه

“Bahwasanya tidak ada yang bisa selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang mengenal nama-nama dan sifat Allah, serta mengenal dirinya sendiri.” (Masa’il Kitab At-Tauhid, hal. 474)

Alasan kedua: Allah itu sesuai persangkaan hamba-Nya

Sebagai manusia yang sering ceroboh dan lalai, banyak berbuat dosa dan kemaksiatan, tentu kita sangat membutuhkan ampunan Allah Ta’ala. Sesungguhnya ampunan Allah itu begitu luasnya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

يا ابنَ آدمَ ! إِنَّكَ ما دَعَوْتَنِي ورَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لكَ على ما كان فيكَ ولا أُبالِي يا ابنَ آدمَ ! لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنانَ السَّماءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لكَ ( ولا أُبالِي ( يا ابنَ آدمَ ! لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الأرضِ خطَايا ثُمَّ لَقِيْتَني لاتُشْرِكْ بِيْ شَيْئًا لأتيْتُكَ بِقِرَابِها مَغْفِرَةً

”Wahai Bani Adam, sesungguhnya jika engkau senantiasa berdoa dan berharap kepada–Ku, niscaya Aku akan mengampunimu semua dosa yang ada padamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, kalau seandainya dosamu setinggi langit, kemudian engkau memohon ampun kepada–Ku, niscaya aku akan memberikan ampunan kepadamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau menghadap kepada–Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi kemudian engkau berjumpa dengan–Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540 dan Ahmad no. 13493)

Sayang sekali, kebanyakan dari manusia dan para pendosa ini justru lebih mengedepankan buruk sangkanya kepada Allah Ta’ala. Saat hendak bertobat, mereka mengatakan “Apakah kita akan diampuni? Tidak mungkinlah! Dosa kita sudah terlalu banyak!”

Sungguh mereka tidak mengetahui kedudukan Allah Ta’ala. Mereka telah berputus asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya. Padahal Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi,

أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي، وأنا معهُ إذا ذَكَرَنِي، فإنْ ذَكَرَنِي في نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي، وإنْ ذَكَرَنِي في مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ في مَلَإٍ خَيْرٍ منهمْ

“Sesungguhnya Aku berdasarkan pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia berzikir mengingat-Ku dalam sebuah perkumpulan, maka Aku akan sebut-sebut dia dalam sebuah perkumpulan yang lebih baik dari mereka.” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)

Husnuzan, berbaik sangka kepada Allah Ta’ala lebih ditekankan lagi untuk dilakukan saat seseorang mendekati ajalnya. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

سَمِعْتُ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، قَبْلَ مَوْتِهِ بثَلَاثَةِ أَيَّامٍ يقولُ: لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إلَّا وَهو يُحْسِنُ الظَّنَّ باللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

 “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (tiga hari menjelang wafatnya) mengatakan, “Janganlah seorang di antara kalian meninggal, kecuali dia telah berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim no. 2877)

Tidak selayaknya seorang mukmin meninggal dunia sedangkan ia putus asa dari rahmat Allah dan kasih sayang-Nya. Hendaknya ia memperbanyak husnuzan kepada Allah Ta’ala dengan mengerjakan kebaikan, menghindarkan diri dari kemaksiatan, serta berharap akan pahala dan balasan dari Allah Ta’ala.

Semoga kita semua termasuk mukmin  yang senantiasa berhusnuzan dan berbaik sangka kepada Allah Ta’ala di semua keadaan. Berbaik sangka kepada-Nya atas setiap keputusan, takdir, dan cobaan yang telah Ia tuliskan kepada kita. Semoga Allah Ta’ala berikan kita keistikamahan dalam berbaik sangka kepada-Nya hingga ajal menghampiri, serta menjadikan kita termasuk salah satu hamba-Nya yang diberikan ampunan dan dimasukkan ke dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Amiin ya Rabbal ‘alamin.

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Ketika Istriku Cemburu

Ketika Istriku Cemburu 

Sifat dasar wanita adalah sangat mudah cemburu. Mereka sensitif.
Jika telah cemburu maka akalnya hilang. Hilang dalam artian tertutup akal sehatnya, berkurang daya nalar dan logikanya, sehingga tindakan dan omongannya didominasi oleh emosi dan perasaannya.

Istri Nabi yang paling beliau cintai, ibunda kaum mu’minin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

أن الغيراء لا تبصر أسفل الوادي من أعلاه

“Seorang wanita yang sedang marah karena cemburu tidak bisa membedakan antara dasar dan puncak lembah.” [HR. Abu Ya’la, lihat Fathul Baari li Ibn Hajar hal. 325/9]

Artinya jika seorang perempuan cemburu, daya nalar dan logikanya tidak bisa bekerja dengan sempurna, karena tertutup oleh cemburu dan emosinya.

Para suami harus memaklumi hal tersebut, sehingga saat menjumpai istrinya sedang cemburu, jangan terpancing emosi dan berusahalah untuk tidak marah sedikit pun.

Berusahalah memilih respon yang tepat saat ia sedang cemburu. Misalnya memilih diam saat ia sedang mengomel, atau menenangkannya agar cemburunya mereda dan suasana hatinya berubah menjadi ceria.

Coba kita tiru bagaimana akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi ibunda ‘Aisyah saat ia memecahkan piring makanan karena terbakar cemburu. Rasulullah tidak marah, justru beliau memaklumi dan membela ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dengan bersabda,

غَارَتْ أُمُّكُمْ

“Ibu kalian (‘Aisyah) sedang cemburu.” [HR. Bukhari no. 5225]

Terkait dengan perasaan cemburunya seorang wanita, At Thabari dan para ulama lainnya mengatakan,

الغيرة مسامح للنساء فيها لا عقوبة عليهن فيها لما جبلن عليه من ذلك

“Rasa cemburu wanita itu harus dimaklumi. Tidak ada hukuman bagi mereka, karena cemburu adalah tabiat bawaan wanita.” [Lihat Al Adab Asy Syar’iyyah wal Minah Al Mar’iyyah hal. 248/1]

Wahai para suami! Saat istri cemburu mengapa kita harus marah? Ambillah sisi positifnya, bukankah seorang istri cemburu itu karena cinta kepada kita, kan?

Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada para suami untuk lebih sabar menghadapi tabiat bawaan istrinya. Dan semoga Allah senantiasa memberi penjagaan kepada para istri agar tidak terjerumus dalam keburukan akibat rasa cemburunya. Aamiin

Merenungi Sisa sisa Umur Kita

Merenungi Sisa sisa Umur Kita

Dia yang di masa muda berbadan tegap, akhirnya akan mengeriput kulitnya. Dia yang di masa dewasa memiliki kekayaan ratusan trilliun rupiah, akhirnya akan beruban. Dia yang di masa puncak pernah duduk di kursi terpandang pun, akhirnya akan berkurang penglihatan dan pendengarannya. Dia yang Allah Ta’ala berikan umur panjang, akhirnya akan menua, sehebat apapun masa mudanya.

Sudah berapa tahun kita hidup?

Cobalah sejenak merenungi pertanyaan ini. Sudah berapa tahun kita hidup? Jika ternyata usia sudah 60 tahun lebih, maka berarti kita termasuk ke dalam orang-orang yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

 أعمارُ أمَّتي ما بينَ الستينَ إلى السبعينَ وأقلُّهم مَنْ يجوزُ ذلِكَ

“Umur umatku itu antara 60 sampai 70 tahun, dan sedikit orang yang melewati umur tersebut.” (HR. At-Tirmidzi no. 3550, Ibnu Majah no. 4236,  dihasankan oleh Syekh Albani)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa umur kita sebagai umatnya adalah antara 60 sampai 70 tahun hijriyah. Sehingga apabila kita sudah berumur 60 tahun atau lebih, maka sudah seharusnya diri semakin banyak mengingat kematian yang akan datang tanpa diundang.

Sudah berapa tahun kita hidup?

Jika ternyata usia sudah 40 tahun, berarti kita termasuk ke dalam orang-orang yang disebutkan dalam Al-Quran,

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.’” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa seseorang ketika sudah mencapai 40 tahun, maka akal dan pemahamannya telah sempurna. Kebanyakan orang yang sudah berusia 40 tahun tidak akan berubah lagi kebiasaan dalam menjalani kesehariannya. Seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun harus memperbarui tobat dan bertekad tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah diperbuatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 258-259)

Sudah berapa tahun kita hidup?

Jika ternyata sudah mulai muncul uban di kepala, berarti kita termasuk ke dalam ayat Al-Quran,

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗيَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ

“Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” (QS. Ar-Rum: 54)

Allah Ta’ala berfirman,

اَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَّا يَتَذَكَّرُ فِيْهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاۤءَكُمُ النَّذِيْرُۗ فَذُوْقُوْا فَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ نَّصِيْرٍ

“Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berpikir bagi orang yang mau berpikir, padahal telah datang kepadamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami), dan bagi orang-orang zalim tidak ada seorang penolong pun.“ (QS. Fathir: 37)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa para ulama tafsir seperti Ibnu Abbas, Ikrimah, Qatadah, Sufyan bin ‘Uyainah, dan yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud pemberi peringatan dalam ayat di atas adalah uban. (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 493)

Aku masih muda …

Kita masih merasa muda? Usia kita belum 60 tahun, belum muncul uban sedikit pun, belum 40 tahun, bukan berarti waktu kita masih panjang. Masalah sisa umur yang tersisa tidak ada orang yang mengetahui, kapan dan di mana jatah hidup di dunia habis.

وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.” (QS. Lukman: 34)

Masih muda bukanlah jaminan. Betapa banyak yang meninggal di masa mudanya. Data jaringan kolaborasi beban penyakit dunia menyebutkan kematian penduduk Indonesia pada tahun 2019 sebesar 18.370 orang berumur 5-14 tahun, 264.550 orang berumur 15-49 tahun, 612.889 berumur 50-69 tahun, sisanya berumur kurang dari 5 tahun dan lebih dari 69 tahun. Ini menunjukkan bahwa kematian di usia muda sangat banyak. Jadi, bukan berarti kita masih bisa bersantai ria karena merasa masih muda dan kematian masih lama.

Kebiasaan di sisa waktu

Kalau kita mau jujur, nasihat untuk beramal kebaikan yang datang kepada kita sudah banyak. Peringatan akan kematian seringkali terdengar. Imbauan dan ajakan untuk memanfaatkan sisa umur sudah sangat sering didapatkan. Jadi, kita bisa memilih, mau memilih mengisi sisa umur dengan kebiasaan yang baik ataukah menghabiskannya dengan kesenangan dunia dan kepuasan nafsu dalam hidup ini. Yang perlu diingat, seseorang itu akan meninggal dalam keadaan kebiasaan hidupnya. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan saat menafsirkan surah Ali-Imran ayat 102, maksud dari firman Allah Ta’ala,

وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

adalah supaya kita memelihara Islam saat keadaan sehat, agar kita mati di atas Islam. Sesungguhnya Allah Ta’ala akan memberlakukan seseorang sesuai dengan kebiasaannya. Orang yang memiliki kebiasaan tertentu dalam hidup, dia akan mati sesuai kebiasaannya tersebut. Dan siapa yang mati dalam kondisi tertentu, dia akan dibangkitkan sesuai kondisi matinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 75)

Sebelum kita menyesali masa lalu

Sebagaimana seseorang belajar di sekolah atau di kampus, ataupun bekerja menjadi karyawan, seseorang yang hidup di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Anak sekolah akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dia kerjakan dan pelajari selama sekolah lewat ujian sekolah atau ujian kampus. Orang yang bekerja sebagai karyawan akan dimintai pertanggungjawaban atas pekerjaannya lewat laporan rutin. Para pejabat juga dimintai pertanggungjawaban selama ia menjabat. Itu dalam masalah dunia yang sifatnya sementara. Bagaimana dengan masalah akhirat yang merupakan kehidupan abadi? Tentu pertanggungjawabannya semakin besar dan teliti.

Di antara pertanggungjawaban tahap awal dalam kehidupan akhirat yang akan dilalui manusia adalah apa yang telah diceritakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,

لا تزولُ قدَما عبدٍ يومَ القيامةِ حتَّى يسألَ عن عمرِهِ فيما أفناهُ ، وعن عِلمِهِ فيمَ فعلَ ، وعن مالِهِ من أينَ اكتسبَهُ وفيمَ أنفقَهُ ، وعن جسمِهِ فيمَ أبلاهُ

“Tidaklah kedua kaki seorang hamba beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: untuk apa umurnya ia habiskan, apakah ilmunya ia amalkan, dari mana hartanya ia peroleh dan di mana ia belanjakan, serta untuk apa tubuhnya ia usangkan.” (HR. Tirmidzi no. 2417, Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Sungguh kelak setiap orang akan mempertanggungjawabkan umur yang telah Allah Ta’ala berikan. Manusia akan menyesali keadaannya selama di dunia.

كَلَّآ اِذَا دُكَّتِ الْاَرْضُ دَكًّا دَكًّاۙ   وَّجَآءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّاۚ وَجِايْۤءَ يَوْمَىِٕذٍۢ بِجَهَنَّمَۙ يَوْمَىِٕذٍ يَّتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ وَاَنّٰى لَهُ الذِّكْرٰىۗ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْۚ

“Sekali-kali tidak! Apabila bumi diguncangkan berturut-turut (berbenturan), dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu. Dia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.’” (QS. Al-Fajr: 21-24)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa yang menyesal kelak di hari kiamat bukan hanya orang-orang kafir saja, melainkan juga kaum muslimin yang melakukan perbuatan dosa atas maksiat yang dilakukannya. Selain itu, kaum mukminin juga menyesal karena kurangnya ketaatan yang dilakukannya selama di dunia. (Tafsir Ibnu Katsir, 8: 389)

Saat ini, sebelum penyesalan itu datang, sebelum hari ini menjadi masa lalu yang akan disesali, marilah kita berusaha sekuat tenaga meningkatkan keimanan kita, terus berdoa kepada Allah Ta’ala, agar Allah Ta’ala senantiasa memberikan petunjuk, menjaga dan memberikan keistiqomahan kepada kita semua. Aamiin

***