Datangnya Sifat Malas

Datangnya Sifat Malas 

Setiap muslim ada yang mengalami masa semangat dan ada yang mengalami rasa malas. Namun ada rasa malas yang tercela dan ada yang masih terpuji. Dan rasa malas yang datang ini sifatnya naluri yang bisa jadi ditemukan ketika beramal atau ketika kita belajar ilmu diin.

Setiap Orang Bisa Futur (Kendor Semangat)

عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَيَحْيَى بْنُ جَعْدَةَ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ الرَّسُولِ قَالَ ذَكَرُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَوْلاَةً لِبَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ إِنَّهَا قَامَتِ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ. قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَكِنِّى أَنَا أَنَامُ وَأُصَلِّى وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ فَمَنِ اقْتَدَى بِى فَهُوَ مِنِّى وَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ثُمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدِ اهْتَدَى »

Dari Mujahid, ia berkata, aku dan Yahya bin Ja’dah pernah menemui salah seorang Anshor yang merupakan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, para sahabat Rasul membicarakan bekas budak milik Bani ‘Abdul Muthollib. Ia berkata bahwa ia biasa shalat malam (tanpa tidur) dan biasa berpuasa (setiap hari tanpa ada waktu luang untuk tidak puasa). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Akan tetapi aku tidur dan aku shalat malam. Aku pun puasa, namun ada waktu bagiku untuk tidak berpuasa. Siapa yang mencontohiku, maka ia termasuk golonganku. Siapa yang benci terhadap ajaranku, maka ia bukan termasuk golonganku. Setiap amal itu ada masa semangat dan ada masa malasnya. Siapa yang rasa malasnya malah menjerumuskan pada bid’ah, maka ia sungguh telah sesat. Namun siapa yang rasa malasnya masih di atas ajaran Rasul, maka dialah yang mendapat petunjuk.” (HR. Ahmad 5: 409).

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ قُرَيْشٍ فَكَانَ لاَ يَأْتِيهَا كَانَ يَشْغَلُهُ الصَّوْمُ وَالصَّلاَةُ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « صُمْ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَمَا زَالَ بِهِ حَتَّى قَالَ لَهُ « صُمْ يَوْماً وَأَفْطِرْ يَوْماً ». وَقَالَ لَهُ « اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِى كُلِّ شَهْرٍ ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ « اقْرَأْهُ فِى كُلِّ خَمْسَ عَشْرَةَ ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ « اقْرَأْهُ فِى كُلِّ سَبْعٍ ». حَتَّى قَالَ « اقْرَأْهُ فِى كُلِّ ثَلاَثٍ ». وَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَةً وَلِكُلِّ شِرَةٍ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ شِرَتُهُ إِلَى سُنَّتِى فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ »

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa ia telah menikahi wanita dari Quraisy, namun ia tidaklah mendatanginya (menyetubuhinya) karena sibuk puasa dan shalat (malam). Lalu ia menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda, “Berpuasalah setiap bulannya selama tiga hari.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan padanya, “Puasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata padanya, “Khatamkanlah Al Qur’an dalam sebulan sekali.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Khatamkanlah Al Qur’an setiap 15 hari.” Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Khatamkanlah Al Qur’an setiap 7 hari.” Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Khatamkanlah setiap 3 hari.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ingatlah setiap amalan itu ada masa semangatnya. Siapa yang semangatnya dalam koridor ajaranku, maka ia sungguh beruntung. Namun siapa yang sampai futur (malas) hingga keluar dari ajaranku, maka dialah yang binasa.” (HR. Ahmad 2: 188. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, demikian kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

عَنْ جَعْدَةَ بن هُبَيْرَةَ ، قَالَ : ذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْلًى لِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يُصَلِّي وَلا يَنَامُ ، وَيَصُومُ وَلا يُفْطِرُ ، فَقَالَ : ” أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ “.

Dari Ja’dah bin Hubairah, ia berkata bahwa disebutkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai bekas budak milik Bani ‘Abdul Muthollib, ia shalat (malam) namun tidak tidur. Ia puasa setiap hari, tidak ada waktu kosong untuk tidak puasa. Lalu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri shalat (malam) namun aku tetap tidur. Aku puasa, namun lain waktu aku tidak berpuasa. Ingatlah, setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.” (HR. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir 2: 284Ja’dah bin Hubairah dalam riwayat ini diperselisihkan apakah ia seorang sahabat. Riwayat ini mursal sebagaimana ta’liq atau komentar Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam musnad Imam Ahmad 5: 409)

Beberapa riwayat di atas menunjukkan bahwa setiap orang akan semangat dalam sesuatu, dan waktu ia kendor semangatnya. Dan di antara sebab mudah futur (malas dalam ibadah) adalah karena terlalu berlebihan dalam suatu amalan. Sehingga sikap yang bagus adalah pertengahan dalam amalan atau belajar, tidak meremehkan dan tidak berlebihan.

Sudah Qurban Kok Malah Di Jual

Sudah Qurban Kok Malah Di Jual 

Sebagian orang yang tidak mengerti akan hikmah disyariatkannya penyembelihan qurban setelah hewan disembelih daging, kepala, kulit atau kikilnya dijual.

Ketika Imam Ahmad di tanya tentang orang yang menjual daging qurban, ia terperanjat, seraya berkata, “Subhanallah, bagaimana dia berani menjualnya padahal hewan tersebut telah ia persembahkan untuk Allah tabaraka wa taala“.

Secara logika suatu barang yang telah anda berikan kepada orang lain bagaimana mungkin anda menjualnya lagi.

Imam Syafi’i juga berkata,” Jika ada yang bertanya kenapa dilarang menjual daging qurban padahal boleh dimakan? Jawabnya, hewan qurban adalah persembahan untuk Allah. Setelah hewan itu dipersembahkan untukNya, manusia pemilik hewan tidak punya wewenang apapun atas hewan tersebut, karena telah menjadi milik Allah. Maka Allah hanya mengizinkan daging hewan untuk dimakan. Maka hukum menjualnya tetap dilarang karena hewan itu bukan lagi menjadi milik yang berqurban”. Oleh karena itu para ulama melarang menjual bagian apapun dari hewan qurban yang telah disembelih; daging, kulit, kikil, gajih, kepala dan anggota tubuh lainnya. Mereka melarangnya berdasarkan dalil-dalil berikut :

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka qurbannya tidak diterima.” (HR. Hakim dan Baihaqi. Hadis ini dishahihkan oleh Al Bani)

Hadis di atas sangat tegas melarang untuk menjual qurban sekalipun kulitnya, karena berakibat kepada tidak diterimanya qurban dari pemilik hewan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Janganlah kalian jual daging hewan hadyu (hewan yang dibawa oleh orang yang haji ke Mekkah untuk disembelih di tanah haram), juga jangan dijual daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah serta pergunakan kulitnya.” (HR. Ahmad. Al Haitami berkata: hadis ini mursal shahih sanad). Hadis ini juga tegas melarang menjual daging hewan qurban.

Ali bin Abi Thalib berkata,” Nabi memerintahkanku untuk menyembelih unta hewan qurban miliknya, dan Nabi memerintahkan agar aku tidak memberi apapun kepada tukang potong sebagai upah pemotongan”. (HR. Bukhari)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak boleh diberikan bagian apapun dari anggota tubuh hewan qurban kepada tukang potong sebagai imbalan atas kerjanya memotong hewan. Bila saja upah tukang potong tidak boleh diambilkan dari hewan qurban apatah lagi menjualnya kepada orang lain.

Begitu juga orang yang bekerja sebagai panitia qurban tidak boleh mengambil upah dari hewan qurban. Bila menginginkah upah mengurus qurban mintalah kepada pemilik qurban berupa uang.

Cara bertaubat dari menjual daging qurban

Bagi orang-orang yang terlanjur menjual hewan qurbannya hendaklah bertaubat kepada Allah atas dosanya ini sesegera mungkin. Dan untuk kesempurnaan taubatnya ia harus membatalkan penjualannya, karena akad penjualannya tidak sah, dengan cara daging diminta kembali dan uang pembeli dikembalikan.

Jika tidak memungkinkan karena daging sudah berpindah tangan ke orang ke tiga atau telah diolah maka penjualnya wajib mensedekahkan uang hasil penjualan daging tersebut karena uang hasil akad jual beli tidak sah termasuk harta yang tidak halal.

Catatan:

Larangan menjual menjual daging qurban khusus untuk orang yang berqurban atau orang yang diwakilkan untuk mengurus qurban (panitia qurban). Adapun orang menerima sedekah hewan qurban (fakir miskin) atau orang yang dihadiahi qurban (para kerabat dan tetangga) boleh menjualnya, karena status mereka telah memiliki daging yang disedekahi dan barang yang telah dimiliki boleh dijual belikan.

Ad Dasuqi (ulama mazhab Malik, wafat: 1230H) berkata,” Dilarang menjual bagian apapaun dari hewan qurban … kecuali orang yang menerima hadiah atau sedekah daging qurban maka ia tidak dilarang untuk menjualnya, sekalipun orang yang memberikan daging qurban tahu bahwa ia akan menjualnya saat diberikan”.

Tulisan di atas kami ringkas dari tulisan Ustadz Erwandi Tarmizi MA, kandidat Doctoral dalam bidah Ushul Fikih di Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud Riyadh, KSA.

Untukmu Yang Sedang Malas Beribadah

Untukmu Yang Sedang Malas Beribadah 

Kadangkala tubuh ini terasa berat untuk bangun dari nyenyaknya lelap atau asyiknya aktivitas. Berat untuk menyambut seruan muazin, mendatangi masjid, dan melaksanakan salat.

Tubuh dan anggota badan adalah anugerah Allah. Itu pun terkadang enggan untuk sedikit menahan lapar dan dahaga di Senin dan Kamis untuk melakukan puasa sunah.

Tangan pun sering terasa berat untuk memberi dan berbagi, meskipun hanya secuil dari limpahan nikmat Allah dari harta benda yang kita punya.

Hati pun terasa berat untuk memantapkan niat mendorong diri menyisihkan sedikit demi sedikit rezeki supaya dapat berqurban di hari ‘Id Adha atau agar bisa menabung untuk umroh dan haji pada suatu saat kelak.

Padahal, semua itu adalah ibadah-ibadah yang mengandung banyak pahala dan keutamaan. Semua itu juga adalah amal-amal saleh yang menjadi jalan di antara wasilah-wasilah menuju surga yang Allah janjikan. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di banyak kesempatan juga menyampaikan banyak fadilah-fadilah dari amalan-amalan saleh baik wajib maupun sunah, di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ

“Lima salat yang telah Allah Ta’ala wajibkan kepada para hamba-Nya. Siapa saja yang mendirikannya dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun darinya karena meremehkan haknya, maka dia memiliki perjanjian dengan Allah Ta’ala bahwa Ia akan memasukkannya ke dalam surga. Sedangkan siapa saja yang tidak mendirikannya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah Ta’ala. Jika Allah menghendaki, Dia akan menyiksanya. Dan jika Allah menghendaki, Allah akan memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Iman dan Beratnya Ibadah

Semua kita tentu mengaku beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita meyakini segala isi kandungan Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih Rasulullah berdasarkan pemahaman salafus shalih adalah benar. Tak ada keraguan.

Lantas, apakah gerangan yang menjadikan semua perintah Allah itu terasa berat?

Jawabannya adalah iman. Ya, sebagaimana sebuah ungkapan salafus shalih yang kita kenal yaitu,

أن الإيمان يزيد وينقص: يزيد بالطاعة، وينقص بالمعصية

“Bahwasanya iman itu dapat bertambah dan berkurang. Bertambah karena ketaatan, dan berkurang karena kemaksiatan.”

Jika ditelisik lebih jauh, pengetahuan tentang hakikat penciptaan jin dan manusia (yaitu untuk menyembah Allah Ta’ala) telah banyak diketahui oleh manusia sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Namun, tetap saja hakikat itu terlupakan atau sengaja dilupakan. Sehingga, alasan “Imanku sedang turun” sering dijadikan tameng setiap kali dirundung kemalasan dalam melaksanakan ibadah.

Sayangnya, kemalasan itu bahkan selalu menghinggapi diri yang kemudian dapat ditunggangi setan untuk selalu beralibi “yanqus” karena enggan melaksanakan ibadah.

Oleh karenanya, sudah semestinya kita menyadari betapa pentingnya menjaga keimanan kita agar tetap “yazdad“. Penting pula bagi kita untuk menjaga semangat dalam melaksanakan ibadah dalam rangka menggapai rida Allah untuk mendapatkan surganya.

Iman Terjaga, Ibadah Mudah Terlaksana

Ada 3 (tiga) hal yang kiranya dengannya kita dapat menjaga iman agar senantiasa mudah untuk melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan sunah. Agar dapat menjadikan rangkaian ibadah tersebut sebagai momen yang dinanti-nantikan. Serta, agar memiliki semangat yang tinggi menanti momen itu tiba.

Pertama, mengetahui keutamaan suatu amal

Sebagaimana kita bekerja yang menginginkan upah atau pun bersekolah dengan mengharap ilmu dan pendidikan, begitu pula seharusnya dalam beribadah. Kita mengharapkan rida Allah Ta’ala dan surga-Nya. Kita pun berusaha untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka.

Mengerjakan amalan-amalan saleh karena Allah menyebut orang yang beramal saleh sebagai sebaik-baik makhluk. Allah menjanjikan kepada hamba-hamba-Nya yang saleh dengan surga yang nikmatnya tiada tara. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلاَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada tuhan-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 7-8)

Lebih rinci, kita pun dapat membekali diri dengan ilmu tentang keutaman apa saja yang kita dapatkan dari suatu amalan ibadah yang kita lakukan. Salat wajib, salat duha, salat tahajud, salat rawatib, dan berbagai jenis ibadah salat berikut dengan fadilah (keutamaan) yang akan kita peroleh jika melaksanakannya dengan penuh keikhlasan dan sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Begitu pula dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa, zakat, haji, qurban, zikir, dan berbagai ibadah wajib dan sunah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kedua, menjauhi maksiat

Mengutip ungkapan salafus salih yang telah dipaparkan di atas bahwa iman itu juga dapat berkurang karena perbuatan maksiat. Artinya, rasa malas yang menghantui jiwa untuk melaksanakan amalan-amalan saleh itu tidak lain adalah disebabkan karena kemaksiatan yang kita lakukan. Wal’iyadzu billah.

Dalam Kitab Lathaiful Ma’arif, bahwa seseorang berkata kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu,

ما نستطيع قيام الليل؟

“Mengapa kami tidak mampu melakukan salat malam?”

Beliau pun menjawab,

 أقعدتكم ذنوبكم

“Dosa-dosa kalian telah menghalangi kalian.”  (Lathaiful Ma’arif, hal. 46)

Begitu pula dalam Kitab Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata,

حِرْمَانُ الطَّاعَةِ ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى ، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ ، ثُمَّ رَابِعَةٌ ، وَهَلُمَّ جَرًّا ، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ

“Di antara pengaruh buruk maksiat adalah menghilangkan amal ketaatan. Maka, seandainya tidak ada hukuman atas dosa, kecuali menghalangi seseorang untuk melakukan amal ketaatan dan memutus jalan untuk melakukan amal ketaatan yang kedua, kemudian putusnya amalan yang kedua adalah dosa yang memutuskan amalan yang ketiga, kemudian keempat dan seterusnya, maka karena dosa terputuslah banyak amal ketaatan.”

،كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا ، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ

“Padalah setiap amal ketaatan tersebut lebih baik daripada dunia dan isinya. Maka, pelaku maksiat itu seperti orang yang makan suatu makanan buruk yang menyebabkan ia terkena penyakit berkepanjangan. Sehingga, ia tidak bisa makan berbagai makanan yang lebih baik daripada makanan yang telah menyebabkan ia sakit tersebut. Wallaahul Musta’an.”  (Al-Jawabul Kafi, hal. 44)

Ketiga, berteman dengan orang-orang saleh

Setelah membekali diri dengan ilmu terutama yang berkaitan dengan keutaman-keutaman amal saleh dan menyadari sumber utama beratnya melakukan ibadah, kiranya belum cukup jika keseharian kita masih intens bergaul dengan mereka yang cenderung mengesampingkan ibadah kepada Allah Ta’ala.

Oleh karenanya, berteman dengan orang-orang saleh menjadi hal yang tidak kalah penting agar jiwa kita selalu bersemangat dalam melaksanakan ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian memperhatikan siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi no. 927)

Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya. Kalau pun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu. Kalau pun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628)

Ketika menyadari bahwa diri kita selalu dirongrong oleh rasa malas yang ditunggangi oleh setan agar merasa malas saat akan melakukan suatu ibadah, maka menjadi penting bagi kita untuk menggali lebih dalam hal-hal yang dapat membentengi diri dari kemalasan tersebut. Mengetahui keutamaan amal, menjauhi maksiat, dan berteman dengan orang saleh adalah tameng bagi kita atas godaan setan dalam rasa malas tersebut.

Kita senantiasa berdoa kepada Allah agar dianugerahi hidayah dan inayah dalam setiap langkah kita menuju rida-Nya. Jangan pernah berhenti memohon kepada-Nya agar iman kita bertambah dengan ketaatan-ketaatan pada-Nya.

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ

***

Penyembuhan Dengan Al Qur'an Dan As Sunnah

Penyembuhan Dengan Al Qur'an Dan As Sunnah 

Allah menciptakan makhlukNya dengan memberikan cobaan dan ujian, lalu menuntut konsekwensi kesenangan, yaitu bersyukur; dan konsekwensi kesusahan, yaitu sabar. Hal ini bisa terjadi dengan Allah membalikkan berbagai keadaan manusia sehingga peribadahan manusia kepada Allah menjadi jelas. Banyak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa musibah, penderitaan dan penyakit merupakan hal yang lazim bagi manusia. Dan semua itu pasti menimpa mereka, untuk mewujudkan peribadahan kepada Allah semata, serta untuk melihat siapa yang paling baik amalnya.

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun” [Al Mulk/67:2]

Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian; bahkan cobaan dan ujian merupakan Sunnatullah dalam kehidupan. Manusia diuji dalam segala sesuatu, baik dalam hal-hal yang disenangi maupun dalam hal yang dibenci dan tidak disukai. Allah berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan“.[Al Anbiya`/21: 35].

Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan, kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, petunjuk dan kesesatan”[1].

Berbagai macam penyakit merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada hambaNya. Sesungguhnya, cobaan-cobaan itu merupakan Sunnatullah yang telah ditetapkan berdasarkan rahmat dan hikmahNya. Ketahuilah, Allah tidak menetapkan sesuatu, baik berupa takdir kauni (takdir yang pasti berlaku di alam semesta ini) atau syar’i, melainkan di dalamnya terdapat hikmah yang amat besar, sehingga tidak mungkin bisa dinalar oleh akal manusia. Berbagai cobaan, ujian, penderitaan, penyakit dan kesulitan, semua itu mempunyai manfaat dan hikmah yang sangat banyak.

Pada zaman sekarang, banyak penyakit yang menimpa manusia. Ada yang sudah diketahui obatnya, dan ada pula yang belum diketahui obatnya. Hal ini merupakan cobaan dari Allah, yang juga akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia. Allah berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)“. [Asy Syura/42:30].

Setiap penyakit pasti ada obatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ماَ أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

“Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan pasti menurunkan obatnya“[2].

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ, فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ

“Setiap penyakit ada obatnya. Jika suatu obat itu tepat (manjur) untuk suatu penyakit, maka akan sembuh dengan izin Allah“[3].

Seorang muslim, bila ditimpa penyakit, ia wajib berikhtiar mencari obatnya dengan berusaha secara maksimal. Dalam usaha mengobati penyakit yang dideritanya, maka wajib memperhatikan tiga hal.

Pertama : Bahwa obat dan dokter hanya sarana kesembuhan. Adapun yang benar-benar menyembuhkan penyakit hanyalah Allah.
Allah berfirman, mengisahkan Nabi Ibrahim Alaihissallam.

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“..dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkanku“.[Asy Syu’ara/26:80].

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang dapat menolak karuniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya, dan Dia-lah Yang Maha pengampun lagi Maha penyayang“.[Yunus/10:107].

Kedua : Dalam berikhtiar atau berusaha mencari obat tersebut, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang haram dan syirik.
Yang haram seperti berobat dengan menggunakan obat yang terlarang atau barang-barang yang haram, karena Allah tidak menjadikan penyembuhan dari barang yang haram.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ , فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan (obat) yang haram“[4]

إَنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ كُمْ فِي حَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan (dari penyakit) kalian pada apa-apa yang haram“[5].

Tidak boleh juga berobat dengan hal-hal yang syirik, seperti: Pengobatan alternatif dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal, orang pintar, menggunakan jin, pengobatan dengan jarak jauh dan sebagainya yang tidak sesuai dengan syari’at, sehingga dapat mengakibatkan jatuh ke dalam perbuatan syirik dan dosa besar yang paling besar. Orang yang datang ke dukun atau orang pintar, ia tidak akan diterima shalatnya selama empatpuluh hari.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّا فًـا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ, لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang datang kepada dukun (orang pintar atau tukang ramal), lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama empatpuluh malam“[6].

مَنْ أَتَى عَرَّا فًـا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ, فَقَد كَفَرَ بِمَا أُنزِلَ عَلى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa yang mendatangi orang pintar (tukang ramal atau dukun), lalu ia membenarkan apa yang diucapkannya, maka sungguh ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad“[7].

Apabila seseorang terkena sihir, guna-guna, santet, kesurupan jin dan lainnya atau penyakit menahun yang tak kunjung sembuh, maka sekali-kali ia tidak boleh mendatangi dukun, tukang sihir atau paranormal. Perbuatan tersebut merupakan dosa besar. Begitu pula, seseorang tidak boleh bertanya kepada mereka tentang penyakit maupun tentang hal-hal yang ghaib, karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib, melainkan hanya Allah saja; bahkan Rasulullah pun tidak mengetahui perkara yang ghaib. Allah Azza wa Jalla berfirman:


قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

“Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” [Al An’am/6:50].

Ketiga : Pengobatan dengan apa yang ditunjukkan dan diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pengobatan yang dimaksud seperti Ruqyah[8], yaitu membacakan ayat-ayat Al Quran dan do’a-do’a yang shahih; begitu juga dengan madu, habbatus sauda’(jintan hitam), air zam-zam, bekam (mengeluarkan darah kotor dengan alat bekam), dan lainnya. Pengobatan dan penyembuhan yang paling baik itu dengan ayat-ayat Al Quran, karena Al Qur`an merupakan petunjuk bagi manusia, penyembuh dan rahmat bagi kaum mukminin.

Tidak diragukan lagi, bahwa penyembuhan dengan Al Qur`an dan dengan apa yang diajarkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ruqyah, merupakan penyembuhan yang bermanfaat, sekaligus penawar yang sempurna. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ

“Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman“.[Fushshilat/41 :44].

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan kami turunkan dari Al Qur`an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman“.[Al Isra/17:82].

Pengertian “dari Al Quran” pada ayat di atas ialah Al Quran itu sendiri. Karena Al Qur`an secara keseluruhan ialah sebagai penyembuh, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas[9].

Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman“.[Yunus/10:57].

Dengan demikian, Al Quran merupakan penyembuh yang sempurna diantara seluruh obat hati dan juga obat fisik, sekaligus sebagai obat bagi seluruh penyakit dunia dan akhirat. Tidak setiap orang mampu dan mempunyai kemampuan untuk melakukan penyembuhan dengan Al Quran. Jika pengobatan dan penyembuhan itu dilakukan secara baik terhadap penyakit, dengan didasari kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti, terpenuhi syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakitpun yang mampu melawannya untuk selamanya. Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu akan menentang dan melawan firman-firman Rabb bumi dan langit, yang jika firman-firman itu turun ke gunung, maka ia akan memporak-porandakan gunung-gunung tersebut? Atau jika turun ke bumi, niscaya ia akan membelahnya? Oleh karena itu, tidak ada satu penyakit hati dan juga penyakit fisik pun melainkan di dalam Al Quran terdapat jalan penyembuhannya, penyebabnya, serta pencegah terhadapnya bagi orang yang dikaruniai pemahaman oleh Allah terhadap KitabNya. Allah ‘Azza wa Jalla (Yang Maha perkasa lagi Maha agung) telah menyebutkan di dalam Al Quran beberapa penyakit hati dan fisik, juga disertai penyebutan penyembuhan hati dan fisik.

Penyakit hati terdiri dari dua macam, yaitu: Penyakit syubhat (kesamaran) atau ragu dan penyakit syahwat atau hawa nafsu. Allah Yang Maha suci telah menyebutkan beberapa penyakit hati secara terperinci disertai dengan beberapa sebab, sekaligus cara menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut[10].

Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di dalam Al Quran itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman“. [Al ‘Ankabut/29 : 51].

Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengemukakan:

فَمَنْ لَمْ يَشْفِهِ الْقُرانُ فَلاَ شَفَاهُ اللهُ, وَمَنْ لَمْ يَكْفِهِ فَلاَ كَفَاهُ اللهُ.

“Barangsiapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al Quran, berarti Allah tidak memberikan kesembuhan kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak dicukupkan oleh Al Quran, maka Allah tidak memberikan kecukupan kepadanya“[11].

Mengenai penyakit-penyakit badan atau fisik, Al Quran telah membimbing dan menunjukkan kita kepada pokok-pokok pengobatan dan penyembuhannya, juga kaidah-kaidah yang dimilikinya. Kaidah pengobatan penyakit badan secara keseluruhan terdapat di dalam Al Quran, yaitu ada tiga point: menjaga kesehatan, melindungi diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit dan mengeluarkan unsur-unsur yang merusak badan[12].

Jika seorang hamba melakukan penyembuhan dengan Al Qur`an secara baik dan benar, niscaya dia akan melihat pengaruh yang menakjubkan dalam penyembuhan yang cepat.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Pada suatu ketika aku pernah jatuh sakit, tetapi aku tidak menemukan seorang dokter atau obat penyembuh. Lalu aku berusaha mengobati dan menyembuhkan diriku dengan surat Al Fatihah, maka aku melihat pengaruh yang sangat menakjubkan. Aku ambil segelas air zam-zam dan membacakan padanya surat Al Fatihah berkali-kali, lalu aku meminumnya hingga aku mendapatkan kesembuhan total. Selanjutnya aku bersandar dengan cara tersebut dalam mengobati berbagai penyakit dan aku merasakan manfaat yang sangat besar”[13].

Demikian juga pengobatan dengan ruqaa (jamak dari ruqyah) Nabawi yang riwayatnya shahih, merupakan obat yang sangat bermanfaat. Dan juga suatu do’a yang dipanjatkan. Apabila do’a tersebut terhindar dari penghalang-penghalang terkabulnya do’a itu, maka ia merupakan sebab yang sangat bermanfaat dalam menolak hal-hal yang tidak disenangi dan tercapainya hal-hal yang diinginkan. Demikian itu termasuk salah satu obat yang sangat bermanfaat, khususnya yang dilakukan berkali-kali. Dan do’a juga berfungsi sebagai penangkal bala` (musibah), mencegah dan menyembuhkannya, menghalangi turunnya, atau meringankannya jika ternyata sudah sempat turun[14].


لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ, وَلاَ يَزِيْدُ فِي الْعُمُرِ إِلاَّ الْبِرُّ

“Tidak ada yang dapat mencegah qadha` (takdir) kecuali do’a, dan tidak ada yang dapat memberi tambahan umur kecuali kebijakan“[15].

Tetapi yang harus dimengerti secara benar, bahwa ayat-ayat, dzikir-dzikir, do’a-do’a dan beberapa ta’awudz (permohonan perlindungan kepada Allah) yang dipergunakan untuk mengobati atau untuk ruqyah, pada hakikatnya pada semua ayat, dzikir-dzikir, do’a-do’a. Ta’awudz itu sendiri memberi manfaat yang besar dan juga dapat menyembuhkan. Namun ia memerlukan penerimaan (dari orang yang sakit) dan kekuatan orang yang mengobati dan pengaruhnya. Jika suatu penyembuhan itu gagal, maka yang demikian itu disebabkan oleh lemahnya pengaruh pelaku, atau karena tidak adanya penerimaan oleh pihak yang diobati, atau adanya rintangan yang kuat di dalamnya yang menghalangi reaksi obat.

Pengobatan dengan ruqyah ini dapat dicapai dengan adanya dua aspek, yaitu dari pihak pasien (orang yang sakit) dan dari pihak orang yang mengobati.

Yang berasal dari pihak pasien, ialah berupa kekuatan dirinya dan kesungguhannya dalam bergantung kepada Allah, serta keyakinannya yang pasti bahwa Al Qur`an itu sebagai penyembuh sekaligus rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan ta’awudz yang benar, yang sesuai antara hati dan lisan, maka yang demikian itu merupakan suatu bentuk perlawanan. Sedangkan seseorang yang melakukan perlawanan, ia tidak akan memperoleh kemenangan dari musuh kecuali dengan dua hal, yaitu:

Pertama : Keadaan senjata yang dipergunakan haruslah benar, bagus dan kedua tangan yang mempergunakannya pun harus kuat. Jika salah satu dari keduanya hilang, maka senjata itu tidak banyak berarti; apalagi jika kedua hal di atas tidak ada, yaitu hatinya kosong dari tauhid, tawakkal, takwa, tawajjuh (menghadap, bergantung sepenuhnya kepada Allah) dan tidak memiliki senjata.
Kedua : Dari pihak yang mengobati dengan Al Qur`an dan As Sunnah juga harus memenuhi kedua hal di atas[16] . Oleh karena itu, Ibnut Tiin rahimahullah berkata: “Ruqyah dengan menggunakan beberapa kalimat ta’awudz dan juga yang lainnya dari nama-nama Allah adalah merupakan pengobatan rohani. Jika dilakukan oleh lisan orang-orang yang baik, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala kesembuhan tersebut akan terwujud”[17].
Para ulama telah sepakat membolehkan ruqyah dengan tiga syarat, yaitu:[18]

Ruqyah itu dengan menggunakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau asma`dan sifatNya, atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ruqyah itu harus diucapkan dengan bahasa Arab, diucapkan dengan jelas dan dapat difahami maknanya.
Harus diyakini, bahwa yang memberikan pengaruh bukanlah dzat ruqyah itu sendiri, tetapi yang memberi pengaruh ialah kekuasaan Allah. Adapun ruqyah hanya merupakan salah satu sebab saja[19].
Wallahu a’lam bish Shawab, Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maraji’:

Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, Cet. Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Tahun 1412 H.
Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, juz 4, oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir Al Arna-uth, Cet. Muassassah Ar Risalah, Tahun 1415 H.
Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, Cet. Darul Fikr.
Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, ta’lif Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, tahqiq Dr. Walid bin Abdurrahman Al Furayyan, Tahun 1419 H.
Adda’ wad Dawa’, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan bin Halabi.
Al ‘Ilaj Bir Ruqa` Minal Kitab Was Sunnah, oleh Dr. Sa’id bin Wahf Al Qahthan
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1] Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari IX/26, no. 24588, Cet. I Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut, Tahun 1412 H
[2] HR Al Bukhari no. 5678 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[3] HR Muslim no. 2204, dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu.
[4] HR Ad Daulabi dalam Al Kuna, dari sahabat Abu Darda`. Sanadnya hasan, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no.1633.
[5] HR Abu Ya’la dan Ibnu Hibban (no.1397, Mawarid), lihat Shahih Mawaridizh Zham-an, no. 1172, dari Ummu Salamah, hasan lighairihi.
[6] HR Muslim no. 2230 (125), Ahmad IV/68, V/380 dari seorang isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[7] HR Ahmad II/408,429,476; Hakim I/8; Baihaqi, VIII/135; dari sahabat Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Hakim dan disetujui Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani menshahihkan juga dalam Shahih Al Jami’ish Shaghir no.5939.
[8] Ruqyah, jama’nya adalah ruqaa. Yaitu bacaan-bacaan untuk pengobatan yang syar’i, berdasarkan pada riwayat yang shahih, atau sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama.
[9] Lihat Al Jawabul Kafi Liman Sa-ala’anid Dawa-isy Syafi (Jawaban yang memadai bagi orang yang bertanya tentang obat penyembuh yang mujarab), atau Ad Da’wad Dawaa’ (penyakit dan obatnya), karya Ibnul Qayyim, hlm.7, tahqiq Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
[10] Lihat Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim (IV/5-6).
[11] Lihat Zaadul Ma’ad (IV/352).
[12] Lihat Zaadul Ma’ad (IV/6, 352).
[13] Lihat Zaadul Ma’ad (IV/178).
[14] Lihat Adda’ Wad Dawa’, hlm.10.
[15] HR Al Hakim dan At Tirmidzi, no.2139 dari Salman Radhiyallahu anhu dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 154.
[16] Lihat Zaadul Ma’ad (IV/67-68).
[17] Fathul Baari (X/196).
[18] Lihat Fathul Baari (X/195), juga Fatawa Al ‘Allamah Ibni Baaz (II/384).
[19] Lihat Al ‘Ilaj Bir Ruqaa Minal Kitab Was Sunnah, hlm. 83.

Pergauli Orang Tua Dengan Baik

Pergauli Orang Tua Dengan Baik 

Orang tua memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Hak orang tua adalah hak besar yang harus ditunaikan oleh anak. Orang tua merupakan sebab kehadiran anak di dunia ini. Atas berkat kesabaran dan ketulusan orang tua, seorang anak dapat tumbuh besar menjadi dewasa. Oleh karena itu, Allah Ta’ala perintahkan anak untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya,

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An-Nisa: 36)

Allah Ta’ala juga melarang seorang anak untuk menyakiti hati orang tua walau hanya dengan kata “ah” atau ucapan yang semisal yang menunjukkan kekesalan atau tidak suka terhadap sikap mereka.

قَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanyadan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al-Isra: 23)

وَّلَا تَنْهَرْهُمَا maknanya yaitu ولا يجرهما jangan mencela, mencerca, memarahi mereka. (Tafsir Ath-Thabari)

Allah Ta’ala perintahkan untuk beribadah dan mentauhidkan-Nya, dan menggabungkannya dengan perintah bakti kepada kedua orang tua sebagaimana Allah Ta’ala gabungkan bersyukur kepada kedua orang tua dengan bersyukur kepada-Nya,

أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ

“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu dan hanya kepada-Ku kamu kembali.” (Tafsir Qurthubi)

Berbakti kepada kedua orang tua merupakan ibadah yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

سَأَلْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أيُّ العَمَلِ أحَبُّ إلى اللَّهِ؟ قالَ: الصَّلاةُ علَى وقْتِها، قالَ: ثُمَّ أيٌّ؟ قالَ: ثُمَّ برُّ الوالِدَيْنِ، قالَ: ثُمَّ أيٌّ؟ قالَ: الجِهادُ في سَبيلِ اللَّهِ

Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Amal apa yang paling dicintai Allah?’ Beliau berkata, salat pada waktunya.’ ‘Lalu amal apa lagi?’ ‘Berbakti pada orang tua.’ ‘Lalu amal apa lagi?’ ‘Jihad di jalan Allah.’” (HR. Bukhari no. 527 dan Muslim no. 85)

Hadis di atas menunjukkan bakti kepada orang tua amal yang utama setelah salat dan lebih utama dibandingkan jihad di jalan Allah Ta’ala. Ada salah seorang sahabat radhiyallahu ‘anhu yang pernah meminta izin untuk perang, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru memerintahkannya untuk berbakti kepada orang tuanya yang masih hidup. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu,

جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فاستأذنه في الجهاد ، فقال : أحي والداك ، قال : نعم ، قال : ففيهما فجاهد

Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta izin untuk ikut jihad. Nabi bersabda, ‘Apakah orang tuamu masih hidup?’ ‘Ya (masih hidup).’ Beliau bersabda, ‘Berjihadlah pada keduanya (berbakti).’” (HR. Bukhari no. 3004)

Sebagian kaum muslimin ditakdirkan Allah Ta’ala memiliki orang tua nonmuslim alias kafir. Maka, tetap wajib berbuat baik dan berbakti kepada mereka. Perintah bakti kepada orang tua tidak dikhususkan bagi orang tua yang muslim saja. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Ibu dari Asma bin Abu Bakar masih musyrik, namun rindu untuk bertemu dengan Asma radhiyallahu ‘anha,

قالَتْ: يا رَسولَ اللَّهِ إنَّ أُمِّي قَدِمَتْ عَلَيَّ وهي رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُهَا؟ قالَ: نَعَمْ صِلِيهَا.

Beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya ibuku rindu ingin bertemu denganku. Apakah aku boleh menemuinya?” Rasulullah menjawab, “Ya, temuilah dia.” (HR. Bukhari no. 3183)

Jika mereka memintamu berbuat syirik atau kemaksiatan

Berbuat baik dan berbakti kepada orang tua yang musyrik atau kafir hukumnya wajib selama tidak dalam kemaksiatan dan bertentangan dengan perintah Allah Ta’ala. Selama orang tua meminta hal yang mubah, maka anak wajib memenuhi keinginannya. Namun, jika perintah atau permintaan orang tua mengandung perbuatan yang bertentangan dengan syariat, keimanan, atau ketaatan kepada Allah Ta’ala, maka tidak wajib untuk diikuti walaupun orang tua mengancam dengan ancaman yang berat sekalipun.

Hal ini sering kali dialami oleh sebagian kaum muslimin yang telah mengenal agama kemudian berhadapan dengan orang tua yang belum memahami agama Islam yang hak. Mereka harus terjun ke dalam kondisi apakah harus mengikuti perintah orang tua untuk menyenangkannya atau mengingkarinya walau harus membuat mereka meneteskan air mata?

Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۗوَاِنْ جَاهَدٰكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۗاِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 8)

Dalam Tafsir Al-Qurthubi, diceritakan bahwa ayat di atas berkenaan dengan kisah Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu ketika beliau masuk Islam. Abu ‘Isa radhiallahu ‘anhu berkata,

Diriwayatkan dari Sa’ad bahwa beliau berkata, “Aku adalah anak yang patuh pada ibu. Kemudian aku masuk Islam. Ibu beliau berkata,

لتدعن دينك أو لا آكل ولا أشرب حتى أموت فتعير بي

Tinggalkanlah agamamu (Islam) atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, dan kamu akan mencelaku.’”

ويقال يا قاتل أمه وبقيت يوما ويوما

Dan dikatakan kepada Sa’ad, ‘Wahai sang pembunuh ibunya.’ Aku bertahan hidup hari demi hari.

يا أماه لو كانت لك مائة نفس فخرجت نفسا نفسا ما تركت ديني هذا ، فإن شئت فكلي وإن شئت فلا تأكلي

Wahai Ibu, seandainya engkau memiliki 100 nyawa, yang keluar satu per satu, aku tidak akan tinggalkan agamaku ini. Engkau mau makan atau tidak mau makan, terserah dirimu.”

Ketika ibunya melihat kondisi ini, lalu dia akhirnya makan. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi pada Surah Al-Ankabut ayat 8)

Bagi sebagian yang masih ragu bentuk sikap berpegang teguh kepada agama Allah Ta’ala di tengah perbedaan pemahaman dengan orang tua, maka sikap Sa’ad bin Waqqash adalah contoh nyata yang dapat ditiru. Bahwa perintah agama berada di atas segalanya. Tidak ada kepatuhan kepada makhluk di atas maksiat kepada Allah Ta’ala. Kesedihan orang tua akibat ketaatan kita kepada Allah tidak menjadikan perbuatan kita itu dinilai dosa. Karena Allah Ta’ala katakan,

وَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15)

Yakni, tapakilah jalan orang yang bertobat dari kesyirikan, kembali kepada Islam, mengikuti Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat Tafsir Ath-Thabari surah Luqman ayat 15)

Oleh karena itu, pergauilah mereka dengan baik, dan tidak menaatinya dalam kemaksiatan pada Allah Ta’ala. Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat.

***

Keutamaan Berwudhu Sebelum Tidur

Keutamaan Berwudhu Sebelum Tidur 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Terdapat hadis yang menunjukkan bahwa kita dianjurkan untuk bersuci sebelum tidur. Diantaranya, hadis dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ، ثُمَّ قُلْ : اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ ، لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ ، اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ ؛ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ ، وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ بِهِ

“Apabila engkau hendak tidur, berwudhulah sebagaimana wudhu ketika hendak shalat. Kemudian berbaringlah miring ke kanan, dan bacalah

اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ ، لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ ، اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ

Ya Allah, aku tundukkan wajahku kepada-Mu, aku pasrahkan urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu, karena rasa takut dan penuh haram kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari hukuman-Mu kecuali kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus.

Jika kamu mati di malam itu, kamu mati dalam keadaan fitrah. Jadikanlah doa itu, sebagai kalimat terakhir yang engkau ucapkan sebelum tidur.”

(HR. Bukhari 247 danMuslim 2710)

Didoakan Malaikat

Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan berwudhu sebelum tidur. Orang yang berwudhu sebelum tidur, akan didoakan malaikat.

Dari Abdullah bin Umar radliyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَاتَ طَاهِرًا، بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلَانٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

“Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci.’” (HR. Ibn Hibban 3/329. Syuaib Al-Arnauth mengatakan, Perawi hadis ini termasuk perawi kitab shahih. Hadis ini juga dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan beberapa manfaat berwudhu sebelum tidur,

وَلَهُ فَوَائِد : مِنْهَا أَنْ يَبِيت عَلَى طَهَارَة لِئَلَّا يَبْغَتهُ الْمَوْت فَيَكُون عَلَى هَيْئَة كَامِلَة , وَيُؤْخَذ مِنْهُ النَّدْب إِلَى الِاسْتِعْدَاد لِلْمَوْتِ بِطَهَارَةِ الْقَلْب لِأَنَّهُ أَوْلَى مِنْ طَهَارَة الْبَدَن .. ، وَيَتَأَكَّد ذَلِكَ فِي حَقّ الْمُحْدِث وَلَا سِيَّمَا الْجُنُب وَهُوَ أَنْشَط لِلْعَوْدِ , وَقَدْ يَكُون مُنَشِّطًا لِلْغُسْلِ ، فَيَبِيت عَلَى طَهَارَة كَامِلَة . وَمِنْهَا أَنْ يَكُون أَصْدَق لِرُؤْيَاهُ وَأَبْعَد مِنْ تَلَعُّب الشَّيْطَان بِهِ

Ada banyak manfaat dari berwudhu sebelum tidur, diantaranya, orang itu tidur dalam kondisi suci, agar ketika kematian menjemputnya, dia berada dalam keadaan sempurna. Dari hadis ini juga terdapat pelajaran agar kita selalu menyiapkan diri menghadapi kematian, dengan menyucikan hati. Karena kesucian hati lebih diutamakan dari pada kesucian badan…, lebih ditekankan lagi untuk orang yang sedang berhadas, terutama orang junub, agar bisa kemabli segar atau memicu untuk mandi. Sehingga dia bisa tidur suci dari semua hadats. Kemudian, diantara manfaat wudhu ini, untuk mengundang mimpi yang baik, dan dijauhkan dari permainan setan ketika tidur. (Fathul Bari, 11/110)

Allahu a’lam

Manusia Lebih Serakah Dari Serigala Lapar

Manusia Lebih Serakah Dari Serigala Lapar 

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa manusia lebih serakah daripada dua serigala lapar yang akan menerkam kambing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا ذئبان جَائِعَانِ أُرسِلاَ في غَنَمٍ بأفسَدَ لها مِنْ حِرصِ المرء على المال والشَّرَف لدينهِ

Dua serigala lapar yang menghampiri seekor kambing tidak lebih berbahaya baginya daripada ambisi seseorang kepada harta dan kedudukan bagi agamanya.” (HR. Tirmidzi)

Syekh Ali Firkous menukil penjelasan dari Ibnu Rajab rahimahullah, beliau menjelaskan mengapa dibuat permisalan dengan dua serigala lapar. Dua serigala itu akan mengepung kambing sehingga tidak ada lagi kambing yang tersisa, melainkan hanya sedikit saja. Beliau rahimahullah berkata,

فالذئبان الجائعان إذا أُرسلا في قطيعٍ من الغنم وأحاطا به من جانبيه وقد غاب الراعي الحارسُ لذلك القطيع؛ فإنهما سيهلكانه ويفترسانه، ولن ينجوَ من الغنم إلَّا القليل

Dua serigala yang lapar tatkala menerkam segerombolan kambing, mereka berdua akan mengepung kambing dari dua arah dan saat itu penjaga/pengembala kambing sedang tidak ada. Kedua serigala itu akan menerkam dan menghabiskan, tidak ada kambing yang selamat, melainkan sedikit saja.” (Sumber: https://ferkous.com/home/?q=rihab-1-20)

Manusia bisa jadi lebih serakah daripada dua serigala tadi. Serigala lapar yang menyerbu kandang kambing, cukup makan beberapa kambing saja agar kenyang, lalu serigala itu pun pergi. Sedangkan manusia yang serakah, semua ayam habis dan bisa jadi beserta kandang-kandangnya.

Manusia bisa jadi lebih serakah dan tamak daripada serigala. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَلَا يَزْدَادُ النَّاسُ عَلَى الدُّنْيَا إِلَّا حِرْصًا، وَلَا يَزْدَادُوْنَ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا

Hari Kiamat semakin dekat. Tidak bertambah (kemauan) manusia kepada dunia, melainkan semakin rakus. Dan tidak bertambah (kedekatan) mereka kepada Allah, melainkan semakin jauh.” (HR. Al-Hakim, lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah)

Ketamakan manusia kepada harta memang fakta dan banyak terjadi, serta memunculkan kerusakan di muka bumi. Karena memang fitnah (ujian) terbesar umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah harta, Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam  bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya pada setiap umat  ada fitnah (ujiannya). Dan fitnah umatku adalah harta.” (HR. Bukhari)

Bahkan fitnah dahsyat harta ini juga mengenai orang tua yang sudah lanjut usia (“sepuh”). Harusnya semakin tua itu semakin sadar bahwa ia sudah dekat dengan kematian dan sebentar lagi harta-harta yang ia kumpulkan akan meninggalkannya. Akan tetapi, bisa jadi karena fitnah harta ia terus mengumpulkan harta tanpa peduli batasan syariat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَىٰ حُبِّ اثْنَتَيْنِ : طُوْلُ الْـحَيَاةِ وَحُبُّ الْمَالِ

Hati orang yang tua renta senantiasa muda dalam mencintai dua perkara: hidup yang panjang dan cinta terhadap harta.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak heran besarnya fitnah harta ini sehingga Allah memperingatkan manusia bahwa harta telah melalaikan kita sampai masuk ke kuburan. Allah Ta’ala berfirman,

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

“Bermegah-megahan dengan harta telah melalaikan kalian.” (QS. At-Takatsur: 1)

Solusi dari ketamakan harta agar tidak seperti serigala adalah qana’ah. Merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, tidak terus mengeluh kekurangan, dijauhkan dari rasa serakah, dan tamak terhadap dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas (qana’ah) dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)

Cara terbaik agar kita selalu qana’ah adalah senantiasa melihat yang di bawah kita dalam masalah dunia dengan tujuan agar selalu bersyukur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah Engkau melihat orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga kita selalu diberikan rasa qana’ah dan kekayaan hati karena itulah hakikat kebahagiaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun, kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian, semoga bermanfaat.