Hukum Puasa Sunnah Di Hari Tasyrik

Hukum Puasa Sunnah Di Hari Tasyrik 

Bagaimana hukum puasa sunnah di hari taysrik? Misal untuk puasa Senin Kamis, puasa Daud, dan puasa ayyamul bidh (13, 14, 15 Hijriyah), bagaimana hukumnya?

Di antara hari yang terlarang untuk puasa adalah hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah). Dalam hadits disebutkan,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim no. 1141).

Imam Nawawi berkata, “Ini adalah dalil tidak boleh sama sekali berpuasa pada hari tasyriq.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 18)

Dikecualikan bagi yang berhaji dengan mengambil manasik tamattu’ dan qiron lalu ia tidak mendapati hadyu (hewan kurban yang disembelih di tanah haram), maka ketika itu ia boleh berpuasa pada hari tasyriq. Dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah berkata,

لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ

Tidak diberi keringanan di hari tasyriq untuk berpuasa kecuali jika tidak didapati hewan hadyu.” (HR. Bukhari no. 1998)

Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i (pendapat terbaru) dan menjadi pendapat Hambali.

Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, Al Auza’i, Malik, Ahmad dan Ishaq dalam salah satu pendapatnya bersikap akan bolehnya puasa bagi jamaah haji yang melakukan haji tamattu’ -saat tidak memiliki hewan hadyu untuk diqurbankan-. Begitu pula pendapat Imam Syafi’i yang qadim (yang lama) membolehkannya. Demikian disebutkan dalam Al Majmu’, 6: 314.

Di halaman sebelumnya, Imam Nawawi rahimahullah menuturkan, “Pendapat yang terkuat menurut ulama Syafi’iyah bahwa yang jadi pegangan adalah pendapat Imam Syafi’i yang jadid (yang baru) yaitu tidak boleh berpuasa pada hari tasyrik baik untuk jamaah haji yang menjalankan manasik tamattu’ atau selain mereka.

Namun pendapat yang kuat bahwa puasa bagi jamaah haji yang menjalankan tamattu’ dibolehkan dan dikatakan sah. Karena ada hadits yang meringankan puasa seperti ini. Itulah pendapat yang didukung oleh hadits yang lebih tegas dan tak perlu berpaling pada selain pendapat ini.” (Al Majmu’, 6: 313).

Wallahu Ta’ala a’lam. Wallahu waliyyut taufiq.

Sunnah Memperbanyak Doa Sapu Jagat Di Hari Tasyrik

Sunnah Memperbanyak Doa Sapu Jagat Di Hari Tasyrik 

Hari tasyrik (11,12,13 Dzulhijjah) adalah hari yang memiliki kemuliaan. Rasulullah shalllahu alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺃَﻋْﻈَﻢَ ﺍﻷَﻳَّﺎﻡِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﺒَﺎﺭَﻙَ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡُ ﺍﻟﻨَّﺤْﺮِ ﺛُﻢَّ ﻳَﻮْﻡُ ﺍﻟْﻘَﺮِّ

Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah hari Idul Adha dan yaumul qarr (hari tasyriq)” (HR. Abu Daud no. 1765, dishahihkan oleh Al-Albani).

Selain itu hari tasyrik juga hari menyantap makanan dan minuman serta hari di mana kita dianjurkan banya berdzikir mengingat Allah, sebagaimana firman Allah,

ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻲ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣَﻌْﺪُﻭﺩَﺍﺕٍ

Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang (hari tasyrik)” (QS. Al Baqarah: 203).

Dan Sabda Rasulullah shallahu alaihi wa sallam,

ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻖ ﺃﻳﺎﻡ ﺃﻛﻞ ﻭﺷﺮﺏ ﻭﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ

Hari Taysrik adalah hari makan, minum dan meningat Allah” (HR. Muslim)

Ada doa yang yang dianjurkan untuk banyak di baca pada hari tasyrik ini yaitu doa yang kita kenal oleh orang Indonesia dengan doa “sapu jagat”. Ini berdasarkan firman Allah,

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Rabbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzaban naar”. [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka]” (QS. Al Baqarah: 200-201).

Ikrimah berkata,

ﻛﺎﻥ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺃﻥ ﻳُﺪﻋﻰ ﻓﻲ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻖ : رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Disunnahkan membaca doa pada hari tasyrik: “Rabbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka]”.

Secara umum doa “sapu jagat” ini adalah doa yang memiliki banyak keutamaan dan merupakan doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta kebaikan dunia dan akhirat. Anas bin Malik mengatakan,

ﻛَﺎﻥَ ﺃَﻛْﺜَﺮُ ﺩُﻋَﺎﺀِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰِّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺁﺗِﻨَﺎ ﻓِﻰ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺣَﺴَﻨَﺔً ، ﻭَﻓِﻰ ﺍﻵﺧِﺮَﺓِ ﺣَﺴَﻨَﺔً ، ﻭَﻗِﻨَﺎ ﻋَﺬَﺍﺏَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ

Do’a yang paling banyak dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Allahumma Rabbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzaban naar” (Ya Allah, Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka)” (HR. Bukhari no. 2389 dan Muslim no. 2690).

***

Setelah Manusia Masuk Surga Dan Masuk Neraka Tidak Ada Lagi Kematian

Setelah Manusia Masuk Surga Dan Masuk Neraka Tidak Ada Lagi Kematian 

Ahlus Sunnah mengimani bahwa setelah manusia masuk Surga atau masuk Neraka tidak ada lagi kematian. Kematian adalah masalah maknawi yang tidak bisa dilihat dengan indera. Namun di akhirat, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai sesuatu yang berbentuk kambing dan dapat dilihat oleh indera, kemudian disembelih di antara Surga dan Neraka, lalu dikatakan:

…يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ، وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ.

“…Wahai penghuni Surga, kalian kekal (selamanya) dan tidak akan mati. (Demikian pula kepada penghuni Neraka), Wahai penghuni Neraka kalian kekal dan tidak akan mati.”[1]

Rangkaian peristiwa yang terjadi di akhirat, seperti hisab, pemberian pahala, siksaan, Surga, Neraka, dan rincian semua hal itu sudah disebutkan dalam kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, serta disebutkan dalam riwayat-riwayat yang diwariskan oleh para Nabi, sedangkan yang terkandung dalam Sunnah yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah ini sudah cukup serta memadai. Siapa yang mencarinya (mempelajarinya), ia pasti akan mendapatkannya.[2]

Beriman kepada hari Akhir, yaitu hari dibangkitkannya semua makhluk dan apa yang terjadi padanya akan mengingatkan seorang Mukmin bahwa ia akan kembali kepada Allah, maka ia berusaha untuk melakukan amal yang terbaik dengan ikhlas dan ittiba’ didasari dengan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta menumbuhkan raja’ (harapan) kepada rahmat Allah dan khauf (takut) terhadap siksa Allah, dan selalu bertaubat dari segala dosa.

Baca Juga  Apakah Sekarang Sudah Ada Jannah Dan Naar ?
Allah Ta’ala menegaskan penyebutan tentang hari Akhir di dalam Kitab-Nya, mengulang-ulang penyebutannya di setiap tempat, mengingatkan atasnya dalam setiap saat dan menegaskan kejadiannya, banyak menyebutkannya, dan mengaitkan bahwa keimanan kepada hari Akhir berkaitan erat dengan keimanan kepada Allah Ta’ala.

Dia Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur-an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” [Al-Baqarah/2: 4]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]


Footnote
[1] HR. Al-Bukhari, Kitaabut Tafsiir (no. 4730), dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[2] At-Tanbiihatul Lathiifah (hal. 74) dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (II/182). Bagi yang ingin membaca dengan lengkap silakan baca Shahiihul Bukhari: Kitaabur Riqaaq, Shahiih Muslim: Kitaabul Iimaan dari bab 80, Kitaabul Jannah dengan semua babnya, Sunan Abi Dawud: Kitaabus Sunnah dan Sunan at-Tirmidzi: Kitaab Shifaatil Qiyaamah dengan semua babnya, dan yang lainnya.

Hukum Shalat Idul Fitri & Idul Adha

Hukum Shalat Idul Fitri & Idul Adha

Shalat Id hukumnya wajib bagi setiap muslim. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyim. Dalil pendapat ini adalah sebagai berikut:

1. Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanaknnya. Karena sejak shalat Id ini disyariatkan pada tahun kedua hijriyah, beliau senantiasa melaksanakannya sampai beliau meninggal

2. Kebiasaan para khulafa ar-Rosyidin setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa shalat Id merupakan ibadah yang sangat disyariatkan dalam Islam.

3. Hadis Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha, bahwa beliau mengatakan: Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha….(HR. Bukhari dan Muslim)

Adanya perintah menunjukkan bahwa itu wajib, karena hukum asal perintah adalah wajib

4. Shalat Id merupakan salah satu syiar Islam yang paling besar.

Adab Shalat Hari Raya

1. Mandi pada Hari Id

Dari Nafi’, beliau mengatakan

أن عبد الله بن عمر كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى

bahwa Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke lapangan. (HR. Malik dan asy-Syafi’i dan sanadnya shahih)

Al-Faryabi menyebutkan bahwa Said bin al-Musayyib mengatakan:

سنة الفطر ثلاث : الـمَشْي إِلى الـمُصَلى ، و الأَكل قَبل الخُروج، والإِغتِسال

“Sunah ketika Idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar (menuju lapangan), dan mandi. (Ahkamul Idain karya al-faryabi dan sanadnya dishahihkan al-Albani)

Catatan: Dibolehkan untuk memulai mandi hari raya sebelum atau sesudah subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafi’i dan pendapat yang dinukil dari imam Ahmad. Allahu a’lam.

2. Berhias dan Memakai Wewangian

Dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu saat di hari Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ هَذَا يَومُ عِيدٍ جَعَلهُ الله لِلمُسلِمِينَ فمَن جاءَ إلى الـجُمعةِ فَليَغتَسِل وَإِن كانَ عِندَه طِيبٌ فَليَمسَّ مِنهُ وَعَلَيكُم بِالسِّواكِ

Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir jumatan, hendaknya dia mandi. Jika dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian harus gosok gigi.” (HR. Ibn Majah dan dihasankan al-Albani)

3. Memakai Pakaian yang Paling Bagus

Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan:

كانت للنبي -صلى الله عليه وسلم- جُبّة يَلبسُها فِي العِيدَين ، وَ يَوم الـجُمعَة

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau gunakan ketika hari raya dan hari Jumat.” (HR. Ibn Khuzaimah dan kitab shahihnya)

Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan: Umar bin Khathab pernah mengambil jubah dari sutra yang dibeli di pasar. Kemudian dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ya Rasulullah, saya membeli ini, sehingga engkau bisa berhias dengannya ketika hari raya dan ketika menyambut tamu. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya karena baju itu terbuat dari sutra. (HR. Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i)

Imam as-Sindi mengatakan: “…dari hadis disimpulkan bahwa berhias ketika hari raya merupakan kebiasaan yang mengakar di kalangan mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, yang artinya kebiasaan itu tetap belaku… (Hasyiah as-Sindy ‘ala an-Nasa’i, 3:181)

4. Tidak Makan Sampai Pulang dari Shalat Idul Adha dengan Daging Kurban

Dari Buraidah, beliau berkata:

لاَ يَـخرجُ يَومَ الفِطرِ حَتَّى يَطعَمَ ولاَ يَطعَمُ يَومَ الأَضْحَى حَتَّى يُصلِّىَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan ketika Idul Adha, beliau tidak makan sampai shalat dahulu. (HR. At Turmudzi, Ibn Majah, dan dishahihkan al-Albani)

5. Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan

Dari sa’d radliallahu ‘anhu,

أنَّ النَّبـىَّ -صلى الله عليه وسلم- كانَ يَـخْرج إلَى العِيد مَاشِيًا وَيَرجِعُ مَاشِيًا

Bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibn majah dan dishahihkan al-Albani)

Waktu Shalat Id

Dari Yazid bin Khumair, beliau mengatakan: suatu ketika Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar bersama masyarakat menuju lapangan shalat Id. Kemudian beliau mengingkari keterlambatan imam. Beliau mengatakan:

إِنّا كُنّا قَد فَرَغنَا سَاعَتَنَا هَذه و ذلكَ حِينَ التَّسبِيح

“Kami dulu telah selesai dari kegiatan ini (shalat Id) pada waktu dimana shalat sunah sudah dibolehkan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan Abu Daud dengan sanad shahih)

Keterangan: maksud: “waktu dimana shalat sunah sudah dibolehkan”: setelah berlalunya waktu larangan untuk shalat, yaitu ketika matahari terbit.

Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerahkan shalat Idul Adha. Sementara Ibnu Umar -orang yang sangat antusias mengikuti sunah- tidak keluar menuju lapangan sampai matahari terbit. Beliau melantunkan takbir sejak dari rumah sampai tiba di lapangan. (Zadul Ma’ad, 1:425)

Syaikh Abu Bakr al-Jazairi mengatakan: Waktu mulainya shalat Id adalah sejak matahari naik setinggi tombak sampai tergelincir. Namun yang lebih utama adalah shalat Idul Adha dilaksanakan di awal waktu, sehingga memungkinkan bagi masyarakat menyelesaikan sembelihannya dan mengakhirkan pelaksanaan sahalat Idul Fitri, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk membagikan zakat fitrinya. (Minhajul Muslim, hal. 278)

Tempat Pelaksanaan Shalat Id

1. Ketika di Mekah

Tempat pelaksanaan shalat Id di Mekah yang paling afdhal adalah di Masjidil Haram. Karena semua ulama senantiasa melaksanakan shalat Id di masjidil haram ketika di makah.

Imam an-Nawawi mengatakan: …ketika di Mekah, maka masjidil haram paling afdhal (untuk tempat shalat Id) tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, 5:524)

2. Di Luar Mekah

Tempat shalat Id yang sesuai sunah adalah lapangan. Kecuali jika ada halangan seperti hujan atau halangan lainnya.

Dari Abu Sa’id al-Khudri,

كَانَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم- يَـخْرجُ يَومَ الفِطرِ و الأَضحَى إلَى الـمُصلَّى، فَأَوَّلُ شَىْءٍ يَبْدَأ بِهِ الصَّلاةُ

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat Id. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnul Haj al-Makki mengatakan: …sunah yang berlaku sejak dulu terkait shalat Id adalah dilaksanakan di lapangan. Karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat di masjidku (masjid nabawi) lebih utama dari pada seribu kali shalat di selain masjidku, kecuali masjidil haram.” meskipun memiliki keutamaan yang sangat besar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjid. (al-Madkhal, 2:438)

Catatan:
Dianjurkan bagi imam untuk menunjuk salah seorang agar menjadi imam shalat Id di masjid bagi orang yang lemah -tidak mampu keluar menuju lapangan-, sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah.

Adab Ketika Menuju Lapangan

1. Berangkat dan pulangnya mengambil jalan yang berbeda

Dari Jabir bin Abdillah radliallahu ‘anhuma,

إِذا كانَ يَومُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّريقَ

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hari raya mengambil jalan yang berbeda (ketika berangdan dan pulang). (HR. Bukhari)

2. Dianjurkan bagi makmum untuk datang di lapangan lebih awal. Adapun imam, dianjurkan untuk datang agak akhir sampai waktu shalat dimulai. Karena imam itu ditunggu bukan menunggu. Demikianlah yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat

3. Bertakbir sejak dari rumah hingga tiba di lapangan

Termasuk sunah, bertakbir di jalan menuju lapangan dengan mengangkat suara. Adapun para wanita maka dianjurkan tidak mengeraskannya, sehingga tidak didengar laki-laki. Dalil lainnya:

A. Riwayat yang shahih dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. ad-Daruquthni dan al-Faryabi dan dishahihkan al-Albani)

B. Riwayat dari Muhammad bin Ibrahim, bahwa Abu Qotadah radliallahu ‘anhu berangkat shalat Id dan beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. (HR. al-Faryabi dalam Ahkamul Idain)

4. Tidak boleh membawa senjata, kecuali terpaksa

Dari Said bin Jubair, beliau mengatakan: Kami bersama Ibnu Umar, tiba-tiba dia terkena ujung tombak di bagian telapak kakinya. Maka aku pun turun dari kendaraan dan banyak orang menjenguknya. Ada orang yang bertanya: Bolehkah kami tau, siapa yang melukaimu? Ibnu Umar menunjuk orang itu: Kamu yang melukaiku. Karena kamu membawa senjata di hari yang tidak boleh membawa senjata…(HR. Bukhari)

Al-Hasan al-Bashri mengatakan: Mereka dilarang untuk membawa senjata di hari raya, kecuali jika mereka takut ada musuh. (HR. Bukhari secara mu’allaq)

Wanita Haid Tetap Berangkat ke Lapangan

Disyariatkan bagi wanita untuk berangkat menuju lapangan ketika hari raya dengan memperhatikan adab-adab berikut:

Memakai jilbab sempurna (hijab)

Dari Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan:

أمرنا رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أن نخرجهن في الفطر والأضحى: العواتق، والحيض، وذوات الخدور، فأما الحيض فيعتزلن الصلاة، ويشهدن الخير ودعوة المسلمين

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha…. Saya bertanya: Ya Rasulullah, ada yang tidak memiliki jilbab? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syarat Wanita Berangkat ke Lapangan

Pertama, Tidak memakai minyak wangi dan pakaian yang mengundang perhatian

Dari zaid bin Kholid Al Juhani radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تـمنَــعوا إماءَ الله الـمسَاجدَ، و ليَخرُجنَ تَفلاَتٍ

“Janganlah kalian melarang para wanita untuk ke masjid. Dan hendaknya mereka keluar dalam keadaan tafilaat.” (HR. Ahmad, Abu daud dan dishahihkan al-Albani)

Keterangan: Makna “tafilaat” : tidak memakai winyak wangi dan tidak menampakkan aurat

Kedua, Tidak boleh bercampur dengan laki-laki

Ummu Athiyah mengatakan:

فليكن خلف الناس يكبرنّ مع الناس

Hendaknya mereka berjalan di belakang laki-laki dan bertakbir bersama mereka. (HR. Muslim)

Sunah-sunah Ketika di Lapangan

1. Mengeraskan bacaan takbir sampai imam datang (mulai shalat)

Dari Nafi’,

كان ابنُ عُمر يـخرج يوم العيد إلى المصلى فيكبر ويرفع صوته حتى يَأتِي الإمام

Bahwa Ibnu Umar beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. ad-Daruquthni dan al-Faryabi dan dishahihkan al-Albani)

Dari al-Walid, bahwa beliau bertanya kepada al-Auza’i dan Imam Malik tentang mengeraskan takbir ketika hari raya. Keduanya menjawab: Ya, boleh. Abdullah bin Umar mengeraskan takbir ketika Idul Fitri sampai imam keluar. (HR. al-Faryabi)

2. Tidak ada adzan dan qamat ketika hendak shalat

Dari Jabir bin samurah radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

صليت مع رسول الله -صلى الله عليه وسلم- العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة

Saya shalat hari raya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa kali, tidak ada adzan dan qamat. (HR. Muslim)

Ibnu Abbas dan jabir bin Abdillah mengatakan: Tidak ada adzan ketika Idul Fitri dan tidak juga Idul Adha. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Tidak ada shalat sunah qabliyah dan ba’diyah di lapangan

Dari Ibn abbas,

أَنَّ النَّبِىّ -صلى الله عليه وسلم- خَرجَ يَومَ الفِطرِ، فَصلَّى رَكعَتَينِ لَـم يُصَلّ قَبلَهَا و لا بَعدَهَا و مَعَهُ بِلاَلٌ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju lapangan ketika Idul Fitri, kemudian shalat dua rakaat. Tidak shalat sunah sebelum maupun sesudahnya. Dan beliau bersama Bilal. (HR. Bukhari dan al-baihaqi)

Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat, tidaklah melakukan shalat apapun setelah mereka sampai di lapangan. Baik sebelum shalat Id maupun sesudahnya. (Zadul Ma’ad, 1/425)

Catatan:

1. Dibolehkan untuk melaksanakan shalat sunah setelah tiba di rumah

Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat sunah apapun sebelum shalat Id. Setelah pulang ke rumah, beliau shalat dua rakaat. (HR. Ibn Majah dan dishahihkan Al Albnai)

2. Orang yang shalat Id di masjid, tetap disyariatkan untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid, mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين

Apabila kalian masuk masjid maka jangan duduk sampai shalat dua rakaat.”
Demikian penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Shalatul idain karya Sa’id al-Qohthoani)

Tata Cara Shalat Id

Pertama, sutrah (pembatas shalat) bagi imam

Dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menuju lapangan pada hari raya, beliau perintahkan untuk menancapkan bayonet di depan beliau, kemudian beliau shalat menghadap ke benda tersebut. (HR. Bukhari)

Kedua, Shalat id dua rakaat

Umar bin Khatab mengatakan:

صلاة الجمعة ركعتان، وصلاة الفطر ركعتان،وصلاة الأضحى ركعتان

“Shalat Jumat dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat…” (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan dishahihkan al-Albani)

Ketiga, Shalat dilaksanakan sebelum khutbah

Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Saya mengikuti shalat Id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu bakar, Umar, dan Utsman radliallahu ‘anhum, mereka semua melaksanakan shalat sebelum khhutbah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Keempat, takbir ketika shalat Id

takbiratul ihram di rakaat pertama, lalu membaca do’a iftitah, kemudian bertakbir tujuh kali. Di rakaat kedua, setelah takbir intiqal berdiri dari sujud, kemudian bertakbir 5 kali

Dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika Idul Fitri dan Idul Adha, di rakaat pertama: 7 kali takbir dan lima kalli takbir di rakaat kedua, selain takbir rukuk di masing-masing rakaat. (HR. Abu daud dan Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani)

Al-Baghawi mengatakan: Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan shabat maupun orang-orang setelahnya. Mereka bertakbir ketika shalat Id: di rakaat pertama tujuh kali selain takbiratul ihram dan di rakaat kedua lima kali selain takbir bangkit dari sujud. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu bakar, Umar, Ali… radliallahu ‘anhum … (Syarhus Sunah, 4:309. dinukil dari Ahkamul Idain karya Syaikh Ali Al-halabi)

Kelima, Mengangkat tangan ketika takbir tambahan

Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi mengatakan: Tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangan setiap takbir-takbir shalat Id. (Ahkamul Idain, hal. 20)

Namun terdapat riwayat dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengangkat kedua tangan setiap takbir tambahan shalat Id. (Zadul Maad, 1/425)

Al-Faryabi menyebutkan riwayat dari al-Walid bin Muslim, bahwa beliau bertanya kepada Imam malik tentang mengangkat tangan ketika takbir-takbir tambahan. Imam malik menjawab: ya, angkatlah kedua tanganmu setiap takbir tambahan…(Riwayat al-Faryabi dan sanadnya dishahihkan al-Albani)

Keterangan: Maksud takbir tambahan: takbir 7 kali rakaat pertama dan 5 kali rakaat kedua.

Keenam, dzikir di sela-sela takbir tambahan

Syaikh Ali bin Hasan Al halabi mengatakan: Tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dzikir tertentu di sela-sela takbir tambahan. (Ahkamul Idain, hal. 21)

Namun terdapat riwayat yang shahih dari ibn mas’ud radliallahu ‘anhu, beliau menjelaskan tentang shalat Id:

بين كل تكبيرتين حمد لله و ثناء على الله

Di setiap sela-sela takbir tambahan dianjurkan membaca tahmid dan pujian kepada Allah. (HR. al-Baihaqi dan dishahihkan al-Albani)

Ibnul Qoyim mengatakan: Disebutkan dari Ibn Mas’ud bahwa beliau menajelaskan: (di setiap sela-sela takbir, dianjurkan) membaca hamdalah, memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Zadul Maad, 1/425)

Ketujuh, bacaan ketika shalat

Setelah selesai takbir tambahan, membaca ta’awudz, membaca Al Fatihah, kemudian membaca surat dengan kombinasi berikut:

1. Surat Qaf di rakaat pertama dan surat Al Qamar di rakaat kedua.

2. Surat Al A’la di rakaat pertama dan surat Al Ghasyiah di rakaat kedua.

Semua kombinasi tersebut terdapat dalam riwayat Muslim, An nasai dan At Turmudzi

Kedelapan, tata cara selanjutnya

Tata cara shalat Id selanjutnya sama dengan shalat lainnya, dan tidak ada perbedaan sedikit pun (Ahkamul Idain, hal. 22)

Orang yang Ketinggalan Shalat Id

Orang yang ketinggalan shalat Id berjamaah maka dia shalat dua rakaat.

Imam Bukhari mengatakan: Bab, apabila orang ketinggalan shalat Id maka dia shalat dua rakaat. (shahih Bukhari)

Atha’ bin Abi Rabah mengatakan:

إذا فاته العيد صلى ركعتين

Apabila ketinggalan shalat Id maka shalat dua rakaat. (HR. Bukhari)

Adapun orang yang meninggalkan shalat Id dengan sengaja, maka pendapat yang nampak dari Syaikhul Islam Ibn taimiyah; dia tidak disyariatkan untuk mengqadla’nya. (Majmu’ Al fatawa, 24/186)

Khotbah Shalat Id

Pertama, dilaksanakan setelah shalat

Dari Ibnu Umar, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, abu bakar dan umar radliallahu ‘anhuma, mereka semua melaksanakan shalat sebelum khutbah. (HR. Bukhari dan muslim)

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan:

شهدت العيد مع رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وأبي بكر، وعمر، وعثمان رضى الله عنهم، فكلهم كانوا يصلون قبل الخطبة

Saya mengikuti shalat Id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu bakar, Umar, dan Utsman radliallahu ‘anhum, mereka semua melaksanakan shalat sebelum khhutbah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, khotib berdiri menghadap jamaah

dari Abu sa’id al-Khudri radliallahu ‘anhu, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju lapangan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat, kemudian beliau berbalik, berdiri menghadap jama’ah. Sementara para jamaah tetap duduk di barisan-barisan mereka. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga, imam berkhutbah di tempat yang tinggi tanpa mimbar

Dalam hadis jabir disebutkan:

قام النبي -صلى الله عليه وسلم- يوم الفطر، فصلى، فبدأ بالصلاة، ثم خطب، فلما فرغ نزل فأتى النساء فذكرهن

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ketika Idul Fitri, beliau mulai dengan shalat kemudian berkhutbah. Setelah selesai beliau turun kemudian mendatangi jamaah wanita…(HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Bukhari mengatakan: bab, datang di lapangan (hari raya) tanpa membawa mimbar. (shahih Al bukhari)

Imam Ibnul Qayim mengatakan: Tidak diragukan, bahwa mimbar tidak dibawa dari masjid (ke lapangan). Orang yang pertama kali mengeluarkan mimbar ke masjid adalah Marwan bin Hakam, dan perbuatan beliau diingkari… (Zadul Maad, 1:425)

Keempat, termasuk sunah: khatib berceramah dengan memegang tongkat atau semacamnya

Dari Barra bin Azib radliallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نُــووِل يَـــــــوم العيد قَــوساً فَــخَـــطَــب عليه

bahwa kami memberikan busur panah kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya dan beliau berkhutbah dengan memegangnya. (HR. Abu Dayd dan dishahihkan al-Albani)

Kelima, khutbah dimulai dengan membaca tahmid

Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai semua khutbahnya dengan membaca tahmid. Dan tidak diriwayatkan dalam satu hadis-pun bahwa beliau memulai khutbahnya pada dua hari raya dengan melantunkan takbir…(Zadul Maad, 1:425)

Syaikhul Islam mengatakan: Tidak diriwayatkan dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memulai khutbahnya dengan selain tahmid, baik khutbah id, khutbah istisqa’, maupun khutbah lainnya…(Majmu’ al-fatawa, 22/393)

Keenam, isi khotbah disesuaikan dengan situasi terkini

jika khutbahnya ketika Idul Adha maka sang khatib mengingatkan tentang Idul Adha dan rincian hukumnya, mengingatkan keutamaan 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah, memerintahkan untuk bertakwa dan menjaga ketaatan lainnya. Tidak selayaknya, kesempatan khutbah ini digunakan untuk mencela pemerintah atau ulama, menuduh mereka kafir atau fasiq, atau tema-tema khutbah lainnya yang dapat membangkitkan emosi masyarakat dan memicu kerusuhan.

Keringanan Untuk Tidak Mengikuti Khotbah

Dari Abdullah bin saib radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Saya mengikuti shalat Id bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah selesai khutbah beliau bersabda:

إِنَّا نَـخطُب فَمَن أحَبَّ أَن يَـجلسَ للخُطْبةِ  فليَجلِسْ و مَن أَحَبّ أَن يَذهَب فليَذْهَب

“Saya akan menyampaikan khutbah. Siapa yang ingin duduk mendengarkan khutbah, silahkan dia duduk, dan Siapa yang ingin pulang sialahkan pulang.” (HR. Abu daud, an Nasa’i dan dishahihkan al-Albani)

Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan bagi orang yang mengikuti hari raya untuk duduk mendengarkan khutbah atau pulang….(Zadul Maad, 1/425).

Larangan Berpuasa di Hari Raya

Dari Abu Sa’id al-Khudzri radliallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَن صيَام يَومَينِ يَومِ الفِطرِ و يَومِ النَّحرِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada dua hari: hari Idul Fitri dan Idul Adha. (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi mengatakan: “Para ulama telah sepakat tentang haramnya puasa di dua hari raya sama sekali. Baik puasanya itu puasa nadzar, puasa sunah, puasa kaffarah, atau puasa yang lainnya. (Syarah Shahih Muslim karya an-Nawawi, 8/15)

Allahu a’lam.

Keutamaan Hari Arofah

Keutamaan Hari Arofah 

Hari Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah setiap tahun merupakan salah satu hari yang paling utama sepanjang tahun. Bahkan dalam madzhab Syâfi’i disebutkan bahwa jika ada orang yang mengatakan, ‘Isteri saya jatuh talak pada hari paling utama’, maka talak tersebut jatuh pada hari Arafah.[1]  Keistimewaan hari ini berdasarkan pada dalil umum dan khusus.

Dalil umum yaitu hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ». فقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ: “وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ”.

Tidak ada hari-hari di mana amal saleh di dalamnya  lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada hari–hari yang sepuluh ini”. Para sahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Allâh ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allâh, kecuali orang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatupun.” [HR al-Bukhâri no. 969 dan at-Tirmidzi no. 757, dan lafazh ini adalah lafazh riwayat at-Tirmidzi]

Maksudnya adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang merupakan rangkaian hari paling utama sepanjang tahun. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,  “Siang hari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada malam sepuluh terakhir bulan Ramadhân, dan malam sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama daripada malam sepuluh hari pertama Dzulhijjah.”[2]

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya memperbanyak amal saleh di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan hari Arafah termasuk di dalamnya.

Adapun dalil khusus yang menunjukkan keistimewaan hari Arafah di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Di Hari Ini Allâh Azza Wa Jalla Paling Banyak Membebaskan Manusia Dari Neraka.
    Ibunda kaum mukminin, Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟

Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata: Apa yang mereka inginkan?” [HR. Muslim no. 1348]

Maksudnya, tidak ada yang mendorong mereka untuk meninggalkan negeri, keluarga dan kenikmatan mereka (untuk menunaikan ibadah haji-red) kecuali ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan pencarian ridhanya. [3]

  1. Doa Di Hari Arafah Adalah Doa Terbaik.
    Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُ الدُّعاءِ دُعاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَناَ وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِيْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ


Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir.”  [HR. at-Tirmidzi no. 3585, dihukumi shahih oleh al-Albani]

  1. Wukuf Di Arafah Merupakan Rukun Haji Yang Paling Pokok.
    Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam  ditanya oleh sekelompok orang dari Nejed tentang haji, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

الْحَجُّ عَرَفَةُ

Haji itu adalah Arafah.

[HR. at-Tirmidzi no. 889, an-Nasâ’i no. 3016 dan Ibnu Mâjah no. 3015 , dihukumi shahih oleh al-Albâni]

Maksud hadits ini adalah bahwa wukuf di Arafah merupakan tiang haji dan rukunnya yang terpenting. Barang siapa meninggalkannya, maka hajinya batal, dan barangsiapa melakukannya, maka telah aman hajinya.[4]

  1. Puasa Di Hari Arafah Memiliki Keutamaan Yang Besar.
    Puasa sehari ini menghapuskan dosa dua tahun, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ

Puasa hari Arafah aku harapkan dari Allâh  bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. [HR. Muslim no. 1162]

Demikianlah, dalil-dalil ini cukup untuk menunjukkan keistimewaan hari Arafah. Tidak hanya untuk para jamaah haji yang di hari itu memiliki agenda wukuf di Arafah, kaum Muslimin yang lain juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendulang pahala dan ampunan dari Sang Maha Pengampun. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan karunia-Nya kepada kita.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1] Lihat: Syarah Shahih Muslim karya an-Nawawi 3/477.
[2] Al-Fatâwa al-Kubrâ 2/477.
[3]  Lihat: al-Mufhim (Syarah Shahih Muslim), 5/178.
[4]  Lihat al-Fathur Rabbâni karya as- Sa’ati 2/23, Tuhfatul Ahwadzi 3/540.

DO’A HARI ARAFAH

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allâh semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan semesta dan bagi-Nya segala puji. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي

Sebaik-baik doa adalah doa di hari Arafah. Dan sebaik-baik yang aku ucapkan dan juga para nabi sebelumku adalah: … Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan doa atau dzikir di atas. [HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu]

Dzikir atau doa di atas adalah sebaik-baik yang diucapkan para Nabi. Ini menunjukkan keutamaan kalimat tauhid di atas. Juga menunjukkan bahwa di antara waktu utama yang harus manfaatkan dengan baik oleh seorang Muslim untuk berdoa adalah hari Arafah. Ia adalah hari yang penuh keutamaan yang dikabulkan doa, diampuni dosa, dan digugurkan berbagai kesalahan pada waktu tersebut [Fiqhul Ad’iyah wal Adzkâr, 1/174, 2/102]


Dalam hadits dari lafaz Imam Ahmad, hal ini ditegaskan dengan jelas. Dalam riwayat itu disebutkan, “Kebanyakan doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Arafah adalah :

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  

Ath-Thabrani dalam kitab Ad-Du’â: Yang paling utama yang aku katakan dan para nabi pada sore hari Arafah adalah…..

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Imam Syaukani rahimahullah berkata : Lafaz ini tegas menyebutkan bahwa kebanyakan doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Arafah adalah ucapan dzikir tersebut. Bisa jadi dzikir ini dikatakan agak musykil, yaitu bahwa dzikir ini tidak terkandung kandungan doa di dalamnya. Yang ada hanyalah tauhid dan sanjungan untuk Allâh saja. Mengenai hal ini, Sufyan bin Uyainah rahimahullah ditanya mengenai hal ini. Beliau rahimahullah menjawab dengan menyitir untaian syair, di mana penyair bermaksud meminta pemberian tanpa harus menyebutkan hajatnya. Namun cukup dengan menyanjung saja:

Apakah aku harus menyebut keperluanku, ataukah cukup bagiku mengandalkan sifat malumu. Karena tabiatmu adalah bahwa engkau seorang yang pemalu
Bila pada suatu ketika seseorang menghaturkan sanjungan kepadamu pujian pun telah mencukupinya dari menyampaikan akan maksudnya

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa disukai untuk memperbanyak dzikir ini dan doa, serta bersungguh-sungguh dalam melakukannya. Karena hari tersebut adalah hari paling utama sepanjang tahun untuk berdoa. Ia adalah amalan haji yang paling dominan, tujuan utama dan yang menjadi penentu. Sehingga sudah seyogyanya seseorang mengupayakan semaksimal mungkin dalam berdzikir, berdoa, membaca al-Quran, dan agar ia berdoa dengan berbagai macam doa. Ia berdzikir dengan berbagai dzikir. Berdoa untuk dirinya dan berdzikir di semua tempat. Ia berdoa sendiri-sendiri bersama orang-orang. Ia berdoa untuk dirinya, dua orang tua, kerabat, para guru, sahabat, teman, orang yang dicinta, dan semua orang yang pernah berbuat baik kepadanya serta semua Muslimin. Hendaknya ia berhati-hati agar tidak menyepelekan dalam hal itu semua. Karena hari ini tidak mungkin untuk dikembalikan kembali (bila luput darinya)… [Al-Adzkâr 1/228].

Sembelihanku Hanya Untuk Alloh

Sembelihanku Hanya Untuk Alloh 

Sering kita dapati dalam masyarakat, sebagian kaum muslimin yang melakukan penyembelihan untuk ditujukan kepada selain Allah. Seperti misalnya menyembelih untuk ditujukan kepada jin penunggu Gunung Merapai, sembelihan untuk tolak bala, sembelihan untuk sedekah laut, dan yang semisalnya. Padahal sembelihan merupakan salah satu jenis ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah semata. Barangsiapa yang memalingkannya kepada selain Allah dia telah berbuat syirik kepada-Nya.

Ibadah Menyembelih Hanya Untuk Allah

Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”(Al An’am:162)

Makna nusuk adalah sembelihan atau kurban, yaitu melakukan taqarrub (pendekatkan diri) dengan cara mengalirkan darah. Dalam ayat ini Allah mneybutkan bahwa sholat dan menyembelih adalah termasuk ibadah sehingga harus ditujukan kepada Allah semata. (Lihat At-Tamhiid li Syarhi Kitabi at Tauhiid, 143, Syaikh Shalih Alu Syaikh).

Allah Melaknat Orang yang Menyembelih untuk Selain-Nya

Larangan menyembelih untuk selain Allah dipertegas juga dengan sabda Nabi  shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut :

عن علي رضي الله عنه قال: حدثني رسول الله صلى الله عليه وسلم بأربع كلمات: (لعن الله من ذبح لغير الله، لعن الله من لعن ووالديه. لعن الله من آوى محدثاً، لعن الله من غير منار الأرض) [رواه مسلم].

Dari ‘Ali radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku dengan empat nasihat : “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat anak yang melaknat kedua orang tuanya. Allah melaknat orang yang melindungi muhdits (orang yang jahat) /muhdats (pelaku bid’ah). Allah melaknat orang yang sengaja mengubah patok batas tanah.” (HR. Muslim 1978).

Dalam hadist di atas  Allah melaknat empat golongan manusia, di antaranya adalah orang yang menyembelih untuk selain Allah. Ancaman ini menunjukkan perbuatan meyembelih untuk selain Allah merupakan perbuatan terlaknat. Yang dimaksud laknat dari Allah adalah dijauhkan dari rahmat Nya. Perbuatan menyembelih untuk selain Allah merupakan perbuatan syirik akbar sehingga pelakunya tidak mendapat rahmat Allah sama sekali dan menyebabkan pelakunya kekal di neraka.

Penyebutan golongan pertama yang dilaknat Allah adalah orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah. Laknat inilah yang dimulai karena perbuatan tersebut termasuk perbuatan syirik kepada Allah, dosa yang paling besar yang tidak diampuni Allah.  Jika Allah menyebut tentang hak-hak-Nya, maka Dia memulai dengan penyebutan hak yang terbesar yaitu tauhid, karena hak Allah-lah yang paling besar. Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً ً

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orangtua” (An Nisaa’:36)

Sedangkan jika menyebutkan larangan dan hukuman, maka dimulai dengan penyebutan yang berkaitan dengan syirik, karena itulah dosa yang paling besar.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al Israa’:23) [Faedah dari  Al Qaulul Mufiid bi Syarhi Kitabi at Tauhiid I/142, Syaikh ‘Utsaimin]. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa dosa menyembelih untuk selain Allah lebih besar daripada dosa durhaka kepada orang tua.

Dua Hal Yang Perlu Diperhatikan dalam Menyembelih.

Dalam ibadah menyembelih, ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu tasmiyah dan al qasduTasmiyah adalah menyebut sebuah nama ketika menyembelih seperti mengucapkan basmalah (menyebut nama Allah), menyebut nama Syaikh Abdulqadir Jailani,  atau menyebut nama yang lainnya. Tujuan dari tasmiyah ini adalah untuk isti’anah (memohon pertolongan) dan mendekatkan diri kepada yang disebut namanya tersebut.

Sedangkan yang dimaksud dengan al qasdu adalah maksud/tujuan dari menyembelih tersebut.  Tujuan sembelihan ada kemungkinan ditujukan kepada Allah saja dan ada kemungkinan ditujukan kepada selain Allah.

Berdasarkan keterangan di atas, maka hukum penyembelihan dapat dirinci sebagai berikut:

1.      Menyembelih dengan menyebut nama Allah dan ditujukan kepada Allah. Inilah tauhid dan nilah sembelihan yang benar.

2.      Menyembelih dengan menyebut nama Allah namun ditujukan kepada selain Allah. Ini termasuk perbuatan syirik karena menujukan ibadah kepada selian Allah.

3.      Menyembelih dengan menyebut nama selain Allah dan ditujukan kepada selain Allah. Ini temasuk perbuatan syirik dalam hal isti’anah (meminta pertolongan) dan sekaligus syirik dalam tujuan ibadah.

4.      Menyembelih dengan menyebut nama selain Allah namun ditujukan kepada Allah. Ini termasuk perbuatan syirik rububiyah karena meminta pertolongan kepada selain Allah. [Lihat penjelasan lebih lengkap dalam At Tamhiid 138-141]

Jenis-Jenis Sembelihan

Pembaca yang dirahmati Allah, perlu diketahui bahwa sembelihan ada beberapa macam :

1.      Sembelihan Ibadah

Yakni seseorang yang menyembelih dalam rangka mendekatkan diri dan mengagungkan Allah Ta’ala. Semisal menyembelih al hadyu saat haji dan mneyembelih hewan kurban saat hari raya kurban.

2.      Sembelihan Syirik

Yakni seseorang yang menyembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada selain Allah dalam bentuk ibadah dan pengagungan.  Model yang semacam ini banyak. Di antaranya menyembelih ditujukan kepada jin ketika membangun rumah, atau ketika membangun jembatan agar pembangunan berjalan lancar,dll. Termasuk juga menyembelih yang ditujukan kepada penghuni kubur, berhala, pohon yang dikeramatkan, dll.

3.      Sembelihan Bid’ah

Yakni sembelihan yang tidak ada dasar syariatnya. Semisal menyembelih hewan saat sholat istisqa’, menyembelih saat perayaan acara Maulid,dll.

4.      Sembelihan Mubah

Yakni sembelihan yang tujuannya untuk hal-hal mubah. Seperti menyembelih untuk dimakan dagingnya, untuk dijual dagingnya. Yang demikian ini hukumnya mubah. [Lihat Taisirul Wushuul ilaa Nailil Ma’muul bi Syarhi Tsalatsatil Ushuul 62-63, Syaikh Nu’man bin Abdil Kariim]

Daging Sembelihan yang Haram Dimakan

Daging hewan sembelihan yang dilakukan dalam rangka syirik kepada Allah hukumnya haram untuk dimakan, baik itu syirik dalam hal isti’anah karena tidak menyebut nama Allah dalam menyembelih,  maupun syirik dalam bentuk ibadah karena menujukannya kepada selain Allah.

1.      Sembelihan yang tidak disebut Nama Allah

Daging sembelihan dari hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah (baik tidak menyebut nama siapapun atau menyebut nama selain Allah) hukumnya haram untuk dimakan. Allah Ta’ala berfirman

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah “ (Al Maidah:3).

Allah Ta’ala juga berfirman :

وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya . Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan” ( Al An;am :121)

Oleh karena itu tidak boleh memakan sembelihan orang-orang musyrik atau majusi atau orang-orang yang telah murtad. Adapun sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani maka boleh memakannya selama tidak diketahui bahwasanya mereka menyebut nama selain Allah, karena Allah berfirman :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu” (Al Maidah:5). Ibnu ‘Abbas mengatakan : “Yang dimaksud makanan mereka adalah sembelihan mereka”, [Shahih Fiqh Sunnah II/339, Syaikh Abu Malik]

2.      Sembelihan yang ditujukan kepada selain Allah.

Termasuk juga daging sembelihan yang haram dimakan adalah sembelihan  yang ditujukan kepada selain Allah (meskipun pada saat menyembelih menyebut nama Allah) . Allah Ta’ala berfirman

وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala” (Al Maidah:3). [Shahih Fiqh Sunnah II/341]. Hal ini berlaku umum untuk setiap jenis sembelihan yang ditujukan kepada selain Allah, baik itu untuk kuburan wali, jin, berhala, bahkan malaikat dan nabi sekalipun. Daging sembelihan semacam itu haram untuk dimakan.

Larangan Memberikan Sesaji

Perbuatan yang hampir serupa dengan menyembelih untuk selain Allah adalah memberikan sesaji. Misalnya sesaji yang dipersembahkan kepada Nyi Roro Kidul dalam acara sedekah laut di Pantai Selatan, atau sesaji untuk tolak bala yang dtujukan kepada “Mbah Petruk” penunggu Gunung Merapi. Perbuatan ini juga termasuk kesyirikan karena pemberian sesaji tersebut adalah dalam rangka mendekatkan diri dan bentuk pengagungan kepada selain Allah. Hukumnya sama dengan menyembelih untuk selian Allah, yakni merupakan perbuatan syrik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.

Dalil yang menunjukkan hal  ini adalah kisah tentang orang yang berkorban (baca: memberikan sesaji) berupa seekor lalat kepada berhala. Kisah ini ada dalam hadist Nabi berikut :

وعن طارق بن شهاب، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (دخل الجنة رجل في ذباب، ودخل النار رجل في ذباب) قالوا: وكيف ذلك يا رسول الله؟! قال: (مر رجلان على قوم لهم صنم لا يجوزه أحد حتى يقرب له شيئاً، فقالوا لأحدهما قرب قال: ليس عندي شيء أقرب قالوا له: قرب ولو ذباباً، فقرب ذباباً، فخلوا سبيله، فدخل النار، وقالوا للآخر: قرب، فقال: ما كنت لأقرب لأحد شيئاً دون الله عز وجل، فضربوا عنقه فدخل الجنة) [رواه أحمد].

Dari Thariq bin Syihab, (beliau menceritakan) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ada seorang lelaki yang masuk surga gara-gara seekor lalat dan ada pula lelaki lain yang masuk neraka gara-gara lalat.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab, “Ada dua orang lelaki yang melewati daerah suatu kaum yang memiliki berhala. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban (memberikan sesaji)  sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka pun mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu, “Berkorbanlah.” Maka dia menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.” Maka mereka mengatakan, “berkorbanlah, walaupun hanya dengan seekor lalat.” Maka dia pun berkorban dengan seekor lalat, sehingga mereka pun memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan. Karena sebab itulah dia masuk neraka. Dan mereka juga mengatakan kepada orang yang satunya, “Berkorbanlah.” Dia menjawab, “Tidak pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain Allah ‘azza wa jalla.” Maka mereka pun memenggal lehernya, dan karena itulah dia masuk surga.” (HR. Ahmad. Hadist ini sahahih mauquf dari Salman. Diriwayatkan Ahmad dalam Az Zuhud 15, Ibnu Abi Syaibah, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dari jalur Thariq bin Syihab, dari Slaman secara mauquf.- lihat catatan kaki pada Al Qaulul Mufiid I/141)

Hadist ini menunjukkan bahwa taqarrub kepada berhala (dengan menyembelih hewan,  memeberikan sesaji, atau yang lainnya) merupakan sebab masuk ke dalam neraka. Yang tampak dari kisah di atas  bahwa orang yang disebutkan dalam hadis tersebut awalnya adalah seorang muslim. Dia masuk neraka disebabkan karena perbuatannya. Hal ini menunjukkan bahwasanya bertaqarrub kepada selain Allah merupakan perbuatan syirik akbar, karena hukuman masuk neraka yang dimaksud dalam hadits ini adalah hukuman kekal di neraka. Pelajaran lain dari hadist di atas, bahwa walaupun yang dijadikan bentuk taqarrub adalah sesuatu yang tidak bernilai, yakni hanya seekor lalat,  bisa menyebabkan seseorang kekal masuk neraka. Maka ini menunjukkan barang siapa yang bertaqarrub dengan sesuatu yang lebih besar dan lebih berharga dari lalat, maka merupakan sebab yang lebih besar untuk masuk ke dalam nerakan. (Lihat At Tamhiid 147)

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita di atas jalan tauhid dan menjauhkan kita dari dosa-dosa syirik. Wa shalallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

Tidak Ada Hamba Yang Tahu Tempat Kematiannya

Tidak Ada Hamba Yang Tahu Tempat Kematiannya 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٍ تَمُوتُۚ

“Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (Luqman: 34)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللهُ قَبْضَ رُوْحِ عَبْدٍ جَعَلَ اللهُ لَهُ بِهَا حَاجَةً

“Jika Allah menghendaki untuk mencabut ruh seorang hamba di suatu negeri, Allah akan membuatnya memiliki hajat untuk mendatangi negeri tersebut.” (HR. Ahmad [3/429] dan at-Tirmidzi no. 2146, dari sahabat Abu Azzah radhiallahu anhu)

Imam Qatadah berkata, terkait dengan ayat ini (Luqman: 34),

“Tidak seorang manusia pun yang tahu, di bumi mana ia akan mati; entah itu di laut, di darat, di tanah datar, ataukah di gunung.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/355)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, ketika menjelaskan mafatihul ghaib atau ‘lima kunci ilmu gaib’ yang hanya diketahui oleh Allah subhanahu wa ta’ala, salah satunya adalah “mengetahui tempat kematian (seorang hamba)”.

Beliau berdalil dengan firman Allah,

وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٍ تَمُوتُۚ

“Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (Luqman: 34)

Tidak ada yang mengetahui, apakah ia akan mati di negerinya sendiri atau di negeri orang lain; di negeri Islam atau negeri kafir; di darat, di laut, atau di udara. Hal ini sungguh telah sangat jelas dan gamblang.

Tidak ada pula seorang pun yang mengetahui kapan ia akan mati. Sebab, sebagaimana dia tidak mengetahui tempat kematiannya padahal dia sudah menetap di suatu tempat, demikian juga ia tidak akan bisa mengetahui waktu kematiannya. (Sumber: Syarah al-‘Aqidah al-Wasithiyah, 1/196—197)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍۗ

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh .” (an-Nisa: 78)

Nasalullah as-salamah wal afiyah. Kita memohon keselamatan dan afiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Allahumma Rabbana tawaffana muslimin wa alhiqna bish-shalihin. Ya Allah, Rabb kami, wafatkanlah kami dalam keadaan kami beragama Islam dan masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang saleh.

Pengikut Dajjal

Pengikut Dajjal 

Bismillah.. berikut kami sampaikan pembahasan singkat terkait pengikut dajjal. Semoga bermanfaat.

Dajjal, digambarkan dalam hadis-hadis Nabi sebagai seorang pendusta yang sebelah matanya buta, tertulis di keningnya huruf kaf fa’ dan ra’ (ك ف ر). Kemunculannya pertanda kiamat sudah sangat dekat. Dia menjadi fitnah terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Sampai-sampai, setiap Nabi yang diutus, mengingatkan umatnya tentang fitnah Dajjal.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا بُعِثَ نَبِيٌّ إِلَّا أَنْذَرَ أُمَّتَهُ الأَعْوَرَ الكَذَّابَ، أَلاَ إِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ، وَإِنَّ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مَكْتُوبٌ كَافِرٌ

“Tidaklah diutus seorang nabi, melainkan dia mengingatkan kaumnya tentang si buta sebelah, sang pendusta. Ketahuilah Dajjal itu buta sebelah dan Tuhan kalian tidak buta sebelah. Diantara dua matanya tertulis: Kafir” (HR. Bukhari 7131).

Suatu yang menarik, ternyata Dajjal adalah sosok raja yang ditunggu-tunggu oleh sekelompok aliran agama. Siapakan mereka? Yahudi!

Iya, orang-orang Yahudi meyakini Dajjal sebagai raja yang akan menguasai lautan dan daratan. Mereka juga meyakininya sebagai salah satu tanda daripada tanda-tanda kebesaran Allah.

Orang-orang Yahudi menamainya dengan nama Al-Masih bin Dawud.

Perbedaan yang sangat mencolok antara mukmin dan yahudi. Orang-orang beriman, menunggu kedatangan Imam Mahdi dan turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam. Sementara mereka menunggu sang pendusta yang buta sebelah, penebar fitnah, yang bernama Dajjal.

Bukti wahyu yang menunjukkan informasi ini, adalah hadis dari sahabat ‘Utsman bin Abil ’ash radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahualaihi wa sallam bersabda,

 أكثر أتباع الدجال اليهود و النساء

“Kebanyakan pengikut Dajjal, adalah orang yahudi dan kaum wanita” (HR. Ahmad, dalam musnad beliau 4/216-217).

Dalam hadis yang lain, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengabarkan,

يتبع الدجال من يهود أصبهان سبعون ألفا عليهم الطيالسة

“Dajjal akan diikuti oleh 70,000 Yahudi dari Asfahan, mereka memakai thayalisah” (HR. Muslim 2944).

Thayalisah adalah selendang yang dipakai di pundak, menyerupai baju/jubah, tidak memiliki jahitan.

(Lihat keterangan ini di catatan kaki hal. 253, dari kitab Al-Qiyamah As-Sughra)

Dan menariknya, salah satu wilayah di kota Asfahan, dahulu ada yang disebut-sebut desa Al-Yahudiyah. Karena dahulu wilayah tersebut hanya dihuni oleh orang-orang Yahudi. Hal ini terus berlanjut sampai di zaman Ayub bin Ziyad, gubernur Mesir di zaman Khalifah Al-Mahdi bin Mansur dari dinasti Abbasiyah (Lihat: Lamaawi’ Al-Anwar Al-Bahiyyah, 2/107).

Kelak, Dajjal akan terbunuh di tangan Nabi Isa ‘alaihissalam di daerah Palestina. Demikian pula beliau akan memimpin peperangan memberangus para pengikutnya.

Semoga Allah melindungi kita dari fitnah Dajjal.

Demikian..

Wallahua’lam bis showab.

***

Referensi :

  • Lamaawi’ Al-Anwar Al-Bahiyyah, karya Muhammad bin Ahmad As-Safaroyini, terbitan : Muassasah Al-Khofiqin, Damaskus (th 1402 H)
  • Al-Qiyamah As-Sughra, karya Prof. Dr. Umar Sulaiman Al-Asqor, terbitan : Dar An-Nafais, Yordania (Cetakan ke 14, th 1427 H).

Keutamaan Puasa Arofah

Keutamaan Puasa Arofah 

Salah satu amalan utama di awal Dzulhijjah adalah puasa Arafah, pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa ini memiliki keutamaan yang semestinya tidak ditinggalkan seorang muslim pun. Puasa ini dilaksanakan bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji. Berikut penjelasan keutamaan puasa arafah.

Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (6: 428) berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi’ secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl.”

Ibnu Muflih dalam Al Furu’ -yang merupakan kitab Hanabilah- (3: 108) mengatakan, “Disunnahkan melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Dzulhijjah, lebih-lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikian disepakati oleh para ulama.”

Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah.

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ

“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari no. 1988 dan Muslim no. 1123).

عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

“Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari no. 1989 dan Muslim no. 1124).

Mengenai pengampunan dosa dari puasa Arafah, para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, moga dosa besar yang diperingan. Jika tidak, moga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Sedangkan jika melihat dari penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah, bukan hanya dosa kecil yang diampuni, dosa besar bisa terampuni karena hadits di atas sifatnya umum. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 7: 498-500).

Setelah kita mengetahui hal ini, tinggal yang penting prakteknya. Juga jika risalah sederhana ini bisa disampaikan pada keluarga dan saudara kita yang lain, itu lebih baik. Biar kita dapat pahala, juga dapat pahala karena telah mengajak orang lain berbuat baik.

Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah (harta amat berharga di masa silam, pen).” (Muttafaqun ‘alaih).

Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim).

Semoga Allah beri hidayah pada kita untuk terus beramal sholih.

Pemuda Isilah Waktumu Dengan Keilmuan Dan Ketakwaan

Pemuda Isilah Waktumu Dengan Keilmuan Dan Ketakwaan 

Kita sering mendengar kalimat “pemuda adalah harapan agama, pemuda adalah harapan bangsa, dan pemuda adalah harapan masyarakat di masa depan.” Dan tak pernah kita dengar kalimat-kalimat heroik penuh harapan itu dinisbahkan kepada orang yang sudah tua.

Pemuda merupakan bentuk miniatur dari pada kehidupan bangsa. Akan bagaimana kehidupan suatu bangsa di 10 atau 20 tahun kedepan tergantung dari keadaan pemudanya sekarang ini. Bahkan dari segi agama pun, akan bagaimana warna keberagamaan Islam di Indonesia ini 10 atau 20 tahun ke depan, jawabannya terletak pada pemuda sekarang.

Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu pernah berpesan kepada para segenap para pemuda:

‘’Wahai pemuda ketahuilah oleh kamu sekalian, sesungguhnya hidup seorang pemuda itu ‘Demi Allah’ harus diisi dengan Ilmu dan Taqwa. Jika dua perkara ini tidak ada dalam diri pemuda, ilmu tidak ada atau taqwa tidak ada, maka tidak ada artinya dari pada kehidupannya.

Ketika seorang pemuda mencari ilmu di masa mudanya dengan sungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan keberuntungan di hari tua. Sebaliknya jika seorang pemuda tidak memanfaatkan masa mudanya dengan menuntut ilmu apalagi ilmu Agama, maka di hari tua dia akan terlunta-lunta dan di akhirat tinggal penyesalan.

Masa muda merupakan masa yang kuat, terkumpul padanya kekuatan fisik baik ketampanan atau kecantikan serta kekuatan pikiran untuk berpikir maupun menghafal. Kalau semua itu tidak dibarengi dengan ketaqwaan, maka para pemuda bisa terjerumus kepada perbuatan yang di haramkan oleh Allah Ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjamin perlindungan pada hari dimana ketika tidak ada perlindungan kecuali perlindungannya. Salah satunya yaitu pemuda yang tumbuh dalam Ibadah kepada Allah.

Di zaman sekarang kemaksiatan dan kemunkaran kebanyakan diisi oleh generasi muda atau deretan usia muda. Banyaknya kasus minuman keras, narkoba, perbuatan asusila hingga kecanduan pornografi, jika kita lihat dari data atau realita maka mereka yang terjerumus pada hal-hal negatif tersebut paling banyak pada usia muda. Sungguh merupakan ironi bagi bangsa ini.

Namun jika pemuda-pemuda dididik dengan benar yaitu dididik dengan ajaran Agama dan Budaya yang tidak bertentangan dengan Syari’at. Maka pemuda akan memiliki pegangan yang kuat dalam berkehidupan. Ini merupakan amanah dan tugas, khususnya orang tua dan umumnya masyarakat agar mengarahkan para pemuda ke jalan yang benar.

Maka dari itu, tugas seorang pemuda adalah memanfaatkan waktu dengan ilmu dan taqwa. Isilah waktu muda dengan baik. Sebagaimana pepatah mengatakan’’ Waktu itu bagaikan pedang. Kalau anda tidak potong waktu itu, andalah yang akan dipotong dengan waktu.”

Artinya mumpung kita masih muda, mari kita manfaatkan waktu untuk menghafal Al-Qur’an, menghafal Hadist, belajar Fiqih dan Aqidah kepada para Ulama-Ulama kita.