Mencontoh Nabi Dalam Bertoleransi

Mencontoh Nabi Dalam Bertoleransi 

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan menjalankan perintah-Nya ataupun dengan menjauhi larangan-larangan-Nya. Karena tidaklah kita semakin mulia, kecuali dengan bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Di penghujung tahun seperti ini, telinga kita dibuat akrab dengan istilah-istilah ‘Selamat Hari Natal’, ‘Selamat Tahun Baru’ dan ucapan-ucapan yang semisalnya. Ucapan-ucapan yang mengarah pada dua perayaan yang sejatinya dicetuskan dan dibuat-buat oleh mereka yang tidak beriman kepada Allah Ta’ala.

Pada momen-momen seperti ini, kaum muslimin dihadapkan pada dua hal. Masyarakat muslim yang tidak tahu menahu atau pura-pura tidak tahu tentang hukumnya, seringkali akan ikut meramaikan dan merayakan dua perayaan ini bersama orang-orang nonmuslim. Beralasan bahwa apa yang mereka lakukan ini adalah bagian dari Islam yang rahmatan lil ‘alamin, atau beralasan bahwa ini adalah bentuk rasa toleransi mereka kepada mereka yang nonmuslim.

Lalu, kaum muslimin yang lainnya (yaitu yang telah mengetahui bagaimanakah hukum ikut serta dalam perayaan nonmuslim lalu kemudian tidak merayakannya) oleh mereka yang membenci agama ini dikatakan sebagai ‘intoleran’, ‘keras’, dan ‘kaku’.

Jemaah yang semoga selalu mendapatkan taufik dan hidayah dari Allah Ta’ala.

Sungguh ini adalah kekeliruan yang sangat besar. Mengatasnamakan keikutsertaannya pada perayaan tersebut sebagai bentuk toleransi, lalu menghukumi mereka yang tidak merayakannya dengan sebutan ‘intoleran’.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala.

Agama Islam adalah agama yang sempurna. Setiap tindakan, sikap, dan budi pekerti yang baik telah diajarkan oleh Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, tak terkecuali sikap dan muamalah kita terhadap orang-orang non-Islam, Islam pun telah mengajarkannya.

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada mereka yang beragama Islam dan juga mereka yang non-Islam. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu (dari kalangan orang-orang kafir) dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala halalkan makanan yang mereka berikan kepada kita, dan Allah halalkan juga memberikan mereka makanan,

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka.” (QS. Al-Maidah: 5)

Kaum muslimin, jemaah salat Jumat yang Allah rahmati.

Sebagai kaum muslimin yang percaya dan yakin bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik suri teladan bagi dirinya, yang yakin bahwa Nabi Muhammad membawa kebenaran, seharusnya juga mengetahui dan mempelajari kembali bagaimana sikap Nabi terhadap nonmuslim, bagaimana muamalah beliau dengan mereka, dan bagaimana batas toleransi yang benar yang telah beliau ajarkan.

Begitu banyak riwayat-riwayat hadis yang sampai kepada kita, yang mengisahkan bagaimana perlakuan dan akhlak Nabi terhadap nonmuslim. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau membesuk orang yang sakit di antara mereka, berbuat baik terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan di antara mereka.

Dikisahkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika meminjam sejumlah uang kepada ahlul kitab. Sampai-sampai di akhir hayat beliau, baju perang beliau tergadaikan kepada seorang Yahudi, karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meminjam uang darinya.

Toleransi beliau juga terwujud dalam kisah penaklukan kota Makkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengampuni dan memaafkan kaum Quraisy yang telah menyakiti beliau, kecuali beberapa orang saja! Bahkan, beliau memberikan jaminan keselamatan kepada penduduk Makkah, meskipun mereka belum mau masuk ke dalam Islam. Dalam sebuah hadis sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ عامَ الفتحِ جاءَهُ العبَّاسُ بنُ عبدِ المطَّلبِ بأبي سفيانَ بنِ حربٍ فأسلمَ بمرِّ الظَّهرانِ فقالَ لَهُ العبَّاسُ: يا رَسولَ اللَّهِ إنَّ أبا سفيانَ رجلٌ يُحبُّ هذا الفخرِ، فلو جعلتَ لَهُ شيئًا قالَ: نعَم مَن دخلَ دارَ أبي سفيانَ فَهوَ آمنٌ، ومَن أغلقَ علَيهِ بابَهُ فَهوَ آمنٌ

“Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak menaklukkan kota Makkah, Al-Abbas bin Abdul Mutthalib mendatanginya sembari membawa Abu Sufyan bin Harb, maka masuk Islamlah dia (Abu Sufyan) di tempat yang disebut ‘Maar Adz-Dzahran’. Al-Abbas mengatakan kepada beliau (Nabi), ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu senang apabila memiliki kewibawaan, sekiranya engkau berikan sesuatu untuknya (untuk dibanggakan).’ Maka, Nabi mengatakan, ‘Siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia mendapatkan jaminan keamanan (tidak dibunuh). Dan siapa pun yang menutup pintunya, maka ia juga mendapatkan keamanan.” (HR. Abu Dawud no. 3021, Ibnu Abi Syaibah no. 38078 dan Al-Baihaqi no. 18740)

BACA JUGA:

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

ألا مَن ظلمَ مُعاهدًا، أوِ انتقصَهُ، أو كلَّفَهُ فوقَ طاقتِهِ، أو أخذَ منهُ شيئًا بغَيرِ طيبِ نفسٍ، فأَنا حَجيجُهُ يومَ القيامةِ

“Ketahuilah, bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan Islam atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu yang ia relakan, maka aku adalah lawannya pada hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 3052 dan disahihkan oleh Syekh Albani)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan memberikan ancaman bagi mereka yang membunuh orang-orang nonmuslim yang sedang dalam perlindungan dan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا.

“Siapa yang membunuh (kafir) mu’ahad (terikat perjanjian damai), maka dia tidak akan dapat mencium wangi surga. Padahal, sesungguhnya harumnya (surga) dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

Jemaah yang berbahagia, sesungguhnya toleransi kaum muslimin inilah yang menjadi sebab cepatnya persebaran Islam di seluruh dunia. Semuanya kembali pada asas keadilan dan hikmah yang dibawa oleh syariat Islam. Keadilan yang berlaku untuk semua masyarakatnya dan siapapun yang sedang di bawah kepemimpinannya, tak terkecuali mereka yang nonmuslim.

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ،   فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Maasyiral mukminin yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Di dalam bertoleransi, Islam juga menerapkan beberapa aturan yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar oleh setiap pemeluknya. Di antaranya adalah larangan ikut serta di dalam merayakan perayaan agama lain dan memberikan ucapan selamat atas hari raya mereka.

Karena di dalam keikutsertaan seorang muslim pada hari raya mereka terdapat bentuk saling tolong menolong dalam sebuah dosa. Sedang Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2)

Belum lagi, ikut serta dalam perayaan mereka merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (menyerupai nonmuslim) yang paling nyata! Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَومٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 4031 dan Ahmad no. 5114)

Subhanallah! Nabi hukumi orang seperti ini dengan hukum yang sama dengan orang-orang kafir tersebut. Bisa jadi keikutsertaan seseorang dalam perayaan agama lain ini mengantarkannya kepada kekufuran, wal iyyadhu billah, atau seminimal-minimalnya mengantarkannya kepada perbuatan dosa.

Jemaah salat Jumat yang senantiasa dalam lindungan Allah Ta’ala.

Jangan sampai diri kita tertipu dan merasa gengsi serta malu ketika tidak ikut memeriahkan perayaan-perayaan semacam ini, merasa malu hanya karena banyaknya manusia yang ikut merayakannya. Tugas kita hanyalah menaati Allah dan Rasul-Nya. Hiraukan omongan manusia, hiraukan kebiasaan mereka, karena mayoritas dan kebanyakan manusia tidak peduli dengan apa yang telah Allah Ta’ala syariatkan. Allah Ta’ala berfirman,

وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanyalah persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An’am: 116)

Allah Ta’ala juga berfirman.

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf: 103)

Oleh karenanya jemaah sekalian, perayaan-perayaan yang menyelisihi syariat maka hukumnya terlarang, meskipun banyak dikerjakan dan dirayakan oleh masyarakat dan manusia.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita, memberikan kita hidayah untuk selalu menimbang segala ucapan, perbuatan, dan perayaan manusia dengan melihat dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis. Apa yang sejalan dengan keduanya ataupun salah satu dari keduanya, maka boleh diamalkan meskipun sedikit sekali dari masyarakat yang melakukannya.

Sedangkan apa yang menyelisihi keduanya ataupun salah satu darinya, maka tidak boleh diamalkan. Meskipun banyak sekali masyarakat dan manusia yang  melakukannya.

Wallahu a’lam bisshawab.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Pria Yang Bergaya Seperti Wanita

Pria Yang Bergaya Seperti Wanita 

Setelah sebelumnya kita melihat penampilan yang terbaik bagi pria dengan pakaian putihnya, selanjutnya kita akan melihat beberapa penampilan yang terlarang. Yang kita bahas atau kita singgung terlebih dahulu tentang masalah berpakaian. Di antara yang terlarang adalah memakai pakaian yang menjadi ciri khas seperti wanita. Bahkan terlarang pria menyerupai wanita secara umum.

Sebagaimana kita saksikan sendiri sebagian publik figur sering mencontohkan bergaya seperti itu. Ada yang memakai rok dan memakai pakaian wanita lainnya. Begitu pula yang nampak pada para banci/ bencong yang bergaya seperti wanita. Bergaya seperti ini terkena larangan sekaligus laknat sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari no. 5885).

Dalam lafazh Musnad Imam Ahmad disebutkan,

لَعَنَ اللَّهُ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, begitu pula wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Ahmad no. 3151, 5: 243. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari).

Begitu pula dalam hadits Abu Hurairah disebutkan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرَّجُلِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, begitu pula wanita yang memakai pakaian laki-laki” (HR. Ahmad no. 8309, 14: 61. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, perowinya tsiqoh termasuk perowi Bukhari Muslim selain Suhail bin Abi Sholih yang termasuk perowi Muslim saja). Dalam hadits terakhir ini yang dilaknat adalah gaya pakaiannya. Sedangkan hadits di atas adalah mode bergaya secara umum.

Namun manakah yang menjadi gaya dan pakaian wanita, di sini tergantung pada masing-masing daerah. Karena ada yang menjadi gaya wanita di sebagian tempat, namun tidak menjadi masalah bahkan menjadi budaya berpakaian di tempat lainnya.

Semacam di Arab, para pria mengenakan pakaian ‘tsaub’, jubah putih panjang sampai di mata kaki. Layaknya seperti memakai daster di tempat kita, bahkan ditambah lagi mereka memakai penutup kepala (qutroh) seperti kerudung. Namun itu memang pakaian pria mereka. Sehingga adat berpakaian wanita ataukah bukan tergantung pada zaman dan tempat. Yang jelas jika pria memakai rok di tempat kita, sudah dianggap ia bergaya seperti wanita sebagaimana yang kita lihat pada gaya para ‘banci’. Dan inilah yang terkena laknat.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Tidak Menghadiri Acara Kemungkaran

Tidak Menghadiri Acara Kemungkaran 

Kadang kita diundang dalam suatu acara baik walimahan atau acara lainnya yang asalnya boleh dihadiri. Namun sayangnya, dalam acara tersebut beberapa saudara kita menambahkan acara-acara yang terdapat kemungkaran seperti musik. Apakah boleh menghadiri acara semacam itu?

Yang namanya kemungkaran adalah sesuatu yang diingkari baik secara syari’at maupun ‘urf (adat kebiasaan). Namun yang jadi patokan adalah yang diingkari oleh syari’at. Seandainya sesuatu tersebut dilarang syari’at namun dibenarkan oleh adat masyarakat, karena sebagian adat ada yang membenarkan kemungkaran, maka tetap hal tersebut dihukumi mungkar menurut syari’at Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Kebaikan adalah akhlak yang baik. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang meragukan dalam hatimu dan engkau tidak suka jika dilihat oleh manusia.” (HR. Muslim no. 2553). Jadi manusia ada yang secara naluri mengingkari kemungkaran, inilah yang masih memiliki hati yang selamat.

Acara kemungkaran seperti ini tidak boleh dihadiri. Sedangkan jika ia mampu merubah kemungkaran dengan ilmu yang ia miliki dan sekaligus ia memiliki kuasa, maka menghadiri acara tersebut bisa jadi wajib. Karena ia mampu merubah kemungkaran dengan kuasanya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ

Siapa saja yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia ubah dengan tangannya” (HR. Muslim no. 49).

Namun jika ia tidak mampun merubah kemungkaran, maka menghadiri undangan acara semacam itu haram. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An Nisa’: 140). Karena jika seseorang duduk bersama-sama dalam acara maksiat, maka ia akan semisal dengan mereka dan akan mendapatkan hukuman serta dihukumi bermaksiat.

Penjelasan di atas kami sarikan dari penjabaran Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengenai syarat memenuhi undangan walimah dalam Syarhul Mumthi’, 12: 327-329.

Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدِ أَنْ يَحْضُرَ مَجَالِسَ الْمُنْكَرِ بِاخْتِيَارِهِ لِغَيْرِ ضَرُورَةٍ كَمَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّهُ قَالَ : { مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُشْرَبُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ }

“Tidak boleh bagi seorang pun menghadiri majelis yang di dalamnya terdapat kemungkaran atas pilihannya sendiri kecuali alasan darurat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia duduk di hidangan yang dituangkan khomr.” (Majmu’ Al Fatawa, 28: 221).

Sifat ‘ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman juga tidak menghadiri acara yang di dalamnya mengandung maksiat. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Dan orang-orang yang tidak memberikan menghadiri az zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Yang dimaksud menghadiri acara az zuur adalah acara yang mengandung maksiat.

Demikian, moga Allah beri hidayah dan keistiqomahan dalam mentaati-Nya. Wallahul muwaffiq.

Pakaian Terbaik Pakaian Putih

Pakaian Terbaik Pakaian Putih 

Pakaian putih adalah pakaian yang terbaik, sampai-sampai dikatakan dalam sabda Nabi bahwa pakaian tersebut yang lebih baik dan lebih bersih. Karena memang seseorang yang mengenakan pakaian ini terlihat lebih indah dan bersih, juga si pengguna akan senantiasa menjaga bajunya agar tidak terkena kotoran.

Perintah Memakai Pakaian Putih

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah beberapa hadits berikut,

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Pakailah pakaian putih karena pakaian seperti itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan kafanilah mayit dengan kain putih pula” (HR. Abu Daud no. 4061, Ibnu Majah no. 3566 dan An Nasai no. 5325. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalam lafazh An Nasai disebutkan pula,

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Pakailah pakaian putih karena pakaian seperti itu lebih bersih dan lebih baik. Dan kafanilah pula mayit dengan kain putih.” (HR. An Nasai no. 5324, hadits shahih).

Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi teladan memakai pakaian putih. Dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَعَلَيْهِ ثَوْبٌ أَبْيَضُ

Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan memakai pakaian putih” (HR. Bukhari no. 5827).

Dalam riwayat Muslim disebutkan, Abu Dzar berkata,

أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ نَائِمٌ عَلَيْهِ ثَوْبٌ أَبْيَضُ

Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau dalam keadaan tidur dan ketika itu mengenakan baju putih.” (HR. Muslim no. 94).

Perintah memakai pakaian putih di sini dihukumi sunnah, bukan wajib. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Bulughil Marom.

Hikmah Memakai Pakaian Putih

Dalam Hasyiyah As Sindi disebutkan,

لِأَنَّهُ يَظْهَر فِيهَا مِنْ الْوَسَخ مَا لَا يَظْهَر فِي غَيْرهَا فَيُزَال وَكَذَا يُبَالَغ فِي تَنْظِيفهَا مَا لَا يُبَالَغ فِي غَيْرهَا وَلِذَا قَالَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهَا أَطْهَر وَأَطْيَب

“Karena pakaian putih sangat jelas bila terdapat kotoran yang hal ini tidak tampak pada pakaian warna lainnya. Begitu pula pencuciannya lebih diperhatikan daripada pencucian dalam pakaian lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyebut pakain putih sebagai pakaian yang lebih bersih dan lebih baik.”

Boleh Pula Memakai Pakaian Selain Putih

Anjuran pakaian putih di sini tidak menafikan bolehnya memakai pakaian warna lainnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi lainnya pernah memakai pakaian warna lain. Lihat Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom karya Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, 4: 270.

Disebutkan dalam Shahih Al Bukhari, Al Baro’ berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَرْبُوعًا ، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِى حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), saya melihat beliau mengenakan pakaian merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari no. 5848).

Pakaian Putih untuk Pria ataukah Wanita?

Guru kami, Syaikh Dr. Sholih Al Fauzan –semoga Allah senantiasa memberkahi umur beliau– mengatakan, “Ketika masih hidup, pakaian putih itu lebih baik bagi pria. Sedangkan ketika jadi mayit, pakaian putih lebih baik pada pria maupun wanita.” Lihat Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Marom, 3: 31.

Namun Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata bahwa perintah memakai pakaian putih berlaku untuk pria maupun wanita. Karena walau asalnya kata perintah tersebut untuk pria, namun perintah tersebut berlaku pula untuk wanita. Karena hukum asalnya ada kesamaan di antara keduanya sampai ada dalil yang membedakan. Begitu pula jika ada dalil untuk wanita, maka itu pun berlaku untuk pria kecuali jika ada dalil yang membedakan. … Intinya sah-sah saja jika wanita mengenakan pakaian putih akan tetapi dengan syarat tidak sama dengan mode pakaian pria. Karena jika sama modenya, maka itu berarti tasyabbuh. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang bergaya seperti pria.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga mengatakan bahwa pakaian putih di sebagian tempat memang sudah jadi kebiasaan. Namun bagi yang berada di Najed (Riyadh Saudi Arabia, sekitarnya), pakaian putih untuk wanita adalah pakaian berhias diri. Oleh karena itu, di Najed wanita tidak diperkenankan mengenakan pakaian putih. Demikian ringkasan dari penjelasan beliau dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, 5: 434.

Hanya Allah yang memberikan taufik ke jalan yang penuh hidayah.

Rezeki Tak Mungkin Tertukar

Rezeki Tak Mungkin Tertukar 

Hasad, iri, dengki, jadi sebab kita tak pernah puas dengan rezeki.

Namun sebenarnya itu semua kembali pada diri kurangnya iman pada takdir.

Rezeki adalah bagian dari takdir ilahi sehingga untuk memahaminya harus memahami takdir dengan baik.

Yang jelas rezeki kita tak pernah tertukar.

Apa yang kita miliki, itulah yang terbaik untuk kita.

Rezeki kita tak pernah tertukar.

Jika kita mendapatkan kendaraan biasa, tetangga punya lebih baik …. Tetap rezeki kita tak tertukar.

Jika kita memiliki rumah sederhana, tetangga memiliki rumah mewah bak istana …. Tetap rezeki kita tak tertukar.

Lalu kaitannya dengan meninggalkan yang haram …

Jika kita menolak orderan natal, ingin cari yang halal dan berkah … Rezeki kita pun tak tertukar. Jangan kira ketika tidak menerima orderan semacam itu, rezeki kita pergi dan tertukar pada orang lain. Justru ketika kita ingin yang halal, Allah terus berkahi dan menambahkan rezeki.

Rezeki tak mungkin tertukar, Allah pasti membagi rezeki dengan adil.

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isra’: 30)

Ingat pula janji ini …

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali berkata bahwa sanad hadits ini shahih)

Dengan kita meninggalkan yang haram karena Allah, maka akan diganti dengan yang lebih baik.

Harus terus yakin dan percaya … Moga rezeki kita penuh berkah.

Tanda Akhlaq Yang Baik

Tanda Akhlaq Yang Baik 

Seseorang yang ingin menggapai jalan Ilahi bagi jiwanya, memungkinkan baginya bermujahadah untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan keji dan setiap kemaksiatan. Kemudian dia mengira bahwa akhlaknya sudah tertata, lalu merasa cukup dengan usaha tadi. Tentu tidak demikian adanya. Akhlak terpuji merupakan kumpulan sifat-sifat orang-orang yang beriman, sebagaimana yang digambarkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya yang artinya,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (٢)الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣)أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (٤)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan pada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia” (QS. Al-Anfal: 2-4).

Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (٢)وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (٣)وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (٤)وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (٥)إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (٦)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (٧)وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (٨)وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ (٩)أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ (١٠)الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (١١)

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka yang sesngguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Mukminun:1-11).

Dan firman Allah Ta’ala,

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا

”Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (adalah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata yang baik “ (QS. Al-Furqan:63).

Sampai akhir ayat ini. Barangsiapa yang kesulitan mengukur dirinya, maka hendaklah dia mengukurnya dengan ayat-ayat ini.

Eksistensi seluruh sifat ini merupakan tanda akhlak yang baik, sedangkan ketiadaannya merupakan tanda akhlak yang buruk. Adapun sebagiannya tanpa sebagian yang lain menunjukkan keberadaan sebagian sifat-sifat itu tanpa yang lain. Maka sibukkanlah dirimu dengan menjaga sifat-sifat tersebut. Sedangkan sifat-sifat yang belum ada, maka harus tetap terus diusahakan.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah menggambarkan orang-orang yang beriman dengan sifat-sifat yang banyak. Beliau mengisyaratkan sifat-sifat ini terhadap akhlak yang baik.

Di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, hadist dari Anas bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda “Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, tidaklah seorang hamba itu disebut beriman sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.

Dari kedua kitab shahih tersebut, dari hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah dia menghormati tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah dia tidak menyakiti tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah mengatakan yang baik atau hendaklah dia diam saja”.

Dalam hadits lain: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Trimidzi, dan Al-Hakim).

Diantara akhlak-akhlak yang baik lainnya adalah sabar menghadapi gangguan. Di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa seorang Arab Badui menarik mantel Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hingga pinggiran mantel itu menimbulkan bekas di pundak beliau, kemudian orang itu berkata: “Hai Muhammad, serahkanlah kepadaku dari harta Allah yang ada padamu!” Beliau menengok ke arah orang itu sambil tersenyum, lalu beliau memerintahkan agar permintaan orang tersebut dipenuhi” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika kaumnya menyiksa beliau, maka beliau berdo’a : “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika Uwais al-Qarni dilempari batu oleh anak-anak kecil, maka dia berkata : “Wahai saudara-saudaraku, jika memang tidak ada pilihan yang lain, maka bolehlah kalian melempari aku, tetapi dengan batu yang lebih kecil, agar betisku tidak berdarah sehingga menghalangiku untuk melaksanakan shalat”.

Adalah Ibrahim bin Ardham keluar ke tengah lembah. Disana, dia berjumpa dengan seorang prajurit perang. Kemudian dia bertanya :” Dimanakah tempat yang baik?” Maka Ibrahim menunjuk ke arah kuburan. Tentara itu langsung memukul Ibrahim karena geram. Namun, ketika ada seseorang yang memberi tahu bahwa orang yang dipukulnya itu adalah Ibrahim bin Adham, maka tentara tersebut memeluk tangan dan kaki Ibrahim, karena menyesali perbuatannya. Ibrahim berkata: “Ketika kepalaku dipukul, aku memohon surga kepada Allah untuk orang ini. Aku tahu bahwa aku diberi pahala karena pukulannya. Aku tidak ingin mendapatkan kebaikan karena orang itu, sedangkan dia mendapatkan akibat yang buruk dariku”.

Itulah ilustrasi jiwa-jiwa yang rendah hati karena latihan. Akhlak mereka menjadi baik dan batinnya tidak terkecoh. Walhasil, lahirlah keridhaan terhadap takdir. Barangsiapa yang tidak menemukan sifat-sifat ini pada dirinya seperti yang mereka miliki, maka dia harus terus-menerus berlatih, agar dia bisa mencapainya.


Keutamaan Waktu Ba'da Ashar Hari Jum'at

Keutamaan Waktu Ba'da Ashar Hari Jum'at 

Salah satu waktu mustajab untuk berdoa adalah ba’da ashar di hari Jumat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

‘Pada hari Jum’at terdapat dua belas jam (pada siang hari), di antara waktu itu ada waktu yang tidak ada seorang hamba muslim pun memohon sesuatu kepada Allah melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah ia di akhir waktu setelah ‘Ashar.’[HR. Abu Dawud]

Iman Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa waktu mustajab itu adalah ba’da ashar, beliau berkata,

قال الإمام أحمد : أكثر الأحاديث في الساعة التي تُرجى فيها إجابة الدعوة : أنها بعد صلاة العصر ، وتُرجى بعد زوال الشمس . ونقله عنه الترمذي

“Kebanyakan hadits mengenai waktu yang diharapkan terkabulnya doa adalah ba’da ashar dan setelah matahari bergeser (waktu shalat jumat).” [Lihat Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Ibnul Qayyim berkata,

وهذه الساعة هي آخر ساعة بعد العصر، يُعَظِّمُها جميع أهل الملل

“Waktu ini ini adalah akhir waktu ashar dan diagungkan oleh semua orang yang beragama” [Zadul Ma’ad 1/384]

Bagaimana maksud ba’da ashar tersebut? Berikut penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah. Beliau berkata,

فمن أراد أن يتحرى وقت الإجابة بعد العصر يوم الجمعة : فلذلك صور متعددة ، منها:

١. أن يبقى بعد صلاة العصر لا يخرج من المسجد يدعو ، ويتأكد ذلك منه في آخر ساعة من العصر ، وهذه أعلى المنازل

وكان سعيد بن جبير إذا صلى العصر لم يكلم أحداً حتى تغرب الشمس

٢. أن يذهب إلى المسجد قبل المغرب بزمن ، فيصلي تحية المسجد ، ويدعو إلى آخر ساعة من العصر ، وهذه أوسط المنازل

٣. أن يجلس في مجلس – في بيته أو غيره – يدعو ربه تعالى في آخر ساعة من العصر ، وهذه أدنى المنازل

Bagi yang menginginkan mencari waktu mustajab setelah Ashar hari jumat, ada beberapa cara:

  1. Tetap tinggal di masjid setelah shalat ashar, tidak keluar dari masjid dan berdoa. Ditekankan ketika akhir waktu ahsar (menjelang magrib), ini adalah kedudukan tertinggi.
    Said bin Jubair jika shalat ashar tidaklah berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari.
  2. Ia berangkat ke masjid menjelang magrib kemudian shalat tahiyatul masjid, berdoa sampai akhir waktu ashar ini adalah kedudukan pertengahan.
  3. Ia duduk ditempatnya –rumah atau yang lain- berdoa kepada Rabb-nya sampai akhir waktu ashar. Ini adalah kedudukan terendah. [Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Perhatikan bagaimana semangat para salaf dahulu memanfaatkan berkahnya waktu ba’da ashar di hari Jumat.

Ibnul Qayyim berkata,

كان سعيد بن جبير إذا صلى العصر، لم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس – يعني كان منشغلا بالدعاء

“Dahulu Sa’id bin Jubair apabila telah shalat ashar, ia tidak berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari (magrib) karena sibuk dengan berdoa.” [Zadul Ma’ad 1/384]

كان طاووس بن كيسان إذا صلى العصر يوم الجمعة، استقبل القبلة، ولم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس

“Dahulu Thawus bin Kaisan jika shalat ashar pada hari Jumat menghadap kiblat, ia tidak berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari (magrib).” [Tarikh Waasith]

CATATAN: Hal ini juga bisa dilakukan oleh wanita di rumahnya, setelah shalat ashar wanita berdoa dan berharap dimustajabkan. Demikian juga orang yang terhalangi untuk shalat ashar di masjid seperti dengan sakit atau ada udzur lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

ظاهر الأحاديث الإطلاق ، وأن من دعا في وقت الاستجابة : يُرجى له أن يجاب في آخر ساعة من يوم الجمعة ، يُرجى له أن يجاب ، ولكن إذا كان ينتظر الصلاة في المسجد الذي يريد فيه صلاة المغرب : فهذا أحرى ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (وَهُوَ قَائِمٌ يُصّلِّي) – رواه البخاري – ، والمنتظر في حكم المصلي ، فيكون في محل الصلاة أرجى لإجابته ، فالذي ينتظر الصلاة في حكم المصلين ، وإذا كان مريضاً وفعل في بيته ذلك : فلا بأس ، أو المرأة في بيتها كذلك تجلس تنتظر صلاة المغرب في مصلاها ، أو المريض في مصلاه ويدعو في عصر الجمعة يرجى له الإجابة ، هذا هو المشروع ، إذا أراد الدعاء يقصد المسجد الذي يريد فيه صلاة المغرب مبكراً فيجلس ينتظر الصلاة ، ويدعو

“Dzahir hadits adalah mutlak yaitu barangsiapa yang berdoa di waktu musjatab pada akhir hari jumat (yaitu menjelang magrib, karena akhir hari dalam hijriyah adalah magrib). Diharapkan bisa dkabulkan, akan tetapi jika ia menunggu shalat di masjid tempat shalat magrib, ini lebih hati-hati karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘ia menegakkan shalat’. Orang yang menunggu sebagaimana kedudukan orang yang shalat maka dalam keadaan shalat lebih diharapkan mustajab. Orang yang menunggu shalat sebagaimana orang shalat. Jika ia sakit bisa dilakukan di rumahnya , tidak mengapa. Atau wanita yang menunggu shalat magrib di mushallanya (tempat shalat di rumah), atau yang sakit di mushallanya berdoa di waktu ashar dan berharap mustajab. Jika ia ingin, menuju masjid tempat ia ingin shalat magrib lebih awal, duduk menunggu shalat dan berdoa.” [ Majmu’ Fatawa bin Baz 30/270]

Demikian semoga bermanfaat