Miras Tetap Haram Walau Hanya Setetes

Miras Tetap Haram Walau Hanya Setetes 

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  [المائدة : 90]

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) arak, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al- Ma’idah: 90)

Perintah untuk menjauhi adalah salah satu dalil paling kuat tentang haramnya sesuatu. Di samping itu, pengharaman arak sebagaimana disebutkan ayat di atas disejajarkan dengan pengharaman berhala-berhala, yakni tuhan orang-orang kafir dan patung-patung mereka. Karena itu tak ada lagi alasan bagi orang yang mengatakan, ayat Al Quran tidak mengatakan meminum arak itu haram, tetapi hanya mengatakan, jauhilah!!

Dalam sunnahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan tentang ancaman bagi peminum arak, sebagaimana yang diriwayatkan Jabir dalam sebuah hadits marfu’,

إِنَّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَهْدًا لِمَنْ يَشْرَبُ الْمُسْكِرَ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِيْنَةِ الْخَبَالِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا طِيْنَةُ الْخَبَالِ؟، قَالَ: عَرَقُ أَهْلِ النَّارِ أَوْ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ.

Sesungguhnya Allah Ta’ala memiliki janji untuk orang yang meminum minuman keras, akan memberinya minum dari thinatul khabal” “Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah thinatul khabal itu?”Beliau menjawab, “Cairan kotor (yang keluar dari tubuh) penghuni neraka.”(HR. Muslim, 3/1587.)

Dalam hadits marfu’ Ibnu Abbas meriwayatkan,

مَنْ مَاتَ مُدْمِنُ خَمْرٍ لَقِيَ اللهَ وَهُوَ كَعَابِدِ وَثَنٍ.

Barangsiapa meninggal sebagai peminum arak, ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan seperti penyembah berhala.”( HR. Ath-Thabrani, 12/45; Shahihul Jami’, 6525.)

Saat ini, jenis minuman keras dan arak sangat beragam. Nama-namanya juga sangat banyak, baik dengan nama lokal maupun asing. Di antaranya: Bir, wiski, alkohol, vodka, sampanye, arak dan sebagainya.

Di zaman ini pula, telah muncul golongan manusia sebagaimana disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,

لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا.

Sungguh akan ada golongan dari umatku yang meminum arak, (tetapi) mereka menamakannya dengan nama yang lain.”( HR. Imam Ahmad, 5/342, Shahihul Jami’, 5453.)

Mereka tidak menamakannya arak, tetapi menamakannya dengan minuman rohani, untuk menipu dan memperdaya orang.

يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ [البقرة : 9]

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar.” (Al-Baqarah: 9).

Syariat Islam telah memberikan definisi agung tentang khamar (minuman keras), sehingga membuat jelas masalah dan memotong tipu daya, fitnah dan permainan orang-orang yang tidak takut kepada Allah. Definisi itu adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ.

“Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram.”( Hadits riwayat Muslim, 3/1587.)

Jadi, setiap yang merusak akal dan memabukkan hukumnya adalah haram, sedikit atau banyak.( Hadits yang mengatakan, “Semua yang banyak jika memabukkan, maka sedikitpun diharamkan,” telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan nomor 3681, tertera dalam Shahih beliau dengan no. 3128.) Juga meskipun namanya berbeda-beda, sebab pada hakikatnya minumannya tetap satu dan hukumnya telah diketahui oleh kalangan umum.

Yang terakhir dan ini merupakan wejangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para peminum khamar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَسَكَرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةُ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا، وَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ، فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكَرَ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةُ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا، فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ، فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكَرَ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةُ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا، فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ، فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ رَدْغَةِ الْخَبَالِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا رَدْغَةُ الْخَبَالِ؟، قَالَ: عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ.

Barangsiapa minum khamar dan mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh pagi dan jika ia meninggal maka ia masuk Neraka, (tetapi) manakala ia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya. Dan jika kembali lagi minum dan mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh pagi, jika meninggal maka ia masuk Neraka, (tetapi) manakala ia bertaubat, Allah menerima taubatnya. Dan jika kembali lagi minum dan mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh pagi, jika meninggal maka ia masuk neraka, (tetapi) manakala ia bertaubat, Allah menerima taubatnya. Dan jika (masih) kembali lagi (minum khamar), maka adalah hak Allah memberinya minum dari radghatul khabal pada hari Kiamat.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah radghatul khabal itu?” Beliau menjawab, “Cairan kotor (yang keluar dari tubuh) penghuni Neraka.”( HR.Ibnu Majah, 3377; Shahihul Jami’, 6313.)

Jika gambaran keadaan peminum minuman keras adalah sebagaimana kita ketahui di muka, maka bagaimana pula dengan gambaran keadaan orang-orang yang melakukan sesuatu yang lebih keras dan lebih berbahaya dari itu, yakni sebagai pecandu narkotika dan sebagainya?

Wallahu A’lam

Maafkan Aku Suamiku Aku Tidak Bisa Penuhi Hakmu Saat ini

Maafkan Aku Suamiku Aku Tidak Bisa Penuhi Hakmu Saat ini 

Hak-hak seorang suami tatkala dilaksanakan oleh sang istri dengan penuh keridhaan maka akan berbuah pahala. Namun tentunya hak-hak tersebut tidak melanggar hak-hak Allah. Misalnya salah satu hak suami terhadap istri adalah melayaninya ditempat tidur (jima’). Bahkan jika isteri tidak mematuhinya, malaikat pun akan ikut marah terhadap sang istri yang menolak suaminya tersebut.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda:

Jika seseorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur (untuk bersetubuh) lalu istrinya enggan sehingga suami tidur dalam keadaan marah, niscaya para malaikat akan melaknat si istri sampai pagi.” (HR Muslim (2/1060))

Namun disuatu kondisi, sang istri memang tidak boleh melayani suami yaitu saat haidh. Butuh pengertian yang didasari ilmu bagi para suami agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan fatal. Mengapa demikian? Karena jima’ dengan wanita haidh hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS Al-Baqarah: 222)

Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh‘ maksudnya jima’ (di kemaluannya) khususnya karena hal itu haram hukumnya menurut ijma’. Pembatasan dengan kata “menjauh pada tempat haidh’ menunjukkan bahwa bercumbu dengan istri yang haidh, menyentuhnya tanpa berjima’ pada kemaluannya adalah boleh. (Tafsir As Sa’di jilid 1, hal 358)

Sabda Nabi shallallahu “alaihi wasallam,

“Lakukanlah segala sesuatu terhadap isterimu kecuali jima.” (Shahih Ibnu Majah no:527, Muslim I:246 no 302)

Sang istri hendaknya menolak dengan halus jika suami menginginkannya dan menjelaskan bahwa jima’ saat haidh hukumnya haram baik bagi sang suami maupun sang istri. Hal tersebut sesuai dengan perkataan Syaikh Utsaimin rahimahullah bahwa seorang suami haram menggauli istrinya saat haid dan haram pula bagi istrinya melayaninya. (Aktsar Min Alf Jawab Lil Mar’ah)

Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi suami untuk bercumbu dengan istrinya tanpa jima’. Sebagaimana penjelasan Syaikh As sa’di dalam tafsirnya bahwa bercumbu dengan istri yang haid, menyentuhnya tanpa jima’ boleh.

Dari Aisyah radhiyallahu’anha berkata “Rasulullah memerintahkan kepadaku agar memakai kain sarung kemudian aku memakainya dan beliau menggauliku.” (Al Mughni (3/84), Al Muhadzab (1/187))

Dari Maimunah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah menggauli salah satu istrinya sedangkan ia haid, ia (istri) mengenakan kain sarung sampai pertengahan pahanya atau lututnya sehingga beliau menjadikannya sebagai penghalang.” (HR. Bukhari:64)

Batas Waktu Menjauhi Wanita Haidh

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS Al Baqarah: 222)

Sampai mereka suci‘ artinya bahwa darah mereka (wanita haid) telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir. (Tafsir As Sa’di jilid 1,hal 358)

Menurut Al-Lajnah ad Daimah, ada 2 syarat kehalalan suami boleh berjima’ dengan istri (yang haid): terputusnya darah haid dan mandi suci. Dalil yang menguatkan pendapat ini adalah firman Allah, yang artinya: “janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” Qs Al Baqarah:222

Dalam Tafsir As Sa’di jilid 1 hal 358, “Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci” maksudnya harus meninggalkan mencumbu bagian yang dekat kemaluan yaitu bagian diantara pusar dan lutut, sebagaimana Nabi melakukannya, bila beliau mencumbu istrinya pada saat istrinya itu sedang haidh beliau memerintahkan kepadanya untuk memakai kain lalu beliau mencumbunya. Sedangkan “Apabila mereka telah suci ” maksudnya sang istri telah mandi.

Bagaimana jika jima’ dengan istri yang haid karena tidak sengaja atau tidak tahu tentang hukumnya?

Imam Nawawi dalam kitab Syarhu Muslim III:204 mengatakan “Andaikata seorang muslim meyakini akan halalnya jima’ dengan wanita yang sedang haid melalui kemaluannya, ia menjadi kafir, murtad. Kalau ia melakukannya tanpa berkeyakinan halal, misalnya jika ia melaksanakannya karena lupa atau karena tidak mengetahui keluarnya darah haid atau tidak tahu bahwa hal tersebut haram atau karena dipaksa oleh pihak lain, maka itu tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kafarah. Namun jika ia mencampuri wanita yang sedang haid dengan sengaja dan tahu bahwa dia sedang haid dan tahu bahwa hukumnya haram dengan penuh kesadaran maka berarti dia telah melakukan maksiat besar sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Syafii rahimahullah bahwa perbuatannya adalah dosa besar,dan wajib bertaubat.’

Jika sudah terlanjur mencampuri istrinya dalam keadaan haid, ada dua pendapat :

  1. Sebagian para ulama berpendapat bahwa ia wajib membayar tebusan (kafarah). Pendapat ini diambil oleh Imam Ahmad dan Imam Nawawi. Syaikh Abdul “Azhim bin Badawi dalam kitabnya Al Wajiiz fi fiqhis Sunnah wal Kitabil “Aziz menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang mewajibkan membayar kafarah.
  2. Sebagian yang lain menyatakan bahwa tidak mewajibkan membayar tebusan. Sebagimana pendapat yang diambil oleh madzab Hanafiyyah dan yang dikuatkan Syaikh Musthofa al-Adawi bahwa disunnahkan kafarat atas orang yang menggauli istrinya pada saat haid. Perbedaan ini muncul karena perbedaan pendapat mengenai keshahihan dalil-dalilnya.

Berapakah besar Kafarrah yang harus Dibayar?

Ada beberapa pendapat para ulama tentang masalah ini:

  1. Ada perbedaan jumlah kafarrah jika jima’ dilakukan diawal atau akhir waktu haidh
  2. Menurut Imam Ahmad bahwa jika darah haid berwarna merah maka ukurannya adalah 1 dinar dan jika berwarna kuning maka ukurannya setengah dinar.(Ma’alim Sunan karya Al Khithabi (1/181).
  3. Menurut syaikh Albani rahimahullah, kafarah dibayarkan sesuai dengan kemampuan orangnya.

Catatan tambahan: 1 dinar = 4,25 gr emas, adapun nilai dinar disesuaikan dengan mata uang setempat.

Apakah Kafarrah juga dibayarkan oleh isteri?

Jika isteri melayaninya dengan sukarela maka ia harus membayar kaffarah, tetapi jika ia melakukan karena paksaan maka ia tidak harus membayar tebusan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:

“Umatku dimaafkan karena salah,lupa dan apa-apa yang dipaksakan atasnya.”

(Lihat Az-zakah wa Tathbiqatihan hal 91)

Semoga dengan pembahasan yang sedikit ini dapat menambah pengetahuan wanita tentang hal yang penting namun terkadang dianggap tabu. Jika memang sang suami belum mempunyai pemahaman mengenai hal tersebut, hendaklah sang istri yang berusaha menjelaskannya dengan semampunya agar tidak terjerumus kedalam kekhilafan. Ingatlah wahai saudariku, tunaikanlah hak Allah terlebih dahulu daripada hak suamimu.

Wallahu a’lam.

***
Penyusun: Ummu Hamzah Galuh Pramita
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits

Rujukan:

  • Aktsar Min Alf Jawab Lil Mar’ah, Khalid al-Husainan (terj),Darul Haq
  • Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Muyassarah Fi Fiqhil Kitaab wa Sunnatil Muthoharah, Syaikh Husein bin “Audah Al “Uwaisah
  • Al Wajiiz fifiqhis Sunnah wal Kitabil “Aziz (terj),Pustaka As Sunnah
  • Isyarat fi Ahkamil Kaffart, Prof Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-thayyar (Terj),Pustaka Al Sofwa
  • Tafsir As Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’d

Ucapan Insya Allah Adalah Janji

Ucapan Insya Allah Adalah Janji 

Ketika anda mengucapkan “insya Allah”, itu sudah dianggap janji, tidak boleh sengaja mengingkarinya. Dan mengucapkan “insya Allah” disertai dengan niat untuk tidak menepati janji, ini termasuk kemunafikan. Karena berbeda antara hati dan ucapan.

Imam Al Auza’i rahimahullah mengatakan :

الوعد بقول: إن شاء الله، مع اضمار عدم الفعل نفاق

“Berjanji dengan mengucapkan insyaAllah, sambil meniatkan dalam hati untuk tidak melakukannya, ini adalah kemunafikan” (Jami’ Al Ulum wal Hikam, 2/482).

Maka mengingkari janji adalah bentuk nifaq (kemunafikan) walaupun disamarkan dengan perkataan insyaAllah.

Yang beliau maksudkan adalah nifaq ‘amali yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Namun tetap saja ini perbuatan yang sangat tercela karena disebut sebagai kemunafikan.

Sebagaimana hadits dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :

في المنافقِ ثلاثٌ ، إذا حدَّث كذبَ ، و إذا وعد أخلفَ ، وإذا ائتُمِنَ خانَ

“Ada 3 sifat orang munafik: [1] jika ia bicara, ia berdusta, [2] jika ia berjanji, ia ingkar janji, [3] jika ia diberi amanah, ia berkhianat” (HR. Al Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir [8/386], Ibnu Hibban no. 256, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1998).

Jika berjanji, walaupun dengan ucapan insyaAllah, maka wajib ditepati. Jika tidak sanggup maka jangan berjanji, dan hendaknya ucapkan “tidak” sejak awal.

Syaikh Dr. Shalih Sindi hafizhahullah mengatakan:

المنع بعد الوعد سلوك مرذول فجانبه
قالوا أقبح الكلام “لا” بعد “نعم”

“Membatalkan (janji ketika sudah menyanggupi) adalah akhlak yang rendahan, maka hendaknya jauhilah
Para ulama mengatakan: seburuk-buruk perkataan adalah ucapan ‘tidak’ setelah sebelumnya sudah berkata: ya”
 (Al Adab ‘Unwanus Sa’adah, hal. 33, karya Syaikh Dr. Shalih Sindi).

Maka hendaknya berpikir dulu dengan bijak sebelum mengiyakan sesuatu, dan beranilah mengucapkan “tidak” jika memang tidak yakin bisa menyanggupi.

Wallahu a’lam.


Cinta Dan Benci Karena Allah

Cinta Dan Benci Karena Allah 

Dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن أحبَّ للهِ ، وأبغَضَ للهِ ، وأَعْطَى للهِ ، ومنَعَ للهِ ، فقد استَكْمَلَ الإيمانَ

“Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi harta karena Allah, menahan harta karena Allah, maka telah sempurna imannya” (HR. Abu Daud no.4681, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Hadits ini bicara tentang al hubbu LILLAH. Dijelaskan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah :

والمعنى أحب لله من يحبه الله، وأحب لله ما يحبه الله، والمراد: من يحبه الله من الأشخاص، وما يحبه الله من الأعمال والأقوال، إذاً فالحب يكون للأشخاص وللأقوال وللأفعال التي يحبها الله ويرضى بها، (من أحب لله، وأبغض لله) أي: أبغض من يبغضه الله، وأبغض ما يبغضه الله

“Maknanya, mencintai seseorang yang dicintai oleh Allah. Dan juga mencintai suatu perkara yang dicintai oleh Allah. Dengan kata lain, ia mencintai seseorang karena Allah atau mencintai suatu perkara baik amalan atau perkataan, karena Allah. Dengan demikian, cintanya tersebut kepada person tertentu, atau kepada suatu perkataan atau kepada suatu perbuatan yang dicintai oleh Allah dan diridhai oleh-Nya.

[Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah], maksudnya, membenci orang yang dibenci oleh Allah dan membenci perkara yang dibenci oleh Allah” (Syarah Sunan Abu Daud, 255/9).

Dari Al Barra’ bin ‘Azib radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ أَوْثَقَ عُرَى الْإِيمَانِ: أَنْ تُحِبَّ فِي اللهِ، وَتُبْغِضَ فِي اللهِ

“Tali ikatan iman yang paling kuat adalah: engkau mencintai karena Allah dan engkau membenci karena Allah” (HR. Ahmad no.18524, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 3030).

Hadits ini bicara tentang al hubbu FILLAH. Dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah :

الحب في الله أن تحب من أجل الله جل وعلا؛ لأنك رأيته ذا تقوى وإيمان فتحبه في الله، وتبغضه في الله؛ لأنك رأيته كافرًا عاصيًا لله فتبغضه في الله، أو عاصيًا وإن كان مسلمًا فتبغضه بقدر ما عنده من المعاصي، هكذا المؤمن

“Al hubbu fillah maknanya anda mencintai (seseorang) karena Allah jalla wa ‘ala. Karena anda melihat ia adalah orang yang bertakwa dan beriman, sehingga anda pun mencintainya karena Allah. Dan anda membenci (seseorang) juga karena Allah. Karena anda melihat ia seorang yang kufur atau ahli maksiat, maka anda pun membencinya karena Allah. Atau anda membenci ahli maksiat, walaupun ia Muslim, anda benci dia sekadar maksiat yang ia lakukan. Inilah sikap seorang Mukmin” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 1/209).

Jika diperhatikan penjelasan di atas, maka makna al hubbu LILLAH dengan al hubbu FILLAH tidak jauh berbeda. Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak ketika ditanya apa perbedaan di antara keduanya, beliau menjawab:

المعنى قريب

“Maknanya dekat (hampir sama)”.

Ibnul Qayyim rahimahullah juga ketika menyebutkan jenis-jenis mahabbah, beliau menyebutkan jenis yang ketiga:

الحب لله وفيه وهي من لوازم محبة ما يحب الله ولا يستقيم محبة ما يحب الله إلا بالحب فيه وله

“Al hubbu lillah dan al hubbu fillah, keduanya merupakan konsekuensi dari mencintai apa yang dicintai oleh Allah. Tidak akan terwujud dengan benar kecuali dengan al hubbu fillah dan al hubbu lillah” (Al Jawabul Kafi, 1/134).

Mengisyaratkan bahwa beliau menyamakan antara al hubbu fillah dan al hubbu lillah.

Sebagian ulama menjelaskan,

al hubbu lillah adalah cinta dalam rangka taqarrub (ibadah) kepada Allah.

* sedangkan al hubbu fillah adalah mencintai seseorang atau sesuatu selama ia sesuai dengan agama Allah.

Namun al hubbu fillah dan al hubbu lillah saling berkelaziman satu sama lain. Ibnul Qayyim menjelaskan:

فالحب في الله هو من كمال الإيمان والحب مع الله هو عين الشرك … أن يحب ما يحبه الله فإذا أحب ما أحبه ربه ووليه كان ذلك الحب له وفيه كما يحب رسله وأنبياءه وملائكته وأولياءه لكونه تعالى يحبهم ويبغض من يبغضهم لكونه تعالى يبغضهم وعلامة هذا الحب والبغض في الله

Al hubbu fillah adalah tanda kesempurnaan iman. Sedangkan al hubbu ma’allah adalah inti kesyirikan … Ketika seseorang mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan para walinya, itu adalah al hubbu lillah dan fillah. Sebagaimana ketika seseorang mencintai para Rasul Allah, para Nabi-Nya, pada Malaikat-Nya, para wali-Nya, karena Allah ta’ala cinta kepada mereka. Dan ketika seseorang membenci orang-orang yang dibenci oleh Allah karena Allah membenci mereka. Dan pertanda adanya cinta seperti ini adalah al hubbu wal bughdhu fillah” (Ar Ruh, 1/254).

Wallahu ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat.

Ancaman Bagi Wanita Yang Tidak Berhijab Ternyata

Ancaman Bagi Wanita Yang Tidak Berhijab 

Ternyata sangat mengerikan akibat bagi wanita yang tidak menutup aurat dan tidak berhijab syar’i. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

صِنفان من أهل النار لم أرهما: قومٌ معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس، ونساء كاسيات عاريات، مميلات مائلات، رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة، لا يدخُلْن الجنة، ولا يجدن ريحها، وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا

Ada dua golongan penduduk neraka yang aku belum pernah melihatnya sebelumnya: Pertama, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka menggunakannya untuk mencambuk orang-orang. Kedua, wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepalanya seperti punuk unta. Mereka tidak masuk surga, dan tidak mencium wanginya, padahal wangi surga tercium dari jarak sekian dan sekian” (HR. Muslim no. 2128).

Adapun mengenai kelompok pertama, dijelaskan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah:

الْإِشَارَة بأصحاب السِّيَاط يشبه أَن يكون للظلمة من أَصْحَاب الشَّرْط

“Makna dari pemilik cambuk adalah penegak hukum yang zalim” (Kasyful Musykil min Haditsi Shahihain, 3/567).

Termasuk di dalamnya para pejabat, hakim, polisi, tentara yang zalim, dan tidak menegakkan kebenaran.

Sedangkan kelompok kedua, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

قد فُسِّر قوله ” كاسيات عاريات ” : بأنهن يلبسن ألبسة قصيرة ، لا تستر ما يجب ستره من العورة ، وفسر : بأنهن يلبسن ألبسة خفيفة لا تمنع من رؤية ما وراءها من بشرة المرأة ، وفسرت : بأن يلبسن ملابس ضيقة ، فهي ساترة عن الرؤية لكنها مبدية لمفاتن المرأة

“Wanita yang [berpakaian tapi telanjang], ditafsirkan para ulama maknanya mereka menggunakan pakaian yang pendek, yang tidak menutup aurat yang wajib untuk ditutup. Sebagian ulama menafsirkan: mereka menggunakan pakaian yang tipis, sehingga tidak menghalangi terlihatnya warna kulit mereka. Sebagian ulama menafsirkan: mereka menggunakan pakaian yang sempit, pakaiannya menutupi aurat namun masih menampakkan keindahan-keindahan wanita” (Fatawa Syaikh Ibnu Al Utsaimin, 2/825).

Maka wajib bagi Muslimah untuk menggunakan hijab yang syar’i di depan lelaki non mahram. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengancam wanita yang berhijab, namun hijabnya tidak syar’i. Lebih lagi wanita yang tidak berhijab. Dikhawatirkan mereka tidak bisa mencium bau surga.

Syarat-syarat hijab Muslimah yang syar’i adalah sebagai berikut:

1- استيعاب جميع البدن إلا ما استثني. 2- أن لا يكون زينة في نفسه. 3- أن يكون صفيقاً لا يشف. 4- أن يكون فضفاضاً غيرضيق فيصف شيئاً من جسمه. 5- أن لا يكون مبخراً مطيباً. 6- أن لا يشبه لباس الرجل. 7- أن لا يشبه لباس الكافرات. 8- أن لا يكون لباس شهرة

(1) Menutupi seluruh tubuh kecuali yang tidak wajib ditutupi
(2) Tidak berfungsi sebagai perhiasan
(3) Kainnya tebal tidak tipis
(4) Lebar tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh
(5) Tidak diberi pewangi atau parfum
(6) Tidak menyerupai pakaian lelaki
(7) Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
(8) Bukan merupakan libas syuhrah (pakaian yang menarik perhatian orang-orang)”
(Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Lil Imam Al Albani, 394).

Tiga Macam Sabar

Tiga Macam Sabar 

Sabar itu ada tiga macam, yaitu sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat dan sabar dalam menghadapi takdir.

Apa itu Sabar?

Sabar secara bahasa berarti al habsu yaitu menahan diri.

Sedangkan secara syar’i, sabar adalah menahan diri dalam tiga perkara : (1) ketaatan kepada Allah, (2) hal-hal yang diharamkan, (3) takdir Allah yang dirasa pahit (musibah). Inilah tiga bentuk sabar yang biasa yang dipaparkan oleh para ulama.

Sabar dalam Ketaatan

Sabar dalam ketaatan kepada Allah yaitu seseorang bersabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Dan perlu diketahui bahwa ketaatan itu adalah berat dan menyulitkan bagi jiwa seseorang. Terkadang pula melakukan ketaatan itu berat bagi badan, merasa malas dan lelah (capek). Juga dalam melakukan ketaatan akan terasa berat bagi harta seperti dalam masalah zakat dan haji. Intinya, namanya ketaatan itu terdapat rasa berat dalam jiwa dan badan sehingga butuh adanya kesabaran dan dipaksakan.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imron [3] : 200).

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Sholihin ketika menjelaskan ayat di atas, beliau rahimahullah mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin sesuai dengan konsekuensi dan besarnya keimanannya dengan 4 hal yaitu: shobiru, shoobiru, robithu, dan bertakwalah pada Allah.

Shobiru berarti menahan diri dari maksiat. Shoobiruu berarti menahan diri dalam melakukan ketaatan. Roobithu adalah banyak melakukan kebaikan dan mengikutkannya lagi dengan kebaikan. Sedangkan takwa mencakup semua hal tadi.”

Kenapa Butuh Sabar dalam Ketaatan?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan pula bahwa dalam melakukan ketaatan itu butuh kesabaran yang terus menerus dijaga karena :

(1) Ketaatan itu akan membebani seseorang dan mewajibkan sesuatu pada jiwanya,

(2) Ketaatan itu terasa berat bagi jiwa, karena ketaatan itu hampir sama dengan meninggalkan maksiat yaitu terasa berat bagi jiwa yang selalu memerintahkan pada keburukan. –Demikianlah perkataan beliau-

Sabar dalam Menjauhi Maksiat

Ingatlah bahwa jiwa seseorang biasa memerintahkan dan mengajak kepada kejelekan, maka hendaklah seseorang menahan diri dari perbuatan-perbuatan haram seperti berdusta, menipu dalam muamalah, makan harta dengan cara bathil dengan riba dan semacamnya, berzina, minum minuman keras, mencuri dan berbagai macam bentuk maksiat lainnya. Seseorang harus menahan diri dari hal-hal semacam ini sampai dia tidak lagi mengerjakannya dan ini tentu saja membutuhkan pemaksaan diri dan menahan diri dari hawa nafsu yang mencekam.

Sabar Menghadapi Takdir yang Pahit

Ingatlah bahwa takdir Allah itu ada dua macam, ada yang menyenangkan dan ada yang terasa pahit. Untuk takdir Allah yang menyenangkan, maka seseorang hendaknya bersyukur. Dan syukur termasuk dalam melakukan ketaatan sehingga butuh juga pada kesabaran dan hal ini termasuk dalam sabar bentuk pertama di atas. Sedangkan takdir Allah yang dirasa pahit misalnya seseorang mendapat musibah pada badannya atau kehilangan harta atau kehilangan salah seorang kerabat, maka ini semua butuh pada kesabaran dan pemaksaan diri. Dalam menghadapi hal semacam ini, hendaklah seseorang sabar dengan menahan dirinya jangan sampai menampakkan kegelisahan pada lisannya, hatinya, atau anggota badan.

Semoga bermanfaat.

Keadaan seorang Mukmin seperti tangkai yang ditiup angin

Keadaan seorang Mukmin seperti tangkai yang ditiup angin

Keadaan seorang Mukmin seperti tangkai yang ditiup angin, terkadang lurus terkadang miring. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

مَثَلُ المُؤْمِنِ كَمَثَلِ الخامَةِ مِنَ الزَّرْعِ، مِن حَيْثُ أتَتْها الرِّيحُ كَفَأَتْها، فإذا اعْتَدَلَتْ تَكَفَّأُ بالبَلاءِ، والفاجِرُ كالأرْزَةِ، صَمَّاءَ مُعْتَدِلَةً، حتَّى يَقْصِمَها اللَّهُ إذا شاءَ

“Permisalan seorang Mukmin adalah seperti tangkai tanaman yang baru tumbuh. Ia bergoyang sesuai tiupan angin yang menerpanya. Ketika angin sudah tenang, ia kembali seperti semula. Itulah bala’ (bencana). Sedangkan orang fajir itu seperti tangkai padi yang keras dan lurus, sampai akhirnya Allah patahkan ia sesuai kehendak-Nya” (HR. Al Bukhari no.5644).

Dalam riwayat lain:

ومَثَلُ الكافِرِ كَمَثَلِ الأرْزَةِ صَمَّاءَ مُعْتَدِلَةً حتَّى يَقْصِمَها اللَّهُ إذا شاءَ

“… sedangkan orang kafir itu seperti tangkai padi yang keras dan lurus, sampai akhirnya Allah patahkan ia sesuai kehendak-Nya” (HR. Al Bukhari no. 7466).

Dalam riwayat Muslim, dari sahabat Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

مَثَلُ المُؤْمِنِ كَمَثَلِ الخامَةِ مِنَ الزَّرْعِ، تُفِيئُها الرِّيحُ، تَصْرَعُها مَرَّةً وتَعْدِلُها أُخْرَى، حتَّى تَهِيجَ، ومَثَلُ الكافِرِ كَمَثَلِ الأرْزَةِ المُجْذِيَةِ علَى أصْلِها، لا يُفِيئُها شيءٌ، حتَّى يَكونَ انْجِعافُها مَرَّةً واحِدَةً

“Permisalan seorang Mukmin adalah seperti tangkai tanaman yang baru tumbuh. Ia bergoyang sesuai tiupan angin yang menerpanya. Terkadang ia miring terkadang ia lurus. Sampai akhirnya ia kering menguning. Sedangkan orang kafir itu seperti tangkai padi kuat di atas akarnya, tidak bergoyang sama sekali, sampai akhirnya ia dicabut sekali saja” (HR. Muslim no.2810).

An Nawawi rahimahullah menjelaskan hadist-hadits di atas:

قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّ الْمُؤْمِنَ كَثِيرُ الْآلَامِ فِي بَدَنِهِ أَوْ أَهْلِهِ أَوْ مَالِهِ وَذَلِكَ مُكَفِّرٌ لِسَيِّئَاتِهِ وَرَافِعٌ لِدَرَجَاتِهِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَقَلِيلُهَا وَإِنْ وَقَعَ بِهِ شَيْءٌ لَمْ يُكَفِّرْ شَيْئًا مِنْ سَيِّئَاتِهِ بَلْ يَأْتِي بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ كاملة

“Para ulama mengatakan, makna hadits ini adalah bahwa seorang Mukmin itu terkadang merasakan banyak musibah pada badannya atau pada keluarganya atau pada hartanya. Namun itu semua adalah penghapus dosa-dosa mereka dan mengangkat derajat mereka.

Adapun orang kafir, sedikit musibah yang menimpa mereka dan musibah itu pun tidak menghapuskan keburukan-keburukan mereka, sehingga mereka akan mempertanggung-jawabkan dosa-dosanya secara penuh di hari Kiamat” (Syarah Shahih Muslim, 17/153).

Wallahu a’lam.

Ipar Itu Maut

Ipar Itu Maut 

Kita pernah mendengar hadits yang menyebutkan bahwa ipar itu maut. Apa yang dimaksud dengan hadits tersebut?

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ

Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172)

Apa yang dimaksud hamwu adalah maut?

Hamwu yang dimaksud dalam hadits bukan hanya ipar saja namun setiap kerabat dekat isteri yang bukan mahram. Yang masih mahram bagi suami dari keluarga istri adalah seperti ayah dan anaknya.

Al Laits berkata bahwa al hamwu adalah ipar (saudara laki-laki dari suami) dan keluarga dekat suami.

Sehingga apa yang dikatakan oleh Al Laits menunjukkan bahwa ipar itu bukan mahram bagi istri.

Yang dimaksud dengan maut di sini yaitu berhubungan dengan keluarga dekat isteri yang bukan mahram perlu ekstra hati-hati dibanding dengan yang lain. Karena dengan mereka seringkali bertemu dan tidak ada yang bisa menyangka bahwa perbuatan yang mengantarkan pada zina atau zina yang keji itu sendiri bisa terjadi. Kita pun pernah mendapatkan berita-berita semacam itu.

Hadits di atas juga mengajarkan larangan berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahram. Karena dalam hadits sudah disebutkan pula,

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا

Janganlah salah seorang di antara kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad 1: 18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, para perowinya tsiqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim).

Namun jika bersama wanita itu ada wanita lain atau terdapat mahramnya, maka jadilah hilang maksud yang dilarang. Ini berlaku untuk pergaulan dengan yang bukan mahram.

Semoga bermanfaat, hanya Allah yang memberi taufik.

Tanah Arab Menghijau Kiamat Sudah Dekat

Tanah Arab Menghijau Kiamat Sudah Dekat 

Pembahasan ini sudah berulang-ulang dibahas dan diangkat oleh media, sosmed dan channel youtube hampir setiap beberapa tahun.

Memang benar ada haditsnya,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَعُودَ أَرْضُ الْعَرَبِ مُرُوجًا وَأَنْهَارًا.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga tanah Arab kembali hijau penuh dengan tumbuhan dan sungai-sungai.” [Musnad Ahmad (XIII/291 no. 7554)]

Akan tetapi penjelasan ulama bahwa perubahan ini adalah perubahan yang permanen dan selamanya, bukan perubahan hanya karena perubahan musim cuaca saja

Adapun sekarang dan di zaman kita ini, faktanya tidak demikian

  1. Daerah saudi bagian utara memang daerah yang lebih dingin bukan padang pasir serta bisa bercocok tanam, bahkan saat musim dingin suhunya bisa mendekati nol derajat, bahkan ini sejak dahulu kala
  2. Di Saudi juga terkadang turun hujan pada musimnya, setelah itu akan tumbuh tanaman dan menjadi hijau, akan tetapi apabila hujan berhenti, hijau akan hilang bahkan kembali tandus, jadi tidak pernamen
  3. Hendaknya tidak mengkait-kaitkan fenomena alam yang belum teliti dengan hadits, dan belum membaca penjelasan ulama tentang hadist tersebut (cocokologi), khawatirnya ketika melihat fakta yang hijau tadi kembali tandus, orang akan meragukan hadits tersebut dan tidak percaya dengan agama
  4. Semoga tidak ada lagi yg seperti ini, akibatnya umat akan takut bahwa kiamat kubra akan datang sebentar lagi

Demikian semoga bermanfaat.