Mengamalkan Sunnah Nabi Ketika Banyak Yang Meninggalkannya

Mengamalkan Sunnah Nabi Ketika Banyak Yang Meninggalkannya 

Di akhir zaman, Islam akan kembali asing. Sampai-sampai kaum Muslimin tidak mengenal ajaran-ajaran agamanya sendiri. Mereka asing terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga sunnah Nabi banyak ditinggalkan oleh kaum Muslimin. Orang yang mengamalkan sunnah pun dianggap asing dan aneh. Maka di masa ketika itulah, orang yang istiqamah mengamalkan sunnah Nabi diuji kesabarannya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” [QS Al-Ahqaf : 13].

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak)” [QS. Al-Jin: 16].

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

يأتي على النَّاسِ زمانٌ الصَّابرُ فيهم على دينِه كالقابضِ على الجمرِ

“Akan datang suatu masa, orang yang bersabar berpegang pada agamanya, seperti menggenggam bara api” [HR. Tirmidzi no. 2260, disahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi].

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,

بدأَ الإسلامُ غريبًا، وسيعودُ كما بدأَ غريبًا، فطوبى للغرباءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah ghuraba (orang-orang yang asing)” [HR. Muslim no. 145].

Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menjelaskan hadis ini dengan mengatakan, “Artinya bahwa Islam dimulai dalam keadan asing sebagaimana keadaan di Mekkah dan di Madinah ketika awal-awal hijrah. Islam tidak diketahui dan tidak ada yang mengamalkan kecuali sedikit orang saja. Kemudian ia mulai tersebar dan orang-orang masuk (Islam) dengan jumlah yang banyak dan dominan di atas agama-agama yang lain.

Dan Islam akan kembali asing di akhir zaman, sebagaimana awal kemunculannya. Ia tidak dikenal dengan baik kecuali oleh sedikit orang dan tidak diterapkan sesuai dengan yang disyariatkan kecuali sedikit dari manusia dan mereka itu asing. Dan hadis lengkapnya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فطوبى للغرباء

“Maka beruntunglah orang-orang yang asing”.

Dan dalam riwayat yang lain,

قيل يا رسول الله ومن الغرباء؟ فقال: الذين يصلحون إذا فسد الناس

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang asing itu (al-Ghuraba)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Yaitu orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yang berbuat kerusakan”.

Dan dalam lafaz yang lain,

هم الذين يصلحون ما أفسد الناس من سنتي

”Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki sunnahku yang dirusak manusia” [Diterjemahkan dari http://ar.islamway.net/fatwa/46079%5D.

Orang-orang yang bisa bersabar dan tetap istiqamah di masa itu, ia akan mendapatkan pahala yang besar dan kedudukan yang tinggi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ

“Beribadah di masa haraj (sulit), seperti berhijrah kepadaku” [HR. Muslim no. 2948].

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

المراد بالهرج هنا الفتنة واختلاط أمور الناس

“Yang dimaksud dengan al-haraj adalah fitnah (kekacauan) dan kesemrawutan perkara di tengah manusia” [Syarah Shahih Muslim, 18/391].

Bahkan orang-orang yang istiqamah ketika itu dikatakan sebagai orang yang beruntung mendapatkan surga. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

بدأَ الإسلامُ غريبًا، وسيعودُ كما بدأَ غريبًا، فطوبى للغرباءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah ghuraba (orang-orang yang asing)” [HR. Muslim no. 145].

Kata طوبى dalam hadis ini maknanya adalah surga. Dalam sebuah hadis disebutkan,

طوبى شجرةٌ في الجنَّةِ ، مسيرةُ مائَةِ عامٍ

“Tuba adalah pohon di surga, tingginya sepanjang perjalanan 100 tahun” [HR. Ahmad no.11673, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no.1374, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami, no. 3918].

Maka tidak mungkin bisa mendapatkan “tuba” ini kecuali orang yang masuk surga. Maka tetaplah istiqamah, dan bersabarlah dalam mengamalkan sunnah Nabi. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Tiga Orang Yang Doanya Mustajab

Tiga Orang Yang Doanya Mustajab 

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Seorang hamba sangatlah butuh terhadap Tuhannya, Allah Ta’ala. Ia tidak akan bisa lepas dari karunia serta pertolongannya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji. (QS. Fatir: 15)

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya di antara amalan ibadah yang paling utama adalah bersimpuh, berdoa, dan meminta kepada Allah Ta’ala, mencari cara terbaik agar doa-doa kita dikabulkan oleh Allah Ta’ala.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Terdapat sebuah hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan perihal tiga doa yang dikabulkan, tiga doa yang tidak diragukan lagi akan diterima oleh Allah Ta’ala. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

ثَلاثُ دَعَواتٍ مُسْتَجاباتٍ، لا شَكَّ فيهنَّ: دَعْوةُ المَظْلومِ، ودَعْوةُ المُسافِرِ، ودَعْوةُ الوالِدِ على وَلَدِه

“Ada tiga doa yang tidak diragukan kemustajabannya, yaitu: doa orang yang dizalimi (dianiaya), doa orang musafir, dan doa kedua orang tua kepada anaknya.” (HR. Abu Dawud no. 1536, Tirmidzi no. 1905, Ibnu Majah no. 3862 dan Ahmad no. 7501)

Lihatlah bagaimana Nabi menyifati ketiga doa tersebut dengan “tidak diragukan kemustajabannya”, menandakan bahwa ketiga doa ini memiliki kedudukan yang sangat agung di sisi Allah Ta’ala.

Lalu, bagaimana bisa ketiga doa ini dikabulkan oleh Allah Ta’ala? Bagaimana bisa ketiga doa ini berhak dikabulkan oleh Allah Ta’ala?

Jemaah yang berbahagia.

Mari kita mengenal lebih dekat tiga doa ini, mengenal juga para pemilik doa tersebut. Doa pertama yang Nabi sebutkan sebagai doa yang mustajab adalah doa orang yang terzalimi.

Sungguh doa orang yang terzalimi tidak ada penghalang antaranya dan Allah Ta’ala suatu penghalang apa pun. Kezaliman adalah dosa besar dan sumber keburukan, betapa banyak orang yang zalim celaka karena doa-doa orang yang mereka zalimi terangkat ke atas langit dan dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu suatu hari mengisahkan,

كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي، فَسَمِعْتُ مِن خَلْفِي صَوْتًا: اعْلَمْ، أَبَا مَسْعُودٍ، لَلَّهُأَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عليه، فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هو رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، فَقُلتُ: يا رَسولَ اللهِ، هو حُرٌّ لِوَجْهِ اللهِ، فَقالَ: أَما لو لَمْ تَفْعَلْ لَلَفَحَتْكَ النَّارُ، أَوْ لَمَسَّتْكَ النَّارُ

“Aku pernah memukul seorang budak milikku, lalu aku mendengar suara seseorang menyeru dari belakang, “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, sesungguhnya Allah lebih berkuasa atas dirimu daripada kuasamu atas dia.” Setelah aku menoleh, ternyata itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, dia sekarang aku bebaskan karena Allah.” Beliau bersabda, “Seandainya kamu tidak membebaskannya, maka kamu akan dilahap oleh api neraka.” (HR. Muslim no. 1659)

Di hadis yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ،

قَالَ: ثُمَّ قَرَأَ: ﴿ وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ ﴾ [هود: 102].

“Sesungguhnya Allah memberi kelonggaran waktu untuk orang yang zalim sampai waktu di mana Allah menghukum orang yang zalim dan tidak melepaskannya.” (HR. Bukhari no. 4686)

Kemudian Nabi membacakan firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Demikianlah hukuman Tuhanmu jika mengazab penduduk suatu kampung yang zalim. Sungguh siksaan-Nya itu sangat menyakitkan.” (QS. Hud: 102)

Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala menjamin dukungan dan pertolongannya kepada orang-orang yang terzalimi dan tertindas meskipun hal tersebut membutuhkan waktu yang lamaal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

دَعْوَةُالمَظْلومِ ؛ يَرْفَعُها فَوْقَ الغَمامِ ، وتُفَتَّحُ لها أبوابُ السَّماءِ ؛ ويقولُ الرب : وعزَّتي لَأنْصُرَنَّكِ ولَوْ بعدَ حِينٍ 

“Doanya orang yang dizalimi diangkat di atas awan. Dibukakan pintu-pintu langit. Allah Azza Wajalla berfirman, ‘Demi kemuliaan-Ku, Aku pasti menolongmu meskipun setelah beberapa waktu.’ ” (HR. Tirmidzi no. 3598, Ibnu Majah no. 1752, Ahmad no. 8030 dan Al-Baghawi di dalam Syarh As-Sunnah 1395. Ibnu Hajar Al-Asqalani mengahasankan hadis ini.)

Doa kedua yang Nabi sebutkan adalah doanya seorang musafir, yaitu seseorang yang sedang meninggalkan kampungnya dan menempuh perjalanan yang jauh jaraknya.

Seorang musafir termasuk dari orang-orang yang sangat membutuhkan, sedangkan seorang hamba apabila sangat membutuhkan sesuatu kemudian berdoa meminta kepada Allah Ta’ala kebutuhannya tersebut, maka insyaAllah akan dikabulkan.

Karena Allah Ta’ala lebih mengabulkan doanya mereka yang sedang dalam keadaan terdesak dan membutuhkan melebihi pengabulannya kepada selain keduanya.

Seorang muslim hendaknya memanfaatkan momentum safar sebagai waktu untuk banyak berdoa, terlebih lagi bila safar yang dilakukannya tersebut bertujuan untuk melakukan ketaatan, seperti untuk umrah maupun berhaji.

Semakin jauh jarak yang ditempuh, dan semakin besar rindu kampung halaman yang yang dipikul hatinya maka peluang terkabulnya doa tersebut semakin besar. Berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan,

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan dirinya kusut dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku.’ Namun, makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram. Ia kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim no. 1015)

Jemaah yang semoga termasuk salah satu hamba yang Allah kabulkan doanya.

Hadis ini mengisyaratkan bahwa orang yang sedang dalam perjalanan panjangnya adalah salah satu kondisi yang berpeluang besar dikabulkan doanya. Hanya saja doa orang ini tidak Allah terima dan tidak Allah kabulkan karena ia makan, minum, dan mengenakan pakaian dari sesuatu yang haram.

أقُولُ قَوْلي هَذَا   وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Ma’asyiral mu’minin yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Doa terakhir yang Nabi sebutkan sebagai doa yang mustajab adalah doa orang tua. Doa mereka adalah doa yang mudah sekali Allah kabulkan, baik itu doa kebaikan maupun doa keburukan. Sungguh ini merupakan pengingat akan pentingnya berbakti kepada keduanya dan menjauhi durhaka kepada mereka.

Sesungguhnya keduanya memiliki hak yang sangat agung setelah hak Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam ayat tentang 10 (sepuluh) hak,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورً

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رِضَا الرَّبِّ في رِضَا الوالِدِ، وسَخَطُ الرَّبِّ في سَخَطِ الوالِدِ

“Rida Allah terdapat pada rida seorang ayah (orang tua), dan murka Allah juga terdapat pada murkanya seorang ayah (orang tua).” (HR. Tirmidzi no. 1899 dan Al-Hakim no. 7294 dan Ibnu Hibban no. 429)

Betapa banyak anak-anak yang hidup dalam kesengsaraan dan kesusahan karena doa keburukan orangtuanya kepada mereka, betapa banyak dari mereka yang menjadi miskin dan bangkrut setelah sebelumnya kaya raya hanya karena doa buruk orang tuanya kepada mereka. Betapa banyak juga anak-anak yang kehidupannya berbalik seratus delapan puluh derajat dari kemiskinan dan kesengsaraan berubah menjadi kehidupan yang penuh dengan kekayaan dan kemuliaan.

Semua itu karena doa orang tua mereka. Doa yang mungkin saja mereka lupakan. Akan tetapi, Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mendengar tidak melupakannya.

Oleh karena itu, beruntunglah mereka yang ketika orang tuanya meninggal dunia telah mendapatkan keridaan keduanya. Sungguh merupakan kebaikan dan pertanda bahwa kehidupannya akan dipenuhi oleh kebahagiaan dan kenikmatan. Mereka patut bangga akan apa yang akan mereka dapatkan berupa kemudahan di dunia maupun di akhirat.

Sedangkan mereka yang ketika orangtuanya meninggal dunia, namun tidak mendapatkan keridaan keduanya, maka wajib baginya untuk kembali kepada Allah Ta’ala, meminta ampunan kepada-Nya, memenuhi hak-hak orangtuanya yang masih bisa ia penuhi setelah meninggalnya mereka, baik itu mendoakan keduanya, bersedekah untuk keduanya dan berbuat baik kepada kerabat serta saudara keduanya. Semoga dengan melakukan hal-hal tersebut dapat menutupi kekurangannya dalam memenuhi hak keduanya saat masih hidup.

Jemaah yang berbahagia.

Berbaktilah selalu kepada kedua orang tua kita, gapailah keridaan mereka, mintalah selalu doa dalam setiap hal yang kita hadapi di dunia, manfaatkanlah kesempatan ini selagi mereka masih hidup. Sungguh ini kesempatan yang tak akan terulang dalam kehidupan kita.

Semoga Allah tuliskan kita sebagai hamba yang mendapatkan keridaan orang tua dan keridaan Allah Ta’ala.

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrahim: 41)

Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Sumber Kebahagiaan Duniawi

Sumber Kebahagiaan Duniawi 

Memiliki cita-cita untuk masa depan duniawi merupakan fitrah yang dimiliki setiap manusia. Angan untuk mendapatkan rezeki, jodoh, pendidikan, keturunan, kesehatan, dan berbagai bentuk harapan untuk kehidupan yang lebih baik dari yang saat ini dijalani adalah hal yang lumrah diinginkan oleh manusia.

Begitu pula halnya dengan masa lalu. Setiap insan memiliki masa yang pernah ia jalani, baik dalam suka maupun duka. Dalam hal masa suka, seperti ketaatan-ketaatan yang pernah dilakukan dan karunia dari Allah yang diperoleh, tentu sah-sah saja jika dikenang guna mengambil ibrah untuk masa kini yang dijalani.

Adapun masa duka, baik berupa musibah, cobaan, maupun kemaksiatan yang pernah dilakukan, hendaknya dengan mengenangnya menjadikan seorang hamba senantiasa beristigfar memohon ampunan dari Allah Ta’ala.

Karunia terbesar di balik kekhawatiran dan penyesalan

Saudaraku, ketika kita larut dengan kekhawatiran akan masa depan atau pun penyesalan terhadap masa lalu, maka hal itu dapat menjadikan kita luput dari mensyukuri dan menyadari berbagai karunia Allah Ta’ala yang kita peroleh saat ini.

Lihatlah diri kita dengan miliaran sel otak dan puluhan organ tubuh yang masih dapat berfungsi dengan baik. Sementara sebagian saudara kita diberikan ujian oleh Allah Ta’ala dengan diambilnya karunia tersebut. Bukankah ini anugerah yang tak ternilai harganya?

Begitu pula keluarga dan kerabat yang masih mempedulikan kita tatkala dirundung masalah dan musibah. Mereka hamba-hamba Allah (orang tua, istri, anak, kakak/adik) yang dikirimkan Allah kepada kita untuk membersamai kita, bahkan hingga ajal menjemput.

Sementara, banyak pula dari orang-orang yang kita kenal yang telah kehilangan orang-orang yang dicintainya baik karena bencana alam maupun sosial yang memisahkan mereka dari keluarga dan kerabatnya hingga kini hidup sendiri, dan merindukan mereka yang dicintainya agar kembali.

Saudaraku, renungkanlah karunia terbesar ini!

Mengkhawatirkan masa depan hanya akan membuat kita melupakan kenikmatan dan anugerah Allah yang kini sedang kita peroleh. Sedangkan, terus menerus menyesali masa lalu (apabila tidak dibarengi dengan tobat) hanya akan menjadikan kita menyalahkan diri dan melupakan kasih sayang Allah Yang Maha Pengampun (Al-Ghafur).

Landasan kebahagiaan

Dalam Islam, kita diajarkan untuk qana’ah. Landasan kebahagiaan adalah qana’ah. Praktik qana’ah dilakukan dengan cara menerima anugerah dari Allah Ta’ala tanpa memandang apa yang dimiliki oleh orang lain. Sungguh, memperoleh sifat qana’ah merupakan anugerah Allah Ta’ala yang harus kita gapai dengan senantiasa melakukan amalan saleh (kabajikan).

مَنۡ عَمِلَ صَـٰلِحࣰا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنࣱ فَلَنُحۡیِیَنَّهُۥ حَیَوٰةࣰ طَیِّبَةࣰۖ

“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97)

Maksud kehidupan yang lebih baik (حَیَوٰةࣰ طَیِّبَةࣰۖ) ditafsirkan oleh sebagian ulama sebagai qana’ah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Pengertian kehidupan yang baik ialah kehidupan yang mengandung semua segi kebahagiaan dari berbagai aspeknya. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan sejumlah ulama, bahwa mereka menafsirkannya dengan pengertian rezeki yang halal lagi baik. Dari Ali ibnu Abu Talib, disebutkan bahwa dia menafsirkannya dengan pengertian al-qana’ah (puas dengan apa yang diberikan kepadanya). Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ikrimah, dan Wahb ibnu Munabbih.”

Kunci kehidupan yang baik

Qana’ah dengan apa yang saat ini diperoleh dari anugerah Allah Ta’ala hanya bisa dirasakan oleh orang yang senantiasa melakukan amal saleh. Tentu saja, amal saleh yang dimaksudkan di sini secara garis besar adalah praktik ketaatan dalam menjalankan segala perintah Allah Ta’ala dan menghindari sejauh mungkin dari potensi kemaksiatan dengan meninggalkan segala larangan-Nya.

Maka, sesungguhnya orang-orang yang qana’ah adalah sejatinya orang yang kaya karena mereka mensyukuri segala karunia dan anugerah dari Allah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليسَ الغِنَى عن كَثْرَةِ العَرَضِ، ولَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“(Hakikat) kekayaan bukanlah pada harta yang banyak, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari no. 6446)

Dua perspektif terhadap nikmat Allah Ta’ala

Disadari atau tidak, banyak manusia yang telah Allah berikan rezeki melimpah berupa harta, jabatan, istri, dan anak, tetapi selalu saja energi negatif yang keluar dari ucapannya seperti keluhan dan permasalahan yang dihadapi. Jarang sekali terucap rasa syukur dan mengedepankan pandangan positif dari segala anugerah yang telah ia peroleh.

Ketika mata terbuka dari lelap, yang terbayang hanyalah permasalahan duniawi dan segala sisi negatif dari kehidupan yang ia jalani. Padahal, jika saja ia melihat dari sudut pandang seorang hamba yang qana’ah dengan segala anugerah dari Allah Ta’ala, tentu tiada kata yang terucap, kecuali syukur dengan memuji Allah atas segala karunia yang telah diberikan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لِرَبِّهِۦ لَكَنُودٌ

“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya.” (QS. Al-’Adiyat: 6)

Sebaliknya, ada pula orang yang diberikan cobaan dengan segala kekurangan. Makanan yang dimiliki seadanya, tidak memiliki harta yang banyak, tidak pula jabatan, keluarga terdekat yang menjauh, dan bahkan organ tubuhnya tidak lengkap, mereka masih dapat memuji Allah Ta’ala atas segala kenikmatan yang telah mereka peroleh.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَةَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18-19)

Urgensi qana’ah dalam kehidupan dunia

Hal ini menandakan bahwa betapa sifat qana’ah ini sangat penting untuk kita miliki. Sungguh nikmat kehidupan ini tatkala yang ada dalam pikiran dan terucap dari bibir ini adalah rasa syukur yang terus menerus karena yang terlintas dan terlihat hanyalah anugerah dari Ar-Rahman.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata,

إذا ما كنت ذا قلب قنوع ** فأنت ومالك الدنيا سواء

“Manakala sifat qana’ah senantiasa ada pada dirimu ** Maka engkau dan raja dunia, sama saja.” (Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 10)

Oleh karenanya, dalam hal urusan duniawi, agar mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, hendaklah kita memperhatikan hamba-hamba Allah yang tidak seberuntung kita baik dari sisi ekonomi, keluarga, keturunan, pendidikan, atau pun kesehatan. Niscaya kita akan mendapati bahwa Allah Ta’ala telah memberikan banyak kelebihan pada diri kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هو أَسفَل مِنْكُمْ وَلا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوقَكُم؛ فهُوَ أَجْدَرُ أَن لا تَزْدَرُوا نعمةَ اللَّه عَلَيْكُمْ

“Lihatlah siapa yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, sebab yang demikian lebih patut agar kalian tidak memandang remeh nikmat Allah atas kalian.” (Muttafaqun ‘alaihi dengan lafaz Muslim)

Saudaraku, sumber kebahagiaan duniawi itu adalah qana’ah. Bertakwalah kepada Allah Ta’ala dan pertahankanlah sifat qana’ah. Mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita sehingga kita selalu mudah untuk bersyukur di setiap waktu, dan qana’ah dengan apa yang telah Allah Ta’ala berikan kepada kita. Wallahu a’lam.

***

Mengkhatamkan Al Qur’an sebulan sekali

Mengkhatamkan Al Qur’an sebulan sekali 

Mengkhatamkan Al Qur’an sebulan sekali memang salah satu perintah dari baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun apakah suatu kewajiban satu bulan mesti satu juz? Ataukah boleh kurang dari target khatam setiap bulan?

Bacalah yang Mudah Bagimu

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِى شَهْرٍ » . قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً حَتَّى قَالَ « فَاقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ وَلاَ تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ »

Bacalah (khatamkanlah) Al Quran dalam sebulan.” ‘Abdullah bin ‘Amr lalu berkata, “Aku mampu menambah lebih dari itu.” Beliau pun bersabda, “Bacalah (khatamkanlah) Al Qur’an dalam tujuh hari, jangan lebih daripada itu.” (HR. Bukhari No. 5054).

Bukhari membawakan judul Bab untuk hadits ini,

باب فِى كَمْ يُقْرَأُ الْقُرْآنُ .وَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) .

“Bab Berapa Banyak Membaca Al Qur’an?”. Lalu beliau membawakan firman Allah,

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” (QS. Al Muzammil: 20).

Kata Ibnu Hajar bahwa yang dimaksud oleh Imam Bukhari dengan membawakan surat Al Muzammil ayat 20 di atas berarti bukan menunjukkan batasan bahwa satu bulan harus satu juz. Dalam riwayat Abu Daud dari jalur lain dari ‘Abdullah bin ‘Amr ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Berapa hari mesti mengkhatamkan Al Qur’an?” Beliau katakan 40 hari [artinya, satu hari bisa jadi kurang dari satu juz]. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab lagi, “Satu bulan.” [Artinya, satu hari bisa rata-rata mengkhatamkan satu juz] (Lihat Fathul Bari, 9: 95, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H).

Ibnu Hajar mengatakan,

لِأَنَّ عُمُوم قَوْله : ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) يَشْمَل أَقَلّ مِنْ ذَلِكَ ، فَمَنْ اِدَّعَى التَّحْدِيد فَعَلَيْهِ الْبَيَان

“Karena keumuman firman Allah yang artinya, “ Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran ” mencakup pula jika kurang dari itu (kurang dari satu juz). Barangsiapa yang mengklaim harus dengan batasan tertentu, maka ia harus datangkan dalil (penjelas).” (Fathul Bari, 9: 95)

Ibnu Hajar juga menukil perkataan Imam Nawawi,

وَقَالَ النَّوَوِيّ : أَكْثَر الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا تَقْدِير فِي ذَلِكَ ، وَإِنَّمَا هُوَ بِحَسَبِ النَّشَاط وَالْقُوَّة ، فَعَلَى هَذَا يَخْتَلِف بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَال وَالْأَشْخَاص

“Imam Nawawi berkata, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan hari dalam mengkhatamkan Al Qur’an, semuanya tergantung pada semangat dan kekuatan. Dan ini berbeda-beda satu orang dan lainnya dilihat dari kondisi dan person.” (Fathul Bari, 9: 97).

Bacalah Walau Lima Ayat

Abu Sa’id Al Khudri ketika ditanya firman Allah,

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ

Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran ” (QS. Al Muzammil: 20). Jawab beliau, “Iya betul. Bacalah walau hanya lima ayat.” Disebutkan dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 414, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Dalam riwayat Ath Thabari disebutkan dengan sanad yang shahih, dijawab oleh Abu Sa’id, “Walau hanya lima puluh ayat.” (Diriwayatkan oleh Ath Tahabari, 29: 170, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1423 H).

Dari As Sudi, ditanya mengenai ayat di atas, maka beliau jawab, “Walau 100 ayat.” (Idem).

Tadabbur itu Lebih Utama

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

وَالِاخْتِيَار أَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِف بِالْأَشْخَاصِ ، فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْل الْفَهْم وَتَدْقِيق الْفِكْر اُسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يَقْتَصِر عَلَى الْقَدْر الَّذِي لَا يَخْتَلّ بِهِ الْمَقْصُود مِنْ التَّدَبُّر وَاسْتِخْرَاج الْمَعَانِي ، وَكَذَا مَنْ كَانَ لَهُ شُغْل بِالْعِلْمِ أَوْ غَيْره مِنْ مُهِمَّات الدِّين وَمَصَالِح الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّة يُسْتَحَبّ لَهُ أَنْ يَقْتَصِر مِنْهُ عَلَى الْقَدْر الَّذِي لَا يُخِلّ بِمَا هُوَ فِيهِ ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَالْأَوْلَى لَهُ الِاسْتِكْثَار مَا أَمْكَنَهُ مِنْ غَيْر خُرُوج إِلَى الْمَلَل وَلَا يَقْرَؤُهُ هَذْرَمَة . وَاللَّهُ أَعْلَم

“Waktu mengkhatamkan tergantung pada kondisi tiap person. Jika seseorang adalah yang paham dan punya pemikiran mendalam, maka dianjurkan padanya untuk membatasi pada kadar yang tidak membuat ia luput dari tadabbur dan menyimpulkan makna-makna dari Al Qur’an. Adapun seseorang yang punya kesibukan dengan ilmu atau urusan agama lainnya dan mengurus maslahat kaum muslimin, dianjurkan baginya untuk membaca sesuai kemampuannya dengan tetap melakukan tadabbur (perenungan). Jika tidak bisa melakukan perenungan seperti itu, maka perbanyaklah membaca sesuai kemampuan tanpa keluar dari aturan dan tanpa tergesa-gesa. Wallahu a’lam. ” (Dinukil dari Fathul Bari, 9: 97).

Kata Syaikh Kholid bin ‘Abdillah Al Mushlih, “Aku mewasiatkan pada saudara/i-ku untuk bersungguh-sungguh menggabungkan antara memperbanyak baca Al Qur’an ditambah dengan tadabbur supaya benar-benar bisa meraih berbagai kebaikan.”

Giat Menuntut Ilmu Syar'i

Giat Menuntut Ilmu Syar'i 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Hendaklah semua wanita mengetahui bahwa dia tidak akan bisa mencapai keshalihan (tidak mungkin menjadi wanita shalihah) kecuali dengan ilmu. Dan yang saya maksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i” (Dauratul Mar’ah, hal 7).

Sungguh nasehat berharga agar wanita bersemangat menuntut ilmu syar’i, ilmu agama yang menuntun arah hidupnya menuju keselamatan akhirat. Semakin tekun dan ikhlas belajar agama maka semakin kuat iman dan bagus amalnya. Kualitas ilmu agama yang dipelajarinya terlihat dalam akhlak mulianya. Jadi barometer keshalihan terletak pada faktor agamanya yang membimbingnya untuk selalu dalam ketaatan pada Allah azza wa jalla. Jadi poin utama kesalihan adalah keistiqamahan dalam mencari ilmu agama yang shahih dan berupaya mengamalkannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, shahih).

Ketika wanita terus belajar ilmu syar’i maka terlihat dari pola pikir, sikap tingkah laku dan amalnya selaras dengan syari’at Islam. Hidupnya dilandasi ketakwaan dan ketika menikah maka ia akan bisa bermuamalah dengan pasangannya atas dasar ilmu, menjaga kewajibannya sebagai istri dan ibu serta selalu dalam koridor takwa.

Dan wanita yang intens dan antusias mengejar ilmu syar’i maka dia akan dicintai Allah azza wa jalla, dikasihi suami dan mampu menjadi teladan dalam kebaikan. Dengan bekal ilmu agama yang shahih niscaya hidupnya selalu barakah, rumah tangga stabil, jauh dari berbagai penyimpangan pemahaman dan mampu menjadikan “rumahku surgaku”.

Kebahagiaan hidup bukanlah imajinasi, namun sebuah realita yang indah. Jadi kadar keilmuaan seorang muslimah seharusnya berbanding lurus denga amal shalih yang dilakukannya. Dengan bekal ilmu agama niscaya Allah azza wa jalla memudahkan langkahnya untuk menggapai predikat wanita shalihah. Wanita sholihah bersemangatlah menuntut ilmu ketika dimudahkan menuju majlis ilmu maka lakukanlah dengan ikhlas untuk menghilangkan kebodohan. Tatkala kondisi belum memungkinkan bisa dengan mendengarkan kajian online, membaca buku-buku agama yang shahih, keterbatasan waktu, langkah dan kesibukan mengurus rumah tangga tak menggoyahkan niatnya untuk terus belajar dan berbenah dakam meningkatkan kualitas ilmiahnya dengan bekajar ilmu agama.

Banyak teladan menakjubkan seorang wanita hebat yang mampu menjadi inspirasi muslimah untuk tegar diatas jalan ilmu, seperti Aisyah radhiallahu’aha istri Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Az Zuhri berkata: “Seandainya ilmu Aisyah dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu Aisyah lebih utama“ (Al Mustadarak Al Hakim pada bab Ma’rifatul Shahabah, IV/11). Demikian pula Asy Syifa’ binti Al-Harist, beliau seorang yang mumpuni dalam ilmu agamanya, gurunya Hafshah binti Umar bin Khatab radhiallahu’anha, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam memuji Asy Syifa’ dengan ilmunya yakni meruqyah, pengobatan dan tekun menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ia masuk Islam sebelum hijrah dan ia termasuk wanita yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah meminta kepada Asy Syifa’ untuk mengajarkan kepada Hafshah radhiallahu’anha tentang menulis dan sebagian ruqyah (pengobatan dengan doa-doa). Asy Syifa’ berkata: “Suatu ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam masuk sedangkan saya berada disamping Hafshah, beliau bersabda :

أَلَا تُعَلِّمِيْنَ هَذِهِ رُقْيَةَ النَّمْلَةِ كَماَ عَلَّمْتِيْهَا الْكِتَا بَةَ

Mengapa tidak engkau ajarkan kepadanya ruqyah sebagaimana engkau ajarkan kepadanya menulis”. (HR. Abu Daud nomor 3887, sanadnya hasan).

Demikianlah sekilas potret sahabiyah yang begitu giat belajar ilmu syar’i dan juga bersemangat mengajarkannya kepada kaum muslimah di masanya. Dan ketika ilmu syar’i itu telah digenggam di hatinya maka akan berbuah amal shalih. Sebaliknya ketika wanita tidak gemar mempelajari ilmu syar’i maka kehidupannya akan penuh masalah dan jauh dari petunjuk Allah azza wa jalla. Berkata Syaikh Mahmud Al Basyir Al Ibrahimiy rahimahullah: “Apabila seorang wanita tidak mengetahui ilmu-ilmu agama, niscaya ia akan menyusahkan suami, merusak anak anak dan membinasakan umat” (Atsar Al- Ibrahimiy, 4/ 49).

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi :
1). Mereka Adalah Para Shahabiyat ( Terjemah), Mahmud Mahdi Al Istanbuli, Musthafa Abu Nashir Asy Syalabi, Abdurrahman Rafat Basyar, At Tibyan, Solo, 2013
2). One Heart, Rumah Tangga Satu Hati Satu Langkah, Zaenal Abidin bin Syamsudin, Pustka Imam Bonjol, Jakarta 2013

Yakin Dikabulkan

Yakin Dikabulkan 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


«ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ»


“Berdoalah dengan yakin bahwa Allah mengabulkan doamu, dan ketahuilah bahwasanya Allah tdk akan mengabulkan doa dari hati yang lalai” (HR At-Thirmidzi)


Jika doa iblis saja dikabulkan, Allah berfirman :


قَالَ أَنظِرْنِي إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ


Iblis menjawab: “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”.


قَالَ إِنَّكَ مِنَ الْمُنظَرِينَ


Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh”. (QS Al-A’raaf :14-15)
Jika orang musyrik terkadang doanya dikabulkan…, Allah berfirman

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ


Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) (QS Al-Ankabuut : 25)
Lantas bagaimana tdk dikabulkan seorang mukmin yang berdoa di sepertiga malam terakhir, seraya mengadahkan kedua tangannya, disertai aliran air mata???