Berilmu Tapi Tidak Perhatian Terhadap Amal

Berilmu Tapi Tidak Perhatian Terhadap Amal 

Fenomena yang tampak, seringkali ada orang yang rajin menuntut ilmu, tapi enggan untuk mengamalkannya. Sejatinya yang demikian bukanlah dianggap berilmu, karena seharusnya buah akhir dari benarnya ilmu seseorang adalah dengan mengamalkannya. Menuntut ilmu merupakan amalan yang agung dan mulia, karena ilmu merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan agung penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepad Allah semata.

Tujuan Mempelajari Ilmu

Mempelajari ilmu sejatinya bukanlah hanya untuk menguasai ilmu itu sendiri, namun ilmu dipelajari untuk diaplikasikan dalam pengamalan. Seluruh ilmu syar’i yang ada, syariat memerintahkan untuk mempelajarinya sebagai wasilah untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk tujuan yang lainnya. Hal ini bisa ditunjukkan dari beberapa sisi berikut :

Tujuan Adanya Syariat

Tujuan adanya syariat adalah agar manusia beribadah kepada Allah, dan tidak mungkin seseorang bisa mengamalkan syariat tanpa mengilmuinya. Inilah tujuan pengutusan seluruh para nabi. Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ

“ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu. “ (Al Baqarah : 21)

الَر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ اللّهَ إِنَّنِي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ

“ Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu daripada-Nya. “ (Huud:1-2)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“ Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan yang benar melainkan Aku, maka sembahlah Aku. “ (Al Anbiya’: 25)

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“ Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab Al Qur’an dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. .Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih dari syirik. (Az Zumar : 2-3)

Beberapa ayat di atas dan banyak ayat lainnya menunjukkan bahwa maksud dari ilmu adalah agar digunakan untuk beribadah kepada Allah saja dan tidak menyembah selain-Nya serta agar melakukan berbagai ketaatan kepada-Nya.

Ruh Dari Ilmu Adalah Amal

Adanya banyak dalil yang menunjukkan bahwa ruh dari ilmu adalah amal. Tanpa amal, ilmu tidak akan bermanfaat. Allah berfirman :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. “ (Fathir : 28)

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاء اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ

Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.“ (Az-Zumar :9)

Dalil di atas menunjukkan bahwa ilmu adalah wasilah, bukan merupakan tujuan itu sendiri. Ilmu adalah wasilah untuk beramal. Setiap hal yang menujukkan keutamaan ilmu maksudnya adalah ilmu yang digunakan untuk beramal. Dan sudah dimaklumi, bahwasanya ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah. Oleh karena itu belum akan merasakan keutamaan pemilik ilmu tersebut sampai dia membenarkan konsekuensi dari ilmu tersebut yaitu beriman kepada Allah.

Ancaman Bagi yang Tidak Mengamalkan Ilmu

Terdapat dalil yang menunjukkan ancaman bagi orang yang tidak mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Orang yang berilmu akan ditanya tentang ilmunya, apa yang telah dia amalkan dari ilmunya tersebut. Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmunya maka ilmunya sia-sia dan akan menjadi penyesalan baginya. Allah berfirman :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“ Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan kewajiban dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? “ (Al Baqarah : 44)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“ Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. “ (Ash Shaf 2-3)

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“ Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.“ (Huud : 88)

Semoga bermanfaat. Menjadi renungan bersama bagi kita, bahwa tujuan kita mempelajari ilmu tidak lain adalah untuk diamalkan. Kita berharap terhindar dari sifat orang yang berilmu tapi tidak perhatian terhadap amal. Semoga Allah menambah kepada kita ilmu yang bermanfaat dan mengkaruniakan kepada kita istiqomah dalam mengamalkannya.

Membela Diri Dari Tukang Begal Hingga Syahid

Membela Diri Dari Tukang Begal Hingga Syahid 

Ternyata orang yang membela diri dari tukang bekal atau perampok, lantas ia mati, maka ia bisa dicatat syahid. Adapun jika ia membela diri dan ia berhasil membunuh tukang begal tersebut, tukang begal itulah yang masuk neraka. Karena orang yang masih hidup itu cuma membela diri, sedangkan yang mati punya niatan untuk membunuh.

Di antaranya ada tiga hadits tentang masalah ini yang membahas bolehnya membela diri ketika berhadapan dengan tukang rampas, tukang rampok atau tukang begal yang ingin merampas harta kita.

Hadits Pertama

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِى قَالَ « فَلاَ تُعْطِهِ مَالَكَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِى قَالَ « قَاتِلْهُ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِى قَالَ « فَأَنْتَ شَهِيدٌ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلْتُهُ قَالَ « هُوَ فِى النَّارِ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?

Beliau bersabda, “Jangan kau beri padanya.”

Ia bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika ia ingin membunuhku?”

Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.”

“Bagaimana jika ia malah membunuhku?”, ia balik bertanya.

“Engkau dicatat syahid”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Bagaimana jika aku yang membunuhnya?”, ia bertanya kembali.

“Ia yang di neraka”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 140).

Hadits Kedua

عَنْ قَابُوسَ بْنِ مُخَارِقٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ وَسَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ يُحَدِّثُ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ يَأْتِينِي فَيُرِيدُ الِي قَالَ ذَكِّرْهُ بِاللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَذَّكَّرْ قَالَ فَاسْتَعِنْ عَلَيْهِ مَنْ حَوْلَكَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَوْلِي أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ فَاسْتَعِنْ عَلَيْهِ بِالسُّلْطَانِ قَالَ فَإِنْ نَأَى السُّلْطَانُ عَنِّي قَالَ قَاتِلْ دُونَ مَالِكَ حَتَّى تَكُونَ مِنْ شُهَدَاءِ الْآخِرَةِ أَوْ تَمْنَعَ مَالَكَ

Dari Qabus bin Mukhariq, dari bapaknya, dari ayahnya, ia berkata bahwa ia mendengar Sufyan Ats Tsauri mengatakan hadits berikut ini,

Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Ada seseorang datang kepadaku dan ingin merampas hartaku.”

Beliau bersabda, “Nasehatilah dia supaya mengingat Allah.”

Orang itu berkata, “Bagaimana kalau ia tak ingat?”

Beliau bersabda, “Mintalah bantuan kepada orang-orang muslim di sekitarmu.”

Orang itu menjawab, “Bagaimana kalau tak ada orang muslim di sekitarku yang bisa menolong?”

Beliau bersabda, “Mintalah bantuan penguasa (aparat berwajib).”

Orang itu berkata, “Kalau aparat berwajib tersebut jauh dariku?”

Beliau bersabda, “Bertarunglah demi hartamu sampai kau tercatat syahid di akhirat atau berhasil mempertahankan hartamu.” (HR. An Nasa’i no. 4086 dan Ahmad 5: 294. Hadits ini shahih menurut Al Hafizh Abu Thohir)

Hadits Ketiga

عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : « مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ أَوْ دُونَ دَمِهِ أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ »

Dari Sa’id bin Zaid, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Siapa yang dibunuh karena membela hartanya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela darahnya atau karena membela agamanya, ia syahid.” (HR. Abu Daud no. 4772 dan An Nasa’i no. 4099. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Maksud Syahid dan Macamnya

Di antara maksud syahid sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Ambari,

لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى وَمَلَائِكَته عَلَيْهِمْ السَّلَام يَشْهَدُونَ لَهُ بِالْجَنَّةِ . فَمَعْنَى شَهِيد مَشْهُود لَهُ

“Karena Allah Ta’ala dan malaikatnya ‘alaihimus salam menyaksikan orang tersebut dengan surga. Makna syahid di sini adalah disaksikan untuknya.” (Syarh Shahih Muslim, 2: 142).

Imam Nawawi menjelaskan bahwa syahid itu ada tiga macam:

  1. Syahid yang mati ketika berperang melawan kafir harbi (yang berhak untuk diperangi). Orang ini dihukumi syahid di dunia dan mendapat pahala di akhirat. Syahid seperti ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.
  2. Syahid dalam hal pahala namun tidak disikapi dengan hukum syahid di dunia. Contoh syahid jenis ini adalah mati karena melahirkan, mati karena wabah penyakit, mati karena reruntuhan, dan mati karena membela hartanya dari rampasan, begitu pula penyebutan syahid lainnya yang disebutkan dalam hadits shahih. Mereka tetap dimandikan, dishalatkan, namun di akhirat mendapatkan pahala syahid. Namun pahalanya tidak harus seperti syahid jenis pertama.
  3. Orang yang khianat dalam harta ghanimah (harta rampasan perang), dalam dalil pun menafikan syahid pada dirinya ketika berperang melawan orang kafir. Namun hukumnya di dunia tetap dihukumi sebagai syahid, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan di akhirat, ia tidak mendapatkan pahala syahid yang sempurna. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim, 2: 142-143).

Kesimpulan

Boleh membela diri ketika berhadapan dengan tukang begal atau tukang rampok saat tidak ada di sekitar kita yang menolong dan tidak ada aparat juga yang bisa menyelamatkan. Membela diri dari tukang begal atau tukang rampok saat itu hingga mati dicatat sebagai syahid di akhirat. Sedangkan untuk hukum di dunia, ia tetap dimandikan dan dishalatkan.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Ingin Ku Sempurnakan Separuh Agamaku

Ingin Ku Sempurnakan Separuh Agamaku 

Di zaman ini tidak ragu lagi penuh godaan di sana-sini. Di saat wanita-wanita sudah tidak lagi memiliki rasa malu. Di saat kaum hawa banyak yang tidak lagi berpakaian sopan dan syar’i. Di saat perempuan lebih senang menampakkan betisnya daripada mengenakan jilbab yang menutupi aurat. Tentu saja pria semakin tergoda dan punya niatan jahat, apalagi yang masih membujang. Mau membentengi diri dari syahwat dengan puasa amat sulit karena ombak fitnah pun masih menjulang tinggi. Solusi yang tepat di kala mampu secara fisik dan finansial adalah dengan menikah.

Menyempurnakan Separuh Agama

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,  ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

Lihat bahwa di antara keutamaan menikah adalah untuk menyempurnakan separuh agama dan kita tinggal menjaga diri dari separuhnya lagi. Kenapa bisa dikatakan demikian? Para ulama jelaskan bahwa yang umumnya merusak agama seseorang adalah kemaluan dan perutnya. Kemaluan yang mengantarkan pada zina, sedangkan perut bersifat serakah. Nikah berarti membentengi diri dari salah satunya, yaitu zina dengan kemaluan. Itu berarti dengan menikah separuh agama seorang pemuda telah terjaga, dan sisanya, ia tinggal menjaga lisannya.

Al Mula ‘Ali Al Qori rahimahullah dalam Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih berkata bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “bertakwalah pada separuh yang lainnya”, maksudnya adalah bertakwalah pada sisa dari perkara agamanya. Di sini dijadikan menikah sebagai separuhnya, ini menunjukkan dorongan yang sangat untuk menikah.

Al Ghozali rahimahullah (sebagaimana dinukil dalam kitab Mirqotul Mafatih) berkata, “Umumnya yang merusak agama seseorang ada dua hal yaitu kemaluan dan perutnya. Menikah berarti telah menjaga diri dari salah satunya. Dengan nikah berarti seseorang membentengi diri dari godaan syaithon, membentengi diri dari syahwat (yang menggejolak) dan lebih menundukkan pandangan.”

Kenapa Masih Ragu untuk Menikah?

Sebagian pemuda sudah diberikan oleh Allah keluasan rizki. Ada yang kami temui sudah memiliki usaha yang besar dengan penghasilan yang berkecukupan. Ia bisa mengais rizki dengan mengolah beberapa toko online. Ada pula yang sudah bekerja di perusahaan minyak yang penghasilannya tentu saja lebih dari cukup. Tetapi sampai saat ini mereka  belum juga menuju pelaminan. Ada yang beralasan belum siap. Ada lagi yang beralasan masih terlalu muda. Ada yang katakan  pula ingin pacaran dulu. Atau yang lainnya ingin sukses dulu dalam bisnis atau dalam berkarir dan dikatakan itu lebih urgent. Dan berbagai alasan lainnya yang diutarakan. Padahal dari segi finansial, mereka sudah siap dan tidak perlu ragu lagi akan kemampuan mereka. Supaya memotivasi orang-orang semacam itu, di bawah ini kami utarakan manfaat nikah yang lainnya.

(1) Menikah akan membuat seseorang lebih merasakan ketenangan.

Coba renungkan ayat berikut, Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Ruum:21).

Lihatlah ayat ini menyebutkan bahwa menikah akan lebih tentram karena adanya pendamping. Al Mawardi dalam An Nukat wal ‘Uyun berkata mengenai ayat tersebut, “Mereka akan begitu tenang ketika berada di samping pendamping mereka karena Allah memberikan pada nikah tersebut ketentraman yang tidak didapati pada yang lainnya.” Sungguh faedah yang menenangkan jiwa setiap pemuda.

(2) Jangan khawatir, Allah yang akan mencukupkan rizki

Dari segi finansial sebenarnya sudah cukup, namun selalu timbul was-was jika ingin menikah. Was-was yang muncul, “Apa bisa rizki saya mencukupi kebutuhan anak istri?” Jika seperti itu, maka renungkanlah ayat berikut ini,

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Nikah adalah suatu ketaatan. Dan tidak mungkin Allah membiarkan hamba-Nya sengsara ketika mereka ingin berbuat kebaikan semisal menikah.

Di antara tafsiran Surat An Nur ayat 32 di atas adalah: jika kalian itu miskin maka Allah yang akan mencukupi rizki kalian. Boleh jadi Allah mencukupinya dengan memberi sifat qona’ah (selalu merasa cukup) dan boleh jadi pula Allah mengumpulkan dua rizki sekaligus (Lihat An Nukat wal ‘Uyun). Jika miskin saja, Allah akan cukupi rizkinya. Bagaimana lagi jika yang bujang sudah berkecukupan dan kaya?

Dari ayat di atas, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

التمسوا الغنى في النكاح

Carilah kaya (hidup berkecukupan) dengan menikah.”  (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim mengenai tafsir ayat di atas).

Disebutkan pula dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya,

وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ

“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An Nasai no. 3218, At Tirmidzi no. 1655. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Jika Allah telah menjanjikan demikian, itu berarti pasti. Maka mengapa mesti ragu?

(3) Orang yang menikah berarti menjalankan sunnah para Rasul

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar Ra’du: 38). Ini menunjukkan bahwa para rasul itu menikah dan memiliki keturunan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ الْحَيَاءُ وَالتَّعَطُّرُ وَالسِّوَاكُ وَالنِّكَاحُ

Empat perkara yang termasuk sunnah para rasul, yaitu sifat malu, memakai wewangian, bersiwak dan menikah.” (HR. Tirmidzi no. 1080 dan Ahmad 5/421. Hadits ini dho’if sebagaimana kata Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Namun makna hadits ini sudah didukung oleh ayat Al Qur’an yang disebutkan sebelumnya)

(4) Menikah lebih akan menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemudabarangsiapa yang memiliki baa-ah[1], maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).

Imam Nawawi berkata makna baa-ah dalam hadits di atas terdapat dua pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna, yaitu sudah memiliki kemampuan finansial untuk menikah. Jadi bukan hanya mampu berjima’ (bersetubuh), tapi hendaklah punya kemampuan finansial, lalu menikah. Para ulama berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu berjima’ karena ketidakmampuannya untuk memberi nafkah finansial, maka hendaklah ia berpuasa untuk mengekang syahwatnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim)

Itulah keutamaan menikah. Semoga membuat mereka-mereka tadi semakin terdorong untuk menikah. Berbeda halnya jika memang mereka ingin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang belum menikah sampai beliau meninggal dunia. Beliau adalah orang yang ingin memberi banyak manfaat untuk umat dan itu terbukti. Itulah yang membuatnya mengurungkan niat untuk menikah demi maksud tersebut. Sedangkan mereka-mereka tadi di atas, bukan malah menambah manfaat, bahkan diri mereka sendiri binasa karena godaan wanita yang semakin mencekam di masa ini.

Menempuh Jalan yang Benar

Kami menganjurkan untuk segera menikah di sini bagi yang sudah berkemampuan, bukan berarti ditempuh dengan jalan yang keliru. Sebagian orang menyangka bahwa menikah harus lewat pacaran dahulu supaya lebih mengenal pasangannya. Itu pendapat keliru karena tidak pernah diajarkan oleh Islam. Pacaran tentu saja akan menempuh jalan yang haram seperti mesti bersentuhan, berjumpa dan saling pandang, ujung-ujungnya pun bisa zina terjadilah MBA (married be accident). Semua perbuatan tadi yang merupakan perantara pada zina diharamkan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32)

Kemudian nasehat kami pula bagi mahasiswa yang masih kuliah (masih sekolah) bahwa bersabarlah untuk menikah. Sebagian mahasiswa yang belum rampung kuliahnya biasanya sering “ngambek” pada ortunya untuk segera nikah, katanya sudah tidak kuat menahan syahwat. Padahal kerja saja ia belum punya dan masih mengemis pada ortunya. Bagaimana bisa ia hidupi istrinya nanti? Kami nasehatkan, bahagiakan ortumu dahulu sebelum berniat menikah. Artinya lulus kuliah dahulu agar ortumu senang dan bahagia karena itulah yang mereka inginkan darimu dan tugasmu adalah berbakti pada mereka. Setelah itu carilah kerja, kemudian utarakan niat untuk menikah. Semoga Allah mudahkan untuk mencapai maksud tersebut. Oleh karenanya, jika memang belum mampu menikah, maka perbanyaklah puasa sunnah dan rajin-rajinlah menyibukkan diri dengan kuliah, belajar ilmu agama, dan kesibukan yang manfaat lainnya. Semoga itu semakin membuatmu melupakan nikah untuk sementara waktu.

Adapun yang sudah mampu untuk menikah secara fisik dan finansial, janganlah menunda-nunda! Jangan Saudara akan menyesal nantinya karena yang sudah menikah biasa katakan bahwa menikah itu enaknya cuma 1%, yang sisanya (99%) “enak banget”. Percaya deh!

Semoga sajian ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 26 Jumadal Ula 1432 H (29/04/2011)


[1] Baa-ah ada tiga penyebutan lainnya: [1] al baah (الْبَاءَة), [2] al baa’ (الْبَاء), dan [3] al baahah (الْبَاهَة). Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 5/70, Mawqi’ Al Islam.

Adab Makan Penuh Barokah

Adab Makan Penuh Barokah 

Berikut adalah lanjutan adab-adab makan pada seri sebelumnya.

Keenam: Tidak menjelek-jelekkan makanan yang tidak disukai

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

مَا عَابَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – طَعَامًا قَطُّ ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

“Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela suatu makanan sekali pun dan seandainya beliau menyukainya maka beliau memakannya dan bila tidak menyukainya beliau meninggalkannya (tidak memakannya).”[1] Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Inilah adab yang baik kepada Allah Ta’ala. Karena jika seseorang telah menjelek-jelekkan makanan yang ia tidak sukai, maka seolah-olah dengan ucapan jeleknya itu, ia telah menolak rizki Allah.”[2]

Ketujuh: Makan secara bersama-sama dan tidak makan sendirian

Dari Wahsyi bin Harb dari ayahnya dari kakeknya bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ. قَالَ « فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ ». قَالُوا نَعَمْ. قَالَ « فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ إِذَا كُنْتَ فِى وَلِيمَةٍ فَوُضِعَ الْعَشَاءُ فَلاَ تَأْكُلْ حَتَّى يَأْذَنَ لَكَ صَاحِبُ الدَّارِ.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang?” Beliau bersabda, “Kemungkinan kalian makan sendiri-sendiri.” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya.”[3] Ibnu Baththol berkata, “Makan secara bersama-sama adalah salah satu sebab datangnya barokah ketika makan.”[4]

Kedelapan: Tidak membiarkan suapan makanan yang terjatuh

Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila suapan makanan salah seorang di antara kalian jatuh, ambilah kembali lalu buang bagian yang kotor dan makanlah bagian yang bersih. Jangan dibiarkan suapan tersebut dimakan setan.”[5]

Kesembilan: Menjilat tangan sebelum mencuci atau mengusapnya

Lanjutan dari hadits Jabir sebelumnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فِى أَىِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ

“Janganlah dia sapu tangannya dengan serbet sebelum dia jilati jarinya. Karena dia tidak tahu makanan mana yang membawa berkah.”[6]

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Menjilat jari (seusai makan) adalah sesuatu yang disyari’atkan (dianjurkan). Alasannya sebagaimana yang disebutkan di akhir hadits, yaitu karena orang yang makan tidak mengetahui di manakah barokah yang ada pada makanannya. Makanan yang disajikan pada orang yang makan benar-benar ada barokahnya. Namun tidak diketahui apakah barokahnya ada pada makanan yang dimakan, atau pada makanan yang tersisa pada jari atau pada mangkoknya, atau pada suapan yang terjatuh. Oleh karena itu, sudah sepatutnya seseorang memperhatikan ajaran ini agar ketika makan pun bisa meraih barokah. Pengertian barokah pada asalnya adalah bertambahnya dan tetapnya kebaikan serta mendapatkan kesenangan dengannya.”[7]

An Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa dibolehkan mengusap tangan dengan serbet, namun yang sesuai sunnah (ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam) dilakukan setelah menjilat jari.[8]

Kesepuluh: Memuji Allah dan berdo’a seusai makan

Di antara do’a yang shahih yang dapat diamalkan dan memiliki keutamaan luar biasa adalah do’a yang diajarkan dalam hadits berikut. Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ. غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu.”[9]

Namun jika mencukupkan dengan ucapan “alhamdulillah” setelah makan juga dibolehkan berdasarkan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum”[10] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang mencukupkan dengan bacaan “alhamdulillah” saja, maka itu sudah dikatakan menjalankan sunnah.”[11]

Kesebelas: Mendo’akan orang yang menyajikan makanan

Do’a yang bisa dibaca:

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِى

“Allahumma ath’im man ath’amanii wa asqi man asqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku][12]

Keduabelas: Mencuci tangan untuk membersihkan sisa-sisa makanan

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا بَاتَ أَحَدُكُمْ وَفِى يَدِهِ غَمَرٌ فَأَصَابَهُ شَىْءٌ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

“Jika salah seorang dari kalian tidur dan di tangannya terdapat minyak samin (sisa makanan) kemudian mengenainya, maka janganlah mencela kecuali kepada dirinya sendiri.”[13]

Moga dengan adab-adab yang kami sajikan ini, rutinitas makan kita bukan hanya ingin menguatkan badan saja, namun bisa bernilai ibadah dan mendapatkan barokah, yaitu kebaikan yang melimpah dari sisi Allah. Wallahu waliyyut taufiq.

Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

-Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat-

Panggang-GK, 29th Shafar 1432 H (2/2/2011)

[1] HR. Bukhari no. 5409.

[2] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 18/93

[3] HR. Abu Daud no. 3764. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[4] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 18/121

[5] HR. Muslim no. 2033

[6] HR. Muslim no. 2033

[7] Nailul Author, Muhammmad bin ‘Ali binn Muhammad Asy Syaukani, Idarotu Thoba’ah Al Maniriyah, 9/34

[8] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392, 13/204-205

[9] HR. Tirmidzi no. 3458. Tirmidzi berkata, hadits ini adalah hadits hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan

[10] HR. Muslim no. 2734

[11] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/51.

[12] HR. Muslim no. 2055.

[13] HR. Ahmad 2/344. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.