Peristiwa Di Padang Mahsyar

Peristiwa Di Padang Mahsyar 

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari kiamat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً

“Manusia akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 5102 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).

Demikianlah keadaan manusia tatkala bertemu dengan Allah Ta’ala di Padang Mahsyar dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan. Meskipun demikian, akhirnya mereka diberi pakaian juga. Dan manusia yang pertama kali diberi pakaian adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَنْ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيْمُ

“Sesungguhnya orang pertama yang diberi pakaian pada hari Kiamat adalah Nabi Ibrahim.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4371).

Adapun pakaian yang dikenakannya ketika itu adalah pakaian yang dikenakan ketika mati. Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمَيِّتُ يُبْعَثُ فِيْ ثِيَابِهِ الَّتِيْ يَمُوْتُ فِيْهَا

“Mayit akan dibangkitkan dengan pakaian yang dikenakannya ketika mati.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shohiih at-Targhib wat-Tarhib, no. 3575)

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, tatkala hendak menguburkan jenazah ibunya, beliau meminta agar jenazah ibunya dikafani dengan pakaian yang baru. Beliau mengatakan, “Perbaguskanlah kafan jenazah kalian, karena sesungguhnya mereka akan dibangkitkan dengan (memakai) pakaian itu.” (Fat-hul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, 11/383).

Bagaimana Manusia Digiring Ke Padang Mahsyar?

Manusia digiring ke Padang Mahsyar dengan berbagai kondisi yang berbeda sesuai dengan amalnya. Ada yang digiring dengan berjalan kaki, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّكُمْ مُلاَقُو اللهِ حُفَاةً عُرَاةً مُشَاةً غُرْلاً

“Sesungguhnya kalian akan menjumpai Allah dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, berjalan kaki, dan belum dikhitan.” (Hadits shahih. Diriwayat-kan oleh al-Bukhari, no. 6043)

Ada juga yang berkendaraan. Namun tidak sedikit yang diseret di atas wajah-wajah mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ تُحْشَرُوْنَ رِجَالاً وَرُكْبَانًا وَتُجَرُّوْنَ عَلَى وُجُوْهِكُمْ

“Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan (ke Padang Mahsyar) dalam keadaan berjalan, dan (ada juga yang) berkendaraan, serta (ada juga yang) diseret di atas wajah-wajah kalian.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan beliau mengatakan, “Hadits hasan.” Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahiih at-Targhib wat-Tarhib, no. 3582).

Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa ada seseorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ يُحْشَرُ الْكَافِرُ عَلَى وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ الَّذِي أَمْشَاهُ عَلَى رِجْلَيْهِ فِي الدُّنْيَا قَادِرًا عَلَى أَنْ يُمْشِيَهُ عَلَى وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟!

“Wahai Rasulullah, bagaimana bisa orang kafir digiring di atas wajah mereka pada hari Kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bukankah Rabb yang membuat seseorang berjalan di atas kedua kakinya di dunia, mampu untuk membuatnya berjalan di atas wajahnya pada hari Kiamat?!” Qatadah mengatakan, “Benar, demi kemuliaan Rabb kami.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6042 dan Muslim, no. 5020).

Ketika Matahari Didekatkan Dengan Jarak Satu Mil

Kaum muslimin yang kami muliakan, ketika manusia dikumpulkan di padang Mahsyar, matahari didekatkan sejauh satu mil dari mereka, sehingga manusia berkeringat, hingga keringat tersebut menenggelamkan mereka sesuai dengan amalan masing-masing ketika di dunia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ، قَالَ سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ : فَوَاللهِ، مَا أَدْرِي مَا يَعْنِي بِالْمِيْلِ أَمَسَافَةَ اْلأَرْضِ أَمْ الْمِيْلَ الَّذِي تُكْتَحَلُ بِهِ الْعَيْنُ، قَالَ : فَيَكُوْنُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى حَقْوَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا، وَأَشَارَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ إِلَى فِيْهِ

“Pada hari kiamat, matahari didekatkan jaraknya terhadap makhluk hingga tinggal sejauh satu mil.” –Sulaim bin Amir (perawi hadits ini) berkata: “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan mil. Apakah ukuran jarak perjalanan, atau alat yang dipakai untuk bercelak mata?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sehingga manusia tersiksa dalam keringatnya sesuai dengan kadar amal-amalnya (yakni dosa-dosanya). Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Ada yang sampai kedua lututnya, dan ada yang sampai pinggangnya, serta ada yang tenggelam dalam keringatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan meletakkan tangan ke mulut beliau.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2864)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Jarak satu mil ini, baik satu mil yang biasa atau mil alat celak, semuanya dekat. Apabila sedemikian rupa panasnya matahari di dunia, padahal jarak antara kita dengannya sangat jauh, maka bagaimana jika matahari tersebut berada satu mil di atas kepala kita?!” (Syarah al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, 2/134).

Jika matahari di dunia ini didekatkan ke bumi dengan jarak 1 mil, niscaya bumi akan terbakar. Bagaimana mungkin di akherat kelak matahari didekatkan dengan jarak 1 mil namun makhluk tidak terbakar?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa pada hari Kiamat kelak tatkala manusia dikumpulkan di padang mahsyar, kekuatan mereka tidaklah sama dengan kekuatan mereka ketika hidup di dunia. Akan tetapi mereka lebih kuat dan lebih tahan. Seandainya manusia sekarang ini berdiri selama 50 hari di bawah terik matahari tanpa naungan, tanpa makan, dan tanpa minum, niscaya mereka tidak mungkin mampu melakukannya, bahkan mereka akan binasa. Namun pada hari Kiamat kelak, mereka mampu berdiri selama 50 tahun tanpa makan, tanpa minum, dan tanpa naungan, kecuali beberapa golongan yang dinaungi Allah Ta’ala. Mereka juga mampu menyaksikan kengerian-kengerian yang terjadi. Perhatikanlah keadaan penghuni Neraka yang disiksa (dengan begitu kerasnya), namun mereka tidak binasa karenanya. Allah Ta’ala berfirman:

كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُوْدُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوْدًا غَيْرَهَا لِيَذُوْقُوا الْعَذَابَ (56)

“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab.” (An-Nisa’: 56). (Syarah Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, 2/135)

Golongan Yang Akan Mendapatkan Naungan ‘Arsy Allah Ta’ala

Pada hari yang sangat panas itu, Allah Ta’ala akan memberikan naungan kepada sebagian hamba pilihan-Nya. Tidak ada naungan pada hari itu kecuali naungan-Nya semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata.

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: اْلإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata.
1. 
Imam (pemimpin) yang adil.

2. Pemuda yang tumbuh besar dalam beribadah kepada Rabbnya.

3. Seseorang yang hatinya senantiasa terpaut pada masjid.

4.  Dua orang yang saling mencintai karena Allah, dimana keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah.

5. Dan seorang laki-laki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang berkedudukan lagi cantik rupawan, lalu ia mengatakan: “Sungguh aku takut kepada Allah.”

6. Seseorang yang bershodaqoh lalu merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya.

7.   Dan orang yang berdzikir kepada Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air matanya.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, II/143 – Fat-h, dan Muslim, no. 1031).

Golongan lain yang mendapatkan naungan Allah Ta’ala adalah orang yang memberi kelonggaran kepada orang yang kesulitan membayar hutang kepadanya atau memutihkan hutang darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللهُ فِي ظِلِّهِ

“Barangsiapa yang memberi kelonggaran kepada orang yang sedang kesulitan membayar hutang atau memutihkan hutang orang tersebut, niscaya Allah akan menaunginya dalam naungan Arsy-Nya (pada hari Kiamat).” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 3006)

Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah taufiq dan pertolongan-Nya kepada kita untuk menjadi bagian dari golongan yang mulia ini. Amin.

Pulanglah Nak, Berbakti Pada Ibumu

Pulanglah Nak, Berbakti Pada Ibumu 

Semua orang tua pasti ingin dekat dengan anak-anaknya, terutama di masa tua dan masa sepuh mereka. Setiap orang tua, terutama ibu pasti sangat ingin berada bersama anak-anak yang sangat ia cintai. Tidak jarang sang ibu meminta anaknya agar tidak tinggal jauh darinya atau agar tidak tinggal di luar kota, atau sang ibu meminta anaknya agar segera pulang ke kampung masa kecilnya untuk menemani orang tua dan ibunya.

Kasih Sayang Ibu Tidak Lekang Oleh Jarak dan Waktu

Sekiranya sang ibu mengatakan:
“Ibu sih terserah kamu nak, jika di kota A kamu lebih sukses, ibu hanya bisa mendoakan kamu dari kampung masa kecilmu ini”

Ketauhilah, ketika engkau memilih bertahan di kota A, hati ibumu sangat kecewa sekali tetapi ia berusaha menguatkan diri dan tersenyum di depan mu dan tentunya selalu mendoakanmu, buah hati tercinta.

Saudaraku, meskipun kita sukses di kota A atau merasa sangat senang dan nyaman tinggal di kota A, jika engkau ada kesempatan tinggal bersama orang tua khususnya ibumu, maka pulang lah, temani ibumu dan berbaktilah. Mereka lah yang menjadikan engkau suskes dan berhasil dengan izin Allah

Catatan: berbakti pada ibu adalah prioritas utama anak laki-laki, adapun anak perempuan yang sudah menikah, maka ia mengikuti suaminya.

Jangan Sia-Siakan Kesempatan Berbakti Kepada Ibu

Berbaktilah kepada kedua orang tua kita, terutama ibu, karena berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang paling mudah memasukkan seseorang ke surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪُ ﺃَﻭْﺳَﻂُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺄَﺿِﻊْ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﺒَﺎﺏَ ﺃَﻭِ ﺍﺣْﻔَﻈْﻪُ

Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya. (HR. Ahmad, hasan)

Maksud pintu yang paling tengah adalah pintu yang palong mudah dimasuki. Perhatikan jika ada tembok di depan kita, lalu ada pintu di tengah, di samping pinggir kanan dan kiri, tentu secara psikologi kita akan pilih yang tengah karena mudah untuk memasukinya.

Mengapa mudah berbakti pada orang tua, terurama ketika mereka sudah tua? Karena orang yang sudah tua sudak tidak menginginkan “gemerlapnya dunia” lagi.

Ibu Merindukan Kehadiranmu, Nak!

Mereka sudah tidak minta pada anaknya makanan-makanan lezat karena lidah mereka mungkin sudah kaku
Mereka sudah tidak minta pada anaknya jalan-jalan yang jauh karena kaki sudah mulai rapuh
Mereka sudah tidak minta kepada anaknya perhiasan dunia karena mata mulai merabun

Yang mereka inginkan hanyalah engkau menemani mereka, mengajak ngobrol, membawa cucu-cucu mereka untuk bermain dengan mereka. Suatu perkara yang cukup mudah dengan balasan yaitu surga Allah

Saudaraku, karenanya sangat celaka seseorang yang mendapati kedua orang tuanya sudah tua dan sepuh tetapi tidak masuk surga, karena tidak memanfaatkan amalan yang cukup mudah yaitu berbakti kepada mereka kemudian masuk surga.

Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [HR. Muslim 2551]

Baktimu untuk Ibu adalah Kewajiban

Perintah berbakti kepada orang tua terutama ibu

Allah memerintahkan kepada kita dalam Al-Quran agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bagaimana pengorbanan dan perjuangan ibu untuk anaknya. Beliau menafsirkan,

وقال هاهنا {ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن} . قال جاهد: مشقة وهن الولد. وقال قتادة: جهدا على جهد. وقال عطاء الخراساني: ضعفا على ضعف

“Mujahid berkata bahwa yang dimaksud [“وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ”] adalah kesulitan ketika mengandung anak. Qatadah berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dengan penuh usaha keras. ‘Atha’ Al Kharasani berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.”[Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim 6/336,]

Demikian juga firman Allah,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Al-Ahqaaf : 15)

Pengorbanan Ibu Tidak Akan Terbalas

Diriwayatkan Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang yaman itu bersenandung,

إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.

Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.

Orang itu lalu bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”[Adabul Mufrad no. 11, shahih]

Az-Dzahabi rahimahullah menyusun sebuah tulisan yang sangat menyentuh mengenai jasa dan pengorbanan ibu dan motivasi agar kita berbakti pada ibu. Beliau berkata,

حملتك في بطنها تسعة أشهر كأنها تسع حجج و كابدت عند الوضع ما يذيب المهج و أرضعتك من ثديها لبنا و أطارت لأجلك وسنا و غسلت بيمينها عنك الأذى و آثرتك على نفسها بالغذاء و صيرت حجرها لك مهدا و أنالتك إحسانا و رفدا فإن أصابك مرض أو شكاية أظهرت من الأسف فوق النهاية و أطالت الحزن و النحيب و بذلت مالها للطبيب و لو خيرت بين حياتك و موتها لطلبت حياتك بأعلى صوتها هذا و كم عاملتها بسوء الخلق مرارا فدعت لك بالتوفيق سرا و جهارا فلما احتاجت عند الكبر إليك جعلتها من أهون الأشياء عليك فشبعت و هي جائعة و رويت و هي قانعة و قدمت عليها أهلك و أولادك بالإحسان و قابلت أياديها بالنسيان و صعب لديك أمرها و هو يسير و طال عليك عمرها و هو قصير هجرتها و مالها سواك نصير هذا و مولاك قد نهاك عن التأفف و عاتبك في حقها بعتاب لطيف ستعاقب في دنياك بعقوق البنين و في أخراك بالبعد من رب العالمين يناديك بلسان التوبيخ و التهديد ( ذلك بما قدمت يداك و أن الله ليس بظلام للعبيد )

Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.

Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.

Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.

Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari padadirinya serta makanannya.

Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.

Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu.

Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.

Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.

Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.

Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.

Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.

Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.

Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.

Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.

Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.

Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.

Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.

(Akan dikatakan kepadanya),

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (Al-Hajj : 10) [Al-Kaba’ir hal. 39, Darun Nadwah]

Semoga Allah Ta’ala Memudahkan Kita untuk Berbakti pada Ibu

Semoga kita termasuk orang yang bisa berbakti kepada orang tua khususnya ibu. Semoga kita termasuk orang yang tidak melupakan jasa-jasa ibu kita. Semoga anak-istri dan pekerjaan kita tidak menyibukkan kita dan melalaikan kita untuk berbakti dan memberikan perhatian kepada ibu kita. Ingatlah di masa kecil kita sangat sering membuat susah orang tua terutama ibu kita, bersabarlah ketika berbakti kepada keduanya

Demikian semoga bermanfaat.

7 Dzikir Pembuka Rezeki Paling Mustajab

7 Dzikir Pembuka Rezeki Paling Mustajab

1. Memperbanyak Dzikir La Hawla wa La Quwwata Illa Billah لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ Laa Hawla wa La Quwwata Illa Billaah "Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah semata." Barangsiapa yang lambat datang rezekinya hendaklah banyak mengucapkan La hawla Wala Quwwata Illa billah. (HR. At-Thabrani)

2. Membaca La Ilaha Ilallah Al-Malikul Haqqul Mubin لا إله الله الملك الحق المبين Laa Ilaha Ilallah Al-Malikul Haqqul Mubin "Tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, Allah yang Maha Benar lagi Maha Nyata." Barangsiapa setiap hari membaca La ilaha illalla al malikul haqqul mubin maka bacaan itu akan menjadi keamanan dari kefakiran dan menjadi penenteram dari rasa takut dalam kubur. (HR Abu Nu’aim dan Ad-Dailami)

3. Membaca Subhanallahi wa Bihamdihi Subhanallahil 'Azhiim سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيم Subhanallahi wa Bihamdihi Subhanallahil 'Azhiim "Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Maha Suci Allah yang Maha Agung." Barang siapa ketika pagi dan petang, membaca doa: Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya sebanyak 100 kali, maka pada hari Kiamat tidak ada orang lain yang melebihi pahalanya kecuali orang yang juga pernah mengucapkan bacaan seperti itu atau lebih dan itu. (HR Muslim)

4. Membaca Surat Al-Ikhlas "Barangsiapa membaca Surah Al-Ikhlas ketika masuk rumah maka berkat bacaan menghilangkan kefakiran dari penghuni rumah dan tetangganya." (HR. At-Thabrani)

5. Membaca Surat Al-Waqi'ah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa membaca Surat Al-Waqi'ah setiap malam maka tidak akan ditimpa kesempitan hidup." (HR Al-Baihaqi)

6. Memperbanyak Sholawat ke Atas Nabi Dari Umar bin Khattab, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bersholawat kepadaku satu kali maka Allah akan membalas sepuluh kali sholawat dan mengangkatnya sepuluh derajat." (HR Al-Bukhari)

7. Melazimkan Istighfar "Barangsiapa melazimkan beristighfar niscaya Allah akan mengeluarkan dia dari segala kesusahan dan memberikan rezeki dari arah yang tidak pernah diduga." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

3 Amalan Pembuka Rezeki yang Dianjurkan Nabi Muhammad

3 Amalan Pembuka Rezeki yang Dianjurkan Nabi Muhammad

Rezeki datang kepada umat manusia dengan berbagai bentuk. Dapat berupa kesehatan, anak-anak yang saleh, pekerjaan yang lancar, hingga sakit pun juga merupakan rezeki yang diberikan Allah SWT kepada umat-Nya.

Setiap manusia telah ditetapkan rezekinya sejak dari rahim ibu. Seperti sabda Rasulullah ﷺ dalam hadis riwayat Bukhari Muslim yang berbunyi:

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ.

Artinya: Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan,
“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya.

Hadis di atas sangat jelas menyebutkan bahwa rezeki seseorang telah ditentukan oleh Allah SWT sejak dalam kandungan. Yakni, sejak baru ditiupkan ruh ke dalam janin. Tetapi, meskipun ketentuan itu sangat jelas, Rasulullah ﷺ dengan sifat penyayangnya memberikan tips untuk umatnya agar mendapatkan rezeki yang berlimpah.

Berikut 3 amalan pembuka rezeki yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad ﷺ:

1. Menghidupkan Salat Dhuha
Salat dhuha merupakan salat sunnah yang mampu mendatangkan rezeki. Salat ini dikerjakan sejak matahari mulai meninggi sampai datangnya zawal (tergelincirnya matahari). Atau sejak 15 menit setelah matahari terbit hingga 15 menit menjelang zuhur. Salat ini dikerjakan minimal 2 rakaat dan maksimal 8 rakaat. Ada juga riwayat yang menyebut hingga 12 rakaat.

Rasulullah ﷺ bersabda: "Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah. Para sahabat pun mengatakan, lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah? Dari pertanyaan tersebut, Rasulullah ﷺ menjawab seperti yang disabdakan dalam Hadis Riwayat Muslim, yang berbunyi:

النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

Artinya: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: "Setiap pagi dari persendian masing-masing kalian ada sedekahnya, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir sedekah, setiap amar ma'ruf nahyi mungkar sedekah, dan semuanya itu tercukupi dengan dua rakaat dhuha."

Maka dari itu, selain untuk melancarkan rezeki, dua rakaat salat dhuha sangat penting untuk tubuh demi memenuhi kewajiban sedekah dari 360 persendian manusia.

2. Membaca Zikir Setiap Hari
Ajaran Rasulullah yang selanjutnya untuk pembuka rezeki adalah membaca zikir setiap hari. Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa membaca 'La ilaha illallah Al Malikul Haqqul Mubin (tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha benar lagi Maha Nyata) sebanyak 100 kali dalam sehari, maka ia memperoleh jaminan aman dari kemiskinan, diselamatkan dari dahsyatnya kubur dan terbuka untuknya pintu-pintu surga." (HR. Abu Nuaim)

Selain itu, umat Islam diajarkan membaca zikir "Subhanallahi wa bihamdih, Subhanallahil 'adzim, astaghfirullahal'adzim" 100 kali dalam setiap hari. Lebih utama apabila dibaca setelah azan subuh sebelum iqamah.

3. Membaca Surah Al-Waqiah Setiap Hari
Surat Al-Waqiah adalah surat ke-56. Jumlah ayatnya adalah 96 ayat. Surah Al-Waqiah memiliki makna kiamat. Kandungan dalam ayat ini menceritakan bagaimana hari kiamat akan terjadi dan balasan bagi orang mukmin dan orang kafir. Surah Al-Waqiah juga menceritakan penciptaan manusia, api dan segala jenis tumbuhan. Sekaligus menerangkan kuasa Allah ketika hari kebangkitan.

Umat Islam dianjurkan membaca surah Al-Waqiah setiap selesai salat Ashar atau pada malam hari. Surah ini merupakan amalan penghalang seseorang dari kefakiran atau kemiskinan.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, suatu hari Khalifah Utsman bin Affan datang memberikan sejumlah harta kepada sahabat Nabi yang tengah sakit, Abdullah bin Mas'ud untuk putra-putranya. Namun, Abdullah bin Mas’ud menolaknya sembari mengatakan bahwa dirinya tidak khawatir putra-putranya menderita kemiskinan.

Abdullah bin Mas'ud membuka rahasia bahwa ia telah mengajarkan satu amalan yang pernah diajarkan Rasulullah kepadanya. "Apakah Amirul Mukminin takut putra-putraku miskin? Mereka sudah kusuruh membaca Surah Al-Waqiah setiap malam," kata Abdullah bin Mas'ud ketika sakit menjelang wafat.

Kemudian, beliau menyampaikan sabda Rasulullah: "Barang siapa membaca Surah Al-Waqiah setiap malam, dia tidak akan menderita kemiskinan selama-lamanya." (HR. Abu Ya'la dan Ibnu Asakir)

Selain hadis tersebut, Ibnu Katsir juga menyampaikan hadis yang menunjukkan keutamaan Al-Waqiah. "Barang siapa membaca surat Al-Waqiah setiap malam, dia tidak akan menderita kemiskinan." (HR. Abu Syuja)

Syeikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir mencantumkan hadis serupa dari Anas, yang artinya: "Surat Al-Waqiah adalah surah 'kekayaan'. Maka bacalah Surah Al-Waqiah dan ajarkanlah kepada anak-anak kalian." (HR. Ibnu Murdawaih)

Demikian amalan-amalan pembuka rezeki yang diajarkan Rasulullah ﷺ untuk kebaikan umatnya. Apabila seorang umat mengerjakannya dengan istiqamah, insyaallah akan mendapat keberuntungan. Untuk hasil yang maksimal, setiap amalan hendaknya dibarengi dengan usaha (ikhtiar) agar hasilnya berkah.

Bila Cinta Dalam Hati Bersemi

Bila Cinta Dalam Hati Bersemi 

Cintailah orang yang menyayangimu
Karena bisa jadi
Dia pergi meninggalkanmu
Disaat engkau mulai mencintainya…….

Begitulah curahan penyesalan seorang lelaki ketika rumah tangga mereka sad ending dengan perceraian. Dia baru merasa kehilangan miliknya yang paling berharga, sosok wanita yang pernah menghiasi hari-harinya dengan kebahagiaan.

Justru lezatnya madu cinta seakan baru direguknya disaat-saat terakhir bersamanya. Sebagaimana ungkapan seorang shaleh yang mencandai istrinya : “ Cinta bertepuk sebelah tangan adalah musibah”. Sang istri membalas : “ Wajah yang berpaling darimu tapi kamu tak bisa melupakannya”.

Kulamar Engkau Di Akhirat

Ada pula gambaran menakjubkan tentang sepasang sejoli yang saling merajut cinta, dimana perasaan kasih keduanya sangat kuat, dan tak terpisahkan, hingga menjelang Abu Darda’ rahimahullah wafat, Ummu Darda’ pernah mengatakan kepadanya, “ Dulu kau pinang diriku kepada keluargaku di dunia, lalu mereka menikahkanku denganmu. Sekarang aku meminangmu kepada dirimu untuk nanti di akhirat”. Kalau begitu jangan engkau menikah lagi sepeninggalku ”.

Ummu Darda’ benar-benar memenuhi permintaan Abu Darda’. Setelah meninggalnya Abu Darda’, Muawiyah bin Abi Sufyan rahimahullah datang menyampaikan pinangan. Saat itu Ummu Darda’ masih muda dan dikenal kecantikannya Ummu Darda’ menolak, “ Tidak ” katanya. “ Aku tidak akan menikah lagi dengan seorangpun di dunia sampai aku menikah dengan Abu Darda’ di surga, insya Allah,”.

Abu Darda’ memberi nasehat spesial kepada istrinya, “Bila kau marah, aku membuatmu ridha kembali. Karena itu bila aku marah buatlah aku ridha. Kalau tidak demikian, betapa cepatnya kita akan berpisah”.

Itulah salah satu pesan penuh hikmah dari generasi terbaik yang pernah ada agar bahtera cinta tetap, meskipun hujan dan gelombang badai datang menerpa silih berganti.

Bukankah dalam setiap detik, pasutri tetap bisa merasa bahagia manakala dia menyandarkan segala kehidupannya kepada Allah Ta’ala dan melaksanakan hukum dan Syari’at-Nya. Orang yang cinta dalam hatinya bersemi akan merasa betapa sangat berharga nilai sebuah pernikahan, bagaimanapun kondisi kemiskinan, kesulitan dan berbagai penderitaan yang dialaminya.

Cinta Sepanjang Masa

Adalah Su’da rahimahallah, wanita cantik , anggun, dan lugu yang pernah mempesona seorang gubernur Madinah Marwan bin Hakam rahimahullah, wanita ini pula pernah membuat penasaran serta memikat hati Muawiyah bin Abi Sufyan rahimahullah. Lantas apa yang diimpikan wanita Arab itu ?

Su’da memiliki suami yang miskin, suatu saat Muawiyah berbicara kepada suaminya , “ Wahai pria Arab, apakah engkau masih mencintai Su’da ?”. Dia menjawab, “ Demi Allah wahai Amirul Mukminin, seandainya anda beri aku kursi kekhalifahan sekalipun dengan segala isinya, semua itu tidak ada nilainya disisiku bila dibandingkan dengan Su’da ” .

Bagaimana jawaban Su’da ketika Mu’awiyah menanyakan sosok lelaki yang dicintainya ?

Su’da menjawab,” Aku memilki kenangan manis bersama lelaki ini, cinta yang tak tergoyahkan. Bersamanya aku akan sabar menghadapi kesengsaraan hidup, sebagaimana aku mereguk kenikmatan pada saat kebahagiaan menjelang”.

Cinta di antara pasutri terkadang membuat orang lain takjub sedemikian rupa, sebagaimana kisah legendaris Su’da. Ada apa dibalik kedahsyatan cinta mereka, apa hanya karena faktor fisik, perasaan sehati, apa yang membuat magnet cinta mereka sangat kuat tak terpisahkan?

Kekuatan Sebuah Komitmen

Kenapa banyak pasangan yang memliih berpisah meski rumah tangga mereka baru seumur jagung?
Diluar kelihatannya mereka saling mesra dan menampakkan gairah cinta yang menyala-nyala .

Sebaliknya, ada rumah tangga yang berumur puluhan tahun dan nampaknya kurang mesra, bahkan sang istri selama itupun belum bisa mencintai suaminya meski telah memiliki beberapa anak.

Apa rahasia kesuksesan pernikahan?

Komitmen dan pembuktiannya, itulah kunci untuk mendapat taufik Allah sehingga sukses pernikahan seseorang! Selama seseorang memiliki visi , dan tujuan akhirat, tak masalah dengan perasaan cinta.

Kalau hanya bermodal cinta saja, namun tanpa komitmen jelas dalam bingkai ibadah kepada Allah, niscya rumah tangga akan mudah goyah. Inginkah anda berdua menjadi pasutri akhirat ?

Saatnya mempersiapkan bekal untuk menuju negeri kebahagiaan. Dan sebaik-baik bekal adalah taqwa kepada-Nya.

***

Setan Menakut nakuti Dengan Kemiskinan

Setan Menakut nakuti Dengan Kemiskinan 

Salah satu cara setan menggoda manusia adalah selalu menakut-nakuti dengan kemiskinan. Setan membuat manusia merasa selalu kekurangan padahal karunia Allah itu sangat banyak. Allah berfirman,

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir) ; sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui” [Al-Baqarah/2: 268]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa manusia ditakut-takuti kemiskinan sehinga menjadi pelit terhadap hartanya. Beliau berkata,

يخوفكم الفقر ، لتمسكوا ما بأيديكم فلا تنفقوه في مرضاة الله

“Setan menakut-nakuti kalian akan kemiskinan, agar kalian menahan harta ditangan kalian dan tidak kalian infakkan untuk mencari ridha Allah.” [Tafsir Ibnu Katsir]

Manusia semakin takut dengan kemiskinan karena sifat dasar manusia sangat cinta terhadap harta dan harta adalah godaan (fitnah) terbesar manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah (ujiannya) dan fitnah umatku adalah harta” [HR. Bukhari]

Kunci agar bisa lepas dari godaan setan ini adalah tetap merasa qana’ah dan giat bekerja. Seseorang akan  terus merasa kurang dan miskin apabila tidak merasa qana’ah dan selalu melihat orang lain yang berada di atasnya dalam urusan dunia. Mayoritas pergaulannya adalah orang-orang yang lebih kaya sehingga ia tidak merasa qanaah, karenanya kita diperintahkan untuk selalu melihat yang berada di bawah kita dalam urusan dunia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

“Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau lihat orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.”[HR. Bukhari dan Muslim]

Kunci lainnya adalah agar kita giat bekerja, kreatif dan tidak gengsi dalam mencari harta. Apapun pekerjaaannya yang penting halal, maka laksanakan saja tanpa harus gengsi. Inilah bentuk tawakkalnya burung, sebagaimana dalam hadits:

ﻟَﻮْ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻮَﻛَّﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺣَﻖَّ ﺗَﻮَﻛُّﻠِﻪِ ﻟَﺮُﺯِﻗْﺘُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻳُﺮْﺯَﻕُ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮُ ﺗَﻐْﺪُﻭ ﺧِﻤَﺎﺻًﺎ ﻭَﺗَﺮُﻭﺡُ ﺑِﻄَﺎﻧًﺎ

 “Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ [HR.Tirmidzi, hasan shahih]

Kemudian godaan setan akan kemiskinan akan berdampak munculnya rasa pelit pada manusia, tidak mau berinfak atau membantu sesama. Rasulullah bersabda bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta seseorang:

مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ

“Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena shadaqah.” [HR. Tirmidzi]

Syaikh Muhammad Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa harta yang disedekahkan akan bertambah berkahnya. Beliau berkata

تصدق بها منه بل يبارك له فيه

“Harta yang disedekahkan akan diberkahi (diberikan kebaikan yang banyak)” [Lihat Tuhfatul Ahwadzi]

Semoga Allah melindungi kita dari godaan setan berupa rasa takut akan kemiskinan dan semoga Allah memudahkan kita untuk berinfak.

Keutamaan Waktu Ba'da Ashar Hari Jum'at

Keutamaan Waktu Ba'da Ashar Hari Jum'at 

Salah satu waktu mustajab untuk berdoa adalah ba’da ashar di hari Jumat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

‘Pada hari Jum’at terdapat dua belas jam (pada siang hari), di antara waktu itu ada waktu yang tidak ada seorang hamba muslim pun memohon sesuatu kepada Allah melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah ia di akhir waktu setelah ‘Ashar.’[HR. Abu Dawud]

Iman Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa waktu mustajab itu adalah ba’da ashar, beliau berkata,

قال الإمام أحمد : أكثر الأحاديث في الساعة التي تُرجى فيها إجابة الدعوة : أنها بعد صلاة العصر ، وتُرجى بعد زوال الشمس . ونقله عنه الترمذي

“Kebanyakan hadits mengenai waktu yang diharapkan terkabulnya doa adalah ba’da ashar dan setelah matahari bergeser (waktu shalat jumat).” [Lihat Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Ibnul Qayyim berkata,

وهذه الساعة هي آخر ساعة بعد العصر، يُعَظِّمُها جميع أهل الملل

“Waktu ini ini adalah akhir waktu ashar dan diagungkan oleh semua orang yang beragama” [Zadul Ma’ad 1/384]

Bagaimana maksud ba’da ashar tersebut? Berikut penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah. Beliau berkata,

فمن أراد أن يتحرى وقت الإجابة بعد العصر يوم الجمعة : فلذلك صور متعددة ، منها:

١. أن يبقى بعد صلاة العصر لا يخرج من المسجد يدعو ، ويتأكد ذلك منه في آخر ساعة من العصر ، وهذه أعلى المنازل

وكان سعيد بن جبير إذا صلى العصر لم يكلم أحداً حتى تغرب الشمس

٢. أن يذهب إلى المسجد قبل المغرب بزمن ، فيصلي تحية المسجد ، ويدعو إلى آخر ساعة من العصر ، وهذه أوسط المنازل

٣. أن يجلس في مجلس – في بيته أو غيره – يدعو ربه تعالى في آخر ساعة من العصر ، وهذه أدنى المنازل

Bagi yang menginginkan mencari waktu mustajab setelah Ashar hari jumat, ada beberapa cara:

  1. Tetap tinggal di masjid setelah shalat ashar, tidak keluar dari masjid dan berdoa. Ditekankan ketika akhir waktu ahsar (menjelang magrib), ini adalah kedudukan tertinggi.
    Said bin Jubair jika shalat ashar tidaklah berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari.
  2. Ia berangkat ke masjid menjelang magrib kemudian shalat tahiyatul masjid, berdoa sampai akhir waktu ashar ini adalah kedudukan pertengahan.
  3. Ia duduk ditempatnya –rumah atau yang lain- berdoa kepada Rabb-nya sampai akhir waktu ashar. Ini adalah kedudukan terendah. [Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Perhatikan bagaimana semangat para salaf dahulu memanfaatkan berkahnya waktu ba’da ashar di hari Jumat.

Ibnul Qayyim berkata,

كان سعيد بن جبير إذا صلى العصر، لم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس – يعني كان منشغلا بالدعاء

“Dahulu Sa’id bin Jubair apabila telah shalat ashar, ia tidak berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari (magrib) karena sibuk dengan berdoa.” [Zadul Ma’ad 1/384]

كان طاووس بن كيسان إذا صلى العصر يوم الجمعة، استقبل القبلة، ولم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس

“Dahulu Thawus bin Kaisan jika shalat ashar pada hari Jumat menghadap kiblat, ia tidak berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari (magrib).” [Tarikh Waasith]

CATATAN: Hal ini juga bisa dilakukan oleh wanita di rumahnya, setelah shalat ashar wanita berdoa dan berharap dimustajabkan. Demikian juga orang yang terhalangi untuk shalat ashar di masjid seperti dengan sakit atau ada udzur lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

ظاهر الأحاديث الإطلاق ، وأن من دعا في وقت الاستجابة : يُرجى له أن يجاب في آخر ساعة من يوم الجمعة ، يُرجى له أن يجاب ، ولكن إذا كان ينتظر الصلاة في المسجد الذي يريد فيه صلاة المغرب : فهذا أحرى ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (وَهُوَ قَائِمٌ يُصّلِّي) – رواه البخاري – ، والمنتظر في حكم المصلي ، فيكون في محل الصلاة أرجى لإجابته ، فالذي ينتظر الصلاة في حكم المصلين ، وإذا كان مريضاً وفعل في بيته ذلك : فلا بأس ، أو المرأة في بيتها كذلك تجلس تنتظر صلاة المغرب في مصلاها ، أو المريض في مصلاه ويدعو في عصر الجمعة يرجى له الإجابة ، هذا هو المشروع ، إذا أراد الدعاء يقصد المسجد الذي يريد فيه صلاة المغرب مبكراً فيجلس ينتظر الصلاة ، ويدعو

“Dzahir hadits adalah mutlak yaitu barangsiapa yang berdoa di waktu musjatab pada akhir hari jumat (yaitu menjelang magrib, karena akhir hari dalam hijriyah adalah magrib). Diharapkan bisa dkabulkan, akan tetapi jika ia menunggu shalat di masjid tempat shalat magrib, ini lebih hati-hati karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘ia menegakkan shalat’. Orang yang menunggu sebagaimana kedudukan orang yang shalat maka dalam keadaan shalat lebih diharapkan mustajab. Orang yang menunggu shalat sebagaimana orang shalat. Jika ia sakit bisa dilakukan di rumahnya , tidak mengapa. Atau wanita yang menunggu shalat magrib di mushallanya (tempat shalat di rumah), atau yang sakit di mushallanya berdoa di waktu ashar dan berharap mustajab. Jika ia ingin, menuju masjid tempat ia ingin shalat magrib lebih awal, duduk menunggu shalat dan berdoa.” [ Majmu’ Fatawa bin Baz 30/270]

Demikian semoga bermanfaat.

Status Harta Istri yang Bekerja

Status Harta Istri yang Bekerja

Tanggung jawab terbesar suami yang menjadi hak istri adalah memberikan nafkah.

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan tanggung jawab memberi nafkah istri, diantaranya,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkan dengan hartanya ….” (Q.S. An-Nisa’:34)

Allah juga berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:233)

Dalam hadis dari Muawiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‘Ya Rasulullah, apa hak istri yang menjadi tanggung jawab kami?’

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad 20013, Abu Daud no. 2142, Ibnu Majah 1850, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Nafkah Suami kepada Istri Bernilai Sedekah

Nafkah yang diberikan suami kepada istrinya, merupakan ibadah terbesar suami terhadap keluarganya. Karena memberikan nafkah keluarga merupakan beban kewajiban syariat untuk para suami.

Dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَنْفَقَ المُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً

”Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR.Bukhari 5351).

Dalam hadis lain dari Sa’d bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ، فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ، حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ

“Semua nafkah yang engkau berikan, itu bernilai sedekah. Hingga suapan yang engkau ulurkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari 2742 dan Muslim 1628).

Apa Cakupan Nafkah?

Dalam Fatawa Islam ditegaskan,

والنفقة تشمل : الطعام والشراب والملبس والمسكن ، وسائر ما تحتاج إليه الزوجة لإقامة مهجتها ، وقوام بدنها

Nafkah mencakup: makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan segala sarana yang menjadi kebutuhan istri untuk hidup dengan layak. (Fatawa Islam no. 3054).

Harta Istri

Berdasarkan keterangan di atas, kita menyimpulkan bahwa dari setiap penghasilan yang diperoleh suami, di sana ada jatah nafkah istri yang harus ditunaikan.

Ini berbeda dengan harta istri. Allah menegaskan bahwa harta itu murni menjadi miliknya, dan tidak ada seorangpun yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan istri. Dalil kesimpulan ini adalah ayat tentang mahar,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 4)

Fatawa Syabakah Islamiyah menjelaskan tafsir ayat ini,

والآية الكريمة علقت جواز أخذ مال الزوجة على أن يكون بطيب النفس وهو أبلغ من مجرد الإذن، فإن المرأة قد تتلفظ بالهبة والهدية ونحو ذلك بسبب ضغط الزوج عليها مع عدم رضاها بإعطائه، وعلم من هذا أن المعتبر في تحليل مال الزوجة إنما هو أن يكون بطيب النفس

Ayat di atas menjelaskan bahwa suami boleh mengambil harta istri jika disertai kerelaan hati. Dan kerelaan hati itu lebih dari sebatas izin. Karena terkadang ada wanita yang dia menghibahkan atau menghadiahkan hartanya atau semacamnya, disebabkan tekanan suami kepadanya. Sehingga diberikan tanpa kerelaan. Disimpulkan dari sini, bahwa yang menjadi acuan tentang halalnya harta istri adalah adanya kerelaan hati. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 32280)

Jika harta mahar, yang itu asalnya dari suami diberikan kepada istrinya, tidak boleh dinikmati suami kecuali atas kerelaan hati sang istri, maka harta lainnya yang murni dimiliki istri, seperti penghasilan istri atau warisan milik istri dari orang tuanya, tentu tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali atas kerelaan istri juga.

Dalam Fatwa Islam ditegaskan,

وأما بخصوص راتب الزوجة العاملة : فإنه من حقها ، وليس للزوج أن يأخذ منه شيئاً إلا بطِيب نفسٍ منها

”Khusus masalah gaji istri yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami tidak boleh mengambil harta itu sedikitpun, kecuali dengan kerelaan hati istrinya.” (Fatwa Islam, no. 126316) .

Allahu a’lam

Dosa Selalu Menggelisahkan Jiwa

Dosa Selalu Menggelisahkan Jiwa 

Kebaikan selalu menentramkan jiwa dan kejelekan selalu menggelisahkan jiwa. Itulah realita yang ada pada umumnya manusia.

Dari cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Hasan bin ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.”[1]

Dalam lafazh lain disebutkan,

فَإِنَّ الخَيْرَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الشَّرَّ رِيْبَةٌ

Kebaikan selalu mendatangkan ketenangan, sedangkan kejelekan selalu mendatangkan kegelisahan.”[2]

Dalam hadits lainnya, dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.”[3]

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.”[4]

Sampai-sampai jika seseorang dalam keadaan bingung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menanyakan pada hatinya, apakah perbuatan tersebut termasuk dosa ataukah tidak. Ini terjadi tatkala hati dalam keadaan gundah gulana dan belum menemukan bagaimanakah hukum suatu masalah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan pada Wabishoh,

اسْتَفْتِ نَفْسَكَ ، اسْتَفْتِ قَلْبَكَ يَا وَابِصَةُ – ثَلاَثاً – الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِى الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ

Mintalah fatwa pada jiwamu. Mintalah fatwa pada hatimu (beliau mengatakannya sampai tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan jiwa dan menentramkan hati. Sedangkan kejelekan (dosa) selalu menggelisahkan jiwa dan menggoncangkan hati.”[5]

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, “Hadits Wabishoh dan yang semakna dengannya menunjukkan agar kita selalu merujuk pada hati ketika ada sesuatu yang merasa ragu. Jika jiwa dan hati begitu tenang, itu adalah suatu kebaikan dan halal. Namun jika hati dalam keadaan gelisah, maka itu berarti termasuk suatu dosa atau keharaman.”[6] Ingatlah bahwasanya hadits Wabishoh dimaksudkan untuk perbuatan yang belum jelas halal atau haram, termasuk dosa ataukah bukan. Sedangkan jika sesuatu sudah jelas halal dan haramnya, maka tidak perlu lagi merujuk pada hati.

Demikianlah yang namanya dosa, selalu menggelisahkan jiwa, membuat hidup tidak tenang. Jika seseorang mencuri, menipu, berbuat kecurangan, korupsi, melakukan dosa besar bahkan melakukan suatu kesyirikan, jiwanya sungguh sulit untuk tenang.

Lantas bagaimana jika ada yang melakukan dosa malah hatinya begitu tentram-tentram saja?

Jawabannya, bukan perbuatan dosa atau maksiat dibenarkan. Yang benar adalah itulah keadaan hati yang penuh kekotoran, yang telah tertutupi dengan noda hitam karena tidak kunjung berhenti dari maksiat. Allah Ta’ala berfirman,

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14). Jika hati terus tertutupi karena maksiat, maka sungguh sulit mendapatkan petunjuk dan melakukan kebaikan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.”[7]

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ

Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran.[8]

Diselesaikan di siang hari di Panggang-Gunung Kidul, 15 Syawal 1431 H (23/09/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] HR. Al Hakim 2/51 dalam Mustadroknya. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini sanadnya shahih. Adz Dzahabi menegaskan bahwa hadits ini shahih.

[3] HR. Muslim no. 2553.

[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392, 16/111.

[5] HR. Ad Darimi 2/320 dan Ahmad 4/228. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dho’if. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi. Lihat Al Irwa’ no. 1734.

[6] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Muayyid, hal. 304.

[7] Ad Daa’ wad Dawaa’, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1424 H, hal. 107.

[8] HR. Tirmidzi no. 3233, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

Takjub Dengan Diri Sendiri

Takjub Dengan Diri Sendiri 

Khotbah Pertama 

Ketika kita merenungkan petunjuk dan sejarah Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- dapat kita temukan bahwa apa yang beliau contohkan sungguh jauh dari sikap berlebihan dan mempersulit diri dalam ucapan dan perbuatan, termasuk dalam pembiayaan hidup. Islam mengajarkan kepada kita bahwa setinggi apapun derajat suatu amal perbuatan tidaklah patut dibanggakan manakala kosong dari nilai-nilai keimanan. Firman Allah :

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ   ،[ التوبة/19]

“Apakah kalian menyamakan upaya (mereka) yang memberi minuman orang yang haji dan pengurusan Masjidil-haram dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah”.Qs At-Taubah : 19

Sesungguhnya berbangga diri, suka memperlihatkan kelebihan, kepangkatan, status sosial, garis keturunan, keunggulan, kekaguman terhadap diri, mempertontonkan nikmat karena kesombongan, semuanya adalah sifat-sifat tercela yang muncul akibat kelabilan kemanusiaan sekaligus pertanda kekeroposan dan kevakuman kepribadian seseorang.

Firman Allah :

إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ [ لقمان/18]

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi suka membanggakan diri”.Qs Luqman : 18

Perasaan bangga yang paling membahayakan dan mengancam akidah (ideologi) seorang muslim ialah keinginan untuk dipuji orang (riya)yang dikategorikan oleh nabi –shallallahu alaihi wa sallam- sebagai “syirkul-Asghar” (kemusyrikan kecil), sebagaimana tergambar dalam hadis :

“أنْ يَقوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّى فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ” رواه ابن ماجه

“Seseorang sedang shalat lalu memperbagus gerak-gerik shalatnya karena dilihat orang lain”.HR Ibnu Majah

      Termasuk kategori berbangga diri ialah suka mempertontonkan perbuatan maksiat, suatu perangai tercela yang membuat penyandangnya terancam Su’ul-Khotimah (kondisi yang buruk ketika tutup usia). Firman Allah :

كَلا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ ، وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ ، وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ ، وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ ، إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ ، فَلا صَدَّقَ وَلا صَلَّى ، وَلَكِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى ، ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى أَهْلِهِ يَتَمَطَّى ، أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى ، ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى  [ القيامة/ 26 – 35 ]

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas telah sampai di kerongkongan, dan dikatakan: “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”. Orang itu yakin bahwa sesungguhnya sudah saatnya berpisah (dengan dunia), dan betis kiri dengan betis kanan telah bergandengan erat. Kepada Tuhanmulah pada hari itu penghalauan. Dia (sebelumnya) tidak percaya dan tidak mengerjakan shalat, tetapi selalu mendustakan dan berpaling. Kemudian pergi kepada keluarganya dengan berlagak sombong. Celakalah engkau (hai orang kafir), kemudian celakalah engkau”. Qs Al-Qiyamah :26-35

     Orang yang tersiksa ketika menghadapi sekarat maut itu gara-gara sebelumnya dia melalaikan kewajiban, dan ketika pulang untuk berjumpa dengan keluarganya membanggakan diri dan membusungkan dada atas perilakunya yang suka menyia-nyiakan kewajiban itu.

     Sikap berbangga dan merasa paling unggul dapat mencoreng nilai-nilai keluhuran akibat seseorang berlaku over dan boros sampai pada tingkat yang membuatnya melakukan kebodohan, pengingkaran terhadap nikmat dan penghamburan yang dilarang dalam Islam.

     Termasuk sikap berbangga dan merasa paling unggul ialah  saling bersaing dan berbanyak harta yang didasari oleh rasa pamer dan kesombongan semata. Firman Allah :

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ [ التكاثر/1-2]

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur”.Qs At-Takatsur : 1-2

     Orang yang berbangga diri selalu berpegang pada tampang luarnya saja disebabkan ketimpangan tolok ukur dan berspekulasi dalam pemanfaatan sumber daya kehidupan yang selalu berubah-ubah dan akan fana. Maka orang yang berharta merasa bangga dengan harta kekayaannya, padahal bisa jadi sekarang dia kaya besok menjadi miskin atau sebaliknya.

     Orang yang berpikiran cerdas menyadari bahwa harta, kesehatan, ketampanan dan kedudukan tidak lain adalah pemberian Allah yang bersifat fluktuatif. Maka seyogianya bagi seseorang menyikapinya dengan rasa rendah hati, bukan dengan membanggakan diri dan membusungkan dada.

     Al-Qur’an menggambarkan keadaan orang-orang yang berbangga dan membusungkan dada. Mereka bersumbar :

وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالا وَأَوْلادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ [ سبأ/35]

“Mereka berkata: “Kami lebih banyak memiliki harta dan anak- anak (dari pada kamu)dan kami sekali-kali tidak akan diazab”.Qs Saba’ :35

Allah –subhanahu wa ta’ala- menyanggah anggapan mereka itu :

لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلا أَوْلادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا [ آل عمران/116]

“Harta benda dan anak-anak mereka tidak akan dapat menghindarkan mereka sedikit pun dari azab Allah”.Qs Ali Imran : 116

     Popularitas (Ketenaran nama) merupakan penyakit mematikan yang sering diburu oleh kaum pemburunya dari belakang fatamorgana meskipun dengan cara-cara yang melanggar agama dan moral. Orang yang mencari ketenaran nama akan menjadi tawanan bagi angan-angannya sendiri karena selalu ingin dilihat oleh para penggemarnya. Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :

” مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ ” رواه أبو داود وابن ماجة

“Barang siapa memakai baju ketenaran /popularitas, maka Allah akan memakaikan kepadanya baju kehinaan kelak di hari kiamat”. HR Abu Daud dan Ibnu Majah.

Dampak negatif dari berbangga diri yang paling membahayakan; ialah rusaknya agama seorang muslim. Agama bisa menjadi rusak gara-gara rakus akan kedudukan duniawi yang mentereng, apalagi bila seseorang bermaksud riya’ (memamerkannya di depan orang lain) dan mencari popularitas semata. Perilaku yang demikian itu menyebabkan kehina-dinaan dan terkena skandal yang memalukan. Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :

” مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ . وَمَنْ يُرَائِيْ يُرَائِي اللهُ بِهِ ” رواه البخاري

“Barangsiapa suka menyiarkan amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa yang suka memamerkan amalnya, maka Allah akan membeberkan niatnya”.” HR. Bukhari.

Demikian pula berbangga diri dalam urusan ibadah; dapat menghilangkan dan menghapuskan keberkahan amal. Firman Allah :

أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ [ البقرة / 266]

“Apakah ada salah seorang di antara kalian yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; di dalam kebun itu dia memiliki segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua bagi dirinya sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil, tiba-tiba kebun itu ditiup angin kencang yang mengandung api, hingga akhirnya hangus terbakar”. Qs Al-Baqarah : 266

Amal saleh pada hakikatnya seperti kebun luas yang penuh dengan aneka macam buah-buahan itu, sementara memamerkannya di depan orang lain dengan maksud membanggakan diri dan unjuk kebolehan adalah angin kencang yang menerpanya dan membuatnya tersapu habis sehingga musnahlah seluruh kebun itu beserta keberkahannya.

Mungkin saja seseorang terjatuh di lingkungan tempat tinggalnya dan di tengah-tengah keluarganya oleh sikap pembanggaan diri dalam pola kehidupan sosial yang sedang ngetren dan boros dalam berbagai perabot rumah dan patung-patung hiasan, termasuk di dalamnya berlebihan dalam pembayaran maskawin dan penyelenggaraan pesta pernikahan.

Berbangga diri bisa membuat orang jatuh terkilir yang menyebabkannya lupa bersyukur dan memuji kepada Tuhan yang memberi nikmat dan anugerah. Firman Allah :

وَإِذَا مَسَّ الإنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ [ الزمر/8]

“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, segera memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang sebelumnya pernah dia mohonkan untuk (dihilangkan)”. Qs Az-Zumar : 8

Itu disebabkan karena dirinya selalu membusungkan dada dan membanggakan nikmat, lalu melupakan Tuhannya yang sebelumnya ia selalu memohon kepadaNya dengan penuh kerendahan hati.

Sikap berbangga diri juga bisa menjadi pemicu pelecehan terhadap orang lain. Kenyataan ini terlihat pada diri Iblis ketika ia bersumbar :

” قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ ” [ الأعراف/12]

“Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api sedang Dia (Adam) Engkau ciptakan dari tanah”.Qs Al-A’raf : 12

Di sini Iblis melimpahkan kecurangan kepada Tuhannya – semata-mata karena dugaannya yang meleset – bahwa dirinya lebih super dari pada Adam –alaihissalam-.

Pemaksaan kehendak untuk menjadi superior dapat menghambat kecerdasan berpikir seorang muslim dalam menjalankan misi pengembangan dan peningkatan diri. Keterkecohan seseorang di balik propaganda-propaganda yang kosong, dan penampilan-penampilan yang menipu menyebabkannya terperangkap dalam kubangan hawa nafsu dan hanyut dalam perbuatan yang sia-sia.

Rasa berbangga diri menyebabkan terpuruknya umat Islam. Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :

” إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ ” رواه النسائي

“Allah menolong umat ini tidak lain karena orang-orang lemah di antara mereka, (yaitu) berkat doa, shalat dan keikhlasan mereka”.HR An-Nasai.

Hadis ini memperjelas bahwa perilaku seseorang yang suka memperlihatkan amalnya dan hanya memperhatikan fenomena yang tampak dipermukaan saja akan menyebabkan kekalahan dan keterpurukan umat Islam.

Demikian pula berbangga-bangga dalam kemakmuran, akan menyulut emosi kaum muslimin, terutama dari kalangan yang nasibnya kurang beruntung karena keterbatasan ekonomi yang merundungnya.

Sikap berbangga-bangga juga dapat menyebarkan penyakit kedengikan. Hal itu terjadi ketika seseorang bercerita tentang kesejahteraan yang sedang dinikmatinya dengan penuh kesombongan dan dengan cara-cara yang dapat membangkitkan kedengkian dan perasaan iri hati.

Itulah sebabnya mengapa Islam memberi peringatan keras kepada orang yang suka membangga-banggakan diri dan membusungkan dada dalam berbagai bentuknya, termasuk dalam gaya jalannya. Maka Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- memperingatkan :

” بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” رواه مسلم

“Ketika seseorang yang bertingkah dan menyombongkan diri berjalan dengan mengenakan dua kain bajunya, merasa kagum terhadap dirinya, tiba-tiba Allah membenamkannya di bumi sehingga ia bergerak-gerak di dalam bumi hingga hari kiamat”. HR Muslim

*****

Khotbah Kedua

Namun demikian, apabila ada orang yang ingin memperlihatkan nikmat Allah tanpa bermaksud memamerkannya atau menyombongkan diri terhadap orang lain, maka hal itu tidaklah menjadi masalah. Firman Allah :

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ [الأعراف/ 32]

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik?”. Qs Al-A’raf : 32

Seorang muslim memang diperintahkan untuk memperlihatkan nikmat-nikmat Allah –subhanahu wa ta’ala- yang ada padanya, karena Allah senang melihat nikmat-nikmatNya berdampak positif pada hambaNya selama hal itu dilakukan atas dorongan rasa syukur atas karunia-Nya sebagai bentuk pemujian kepadaNya, bukan bermaksud untuk berbangga-bangga dan menyombongkan diri. Firman Allah :

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ [ الضحى/11]

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan”. Qs Ad-Dhuha :11

Menyembunyikan nikmat pun tidak masalah dalam pandangan Islam, bahkan cara inilah yang seharusnya dilakukan manakala seseorang khawatir bahwa dengan menyiarkan nikmat itu justru akan menimbulkan kedengkian orang lain yang sangat membahayakan dirinya.

Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman ketika menceritakan Nabi-Nya, Ya’qub –alaihissalam- :

قَالَ يَا بُنَيَّ لا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ [ يوسف/5]

“Dia (Ya’qub) berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, nanti mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” Qs Yusuf : 5

Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :

“اسْتَعِيْنُوْا عَلى إنْجَاحِ حَوَائجكمْ بِالكِتْمَانِ، فَإنَّ كُلّ ذِي نِعْمَةٍ مَحْسُوْدٌ” رواه الطبراني بإسناد صحيح

“Mohonlah pertolongan dalam meloloskan hajat kalian dengan cara menyembunyikannya. Sebab setiap orang yang mendapatkan anugerah nikmat menjadi sasaran kedengkian”. HR At-Tabrani dengan sanad yang shahih.

Terapi penyakit berbangga diri ini hanyalah dengan selalu merasakan kehadiran Allah –subhanahu wa ta’ala- dan pengawasanNya tanpa menghiraukan apakah dirinya dilihat oleh manusia ataukah tidak. Selain itu, dengan bersyukur dan mengenang anugerah Allah yang Maha Pemberi, seseorang akan terdidik dan terlatih untuk menghargai nikmat, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan rasa rendah hati. Firman Allah :

” تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأرْضِ وَلا فَسَادًا  وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ ” [ القصص/83]

“Itulah negeri akhirat yang kami tetapkan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak berbuat kerusakan. Dan kesudahan yang baik hanyalah menjadi milik orang-orang yang bertakwa”. Qs Al-Qashash : 83

Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :

” إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ” رواه مسلم

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim terhadap orang lain.” HR Muslim.