Balaslah kejelekan dengan kebaikan

Balaslah kejelekan dengan kebaikan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– mengatakan, “Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.”

Faedah ilmu dariTafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1421 H.

Nasehat Luqman Al-Hakim Pada Anaknya

Nasehat Luqman Al-Hakim Pada Anaknya 

Satu akhlak mulia lagi diajarkan oleh Lukman kepada anaknya ketika ia memberi wasiat padanya yaitu sikap tawadhu’ dan bagaimana beradab di hadapan manusia. Di antara yang dinasehatkan Lukman Al Hakim adalah mengenai adab berbicara, yaitu janganlah berbicara keras seperti keledai.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Lukman: 19).

Berjalanlah dengan Tawadhu’

Mengenai ayat,

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”, yang dimaksud adalah berjalan dengan sikap pertengahan.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Berjalanlah dengan sikap pertengahan. Jangan terlalu lambat seperti orang malas. Jangan terlalu cepat seperti orang yang tergesa-gesa. Namun bersikaplah adil dan pertengahan dalam berjalan, antara cepat dan lambat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 58)

Ulama lain menerangkan yang dimaksud dengan perkataan Lukman adalah agar tidak bersikap sombong dan perintah untuk bersikap tawadhu’.

Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud adalah berjalanlah dengan sikap tawadhu’ dan tenang. Janganlah bersikap sombong dan takabbur. Jangan pula berjalan seperti orang yang malas-malasan.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 648).

Keutamaan sifat tawadhu’ disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)

Ibnul Jauzi berkata, “Berjalanlah bersikap pertengahan. Janganlah berjalan dengan sikap sombong dan jangan terlalu cepat (tergesa-gesa). ‘Atho’ berkata, “Jalanlah dengan tenang dan jangan tergesa-gesa.” (Zaadul Masiir, 6: 323)

Beradab Ketika Berbicara

Selanjutnya Lukman mengajarkan pada anaknya mengenai adab dalam berbicara. Dalam ayat disebutkan,

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Katsir, maksud ayat ini, jangalah berbicara keras dalam hal yang tidak bermanfaat. Karena sejelek-jelek suara adalah suara keledai. Mujahid berkata, “Sejelek-jelek suara adalah suara keledai.” Jadi siapa yang berbicara dengan suara keras, ia mirip dengan keledai dalam hal mengeraskan suara. Dan suara seperti ini dibenci oleh Allah Ta’ala. Dinyatakan ada keserupaan menunjukkan akan keharaman bersuara keras dan tercelanya perbuatan semacam itu sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ ، الَّذِى يَعُودُ فِى هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِى قَيْئِهِ

Tidak ada bagi kami permisalan yang jelek. Orang yang menarik kembali pemberiannya adalah seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya”[1] (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 58)

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Seandainya mengeraskan suara dianggap ada faedah dan manfaat, tentu tidak dinyatakan secara khusus dengan suara keledai yang sudah diketahui jelek dan menunjukkan kelakuan orang bodoh.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 648).

Sungguh tanda tidak beradabnya seorang muslim jika ia berbicara dengan nada keras di hadapan orang tuanya sendiri, apalagi jika sampai membentak.

Mengenai suara keledai, kita diminta meminta perlindungan pada Allah ketika mendengarnya. Hal ini berbeda dengan suara ayam berkokok. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,

إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ، فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا ، وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ، فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا

“Apabila kalian mendengar ayam jantan berkokok di waktu malam, maka mintalah anugrah kepada Allah, karena sesungguhnya ia melihat malaikat. Namun apabila engkau mendengar keledai meringkik di waktu malam, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan, karena sesungguhnya ia telah melihat syaithan” (HR. Muslim no. 3303 dan Muslim no. 2729).

Tersisa Nasehat Lukman: Allah akan Senatiasa Menjaga Titipannya

Masih ada nasehat Lukman lainnya yang tidak disebutkan dalam surat Lukman.

Imam Ahmad berkata: Telah menceritakan pada kami ‘Ali bin Ishaq, ia berkata, telah menceritakan pada kami Ibnul Mubarok, ia berkata, telah menceritakan pada kami Sufyan, ia berkata,  telah menceritakan padaku Nahsyal bin Majma’ Adh Dhobiy, ia berkata, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ لُقْمَانَ الْحَكِيمَ كَانَ يَقُولُ « إِنَّ اللَّهَ إِذَا اسْتُودِعَ شَيْئاً حَفِظَهُ »

Lukman Al Hakim pernah berkata: Sesungguhnya Allah jika dititipkan sesuatu pada-Nya, pasti Dia akan menjaganya.” (HR. Ahmad 2: 87. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Jika hamba menitipkan keluarganya ketika safar, maka Allah akan senantiasa menjaga mereka. Sebagaimana yang diajarkan dalam do’a ketika safar,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ وَدَّعَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « أَسْتَوْدِعُكَ اللَّهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ »

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika berpisah denganku, beliau berkata, “Astawdi’ukallahalladzi laa tadhi’u wadaa-i’uhu” (Aku menitipkan engkau pada Allah yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipannya)” (HR. Ibnu Majah no. 2825. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Berakhir pula nasehat-nasehat Lukman Al Hakim yang bisa kita gali dari berbagai kitab tafsir dan penjelasan ulama yang ada. Moga dapat menjadi penyemangat kita dalam berakhlak mulia.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.

Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.

Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 13 Rajab 1433 H

[1] HR. Bukhari no. 2622.

Taqdir Allah Itu Indah

Taqdir Allah Itu Indah 

Bukanlah yang dimaksud dengan kata takdir dalam frasa “takdir buruk” pada judul di atas adalah perbuatan Allah menakdirkan suatu peristiwa. Karena Allah Maha Indah, baik dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya. Allah Maha Indah ditinjau dari segala sisi. Tidak ada satupun keburukan yang terdapat pada diri Allah. Tidak boleh satupun keburukan disandarkan kepada dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya.

Apakah yang Dimaksud dengan Takdir Buruk?

Maksudnya adalah peristiwa pahit yang Allah takdirkan terjadi pada makhluk-Nya.Dalam menjalani kehidupan terkadang seorang mukmin menghadapi takdir yang baik, yaitu peristiwa yang menyenangkan dirinya. Sebagai contoh, seorang menikah, berhasil melakukan kebaikan, dan mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya yang halal. Ini adalah takdir baik dan menggembirakan.

Tips Menghadapi Takdir Yang Buruk

Namun, terkadang dalam hidupnya seorang mukmin harus menghadapi takdir yang buruk, misalnya sakit keras, ibunya meninggal, dizalimi temannya, dan disebarkan fitnah buruk tentang dirinya (difitnah) sampai merasa sakit hati. Nah, bagaimana sikap seorang mukmin yang baik?

Tips 1

Di dalam kitab Al-Fawaid, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur

إذا جرى على العبد مقدور يكرهه فله فيه ستّة مشاهد

Jika sebuah takdir yang buruk menimpa seorang hamba, maka ia memiliki enam sikap dan sisi pandang:

الأوّل: مشهد التوحيد، وأن الله هو الذي قدّره وشاءه وخلقه، وما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن

Pertama: Pandangan (kaca mata) Tauhid. Bahwa Allahlah yang menakdirkan, menghendaki dan menciptakan kejadian tersebut. Segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan  segala sesuatu yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.

Penjelasan:

Seorang mukmin yang di dalam hatinya mengakar kuat keimanan terhadap Rabbnya akan memandang segala sesuatu dengan kaca mata iman dan tauhid, terlepas apapun yang dihadapi dan dialaminya. Hatinya meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi, pastilah Allah yang menghendakinya terjadi dan Dialah yang menakdirkannya, baik peristiwa tersebut sebuah kebaikan ataupun keburukan. Namun setiap yang Allah takdirkan terjadi, pastilah ada hikmahnya, baik kita ketahui atau tidak.

Oleh karena itu, ketika mendapatkan musibah, Anda dizalimi orang lain atau difitnah misalnya, maka pandanglah peristiwa itu dengan kacamata iman, Allahlah yang menakdirkan musibah ini menimpa diri saya, Allahlah yang memilih saya untuk menjadi orang yang tertimpa musibah ini ,

Allah lah yang memilih saya menjadi korban fitnah ini. Radhiitu billahi Rabbaa, saya ridha Allah menjadi Rabbku dan Sang Pengaturku. Saya tidak akan memprotes takdir-Nya. Karena setiap hari seorang hamba berpeluang tertimpa musibah, maka pantaslah prinsip hidup yang seperti ini dalam Islam disyari’atkan untuk diwujudkan dalam ucapan dzikir pagi dan sore, bahkan disyari’atkan untuk diucapkan 3 kali,

رضيت بالله رباً، وبالإسلام ديناً، وبمحمد صلى الله عليه و سلم نبيا

“Aku rela Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku dan Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabiku” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi).

Dengan demikian, setiap kali seorang hamba tertimpa musibah, ia menghadapinya dengan lapang dada dan menggantungkan harapan hatinya semata-mata kepada Sang Pengaturnya agar ia  mendapatkan jalan keluar dan mampu bersabar dalam menghadapinya dengan mengharapkan pahala dari-Nya.

Tips 2

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah melanjutkan

الثاني: مشهد العدل، وأنه ماض فيه حكمه، عدل فيه قضاؤه

Kedua: Kacamata keadilan. Bahwa dalam kejadian tersebut berlaku hukum-Nya dan adil ketentuan takdir-Nya.

Penjelasan

Setiap peristiwa yang ditakdirkan terjadi pada diri seorang hamba pastilah Allah selalu adil dan tidak pernah zalim kepadanya, karena Allah menentukan takdir bagi seorang hamba selalu sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya dan sesuai dengan ilmu-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِᄉ

“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya” (Fushshilat:46).

Bukankah setiap musibah yang ditakdirkan menimpa kita karena akibat dosa kita?

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian)” (Asy-Syuuraa: 30).

Tips 3

Kemudian Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

الثالث: مشهد الرحمة،وأن رحمته في هذا المقدور غالبة لغضبه وانتقامه، ورحمته حشوه

Ketiga: Kacamata kasih sayang. Bahwa rahmat-Nya dalam peristiwa pahit tersebut mengalahkan kemurkaan dan siksaan-Nya yang keras, serta rahmat-Nya memenuhinya.

Penjelasan:

Tidaklah Allah menakdirkan atas diri seorang mukmin sebuah peristiwa yang pahit, kecuali didasari kasih sayang-Nya kepada hamba tersebut. Dan kasih sayang-Nya mengalahkan murka-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” (Al-A’raaf:156).

Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfirman,

إن رحمتي سبقت غضبي

Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku” (HR. Bukhari dan Muslim) .

 Tips 4

Selanjutnya, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur

الرابع: مشهد الحكمة، وأن حكمته سبحانه اقتضت ذلك، لم يقدّره سدى ولا قضاه عبثا

Keempat: Kacamata hikmah. Hikmah-Nya Subhanahu menuntut menakdirkan kejadian itu, tidaklah Dia menakdirkan begitu saja tanpa tujuan dan tidaklah pula Dia memutuskan suatu ketentuan takdir dengan tanpa hikmah.

Penjelasan:

Hikmah pentakdiran pastilah ada. Namun hikmah tersebut terkadang kita tahu, namun terkadang pula kita tidak tahu. Namun, ketidaktahuan kita terhadap suatu hikmah dari kejadian tertentu , tidaklah menghalangi kita berbaik sangka kepada Allah Ta’ala. Bahwa dengan hikmah Allah, Allah memutuskan suatu takdirJadi, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Bijaksana dalam menetapkan takdir-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminuun: 115).

Allah Ta’ala juga berfirman,

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Al-Qiyaamah: 36).

Tips 5

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur:

الخامس: مشهد الحمد، وأن له سبحانه الحمد التام على ذلك من جميع وجوهه

Kelima: Kacamata pujian. Bahwa Dia Subhanahu terpuji dengan pujian sempurna atas penakdiran kejadian tersebut, dari segala sisi.

Penjelasan:

Allah terpuji dari segala sisi, terpuji dzat, nama, sifat maupun perbuatan-Nya, termasuk terpuji saat menakdirkan suatu takdir yang pahit, karena semua itu berdasarkan ilmu dan tuntutan hikmah-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Do’a mereka di dalamnya ialah subhanakallahumma dan salam penghormatan mereka ialah salam. Dan penutup doa mereka ialah segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam.” (Yuunus: 10).

Tips 6

Terakhir, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah Menjelaskan

السادس: مشهد العبوديّة، وأنه عبد محض من كل وجه تجري عليه أحكام سيّده وأقضيته بحكم كونه ملكه وعبده، فيصرفه تحت أحكامه القدريّة كما يصرفه تحت أحكامه الدينيّة, فهو محل لجريان هذه الأحكام عليه

Keenam: Kacamata peribadatan. Bahwa orang yang menjalani takdir yang buruk itu adalah sekedar hamba semata dari segala sisi, maka berlaku atasnya hukum-hukum Sang Pemiliknya, dan berlaku pula takdir-Nya atasnya sebagai milik dan hamba-Nya, maka Dia mengaturnya di bawah hukum takdir-Nya sebagaimana mengaturnya pula di bawah hukum Syar’i-Nya. Jadi, orang tersebut merupakan hamba yang berlaku atasnya hukum-hukum ini semuanya.

Penjelasan:

Sebagai seorang mukmin yang meyakini bahwa ia hanyalah milik Allah dan hamba-Nya, maka ia sadar dan mengakui kepemilikan Allah atas dirinya sehingga Dia berhak mengaturnya dengan bentuk pengaturan bagaimanapun juga, semua terserah Dia, Sang Pemilik alam semesta, maka ia ridha dengan pengaturan Rabbnya tersebut dan benar-benar menghamba kepada-Nya saja.

Seorang mukmin juga sadar bahwa dalam keadaan bagaimanapun juga, sebagai seorang hamba, ia tetap tertuntut untuk mempersembahkan peribadatan dan penghambaan kepada Sang Pemiliknya, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana dalam keadaan senang dan lapang, ada tuntutan peribadatan atasnya, maka begitu juga dalam keadaan susah dan tertimpa musibah, ada tuntutan peribadatan atasnya pula. Ia adalah hamba Allah, baik dalam keadaan sedih maupun senang.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا

Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba” (Maryam: 93).

Allah Ta’ala berfirman,

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (Al-Furqaan: 63).

Semoga bermanfa’at.

***

Referensi:
  1. Fawaidul Fawaid , Imam Ibnul Qoyyim, ta’liq: Syaikh Ali Hasan.
  2. Madarijus Salikin, Imam Ibnul Qoyyim.

Cara Mengontrol Emosi dalam Islam

Cara Mengontrol Emosi dalam Islam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Salah satu senjata setan untuk membinasakan manusia adalah marah. Dengan cara ini, setan bisa dengan sangat mudah mengendalikan manusia. Karena marah, orang bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, ngomong jorok, mencaci habis, bahkan sampai kalimat carai yang membubarkan rumah tangganya.

Karena marah pula, manusia bisa merusak semua yang ada di sekitarnya. Dia bisa banting piring, lempar gelas, pukul kanan-pukul kiri, bahkan sampai tindak pembunuhan. Di saat itulah, misi setan untuk merusak menusia tercapai.

Tentu saja, permsalahannya tidak selesai sampai di sini. Masih ada yang namanya balas dendam dari pihak yang dimarahi. Anda bisa bayangkan, betapa banyak kerusakan yang ditimbulkan karena marah.

Menyadari hal ini, islam sangat menekankan kepada umat manusia untuk berhati-hati ketika emosi. Banyak motivasi yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar manusia tidak mudah terpancing emosi. Diantaranya, beliau menjanjikan sabdanya yang sangat ringkas,

لا تغضب ولك الجنة

“Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani dan dinyatakan shahih dalam kitab shahih At-Targhib no. 2749)

Allahu akbar, jaminan yang luar biasa. Surga..dihiasi dengan berbagai kenikmatan, bagi mereka yang mampu menahan amarah. Semoga ini bisa memotivasi kita untuk tidak mudah terpancing emosi.

Bagaimana Cara Mengendalikan Diri Ketika Sedang Emosi?

Agar kita tidak terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar, ada beberapa cara mengendalikan emosi yang diajarkan dalam Al-Quran dan Sunah. Semoga bisa menjadi obat mujarab bagi kita ketika sedang marah.

Pertama, segera memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan, dengan membaca ta’awudz:

أعوذُ بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ

A-‘UDZU BILLAHI MINAS SYAITHANIR RAJIIM

Karena sumber marah adalah setan, sehingga godaannya bisa diredam dengan memohon perlindungan kepada Allah.

Dari sahabat Sulaiman bin Surd radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

Suatu hari saya duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya dan urat lehernya memuncak. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِني لأعلمُ كَلِمَةً لَوْ قالَهَا لذهبَ عنهُ ما يجدُ، لَوْ قالَ: أعوذُ بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ، ذهب عَنْهُ ما يَجدُ

Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A’-uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang marah, kemudian membaca: A-‘udzu billah (saya berlindung kepada Allah) maka marahnya akan reda.” (Hadis shahih – silsilah As-Shahihah, no. 1376)

Kedua, DIAM dan jaga lisan

Bawaan orang marah adalah berbicara tanpa aturan. Sehingga bisa jadi dia bicara sesuatu yang mengundang murka Allah. Karena itulah, diam merupakan cara mujarab untuk menghindari timbulnya dosa yang lebih besar.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

“Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad dan Syuaib Al-Arnauth menilai Hasan lighairih).

Ucapan kekafiran, celaan berlebihan, mengumpat takdir, dst., bisa saja dicatat oleh Allah sebagai tabungan dosa bagi ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ

Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat, yang dia tidak terlalu memikirkan dampaknya, namun menggelincirkannya ke neraka yang dalamnya sejauh timur dan barat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Di saat kesadaran kita berkurang, di saat nurani kita tertutup nafsu, jaga lisan baik-baik, jangan sampai lidah tak bertulang ini, menjerumuskan anda ke dasar neraka.

Ketiga, mengambil posisi lebih rendah

Kecenderungan orang marah adalah ingin selalu lebih tinggi.. dan lebih tinggi. Semakin dituruti, dia semakin ingin lebih tinggi. Dengan posisi lebih tinggi, dia bisa melampiaskan amarahnya sepuasnya.

Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan saran sebaliknya. Agar marah ini diredam dengan mengambil posisi yang lebih rendah dan lebih rendah. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur. (HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadis ini, melindungi dirinya ketika marah dengan mengubah posisi lebih rendah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari Abul Aswad Ad-Duali, beliau menceritakan kejadian yang dialami Abu Dzar,

“Suatu hari Abu Dzar mengisi ember beliau. Tiba-tiba datang beberapa orang yang ingin mengerjai Abu Dzar. ‘Siapa diantara kalian yang berani mendatangi Abu Dzar dan mengambil beberapa helai rambutnya?’ tanya salah seorang diantara mereka. “Saya.” Jawab kawannya.

Majulah orang ini, mendekati Abu Dzar yang ketika itu berada di dekat embernya, dan menjitak kepala Abu Dzar untuk mendapatkan rambutnya. Ketika itu Abu Dzar sedang berdiri. Beliaupun langsung duduk kemudian tidur.

Melihat itu, orang banyak keheranan. ‘Wahai Abu Dzar, mengapa kamu duduk, kemudian tidur?’ tanya mereka keheranan.

Abu Dzar kemudian menyampaikan hadis di atas. Subhanallah.., demikianlah semangat sahabat dalam mempraktekkan ajaran nabi mereka.

Mengapa duduk dan tidur?

Al-Khithabi menjelaskan,

القائم متهيئ للحركة والبطش، والقاعد دونه في هذا المعنى، والمضطجع ممنوع منهما، فيشبه أن يكون النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنما أمره بالقعود لئلا تبدر منه في حال قيامه وقعوده بادرة يندم عليها فيما بعدُ

Orang yang berdiri, mudah untuk bergerak dan memukul, orang yang duduk, lebih sulit untuk bergerak dan memukul, sementara orang yang tidur, tidak mungkin akan memukul. Seperti ini apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah beliau untuk duduk, agar orang yang sedang dalam posisi berdiri atau duduk tidak segera melakukan tindakan pelampiasan marahnya, yang bisa jadi menyebabkan dia menyesali perbuatannya setelah itu. (Ma’alim As-Sunan, 4/108)

Keempat, Ingatlah hadis ini ketika marah

Dari Muadz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قادرٌ على أنْ يُنفذهُ دعاهُ اللَّهُ سبحانهُ وتعالى على رءوس الخَلائِقِ يَوْمَ القيامةِ حتَّى يُخيرهُ مِنَ الحورِ العين ما شاءَ

“Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR. Abu Daud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani)

Subhanallah.., siapa yang tidak bangga ketika dia dipanggil oleh Allah di hadapan semua makhluk pada hari kiamat, untuk menerima balasan yang besar? Semua manusia dan jin menyaksikan orang ini, maju di hadapan mereka untuk menerima pahala yang besar dari Allah ta’ala. Tahukah anda, pahala ini Allah berikan kepada orang yang hanya sebatas menahan emosi dan tidak melampiaskan marahnya. Bisa kita bayangkan, betapa besar pahalanya, ketika yang dia lakukan tidak hanya menahan emosi, tapi juga memaafkan kesalahan orang tersebut dan bahwa membalasnya dengan kebaikan.

Mula Ali Qori mengatakan,

وَهَذَا الثَّنَاءُ الْجَمِيلُ وَالْجَزَاءُ الْجَزِيلُ إِذَا تَرَتَّبَ عَلَى مُجَرَّدِ كَظْمِ الْغَيْظِ فَكَيْفَ إِذَا انْضَمَّ الْعَفْوُ إِلَيْهِ أَوْ زَادَ بِالْإِحْسَانِ عَلَيْهِ

Pujian yang indah dan balasan yang besar ini diberikan karena sebatas menahan emosi. Bagaimana lagi jika ditambahkan dengan sikap memaafkan atau bahkan membalasnya dengan kebaikan. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, 6/140).

Satu lagi, yang bisa anda ingat ketika marah, agar bisa meredakan emosi anda:

Hadis dari Ibnu Umar,

من كف غضبه ستر الله عورته ومن كظم غيظه ولو شاء أن يمضيه أمضاه ملأ الله قلبه يوم القيامة رضا

Siapa yang menahan emosinya maka Allah akan tutupi kekurangannya. Siapa yang menahan marah, padahal jika dia mau, dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat. (Diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam Qadha Al-Hawaij, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Ya, tapi yang sulit bukan hanya itu. Ada satu keadaan yang jauh lebih sulit untuk disuasanakan sebelum itu, yaitu mengkondisikan diri kita ketika marah untuk mengingat balasan besar dalam hadis di atas. Umumnya orang yang emosi lupa segalanya. Sehingga kecil peluang untuk bisa mengingat balasan yang Allah berikan bagi orang yang bisa menahan emosi.

Siapakah kita dibandingkan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Sekalipun demikian, beliau terkadang lupa dengan ayat dan anjuran syariat, ketika sudah terbawa emosi.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa ada seseorang yang minta izin kepada Khalifah Umar untuk bicara. Umarpun mengizinkannya. Ternyata orang ini membabi buta dan mengkritik habis sang Khalifah.

‘Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, kamu tidak memberikan pemberian yang banyak kepada kami, dan tidak bersikap adil kepada kami.”

Mendengar ini, Umarpun marah, dan hendak memukul orang ini. Sampai akhirnya Al-Hur bin Qais (salah satu teman Umar) mengingatkan,

‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): ‘Berikanlah maaf, perintahkan yang baik, dan jangan hiraukan orang bodoh.’ dan orang ini termasuk orang bodoh.’

Demi Allah, Umar tidak jadi melampiaskan emosinya ketika mendengar ayat ini dibacakan. Dan dia adalah manusia yang paling tunduk terhadap kitab Allah. (HR. Bukhari 4642).

Yang penting, anda jangan berputus asa, karena semua bisa dilatih. Belajarlah untuk mengingat peringatan Allah, dan ikuti serta laksanakan. Bisa juga anda minta bantuan orang di sekitar anda, suami, istri, anak anda, pegawai, dan orang di sekitar anda, agar mereka segera mengingatkan anda dengan janji-janji di atas, ketika anda sedang marah.

Pada kasus sebaliknya, ada orang yang marah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaupun meminta salah satu sahabat untuk mengingatkannya, agar membaca ta’awudz, A-‘udzu billahi minas syaithanir rajim..

وَقَالَ: له أحد الصحابة «تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ» فَقَالَ: أَتُرَى بِي بَأْسٌ، أَمَجْنُونٌ أَنَا، اذْهَب

“Salah satu temannya mengingatkan orang yang sedang marah ini: ‘Mintalah perlindungan kepada Allah dari godaan setan!’ Dia malah berkomentar: ‘Apakah kalian sangka saya sedang sakit? Apa saya sudah gila? Pergi sana!’ (HR. Bukhari 6048).

Kelima, Segera berwudhu atau mandi

Marah dari setan dan setan terbuat dari api. Padamkan dengan air yang dingin.

Terdapat hadis dari Urwah As-Sa’di radhiyallahu ‘anhu, yang mengatakan,

إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ

Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad 17985 dan Abu Daud 4784)

Dalam riwayat lain, dari Abu Muslim Al-Khoulani, beliau menceritakan,

Bahwa Amirul Mukminin Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di hadapan masyarakat. Dan ketika itu, gaji pegawai belum diserahkan selama dua atau tiga bulan. Abu Muslim-pun berkata kepada beliau,

‘Hai Muawiyah, sesungguhnya harta itu bukan milikmu, bukan milik bapakmu, bukan pula milik ibumu.’

Mendengar ini, Muawiyah meminta hadirin untuk diam di tempat. Beliau turun dari mimbar, pulang dan mandi, kemudian kembali dan melanjutkan khutbahnya,

‘Wahai manusia, sesungguhnya Abu Muslim menyebutkan bahwa harta ini bukanlah milikku, bukan milik bapakku, bukan pula milik ibuku. Dan Abu Muslim benar. kemudian beliau menyebutkan hadis,

الغضب من الشيطان ، والشيطان من النار ، والماء يطفئ النار ، فإذا غضب أحدكم فليغتسل

Marah itu dari setan, setan dari api, dan air bisa memadamkan api. Apabila kalian marah, mandilah.

Lalu Muawiyah memerintahkan untuk menyerahkan gaji mereka.

(HR. Abu Nuaim dalam Hilyah 2/130, dan Ibnu Asakir 16/365).

Dua hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Hadis pertama dinilai lemah oleh An-Nawawi sebagaimana keterangan beliau dalam Al-Khulashah (1/122). Syuaib Al-Arnauth dalam ta’liq Musnad Ahmad menyebutkan sanadnya lemah. Demikian pula Al-Albani menilai sanadnya lemah dalam Silsilah Ad-Dhaifah no. 581.

Hadis kedua juga statusnya tidak jauh beda. Ulama pakar hadis menilainya lemah. Karena ada perowi yang bernama Abdul Majid bin Abdul Aziz, yang disebut Ibnu Hibban sebagai perawi Matruk (ditinggalkan).

Ada juga ulama yang belum memastikan kelemahan hadis ini. Diantaranya adalah Ibnul Mundzir. Beliau mengatakan,

إن ثبت هذا الحديث فإنما الأمر به ندبا ليسكن الغضب ، ولا أعلم أحدا من أهل العلم يوجب الوضوء منه

Jika hadis ini shahih, perintah yang ada di dalamnya adalah perintah anjuran untuk meredam marah dan saya tidak mengetahui ada ulamayang mewajibkan wudhu ketika marah. (Al-Ausath, 1/189).

Karena itulah, beberapa pakar tetap menganjurkan untuk berwudhu, tanpa diniatkan sebagai sunah. Terapi ini dilakukan hanya dalam rangka meredam panasnya emosi dan marah. Dr. Muhammad Najati mengatakan,

يشير هذا الحديث إلى حقيقة طبية معروفة ، فالماء البارد يهدئ من فورة الدم الناشئة عن الانفعال ، كما يساعد على تخفيف حالة التوتر العضلي والعصبي ، ولذلك كان الاستحمام يستخدم في الماضي في العلاج النفسي

Hadis ini mengisyaratkan rahasia dalam ilmu kedokteran. Air yang dingin, bisa menurunkan darah bergejolak yang muncul ketika emosi. Sebagaimana ini bisa digunakan untuk menurunkan tensi darah tinggi. Karena itulah, di masa silam, terapi mandi digunakan untuk terapi psikologi.

(Hadis Nabawi wa Ilmu An-Nafs, hlm. 122. dinukil dari Fatwa islam, no. 133861)

اَللَّهُمَّ نَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِضَا وَالغَضَبِ

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kalimat haq ketika ridha (sedang) dan marah

[Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya – shahih Jami’ As-Shaghir no. 3039].

Manakah Yang Lebih Utama, Uzlah Atau Bergaul Dengan Masyarakat?

Manakah Yang Lebih Utama, Uzlah Atau Bergaul Dengan Masyarakat?

Dizaman yang penuh fitnah ini, yaitu ketika fitnah syubhat dan syahwat begitu kerasnya menerpa, ketika kesyirikan menjamur, ketika maksiat tersebar dan dianggap biasa orang masyarakat, ketika sunnah dianggap asing dan bid’ah dianggap sunnah oleh mereka terkadang orang yang ingin berpegang teguh pada agamanya dihadapkan oleh dua pilihan: ‘uzlah (mengasingkan diri) ataukah khulthah (tetap bergaul di tengah masyarakat)? Kita simak pembahasan berikut.

Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Uzlah Demi Menjauhi Fitnah

Banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk uzlah (mengasingkan diri) demi menyelamatkan diri dari fitnah atau diri menghindari masyarakat yang banyak terjadi maksiat, kebid’ahan dan pelanggaran agama. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ ، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ اللهِ تَعالَى الذي عليهِ

Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan fitnah adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan merekapun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah” (HR. Al Hakim 4/446, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/311).

Sebagaimana juga dalam hadits,

قال رجلٌ : أيُّ الناسِ أفضلُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال ( مؤمنٌ يجاهد بنفسِه ومالِه في سبيلِ اللهِ ) قال : ثم من ؟ قال ( ثم رجلٌ مُعتزلٌ في شِعبٍ من الشِّعابِ . يعبد ربَّه ويدَعُ الناسَ من شرِّه

“Seseorang bertanya kepada Nabi: ‘siapakan manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’. Nabi menjawab: ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat’” (HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143).

Bahkan andai satu-satu jalan supaya selamat dari fitnah adalah dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada agama kita terancam hancur. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يُوشِكَ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الرَّجُلِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ

Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari fitnah” (HR. Al Bukhari 3300).

Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Untuk Bergaul Di Tengah Masyarakat 

Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Diantaranya firman Allah Ta’ala:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).

juga firman Allah Ta’ala:

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al Ashr: 1-3)

Diantaranya juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ

Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44).

Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:

فواللهِ لَأن يُهدى بك رجلٌ واحدٌ خيرٌ لك من حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh engkau menjadi sebab hidayah bagi satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Al Bukhari 2942)ز

Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:

اتَّقِ اللهَ حيثُما كنتَ ، وأَتبِعِ السَّيِّئَةَ الحسنةَ تمحُها ، و خالِقِ الناسَ بخُلُقٍ حَسنٍ

bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti dengan perbuatan baik yang bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlaq yang baik” (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami, 97).

dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain.

Memahami dan Menggabungkan Dalil-Dalil

Jika kita melihat penjelasan para ulama, ternyata dalil-dalil di atas tidaklah saling bertabrakan. Juga dengan memahami pernyataan para ulama, kita bisa mengamalkan dan menggabungkan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sehingga kita pun bisa bersikap dengan benar dan proporsional, tidak mutlak memutuskan untuk mengasingkan diri dan juga tidak mutlak memutuskan untuk bergaul di masyarakat yang buruk keadaannya.

Al Khathabi dalam kitab Al ‘Uzlah menyatakan bahwa dalil-dalil yang menganjurkan untuk berkumpul di dalam masyarakat di bawa ke makna bahwa hal itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketaatan terhadap ulil amri dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Dan sebaliknya, jika berkaitan dengan adanya pengingkaran terhadap ulil amri dan pengingkaran terhadap perintah-perintah agama maka uzlah. Adapun mengenai memutuskan untuk ijtima’ (berkumpul) atau iftiraq (memisahkan diri) secara lahiriah, maka orang yang merasa dapat menjaga kecukupan penghidupannya dan menjaga agamannya, maka lebih utama baginya untuk tetap bergaul di tengah masyarakat. Dengan syarat, ia harus tetap dapat menjaga shalat jama’ah, senantiasa menebarkan salam, menjawab salam, memenuhi hak-hak sesama muslim seperti menjenguk orang yang sakit, melayat orang yang meninggal, dan lainnya (walaupun tinggal di masyarakat yang bobrok, pent). Dan yang dituntut dalam keadaannya ini adalah meninggalkan fudhulus shahbah (terlalu berlebihan dalam bergaul atau bermasyarakat). Karena hal itu dapat menyibukkan diri, membuang banyak waktu, sehingga lalai dari hal-hal yang lebih penting. Hal itu juga dapat menjadikan kegiatan kumpul-kumpul dimasyarakat sebagai kegaitan yang sampai taraf kebutuhan baginya untuk dilakukan pagi dan malam. Yang benar hendaknya seseorang itu mencukupkan diri bergaul di masyarkat (yang buruk) sebatas yang dibutuhkan saja, yaitu yang memberikan kelonggaran badan dan hati. Wallahu’alam. (lihat Fathul Baari, 11/333, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 45).

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: “para salaf berbeda pendapat mengenai hukum asal uzlah. Jumhur ulama berpendapat bahwa bergaul di tengah masyarakat (yang bobrok) itu lebih utama karena dengan hal itu didapatkan banyak keuntungan diniyyah, semisal tersebarnya syiar-syiar Islam, memperkokoh kekuatan kaum Muslimin, tercapainya banyak kebaikan-kebaikan seperti saling menolong, saling membantu, saling mengunjungi, dan lainnya. Dan sebagian ulama berpendapat, uzlah itu lebih utama karena lebih terjamin keselamatan dari keburukan, namun dengan syarat ia memahami benar keadaan yang sedang terjadi” (Fathul Baari, 13/42, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).

An Nawawi menjelaskan: “yang lebih rajih adalah merinci masalah bergaul di masyarakat yang buruk, bagi orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia tidak akan ikut terjerumus dalam maksiat. Bagi orang yang ragu ia akan ikut bermaksiat atau tidak, maka yang lebih utama baginya adalah uzlah. Sebagian ulama mengatakan, keputusannya tergantung keadaan. Jika keadaannya saling bertentangan juga, keputusannya juga masih perlu melihat waktu. Bagi orang yang memang diwajibkan baginya untuk bergaul di masyarakat karena ia sangat mampu mengingkari kemungkaran, maka hukumnya wajib ‘ain atau wajib kifayah baginya. Tergantu keadaan dan kemungkinan yang ada. Adapun orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia masih bisa selamat di masyarakat tersebut dengan tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau orang yang merasa dirinya masih aman namun ia merasa tidak bisa menjadi orang yang shalih, (maka boleh tetap bergaul di masyarakat). Ini selama tidak ada fitnah yang tersebar luas. Adapun jika ada fitnah maka lebih dianjurkan untuk uzlah. Karena di dalam masyarakat tersebut terjadi pelanggaran syariat yang meluas (dilakukan mayoritas orang). Dan dalam keadaan ini terkadang hukuman dari Allah diturunkan bagi ashabul fitan (pelaku keburukan dimasyarakat) namun hukuman tersebar hingga orang yang tidak termasuk ashabul fitan pun terkena. sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Anfal: 25) (dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: “apakah bagi orang yang berusaha menjalani agama dengan benar itu lebih baik uzlah atau bergaul di tengah masyarakat?”. Beliau menjawab: “masalah ini walaupun para ulama khilaf, baik khilaf kulliy maupun khilaf haliy, namun yang benar adalah bergaul di tengah masyarakat terkadang wajib dan terkadang mustahab (dianjurkan). Dan seseorang terkadang diperintahkan untuk tetap bergaul di tengah masyarakat dan terkadang diperintahkan untuk menyendiri. Mengkompromikannya yaitu dengan melihat apakah dengan bergaul itu dapat terwujud saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, jika demikian maka diperintahkan untuk bergaul. Namun jika dalam bergaul di tengah masyarakat terdapat unsur saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka ketika itu terlarang. Dan berkumpul bersama orang-orang dalam berbagai jenis ibadah seperti shalat 5 waktu, shalat jum’at, shalat Id, shalat Kusuf, shalat istisqa, dan yang lainnya adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Demikian juga berkumpul bersama masyarakat dalam ibadah haji, dalam memerangi orang kafir, dalam memerangi kaum khawarij, (adalah hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya). Walau penguasa ketika itu fajir. Walaupun diantara masyarakat itu ada banyak orang fajir. Demikian juga (diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya) berkumpul bersama orang-orang dalam hal-hal yang dapat menambah keimanan, karena ia mendapat manfaat dari kumpulan itu maupun ia yang memberi manfaat, atau semisal itu.

Dan semestinya seseorang memiliki waktu menyendiri, yang ia gunakan untuk berdoa, berdzikir, shalat, ber-tafakkurmuhasabah, memperbaiki hatinya, dan hal-hal lain yang khusus untuknya tanpa ada orang lain. Ini semua butuh bersendirian. Baik di rumahnya, – sebagaimana kata Thawus: ‘sebaik-baik tempat bagi seseorang untuk menyimpan dirinya adalah rumahnya, ia dapat menahan pandangannya dan lisannya disana’ – , maupun di luar rumah.

Maka memutuskan untuk bergaul di tengah masyarakat secara mutlak, ini adalah kesalahan. Dan memutuskan untuk menyendiri secara mutlak, ini juga kesalahan. Namun untuk menakar kadar mana yang lebih utama bagi seseorang apakah yang ini ataukah yang itu, dan mana yang lebih baik baginya dalam setiap keadaan, ini sangat membutuhkan penelaahan keadaan masing-masing sebagaimana telah kami jelaskan” (Majmu’ Al Fatawa, 10/425, dinukil dari Mafatihul Fiqh 47 – 48).

Semoga bermanfaat.

Bila Malu Sudah Tiada

Bila Malu Sudah Tiada 

Malu merupakan salah satu sifat terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ قَالَ أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ

Rasulullah bersabda, “Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya atau rasa malu seluruhnya adalah kebaikan.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Iman itu terdiri dari 70 sekian atau 60 sekian cabang. Cabang iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha illalloh. Sedangkan cabang iman yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari tempat berlalu lalang. Rasa malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Suatu ketika Nabi menjumpai seorang yang sedang mencela saudaranya karena dia sangat pemalu, Nabi lantas bersabda, “Biarkan dia karena rasa malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut penuturan Imam Ibnul Qoyyim, alhaya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.

Hakikat rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.

Rasa malu itu ada dua macam. Yang pertama adalah rasa malu kepada Allah. Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Yang kedua adalah rasa malu dengan sesama manusia.

Untuk rasa malu dengan kategori pertama, Nabi jelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu duhai Rasulullah”, jawab para sahabat. Nabi bersabda,

لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, dinilai hasan karena adanya riwayat-riwayat lain yang menguatkannya oleh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 935)

Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.

Rasa malu yang kedua adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.

Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.

Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.

Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini bahwa Allah melihatnya.” (HR Bukhari).

Orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.

Rasa takut kepada Allah mencegah kerusakan sisi batin seseorang. Sedangkan rasa malu dengan sesama berfungsi menjaga sisi lahiriah agar tidak melakukan tindakan buruk dan akhlak yang tercela. Karena itu orang yang tidak punya rasa malu itu seakan tidak memiliki iman. Nabi bersabda, “Di antara perkataan para Nabi terdahulu yang masih diketahui banyak orang pada saat ini adalah jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR. Bukhari)

Makna hadits, jika orang itu sudah tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan berbagai perilaku buruk yang dia inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang merupakan faktor penghalang berbagai tindakan buruk tidak lagi terdapat pada diri orang tersebut. Siapa yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan kemungkaran.

Nabi bersabda,

الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر

“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ‘shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir, no. 1603)

Salman al Farisi mengatakan,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ

“Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”

kata-kata di atas ada yang menganggapnya sebagai sabda Nabi karena jika dinisbatkan kepada Nabi maka berstatus sebagai hadits palsu, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar. Lihat Silsilah Dhaifah karya al Albani no. 3044.

Ibnu Abbas mengatakan,

الحياء والإيمان في قرن ، فإذا سلب أحدهما اتبعه الآخر

“Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath secara marfu’ dari Ibnu Abbas no. 8548. Namun riwayat yang marfu’ ini dinilai sebagai hadits palsu oleh al Albani dalam Dhaif Jami’ no 1435)

Hadits dan perkataan dua orang sahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan. Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata yang buruk.

Oleh karena itu di zaman ini, suatu zaman yang rasa malu sudah berkurang bahkan hilang bagi sebagian orang, kemungkaran merajalela, hal-hal yang memalukan dilakukan dengan terang-terangan bahkan keburukan dinilai sebagai sebuah kebaikan. Bahkan sebagian orang merasa bangga dengan perbuatan tercela dan hina sebagaimana artis yang suka buka-bukaan atau sexy dancerWal’iyadu billah…

***

Kalau lah Bukan Karena Allah Menutupi Aib Aib Kita

Kalau lah Bukan Karena Allah Menutupi Aib Aib Kita 

Alhamdulillah, wash shalaatu wassalaamu ‘ala nabiyyinaa Muhammad, wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa man tabi’ahum bi ihsaan, wa ba’d.

Pada zaman Nabi Musa ‘alaihis salam, bani Israel ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi mereka. Mereka berkata, “Ya Kaliimallah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami.” Maka berangkatlah Musa ‘alaihis salam bersama kaumnya menuju padang pasir yang luas. Waktu itu mereka berjumlah lebih dari 70 ribu orang. Mulailah mereka berdoa dengan keadaan yang lusuh dan kumuh penuh debu, haus dan lapar.

Nabi Musa berdoa, “Ilaahi! Asqinaa ghaitsak…. Wansyur ‘alaina rahmatak… warhamnaa bil athfaal ar rudhdha’… wal bahaaim ar rutta’… wal masyaayikh ar rukka’…..”

Setelah itu langit tetap saja terang benderang… matahari pun bersinar makin kemilau… (maksudnya segumpal awan pun tak jua muncul).

Kemudian Nabi Musa berdoa lagi, “Ilaahi … asqinaa….”

Allah pun berfirman kepada Musa, “Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Umumkanlah di hadapan manusia agar dia berdiri di hadapan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian…”

Maka Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun… keluarlah ke hadapan kami…. karena engkaulah hujan tak kunjung turun…”

Seorang laki-laki melirik ke kanan dan kiri… maka tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia… saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud…..

Ia berkata dalam hatinya, “Kalau aku keluar ke hadapan manusia, maka akan terbuka rahasiaku… Kalau aku tidak berterus terang, maka hujan pun tak akan turun.”

Maka hatinya pun gundah gulana… air matanya pun menetes….. menyesali perbuatan maksiatnya… sambil berkata lirih, “Ya Allah… Aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun… selama itu pula Engkau menutupi ‘aibku. Sungguh sekarang aku bertaubat kepada Mu, maka terimalah taubatku…”

Tak lama setelah pengakuan taubatnya tersebut, maka awan-awan tebal pun bermunculan… semakin lama semakin tebal menghitam… dan akhirnya turunlah hujan.

Musa pun keheranan, “Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, namun tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia.” Allah berfirman, “Aku menurunkan hujan kepada kalian oleh sebab hamba yang karenanya hujan tak kunjung turun.”

Musa berkata, “Ya Allah… Tunjukkan padaku hamba yang taat itu.”

Allah berfirman, “Ya Musa, Aku tidak membuka ‘aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, apakah Aku membuka ‘aibnya sedangkan ia taat kepada-Ku?!”

(Kisah ini dikutip dari buku berjudul “Fii Bathni al-Huut” oleh Syaikh DR. Muhammad Al ‘Ariifi, hal. 42)

Subhaanallah… Kalaulah bukan karena Allah menutupi aib-aib kita…

***

Melepas Jilbab Berarti Melepas Kemuliaan Wanita

Melepas Jilbab Berarti Melepas Kemuliaan Wanita 

Jilbab bukanlah sebuah pilihan, tetapi memakainya adalah kewajiban wanita. Siap atau tidak siap hati seorang wanita, ketika sudah berusia baligh, seorang wanita wajib berjilbab. Tidak ada alasan untuk tidak memakainya, itu semua hanya alasan yang dibuat-buat saja dan tidak masuk akal.

Ketika ada seorang wanita yang tidak berjilbab dan ia paham benar kewajiban ini, atau ketika ada seorang wanita yang bahkan melepas jilbabnya setelah sebelumnya memakai, maka khawatirkan lah dirinya. Allah telah memberikan jalan petunjuk dan hidayah yang sangat mahal, kemudian ia menyimpang, bisa jadi Allah simpangkan ia selama-lamanya. Allah tidak akan menoleh peduli padanya lagi, wal’iyadzu Billah

Allah berfirman,

ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺯَﺍﻏُﻮﺍ ﺃَﺯَﺍﻍَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻗُﻠُﻮﺑَﻬُﻢْ

Maka ketika mereka melenceng (dari jalan yang lurus) niscaya Allah lencengkan hati-hati mereka.” (Ash-Shaff/61:5)

Jilbab itu untuk melindungi kehormatan dan menjaga wanita dari gangguan laki-laki dan keinginan laki-laki yang hanya cinta karena kecantikan saja.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيم

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab : 59)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

يقول تعالى آمرا رسوله، صلى الله عليه وسلم تسليما، أن يأمر النساء المؤمنات -خاصة أزواجه وبناته لشرفهن -بأن يدنين عليهن من جلابيبهن، ليتميزن عن سمات نساء الجاهلية وسمات الإماء

“Allah Ta’ala memerintahkan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wassalam agar dia menyuruh wanita-wanita mukmin, istri-istri dan anak-anak perempuan beliau agar mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Sebab cara berpakaian yang demikian membedakan mereka dari kaum wanita jahiliah dan budak-budak perempuan.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Apakah para wanita ingin jika:

“Ketika kecantikan mulai luntur, maka luntur juga cinta suaminya”

Tentu tidak ada yang wanita yang seperti ini. Bukankah keinginan terbesar wanita adalah cinta tulus suaminya, cinta yang tidak hanya karena kecantikan saja. Betapa banyak seorang istri bergelimang kemewahan dunia, harta dan perhiasan dunia, akan tetapi hati dan jiwanya kering karena suaminya sudah tidak cinta dan sudah sayang lagi, bahkan ia mendapatkan kedzaliman dari suami mereka, karena para laki-laki jika sudah tidak cinta lagi pada istrinya, cenderung akan mendzalimi atau tidak memperdulikan lagi.

Cinta tulus tersebut hanya abadi jika cinta karena agama dan akhlak. Ketauhilah para wanita:

“Kecantikan fisik membuat mata suami betah menetap, akan tetapi kecantikan agama dan akhlak membuat betah menetap bersama selamanya”

Cinta tersebut akan abadi selamanya jika karena Allah, bukan cinta “sehidup-semati” tetapi cinta sehidup-sesurga”.

ما كان لله أبقي

“Apa-apa yang karena Allah maka akan kekal selamanya”

Ancaman bagi wanita yang sudah baligh dan tidak berjilbab cukup keras, yaitu tidak mencium bau surga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)

Segeralah wahai wanita, kenakan pakaian kehormatan dan kemuliaanmu. Kami mendoakan, semoga semua wanita muslimah sadar dan kembali ke agama mereka.

Sunnah Membalas Hadiah Ketika Diberi Hadiah

Sunnah Membalas Hadiah Ketika Diberi Hadiah 

Salah satu kemuliaan ajaran Islam adalah sunnah memberikan hadiah kepada orang lain. Hal ini akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang serta menghilangkan perasaan yang dapat merusak persaudaraan seperti hasad, dengki, iri dan lain-lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَهَادُوا تَحَابُّوا

Hendaklah kalian saling memberi hadiah, Niscaya kalian akan saling mencintai“.[1]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa hadiah ini bisa menyebabkan persatuan dan saling cinta, bahkan terkadang memberikan hadiah lebih utama daripada sedekah pada keadaan tertentu. Beliau berkata,

ولأنها سبب للألفة والمودة. وكل ما كان سبباً للألفة والمودة بين المسلمين فإنه مطلوب؛ ولهذا يُروى عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أنه قال: (تهادوا تحابوا)، وقد تكون أحياناً أفضل من الصدقة وقد تكون الصدقة أفضل منها

“Karena hadiah merupakan sebab persatuan dan rasa cinta. Apapun yang dapat menjadi sebab persatuan dan rasa cinta antar kaum muslimin, maka ini dianjurkan. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, Niscaya kalian akan saling mencintai’. Terkadang memberi hadiah itu lebih baik dan terkadang sedekah itu lebih baik (pada keadaan tertentu).”[2]

Ketika kita diberi hadiah, hendaknya kita menerima hadiah tersebut walaupun nilainya kecil, karena hakikat dari hadiah adalah ingin menunjukkan perhatian, menimbulkan persatuan dan rasa cinta sesama kaum muslimin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

“Wahai kaum muslimah, janganlah sekali-kali seorang wanita meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya ujung kaki kambing.”[3]

Bahkan ada anjuran untuk tidak menolak saat diberikan hadiah karena bisa jadi akan menyakiti hati orang yang memberikan hadiah. Terima saja hadiah tersebut, jika kita tidak berkehendak kita bisa memberikan kepada yang lebih membutuhkan.

Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَجِيبُوا الدَّاعِيَ، وَلَا تَرُدُّوا الْهَدِيَّةَ

“Hadirilah undangan dan jangan tolak hadiah!”[4]

Selain disunnahkan memberikan hadiah, Islam juga menganjurkan kita agar membalas memberikan hadiah ketika diberikan hadiah. Bisa membalas saat itu juga atau membalas selang beberapa hari atau pekan berikutnya ketika kita mampu memberi balasan hadiah tersebut.

‘Aisyah menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menerima hadiah dan biasa pula membalasnya.”[5]

As-Shan’ani menjelaskan,

فيه دلالة على أن عادته يَةِ كانت جارية بقبول الهدية والمكافأة عليها

“Hadits ini menunjukan bahwa merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah kemudian beliau membalas memberikan hadiah.”[6]

Demikian semoga bermanfaat.

Yang Seharusnya Jadi Idola Keluarga Muslim

Yang Seharusnya Jadi Idola Keluarga Muslim 

Salah satu watak bawaan manusia sejak diciptakan Allah Ta’ala adalah kecenderungan untuk selalu meniru dan mengikuti orang lain yang dikaguminya, baik dalam kebaikan maupun keburukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف”

Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih”[1].

Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.

Dalam banyak ayat al-Qur’an, Allah Ta’ala menceritakan kisah-kisah keteladanan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi panutan bagi orang-orang yang beriman dalam meneguhkan keimanan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}

Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud:120).

Ketika menjelaskan makna ayat ini, syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Yaitu: supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para Rasul ‘alaihimush sholaatu wa salaam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shaleh, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan…”[2].

Fenomena Pemilihan Idola dalam Masyarakat

Jika kita memperhatikan kondisi mayoritas kaum muslimin, kita akan mendapati suatu kenyataan yang sangat memprihatikan, karena kebanyakan mereka justru mengagumi dan mengidolai orang-orang yang tingkah laku dan gaya hidup mereka sangat bertentangan dengan ajaran Islam, seperti para penyanyi, bintang film, pelawak dan bintang olah raga. Bahkan mereka lebih mengenal nama-nama idola mereka tersebut dari pada nama-nama para Nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam dan orang-orang yang bertakwa kepada Allah Ta’ala.

Kenyataan ini tentu saja sangat buruk dan berakibat fatal, karena setiap pengidola, tentu akan membeo segala tingkah laku dan gaya hidup idolanya, tanpa menimbang lagi apakah hal itu bertentangan dengan nilai-nilai agama atau tidak, karena toh memang mereka mengidolakannya bukan karena agama, tapi karena pertimbangan dunia dan hawa nafsu semata-mata.

Lebih fatal lagi, jika pengidolaan ini berakibat mereka mengikuti sang idola meskipun dalam hal-hal yang merusak keimanan dan akidah Islam, dan lambat laun sampai pada tahapan mengikuti keyakinan kafir dan akidah sesat yang dianut sang idola tersebut. Karena merupakan watak bawaan dalam jiwa manusia, bahwa kesamaan dalam hal-hal yang lahir antara seorang manusia dengan manusia lainnya, lambat laun akan mewariskan kesamaan dalam batin antara keduanya, disadari atau tidak. Ini berarti jika seorang muslim suka meniru tingkah laku dan gaya hidup orang kafir, maka lambat laun hatinya akan menerima dan mengikuti keyakinan rusak orang kafir tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dengan keras bahaya perbuatan ini dalam sabda beliau: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka”[3].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata, “Sesungguhnya kesamaan dalam (penampilan) lahir (antara dua orang manusia) akan mewariskan kasih sayang, cinta dan loyalitas (antara keduanya) dalam batin/hati, sebagaimana kecintaan dalam hati akan mewariskan kesamaan dalam (penampilan) lahir.

Hal ini dapat dirasakan dan dibuktikan dengan percobaan. Sampai-sampai (misalnya ada) dua orang yang berasal dari satu negeri, kemudian mereka bertemu di negeri asing, maka (akan terjalin) di antara mereka berdua kasih sayang dan cinta yang sangat mendalam, meskipun di negeri asal mereka keduanya tidak saling mengenal atau (bahkan saling memusuhi”[4].

Memilih Teladan dan Idola yang Baik bagi Keluarga

Sebagai seorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tentu kita wajib memilih idola yang baik bagi keluarga kita, yang akan memberi manfaat bagi pembinaan rohani mereka.

Dalam hal ini, idola terbaik bagi seorang muslim adalah Nabi mereka, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”[5].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling kuat dan sempurna dalam menjalankan petunjuk Allah Ta’ala, mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya[6]. Oleh karena itulah Allah Ta’ala sendiri yang memuji keluhuran budi pekerti beliau dalam firman-Nya,

{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS al-Qalam:4).

Dan ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah t ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an“[7].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan dan idola yang sempurna bagi orang-orang yang beriman kepada Allah yang menginginkan kebaikan dan keutamaan dalam hidup mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik“, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Y[8].

Kemudian setelah itu, idola yang utama bagi seorang mukmin adalah orang-orang yang teguh dalam menegakkan tauhid dan keimanan mereka, sehingga Allah Ta’ala sendiri yang memuji perbuatan mereka sebagai “suri teladan yang baik” dalam firman-Nya,

{قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ}

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri (nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (yang mengikuti petunjuknya); ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata” (QS al-Mumtahanah:4).

Ketika mengomentari ayat ini, syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Sesungguhnya keimanan dan pengharapan balasan pahala (dalam diri seorang muslim) akan memudahkan dan meringankan semua yang sulit baginya, serta mendorongnya untuk senantiasa meneladani hamba-hamba Allah yang shaleh, (utamanya) para Nabi dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dia memandang dirinya sangat membutuhkan semua itu” [9].

Demikian pula para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan shaleh yang utama bagi orang yang beriman, karena Allah memuji mereka dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya,

{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا}

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia (para sahabat y) adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi penyayang di antara sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS al-Fath:29).

Dalam hal ini, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa di antara kamu yang ingin mengambil teladan, maka hendaknya dia berteladan dengan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di umat ini, paling dalam pemahaman (agamanya), paling jauh dari sikap berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya, maka kenalilah keutaman mereka dan ikutilah jejak-jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus”[10].

Menjadikan Diri sebagai Teladan dalam keluarga

Termasuk teladan yang utama bagi kelurga kita adalah diri kita sendiri, karena tentu saja kita adalah orang yang paling dekat dengan mereka dan paling mudah mempengaruhi akhlak dan tingkah laku mereka. Maka menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anggota keluarga adalah termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[11].

Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan[12].

Dalam hal ini, imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim al-Harbi[13]. Dari Muqatil bin Muhammad al-‘Ataki, beliau berkata, Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka“[14].

Syaikh Bakr Abu Zaid, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata, “Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[15].

Pengaruh Positif Teladan yang Baik bagi Keluarga

Di antara pengaruh positif teladan yang baik adalah hikmah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayat tersebut di atas:

{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}

Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud:120).

Dalam ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang ketabahan dan kesabaran para Nabi ‘alaihimush shalaatu wa salaam dalam memperjuangkan dan mendakwahkan agama Allah sangat berpengaruh besar dalam meneguhkan hati dan keimanan orang-orang yang beriman di jalan Allah Ta’ala.

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah Ta’ala berfirman: semua yang kami ceritakan padama tentang kisah para rasul yang terdahulu bersama umat-umat mereka, ketika mereka berdialog dan beradu argumentasi (dengan umat-umat mereka), ketabahan para Nabi dalam (menghadapi) pengingkaran dan penyiksaan (dari musuh-musuh mereka), serta bagaimana Allah menolong golongan orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya (yaitu) orang-orang kafir, semua ini adalah termasuk perkara yang (membantu) meneguhkan hatimu, wahai Muhammad, agar engkau bisa mengambil teladan dari saudara-saudaramu para Nabi yang terdahulu”[16].

Imam Abu Hanifah pernah berkata: “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [17].

Demikian pula termasuk manfaat besar teladan yang baik bagi keluarga adalah menumbuh suburkan rasa kagum dan cinta dalam diri mereka kepada orang-orang bertakwa dan mulia di sisi Allah Ta’ala, yang ini merupakan sebab utama meraih kemuliaan yang agung di sisi Allah Ta’ala, yaitu dikumpulkan bersama orang-orang shaleh tersebut di surga kelak, karena seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya pada hari kiamat nanti.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”. Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Kami (para sahabat) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan (setelah masuk Islam) seperti kegembiraan kami sewaktu mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”, maka aku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan aku berharap akan (dikumpulkan oleh Allah Ta’ala) bersama mereka (di surga nanti) karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku belum mengerjakan amalan seperti amalan mereka”[18].

Penutup

Demikianlah, semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan kita untuk mengambil teladan dan petunjuk yang baik dari kisah-kisah para Nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam dalam al-Qur’an, serta memuliakan kita dengan dikumpulkan di surga kelak bersama para Nabi, para shidiq, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shaleh, Amin.

{وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا}

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan (dikumpulkan) bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS an-Nisaa’:69).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 26 Shafar 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id


[1] HSR al-Bukhari (no. 3158) dan Muslim (no. 2638).

[2] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 392).

[3] HR Ahmad (2/50) dan Abu Dawud (no. 4031), dinyatakan hasan shahih oleh syaikh al-Albani.

[4] Kitab “Iqtidha-ush shiraathal mustaqiim” (hal. 221).

[5] HR Ahmad (2/381) dan al-Hakim (no. 4221), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 45).

[6] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).

[7] HSR Muslim (no. 746).

[8] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).

[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 856).

[10] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 1118).

[11] Lihat “al-Mu’in ‘ala tahshili adabil ‘ilmi” (hal. 50) dan “Ma’alim fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal. 124).

[12] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 271).

[13] Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).

[14] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).

[15] Kitab “Hirasatul fadhiilah” (hal. 127-128).

[16] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/611).

[17] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 595).

[18] HSR al-Bukhari (no. 3485) dan Muslim (no. 2639).

Dalam Islam Lelaki Itu Jantan

Dalam Islam Lelaki Itu Jantan

Banyak adab-adab dalam Islam bagi para lelaki yang mengarahkan mereka untuk jadi lelaki sejati. Maka yang menerapkan adab-adab tersebut insya Allah jauh dari suka sesama jenis atau LGBT, bahkan akan jadi lelaki yang sejati.

  1. Islam melarang laki-laki menyerupai wanita

Tidak diperbolehkan menyerupai lawan jenis dalam bertingkah-laku, berkata-kata, dan dalam semua perkara demikian juga dalam hal berpakaian. Laki-laki tidak boleh menyerupai wanita, demikian juga sebaliknya. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari no. 5885).

Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, ia berkata:

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang kebanci-bancian dan para wanita yang kelaki-lakian”. Dan Nabi juga bersabda: “keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian!” (HR. Bukhari no. 5886).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ

“Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, ad dayyuts, dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At Tauhid 861/2, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 3063).

Maka hendaknya para lelaki gunakan pakaian yang dikenal sebagai pakaian lelaki, demikian juga wanita hendaknya gunakan pakaian yang dikenal sebagai pakaian wanita.

  1. Islam mengharamkan lelaki memakai pakaian dan perhiasan yang menjadi kekhususan bagi wanita

Islam membolehkan sebagian pakaian dan perhiasan khusus bagi wanita namun haram bagi lelaki, agar terbedakan penampilan wanita dan lelaki

Diantaranya, laki-laki Muslim dilarang menggunakan pakaian dari sutra. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن لبِس الحريرَ في الدُّنيا لم يلبَسْه في الآخرةِ وإنْ دخَل الجنَّةَ لبِسه أهلُ الجنَّةِ ولم يلبَسْه هو

“Barangsiapa yang memakai pakaian dari sutra di dunia, dia tidak akan memakainya di akhirat. Walaupun ia masuk surga dan penduduk surga yang lain memakainya, namun ia tidak memakainya” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, no. 5437, dishahihkan oleh Al Aini dalam Nukhabul Afkar 13/277).

Ath Thahawi rahimahullah mengatakan:

الآثار متواترة بذلك

“Hadits-hadits tentang ini (larangan memakai sutra) mutawatir” (Syarah Ma’anil Atsar, 4/246).

Dan larangan ini berlaku untuk laki-laki. Adapun wanita dibolehkan menggunakan pakaian sutra. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

أُحلَّ الذهبُ والحريرُ لإناثِ أُمتي، وحُرِّم على ذكورِها

“Dihalalkan emas dan sutra bagi wanita dari kalangan umatku, dan diharamkan bagi kaum laki-lakinya” (HR. An Nasa’i no. 5163, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Demikianlah, agar laki-laki terbedakan dari wanita dari segi cara berpakaian.

  1. Islam mewajibkan suami mencari nafkah, sedangkan istri tidak wajib bahkan untuk dibolehkan ada syarat-syaratnya

Memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami. Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:

عن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت‏:‏ أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏‏”‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏

“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.

Adapun wanita, tidak ada kewajiban bekerja dan mencari nafkah. Bahkan lebih utama bagi mereka untuk lebih banyak di rumah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan tinggal-lah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian.” (QS. Al Ahzab [33]: 33)

Ibnu Katsir menjelaskan, “Ayat ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali ada kebutuhan” (Tafsir Al Quran Al Adzim 6/408).

  1. Islam mewajibkan lelaki shalat berjamaah di masjid, sedangkan wanita lebih baik di rumah

Laki-laki wajib menunaikan shalat berjama’ah di masjid. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لقد هممت أن آمر بالصلاة فتقام ثم آمر رجلا فيصلي بالناس ثم أنطلق معي برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة فأحرق عليهم بيوتهم بالنار

Sungguh aku benar-benar berniat untuk memerintahkan orang-orang shalat di masjid, kemudian memerintahkan seseorang untuk menjadi imam, lalu aku bersama beberapa orang pergi membawa kayu bakar menuju rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah lalu aku bakar rumahnya” (HR. Bukhari no. 7224, Muslim no. 651).

Andaikan di rumah-rumah tidak ada wanita dan anak-anak kecil, beliau sudah melakukan hal tersebut. Sebagaimana dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

لولا ما في البيوتِ مِنَ النِّساءِ والذرِّيَّةِ لَأقَمتُ الصَّلاةَ، صلاةَ العشاءِ، وأَمَرتُ فتياني يُحَرِّقون ما في البيوتِ بالنَّارِ

Andaikan di rumah-rumah tidak ada wanita dan anak-anak kecil sungguh aku akan dirikan shalat Isya kemudian aku perintahkan para pemuda untuk membakar rumah-rumah dengan api” (HR. Ahmad no. 8796, dishahikan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

Maka tidak mungkin sikap beliau demikian tegas dan kerasnya, andaikan shalat berjamaah di masjid hanya disunnahkan.

Adapun wanita, sebagaimana dipahami dalam hadits Abu Hurairah di atas, mereka (wanita) tidak wajib shalat berjama’ah di masjid. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak jadi menghukum orang-orang yang mangkir shalat jama’ah dikarenakan di rumah-rumah ada para wanita. Menunjukkan para wanita tidak wajib shalat di masjid. 

Kemudian dalam hadits Ummu Humaid radhiallahu’anha, beliau berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاةَ مَعِي وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

“Wahai Rasulullah, saya ingin shalat bersama anda.” Maka Nabi menjawab: “Aku sudah tahu bahwa engkau ingin shalat bersamaku, namun shalatmu di kamar tempatmu tidur lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di ruang tengah rumahmu. Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kampungmu. Dan shalatmu di masjid kampungmu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini”. Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat shalat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan biasa melakukan shalat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (yaitu hingga beliau wafat)” (HR. Ibnu Hibban no. 2217, Ibnu Khuzaimah no. 1689, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Khuzaimah).

  1. Islam mewajibkan shalat jum’at, sedangkan wanita tidak diwajibkan

Ulama ijma’ (sepakat) bahwa wanita tidak wajib melaksanakan shalat jum’at. Dari Thariq bin Syihab radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الجمعةُ حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسلمٍ فبجماعةٍ إلاَّ أربعةً عبدٌ مملوكٌ أوِ امرأةٌ أو صبيٌّ أو مريضٌ

“Shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak kecil, orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

  1. Islam mensyariatkan ketika mengingatkan imam dalam shalat, lelaki dengan suara, wanita dengan tepukan.

Menunjukkan bahwa lelaki boleh lantang, sedangkan wanita dikedepankan sitr (menutup diri) dan malu. Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ، مَنْ رَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ، فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ التُفِتَ إِلَيْهِ، وَإِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ

“Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan? Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepuk tangan itu untuk wanita.” (HR. Bukhari no. 684 dan Muslim no. 421).

  1. Islam menganjurkan agar lelaki tidak sisiran tiap hari

Laki-laki tidak boleh berlebihan dalam merawat rambut sehingga sibuk dandan dan bersolek. Karena dandan dan bersolek itu tabiat wanita. Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu’anhu:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ التَّرَجُّلِ إِلَّا غِبًّا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang laki-laki menyisir rambutnya kecuali ghibban (sehari menyisir, sehari tidak)” (HR. Abu Daud no.3628, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Bukan berarti tidak boleh menyisir setiap hari, namun makna hadits ini adalah larangan berlebihan dalam berdandan bagi lelaki. Sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Buraidah radhiallahu’anhu:

كانَ ينْهانا عن كثيرٍ منَ الإرفاهِ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang kami terlalu banyak berdandan” (HR. Abu Daud no. 4160, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Asy Syaukani menjelaskan hadits Abdullah bin Mughaffal dengan mengatakan:

والحديث يدل على كراهة الاشتغال بالترجيل في كل يوم؛ لأنه نوع من الترفه

“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya menyibukkan diri dengan menyisir rambut setiap hari. Karena ini adalah bentuk terlalu banyak berdandan” (Nailul Authar, 1/159).

  1. Islam melarang lelaki mencukur jenggot

Diantara hikmahnya agar wajah lelaki tidak halus lembut seperti wanita. Banyak sekali dalil-dalil yang memerintahkan kaum lelaki untuk memelihara jenggot. Dan semuanya menggunakan gaya bahasa perintah. Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

“Bedakan diri kalian dengan orang-orang Musyrikin, lebatkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis” (HR. Bukhari no. 5892, Muslim no. 259).

Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

انهكوا الشواربَ ، وأعفوا اللحى

“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot” (HR. Bukhari no. 5893, Muslim no. 259).

Oleh karena itu tidak diperbolehkan memangkas jenggot, hukumnya haram. Terlebih lagi memangkas habis jenggot, para ulama mutaqaddimin ijma (sepakat) tentang keharamannya.

Ibnu Hazm mengatakan;

واتَّفَقوا أنَّ حَلقَ جميعِ اللِّحيةِ مُثْلةٌ لا تجوزُ

“Para ulama sepakat bahwa memangkas habis jenggot adalah sebuah maksiat, tidak diperbolehkan” (Maratibul Ijma’, 120).

Ibnu Qathan mengatakan:

واتفقوا أن حلق اللحية : مُثْلَة ، لا تجوز

“Ulama sepakat bahwa memangkas habis jenggot adalah maksiat, tidak diperbolehkan” (Al Iqna fi Masail Al Ijma‘, 2/3953).

  1. Islam mensyariatkan jihad bagi lelaki. Sedangkan jihad bagi wanita adalah haji

Jihad adalah amalan yang utama dan tinggi. Allah ta’ala berfirman:

لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلّاً وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْراً عَظِيماً

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” (QS. An-Nisaa: 95)

Namun jihad itu hanya wajib bagi lelaki, wanita tidak ada kewajiban jihad perang. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam, 

يَا رَسَوْلَ اللهِ، هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ: جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ، اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ.

“Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi wanita?” Beliau menjawab, “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah” (HR. Ibni Majah II/968, no. 2901, dishahihkan Al Albani dalam Shahih al-Jami’ish Shaghir no. 2345).

  1. Disyariatkan pula semua hal yang termasuk i’dad jihad (persiapan jihad)

Seperti berlatih berkuda, memanah, berenang, bahkan termasuk juga bela diri, lari, dan melatih fisik. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu’anhu) ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: 

عَلَيْكُمْ بِالرَّمْيِ ، فَإِنَّهُ خَيْرٌ لَعِبِكُمْ

“hendaknya kalian latihan menembak karena itu permainan yang paling bagus bagi kalian” (HR. Al Bazzar dalam Musnad-nya (1048), Al ‘Athar dalam Juz-nya (52), Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath (2093), dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 2/204-205).

Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits:

ألا إنَّ القوةَ الرميُ

“ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak”

Beliau menjelaskan: “Dalam hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna ada keutamaan skill menembak serta keutamaan skill militer, juga anjuran untuk memberi perhatian pada hal tersebut dengan niat untuk jihad fii sabiilillah. Termasuk juga latihan keberanian dan latihan penggunaan segala jenis senjata. Juga perlombaan kuda, serta hal-hal lain yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maksud dari semua ini adalah untuk latihan perang, mengasah skill dan mengolah-ragakan badan” (Syarh Shahih Muslim, 4/57).

  1. Islam melarang khalwat dan ikhtilat

Diantara hikmahnya lelaki akan lebih sering berkumpul bersama para lelaki dan terbentuk karakter lelaki. Munculnya sifat kewanitaan terkadang karena sering berkumpul dengan para wanita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ

“Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341).

Imam An Nawawi berkata: “adapun jika lelaki ajnabi dan wanita ajnabiyah berduaan tanpa ada orang yang ketiga bersama mereka, hukumnya haram menurut ijma ulama. Demikian juga jika ada bersama mereka orang yang mereka berdua tidak malu kepadanya, semisal anak-anak kecil seumur dua atau tiga tahun, atau semisal mereka, maka adanya mereka sama dengan tidak adanya. Demikian juga jika para lelaki ajnabi berkumpul dengan para wanita ajnabiyyah di suatu tempat, maka hukumnya juga haram” (Syarh Shahih Muslim, 9/109).

  1. Islam menganjurkan untuk bersegera menikah.

Diantara hikmahnya, dengan menikah lelaki akan semakin timbul kelaki-lakiannya, dan wanita semakin timbul kewanitaannya. Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400).

  1. Islam melarang istri menolak ajakan berhubungan intim dari suami, bahkan bercumbu dengan istri termasuk sedekah.

Lebih sering terjadi percumbuan dan hubungan intim antara suami istri, lebih baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ » قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

“Hubungan intim antara kalian adalah sedekah”. Para sahabat lantas ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu malah mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada wanita yang haram, kalian mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika kalian bersetubuh dengan wanita yang halal, kalian akan mendapatkan pahala” (HR. Muslim no. 1006).

  1. Islam menganjurkan untuk memiliki banyak anak.

Tentu ini juga mempertajam sifat kelaki-lakian sang ayah. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,

تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم

“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Misykatul Mashabih).

  1. Islam mengajarkan adab berjalan bagi lelaki yang jantan

Jalan yang baik bagi lelaki adalah tegap, gagah, tenang tapi tidak lambat, tidak seperti orang malas dan juga tidak gemulai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan dengan enerjik, mengerahkan tenaganya, bukan jalannya orang yang malas atau loyo. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَشَى، مَشَى مَشْيًا مُجْتَمِعًا يُعْرَفُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَشْيِ عَاجِزٍ وَلا كَسْلانَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berjalan beliau berjalan dengan enerjik, sehingga sangat terlihat bahwa beliau bukan orang yang lemah dan juga bukan orang yang malas” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2140).

Maka berjalan yang baik adalah dengan tenang dan berwibawa tidak harus lambat dan loyo. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan dengan tenang dan berwibawa namun juga cepat dan bertenaga. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

إذا مشَى تكفَّأ تكفُّؤًا كأنَّما ينحَطُّ من صبَبٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berjalan menghentakkan kakinya seakan-akan ia turun dari tempat yang tinggi” (HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah, no.120, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail).

Ali Al-Qari menjelaskan makna hadits tersebut dengan mengatakan:

وَالْمَعْنَى يَمْشِي مَشْيًا قَوِيًّا سَرِيعًا. وَفِي شَرْحِ السُّنَّةِ: الصَّبَبُ الْحُدُورُ، وَهُوَ مَا يَنْحَدِرُ مِنَ الْأَرْضِ يُرِيدُ لَهُ أَنَّهُ كَانَ يَمْشِي مَشْيًا قَوِيًّا يَرْفَعُ رِجْلَيْهِ مِنَ الْأَرْضِ رَفْعًا بَائِنًا لَا كَمَنْ يَمْشِي اخْتِيَالًا وَيُقَارِبُ خُطَاهُ تَنَعُّمًا

“Maknanya, beliau berjalan dengan jalan yang kuat dan cepat. Dalam Syarhus Sunnah, ash-shabab artinya al-hudur, yaitu jalan yang digunakan untuk turun dari suatu tempat. Maksudnya, beliau berjalan dengan jalan yang kuat, dengan benar-benar mengangkat kakinya dari tanah, bukan seperti jalannya orang yang sombong atau seperti orang yang santai-santai” (Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, 9/3704).

Dan masih banyak lagi insya Allah adab-adab yang lain yang jika kita renungkan ternyata membuat seorang lelaki menjadi lelaki sejati.

Belum lagi jika kita membaca sirah para Nabi dan sahabat Nabi, mereka adalah lelaki sejati. Mereka gagah perkasa, baik dalam jihad ilmu maupun dalam jihad perang.