Dilarang Meniup Makanan dan Minuman

Dilarang Meniup Makanan dan Minuman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniup makanan atau minuman, sekalipun masih panas. Ada solusi lain yang bisa menjadi alternatif, agar tidak melanggar larangan ini.

Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan larangan meniup makanan atau minuman. Diantaranya,

1. Hadis dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ، وَإِذَا أَتَى الخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ…

Apabila kalian minum, janganlah bernafas di dalam gelas, dan ketika buang hajat, janganlah menyentuh kemaluan dengan tangan kanan… (HR. Bukhari 153).

2. Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الإِنَاءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bernafas di dalam gelas atau meniup isi gelas. (HR. Ahmad 1907, Turmudzi 1888, dan dishahihkan Syuaib Al-Arnauth).

Mengapa dilarang ditiup?

An-Nawawi mengatakan,

والنهي عن التنفس في الإناء هو من طريق الأدب مخافة من تقذيره ونتنه وسقوط شئ من الفم والأنف فيه ونحو ذلك

Larangan bernafas di dalam gelas ketika minum termasuk adab. Karena dikhawatirkan akan mengotori air minum atau ada sesuatu yang jatuh dari mulut atau dari hidung atau semacamnya. (Syarh Shahih Muslim, 3/160)

Hal yang sama juga disampaikan Ibnul Qoyim,

وأما النفخ في الشراب فإنه يكسبه من فم النافخ رائحة كريهة يعاف لأجلها ولا سيما إن كان متغير الفم وبالجملة : فأنفاس النافخ تخالطه ولهذا جمع رسول الله صلى الله عليه و سلم بين النهي عن التنفس في الإناء والنفخ فيه

Meniup minuman bisa menyebabkan air itu terkena bau yang tidak sedap dari mulup orang yang meniup. Sehingga membuat air itu menjijikkan untuk diminum. Terutama ketika terjadi bau mulut. Kesimpulannya, nafas orang yang meniup akan bercampur dengan minuman itu. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan larangan bernafas di dalam gelas dengan meniup isi gelas. (Zadul Ma’ad, 4/215).

Bolehkah Menggunakan Kipas Angin?

Memperhatikan alasan yang disampaikan oleh An-Nawawi dan Ibnul Qoyim tentang mengapa kita dilarang meniup makanan, bisa kita simpulkan bahwa menggunakan kipas dalam hal ini dibolehkan. Dengan syarat, kipas yang digunakan bukan kipas yang berdebu, yang kotor, sehingga justru menyebarkan penyakit pada makanan atau minuman.

Allahu a’lam

Pakaian Terbaik Pakaian Putih

Pakaian Terbaik Pakaian Putih 

Pakaian putih adalah pakaian yang terbaik, sampai-sampai dikatakan dalam sabda Nabi bahwa pakaian tersebut yang lebih baik dan lebih bersih. Karena memang seseorang yang mengenakan pakaian ini terlihat lebih indah dan bersih, juga si pengguna akan senantiasa menjaga bajunya agar tidak terkena kotoran.

Perintah Memakai Pakaian Putih

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah beberapa hadits berikut,

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Pakailah pakaian putih karena pakaian seperti itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan kafanilah mayit dengan kain putih pula” (HR. Abu Daud no. 4061, Ibnu Majah no. 3566 dan An Nasai no. 5325. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalam lafazh An Nasai disebutkan pula,

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Pakailah pakaian putih karena pakaian seperti itu lebih bersih dan lebih baik. Dan kafanilah pula mayit dengan kain putih.” (HR. An Nasai no. 5324, hadits shahih).

Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi teladan memakai pakaian putih. Dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَعَلَيْهِ ثَوْبٌ أَبْيَضُ

Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan memakai pakaian putih” (HR. Bukhari no. 5827).

Dalam riwayat Muslim disebutkan, Abu Dzar berkata,

أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ نَائِمٌ عَلَيْهِ ثَوْبٌ أَبْيَضُ

Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau dalam keadaan tidur dan ketika itu mengenakan baju putih.” (HR. Muslim no. 94).

Perintah memakai pakaian putih di sini dihukumi sunnah, bukan wajib. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Bulughil Marom.

Hikmah Memakai Pakaian Putih

Dalam Hasyiyah As Sindi disebutkan,

لِأَنَّهُ يَظْهَر فِيهَا مِنْ الْوَسَخ مَا لَا يَظْهَر فِي غَيْرهَا فَيُزَال وَكَذَا يُبَالَغ فِي تَنْظِيفهَا مَا لَا يُبَالَغ فِي غَيْرهَا وَلِذَا قَالَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهَا أَطْهَر وَأَطْيَب

“Karena pakaian putih sangat jelas bila terdapat kotoran yang hal ini tidak tampak pada pakaian warna lainnya. Begitu pula pencuciannya lebih diperhatikan daripada pencucian dalam pakaian lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyebut pakain putih sebagai pakaian yang lebih bersih dan lebih baik.”

Boleh Pula Memakai Pakaian Selain Putih

Anjuran pakaian putih di sini tidak menafikan bolehnya memakai pakaian warna lainnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi lainnya pernah memakai pakaian warna lain. Lihat Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom karya Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, 4: 270.

Disebutkan dalam Shahih Al Bukhari, Al Baro’ berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَرْبُوعًا ، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِى حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), saya melihat beliau mengenakan pakaian merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari no. 5848).

Pakaian Putih untuk Pria ataukah Wanita?

Guru kami, Syaikh Dr. Sholih Al Fauzan –semoga Allah senantiasa memberkahi umur beliau– mengatakan, “Ketika masih hidup, pakaian putih itu lebih baik bagi pria. Sedangkan ketika jadi mayit, pakaian putih lebih baik pada pria maupun wanita.” Lihat Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Marom, 3: 31.

Namun Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata bahwa perintah memakai pakaian putih berlaku untuk pria maupun wanita. Karena walau asalnya kata perintah tersebut untuk pria, namun perintah tersebut berlaku pula untuk wanita. Karena hukum asalnya ada kesamaan di antara keduanya sampai ada dalil yang membedakan. Begitu pula jika ada dalil untuk wanita, maka itu pun berlaku untuk pria kecuali jika ada dalil yang membedakan. … Intinya sah-sah saja jika wanita mengenakan pakaian putih akan tetapi dengan syarat tidak sama dengan mode pakaian pria. Karena jika sama modenya, maka itu berarti tasyabbuh. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang bergaya seperti pria.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga mengatakan bahwa pakaian putih di sebagian tempat memang sudah jadi kebiasaan. Namun bagi yang berada di Najed (Riyadh Saudi Arabia, sekitarnya), pakaian putih untuk wanita adalah pakaian berhias diri. Oleh karena itu, di Najed wanita tidak diperkenankan mengenakan pakaian putih. Demikian ringkasan dari penjelasan beliau dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, 5: 434.

Hanya Allah yang memberikan taufik ke jalan yang penuh hidayah.

Wanita Haram Memakai Parfum

Wanita Haram Memakai Parfum 

Sebagian wanita yang sudah belajar agama ada yang salah memahami bahwa parfum itu haram dan tidak boleh bagi wanita. Mungkin karena membaca hadits berikut.

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad. Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ , no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Memang benar, akan tetapi yang dimaksud hadits tersebut adalah parfum untuk keluar rumah dan laki-laki bisa mencium wanginya dan bisa membangkitkan syahwat laki-laki.

Al-Munawi rahimahullah berkata,

والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فقد هيجت شهوة الرجال بعطرها وحملتهم على النظر إليها، فكل من ينظر ‏إليها فقد زنا بعينه، ويحصل لها إثمٌ لأنها حملته على النظر إليها وشوشت قلبه، فإذن هي سببُ زناه بالعين، فهي أيضاً زانية

“Wanita jika memakai parfum kemudian melewati majelis (sekumpulan) laki-laki maka ia bisa membangkitkan syahwat laki-laki dan mendorong mereka untuk melihat kepadanya. Setiap yang melihat kepadanya maka matanya telah berzina. Wanita tersebut mendapat dosa karena memancing pandangan kepadanya dan membuat hati laki-laki tidak tenang. Jadi, ia adalah penyebab zina mata dan ia termasuk pezina.” (Faidhul Qadir, 5:27, Makatabah At-Tijariyah, cet. 1, 1356 H, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Islam memang tegas dalam hal ini, mengingat sangat besarnya fitnah wanita terhadap laki-laki. Bahkan jika sudah terlanjur memakai parfum kemudian hendak ke masjid, sang wanita diperintahkan mandi agar tidak tercium bau semerbaknya. Padahal tujuan ke masjid adalah untuk beribadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أيما امرأة تطيبت ثم خرجت إلى المسجد لم تقبل لها صلاة حتى تغتسل

“Perempuan manapun yang memakai parfum kemudian keluar ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sehingga ia mandi.” (Hadits riwayat Ahmad, 2:444. Syaikh Al-Albani menilainya shahih dalam Shahihul Jami’, no.2703)

Ada parfum yang boleh bagi perempuan

Larangan diatas bukan berarti perempuan tidak boleh memakai wewangian sama sekali atau dibiarkan berbau tak sedap. Perhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إن طيب الرجال ما خفي لونه وظهر ريحه ، وطيب النساء ما ظهر لونه وخفي ريحه

“Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi tampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no.7564; hadits hasan. Lihat: Fiqh Sunnah lin Nisa’, hlm. 387)

Oleh karena itu, jika parfum dengan wangi sedikit/samar atau untuk sekadar menetralkan bau, (misalnya: deodoran), maka boleh. Selain itu, jika untuk suami, silakan berwangi seharum mungkin. Perlu diperhatikan bahwa parfum wanita warnanya jelas.

Al-Munawi rahimahullah berkata,

وطيب النساء ما ظهر لونه وخفي ريحه) قالوا: هذا فيمن تخرج من بيتها وإلا فلتطيب بما شاءت

“Maksud dari ‘wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak’. Ulama berkata, ‘Ini bagi perempuan yang hendak keluar dari rumahnya. Jika tidak, ia bisa memakai parfum sekehendak hatinya.’” (Syarh Asy-Syama’il, 2:5)

***

Mencintai Allah Azza Wajalla

Mencintai Allah Azza Wajalla 

Mukmin yang bersih fitrahnya dan lurus pemahaman Islamnya tentunya akan mencintai Allah Ta’ala. Bukan sekedar teori, namun kecintaan yang dilandasi iman dan ilmu syariat, sebagaimana petunjuk Islam. Mukmin yang melabuhkan cintanya kepada Allah Ta’ala akan merasakan kebahagiaan hakiki, sebuah kenikmatan yang paling nikmat.

Puncak kenikmatan sejati

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab al-Wabilush Shayyib (hlm. 64-65) menuliskan: “Cinta, mengenal, senantiasa mengingat Allah, merasa tenteram lagi damai di sisi Allah, dan mengesakan-Nya dengan rasa cinta, takut, harap, tawakal dan perbuatan, sehingga hanya Allah Ta’ala yang menguasai hasrat dan tekadnya adalah surga kehidupan dunia dan kenikmatan yang tara.”

Beliau juga mengatakan: “Seandainya para raja dan putra-putrinya mengetahui kebahagiaan yang sedang kita alami, niscaya mereka akan memerangi kita (karena) ingin memperebutkannya.” Dan yang lain berkata: “Betapa kasihannya para pengejar kekayaan dunia, mereka mati meninggalkan kehidupan dunia, tetapi tidak pernah merasakan kenikmatan dunia yang paling nikmat. Maka ada orang yang bertanya kepadanya: “Kenikmatan dunia apakah yang paling nikmat?” Ia menjawab: “Rasa cinta kepada Allah Ta‘ala, mengenal-Nya, dan senantiasa mengingat-Nya.”

Bukti mencintai Allah Ta‘ala

Bukti bahwa seseorang mencintai Allah dan sekaligus indikasi bahwa seseorang meraih cinta Allah Ta‘ala adalah mencintai dan mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta‘ala berfirman:

(قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ)

Katakanlah: “Jika engkau (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.”” (QS. Ali -‘Imran : 31)

Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan: “Dalam ayat ini ada penjelasan tentang bukti cinta kepada Allah, manfaat, dan buahnya. Bukti dan tanda cinta kepada Allah adalah mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Manfaat cinta kepada Allah serta buahnya adalah mendapatkan kecintaan dari Allah, rahmat-Nya, serta ampunan-Nya.” (Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqad, hlm. 55)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Di antara perkara yang hendaknya dipahami, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya) : “(Katakanlah (wahai Rasul), “ Jika engkau mencintai Allah ‘Azza wa Jalla maka ikutilah aku (Rasul), niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan mencintaimu.” Sebagian salaf berkata : “Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada suatu kaum yang mengaku-aku bahwa mereka mencintai Allah. Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat ini: “Katakanlah (wahai Rasul) jika engkau mencintai Allah ‘Azza wa Jalla maka ikutilah aku (Rasul), niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan mencintaimu.” Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan bahwa kecintaan kepada-Nya menuntut ittiba’ (mengikuti) kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ittiba’ kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebabkan kecintaan Allah ‘Azza wa Jalla kepada hamba. Dan ini adalah ujian yang mengaku mencintai Allah ‘Azza wa Jalla. Karena di dalam masalah ini telah banyak pengakuan dan kesamaran.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10/81)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat ini menjadi dalil bahwa setiap orang yang mengaku mencintai Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dia tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia telah berdusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti syariat dan agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatannya.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim , I/358)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Kekokohan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla hanyalah dengan mengikuti Rasul di dalam perbuatan, perkataan, dan akhlak beliau. Maka munculnya kecintaan ini, kekokohan dan, kekuatannya sesuai dengan ittiba’ ini. Dan kekurangan hal ini sesuai dengan berkurangnya hal ini.” (Madarijus Salikin, 3/37)

Semoga kita diberi kekuatan iman agar dapat mengekspresikan kecintaan kepada Allah Ta’ala, diberi kegigihan dalam mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadah, akhlak dan, muamalah. Mukmin sejati adalah pribadi memesona yang berpegang teguh pada jalan Allah dan Rasul-Nya.

Wallahu a’lam.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:
1. Kebangkitan Paham Abu Jahal, Ustadz Muhamad Arifin bin Badri, Pustaka Darul Ilmi, Jakarta, 2007.
2. Majalah El-Fata edisi 07. Vol. 15. 2015.
3. Majalah El-Fata edisi 09. Vol . 16. 2016.
4. Majalah El-Fata edisi 12. Vol 19. 2019.

Bahaya Memutus Hubungan Kekerabatan

Bahaya Memutus Hubungan Kekerabatan 

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjaga hubungan silaturahim. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya, kamu saling meminta satu sama lain. Dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1)

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan membuat kerusakan di bumi, mereka itulah orang-orang yang memperoleh laknat dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (QS. Ar-Ra’du: 25)

Termasuk yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk disambung adalah hubungan kekerabatan. Adanya ancaman laknat Allah pada ayat ini menunjukkan bahwa memutuskan hubungan kekerabatan termasuk dosa besar.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ

Maka, apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka dan dibutakan penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang membuat kerusakan di muka bumi dan orang yang memutuskan hubungan kekerabatan akan mendapatkan hukuman, baik di dunia dan di akhirat. Hukuman di dunia berupa dibutakan mata dan ditulikan telinganya. Sedangkan hukuman di akhirat berupa laknat Allah Ta’ala.

Penglihatan yang dibuat buta oleh Allah Ta’ala adalah pandangan hati, bukan pandangan mata secara fisik. Akibatnya, dirinya akan melihat kebatilan sebagai sebuah kebenaran, dan sebaliknya, dia melihat kebenaran sebagai sebuah kebatilan. Begitu pula pendengaran yang dibuat tuli oleh Allah Ta’ala bukanlah pendengaran secara fisik. Akan tetapi, telinganya dibuat tuli sehingga tidak mampu lagi mendengarkan kebenaran. Dan seandainya dapat mendengarkan kebenaran pun, dirinya tidak dapat mengambil manfaat dari kebenaran yang didengarnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaitkan keimanan terhadap Allah dan hari akhir dengan menyambung hubungan kekerabatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Dan barangsiapa yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia menyambung kekerabatannya.” (HR. Bukhari no. 6138 dan Muslim no. 47)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam orang-orang yang memutus hubungan kekerabatan, bahwa mereka tidak akan masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

Tidak masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan.” (HR. Bukhari no. 5984 dan Muslim no. 2556)

Ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa tidak masuk surga bagi orang yang memutus hubungan kekerabatan menunjukkan bahwa memutus hubungan kekerabatan termasuk dosa besar karena terdapat ancaman khusus, baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ، فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنَ الْقَطِيعَةِ، قَالَ: نَعَمْ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ، وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلَى

Sesungguhnya Allah menciptakan semua makhluk. Sampai ketika Allah selesai menciptakan makhluk, maka berdirilah rahim (kekerabatan). Dan rahim berkata, ‘Ini adalah berdirinya makhluk yang meminta perlindungan kepada-Mu, jangan sampai aku diputus.’ Allah mengatakan, ‘Iya (engkau tidak boleh diputus). Tidakkah engkau rida bahwa Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan Aku akan memutus orang yang memutusmu?’ Rahim mengatakan, ‘Iya, (saya rida).’” (HR. Bukhari no. 7502 dan Muslim no. 2554) 

Hadis ini menunjukkan satu perkara gaib bahwa rahim (kekerabatan) itu bisa berbicara. Berkaitan dengan hal tersebut, sikap kita sebagai orang yang beriman adalah wajib untuk meyakini dan tidak boleh membicarakannya secara detail (bagaimana bentuk atau hakikatnya) tanpa disertai ilmu.

Menyambung hubungan kekerabatan adalah sebab lapangnya rezeki dan panjang umur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya dia menyambung hubungan kekerabatan.” (HR. Bukhari no. 5986 dan Muslim no. 2556)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ اللَّهُ: أَنَا الرَّحْمَنُ وَهِيَ الرَّحِمُ، شَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِي، مَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ

Aku adalah Ar-Rahman, dan dia adalah rahim. Aku berikan dia pecahan dari nama-Ku [yaitu rahim (kekerabatan), pent.]. Barangsiapa yang menyambungnya, maka Aku akan menyambungnya. Dan barangsiapa yang memutusnya, maka Aku akan memutusnya.” (HR. Abu Dawud no. 1694 dan Tirmidzi no. 1908)

Seorang yang kaya janganlah memutus hubungan kekerabatan dengan saudaranya yang miskin. Demikian pula, janganlah memutus hubungan kekerabatan dengan sikap yang tidak sopan dan menyakiti hati kerabatnya. Misalnya, tidak memperhatikan atau pura-pura tidak mengetahui bagaimanakah keadaan kerabatnya. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بلوا أرحامكم ولو بالسلام

Basahilah rahim kalian (sambunglah hubungan kekerabatan, pent.), walaupun hanya dengan (sekedar) mengucapkan salam.” (HR. Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat, 1: 75. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)

***

NIKMAT BERUJUNG BENCANA PELAJARAN DARI KEHANCURAN KAUM SABA’

NIKMAT BERUJUNG BENCANA PELAJARAN DARI KEHANCURAN KAUM SABA’

Sungguh Allâh Azza wa Jalla telah memberikan kenikmatan yang tidak terhingga untuk negeri kita tercinta. Penduduknya ramah, alam yang indah dan kaya juga subur. Sungguh, ini semua merupakan kenikmatan yang tidak bisa dipungkiri.

Tentu, kita berharap kepada Allâh Azza wa Jalla agar kenikmatan ini tetap langgeng kita rasakan, untuk keberkahan dan kebahagian seluruh penduduk negeri ini. Karena Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan, Dia k tidak akan merubah suatu kenikmatan yang ada pada hamba-Nya kecuali karena  hamba itu sendiri yang merubahnya.

Bila kita merubah ketaatan menjadi maksiat, syukur diganti kufur, yang semula amalan kita mendatangkan ridha-Nya lalu berganti dengan perbuatan yang mendatangkan murka, maka Allâh Azza wa Jalla akan merubah kenikmatan itu menjadi bencana dan kehinaan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman.

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allâh sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allâh Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al-Anfâl/8:53]

Kisah kaum Saba’ bisa menjadi contoh, bagaimana Allâh Azza wa Jalla mencabut kenikmatan lalu diganti bencana disebabkan kekufuran, kemaksiatan dan berpaling dari agama Allâh.  Kisah ini, Allâh Azza wa Jalla abadikan dalam surat Saba’ agar kita bisa mengenang, membicarakan, dan mengambil pelajaran dari dari kisah ini. Karenanya di akhir kisah kaum Saba’, Allâh mengakhiri firman-Nya:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda kekuasaan Allâh bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur [Saba’/34:19]

Oleh karena itu, perhatikanlah kenikmatan yang Allâh Azza wa Jalla telah berikan kepada mereka dan bagaimana mereka menyikapi kenikmatan Allâh Azza wa Jalla. Serta apa akibat dari perbuatan mereka itu?

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allâh) di tempat kediaman mereka, yaitu: dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya!’ (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun.[Saba’/34:15]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan kenikmatan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada mereka berupa kebun dan bendungan yang mengairi perkebunan mereka

Kaum Saba’ mempunyai Wâdî (lembah) yang menjadi sungai besar bila dilalui air ketika hujan. Lalu mereka membuat bendungan yang kokoh untuk menampung air hujan dalam jumlah yang banyak. Dengan adanya bendungan itu, kaum Saba’ tidak khawatir akan kekurangan air. Air itu, mereka alirkan ke kebun-kebun mereka yang berada di kanan dan kiri bendungan itu, sehingga kebun-kebun itu menjadi subur dan menghasilkan banyak buah-buahan yang mencukupi kebutuhan mereka.[1]

Dua kebun itu sangat luas dan terletak di hamparan lembah. Tanahnya subur dan menghasilkan berbagai macam tanaman dan buah. Mereka mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan hidup dengannya. Ini adalah kenikmatan yang sangat besar yang Allâh berikan kepada mereka.

Berkata as-Sudi dan Muqâtil mengatakan, “Bila seorang wanita berjalan di bawah pepohonan dengan keranjang di atas kepalanya, maka keranjang itu akan penuh dengan berbagai macam buah, tanpa susah payah memetiknya.”[2]

NEGERI YANG BAIK, AMPUNAN SERTA RAHMAT ALLAH
Kenikmatan lainnya berupa yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada mereka adalah negeri yang baik, ampunan serta rahmat Allâh Azza wa Jalla jika mereka bersyukur. Cuaca atau udaranya baik, sehingga dikatakan apabila seseorang melewati negeri mereka sedang dipakaiannya ada kutu atau ngengat maka semua kutu dan ngengat itu mati karena udaranya yang sangat baik, bersih dan sejuk.[3]

Dikatakan, di negeri itu tidak ada lalat dan tidak ada nyamuk. Ibnu Zaid rahimahullah menambahkan bahwa di sana tidak ditemukan nyamuk, lalat, serangga, kelajengking dan ular.[4]

Diantara kenikmatan juga yaitu ampunan dari Rabb yang Maha Pengampun. Maksunya, Dia mengampuni dosa-dosa kalian, jika kalian senantiasa berada di atas tauhid.[5]

Qatâdah rahimahullah berkata, “Rabb kalian Maha mengampuni dosa-dosa kalian juga kaum yang telah diberi kenikmatan. Dan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada mereka untuk menaati-Nya dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.”[6]

Namun Apa Yang Mereka Lakukan Sebagai Balasan Dari Limpahan Kenikmatan Ini?
Mereka kafir kepada Allâh Azza wa Jalla , tidak mau beribadah dan tidak bersyukur serta berpaling dari ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla :

فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ ﴿١٦﴾ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا ۖ وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ

Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar. Dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsl dan sedikit dari pohon sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan adzab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” [Saba’/34:16-17]


Mereka menzhalimi diri sendiri dengan melakukan perbuatan kufur dan maksiat. Syaitan telah menyesatkan dan menjauhkan mereka dari jalan yang lurus.

Allâh Azza wa Jalla mengutus tiga belas nabi kepada mereka. Para nabi ini menyeru mereka kepada Allâh Azza wa Jalla , mengingatkan kenikmatan-Nya pada mereka dan memperingatkan akan hukuman-Nya. Akan tetapi, mereka mendustakannya seraya mengatakan, “Kami tidak mendapatkan kenikmatan ini dari Allâh. Katakan kepada Rabb kalian (wahai para utusan-pen), ‘Cegahlah kenikmatan ini dari kami kalau Dia mampu.’”[7] Allâh Azza wa Jalla murka dan menghancurkan bendungan yang telah mereka buat.

Maka, tidaklah ada suatu kaum ingkar kepada Allâh dan menggunakan kenikmatan Allâh Azza wa Jalla dalam kekufuran dan kerusakan, kecuali mereka berhak mendapatkan ancaman adzab Allâh Azza wa Jalla . Mereka akan ditimpa kebinasaan. Kenikmatan akan berubah bencana. Inilah yang menimpa kaum Saba’. Hendaklah kita mengambil pelajaran dari kisah mereka! Sebagaimana Allâh berfirman dalam surat al-Ankabut/20 ayat ke-40.

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allâh sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”

Lalu perhatikanlah akibat perbuatan mereka ini! Allâh Azza wa Jalla kabarkan keadaan mereka setelah bendungan yang mereka bangun itu hancur.

وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ

Dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsl dan sedikit dari pohon sidr [Saba’/34:16]

Kedua kebun mereka yang menjadi sumber penghidupan, kekayaan dan kekuatan mereka diganti dengan kebun yang jelek, yang tidak bermanfaat dalam kehidupan mereka. Yaitu pohon yang buahnya pahit bila dimakan dan pohon yang tidak berbuah serta pohon yang berbuah namun buahnya tidak menjadikan gemuk dan tidak menghilangkan rasa lapar maka ini adalah ganti dari kenikmatan yang tidak disyukuri.

Dan dikatakan jenis pohon itu adalah pohon siwak. Ini adalah pendapat mayoritas mufassirîn (para Ulama ahli tafsir-red) seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Atha’, al Khurasâni, al-Hasan, Qatadah dan as-Sudi.[8] Yang buahnya pahit, biasa disebut al-barîr, kemudian pohon Atsl sejenis cemara namun lebih besar  dan pohon Sidr atau pohon bidara.[9]

Wahai hamba Allâh !  Ini adalah tanda kebesaran-Nya, dengan air, Allâh suburkan kebun dan ladang mereka namun dengan air juga Allâh Azza wa Jalla hancurkan kebun dan lahan pertanian mereka. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengutus air bah yang keluar dari bendungan mereka yang jebol. Air bah itu menghancurkan kebun-kebun dan ladang mereka. Dengan air mereka hidup makmur, kaya lagi terpandang namun dengan air pula mereka dihinakan. [10]

Semoga ini menjadi pelajaran bagi orang-orang yang tengah mendapat kenikmatan agar mereka bersyukur dan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , sehingga tetap langgeng kenikmatan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada mereka.

NIKMAT BERDAGANG
Kenikmatan berikutnya yang Allâh berikan kepada mereka adalah kemudahan untuk berdagang hasil bumi mereka ke wilayah Syam

Allâh Azza wa Jalla menghilangkan rasa takut dan memberikan rasa aman kepada mereka dengan  tersambungnya daerah-daerah dari Saba’ sampai ke Syam. Mereka tidak merasakan kesulitan ketika bepergian dan tidak perlu terbebani dengan membawa bekal perjalanan. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْقُرَى الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَاهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا السَّيْرَ ۖ سِيرُوا فِيهَا لَيَالِيَ وَأَيَّامًا آمِنِينَ

Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan dengan aman.[Saba/34:18]

Yang dimaksud dengan negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya ialah negeri Syam, disebabkan kesuburannya; dan negeri- negeri yang berdekatan maksudnya yaitu  negeri-negeri antara Yaman dan Syam, sehingga orang-orang dapat berjalan dengan aman siang dan malam tanpa terpaksa berhenti di padang pasir dan tanpa mendapat kesulitan. Mereka berjalan dari Yaman ke Syam di negeri-negeri yang tampak dan bersambung sehingga mereka bisa istirahat siang di satu tempat dan bisa tidur malam di tempat lain. [11]

MENOLAK DAN DURHAKA
Kaum Saba’ merespon nikmat Allâh ini dengan menolaknya dan durhaka kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang mereka:

فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا وَظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ

Maka mereka berkata, “Wahai Rabb kami! Jauhkanlah jarak perjalanan kami”, dan mereka menganiaya diri mereka sendiri; [Saba’/34:19]


Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla menyebutkan kenikmatan dan kesenangan hidup yang ada pada mereka dan tempat yang aman dan daerah-daerah yang saling berdekatan lagi terhubung dengan pepohonan yang banyak, tanaman serta buah-buahannya sehingga musafir tidak perlu membawa perbekalan dan air. Karena setiap berhenti di satu daerah, mereka bisa mendapatkan air dan buah-buahan. Mereka istirahat siang di suatu tempat kemudian mereka bermalam di tempat lainnya, sesuai kebutuhan perjalanan mereka.” [12]

Mereka menolak kenikmatan ini dan mereka lebih senang berjalan di padang pasir yang tandus dengan perbekalan yang banyak lagi membutuhkan kendaraan, dibawah terik matahari disertai rasa takut. (Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan dan yang lainnya) [13]

فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا وَظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ وَمَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

Maka mereka berkata, “Wahai Rabb kami! Jauhkanlah jarak perjalanan kami”, dan mereka menganiaya diri mereka sendiri; Maka kami jadikan mereka buah mulut dan kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda kekuasaan Allâh bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur. [Saba’/34:19]

Akibatnya, Allâh jadikan kisah mereka ini sebagai bahan pembicaraan diantara manusia yang berbicara tentang kabar-kabar berita mereka. Allâh Azza wa Jalla jadikan mereka berpecah-belah padahal sebelumnya mereka bersatu-padu dalam kehidupan yang nyaman dan tenang sehingga mereka berpencar-pencar, pindah meninggalkan negeri mereka ke berbagai negeri lainnya.

Dan hal ini seperti perkataan Bani Israil,

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَنْ نَصْبِرَ عَلَىٰ طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا ۖ قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَىٰ بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ ۚ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ ۗ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۗ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

“Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu, agar dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”.

Musa berkata, “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”.

Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allâh. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allâh dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) Karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. [Al-Baqarah/2:61]

PELAJARAN DARI KISAH INI[14]

Rezeki dan kenikmatan dari Allâh Azza wa Jalla akan langgeng dengan sebab ketaatan, namun akan musnah, hilang binasa dengan sebab maksiat. Diantara ketaatan yang dapat melanggengkan kenikmatan Allâh adalah syukur , takwa, tawakkal, istighfar dan doa.
Diantara kaum yang dicabut kenikmatannya yaitu kaum Saba’, pemilik dua kebun dalam kisah yang terdapat dalam surat al-Kahfi/18 ayat ke-32 sampai ke-42, pemilik kebun yang disebut dalam surat al-Qalam/68 ayat ke-17 sampai dengan ayat ke-32, kaum Fir’aun, dan kaum Hud.
Negeri yang diberkahi adalah negeri Syam.[15]
Ketenangan, kedamaian dan keamanan adalah nikmat dari Allâh Azza wa Jalla . Keamanan akan tercapai dengan iman yang benar, penerapan syariat Islam dan memberikan hak kepada orang yang berhak.
Orang yang ragu dan mengingkari akhirat, mereka tidak akan tabah menghadapi fitnah dan ujian, dan pada hari Kiamat mereka akan menyesal (Saba’/34:20-21).
Allâh Azza wa Jalla menguji para hambanya dengan kebaikan dan kejelekan, kenikmatan dan kesulitan untuk membedakan orang-orang yang baik dengan orang-orang yang buruk dan antara yang jujur dengan yang dusta (Al-Ankabut/29:2-3).
Hendaknya seorang Mukmin bersabar dalam menjauhi maksiat dan bersabar ketika mendapatkan ujian dan cobaan, serta bersyukur atas limpahan nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan.


Footnote
[1] Lihat al-Furqan Fi Qashashil Qur’an; hlm 387
[2]  Tahdzib Tafsîr al-Baghawi; hlm 975; Dâr Thaibah
[3] Lihat Tahdzib Tafsîr al-Baghawi; hlm 975; Dâr Thaibah
[4] Tafsîr ath-Thabari ; 22 hlm 94; Dâr Ihyâ at Turats al ‘Arabi
[5] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr; 6/529; Dârul Hadits al Qâhirah
[6] Tafsîr ath-Thabari; 22 hlm 94; Dâr Ihyâ at Turats al ‘Arabi
[7] Tahdzib Tafsîr al-Baghawi; hlm 976.
[8]  Tafsir Ibnu Katsir; hlm 530; Dârul Hadits
[9]  Lihat Tahdzib Tafsîr al-Baghawi; hlm 976.
[10] Lihat al Furqân fii Qashashil Qur’an; hlm 392
[11] Lihat al Furqân fii Qashashil Qur’an; hlm 390
[12] Tafsir Ibnu Katsir; 6/531; Dârul Hadits
[13] Tafsir Ibnu Katsir; 6/531; Dârul Hadits
[14] Diringkas dari al Furqan fî Qashashil Qur’an; hlm:398-409
[15] lihat (Saba/34:18); (Al-Isra’/17:1); (Al-Anbiya/21:71 dan 81)

Jangan Mengungkit-ungkit Pemberian

Jangan Mengungkit-ungkit Pemberian 

Di antara bentuk penyakit dan maksiat lisan (lidah) adalah mengungkit-ungkit pemberian kepada orang lain. Misalnya seseorang mengatakan kepada temannya, “Bukankah dulu aku yang telah memenuhi kebutuhanmu saat kamu kesusahan, mengapa sekarang melupakanku?” atau kalimat-kalimat semacam itu.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan (pahala) sedekah kalian dengan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti (yang diberi).” (QS. Al-Baqarah [2]: 264)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala jelaskan bahwa perbuatan suka mengungkit-ungkit pemberian yang telah disedekahkan atau dihadiahkan kepada orang lain itu dapat membatalkan (menghapuskan) pahala. Dan perbuatan suka mengungkit-ungkit pemberian menunjukkan kurangnya iman orang tersebut. Karena dalam ayat di atas, Allah Ta’ala awali dengan “Wahai orang-orang yang beriman … “. Dengan kata lain, tuntutan atau konsekuensi dari keimanan kepada Allah Ta’ala adalah tidak melakukan hal yang demikian itu.

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنّاً وَلا أَذىً لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 262)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.”

Abu Dzar berkata lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sampai tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Orang yang melakukan isbal (memanjangkan sarungnya sampai melebihi mata kaki, pent.), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang (berusaha) membuat laku barang dagangan dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 106)

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, di antara bentuk dosa dan maksiat lisan adalah suka mengungkit-ungkit pemberian atau sedekah yang telah dia berikan kepada orang lain. Dan perbuatan ini termasuk dosa besar, karena terdapat ancaman khusus dari syariat. Ancaman pertama, dibatalkannya pahala (sebagaimana dalam ayat). Juga ancaman yang terdapat dalam hadits. Sehingga disimpulkan bahwa perbuatan tersebut adalah dosa besar sebagaimana kaidah yang disampaikan oleh para ulama bahwa setiap dosa yang memiliki ancaman khusus, maka digolongkan dalam dosa besar.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsamin rahimahullah mengatakan,

أن المن والأذى بالصدقة كبيرة من كبائر الذنوب؛ وجه ذلك: ترتيب العقوبة على الذنب يجعله من كبائر الذنوب

“Perbuatan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti dalam melakukan sedekah (pemberian) [1] termasuk dalam dosa besar. Sisi pendalilannya, karena disebutkannya hukuman setelah menyebutkan dosa (tertentu) menjadikan dosa tersebut sebagai dosa besar.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, Asy-Syamilah)


Catatan kaki:

[1] Di antara bentuk perbuatan “menyakiti” dalam melakukan pemberian adalah memberikan sedekah dengan cara dilempar sehingga orang yang diberi sedekah tampak dihinakan.