Mudahkan Orang Yang Berutang Kepadamu

Mudahkan Orang Yang Berutang Kepadamu 

Apakah ada orang yang berutang kepadamu? Berilah kemudahan untuknya.

Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya).” (HR. Bukhari no. 2076)

Risalah ini kami tujukan kepada orang yang memiliki piutang pada orang lain. Ada sebagian saudara kita yang berutang pada kita mungkin sangat mudah sekali untuk melunasinya. Namun sebagian lain adalah orang-orang yang mungkin kesulitan. Sudah ditagih berkali-kali, mungkin belum juga dilunasi. Bagaimanakah kita menghadapi orang-orang semacam itu? Inilah yang akan kami jelaskan pada posting kali ini. Semoga bermanfaat.

Keutamaan Orang yang Memberi Utang

Dalam shohih Muslim pada Bab ‘Keutamaan berkumpul untuk membaca Al Qur’an dan dzikir’, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhiratAllah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebtu menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699)

Keutamaan seseorang yang memberi utang terdapat dalam hadits yang mulia yaitu pada sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat.

Dalam Tuhfatul Ahwadzi (7/261) dijelaskan maksud hadits ini yaitu: “Memberi kemudahan pada orang miskin –baik mukmin maupun kafir- yang memiliki utang, dengan menangguhkan pelunasan utang atau membebaskan sebagian utang atau membebaskan seluruh utangnya.”

Sungguh beruntung sekali seseorang yang memberikan kemudahan bagi saudaranya yang berada dalam kesulitan, dengan izin Allah orang seperti ini akan mendapatkan kemudahan di hari yang penuh kesulitan yaitu hari kiamat.

Tagihlah Utang dengan Cara yang Baik

Dalam Shohih Bukhari dibawakan Bab ‘Memberi kemudahan dan kelapangan ketika membeli, menjual, dan siapa saja yang meminta haknya, maka mintalah dengan cara yang baik’.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ، وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى

Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya).” (HR. Bukhari no. 2076)

Yang dimaksud dengan ‘ketika menagih haknya (utangnya)’ adalah meminta dipenuhi haknya dengan memberi kemudahan tanpa terus mendesak. (Fathul Bari, 6/385)

Ibnu Hajar mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat dorongan untuk memberi kelapangan dalam setiap muamalah, … dan dorongan untuk memberikan kelapangan ketika meminta hak dengan cara yang baik.

Dalam Sunan Ibnu Majah dibawakah Bab ‘Meminta dan mengambil hak dengan cara yang baik’.

Dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ طَلَبَ حَقًّا فَلْيَطْلُبْهُ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ

Siapa saja yang ingin meminta haknya, hendaklah dia meminta dengan cara yang baik baik pada orang yang mau menunaikan ataupun enggan menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah no. 1965. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda untuk orang yang memiliki hak pada orang lain,

خُذْ حَقَّكَ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ

Ambillah hakmu dengan cara yang baik pada orang yang mau menunaikannya ataupun enggan menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah no. 1966. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Berilah Tenggang Waktu bagi Orang yang Kesulitan

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kita untuk bersabar terhadap orang yang berada dalam kesulitan, di mana orang tersebut belum bisa melunasi utang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” Hal ini tidak seperti perlakuan orang jahiliyah dahulu. Orang jahiliyah tersebut mengatakan kepada orang yang berutang ketika tiba batas waktu pelunasan: “Kamu harus lunasi utangmu tersebut.  Jika tidak, kamu akan kena riba.”

Memberi tenggang waktu terhadap orang yang kesulitan adalah wajib. Selanjutnya jika ingin membebaskan utangnya, maka ini hukumnya sunnah (dianjurkan). Orang yang berhati baik seperti inilah (dengan membebaskan sebagian atau seluruh utang) yang akan mendapatkan kebaikan dan pahala yang melimpah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim, pada tafsir surat Al Baqarah ayat 280)

Begitu pula dalam beberapa hadits disebutkan mengenai keutamaan orang-orang yang memberi tenggang waktu bagi orang yang sulit melunasi utang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ

Barangsiapa memberi tenggang waktu bagi orang yang berada dalam kesulitan untuk melunasi hutang atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapat naungan Allah.” (HR. Muslim no. 3006)

Dari salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –Abul Yasar-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى ظِلِّهِ فَلْيُنْظِرِ الْمُعْسِرَ أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ

Barangsiapa ingin mendapatkan naungan Allah ‘azza wa jalla, hendaklah dia memberi tenggang waktu bagi orang yang mendapat kesulitan untuk melunasi hutang atau bahkan dia membebaskan utangnya tadi.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Lihatlah pula akhlaq yang mulia dari Abu Qotadah karena beliau pernah mendengar hadits serupa dengan di atas.

Dulu Abu Qotadah pernah memiliki piutang pada seseorang. Kemudian beliau mendatangi orang tersebut untuk menyelesaikan utang tersebut. Namun ternyata orang tersebut bersembunyi tidak mau menemuinya. Lalu suatu hari, kembali Abu Qotadah mendatanginya, kemudian yang keluar dari rumahnya adalah anak kecil. Abu Qotadah pun menanyakan pada anak tadi mengenai orang yang berutang tadi. Lalu anak tadi menjawab, “Iya, dia ada di rumah sedang makan khoziroh.” Lantas Abu Qotadah pun memanggilnya, “Wahai fulan, keluarlah. Aku dikabari bahwa engkau berada di situ.” Orang tersebut kemudian menemui Abu Qotadah. Abu Qotadah pun berkata padanya, “Mengapa engkau harus bersembunyi dariku?”

Orang tersebut mengatakan, “Sungguh, aku adalah orang yang berada dalam kesulitan dan aku tidak memiliki apa-apa.” Lantas Abu Qotadah pun bertanya, “Apakah betul engkau adalah orang yang kesulitan?” Orang tersebut berkata, “Iya betul.” Lantas dia menangis.

Abu Qotadah pun mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ غَرِيمِهِ أَوْ مَحَا عَنْهُ كَانَ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa memberi keringanan pada orang yang berutang padanya atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapatkan naungan ‘Arsy di hari kiamat.”

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih. (Lihat Musnad Shohabah fil Kutubit Tis’ah dan Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada tafsir surat Al Baqarah ayat 280)

Inilah keutamaan yang sangat besar bagi orang yang berhati mulia seperti Abu Qotadah.

Begitu pula disebutkan bahwa orang yang berbaik hati untuk memberi tenggang waktu bagi orang yang kesulitan, maka setiap harinya dia dinilai telah bersedekah.

Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya,

من أنظر معسرًا فله بكل يوم صدقة قبل أن يحل الدين فإذا حل الدين فأنظره كان له بكل يوم مثلاه صدقة

Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan,  dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Majah, Ath Thobroniy, Al Hakim, Al Baihaqi. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 86 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Begitu pula terdapat keutamaan lainnya. Orang yang berbaik hati dan bersabar menunggu untuk utangnya dilunasi, niscaya akan mendapatkan ampunan Allah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَجَاوَزُوا عَنْهُ ، لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ

Dulu ada seorang pedagang biasa memberikan pinjaman kepada orang-orang. Ketika melihat ada yang kesulitan, dia berkata pada budaknya: Maafkanlah dia (artinya bebaskan utangnya). Semoga Allah memberi ampunan pada kita. Semoga Allah pun memberi ampunan padanya.” (HR. Bukhari no. 2078)

Itulah kemudahan yang sangat banyak bagi orang yang memberi kemudahan pada orang lain dalam masalah utang. Bahkan jika dapat membebaskan sebagian atau keseluruhan utang tersebut, maka itu lebih utama.

Beri Pula Kemudahan bagi Orang yang Mudah Melunasi Utang

Selain memberi kemudahan  bagi orang yang kesulitan, berilah pula kemudahan bagi orang yang mudah melunasi utang. Perhatikanlah kisah dalam riwayat Ahmad berikut ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُؤْتَى بِرَجُلٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ اللَّهُ انْظُرُوا فِى عَمَلِهِ. فَيَقُولُ رَبِّ مَا كُنْتُ أَعْمَلُ خَيْراً غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ لِى مَالٌ وَكُنْتُ أُخَالِطُ النَّاسَ فَمَنْ كَانَ مُوسِراً يَسَّرْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ مُعْسِراً أَنْظَرْتُهُ إِلَى مَيْسَرَةٍ. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أَحَقُّ مَنْ يَسَّرَ فَغَفَرَ لَهُ

“Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat. Allah berkata (yang artinya), “Lihatlah amalannya.” Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Rabbku. Aku tidak memiliki amalan kebaikan selain satu amalan. Dulu aku memiliki harta, lalu aku sering meminjamkannya pada orang-orang. Setiap orang yang sebenarnya mampu untuk melunasinya, aku beri kemudahan. Begitu pula setiap orang yang berada dalam kesulitan, aku selalu memberinya tenggang waktu sampai dia mampu melunasinya.” Lantas Allah pun berkata (yang artinya), “Aku lebih berhak memberi kemudahan”. Orang ini pun akhirnya diampuni.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Al Bukhari pun membawakan sebuah bab dalam kitab shohihnya ‘memberi kemudahan bagi orang yang lapang dalam melunasi utang’. Lalu setelah itu, beliau membawakan hadits yang hampir mirip dengan hadits di atas.

Dari Hudzaifah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَلَقَّتِ الْمَلاَئِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ قَالُوا أَعَمِلْتَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَالَ كُنْتُ آمُرُ فِتْيَانِى أَنْ يُنْظِرُوا وَيَتَجَاوَزُوا عَنِ الْمُوسِرِ قَالَ قَالَ فَتَجَاوَزُوا عَنْهُ

“Beberapa malaikat menjumpai ruh orang sebelum kalian untuk mencabut nyawanya. Kemudian mereka mengatakan, “Apakah kamu memiliki sedikit dari amal kebajikan?” Kemudian dia mengatakan, “Dulu aku pernah memerintahkan pada budakku untuk memberikan tenggang waktu dan membebaskan utang bagi orang yang berada dalam kemudahan untuk melunasinya.” Lantas Allah pun memberi ampunan padanya.” (HR. Bukhari no. 2077)

Lalu bagaimana kita membedakan orang yang mudah dalam melunasi utang (muwsir) dan orang yang sulit melunasinya (mu’sir)?

Para ulama memang berselisih dalam mendefinisikan dua hal ini sebagaimana dapat dilihat di Fathul Bari, Ibnu Hajar. Namun yang lebih tepat adalah kedua istilah ini dikembalikan pada ‘urf yaitu kebiasaan masing-masing tempat karena syari’at tidak memberikan batasan mengenai hal ini. Jadi, jika di suatu tempat sudah dianggap bahwa orang yang memiliki harta 1 juta dan kadar utang sekian sudah dianggap sebagai muwsir (orang yang mudah melunasi utang), maka kita juga menganggapnya muwsirWallahu a’lam.

Inilah sedikit pembahasan mengenai keutamaan orang yang berutang, yang berhati baik untuk memberi tenggang waktu dalam pelunasan dan keutamaan orang yang membebaskan utang sebagian atau seluruhnya.

Namun, yang kami tekankan pada akhir risalah ini bahwa tulisan ini ditujukan bagi orang yang memiliki piutang dan belum juga dilunasi, bukan ditujukan pada orang yang memiliki banyak utang. Jadi jangan salah digunakan dalam berhujah. Orang-orang yang memiliki banyak utang tidak boleh berdalil dengan dalil-dalil yang kami bawakan dalam risalah ini. Coba bayangkan jika orang yang memiliki banyak utang berdalil dengan dalil-dalil di atas, apa yang akan terjadi? Dia malah akan akan sering mengulur waktu dalam pelunasan utang. Untuk mengimbangi pembahasan kali ini, insya Allah pada kesempatan berikutnya kami akan membahas ‘bahaya banyak utang’.

Semoga Allah memudahkan kita untuk memiliki akhlaq mulia seperti ini. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Baca pembahasan selanjutnya: Bahaya Orang yang Enggan Melunasi Hutangnya

Rujukan:

  1. Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Dr. Abdul ‘Azhim Al Badawiy, Dar Ibnu Rojab
  2. Fathul Bari, Ibnu Hajar, Mawqi’ Al Islam
  3. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Mawqi’ Shoid Al Fawaidh
  4. Musnad Shohabah fil Kutubit Tis’ah, Asy Syamilah
  5. Shohih Bukhari, Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Mawqi’ Wizarotul Awqof Al Mishriyah
  6. Shohih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj, Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqiy, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, Beirut
  7. Shohih Sunan Ibnu Majah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Asy Syamilah
  8. Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Mawqi’ Wizarotul Awqof Al Mishriyah
  9. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosy Ad Dimasqiy, Dar Thobi’ah Linnasyr wat Tawzi’
  10. Tuhfatul Ahwadzi , Mawqi’ Al Islam

***

Panggang, Gunung Kidul, 15 Muharram 1430 H

Namimah adalah Sihir

Namimah adalah Sihir 

Namimah diterjemahkan dengan “adu domba” dalam bahasa Indonesia, akan tetapi maknanya lebih luas dari sekedar adu domba. Pengertian namimah sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut,

ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮﺩٍ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻗَﺎﻝَ ‏« ﺃَﻻَ ﺃُﻧَﺒِّﺌُﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻌَﻀْﻪُ ﻫِﻰَ ﺍﻟﻨَّﻤِﻴﻤَﺔُ ﺍﻟْﻘَﺎﻟَﺔُ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ».

Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Muhammad berkata, “Maukah kuberitahukan kepada kalian apa itu al’adhhu ? Itulah namimah, perbuatan menyebarkan berita untuk merusak hubungan di antara sesama manusia”[1]

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa namimah bertujuan merusak hubungan manusia. Beliau berkata,

ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀ : ﺍﻟﻨَّﻤِﻴﻤَﺔ ﻧَﻘْﻞ ﻛَﻠَﺎﻡِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑَﻌْﻀِﻬِﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻋَﻠَﻰ ﺟِﻬَﺔِ ﺍﻟْﺈِﻓْﺴَﺎﺩِ ﺑَﻴْﻨﻬﻢْ .

“Para ulama menjelaskan namimah adalah menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara mereka.”[2]

Contohnya si A mengatakan kepada si B yang membuat si C menjadi tidak suka kepada si B, baik itu perkataan dusta maupun perkataan benar. Sebaliknya, si A juga mengatakan kepada si C yang membuat si B tidak suka.

Bahkan namimah ini sejenis dengan sihir. Sebagaimana dalam hadits di atas nama lain namimah adalah Al-‘adhhu. Al-Adhu ini semisal sihir.

Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa Al-Adhu termasuk sihir dengan membawakan hadits Ibnu Mas’ud di atas. Beliau berkata,

العضه : السحر

“Al-‘ahddu adalah sihir”

Beliau melanjutkan,

النمام ليس له حكم الساحر، فلا يكفر كما يكفر الساحر

“Pelaku namimah bukan seperti hukum penyihir, maka tidaklah menjadi kafir sebagaimana menjadi kafirnya penyihir.”[3]

Namimah lebih dahsyat akibatnya daripada sihir dan lebih berbahaya. Yahya bin Abi Katsir berkata,

ﺍﻟﻨَّﻤَّﺎﻡُ ﻳُﻔْﺴِﺪُ ﻓِﻲ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﻣَﺎ ﻻ ﻳُﻔْﺴِﺪُ ﺍﻟﺴَّﺎﺣِﺮُ ﻓِﻲ ﺷَﻬْﺮٍ

“Pelaku namimah bisa merusak hubungan manusia hanya dalam waktu satu jam saja, sedangkan penyihir terkadang perlu waktu sebulan.”[4]

Seseorang bisa jadi sangat mudah melakukan naminah, bahkan ia menganggapnya hal kecil dan biasa padahal hal tersebut adalah dosa besar dan sangat berbahaya. Perhatikan hadits mengenai siksa kubur, orang yang disiksa tidak lah melakukan dosa yang dia anggap besar, akan tetapi ia melakukan namimah.

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺮَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺑِﺤَﺎﺋِﻂٍ ﻣِﻦْ ﺣِﻴﻄَﺎﻥِ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔِ ﺃَﻭْ ﻣَﻜَّﺔَ ، ﻓَﺴَﻤِﻊَ ﺻَﻮْﺕَ ﺇِﻧْﺴَﺎﻧَﻴْﻦِ ﻳُﻌَﺬَّﺑَﺎﻥِ ﻓِﻰ ﻗُﺒُﻮﺭِﻫِﻤَﺎ ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ‏« ﻳُﻌَﺬَّﺑَﺎﻥِ ، ﻭَﻣَﺎ ﻳُﻌَﺬَّﺑَﺎﻥِ ﻓِﻰ ﻛَﺒِﻴﺮٍ ‏» ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﺑَﻠَﻰ ، ﻛَﺎﻥَ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ ﻻَ ﻳَﺴْﺘَﺘِﺮُ ﻣِﻦْ ﺑَﻮْﻟِﻪِ ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻵﺧَﺮُ ﻳَﻤْﺸِﻰ ﺑِﺎﻟﻨَّﻤِﻴﻤَﺔِ » .

Dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kebun di Madinah atau Mekah beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa dalam kuburnya. Nabi bersabda, “Keduanya sedang disiksa dan tidaklah keduanya disiksa karena masalah yang sulit untuk ditinggalkan”. Kemudian beliau kembali bersabda, “Mereka tidaklah disiksa karena dosa yang mereka anggap dosa besar. Orang yang pertama tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya sendiri. Sedangkan orang kedua suka melakukan namimah”[5]

Hendaknya kita berhati-hati karena Allah telah memberi peringatan dalam Al-Quran

Allah Ta’ala berfirman,

ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻄِﻊْ ﻛُﻞَّ ﺣَﻠَّﺎﻑٍ ﻣَﻬِﻴﻦٍ ‏( 10 ‏) ﻫَﻤَّﺎﺯٍ ﻣَﺸَّﺎﺀٍ ﺑِﻨَﻤِﻴﻢٍ ‏( 11 ‏) ﻣَﻨَّﺎﻉٍ ﻟِﻠْﺨَﻴْﺮِ ﻣُﻌْﺘَﺪٍ ﺃَﺛِﻴﻢٍ ‏( 12 )

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa” (QS Al Qalam:10-12).

Demikian juga ancaman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ نَمَّامٌ

“Tidak masuk surga pelaku namimah”[6]

Semoga kita dijauhkan dari dosa namimah.

@ Yogyakarta Tercinta

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Catatan kaki:

[1] HR Muslim no 6802

[2] Syarh Nawawi LiShahih Muslim 1/214

[3] I’anatul Mustafid Syarh Kita Tauhid Syaikh Shalih Al-Fauzan

[4] Hilyatul Auliya no. 3361

[5] HR Bukhari no 213

[6] HR. Muslim no. 105

Kewajiban Suami Terhadap Istri Dalam Mengajarkan Perkara Agama

Kewajiban Suami Terhadap Istri Dalam Mengajarkan Perkara Agama 

Dalam berumah tangga, seorang suami memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dia tunaikan kepada istrinya. Kewajiban tersebut tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain, hal. 10)

Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim [66]: 6)

Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,

ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ

“Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari no. 631, 7246, dan Muslim no. 674)

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَعَلِّمُوهُمْ

“Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis. Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.

Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.

Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمُرُوهُمْ

“Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.

Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata,

“Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha [20]: 132)” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz, hal. 356)

Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,

فَأَقِيمُوا فِيهِمْ

“Tinggallah di tengah-tengah mereka.”

Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri

Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya. Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya.

Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata,

“Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim [66]: 6)

Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz, hal. 356)

[Selesai]

***

Membalas Menghina Tuhan Orang Kafir

Membalas Menghina Tuhan Orang Kafir 

Sebagian salah bersikap saat-saat ini ketika bertindak atas orang yang menghina Nabinya yang mulia -‘alaihi sholaatu wa salaam-. Mereka sampai-sampai membakar bendera orang kafir, sampai melakukan bom bunuh diri dan peledakan-peledakan. Yang bertindak salah atas dasar kejahilan adalah sampai mencela Tuhan orang kafir. Ada yang punya ide ingin membuat film yang menghina Tuhannya orang kafir sebagai balasan.

Sebaliknya, ada yang bersikap baik dari saudara kita di bara sana. Mereka yang muslim malah membagi-bagi CD dan buku tentang Islam, malah dengan sikap lembut seperti ini banyak yang tertarik pada Islam. Manakah sikap yang terbaik antara keduanya?

Mengajak pada Islam dengan Lemah Lembut

Ketahuilah bahwa asal berdakwah, mengajak orang lain kepada agama Allah adalah dengan lemah lembut dan dengan memberikan nasehat dengan cara yang baik. Karena demikianlah dakwah bisa berpengaruh dengan cara seperti itu, hati tentu bisa menerima dengan mudah dibanding dengan sikap keras dan anarkis. Begitu pula dalam mengajak orang kepada Islam. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah  dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125).

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا كَانَ الرِّفْقُ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ عُزِلَ عَنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya. Dan tidaklah kelembutan itu lepas melainkan ia akan menjelekkannya.” (HR. Ahmad 6: 206, sanad shahih).

Prinsip Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah adalah dengan lemah lembut dengan madh’u (orang yang didakwahi) walau mereka orang kafir.

Ibnul ‘Arobi pernah berbicara tentang ayat berikut ini, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik” (QS. Al ‘Ankabut: 46). Ibnul ‘Arobi mengatakan, “Qotadah berkata: ayat ini yang memerintahkan untuk tidak berjidal (berdebat) telah mansukh (terhapus) dengan ayat yang memerintahkan untuk memerangi orang kafir. Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini tidaklah mansukh (terhapus), akan tetapi dikhususkan (pada keadaan tertentu). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus awalnya dengan menyampaikan hujjah lewat lisan. Lalu setelah itu Allah memerintahkan untuk menyampaikan hujjah dengan pedang dan lisan hingga tegaklah hujjah pada makhluk … Siapa yang mampu untuk menyampaikan hujjah lewat berperang, maka lakukanlah. Yang tidak mampu, maka berdebatlah dengan lisan akan tetapi menyampaikan dalil dengan cara yang baik dan ucapan yang baik pula. Ketika berdebat berusaha menyampaikan apa yang diinginkan dan diikuti dengan cara yang lemah lembut. Dalam penyampaian juga disampaikan dalil yang benar-benar jelas (terang). Jika yang diajak debat tidak memahami, maka ulangilah apa yang ingin disampaikan berulang kali.” Demikian Ibnul ‘Arobi menyebutkan nasehat ini dalam kitabnya Ahkamul Qur’an.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Disakiti

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah disakiti dan dicela oleh orang-orang musyrik. Lalu bagaimanakah sikap beliau? Beliau bersabar. Lihatlah bagaimanakah kisah beliau ketika disakiti oleh penduduk Thoif saat beliau mendakwahi mereka. Beliau kala itu bersabar.

Guru kami, Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Ingatlah, dahulu orang-orang musyrik berkata terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Penyihir, dukun, pendusta” dan perkataan hinaan lainnya. Namun, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk bersabar. Kaum muslimin ketika itu tidak melakukan demonstrasi di Mekkah, tidak menghancurkan sedikit pun dari rumah-rumah kaum musyrikin, juga tidak membunuh seorang pun. Sabar dan tenanglah sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan jalan keluar bagi kaum muslimin.”[1] Baca nasehat beliau selengkapnya di sini.

Membalas dengan Mencela Tuhan Orang Kafir

Seperti kita ketahui bahwa kita tidak boleh mencela tuhan orang kafir karena akan muncul kemungkaran lebih besar yaitu mereka malah mencela Allah. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’am: 108).

Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam I’lamul Muwaaqi’in menjelaskan ayat di atas, “Allah melarang kita mencela tuhan-tuhan orang musyrik dengan pencelaan yang keras atau sampai merendah-rendahkan (secara terang-terangan) karena hal ini akan membuat mereka akan membalas dengan mencela Allah. Tentu termasuk maslahat besar bila kita tidak mencela tuhan orang kafir agar tidak berdampak celaan bagi Allah (sesembahan kita). Jadi hal ini adalah peringatan tegas agar tidak berbuat seperti itu, supaya tidak menimbulkan dampak negatif  yang lebih parah.”

Jadi perlu diperhatikan bahwa kemungkaran tidaklah dibalas dengan kemungkaran yang semisal. Jika Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dicela, bukan berarti kita boleh mencela Nabi ‘Isa ‘alaihis salam. Karena mencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu kekafiran, demikian pula dengan mencela Nabi ‘Isa ‘alaihis salam.

Semoga Allah senantiasa memberi taufik pada kita pada kebenaran. Hanya Allah yang memberi petunjuk dan hidayah.