Malu Itu, Usia bertambah, Amal tidak tambah.

Malu Itu, Usia bertambah, Amal tidak tambah.

Merupakan penyesalan, usia bertambah tetapi amal tidak bertambah. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

ﻣﺎ ﻧﺪﻣﺖ ﻋﻠﻰ ﺷﻲﺀ ﻧﺪﻣﻲ ﻋﻠﻰ ﻳﻮﻡ ﻏﺮﺑﺖ ﴰﺴﻪ ﻧﻘﺺ ﻓﻴﻪ ﺃﺟﻠﻲ ﻭﱂ ﻳﺰﺩ ﻓﻴﻪ ﻋﻤﻠﻲ.


“Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang (usia bertambah), namun amalanku tidak bertambah.” [1] Makin tua seharusnya sudah siap-siap menghadapi kematian bukan semakin tamak dengan dunia. Tanda-tanda sudah ada:
-Rambut mulai memutih: tinggalkanlah dunia hitam jika digeluti selama ini
-Badan mulai membungkuk: Hentikan membusungkan dada dan mendongakkan kepala karena sombong
Kematian sudah hampir mendekat dan menghancurkan kelezatan dunia yang selama ini membuat lalai akan akhirat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ﺃَﻛْﺜِﺮُﻭﺍ ﺫِﻛْﺮَ ﻫَﺎﺫِﻡِ ﺍﻟﻠَّﺬَّﺍﺕِ ‏ ﻳَﻌْﻨِﻰ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕَ 


“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan”, yaitu kematian ”. [2] Khusus bagi mereka yang sudah mendekati usia 60 tahun maka ada himbauan khusus.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ﺃَﻋْﺬَﺭَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﺃَﺧَّﺮَ ﺃَﺟَﻠَﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﺑَﻠَّﻐَﻪُ ﺳِﺘِّﻴﻦَ ﺳَﻨَﺔً


“Allah telah memberi udzur kepada seseorang yang Dia akhirkan ajalnya, hingga mencapai usia 60 tahun.”[3] Maksudnya adalah umur 60 tahun seharusnya tidak bisa menjadi udzur lagi yaitu beralasan masih punya umur untuk menunda melakukan kebaikan dan menunda bertaubat, karena umur 60 tahun sudah sangat dekat dengan kematian.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,


ﻭَﺍﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳَﺒْﻖَ ﻟَﻪُ ﺍﻋْﺘِﺬَﺍﺭٌ ﻛَﺄَﻥْ ﻳَﻘُﻮﻝَ ﻟَﻮْ ﻣُﺪَّ ﻟِﻲ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺟَﻞِ ﻟَﻔَﻌَﻠْﺖُ ﻣَﺎ ﺃُﻣِﺮْﺕُ ﺑِﻪ


“Makna hadits yaitu tidak tersisa lagi udzur/alasan  misalnya berkata, “Andai usiaku dipanjangkan, aku akan melakukan apa yang diperintahkan kepadaku.” [4] Demikian semoga bermanfaat.

Catatan kaki:
[1]  Lihat Miftahul Afkar dan Mausu’ah khutab Al-Mimbar
[2] HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Tirmidzi
[3] HR. Bukhari 6419
[4]  Fathul Bari Libni Hajar Al-Asqalani 11/240

Hukum Jalan-jalan Di Pasar

Jalan-jalan Di Pasar

Banyak wani

Hukum Jalan-jalan Di Pasar 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan celaan untuk pasar. Diantaranya,

Pertama, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا ، وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا

Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid dan tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar. (HR. Muslim 671).

Kata an-Nawawi,

لأنها محل الغش ، والخداع ، والربا ، والأيمان الكاذبة ، وإخلاف الوعد ، والإعراض عن ذكر الله ، وغير ذلك مما في معناه ، والمساجد محل نزول الرحمة ، والأسواق ضدها

Karena pasar, umumnya dalah tempatnya orang curang, menipu, transaksi riba, sumpah palsu, menyalahi janji, tidak ingat Allah, dan aktivitas lainnya yang semakna. Masjid adalah tempat turunnya rahmat. Sementara pasar kebalikannya. (Syarh Shahih Muslim, 5/171).

Karena itulah, para sahabat menasehatkan agar mengurangi intensitas kegiatan di pasar, jika tidak diperlukan.

Sahabat Salman al-Farisi mengatakan,

لَا تَكُونَنَّ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَوَّلَ مَنْ يَدْخُلُ السُّوقَ ، وَلَا آخِرَ مَنْ يَخْرُجُ مِنْهَا ، فَإِنَّهَا مَعْرَكَةُ الشَّيْطَانِ ، وَبِهَا يَنْصِبُ رَايَتَهُ

Jika kamu bisa, janganlah menjadi orang yang pertama masuk pasar, dan yang terakhir keluar pasar. Karena pasar adalah tempat berkumpulnya setan dan di sana mereka menancapkan benderanya. (HR. Muslim 2451)

Dalam riwayat lain, dari Abu Utsman, dari Salman radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِنَّ السُّوقَ مِبْيَضُ الشَّيْطَانِ وَمَفْرَخُهُ , فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَكُونَ أَوَّلَ مَنْ يَدْخُلُهَا وَلَا آخِرَ مَنْ يَخْرُجُ مِنْهَا فَافْعَلْ

Pasar adalah tempat setan bertelur dan beranak pinak. Jika kamu bisa, jangan menjadi orang yang pertama kali masuk pasar dan yang terakhir keluar pasar. (HR. Ibnu Abi Syaibah 33987)

Demikian pula yang disampaikan sahabat Maitsam radhiyallahu ‘anhu.

بَلَغَنِي أَنَّ المَلَكَ يَغْدُو بِرَايَتِهِ مَعَ أَوَّلِ مَنْ يَغْدُو إِلى المَسْجِدِ ، فَلاَ يَزَالُ بِهَا مَعَهُ حَتَّى يَرْجِعَ ، فَيَدْخُلَ بِهَا مَنْزِلَهُ ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَغْدُو بِرَايَتِهِ مَعَ أَوَّلِ مَنْ يَغْدُو إِلى السُّوقِ

Saya pernah mendengar bahwa Malaikat berangkat dengan membawa benderanya untuk menyertai orang yang pertama kali datang ke masjid. malaikat akan terus mendampinginya sampai dia pulang, dan masuk ke rumahnya dengan membawa bendera itu. Sementara setan berangkat membawa benderanya untuk menyertai orang yang pertama kali masuk pasar. (HR. Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wal Matsani, 5/183, dan sanadnya dishahihkan al-Hafidz Ibnu Hajar).

Celaan para sahabat terhadap pasar ini dipahami jika pasar ituu tidak ada ikhtilat. Karena di masa silam, pasar hanya didatangi para lelaki. Mereka belum menyaksikan pasar yang berjubel ikhtilath, ada bencongnya, orang orang ngamen, dst.

Al-Qurthubi mengatakan,

في هذه الأحاديث ما يدل على كراهة دخول الأسواق ، لا سيما في هذه الأزمان التي يخالط فيها الرجال النسوان ، وهكذا قال علماؤنا

Dalam hadis-hadis di atas terdapat dalil dibencinya masuk pasar. Terutama di zaman ini, dimana lelaki dan wanita bercampur jadi satu. Demikian yang disampaikan guru-guru kami.

Lalu beliau mengatakan,

فحق على من ابتلاه الله بالسوق أن يخطر بباله أنه قد دخل محل الشيطان ومحل جنوده ، وأنه إن أقام هناك هلك

Wajib bagi orang yang hobi ke pasar untuk selalu ingat bahwa dia sedang memasuki tempat setan, dan tempat pasukan setan berkumpul. Jika  dia menetap di sana maka dia akan mudah maksiat. (al-Jami’ li Ahkam al-Quran, 13/16).

Memahami hal ini, maka sangat aneh jika ada orang yang hobi ke pasar. Datang ke pasar hanya untuk jalan-jalan. Tidak hanya berlaku bagi ibu-ibu, peringatan ini berlaku bagi jenis kelamin apapun, termasuk bencong.

Masuk pasar, boleh saja bagi mereka yang membutuhkan. Karena Allah ceritakan, para nabi juga ke pasar untuk mencari rizki.

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ

“Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (QS. al-Furqan: 20)

Mereka ke pasar dalam rangka mencari rizki, untuk mencukupi nafkah keluarganya.

Allahu a’lam.

Ingin Naik Pelaminan, Namun Belum Mampu Memberi Nafkah

Ingin Naik Pelaminan Namun Belum Mampu Memberi Nafkah 

Bagaimana jika ada yang sudah butuh nikah, ingin naik pelaminan, namun belum mampu memberi nafkah?

Dalam madzhab Syafi’i, hukum nikah itu sunnah bagi yang membutuhkannya dan sudah mampu memberi nafkah.

Sedangkan bagi yang butuh untuk menikah, namun belum punya persiapan, jika memiliki menikah, berarti menyelisihi hal yang lebih utama, yaitu disunnahkan untuk tidak menikah kala itu.

Syaikh Musthofa Al Bugho mengatakan bahwa orang seperti ini baiknya menjaga kesucian dirinya dengan menyibukkan diri dalam ibadah dan puasa. Dengan menyibukkan diri seperti itu akan membuatnya lupa untuk menikah. Allah-lah yang nanti akan memberikan padanya kecukupan.

Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur: 33)

Kesimpulan di atas pun dipahami dari hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu adalah pengekang syahwatnya yang menggelora.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400). Syaikh Musthofa Al Bugho menyatakan bahwa jika belum memiliki baa-ah, maka meninggalkan untuk menikah kala itu adalah sunnah.

Yang dimaksud baa-ah adalah kemampuan untuk berhubungan intim, namun disertai dengan kemampuan memenuhi nafkah terlebih dahulu. Demikian keterangan dari pakar madzhab Syafi’i saat ini yaitu Prof. Dr. Musthofa Al Bugho.

Imam Nawawi rahimahullah memberikan keterangan, adapun pengertian baa-ah sendiri adalah jima’ (hubungan intim), inilah makna baa-ah secara bahasa. Namun yang dimaksud adalah mampu untuk berjima’ disertai dengan kemampuan memberi nafkah terlebih dahulu. Siapa yang tidak mampu berjima’ lantaran belum mampu dari segi nafkah, hendaklah ia rajin berpuasa untuk mengekang syahwatnya yang menggelora. Gejolak maninya bisa ditahan dengan rajin berpuasa sunnah seperti itu. Itulah maksud hadits yang dikemukakan di atas, hadits tersebut ditujukan pada para pemuda yang syahwatnya sudah menggelora namun belum mampu untuk memberi nafkah. (Syarh Shahih Muslim, 9: 154)

Semoga dengan mengetahui hal ini, para pemuda yang sudah menggelora syahwatnya bersegera untuk mencari nafkah yang halal. Nikah tak mesti mapan dahulu, yang penting bisa menafkahi keluarganya nantinya dengan cukup. Kalau memang belum mampu dari sisi nafkah, banyaklah berpuasa sunnah dan sibukkanlah waktu-waktu dengan belajar agama atau beribadah. Semoga Allah mudahkan cita-cita para pemuda untuk meraih cinta.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Al Fiqhu Al Manhaji ‘ala Madzhabi Al Imam As Syafi’i (jilid ke-2), Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, Dr Musthofa Al Khin, ‘Ali Asy Syarihay, terbitan Darul Qalam, cetakan kesepuluh, tahun 1430 H.

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Tanda Mencintai Sesama Mukmin

Tanda Mencintai Sesama Mukmin 

Sudahkah kita mencintai sesama mukmin dengan benar?

Tanda mencintai sesama mukmin nampak pada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berikut ini, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

Mencintai bisa jadi berkaitan dengan urusan diin (agama), bisa jadi berkaitan dengan urusan dunia. Rinciannya sebagai berikut.

1- Sangat suka jika dirinya mendapatkan kenikmatan dalam hal agama, maka wajib baginya mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya mendapatkan hal itu. Jika kecintaan seperti itu tidak ada, maka imannya berarti dinafikan sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Jika seseorang suka melakukan perkara wajib ataukah sunnah, maka ia suka saudaranya pun bisa melakukan semisal itu. Begitu pula dalam hal meninggalkan yang haram. Jika ia suka dirinya meninggalkan yang haram, maka ia suka pada suadaranya demikian. Jika ia tidak menyukai saudaranya seperti itu, maka ternafikan kesempurnaan iman yang wajib.

Termasuk dalam hal pertama ini adalah suka saudaranya mendapatkan hidayah, memahami akidah, dijauhkan dari kebid’ahan, seperti itu dihukumi wajib karena ia suka jika ia sendiri mendapatkannya.

2- Sangat suka jika dirinya memperoleh dunia, maka ia suka saudaranya mendapatkan hal itu pula. Namun untuk kecintaan kedua ini dihukumi sunnah. Misalnya, suka jika saudaranya diberi keluasan rezeki sebagaimana ia pun suka dirinya demikian, maka dihukumi sunnah. Begitu juga suka saudaranya mendapatkan harta, kedudukan, dan kenikmatan dunia lainnya, hal seperti ini dihukumi sunnah.

Kesimpulannya, mencintai orang mukmin sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri jika berkaitan dengan hal dunia, dihukumi sunnah. Sedangkan jika berkaitan dengan hal agama, dihukumi wajib mencintai saudaranya semisal yang kita peroleh.

Semoga Allah memberikan kita taufik untuk mencintai saudara kita yang beriman sebagaimana kita suka mendapatkan hal yang sama.

Referensi:

Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan kedua, tahun 1433 H.