Perhatikan, Bagaimanakah Akhir Dari Amalmu

Perhatikan, Bagaimanakah Akhir Dari Amalmu

Tidak diragukan lagi, akhir (penutup) dari amal-amal kita adalah perkara yang sangat penting. Para salaf rahimahumullah senantiasa memperhatikan akhir dari suatu amal, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan juga untuk mengamalkan firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 60).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menggambarkan para hamba-Nya yang beriman bahwa mereka memberikan (melaksanakan) berbagai amal ibadah dan ketaatan secara sungguh-sungguh. Mereka juga sangat takut kepada Allah Ta’ala, karena mereka tidak tahu, apakah amal mereka akan diterima ataukah tidak. Oleh karena itu, seorang hamba tidak boleh bangga dengan amalnya, sebanyak apa pun amal yang telah dikerjakannya. Jika amal tersebut tidak diterima oleh Allah Ta’ala, amal tersebut tidak ada faidahnya. Sebanyak apa pun amal yang telah dikerjakannya, namun jika tidak diterima oleh Allah Ta’ala, maka hanya bagaikan debu yang berterbangan.

Jika suatu amal diterima oleh Allah Ta’ala, meskipun amal itu hanya sedikit, Allah Ta’ala akan melipatgandakan pahalanya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah. Dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” (QS. An-Nisa’ [4]: 40).

Allah Ta’ala lebih mengetahui keadaan niat dan keikhlasan seorang hamba dalam beramal. Oleh karena itu, seorang hamba harus mencurahkan segala usaha untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas amalnya. Kita yakin bahwa Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan pahala dari orang yang beramal sedikit pun. Wajib atas seorang hamba untuk memperbanyak amalnya, mengikhlaskan niatnya, mengharap pahala dari Allah Ta’ala dan tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” (QS. Al-Baqarah [2]: 143).

Berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala hanya akan menjadi penghalang antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’” (QS. Az-Zumar [39]: 53).

Di sisi lain, seorang hamba tidak boleh bangga dan kagum dengan amalnya atau merasa telah banyak beramal. Akan tetapi, dia senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala untuk menerima amalnya dan mengiringi setiap amalnya dengan istighfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Karena manusia adalah tempat salah dan lupa. Sebanyak apa pun amalnya, akan tetapi pasti di dalamnya terdapat berbagai cacat dan kekurangan. Sehingga dia berusaha menutup kekurangan tersebut dengan istighfar. Dengan kata lain, seorang muslim hendaknya menghitung kejelekan-kejelekannya, dan tidak menghitung amal kebaikannya. Hendaknya dia menghisab dirinya, menghitung-hitung kesalahan dan dosanya, kemudian beristighfar dan bertaubat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

Dan dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya, memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Asy-Syuura [42]: 25).

Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba memperbanyak istighfar di akhir setiap amal ibadah dan ketaatan. Dia tidak menganggap dirinya telah melaksanakan amal tersebut dengan sempurna sesuai tuntutan syariat. Akan tetapi dia tidak tahu, bisa jadi dalam amal tersebut ada banyak kekurangan. Sehingga dia pun memperbanyak istighfar dan taubat, serta menganggap bahwa amalnya tersebut sangat kecil di sisi Allah Ta’ala.

***

Catatan kaki:

[1] Disarikan dari kitab Majaalisu Syahri Ramadhan Al-Mubaarak, karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan, hal. 113-116 (cet. Daar Al-‘Ashimah, tahun 1422)


Larangan Bermain Dadu

Larangan Bermain Dadu 

Dalam masalah permainan, ada kebebasan memilih selama tidak melakukan yang dilarang Islam. Ada satu permainan yang tersebar di tengah kaum  muslimin, namun Islam melarang permainan tersebut. Yaitu, dadu. Sudah sangat ma’ruf. Ketika bermain kartu, bermain monopoli, dadu-lah yang digunakan. Namun Islam sebenarnya melarang permainan yang satu ini. Sebagaimana dibuktikan dalam hadits-hadits yang akan disebutkan dalam tulisan kali ini.

Hukum Bermain Dadu

Mayoritas ulama mengharamkan permainan dadu yaitu ulama Hambali, Hanafi, Maliki dan kebanyakan ulama Syafi’i. Sebagian ulama lain menyatakan makruh, yaitu Abu Ishaq Al Maruzi yang merupakan ulama Syafi’iyah.

Dalil-dalil yang mendukung ulama yang mengharamkan,

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِى لَحْمِ خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ ».

Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermain dadu, maka ia seakan-akan telah mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi” (HR. Muslim no. 2260).

Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan haramnya bermain dadu karena disamakan dengan daging babi dan darahnya, yaitu sama-sama haram (Lihat Syarh Shahih Muslim, 15: 16). Imam Nawawi pun mengatakan, “Hadits ini sebagai hujjah bagi Syafi’i dan mayoritas ulama tentang haramnya bermain dadu” (Syarh Shahih Muslim, 15: 15).

عَنْ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ ».

Dari Abu Musa Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermain dadu, maka ia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Abu Daud no. 4938 dan Ahmad 4: 394. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari Abu ‘Abdirrahman, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَثَلُ الَّذِى يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى مَثَلُ الَّذِى يَتَوَضَّأُ بِالْقَيْحِ وَدَمِ الْخِنْزِيرِ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى ».

Permisalan orang yang bermain dadu kemudian ia berdiri lalu shalat adalah seperti seseorang yang berwudhu dengan nanah dan darah babi, kemudian ia berdiri lalu melaksanakan shalat” (HR. Ahmad 5: 370. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini dho’if).

Dikisahkan pula bahwa Sa’id bin Jubair ketika melewati orang yang bermain dadu, beliau enggan memberi salam pada mereka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya 8: 554).

Malik berkata, “Barangsiapa yang bermain dadu, maka aku menganggap persaksiannya batil. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada setelah kebenaran melainkan KESESATAN” (QS. Yunus: 32).  Jika bukan kebenaran, maka itulah kebatilan” (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, 8: 259).

Sedangkan sebagian ulama menganggap boleh bermain dadu. Di antara hujjahnya adalah dari perbuatan Ibnul Musayyib. Namun kisah ini tidak shahih dan tidak tegas. Itu hanyalah kisah dari ahlu batil. Jika itu pun shahih, maka perbuatan Ibnul Musayyib tidak bisa mengalahkan dalil-dalil larangan yang dikemukakan di atas.

Bertaruh dalam Bermain Dadu

Jika sudah jelas bahwa hukum bermain dadu itu haram, maka memasang taruhan dalam permainan dadu pun haram. Bahkan termasuk dalam maysir. Bahkan para ulama sepakat akan haramnya memasang taruhan dalam permainan dadu.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, ini sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)

Lihatlah permusuhan sesama muslim bisa muncul akibat perbuatan maysir.

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Maidah: 91)

Bahkan maysir itu lebih berbahaya dari riba. Sebagaimana Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kerusakan maysir (di antara bentuk maysir adalah judi) lebih berbahaya dari riba. Karena maysir memiliki dua kerusakan: (1) memakan harta haram, (2) terjerumus dalam permainan yang terlarang. Maysir benar-benar telah memalingkan seseorang dari dzikrullah, dari shalat, juga mudah timbul permusuhan dan saling benci. Oleh karena itu, maysir diharamkan sebelum riba.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39: 406)

Maysir yang disebutkan dalam ayat di atas sebenarnya lebih umum dari judi. Kata Imam Malik rahimahullah, “Maysir ada dua macam: (1)  bentuk permainan seperti dadu, catur dan berbagai bentuk permainan yang melalaikan, dan (2) bentuk perjudian, yaitu yang mengandung unsur spekulasi atau untung-untungan di dalamnya.” Bahkan Al Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr memberikan jawaban lebih umum ketika ditanya mengenai apa itu maysir. Jawaban beliau, “Setiap yang melalaikan dari dzikrullah (mengingat Allah) dan dari shalat, itulah yang disebut maysir.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39: 406). Dari penjelasan Imam Malik menunjukkan ada permainan yang terlarang yaitu catur dan dadu. Dua permainan ini disebut maysir.

Namun mengenai permainan catur sendiri ada perselisihan ulama mengenai larangannya. Insya Allah akan dikaji oleh Rumasyho.com dalam kesempatan lainnya.

Nasehat

Seorang muslim ketika Allah dan Rasul-Nya melarang sesuatu, sikap mereka adalah mematuhinya. Jika berisi perintah, ia laksanakan. Jika berisi larangan, ia jauhi sejauh-jauhnya. Lihatlah bagaimana contoh teladan dari sahabat yang mulia, Abu Bakr Ash Shiddiq dalam menerima ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakr berkata,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

”Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebaliknya jika itu larangan, maka Abu Bakr akan menjauh sejauh-jauhnya. Itulah teladan yang mesti kita contoh.

Larangan bermain dadu di sini sifatnya umum, bukan hanya untuk judi saja yang dilarang, termasuk pula untuk permainan anak-anak seperti monopoli dan ular tangga meskipun tidak ada taruhan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَاللَّعِبُ بِالنَّرْدِ حَرَامٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِعِوَضِ عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ وَبِالْعِوَضِ حَرَامٌ بِالْإِجْمَاعِ .

“Permainan dadu itu haram meskipun bukan untuk maksud memasang taruhan (judi). Demikian pendapat kebanyakan ulama. Sedangkan jika permainan dadu ditambah dengan taruhan, maka jelas haramnya berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’)” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 246).

Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk

Referensi:

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.

Al Musabaqot wa Ahkamuhaa fi Asy Syari’ah Al Islamiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Darul ‘Ashimah dan Darul Ghoits, cetakan kedua, 1431 H.

Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

Keamanan, Anugerah Yang Terlupakan

Keamanan, Anugerah Yang Terlupakan 

Khutbah Pertama:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ؛ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

أَمَّا بَعْدُ مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ:

اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ فِي السِرِّ وَالعَلَانِيَةِ وَالغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ .

Ibadallah,

Bertakwalah kepada Allah dengan mentaatiNya, karena ketakwaan merupakan bekal yang terbaik. Tidak seorangpun yang berpegang kepada ketakwaan kecuali beruntung meraih kebaikan-kebaikan dunia dan bahagia pada hari kebangkitan. Allah berfirman:

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يُكَفِّرۡ عَنۡهُ سَيِّ‍َٔاتِهِۦ وَيُعۡظِمۡ لَهُۥٓ أَجۡرًا

“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.” (QS. At-Thalaq: 5).

Wahai manusia sekalian, ingatlah kenikmatan dan anugerah yang Allah telah sempurnakan bagi kalian dan bencana yang Allah hilangkan dari kalian, maka betapa baiknya Allah Ta’ala, dan betapa besarnya kedermawananNya, dan betapa luasnya rahmat-Nya, serta betapa mantap dan sempurnanya syariat-Nya. Maka diantara rahmat Allah adalah Allah mensyariatkan bagi hamba-hambaNya semua yang bermanfaat bagi mereka dan membahagiakan mereka dan menjadikan mereka hidup dalam kehidupan yang bahagia, tentram dan aman. Maka Allah mensyariatkan kepada para hamba sebab-sebab yang mewujudkan keamanan dan ketentraman serta kenyamanan dengan kehidupan yang mulia. Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfal: 24).

Keamanan merupakan benteng Islam, dan Orang-orang Islam adalah penduduknya, maka benteng akan menjaga mereka dari para musuh Islam dan musuh orang Islam. Maka kaum muslimin menjaga benteng ini agar tidak dihancurkan oleh para perusak. Maka keamanan merupakan pagar Islam yang di balik pagar tersebut kaum muslimin berlindung dan ditolaknya serangan para perusak dan kezoliman orang-orang zalim.

Kaum muslimin menjaga pagar ini dari kapak-kapak penghancur dan mereka menjaga pagar ini jangan sampai hancur dan lebur karena dengan terjaganya keamanan Allah menjaga agama, darah, kehormatan, harta, saling bertukar kemanfaatan, dan bebasnya pergerakan kehidupan pada seluruh aktifitasnya, demikian juga menjaga jalan-jalan yang mengantarkan manusia ke berbagai negeri untuk menunaikan kebutuhan mereka dan meraih kemaslahatan mereka serta memperoleh rizki mereka. Allah berfirman:

أَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَهُمْ حَرَمًا آمِنًا يُجْبَى إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ كُلِّ شَيْءٍ رِزْقًا مِنْ لَدُنَّا وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-Qosos: 57).

Dari Ubaidillah bin Mihson radhiallahu ‘anhu ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا

“Siapa diantara kalian yang aman di pagi hari di rumahnya, tubuhnya sehat dan ia memiliki makanan untuk hari tersebut maka seakan-akan dunia seluruhnya telah diberikan kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi dan ia berkata: Hadits hasan).

Keamanan merupakan kawannya keimanan dan setara dengan Islam, dari Tholhah bin Ubaidillah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika melihat hilal beliau berkata:

اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيْمَانِ، وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللهُ، هِلاَلَ خَيْرٍ وَرُشْدٍ

“Ya Allah terbitkanlah hilal kepada kami dengan keamanan, keimanan, keselataman, dan Islam, Robku dan Rabmu adalah Allah, hilal kebaikan dan petunjuk.” (HR. At-Tirmidzi dan ia berkata; Hadits hasan).

Keamanan adalah ketenangan jiwa, dan ketenangan dalam kehormatan, ketenangan dalam harta dan asset-aset, ketenangan dalam perjalanan, semuanya tanpa ada rasa ketakutan. Demikian juga ketenangan terhadap hak-hak maknawi dan kesopanan yang diakui oleh Islam dengan tidak boleh dibuang atau merendahkannya.

Keamanan bagian dari Islam, dan syariat Islam telah datang menjamin keamanan bagi seorang muslim dalam kehidupannya dan setelah matinya agar ia bisa hidup dengan kehidupan yang bahagian dan tentram, sebagaimana firman Allah:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl 97).

Maka mentauhidkan Allah penguasa alam semesta adalah kewajiban yang pertama kali. Siapa yang mewujudkan tauhid maka Allah akan mengganjarinya keamanan dan petunjuk serta menjaganya dari hukuman kesyirikan di dunia dan dari ketakutan di akhirat. Allah berfirman pada kisah Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam:

قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ وَلَا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبِّي شَيْئًا وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ (80) وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلَا تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِالْأَمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (81) الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Dia (Ibrahim) berkata: “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku”. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)? Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’aam: 80-82).

Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

“Barangsiapa yang selamat dari ketiga jenis kezoliman yaitu kesyirikan, menzolimi para hamba yang lain dan menzolimi diri sendiri selain kesyirikan maka baginya keamanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna. Barangsiapa yang tidak selamat dari menzolimi dirinya sendiri maka ia akan mendapatkan mutlaknya keamanan dan petunjuk” (demikian).

Yaitu berdasarkan selamatnya ia dari perkara-perkara yang selain syirik besar.

Allah berfirman:

لَا يَحْزُنُهُمُ الْفَزَعُ الْأَكْبَرُ وَتَتَلَقَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ هَذَا يَوْمُكُمُ الَّذِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat), dan mereka disambut oleh para malaikat. (Malaikat berkata): “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu”. (QS. Al-Anbiyaa: 103).

Diantara sebab diraihnya keamanan adalah seorang muslim menjalankan syariat Islam, karena syariat Islam menjaga hak-hak Allah, hak para hamba, dan melarang dari dosa, kezoliman, dan pelanggaran. Allah berfirman :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ

“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain).” (QS. Al-Ankabuut: 45).

Allah juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90).

Dari Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تحاسدوا ولا تناجشوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يبع بعضكم على بيع بعض وكونوا عباد الله إخوانا المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يحقره ولا يخذله التقوى هاهنا – ويشير إلى صدره ثلاث مرات- بحسب امرئ من الشر أن يحقر أخاه المسلم كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه

“Janganlah kalian saling hasad, janganlah saling berbuat najasy, janganlah saling membenci, janganlah saling memboikot (saling balik belakang), dan janganlah sebagian kelian menjual di atas penjualan sebagian yang lain, dan jadikanlah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, ia tidak menzoliminya, tidak merendahkannya, tidak meninggalkannya tatkala perlu. Takwa itu tempatnya di sini –seraya Nabi mengisyaratkan kepada dadanya- tiga kali. Cukuplah seseorang dikatakan telah berbuat keburukan kalau ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Seorang muslim bagi muslim yang lain adalah diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim).

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَظْلِمُوا أَهْلَ الذِّمَّةِ

“Janganlah kalian menzolimi ahlu adz-Dimmah.”

Allah telah menjadikan keamanan sebagai perkara yang diakui sebagai syarat dalam sebagian ibadah dan hukum. Allah berfirman tentang sholat yaitu dalam melaksanakannya dengan sifat sholatnya di luar kondisi ketakutan:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa: 103).

Zakat tidak ditarik dari harta-harta yang zahir maupun buah-buahan dan biji-bijian kecuali bila keamanan benar-benar kondusif. Firman Allah:

فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ

“Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ´umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat).” (QS Al-Baqarah: 196).

Ibadah kepada Allah akan lebih khusu’ dan jernih dalam suasana aman dari pada yang dilakukan dalam situasi takut.

Firman Allah:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55).

Di antara faktor keamanan ialah memberikan perlindungan keamanan kepada masyarakat dari gangguan para pengacau keamanan, pelaku sabotase, penjahat, dan agresor, yaitu melalui (kontrol sosial) amar makruf dan nahi anil munkar, penyuluhan, bimbingan, pengajaran dan peringatan dari perbuatan bid’ah dan hal-hal yang dilarang agama, termasuk menyempal dari kelompok kaum muslimin dan imam mereka, juga dengan melaporkan kepada penguasa akan gangguan kelompok yang meyimpang dan merusak.

Firman Allah:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).

Dari Abi Saed Al-Khudhri, Rasululla shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan kekuatan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lidahnya, bila itupun tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

Termasuk faktor utama keamanan ialah kekuatan penguasa dan tindakan tegasnya terhadap para pelaku kriminal untuk memberi efek jera terhadap mereka agar tidak berbuat kerusakan di bumi sesuai ketentuan hukum syariat yang toleran. Maka orang yang zalim dan menyerang harus dicegah dengan cara-cara tertentu agar tidak melakukan kezaliman dan penyerangan meskipun dia adalah sesama muslim. Orang kafir zimi dari kalangan Ahlu kitab tetap diakui agamanya, sebab resiko kekafirannya menjadi tanggungan mereka sendiri, sedangkan penguasa bertanggung jawab atas rakyatnya.

Utsman radhiallahu ‘anhu berkata:

إن الله يزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن

“Sesungguhnya Allah melalui tangan penguasa dapat mencegah suatu kejahatan yang tidak dapat tercegah oleh Alquran.”

Maka akan lebih baik bagi masyarakat bila pengendalian agama yang ada pada mereka kuat dan penguasa pun kuat. Maka dalam kondisi demikian urusan umat menjadi sangat baik dari segi agama dan urusan dunia. Kemudian menyusul kondisi setingkat di bawahnya, yaitu penguasa kuat namun pengendalian agama pada sebagian masyarakat lemah. Di sini penguasa masih tetap dapat meluruskan masyarakat dan menghukum kaum perusak dan penjahat. Dalam kondisi demikian masyarakat tergolong dalam jalan keselamatan.

Jika kita mengamati hukum perundang-undangan islam, dapat kita saksikan, banyak kaum muslimin dalam kurun waktu yang panjang tidak ada seorang pun yang menggugat mereka terkait dengan kasus pidana atau kehormatan atau perdata atau hak apapun, sebab mereka benar-benar menerapkan hukum islam dan memenuhi hak-hak orang lain. Oleh karena itu kaum muslimin dapat merasakan nikmatnya aman dan iman. Barangsiapa yang melaksanakan hukum perundang-undangan islam dalam kehidupannya, maka tidak ada jalan untuk mengganggunya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Orang Islam ialah orang yang membuat orang-orang islam lainnya merasa aman dari gangguan lidahnya dan tangannya.”

Syariat Islam telah memagari keamanan rapat-rapat melalui penjagaan, pengawasan dan kekuatan. Karena Allah Swt menggantungkan semua kepentingan manusia pada sisi keamanan terkait dengan urusan agama dan dunia. Maka jika ada seseorang yang mencoba melanggar keamanan dengan perbuatan cabul (zina) atau homoseksual, maka penguasa akan menegakkan sanksi hukuman terhadap si pelanggar demi terjaganya kehormatan, harga diri dan garis keturunan manusia manakala telah ada bukti-bukti lengkap. Jika keamanan terganggu oleh tindak pencurian, pelakunya pun dijatuhi hukuman demi terpeliharanya harta benda. Jika ada seseorang yang minum khamar atau mengkonsumsi narkoba atau memasarkannya, berarti ia telah melanggar keamanan, maka dia pun dijatuhi hukuman untuk melindungi akal pikiran manusia. Jika ada yang menumpahkan darah secara sengaja, peguasa pun tidak menjatuhkan hukuman Qisas terhadapnya untuk terpeliharanya darah manusia.

Jika ada komplotan penjahat yang menumpahkan darah tak berdosa atau merampok harta benda, penguasa pun menegakkan hukum Allah terhadapnya sesuai dengan firman-Nya:

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ، إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ .

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah : 33-34).

Sanksi hukuman apapun yang dijatuhkan tiada lain hanyalah untuk melindungi masyarakat dari kejahatan pelaku kriminal yang mengganggu keamanan masyarakat, di samping untuk menghapuskan dosa pelakunya. Barangsiapa yang bertobat, maka Allah menerima tobatnya, dan barangsiapa yang telah Allah tutupi kesalahan-kesalahannya, selama dirinya tidak lagi membahayakan orang lain, maka urusannya ada di tangan Allah.

Jika Allah telah menganugerahkan keamanan kepada suatu masyarakat, maka Allah mudahkan sumber-sumber rezekinya sehingga berjalan dinamika kehidupannya, makmur perekonomiannya, terpelihara jiwanya, hartanya dan martabatnya. Namun jika keamanan terganggu, maka kehidupan terasa pahit yang tidak tertahan.

Allah berfirman:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيها رِزْقُها رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذاقَهَا اللَّهُ لِباسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِما كانُوا يَصْنَعُونَ

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl: 112).

Keamanan merupakan kesempurnaan agama dan salah satu tujuan pokok syariat islam yang agung.

Dari Khabab Bin Al-Art, ia berkata:

Kami mengadu kepada Nabi Muhammad saw pada saat beliau sedang berbantal dengan selendangnya di bawah naungan Ka’bah, kami berkata kepada beliau, “Tidakkah engkau memohon agar Allah memberikan pertolongan -Nya bagi kami?. Tidakkah engkau berdoa agar Allah memberikan kemenangan bagi kami?. Maka Nabi Muhammad saw bersabda, “Sungguh seorang lelaki sebelum kalian digalikan baginya sebuah lubang di tanah lalu dia ditimbun padanya, dan didatangkan baginya sebuah gergaji dan diletakkan pada kepalanya lalu kepalanya dibelah dua, seorang lelaki lain disisir dengan sisir dari besi pada bagian daging, tulang dan urat-uratnya, namun hal itu sungguh tidak menyurutkan tekadnya dari Agama Allah.

Demi Allah! Sungguh Allah akan menyempurnakan urusan agama ini sehingga seseorang akan berjalan dari Shan’a sehingga ke Hadhramaut dan dia tidak akan takut kecuali kepada Allah dan serigala yang akan menerkam kambing gembalaannya, sayangnya kalian tergesa-gesa”. (HR. Bukhari).

Allah Ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Ingatlah kepadaKu, niscaya Aku mengingat kalian dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian kafir kepada-Ku.”

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ الكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِي اللهُ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، وَأَقُوْلُ هَذَا القَوْلَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.

Khutbah Kedua:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَظِيْمِ الإِحْسَانِ وَاسِعِ الفَضْلِ وَالْجُوْدِ وَالْاِمْتِنَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى .

Ibadallah,

Sesungguhnya nikmat keamanan adalah anugerah yang sangat agung. Maka ada di antara manusia yang bersyukur atas nikmat itu sehingga Allah memberinya pahala bahkan Allah menambahkan anugrahnya, namun ada pula manusia yang tidak menghargai nikmat dan tidak sabar sebagai dalam nikmat tersebut sehingga Allah menjatuhkan hukuman terhadapnya dan menghalanginya dari nikmat-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ نَعْمَاءَ بَعْدَ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ ، إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ ،

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih . Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku”; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga . Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud: 9-11).

Jelaslah, hukum syariat Allah hakikatnya adalah rahmat, memberikan rasa keadilan, kedamaian, keamanan dan ketenteraman di dunia dan akhirat.

Dalam sebuah hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا

“Allah mempunya rahmat kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anak-nya.”

وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا)) .

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةَ المَهْدِيِيْنَ؛ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِيْ الحَسَنَيْنِ عَلِيٍّ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.

اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ دِيْنَكَ وَكِتَابَكَ وَسُنَّةَ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا المُسْلِمِيْنَ المُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ انْصُرْهُمْ فِي أَرْضِ الشَامِ وَفِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ كُنْ لَنَا وَلَهُمْ حَافِظاً وَمُعِيْنًا وَمُسَدِّداً وَمُؤَيِّدًا، اَللَّهُمَّ كُنْ لَنَا وَلَهُمْ وَلَا تَكُنْ عَلَيْنَا، وَانْصُرْنَا وَلَا تَنْصُرْ عَلَيْنَا، وَامْكُرْ لَنَا وَلَا تُمْكِرْ عَلَيْنَا، وَاهْدِنَا وَيَسِّرْ الهُدَى لَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيْنَا. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا لَكَ ذَاكِرِيْنَ، لَكَ شَاكِرِيْنَ، إِلَيْكَ أَوَّاهِيْنَ، لَكَ مُخْبِتِيْنَ، لَكَ مُطِيْعِيْنَ. اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ تَوْبَتَنَا، وَاغْسِلْ حَوْبَتَنَا، وَثَبِّتْ حُجَّتَنَا، وَاهْدِ قُلُوْبَنَا، وَسَدِّدْ أَلْسِنَتَنَا، وَاسْلُلْ سَخِيْمَةَ صُدُوْرِنَا.

اَللَّهُمَّ وَاغْفِرْ لَنَا ذُنُبَنَا كُلَّهُ؛ دِقَّهُ وَجِلَّهُ، أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، سِرَّهُ وَعَلَّنَهُ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ العَمَلَ الَّذِيْ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَ. اَللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ الإِيْمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةَ مُهْتَدِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَأَخْرِجْنَا مِنَ الظُلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ. اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ اللهِ: أُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، { وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ } .

Amal Itu Bertingkat - tingkat

Amal Itu Bertingkat - tingkat 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah berkata:

إِنَّ الْأَعْمَالَ لَا تَتَفَاضَلُ بِالْكَثْرَةِ، وَإِنَّمَا تَتَفَاضَلُ بِمَا يَحْصُلُ فِي الْقُلُوبِ حَالَ الْعَمَلِ

“Sesungguhnya amal itu bertingkat-tingkat keutamaannya bukan karena banyaknya. Namun karena apa yang ada di hati saat beramal..”
(Majmu Fatawa 25/282)

Apa yang ada di hati berupa:
– keikhlasan
– kekhusyuan
– cinta dan takut
– berharap akan rahmat-Nya
Semua itu amat mempengaruhi keutamaan amal..

Amal walaupun besar tapi kurang ikhlas..
maka berkurang pula pahalanya..

dan amal yang kecil namun disertai hati yang ikhlas dan rasa cinta yang besar..
Ia menjadi besar pahalanya..

Wanita Menjalankan Puasa Sunnah Harus Dengan Ijin Suami

Wanita Menjalankan Puasa Sunnah Harus Dengan Ijin Suami 

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Dalam melaksanakan puasa Sunnah, ada suatu aturan yang mesti diperhatikan oleh wanita muslimah. Aturan yang dimaksud adalah ia harus meminta izin pada suami ketika ingin menjalankan puasa sunnah. Keterangan selengkapnya silakan disimak dengan seksama dalam risalah berikut.

Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”[2]

Dalam lafazh lainnya disebutkan,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ

“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya”[3]

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya.[4]

An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.”[5]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.”[6]

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.”[7]

Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis[8]), (2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.[9]

Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa.[10] Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.

Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.”[11]

An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.”[12]

Semoga sajian singkat ini bermanfaat bagi wanita muslimah dan pembaca rumaysho.com lainnya. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

_________________


[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9996, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21.

[2] HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026.

[3] HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ (6/392) mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.”

[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21.

[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392, 7/115.

[6] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 9/295

[7] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21.

[8] Puasa senin kamis bisa saja dilaksanakan di minggu-minggu berikutnya. Jadi waktunya begitu longgar.

[9] Ini berarti kalau puasanya adalah puasa Syawal, maka boleh tanpa izin suami karena puasa Syawal adalah puasa yang memiliki batasan waktu tertentu hanya di bulan Syawal.

[10] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21; dan lihat Fathul Bari, 9/296.

[11] Fathul Bari, 9/296.

[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/115

Berwibawa Diluar Rumah, Ramah Dan Akrab Dirumah

Berwibawa Diluar Rumah, Ramah Dan Akrab Dirumah 

Salah satu sifat suami yang baik adalah berwibawa, disegani dan bisa diandalkan di luar rumah, baik itu ketika bekerja atau bermuamalah. Di dalam rumahnya, seorang suami ramah, akrab dan bermain-main dengan istri dan anak-anaknya. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Perhatikan riwayat berikut,

عن ثابت بن عبيد رحمه الله قال : مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَجَلَّ إِذَا جَلَسَ مَعَ الْقَوْمِ ، وَلاَ أَفْكَهَ فِي بَيْتِهِ ، مِنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِت

Dari Tsabit bin Ubaid,  “Aku belum pernah melihat seorang yang demikian berwibawa saat duduk bersama kawan-kawan namun demikian akrab dan kocak saat berada di rumah melebihi Zaid bin Tsabit”[1]

Karenanya ada perumpamaan bagi suami,
“Singa di luar rumah dan kucing di dalam rumah”

Seorang suami layaknya singa di luar rumah, berwibawa, disegani dan dapat diandalkan, sedangkan di dalam rumah, ia akrab dan bermain-main dengan keluarganya sebagaimana anak kucing yang memainkan pintalan benang. Janganlah terbalik, suami di luar rumah tidak berwibawa dan terlalu sering melucu yang bisa menurunkan kewibawaan dan tidak disegani orang, akan tetapi di dalam rumah ia bagaikan singa yang mudah mengaum, mudah marah dan mengamuk, istri dan anak-anaknya sangat takut padanya serta tidak adanya rasa kasih sayang, ia membuat suasana rumah menjadi tegang dan menakutkan. Tentu ini bukanlah sifat suami yang baik.

Perhatikan hadits berikut yang menjelaskan bahwa semua permainan itu bisa melalaikan, akan tetapi ada pengecualiannya yaitu bermainnya suami bersama anggota keluarganya. Hal ini justru bermanfaat dan dianjurkan oleh agama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ شَيْئٍ يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ بَاطِلٌ إِلاَّ في ثَلاَثَة رَمْيُ الرَّجُلُ بِقَوْسِهِ وَ تَأْدِيْبُهُ فَرَسَهُ و مُلاَعَبَتُهُ أَهْلَهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الْحَقِّ

”Segala sesuatu yang dijadikan permainan oleh seseorang adalah batil, kecuali tiga perkara, melepaskan panah dari busurnya, latihan berkuda, dan senda gurau (mula’abah) bersama keluarganya, karena itu adalah hak bagi mereka.”[2]

Al-Khattabi rahimahullah berkata,

قَال الْخَطَّابِيُّ : فِي هَذَا بَيَانُ أَنَّ جَمِيعَ أَنْوَاعِ اللَّهْوِ مَحْظُورَةٌ ، وَإِنَّمَا اسْتَثْنَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Pada hadits ini terdapat penjelasan bahwa semua jenis permainan yang bisa melalaikan adalah terlarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecualikannya (pada hadits)”[3]

Suami di dalam rumah hendaknya menyempatkan bercanda dan ngobrol akrab dengan istrinya, bermain-main dengan anak-anaknya, misalnya main kuda-kudaan dengan anak-anaknya.

Lihat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermain-main dengan istrinya semisal berlomba lari dengan istrinya, atau bermain-main saling berebut gayung ketika mandi bersama yang merupakan sunnah bagi pasutri.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan,

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُوْلُ دَعْ لِيْ دَعْ لِيْ قَالَتْ وَهُمَا جُنُبَانِ

“Aku mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu tempayan (yang diletakan) antara kami berdua, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahuluiku (dalam mengambil air dari tempayan) hingga aku berkata, “Sisakan air buatku, sisakan air buatku”. Mereka berdua dalam keadaan junub.”[4]

Inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik dengan keluarga, istri dan anak-anak beliau. Beliau bersabda,

ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﻷَﻫْﻠِﻪِ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﻷَﻫْﻠِﻲ

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku”.[5]

Di riwayat yang lain,

وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

“dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”[6]

@ Di antara bumi dan langit Allah, Pesawat Express Air Yogyakarta – Pontianak

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Catatan kaki:

[1] Al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari no 286

[2] HR. Ath-Thabrani dalam kitab Fadhailu -r Ramyi wa Ta’liimih (1/30)

[3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 35/337

[4] HR Muslim I/257 no 321

[5] HR. At Tirmidzi no: 3895 dan Ibnu Majah no: 1977 dari sahabat Ibnu ‘Abbas. Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no: 285

[6] HR At-Thirmidzi no 1162,Ibnu Majah no 1987 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 284