Harga Diri Laki laki Adalah Bekerja

Harga Diri Laki laki Adalah Bekerja 

Bagi laki-laki khususnya suami, jangan sampai anda tidak bekerja dan berpangku tangan terus-menerus.

“Tetaplah bekerja walaupun tidak punya pekerjaan tetap”
Terkadang “Rasa gengsi” dan “tidak mau memulai” itulah yang membuat laki-laki menganggur lama dan tidak bekerja. Jika direnungi sangat banyak pekerjaan yang bisa menghasilkan harta walaupun sedikit. Paling minimal bisa memberikan makan keluarga. Misalnya
-Memulai bisnis sederhana menjual nasi kuning pagi-pagi pinggir jalan

-Memulai menjadi karyawan pembantu warung pinggir jalan

-Dan usaha lainnya dengan modal seadanya yang ada pada saat itu
Perhatikan hadits berikut, yaitu seorang yang bekerja seadanya mencari kayu di hutan kemudian menjualnya untuk penghidupannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ﻷَﻥْ ﻳَﺄْﺧُﺬَ ﺍََﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺍَﺣْﺒُﻠَﻪُ ﺛُﻢَّ ﻳَﺎْﺗِﻰ ﺍﻟْﺠَﺒَﻞَ ﻓَﻴَﺎْﺗِﻰَ ﺑِﺤُﺰْﻣَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺣَﻄَﺐٍ ﻋَﻠَﻰ ﻇَﻬْﺮِﺥِ ﻓَﻴَﺒِﻴْﻌَﻬَﺎ ﻓَﻴَﻜُﻒَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﺧَﻴْﺮٌﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺍَﻥْ ﻳَﺴْﺄَﻝَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺍَﻋْﻄَﻮْﻩُ ﺍَﻭْ ﻣَﻨَﻌُﻮْﻩُ .


“Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. [1] Yang paling penting  adalah tawakkal, sebagaimana tawakkal burung. Burung bergerak dahulu, keluar dahulu untuk mencari makan, padahal burung tidak tahu di mana makanannya, tetapi poinnya adalah: tetap bergerak dan tetap bekerja [2] Bisa saja Allah akan bukakan pintu rezeki selanjutnya, misalnya:
-Warung nasi kuningnya berkembang pesat, punya nama dan punya banyak cabang dan berhasil
-Setelah menjadi karyawan warung, ia bisa mempelajari dan membuka warung sendiri kemudian berkembang san sukses dengan banyak cabang
Perhatikan bagaimana Nabi Dawud, seorang raja, akan tetapi makan dari hasil usahanya sendiri.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ﻛَﺎﻥَ ﺩَﺍﻭُﺩُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻼﻡُ ﻻَﻳَﺄْﻛُﻞُ ﺍِﻻَّ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻞِ ﻳَﺪَِْﻩِ .


 “Nabi Daud tidaklah makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri”.[3] Demikian juga nabi Zakaria yang seorang tukang kayu, meskipun beliau adalah Nabi dan memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, beliau tidak malu menjadi tukang kayu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda


ﻛَﺎﻥَ ﺯَﻛَﺮِﻳَّﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻼﻡُ ﻧَﺠَّﺎﺭًﺍ .


 “Nabi Zakaria Alaihissalam adalah seorang tukang kayu”.[4] Jadi, jangan sampai kita hanya berpangku tangan saja, tidak mau bekerja hanya karena gengsi dan terlalu banyak rencana dan ingin kesempurnaan sehingga tidak mau memulai.

Cinta Dunia Merusak Hati

Cinta Dunia Merusak Hati 

Tujuan hidup seorang Muslim adalah akhirat, bukan dunia. Akhirat (surga) merupakan puncak cita-cita seorang Muslim. Orang yang beriman dan berakal memandang dunia dan akhirat dengan sudut pandang yang benar.

Cinta seseorang kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan bersikap zuhud terhadap dunia. Sementara, zuhud terhadap dunia tidak akan terealisasi melainkan setelah ia memandang kedua hal ini dengan sudut pandang yang benar.

Pertama, memandang dunia sebagai sesuatu yang mudah hilang, lenyap, dan musnah. Dunia adalah sesautu yang kurang, tidak sempurna dan hina. Persaingan dan ambisi dalam mendapatkan hal-hal duniawi sangat menyakitkan. Dunia adalah tempat kesedihan, kesusahan dan kesengsaraan. Akhir dari semua masalah duniawi adalah kefanaan yang diikuti dengan penyesalan dan kesedihan. Orang yang mengejar kenikmatan dunia tidak lepas dari tiga keadaan yaitu kecemasan sebelum meraihnya, keresahan pada saat meraihnya, dan kesedihan setelah meraihnya.

Kedua, memandang akhirat sebagai sesuatu yang pasti datang, kekal dan abadi. Karunia dan kebahagiaan yang terdapat di akhirat begitu mulia, dan apa yang ada di akhirat sangat berbeda dengan apa yang ada di dunia. Akhirat adalah sebagaimana yang difirmankan Allâh Azza wa Jalla :

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. [Al-A’la/87: 17]

Apabila seseorang lebih mengutamakan sesuatu yang fana dan tidak sempurna, maka itu merupakan indikasi ketidaktahuannya terhadap mana yang lebih utama atau jika dia tahu maka itu merupakan indikasi dia tidak menginginkan sesuatu yang lebih utama tersebut.

Kedua hal ini menunjukkan lemahnya iman, akal, dan hatinya. Sebab, orang yang mengejar dunia, berambisi terhadapnya, dan lebih memprioritaskannya daripada akhirat, tidak luput dari kondisi apakah ia percaya bahwa apa yang di akhirat itu lebih mulia, lebih utama, dan lebih kekal daripada apa yang ada di dunia, ataukah ia tidak percaya akan hal tersebut? Jika ia tidak percaya, berarti ia tidak mempunyai keimanan. Tapi jika ia percaya namun tidak lebih mengutamakan akhirat daripada dunia, maka ia adalah orang yang akalnya rusak dan tidak pandai memilih yang terbaik bagi diri sendiri.

Pembagian ini penting untuk diketahui, mengingat bahwa setiap hamba tidak dapat terlepas dari salah satunya. Dengan kata lain, orang yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat disebabkan oleh dua faktor; pertama adalah rusaknya iman, dan yang kedua adalah rusaknya akal. Sungguh, alangkah banyak orang yang mengalami kedua hal tersebut.

Oleh sebab itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Beliau mencampakkan dunia di belakang punggung mereka. Mereka memalingkan hati mereka dari dunia. Mereka mengabaikannya dan tidak merasa nyaman dengannya. Mereka meninggalkannya dan tidak mengejarnya. Bagi mereka, dunia adalah penjara, bukan surga, sehingga mereka selalu bersikap zuhud dalam arti yang sebenarnya. Seandainya menginginkan dunia, niscaya mereka akan mendapatkan apa yang disenangi dan mencapai apa yang diinginkan.

Sungguh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditawarkan kunci-kunci perbendaharaan dunia, tetapi Beliau menolaknya. Dunia juga ditawarkan kepada para Sahabat Beliau n , namun mereka tidak terpengaruh dan tidak menukar akhirat mereka dengannya. Mereka tahu bahwa dunia hanya tempat melintas dan persinggahan, bukan tempat untuk tinggal dan menetap.

Dunia adalah tempat kesedihan, bukan tempat kebahagiaan. Dunia tak ubahnya seperti awan pada musim kemarau yang membumbung di langit namun hanya sebentar lalu menghilang. Dunia seperti khayalan (mimpi) sesaat yang belum juga kita puas menikmatinya, tiba-tiba diumumkan untuk berangkat (menuju tempat tujuan).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَالِيْ وَلِلدُّنْيَا ؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟ إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Apalah artinya dunia ini bagiku?! Apa urusanku dengan dunia?! Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya[1]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هٰذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَ بِالسَّبَّابَةِ – فِـي الْيَمِّ ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِـعُ ؟

Demi Allâh! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian meletakkan jarinya -Yahya (perawi hadits) berisyarat dengan jari telunjuknya- ke laut, lalu lihatlah apa yang dibawa jarinya itu?[2]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu hanya seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur (karena air itu), di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya adzab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir. [Yûnus/10:24]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا ﴿٤٥﴾ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Dan buatkanlah untuk mereka (manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allâh Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan. [Al-Kahfi/18:45-46][3]

Ada kabar mutawatir dari ulama Salaf mengatakan, “Cinta dunia merupakan induk dari segala kesalahan (dosa) dan merusak agama. Hal ini ditinjau dari beberapa segi:

Pertama: Mencintai dunia berarti mengagungkan dunia, padahal ia sangat hina di mata Allâh Azza wa Jalla . Termasuk dosa yang paling besar adalah mengagungkan sesuatu yang direndahkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Kedua: Allâh Azza wa Jalla mengutuk, memurkai, dan membenci dunia, kecuali yang ditujukan kepada-Nya. Karena itu, barangsiapa mencintai apa yang dikutuk, dimurkai, dan dibenci oleh Allâh Azza wa Jalla maka ia akan berhadapan dengan kutukan, murka dan kebencian-Nya.

Ketiga: Mencintai dunia berarti menjadikan dunia sebagai tujuan dan menjadikan amal dan ciptaan Allâh Azza wa Jalla yang seharusnya menjadi sarana menuju kepada Allâh Azza wa Jalla dan negeri akhirat berubah menjadi kepentingan dunia. Sehingga ia membalik persoalan dan memutar kebijaksanaan.

Di sini ada dua persoalan:

Menjadikan wasilah (sarana) sebagai tujuan.
Menjadikan amal akhirat sebagai alat untuk menggapai dunia.
Ini adalah keburukan yang terbalik dari semua sisi. Juga berarti membalik sesuatu pada posisi yang benar-benar terbalik. Ini sesuai sekali dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami  berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh  balasan di akhirat kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hûd/11: 15-16]

Keempat: Mencintai dunia membuat manusia tidak sempat melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya di akhirat akibat kesibukannya dengan dunia.

Kelima: Cinta dunia menjadikan dunia sebagai cita-cita terbesar manusia.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَـهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَـتْهُ الدُّنْـيَا وَهِـيَ رَاغِمَـةٌ

Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh Azza wa Jalla akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.[4]

Keenam: Pecinta dunia adalah orang yang paling banyak disiksa karena dunia, ia disiksa pada tiga keadaan. Ia disiksa di dunia dalam bentuk usaha, kerja keras untuk mendapatkannya, dan perebutan dengan sesama pecinta dunia. Dia disiksa di alam barzakh (kubur) dan disiksa pada hari kiamat.

Ketujuh: Penggila harta dan pecinta dunia yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat adalah orang yang paling bodoh dan paling idiot. Sebab, ia lebih mengutamakan khayalan daripada kenyataan, lebih mengutamakan tidur daripada terjaga, lebih mengutamakan bayang-bayang yang segera hilang daripada kenikmatan yang kekal, lebih mengutamakan rumah yang segera binasa dan menukar kehidupan yang abadi yang nyaman dengan kehidupan yang tidak lebih dari sekedar mimpi atau bayang-bayang yang segera hilang. Sesungguhnya orang yang cerdas tidak akan tertipu dengan hal-hal semacam itu.[5]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

مُحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ : هَمٌّ لَازِمٌ ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْقَضِى.

Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal : kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus; kecapekan (keletihan) yang berkelanjutan; dan penyesalan yang tidak pernah berhenti.[6]

Manusia diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk beribadah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agarmereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzâriyât/51:56]

Oleh karena itu wajib dia habiskan waktunya untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Janganlah seorang Muslim tertipu dengan dunia, sehingga dia lalai dan meninggalkan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Rezeki dan ajal sudah ditentukan oleh Allâh Azza wa Jalla , meskipun demikian seorang Muslim wajib mencari nafkah sekedarnya untuk kehidupan dia di dunia. Akan tetapi janganlah kesibukan dia dengan usaha, dagang, kerja, dan lainnya itu membuat ia lalai dari mengingat Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman!Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allâh.Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” [Al-Munaafiquun/63: 9]

Wajib diingat, bahwa kesibukan kita dengan ibadah kepada Allâh dengan ikhlas dan itiiba’ serta senantiasa bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla akan mendatangkan rezeki dan menutup kefakiran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan membukakan jalan keluar bagi-nya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya [Ath-Thalâq/65 : 2-3]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh Ta’ala berfirman,

يَا ابْنَ آدَمَ ! تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِـيْ أَمْلَأُ صَدْرَكَ غِنًـى وَأَسُدُّ فَقْرَكَ ، وَإِلَّا تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَيْكَ شُغْلًا وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ

‘Wahai anak Adam! Curahkanlah (gunakanlah) waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan Aku tutup kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu.’”[7]

Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh tertipu oleh kehidupan dunia. Dan hendaklah ia mencurahkan waktunya untuk beribadah kepada Allâh.

Banyak manusia yang terlalaikan sehingga banyakwaktu yang terbuang sia-sia untuk mengejar dunia, waktu yang digunakan mulai dari pagi hingga malamhanya untuk mengurusi dunia, seperti mencari nafkah,dagang, kerja, lembur, mengerjakan tugas kantor. Sedangkan rizki itu datangnya dengan pasti, setiap anak yang lahir itu sudah membawa rizki. Akan tetapiyang belum pasti adalah keadaan kita dihadapan Allâhpada hari Kiamat, apakah amal kita diterima atau tidak,apakah kita akan masuk surga atau neraka. Oleh karena itu, jangan jadikan dunia ini sebagai tujuan.

Orang yang tujuannya dunia akan dicerai beraikanurusannya dan dijadikan kefakiran di depan pelupukmatanya. Sehingga ia selalu merasa kurang, tidakcukup, dan fakir, padahal Allâh telah memberikan nikmat yang banyak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ، وَأَتَـتْهُ الدُّنْيَا وَهِـيَ رَاغِمَةٌ

Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya,dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.[8]

Akan tetapi dunia tidak akan datang melainkan hanya seukuran apa yang telah Allâh Azza wa Jalla tentukan, meskipun ia telah kerja dari pagi sampai larut malam. Adapun orang yang tujuannya adalah akhirat, maka Allâh Azza wa Jalla kumpulkan seluruh urusannya, Allâh Azza wa Jalla jadikan hatinya itu merasa cukup dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla berikan dan dunia akan datang dalam keadaan hina. Orang yang bahagia adalah orang cukup dan puas dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla berikan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allâh berikan kepadanya[9]

Orang yang beriman dengan iman yang benar, maka dia tidak suka dengan kedudukan dan jabatan, karena kecintaan manusia kepada jabatan atau kepemimpinan akan membawa kepada kerusakan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Yang demikian karena cinta kepada kepemimpinan (kedudukan/jabatan) merupakan sumber kejahatan dan kezhaliman.”[10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَاذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ

Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat rakus manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya.[11]

Di dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ketamakan manusia terhadap harta dan jabatan pasti akan merusak agamanya. Ketamakan manusia kepada harta dan kepemimpinan akan membawa kepada kezhaliman, kebohongan dan perbuatankeji. Bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Na’uudzubillah min dzalik (kita berlindung kepada Allâh dari sifat dan perbuatan demikian).

Orang-orang yang gila kepada harta, kedudukan, jabatan, dan cinta kepada dunia mereka akan menyesal pada hari kiamat, ketika mereka diberikan catatan amalnya dari sebelah kirinya. Semua kekuasaan, jabatan, dan hartanya tidak bermanfaat di akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ ﴿٢٥﴾ وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ ﴿٢٦﴾ يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ ﴿٢٧﴾ مَا أَغْنَىٰ عَنِّي مَالِيَهْ ﴿٢٨﴾ هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ

Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangankirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku(ini) tidak diberikan kepadaku.Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku,Wahai, kiranya (kematian)itulah yang menyudahi segala sesuatu. Hartaku samasekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku.” [Al-Haqqah/69:25-29]

Oleh karena itu, seorang Muslim harus zuhud terhadap dunia dan qanâ’ah (merasa puas dengan rezeki yang Allâh karuniakan kepadanya). Setiap Muslim dan Muslimah harus ingat, bahwa kita diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Kita wajib meluangkanwaktu kita untuk ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Kalau kita sibukkan diri kita dengan ibadah, melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka Allâh Azza wa Jalla akan menutupi kefakiran kita. Janganlah kita disibukkan dengan dunia, dengan angan-angan, cita-cita, main-main, senda gurau, dan menumpuk-numpuk harta yang membuat kita tertipu dengan dunia.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bentuk penyia-nyiaan terbesar (yang banyak dilakukan oleh manusia–pent) yaitu ada dua dan keduanya merupakan pokok segala penyia-nyiaan; pertama menyia-nyiakan hati, kedua menyia-nyiakan waktu.“[12]

Banyak orang yang menyia-nyiakan hatinya dengan lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. Padahal dunia ini lebih jelek dari bangkai kambing, bahkan di sisi Allâh Azza wa Jalla dunia itu tidak sebanding dengan sehelai sayap nyamuk. Dan hendaknya kita ingat bahwa dunia adalah kehidupan yang menipu dan memperdaya hati manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia orang yang sukses (menang). Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”[Ali ‘Imrân/3:185]

Hendaknya seorang Muslim zuhud terhadap dunia dan pendek angan-angannya. Semua umur ini akan ditanya oleh Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu jangan sampai disibukkan dengan dunia dan jangan disibukan dengan angan-angan kosong. Orang-orang kafir disibukan dengan dunia dan disibukan dengan angan-angan yang kosong. Kita disuruh untuk meninggalkan mereka, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla menyuruh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya) [Al-Hijr/15:3]

Panjang angan-angan, merasa masih berusia panjang adalah penyakit berbahaya dan kronis bagi manusia. Jika penyakit ini menjangkiti seorang Muslim, maka itu akan membawa kepada indikasi yang lebih serius. Misalnya ia mulai menjauhi perintah Allâh Azza wa Jalla , enggan bertaubat, cinta kepada dunia, lupa akan kehidupan akhirat yang abadi, dan membuat hati menjadi keras. Allâhul Musta`ân.

Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita untuk zuhud terhadap dunia, tidak tamak kepada dunia, tidak panjang angan-angan, tidak mengharapkan sesuatu pada apa yang ada di tangan manusia. Mudah-mudahan Allâh memberikan kepada kita sifat qanâ’ah, merasa cukup dan puas dengan apa yang Allâh Azza wa Jalla berikan, yang dapat kita gunakan untuk melaksanakan ketaatan kepada Allâh dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. Mudah-mudahan Allâh memberikan keistiqamahan kepada kita dalam menghadapi fitnah dunia, fitnah syahwat dan syubhat. Mudah-mudahan Allâh memasukkan kita ke dalam Surga dan menjauhkan kita dari api Neraka.

Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kita semua.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIX/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1]  Hasan shahih: HR. Ahmad, I/391, 441; at-Tirmidzi, no. 2377; Ibnu Mâjah, no. 4109; dan al-Hâkim, IV/310 dari Sahabat Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu. Imam at-Tidmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 438.
[2]  Shahih: HR. Muslim, no. 2858 dan Ibnu Hibbân, no. 4315-at-Ta’lîqâtul Hisân dari al-Mustaurid al-Fihri Radhiyallahu anhu
[3]  Fawâ`idul Fawâ`id, hlm. 311-313, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tartib,ta’liq, dan takhrij Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hafizhahullah.
[4]  Shahih: HR. Ahmad, V/183; Ibnu Mâjah, no. 4105; Ibnu Hibbân, no. 72-Mawâriduzh Zham-ân; dan al-Baihaqi, VII/288 dari Sahabat Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik Ibnu Mâjah. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 950
[5]  Diringkas dari ‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, hlm. 350-356, Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah
[6]  Ighâtsatul Lahafân, I/87-88 dan lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafân, hlm. 83-84
[7]  Shahih: HR. Ahmad, II/358; at-Tirmidzi, no. 2466; Ibnu Mâjah, no. 4107 dan al-Hâkim, II/443 dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1359 dan Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 3166
[8]   Shahih: HR. Ahmad, V/183; Ibnu Mâjah, no. 4105; Ibnu Hibbân, no. 72–Mawâriduzh Zham’ân, dan Al-Baihaqi, VII/288 dari Sahabat Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 950.
[9]  Shahih: HR. Muslim, no. 1054 dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu
[10]   Majmû’ Fatâwaa, XVIII/162
[11]   Shahih: HR. at-Tirmidzi, no. 2376; Ahmad, III/456, 460; ad-Darimi, II/304; Ibnu Hibban, no. 3218–At-Ta’lîqâtul Hisân; ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr, XIX/96, no. 189; dan lainnya. Hadits ini dinilai shahih oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan lainnya.
[12]   Fawâ`idul Fawaa`id.

Sehat Lebih Baik Dari Kaya

Sehat Lebih Baik Dari Kaya 

Sebagian orang mungkin merasakan penuh kesusahan tatkala ia kekurangan harta atau punya banyak hutang sehingga membawa pikiran dan tidur tak nyenyak. Padahal ia masih diberi kesehatan, masih kuat beraktivitas. Juga ia masih semangat untuk beribadah dan melakukan ketaatan lainnya. Perlu diketahui bahwa nikmat sehat itu sebenarnya lebih baik dari nikmat kaya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ

Tidak mengapa seseorang itu kaya asalkan bertakwa. Sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan hati yang bahagia adalah bagian dari nikmat.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69, shahih kata Syaikh Al Albani)

Orang Kaya Lagi Bertakwa

As Suyuthi rahimahullah menjelaskan bahwa orang kaya namun tidak bertakwa maka akan binasa karena ia akan mengumpulkan harta yang bukan haknya dan akan menghalangi yang bukan haknya serta meletakkan harta tersebut bukan pada tempatnya. Jika orang kaya itu bertakwa maka tidak ada kekhawatiran seperti tadi, bahkan yang datang adalah kebaikan.

Benarlah kata Imam As Suyuthi. Orang yang kaya namun tidak bertakwa akan memanfaatkan harta semaunya saja, tidak bisa memilih manakah jalan kebaikan untuk penyaluran harta tersebut. Akhirnya harta tersebut dihamburkan foya-foya.

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa tidak mengapa seorang muslim itu kaya asalkan bertakwa, tahu manakah yang halal dan haram, ia mengambil yang halal dan meninggalkan yang  haram. Terdapat hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).

Sehat Bagi Orang Bertakwa

Sehat bagi orang bertakwa lebih baik daripada kaya harta. Karena kata para ulama bahwa sehatnya jasad bisa menolong dalam beribadah. Jadi sehat sungguh nikmat yang luar biasa. Sedangkan orang yang sudah kepayahan dan tua renta akan menghalanginya dari ibadah, walaupun ia memiliki harta yang melimpah.  Jadi sehat itu lebih baik dari kaya karena orang yang kaya sedangkan ia dalam keadaan lemah (sudah termakan usia) tidak jauh beda dengan mayit.

Sungguh mahal untuk membayar ginjal agar bisa berfungsi baik. Banyak harta yang mesti dikeluarkan agar paru-paru dapat bekerja seperti sedia kala. Agar lambung bekerja normal, itu pun butuh biaya yang tidak sedikit. Namun terkadang agar organ-organ tubuh tadi bisa bekerja dengan baik seperti sedia kala tidak bisa diganti dengan uang. Di kala organ tubuh yang ada itu sehat, mari kita manfaatkan dalam ketaatan. Jangan sampai ketika datang sakit atau organ tersebut tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya, baru kita menyesal.

Rajin bersyukurlah pada Allah tatkala diberi kesehatan walaupun mungkin harta pas-pasan. Rajin-rajinlah bersyukur dengan gemar lakukan ketaatan dan ibadah yang wajib, maka niscaya Allah akan beri kenikmatan yang lainnya. Syukurilah nikmat sehat sebelum datang sakit. Ingatlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ  ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفِرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ، وَحَيَاتِكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: waktu mudamu sebelum masa tuamu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, waktu kayamu sebelum waktu fakirmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrok, 4/341, dari Ibnu ‘Abbas. Hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

Cerianya Hati

Hati yang bahagia juga termasuk nikmat. Meskipun hidup di bawah jembatan, penuh kesusahan, hidup pas-pasan, namun hati bahagia karena dekat dengan Allah, maka itu adalah nikmat. Nikmat seperti ini tetap harus disyukuri meski kesulitan terus mendera. Ingatlah letak bahagia bukanlah pada harta, namun hati yang selalu merasa cukup, yaitu hati yang memiliki sifat qona’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hatiu yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)

Doa Agar Tetap Diberi Kesehatan

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata, “Di antara doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK, WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK, WA FUJAA’ATI NIQMATIK, WA JAMII’I SAKHOTHIK” [Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu]. (HR. Muslim no. 2739).

Wallahu waliyyut taufiq. Semoga Allah senantiasa memberi kita kemudahan untuk taat padanya dan menjauhi maksiat, serta moga kita terus diberi nikmat sehat.

Jangan Nodai Ibadah Dengan Niat Duniawi

Jangan Nodai Ibadah Dengan Niat Duniawi 

Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas suatu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia, karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam semua kebaikan.

Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu”1.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri berkata: “Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang lebih sulit bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya ikhlas)”2.

Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan (manusia) maka itu (ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi dan sangat sedikit orang yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan dengan amal kebaikannya selain wajah Allah, meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari pahala dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan keinginannya. Ikhlas adalah dengan seorang hamba mengikhlaskan untuk Allah (semata) semua ucapan, perbuatan, keinginan dan niatnya”3.

Keinginan/niat duniawi pada amal kebaikan

Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya’, adalah terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang dikerjakan manusia. Penyimpangan ini penting untuk diketahui, karena sering menimpa seorang yang berbuat amal kebaikan tapi dia tidak menyadari terselipnya niat tersebut, padahal ini termasuk bentuk kesyirikan yang bisa menodai bahkan merusak amal kebaikan seorang hamba.

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan ini lebih buruk dari perbuatan riya’ (memperlihatkan amal shaleh untuk mendapatkan pujian dan sanjungan), karena seorang yang menginginkan dunia dengan amal shaleh yang dilakukannya, terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam meyoritas amal shaleh yang dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan riya’, karena riya’ biasanya hanya terjadi pada amal tertentu dan bukan pada mayoritas amal, itupun tidak terus-menerus. Meskipun demikian, orang yang yang beriman tentu harus mewaspadai semua keburukan tersebut4.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang dilakukan)nya5.

Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh berkata: “Termasuk syirik kecil adalah seorang yang menginginkan (balasan di) dunia dengan amal-amal ketaatan (yang dilakukan)nya dan tidak menghendaki (balasan di) akhirat…Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia secara asal, menjadi tujuan (utama) dan (sumber) penggerak (diri mereka) adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu, ayat ini (firman Allah Ta’ala di atas) turun berkenaan dengan orang-orang kafir. Akan tetapi, lafazh ayat ini mencakup semua orang (kafir maupun mukmin) yang menginginkan kehidupan (balasan) duniawi dengan amal shaleh (yang dilakukan)nya”6.

Makna dan perbedaannya dengan riya’

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata tentang makna ayat di atas: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia”, artinya balasan duniawi, “dan perhiasannya”, artinya harta. “Niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna”, artinya: Kami akan sempurnakan bagi mereka balasan amal perbuatan mereka (di dunia) berupa kesehatan dan kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan”7.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata: “Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai) target (utama), niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas kebaikan-kebaikannya (dengan balasan) di dunia, kemudian di akhirat (kelak) dia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan. Adapun orang yang beriman, maka kebaikan-kebaikannya akan mendapat balasan di dunia dan memperoleh pahala di akhirat (kelak)”8.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin mengisyaratkan makna lain dari perbuatan ini, yaitu seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala bukan karena riya’ atau pujian, niatnya ikhlas kerena Allah Ta’ala, akan tetapi dia menginginkan suatu balasan duniawi, misalnya harta, kedudukan duniawi, kesehatan pada dirinya, keluarganya atau keturunannya, dan yang semacamnya. Maka dengan amal kebaikannya dia menginginkan manfaat duniawi dan melalaikan/melupakan balasan akhirat9.

Adapun perbedaan antara perbuatan ini dengan perbuatan riya’, maka perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding perbuatan riya’, bahkan riya’ adalah salah satu bentuk keinginan duniawi dalam beramal shaleh10.

Perbuatan riya’ bertujuan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dengan amal shaleh, sedangkan perbuatan ini tidak bertujuan untuk mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi dengan amal shaleh, seperti harta, kedudukan, kesehatan fisik dan lain-lain11.

Dalil-dalil yang menunjukkan tercela dan buruknya perbuatan ini

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini dibatasi kemutlakannya dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat lain12:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا}

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia) yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” (QS al-Israa’: 18).

Maka kesimpulan makna kedua ayat ini adalah: orang yang menginginkan balasan duniawi dengan amal shaleh yang dilakukannya, maka Allah Ta’ala akan memberikan balasan duniawi yang diinginkannya jika Allah Ta’ala menghendaki, dan terkadang dia tidak mendapatkan balasan duniawi yang diinginkannya karena Allah Ta’ala tidak menghendakinya13.

Oleh sebab itu, semakin jelaslah keburukan dan kehinaan perbuatan ini di dunia dan akhirat, karena keinginan orang yang melakukannya untuk mendapat balasan duniawi terkadang terpenuhi dan terkadang tidak terpenuhi, semua tergantung dari kehendak Allah Ta’ala. Inilah balasan bagi mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka tidak mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun, bahkan mereka akan mendapatkan azab neraka Jahannam dalam keadaan hina dan tercela.

Benarlah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuannya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niatnya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)14.

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang buruknya perbuatan ini: “Binasalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) emas, celakalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) perak, binasalah budak (harta berupa) pakaian indah, kalau dia mendapatkan harta tersebut maka dia akan ridha (senang), tapi kalau dia tidak mendapatkannya maka dia akan murka. Celakalah dia tersungkur wajahnya (merugi serta gagal usahanya), dan jika dia tertusuk duri (bencana akibat perbuatannya) maka dia tidak akan lepas darinya15.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keburukan dan kehinaan perbuatan ini, karena orang yang melakukannya berarti dia menjadikan dirinya sebagai budak harta, karena harta menjadi puncak kecintaan dan keinginannya dalam setiap perbuatannya, sehingga kalau dia mendapatkannya maka dia akan ridha (senang), tapi kalau tidak maka dia akan murka.

Kemudian Rasulullah menggabarkan keadaannya yang buruk bahwa orang tersebut jika ditimpa keburukan atau bencana akibat perbuatannya maka dia tidak bisa terlepas darinya dan dia tidak akan beruntung selamanya16. Maka dengan perbuatan buruk ini dia tidak mendapatkan keinginannya dan dia pun tidak bisa lepas dari keburukan yang menimpanya. Inilah keadaan orang yang menjadi budak harta17na’uudzu billahi min dzaalik.

Beberapa bentuk dan contoh keinginan duniawi pada amal kebaikan

Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh rahimahullah menukil keterangan Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab18 rahimahullah tentang bentuk-bentuk amal shaleh yang dikerjakan dengan keinginan untuk mendapatkan balasan duniawi, sebagai berikut:

  1. Amal shaleh yang dikerjakan oleh banyak orang dengan mengharapkan wajah Allah (ikhlas), berupa sedekah, shalat, (menyambung) silaturahim, berbuat baik kepada orang lain, tidak menzhalimi orang lain, dan lain-lain, yang dilakukan atau ditinggalkan seseorang ikhlas karena Allah, akan tetapi dia tidak menginginkan pahala di akhirat, dia hanya menginginkan balasan (duniawi) dari Allah, dengan (Allah Ta’ala) menjaga hartanya dan mengembangkannya, atau memelihara istri dan anggota keluarganya, atau melanggengkan limpahan nikmat/kekayaan bagi keluarganya. Tidak ada niatnya untuk meraih Surga dan menyelamatkan diri dari (siksa) Neraka. Maka orang seperti ini akan diberikan balasan amal perbuatannya di dunia dan tidak ada bagian (balasan kebaikan) untuknya di akhirat (kelak). Bentuk inilah yang disebutkan oleh (Shahabat yang mulia) Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu.
  2. Ini lebih besar dan lebih menakutkan dari bentuk yang pertama, dan inilah yang disebutkan oleh Imam Mujahid tentang (makna) ayat di atas dan sebab turunnya, yaitu seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan niat untuk riya’ (memamerkannya) kepada orang lain, bukan untuk mencari pahala akhirat.
  3. Seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan tujuan (untuk mendapatkan) harta, seperti orang yang berhaji untuk memperoleh harta, berhijrah untuk mendapatkan (balasan) duniawi atau untuk menikahi seorang wanita, atau berjihad untuk mendapatkan ganimah (harta rampasan perang). Bentuk ini juga disebutkan (oleh sebagian dari ulama salaf) ketika menafsirkan ayat ini. (Contoh lainnya) seperti seorang yang menuntut ilmu karena (keberadaan) madrasah milik keluarganya, usaha mereka, atau kedudukan mereka, atau seorang yang mempelajari al-Qur-an dan kontinyu melaksanakan shalat fardhu karena tugasnya di mesjid, sebagaimana ini sering terjadi.
  4. Seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan niat ikhlas karena Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi dia pernah melakukan perbuatan kufur yang menjadikannya keluar dari agama Islam. Seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani jika mereka beribadah kepada Allah, bersedekah, atau berpuasa dengan mengharapkan wajah Allah dan (balasan) di negeri Akhirat, juga seperti kebanyakan dari kaum muslimin yang pernah melakukan kekafiran atau kesyirikan besar yang mengeluarkan mereka dari agama Islam secara keseluruhan, meskipun mereka melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas mengharapkan ganjaran pahala dari-Nya di negeri Akhirat, akan tetapi mereka pernah melakukan perbuatan (kufur atau syirik) yang mengeluarkan mereka dari agama Islam dan ini menjadikan semua amal perbuatan mereka tidak diterima (oleh Allah Ta’ala). Bentuk ini juga disebutkan dalam penafsiran ayat ini dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan selain beliau.

Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menyebutkan beberapa contoh keinginan duniawi dengan amal shaleh yaitu:

  • Orang yang menginginkan harta, misalnya orang yang melakukan adzan (di masjid) untuk mendapatkan upah/gaji (sebagai muadzdzin), atau orang yang berhaji untuk mendapatkan harta.
  • Orang yang menginginkan kedudukan, misalnya orang yang belajar untuk mendapatkan ijazah sehingga kedudukannya semakin tinggi.
  • Orang yang menginginkan hilangnya gangguan, penyakit dan keburukan dari dirinya, misalnya orang yang beribadah kepada Allah supaya Allah memberikan baginya balasan di dunia berupa kecintaan manusia kepadanya (sehingga mereka tidak menyakitinya), dihilangkan keburukan dari dirinya, dan lain-lain.
  • Orang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk memalingkan wajah manusia kepadanya (menjadikan mereka kagum kepadanya) dengan mencintai dan menghormatinya. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain19.

Beberapa syubhat (kerancuan) dan jawabannya

Berdasarkan pemaparan di atas, kita menetapkan bahwa hukum asal dalam ibadah dan amal shaleh adalah tidak boleh ada niat/keinginan dunia padanya20.

Akan tetapi, dalam masalah ini ada beberapa syubhat/kerancuan yang timbul karena kesalahpahaman atau hawa nafsu, di antaranya:

A. Pendapat yang mengatakan bolehnya meniatkan balasan duniawi dengan amal-amal shaleh. Pendapat ini berargumentasi dengan beberapa hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan balasan duniawi pada beberapa amal shaleh. Misalnya sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya21.

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut22.

Bagaimana cara mendudukkan hadits-hadits ini dan yang semakna dengannya? Karena tidak mungkin Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam justru menjelaskan dan tidak mengingkari perbuatan yang jelas-jelas tercela dalam agama.

Syaikh Shaleh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh telah menjelaskan dan memerinci hal ini, beliau berkata: “Amal-amal shaleh yang dilakukan oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:

  1. Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan balasan di akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal seperti ini tidak boleh diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini maka (berarti) dia telah berbuat syirik dengan kesyirikan seperti yang telah dijelaskan di atas.
  2. Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan menyebutkan balasannya di dunia. Seperti shilaturahim (menyambung hubungan baik dengan kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya23.

Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang melakukannya dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut, (meskipun) dia ikhlas kerena Allah (tapi) dia tidak menghadirkan (menginginkan) balasan akhirat, maka dia masuk dalam ancaman (buruknya perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik yang disebutkan di atas. Akan tetapi jika dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi dan balasan akhirat (secara) bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan balasan di sisi Allah di akhirat (nanti), menginginkan surga dan takut (dengan siksa) neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi dalam amal ini, maka (yang seperti) ini tidak mengapa (tidak berdosa), karena syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi kecuali untuk mendorong (kita).

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut24.

Maka barangsiapa yang membunuh orang kafir di (medan) jihad untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di sisi Allah Ta’ala dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan motivasi baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas pada balasan duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan (balasan) akhirat, maka perbuatan seperti ini tidak mengapa (tidak berdosa) dan tidak termasuk jenis (perbuatan syirik) yang pertama25.

B. Menyebutkan manfaat-manfaat duniawi ketika menjelaskan beberapa hikmah dan faidah amal-amal ibadah. Misalnya, di antara faidah shalat adalah untuk olah raga dan melatih otot, demikian juga puasa, di antara faidahnya adalah mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh, mengatur jadwal makan (diet), menyehatkan lambung dan saluran pencernaan. Apakah ini diperbolehkan?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dalam ucapan beliau: “Semestinya kita tidak boleh menjadikan (menyebutkan) manfaat-manfaat duniawi sebagai asal (yang utama). Karena Allah tidak menyebutkan hal-hal tersebut dalam al-Qur-an, tetapi yang Allah sebutkan (dalam al-Qur-an) adalah bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (buruk), juga tentang puasa adalah sebab untuk (meraih) takwa kepada-Nya. Maka faidah-faidah agama dalam ibadah inilah (yang dijadikan) asal (yang utama), sedangkan faidah-faidah duniawi (dijadikan) nomor kedua (sekunder). Oleh karena itu, ketika kita menjelaskan hal ini di depan orang-orang awam, maka (hendaknya) kita menyampaikan kepada mereka segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama. (Terkecuali) tatkala kita menjelaskan hal ini di depan orang yang tidak merasa puas kecuali dengan sesuatu (faidah) yang bersifat duniawi maka (kita boleh) menjelaskan kepadanya segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama dan dunia (sekaligus). Penjelasan yang kita sampaikan (hendaknya) disesuaikan dengan kondisi (orang yang ada di hadapan kita)”26.

C. Menuntut ilmu agama di universitas-universitas Islam negeri yang kurikulumnya berdasarkan manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah, seperti universitas-universitas di Arab Saudi, kemudian setelah lulus akan mendapatkan ijazah dan gelar, baik itu Lc (Licence), MA (Master of arts) ataupun Dr (doktor), apakah ini diperbolehkan dan tidak termasuk melakukan amal shaleh dengan keinginan duniawi?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan perincian sebagai berikut:

  • Kalau niat dan keinginan orang yang belajar di universitas-universitas tersebut hanya untuk mendapatkan gelar tersebut dan tidak ada niat untuk agama, maka jelas ini termasuk perbuatan buruk yang dijelaskan di atas.
  • Kalau niatnya untuk agama dan akhirat, akan tapi dia menjadikan gelar tersebut hanya sebagai sarana untuk memudahkan dia diterima dan mendapat pengakuan masyarakat, sehingga dengan itu dia lebih mudah mendakwahi dan mengajak mereka ke jalan Allah, karena di jaman sekarang kebanyakan orang sangat memperhitungkan gelar resmi, maka ini diperbolehkan dan niat ini adalah niat yang benar27.

Cara untuk menyelamatkan diri dari keburukan besar ini

Semua kebaikan ada di tangan Allah Ta’ala, tidak ada seorangpun yang mampu melakukan kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari keburukan kecuali Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

{وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ. يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}

“Jika Allah menimpakan suatu keburukan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yuunus: 107).

Khususnya yang berhubungan dengan pemurnian tauhid dan ibadah kepada Allah Ta’ala maka manusia tidak akan mungkin meraihnya tanpa pertolongan-Nya. Renungkanlah makna firman-Nya:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS al-Faatihah:5).

Oleh karena itu, tekun berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sungguh-sungguh untuk memohon taufik-Nya dalam memurnikan tauhid dan menjauhi perbuatan syirik dalam segala bentuk dan jenisnya, ini termasuk sebab terbesar untuk meraih penjagaan dari-Nya dari keburukan besar ini.

Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita yang berhubungan dengan penjagaan dari perbuatan syirik adalah doa:

« اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ »

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)28.

Kemudian termasuk sebab yang paling penting untuk memudahkan kita meraih keikhlasan dalam ibadah dan terhindar dari keburukan syirik dalam segala bentuknya adalah berusaha keras dan berjuang menundukkan hawa nafsu dan keinginannya yang buruk. Inilah sifat penghuni surga yang dipuji oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى}

Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya (Allah Ta’ala) dan menahan diri dari (memperturutkan) keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (mereka)’ (QS an-Naazi’aat: 40-41).

Keinginan hawa nafsu yang paling penting dan paling sulit untuk ditundukkan, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala, adalah kecintaan dan ambisi mengejar dunia yang berlebihan serta keinginan untuk selalu mendapatkan pujian dan sanjungan. Inilah dua penyakit hati terbesar yang merupakan penghalang utama untuk meraih keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak akan berkumpul (bertemu) keikhlasan dalam hati dengan keinginan (untuk mendapat) pujian dan sanjungan serta kerakuasan terhadap (harta benda duniawi) yang ada di tangan manusia, kecuali seperti berkumpulnya air dan api (tidak mungkin berkumpul selamanya)… Maka jika terbersit dalam dirimu (keinginan) untuk meraih keikhlasan, yang pertama kali hadapilah (sifat) rakus terhadap dunia dan penggallah sifat buruk ini dengan pisau ‘putus asa’ (dengan balasan duniawi yang ada di tangan manusia). Lalu hadapilah (keinginan untuk mendapat) pujian dan sanjungan, bersikap zuhudlah (tidak butuh) terhadap semua itu…Kalau kamu sudah bisa melawan sifat rakus terhadap dunia dan bersikap zuhud terhadap pujian dan sanjungan manusia maka (meraih) ikhlas akan menjadi mudah bagimu”29.

Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan cara untuk menghilangkan dua pernyakit buruk penghalang keikhlasan tersebut, beliau berkata: “Adapun (cara untuk) membunuh (sifat) rakus (terhadap balasan duniawi yang ada di tangan manusia, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami secara yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang diinginkan oleh (manusia) kecuali di tangan Allah semata perbendaharaannya, tidak ada yang memiliki/menguasainya selan Dia Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada yang dapat memberikannya kepada hamba kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala semata. Adapun (berskap) zuhud terhadap pujian dan sanjungan, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami (secara yakin) bahwa tidak ada satupun yang pujiannya bermanfaat serta mendatangkan kebaikan dan celaannya mencelakakan dan mendatangkan keburukan kecuali Allah satu-satunya”30.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya dan menjadi sebab taufik dari Allah Ta’ala bagi kita untuk memurnikan tauhid dan penghambaan diri kepada-Nya serta penjagaan dari segala bentuk kesyirikan yang besar maupun kecil.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

1 Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 17).

2 Dinukil oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab “Hilyatu thaalibil ‘ilmi” (hal. 11).

3 Kitab “ al-Jawaabul kaafi” (hal. 94).

4 Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 451).

5 Ibid.

6 Kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 404-405).

7 Dinukil oleh Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh dalam kitab “Fathul Majiid” (hal. 451).

8 Dinukil oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsir beliau (15/264).

9 Kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/242).

10 Lihat kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 404).

11 Lihat kitab “Taisiirul ‘Aziizil Hamiid” (hal. 473) dan “Fathul Majiid” (hal. 451).

12 Lihat keterangan Syaikh Bin Baz pada catatan kaki kitab “Fathul Majiid” (hal. 452).

13 Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 452).

14 HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.

15 HSR al-Bukhari (no. 2730), dari Abu Hurairah .

16 Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam “Igaatsatul lahfaan” (2/149).

17 Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmuu’ul fataawa” (10/180).

18 Dalam kitab “Fathul Majiid” (hal. 453-454).

19 Kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/243).

20 Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/245).

21 HSR al-Bukhari (no. 1961) dan Muslim (no. 2557).

22 HSR al-Bukhari (no. 2973) dan Muslim (no. 1751).

23 HSR al-Bukhari (no. 1961) dan Muslim (no. 2557).

24 HSR al-Bukhari (no. 2973) dan Muslim (no. 1751).

25 Kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 406-407).

26 Kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/245).

27 Lihat kitab “al-Qaulul mufiid” (2/244) dan “al-‘Ilmu” (hal. 21).

28 HR al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 716) dan Abu Ya’la (no. 60), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

29 Kitab “al-Fawa-id” (hal. 150).

30 Kitab “al-Fawa-id” (hal. 150).

Berbaik Sangkalah Kepada Saudaramu

Berbaik Sangkalah Kepada Saudaramu 

Apa yang terbetik di benak anda ketika seluruh tetangga satu komplek diundang ke sebuah pesta pernikahan salah seorang dari mereka, kecuali anda sendiri ?

Anda bergumam dalam hati tentang saudara anda yang tidak mengundang anda tersebut, “Dia sentiment, sombong, dan apa salah saya kepadanya?”.  Ini adalah prasangka buruk kepada saudara seiman!

Pernahkah anda mencoba berpikir lebih baik dengan melontarkan perkatan : “Ah, mungkin dia sangat sibuk hingga saya lupa tak diundang”. Ini yang kadang kurang kita sadari, hingga tak jarang manusia seringkali memiliki persepsi negatif kepada saudaranya.

Bukankah akan lebih baik ketika anda mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan, anda segera mencari alasan atau udzur yang masuk akal sehingga hati anda tenang. Ini sesuatu yang tidak mudah, namun bagi orang yang terbiasa berfikir positif semua bisa diusahakan, biidznillah!  Dengan selalu bersu’uzhon(berburuk sangka) hati akan selalu gelisah, sebaliknya ketika anda mengedepankan prasangka baik kepada saudara anda, Insya Allah anda akan merasa bahagia dan banyak bersyukur pada Allah Ta’ala.

Islam melarang umatnya bersikap buruk sangka sebagaimana dalam Al-Qur`an surat Al-Hujurat ayat ke-12 :

يَأَيُّهَا اَّلذِيْنَ ءَامَنُوْا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berburuk sangka ( kecurigaan ), karena sebagian dari berburuk sangka itu dosa”.

Ada gambaran indah bagaimana sikap baik sangka ulama Salaf terhadap saudara mereka.

Suatu saat istri Thalhah bin Abdullah bin Auf berkata kepada suaminya, “Aku tidak melihat seorang yang lebih rendah akhlaknya daripada sahabatmu.” Thalhah berkata, “Jangan kamu mengatakan hal itu kepada mereka, mengapa demikian?” Istrinya menjawab, “Jika kamu berada dalam kemudahan, mereka menemanimu, tetapi ketika kamu dalam kesusahan mereka menjauhimu.” Thalhah berkata, “Menurutku, mereka memilki kemuliaan akhlak!” Thalhah melanjutkan, “ Mereka mendatangi kita ketika kita berada dalam kondisi kuat membantu mereka, mereka menjauhi kita ketika dalam kondisi lemah membantu mereka (agar tidak merepotkan kita), oleh karena itu berbaik sangkalah kepada orang lain, niscaya kamu bahagia!”

Berburuk sangka terkadang dipicu oleh perasaan hasad atau iri dengki dengan kenikmatan Allah yang diberikan pada orang lain. Seperti mengatakan, “Dia bersedekah karena riya’ atau ingin dipuji.”

Orang-orang munafik dahulu apabila orang mukmin memberikan sedekah dengan jumlah yang banyak mereka mengatakan, “Dia riya’!” Jika sedekahnya sedikit mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada sedekah yang seperti itu!’

Rahasia hati manusia tidak ada yang mengetahui secara pasti  selain Allah Yang Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya.

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِ نَّ الظَّنَّ أَكْذَ بُ الْحَدِيْثِ

“Hati-hatilah kalian terhadap prasangka (buruk) karena prasangka (buruk) adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Muslim)

Suatu ketika penduduk Himsha mengadukan gubernurnya, Sa’id bin ‘Amir bin Hazim kepada Umar bin Khathab tentang 4 perkara yang menurut prasangka mereka sebuah kesalahan.

Pertama : Dia tidak keluar melayani kami kecuali saat matahari sudah tinggi.

Kedua : Dia tidak mau menerima kami di malam hari.

Ketiga : Dalam sebulan, ada satu hari yang dia tidak mau keluar untuk melayani kami.

Keempat : Kadang-kadang ia pingsan pada saat melayani kami.

Lantas Kholifah mempertemukan antara penduduk Himsha dengan Sa’id bin Amir.

Umar berkata : “ Ya Allah, jangan sampai persangkaanku tentang dia sekarang ini berubah menjadi seperti apa yang mereka adukan.”

Apa jawaban gubernur yang shalih itu ?

Pertama : Beliau terlambat menemui mereka karena sibuk membuat roti untuk keluarga.

Kedua : Waktu malam hari khusus untuk Allah.

Ketiga : Dalam 1 bulan dia tidak melayani rakyat karena mencuci baju dan menunggunya sampai kering dan menemui mereka pada sore hari.

Keempat : Ia pingsan karena ingat Khubaib Al-Anshari yang disiksa orang-orang Quraisy, sementara dia masih musyrik dan tidak menolongnya.

Dengan tatsabbut (memastikan terlebih dahulu), Insya Allah, prasangka buruk akan sirna.

Referensi :

  1. Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu, Yazid bin Abdul Qodir Jawas, Pustaka At-Taqwa, Bogor.
  2. Sesuatu Yang Kamu Tanam Akan Kamu Panen, Mahmud Al-Mishri, Najah, Yogyakarta
  3. Tiket Meraih Surga, Abdul Malik bin Muhammad Al-Qosim dan Khalid bin Abdurrahman Ad-Darwis, Maktabah Al-Hanif, Yogyakarta.

Seharusnya Kita Selalu Menangis

Seharusnya Kita Selalu Menangis 

Pernahkah anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa Allah Azza wa Jalla ? ketahuilah, sesungguhnya hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla akan mendorong hamba untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ حَتَّى يَعُوْدَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ وَلاَ يَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَدُخَانُ جَهَنَّمَ

Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah sampai air susu kembali ke dalam teteknya. Dan debu  di jalan Allah tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam.[1]

Mengapa Harus Menangis?
Seorang Mukmin yang mengetahui keagungan Allah Azza wa Jalla dan hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak melalaikan kewajiban dan menerjang larangan, dia khawatir dosa-dosa itu akan menyebabkan siksa Allah Azza wa Jalla kepadanya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ قَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ

Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini-, maka lalat itu terbang. [HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullah]

Ibnu Abi Jamrah rahimahullah berkata, “Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allah Azza wa Jalla -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allah-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allah). Dia menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”[2].

Apalagi jika dia memperhatikan berbagai bencana dan musibah yang telah Allah Azza wa Jalla timpakan kepada orang-orang kafir di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya tidak merasa aman dari siksa Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَكَذٰلِكَ اَخْذُ رَبِّكَ اِذَآ اَخَذَ الْقُرٰى وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۗاِنَّ اَخْذَهٗٓ اَلِيْمٌ شَدِيْدٌ ١٠٢ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّمَنْ خَافَ عَذَابَ الْاٰخِرَةِ ۗذٰلِكَ يَوْمٌ مَّجْمُوْعٌۙ لَّهُ النَّاسُ وَذٰلِكَ يَوْمٌ مَّشْهُوْدٌ ١٠٣ وَمَا نُؤَخِّرُهٗٓ اِلَّا لِاَجَلٍ مَّعْدُوْدٍۗ ١٠٤ يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ اِلَّا بِاِذْنِهٖۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَّسَعِيْدٌ ١٠٥ فَاَمَّا الَّذِيْنَ شَقُوْا فَفِى النَّارِ لَهُمْ فِيْهَا زَفِيْرٌ وَّشَهِيْقٌۙ

Dan begitulah adzab Rabbmu apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi keras. Sesungguhnya pada peristiwa itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat. Hari Kiamat itu adalah suatu hari dimana manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)-Nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu. Saat hari itu tiba, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang bahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). [Hûd/11:102-106]

Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang menanti manusia di akhirat, semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada  Allah Azza wa Jalla  al-Khâliq . Allah Azza wa Jalla berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْۚ اِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيْمٌ ١ يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّآ اَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكٰرٰى وَمَا هُمْ بِسُكٰرٰى وَلٰكِنَّ عَذَابَ اللّٰهِ شَدِيْدٌ


Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu. Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah), pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, semua wanita yang menyusui anaknya lalai terhadap anak yang disusuinya, dan semua wanita yang hamil gugur kandungan. Kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi adzab Allah itu sangat keras. [al-Hajj/22:1-2]

Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Di dunia, mereka takut terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha menjaga diri dari siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka, Allah Azza wa Jalla memberikan balasan sesuai dengan jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat dengan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ يَّتَسَاۤءَلُوْنَ ٢٥ قَالُوْٓا اِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِيْٓ اَهْلِنَا مُشْفِقِيْنَ ٢٦ فَمَنَّ اللّٰهُ عَلَيْنَا وَوَقٰىنَا عَذَابَ السَّمُوْمِ ٢٧  اِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلُ نَدْعُوْهُۗ اِنَّهٗ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ

Dan sebagian mereka (penghuni surga-pent) menghadap kepada sebagian yang lain; mereka saling bertanya. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga, kami merasa takut (akan diadzab)”. Kemudian Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu beribadah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.  [ath-Thûr/52:25-28]

Ilmu Adalah Sebab Tangisan Karena Allah Azza wa Jalla
Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya terhadap keagungan Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [Fâthir/35:28]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ فِي الْخَيْرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا قَالَ فَمَا أَتَى عَلَى أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمٌ أَشَدُّ مِنْهُ قَالَ غَطَّوْا رُءُوْسَهُمْ وَلَهُمْ خَنِيْنٌ

Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis. Anas bin Mâlik –perawi hadits ini mengatakan, “Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu. Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan. [HR. Muslim, no. 2359]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Makna hadits ini, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang telah aku lihat di dalam surga pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan melebihi apa yang telah aku lihat di dalam neraka pada hari ini. Seandainya kamu melihat apa yang telah aku lihat dan mengetahui apa yang telah aku ketahui semua yang aku lihat hari ini dan sebelumnya, sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan banyak menangis”[3]

Hadits ini menunjukkan anjuran menangis karena takut terhadap siksa Allah Azza wa Jalla dan tidak memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.

Lihatlah para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita meneladani mereka.[4]

Seandainya kita mengetahui bahwa tetesan air mata karena takut kepada Allah Azza wa Jalla merupakan tetesan yang paling dicintai oleh Allah Azza wa Jalla , tentulah kita akan menangis karena-Nya atau berusaha menangis sebisanya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan tetesan air mata ini dengan sabda beliau:

لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثَرَيْنِ قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوْعٍ فِيْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَقَطْرَةُ دَمٍ تُهَرَاقُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَّا اْلأ َثَرَانِ فَأَثَرٌ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَأَثَرٌ فِي فَرِيْضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ

Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allah daripada dua tetesan dan dua bekas. Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allah. Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allah dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban dari kewajiban-kewajibanNya.[5]


Namun yang perlu kita perhatikan juga bahwa menangis tersebut adalah benar-benar karena Allah Azza wa Jalla , bukan karena manusia, seperti dilakukan di hadapan jama’ah atau bahkan dishooting TV dan disiarkan secara nasional. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam keadaan sendirian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ اْلإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allah pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Pertama: Imam yang berbuat adil; kedua: pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabbnya; ketiga: seorang laki-laki yang hatinya tergantung di masjid-masjid; keempat: dua orang lak-laki yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah; kelima: seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, lalu dia berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”; keenam: seorang laki-laki yang bersedekah dengan cara sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; ketujuh: seorang laki-laki yang menyebut Allah di tempat yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan air mata”.[HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031]

Hari Kiamat adalah hari pengadilan yang agung. Hari ketika setiap hamba akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya. Hari saat isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan ditampakkan di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka kemana orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allah Azza wa Jalla pada hari itu. Dan salah satu jalan keselamatan itu adalah menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla .

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku, jika engkau menyebut Allah Azza wa Jalla , sebutlah Rabbmu dengan hati yang kosong dari memikirkan yang lain. Jangan fikirkan sesuatupun selain-Nya. Jika engkau memikirkan sesuatu selain-Nya, engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla atau karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin menangis sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang lain. Bagaimana engkau akan menangis karena rindu kepada Allah Azza wa Jalla dan karena takut kepada-Nya jika hatimu tersibukkan dengan selain-Nya? Oleh karena itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “seorang laki-laki yang menyebut Allah di tempat yang sepi“, yaitu hatinya kosong dari selain Allah Azza wa Jalla , badannya juga kosong (dari orang lain), dan tidak ada seorangpun di dekatnya yang menyebabkan tangisannya menjadi riyâ‘ dan sum’ah. Namun, dia melakukan dengan ikhlas dan konsentrasi”[6].

Setelah kita mengetahui hal ini, maka alangkah pantasnya kita mulai menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla . Wallâhul Musta’ân.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1]   HR. at-Tirmidzi, no. 1633, 2311; an-Nasâ`i 6/12; Ahmad 2/505; al-Hâkim 4/260; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 14/264. Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullah mengatakan, “Shahîh lighairihi“. Lihat penjelasannya dalam kitab Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihîn 1/517; no. 448)
[2]  Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497
[3] Syarah Muslim, no. 2359
[4] Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihin 1/475; no. 41
[5] HR. at-Tirmidzi, no. 1669; dihasankan oleh Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullah dalam Bahjatun Nâzhirîn, 1/523, no. 455
[6] Syarh Riyâdhus Shâlihîn 2/342, no. 449

Pahala Mendidik Anak Perempuan

Pahala Mendidik Anak Perempuan 

Dalam mendidik anak perempuan ada pahala yang besar yang akan didapat, bersabar terhadap sikap mereka pun sama juga akan mendapat pahala yang besar. Betapa penting dan besar peran orang tua dalam mendidik mereka. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عال جارتين (بنتين) حتى تبلغا، جاء يوم القيامة أنا وهو وضم أصابعه

“ Barangsiapa yang mengasuh dua anak wanita hingga keduanya baligh, maka ia akan datang pada hari Kiamat, aku dan dia seperti ini (beliau menyatukan dua jarinya)”. [Diriwayatkan oleh Muslim].

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata  (artinya). ‘Seorang wanita datang menemuiku dengan membawa dua putrinya sambil meminta, ia tidak dapati padaku selain sebuah kurma saja, lalu aku memberikan kurma tersebut kepadanya, ia pun membagikannya kepada dua putrinya sedang ia sendiri tidak makan sedikitpun, kemudian ibu itu bangkit lalu keluar, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui kami, dan akupun memberitahukan hal tersebut kepada beliau, maka beliau bersabda,

من ابْتُلِي من هذهِ البناتِ بشيٍء كُنَّ لهُ سِترًا من النار

“ Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan, lalu ia berbuat baik kepada mereka, niscaya mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka. ” ‘ . [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya): “Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan, ia mengasuh mereka (dalam rumahnya), mencukupi mereka, dan menyayangi mereka maka tentu telah wajib baginya surga”. Maka ada salah seorang dari kaum berkata, “Kalau dua anak perempuan Ya Rasulullah?”. Nabi berkata, “Dua anak perempuan juga” (HR. Ahmad, dinilai shahih oleh Al Albani)
Dalam riwayat lain ada tambahan, “Sampai-sampai kami menyangka kalau ada orang yang berkata, “Kalau satu anak perempuan?”, maka tentu Nabi akan menjawab (artinya), “Satu anak perempuan juga”. [Dihasankan oleh Al-Albani].
Dari Uqbah bin ‘Amir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda  (artinya) “ Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, lalu ia bersabar terhadap mereka, ia beri makan mereka, ia beri minum mereka dan ia beri pakaian kepada mereka dari kecukupannya,, niscaya mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka pada hari kiamat”.  [HR Ibnu Maajah no 3669 dan dinilai shahih oleh Al-Albani] .

Tetap semangat duhai jiwa yang merindukan surga, jagalah anak-anak perempuan itu dengan baik!


Keutamaan Istighfar

Keutamaan Istighfar 

Khutbah Pertama:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُّهُ وَخَلِيْلُهُ وَأَمِيْنُهُ عَلَى وَحْيِهِ وَمُبَلِّغُ النَّاسِ شَرْعَهُ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ .

أَمَّا بَعْدُ مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ تَقْوَاهُ عَزَّ وَجَلَّ أَسَاسُ الْفَلَاحِ وَالسَّعَادَةِ وَالْفَوْزُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ . عِبَادَ اللهِ : وَتَقْوَى اللهَ جَلَّ وَعَلَا عَمَلٌ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ رَجَاءَ ثَوَابَ اللهِ ، وَتَرْكُ مَعْصِيَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ خِيْفَةَ عَذَابِ اللهِ .

Ibadallah,

Suatu hari, al-Khalifah al-Rasyid, Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu keluar di hari yang diliputi kemarau yang panjang. Umar keluar untuk melaksanakan shalat istisqa (meminta hujan) berjamaah bersama kaum muslimin dan saat itu ia senantiasa beristighfar kepada Allah. Ia berkata,

لقد طلبتُ الغيثَ بمجاديح السماء التي يُستنزَل بها المطر

Aku telah meminta hujan dengan “Majaadiihus Samaa’” yang dengannya hujan diturunkan.

Kemudian Umar membaca firman Allah Ta’ala,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

“maka aku katakan kepada mereka: ´Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun- niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12).

Ma’asyiral mukminin,

Istighfar memiliki kedudukan yang agung dan posisi yang utama dalam agama Allah. Ia adalah pondasi untuk memperoleh kebaikan dan keberkahan, mendapatkan kenikmatan, dan menghilangkan hukuman. Istighfar meninggikan derajat seseorang dari derajat yang rendah ke derajat yang lebih mulia, dari derajat yang penuh kekurang menjadi sempurna.

Istighfar menyucikan dosa dan menghapus menghapus catatan kesalahan, mengangkat derajat dan meninggikan kedudukan di sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا

“Sungguh beruntung seseorang yang mendapati pada catatan amalnya istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam hadits yang lain, beliau bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ تَسُرُّهُ صَحِيفَتُهُ فَلْيُكْثِرْ فِيهَا مِنَ الِاسْتِغْفَار

“Siapa yang ingin buku catatan amalnya membuatnya senang (tatkala melihatnya), maka perbanyaklah catatan istighfar di dalamnya.”

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak istighfarnya, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِي وَإِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Sesungguhnya hatiku tidak pernah lalai dari dzikir kepada Allah. Sesungguhnya aku beristighfar seratus kali dalam sehari.”

Dan dalam hadits lainnya, dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,

كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ : رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Kami pernah menghitung bacaan dzikir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu majelis. Beliau ucapkan, ‘Robbighfirlii wa tub ‘alayya innaka anta tawwaabul ghofuur” (Wahai Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan ampunan)’, sebanyak 100 kali.”

Bahkan lebih dari itu, ada sebuah riwayat yang membuat kita lebih merasa terheran-heran. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ أَنْ يَقُولُ: أَسْتَغْفِرُ الله وَأتوبُ إِلَيْهِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang mengucapkan ‘Astaghfirullah wa atubu ilaih’ (Aku memohon ampun kepada Allah dan aku bertaubat kepadanya) lebih banyak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Abu Hurairah melihat sahabat-sahabat yang sangat rajin beribadah, sebaik-baik orang yang beriman, dan sahabat-sahabat yang banyak beristighfar, tapi ia tidak menjumpai satu pun dari mereka yang beristighfar dan bertaubat kepada Allah Jalla wa ‘Ala lebih banyak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam penuh dengan istighfar setiap waktunya, sampai di akhir hayatnya beliau tutup dengan bertaubat dan memohon ampun kepada Allah. Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, ia mengisahkan akhir hayat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَيَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَأَلْحِقْنِي بِالرَّفِيقِ

“Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat (menjelang wafat) bersandar kepadaku, beliau berkata, ‘Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang shaleh’.”

Sebagaimana kehidupan beliau dipenuhi dengan istighfar dan ketaatan, akhir hayatnya pun ditutup dengan istighfar. Hal ini sekaligus memberikan pelajaran kepada kita tentang kedudukan istighfar yang begitu agung di dalam agama Islam, dan betapa kita sangat membutuhkan istighfar.

Wajib bagi kita untuk memperbanyak istighfar di sepanjang waktu kita dan aktifitas kita. terlebih lagi di waktu-waktu yang memang ditekankan untuk beristighfar, seperti: selesai shalat fardhu, di sepertiga malam terakhir, dll. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memohon ampun kepada Allah ketika sujud dan juga mencontohkan doa iftitah yang mengandung kalimat-kalimat taubat. Beliau juga melakukan hal yang sama ketika hendak salam selesai dari shalatnya. Dan setelah salam pun beliau mengucapkan dzikir berupa kalimat istighfar. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).

اَللَّهُمَّ وَفِّقْنَا لِلاِقْتِدَاءِ بِنَبِيِّكَ وَحُسْنِ الْاِتِّبَاعِ لَهُ وَاجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ التَّوَابِيْنَ الْمُسْتَغْفِرِيْنَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ .
أَقُوْلُ هَذَا القَوْلِ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.

Khutbah Kedua:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَظِيْمِ الإِحْسَانِ وَاسِعِ الفَضْلِ وَالجُوْدِ وَالاِمْتِنَانِ , وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا
أما بعد عباد الله :

Banyak orang mengeluhkan akan keringnya bumi karena kemarau panjang, kekurangan hujan, dan mendapatkan banyak kemudharatan lantaran kemarau yang berkepanjangan. Mengapa keadaan ini terjadi dan apa solusinya. Tidak lain dan tidak bukan karena sedikitnya taubat kita dan kurangnya kita beristighfar kepada Allah. Alangkah butuhnya kita akan istighfar dan senantiasa memperbanyaknya.

Suatu hari ada seseorang yang datang kepada Hasan al-Bashri rahimahullah. Ia mengadukan akan kemarau yang panjang. Hasan al-Bashri berkata kepadanya, “Memohon ampunlah kepada Allah”. Kemudian datang laki-laki lainnya mengadukan tentang kemiskinannya. Hasan al-Bashri member saran yang sama, “Memohon ampunlah kepada Allah”. Kemudian datang lagi orang yang ketiga mengeluhkan bahwa ia belum juga dikaruniai anak. Hasan al-Bashri tetap pada jawabannya, “Memohon ampunlah kepada Allah”.

Lalu orang-orang pun bertanya kepadanya tentang hal itu. Beliau menjawab, “Aku tidak menambahkan suatu saran kecuali seperti yang terdapat dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

“maka aku katakan kepada mereka: ´Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12).

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا كُلَّهَا دِقَّهَا وَجُلَّهَا أَوَّلَهَا وَآخِرَهَا سِرَّهَا وَعَلَّنَهَا . اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا مَا قَدَّمْنَا وَمَا أَخَرْنَا وَمَا أَسْرَرْنَا وَمَا أَعْلَنَّا وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنَّا أَنْتَ المُقَدِّمُ وَأَنت المُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا جِدَّنَا وَهَزلَنَا وَخَطَأَنَا وَعَمَدَنَا . اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ .

اَللَّهُمَّ ارْفَعْ عَنَّا الْغَلَا وَالْوَبَا وَالْزَلَازِلَ وَالْمِحَنَ وَالْفِتَنَ كُلَّهَا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ . اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ وَلَا تَكِلْنَا إِلَى أَنْفُسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ . رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ . اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا . اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا اَلَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا ، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا اَلَّتِي فِيْهَا مَعَاشُنَا ، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا اَلَّتِي فِيْهَا مَعَادُنَا ، وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِي كُلِّ خَيْرٍ وَالْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ.

اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا ، وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا ، وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِّيَ أَمْرِنَا لِهُدَاك ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى مِنْ سَدِيْدِ الأَقْوَالِ وَصَالِحِ الْأَعْمَالِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ . اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى محمد وَعَلَى آلِ محمد كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ , وَبَارِكْ عَلَى محمد وَعَلَى آلِ محمد كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ 

Perkara Dunia Lihatlah Yang Dibawahmu

Perkara Dunia Lihatlah Yang Dibawahmu

Bagaimana sikap yang benar dalam masalah harta dan dunia?

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Betapa banyak orang yang terkesima dengan kilauan harta orang lain. Tidak pernah merasa cukup dengan harta yang ia miliki. Jika sudah mendapatkan suatu materi dunia, dia ingin terus mendapatkan yang lebih. Jika baru mendapatkan motor, dia ingin mendapatkan mobil kijang. Jika sudah memiliki mobil kijang, dia ingin mendapatkan mobil sedan. Dan seterusnya sampai pesawat pun dia inginkan. Itulah watak manusia yang tidak pernah puas.

Melihat Orang Di Bawah Kita dalam Hal Harta dan Dunia

Sikap seorang muslim yang benar, hendaklah dia selalu melihat orang di bawahnya dalam masalah harta dan dunia. Betapa banyak orang di bawah kita berada di bawah garis kemiskinan, untuk makan sehari-hari saja mesti mencari utang sana-sini, dan masih banyak di antara mereka keadaan ekonominya jauh di bawah kita. Seharusnya seorang muslim memperhatikan petuah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini.

Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata,

أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ أَمَرَنِي بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي وَلَا أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِي

Kekasihku yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya): [1] Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, [2] beliau memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku. …” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه

Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa) [al kholq], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar mengatakan, “Yang dimaksud dengan al khalq adalah bentuk tubuh. Juga termasuk di dalamnya adalah anak-anak, pengikut dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan duniawi.” (Fathul Bari, 11/32)

Agar Tidak Memandang Remeh Nikmat Allah

Dengan memiliki sifat yang mulia ini yaitu selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah dunia, seseorang akan merealisasikan syukur dengan sebenarnya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al Munawi –rahimahullah- mengatakan,

“Jika seseorang melihat orang di atasnya (dalam masalah harta dan dunia), dia akan menganggap kecil nikmat Allah yang ada pada dirinya dan dia selalu ingin mendapatkan yang lebih. Cara mengobati penyakit semacam ini, hendaklah seseorang melihat orang yang berada di bawahnya (dalam masalah harta dan dunia). Dengan melakukan semcam ini, seseorang akan ridho dan bersyukur, juga rasa tamaknya (terhadap harta dan dunia) akan berkurang. Jika seseorang sering memandang orang yang berada di atasnya, dia akan mengingkari dan tidak puas terhadap nikmat Allah yang diberikan padanya. Namun, jika dia mengalihkan pandangannya kepada orang di bawahnya, hal ini akan membuatnya ridho dan bersyukur atas nikmat Allah padanya.”

Al Ghozali –rahimahullah- mengatakan,

“Setan selamanya akan memalingkan pandangan manusia pada orang yang berada di atasnya dalam masalah dunia. Setan akan membisik-bisikkan padanya: ‘Kenapa engkau menjadi kurang semangat dalam mencari dan memiliki harta supaya engkau dapat bergaya hidup mewah[?]’ Namun dalam masalah agama dan akhirat, setan akan memalingkan wajahnya kepada orang yang berada di bawahnya (yang jauh dari agama). Setan akan membisik-bisikkan, ‘Kenapa dirimu merasa rendah dan hina di hadapan Allah[?]” Si fulan itu masih lebih berilmu darimu’.” (Lihat Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573)

Itulah yang akan membuat seseorang tidak memandang remeh nikmat Allah karena dia selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah harta dan dunia. Ketika dia melihat juragan minyak yang memiliki rumah mewah dalam hatinya mungkin terbetik, “Rumahku masih kalah dari rumah juragan minyak itu.” Namun ketika dia memandang pada orang lain di bawahnya, dia berkata, “Ternyata rumah tetangga dibanding dengan rumahku, masih lebih bagus rumahku.” Dengan dia memandang orang di bawahnya, dia tidak akan menganggap remeh nikmat yang Allah berikan. Bahkan dia akan mensyukuri nikmat tersebut karena dia melihat masih banyak orang yang tertinggal jauh darinya.

Berbeda dengan orang yang satu ini. Ketika dia melihat saudaranya memiliki Blacberry, dia merasa ponselnya masih sangat tertinggal jauh dari temannya tersebut. Akhirnya yang ada pada dirinya adalah kurang mensyukuri nikmat, menganggap bahwa nikmat tersebut masih sedikit, bahkan selalu ada hasad (dengki) yang berakibat dia akan memusuhi dan membenci temannya tadi. Padahal masih banyak orang di bawah dirinya yang memiliki ponsel dengan kualitas yang jauh lebih rendah. Inilah cara pandang yang keliru. Namun inilah yang banyak menimpa kebanyakan orang saat ini.

Dalam Masalah Agama dan Akhirat, Hendaklah Seseorang Melihat Orang Di Atasnya

Dalam masalah agama, berkebalikan dengan masalah materi dan dunia. Hendaklah seseorang dalam masalah agama dan akhirat selalu memandang orang yang berada di atasnya. Haruslah seseorang memandang bahwa amalan sholeh yang dia lakukan masih kalah jauhnya dibanding para Nabi, shidiqn, syuhada’ dan orang-orang sholeh. Para salafush sholeh sangat bersemangat sekali dalam kebaikan, dalam amalan shalat, puasa, sedekah, membaca Al Qur’an, menuntut ilmu dan amalan lainnya. Haruslah setiap orang memiliki cara pandang semacam ini dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri pada Allah,  juga dalam meraih pahala dan surga. Sikap yang benar, hendaklah seseorang berusaha melakukan kebaikan sebagaimana yang salafush sholeh lakukan. Inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.

Dalam masalah berlomba-lomba untuk meraih kenikmatan surga, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ (22) عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ (23) تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ (24) يُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيقٍ مَخْتُومٍ (25) خِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (26)

Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni’matan yang besar (syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni’matan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al Muthaffifin: 22-26)

Al Qurtubhi mengatakan, “Berlomba-lombalah di dunia dalam melakukan amalan shalih.” (At Tadzkiroh Lil Qurtubhi,  hal. 578)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala juga berfirman,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا

Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al Ma’idah: 48)

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)

Inilah yang dilakukan oleh para salafush sholeh, mereka selalu berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana dapat dilihat dari perkataan mereka berikut ini yang disebutkan oleh Ibnu Rojab –rahimahullah-. Berikut sebagian perkatan mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan,

إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة

Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.

Wahib bin Al Warid mengatakan,

إن استطعت أن لا يسبقك إلى الله أحد فافعل

Jika kamu mampu untuk mengungguli seseorang dalam perlombaan menggapai ridho Allah, lakukanlah.

Sebagian salaf mengatakan,

لو أن رجلا سمع بأحد أطوع لله منه كان ينبغي له أن يحزنه ذلك

Seandainya seseorang mendengar ada orang lain yang lebih taat pada Allah dari dirinya, sudah selayaknya dia sedih karena dia telah diungguli dalam perkara ketaatan.” (Latho-if Ma’arifhal. 268)

Namun berbeda dengan kebiasaan orang saat ini. Dalam masalah amalan dan pahala malah mereka membiarkan saudaranya mendahuluinya. Contoh gampangnya adalah dalam mencari shaf pertama. “Monggo pak, bapak aja yang di depan”, kata sebagian orang yang menyuruh saudaranya menduduki shaf pertama. Padahal shaf pertama adalah sebaik-baik shaf bagi laki-laki dan memiliki keutamaan yang luar biasa. Seandainya seseorang mengetahui keutamaannya, tentu dia akan saling berundi dengan saudaranya untuk memperebutkan shaf pertama dalam shalat, bukan malah menyerahkan shaf yang utama tersebut pada orang lain.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah shaf pertama, sedangkan yang paling jelek bagi laki-laki adalah shaf terakhir. Sebaik-baik shaf bagi wanita adalah shaf terakhir, sedangkan yang paling jelek bagi wanita adalah shaf pertama.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا

Seandainya setiap orang tahu keutamaan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan berundi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mari kita saling berlomba dalam meraih surga dan pahala di sisi Allah!

Kekayaan Paling Hakiki adalah Kekayaan Hati

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia agar kita menjadi orang yang bersyukur dan qana’ah yaitu selalu merasa cukup dengan nikmat yang Allah berikan, juga tidak hasad (dengki) dan tidak iri pada orang lain. Karena ketahuilah bahwa kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati yaitu hati yang selalu merasa cukup dengan karunia yang diberikan oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan hati (hati yang selalu merasa cukup).”

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)

Seandainya seseorang mengetahui kenikmatan yang seolah-olah dia mendapatkan dunia seluruhnya, tentu betul-betul dia akan mensyukurinya dan selalu merasa qona’ah (berkecukupan). Kenikmatan tersebut adalah kenikmatan memperoleh makanan untuk hari yang dia jalani saat ini, kenikmatan tempat tinggal dan kenikmatan kesehatan badan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أصبح منكم آمنا في سربه معافى في جسده عنده قوت يومه فكأنما حيزت له الدنيا

Barangsiapa di antara kalian merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan badan, dan diberi makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dia telah memiliki dunia seluruhnya.” (HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Oleh karena itu, banyak berdo’alah pada Allah agar selalu diberi kecukupan. Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina) (HR. Muslim)

An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Syarh Muslim, 17/41)

Ya Allah, berikanlah pada kami sifat ‘afaf dan ghina. Amin Yaa Mujibas Sa’ilin.

Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dimudahkan untuk beramal sholeh.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

****