Ketenangan Jiwa Dalam Majlis Ilmu

Ketenangan Jiwa Dalam Majlis Ilmu 

Semua ingin raih ketenangan jiwa. Meskipun mencari dengan mengeluarkan biaya besar. Sehingga ada yang mencarinya lewat lantunan musik. Ada yang mencarinya lewat night club. Ada yang mencarinya di berbagai tempat rekreasi di pinggir pantai. Apakah mereka dapat ketenangan sebenarnya?

Tidak, itu ketenangan semu. Ketenangan hakiki hanya didapati dengan iman. Ketenangan seperti itu didapati hanya dalam majelis ilmu syar’i.

Cobalah rasakan ketenangan lewat majelis ilmu kala Al-Qur’an disenandungkan, kala hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disuarakan. Silakan rasakan kenikmatan yang berbeda.

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)

Ada empat keutamaan yang disebutkan bagi orang yang duduk di rumah Allah dan mempelajari kitab Allah:

Pertama: Akan raih ketenangan.

Sebagaimana disebutkan saat dibacakan surat Al-Kahfi. Disebutan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata,

بَيْنَمَا رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَقْرَأُ ، وَفَرَسٌ لَهُ مَرْبُوطٌ فِى الدَّارِ ، فَجَعَلَ يَنْفِرُ ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ فَنَظَرَ فَلَمْ يَرَ شَيْئًا ، وَجَعَلَ يَنْفِرُ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ ذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ »

“Ada seseorang yang sedang membaca (surat Al-Kahfi). Di sisinya terdapat seekor kuda yang diikat di rumah. Lantas kuda tersebut lari. Pria tersebut lantas keluar dan melihat-lihat ternyata ia tidak melihat apa pun. Kuda tadi ternyata memang pergi lari. Ketika datang pagi hari, peristiwa tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Ketenangan itu datang karena Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 4839 dan Muslim, no. 795)

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Itulah yang menunjukkan keutamaan membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an itulah sebab turunnya rahmat dan hadirnya malaikat. Hadits itu juga mengandung pelajaran tentang keutamaan mendengar Al-Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 74)

Kedua: Akan dinaungi rahmat Allah.

Dalam Al-Qur’an juga disebutkan,

إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)

Dalam hadits Salman, ada yang berdzikir pada Allah, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat ketika itu, beliau pun bersabda, “

مَا كُنْتُمْ تَقُوْلُوْنَ ؟ فَإِنِّي رَأَيْتُ الرَّحْمَةَ تَنْزِلُ عَلَيْكُمْ ، فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُشَارِكَكُمْ فِيْهَا

Apa yang kalian ucapkan? Sungguh aku melihat rahmat turun di tengah-tengah kalian. Aku sangat suka sekali bergabung dalam majelis semacam itu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1: 122. Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi).

Ketiga: Malaikat akan mengelilingi majelis ilmu.

Tanda bahwasanya malaikat ridha dan suka pada orang-orang yang berada dalam majelis ilmu.

وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ

“Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; At-Tirmidzi, no. 2682. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Sedangkan Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini). Maksudnya, para malaikat benar-benar menghormati para penuntut ilmu. Atau maksudnya pula malaikat turun dan ikut dalam majelis ilmu. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 7: 493)

Keempat: Akan disebut oleh Allah di sisi makhluk-makhluk mulia.

Coba kalau kita di dunia ini disanjung-sanjung di hadapan presiden atau tokok terkemuka, kita pasti merasa seperti berada di atas. Pujian bagi penuntut ilmu lebih dari itu. Karena mereka disanjung-sanjung di hadapan makhluk yang mulia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِى فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلإٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلإٍ خَيْرٍ مِنْهُ

“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku pada-Ku. Aku bersamanya kala ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, maka aku akan menyebut-nyebutnya di kumpulan yang lebih baik daripada itu.” (HR. Muslim, no. 2675)

Tak inginkah kita mendapatkan ketenangan jiwa dan keutamaan seperti dikemukakan dalam hadits di atas. Cobalah meraihnya dalam majelis ilmu syar’i, bukan pada majelis warung kopi, bukan majelis yang penuh dengan kesia-siaan.

Moga Allah memberkahi waktu dan umur kita dalam kebaikan.

Referensi Utama:

Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Dosa Batin Lebih Parah Dari Dosa Zahir

Dosa Batin Lebih Parah Dari Dosa Zahir 

Bismillah, alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, 

Ketahuilah wahai Saudaraku yang seiman rahimakumullahRabbuna Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam kitab-Nya yang agung,

وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ

“Dan tinggalkanlah dosa zahir maupun batin” (Al-An’aam :120).

Ya, maksiat (dosa) itu memang ada dua, kemaksiatan zahir (yang terlihat atau terdengar) dan kemaksiatan batin (hati). Ulama menjelaskan contoh kemaksiatan batin (hati) seperti: meninggalkan kewajiban hati, berupa meninggalkan ikhlas, tawakkal kepada Allah, mencintai-Nya, dan takut kepada-Nya, juga melakukan dosa riya’ (pamer ketaatan), hasad (dengki) dan ujub (bangga/takjub terhadap amal).

Alasan dosa batin itu lebih parah dari pada dosa zahir

Ulama pun menjelaskan bahwa kemaksiatan batin itu lebih parah dari pada kemaksiatan zahir ditinjau dari beberapa sisi. Mengapa demikian? Berikut ini beberapa sisi tinjauan yang menunjukkan bahwa dari sisi-sisi tersebut bisa dikatakan  kemaksiatan batin lebih parah dari pada kemaksiatan zahir.

1. Kerusakan hati adalah pokok kerusakan zahir

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب

“…Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ini ada segumpal dagingapabila ia baik, baiklah seluruh jasadnya dan apabila ia  rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati” (HR.Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis ini terdapat pelajaran yang berharga, bahwa hati itu bisa menjadi asas kebaikan dan kerusakan. Jika seseorang rusak hatinya, maka akan berdampak buruk pada kerusakan amal anggota tubuh yang zahir.

Oleh karena itu pantas jika yang Allah lihat dari diri kita adalah hati dan amal, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِنَّ الله لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلَى أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ 

“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada bentuk-bentuk tubuh dan harta-harta kalian, akan tetapi melihat kepada hati-hati dan amal-amal kalian” (HR. Muslim).

2. Dosa zahir penyebabnya adalah kerusakan batin dan  dampak negatifnya sangatlah besar

Setiap kemaksiatan zahir yang terjadi penyebabnya adalah kerusakan dalam hati. Pengaruh rusaknya hati seseorang bisa menyebabkan lahirnya dosa “percontohan” yang diwarisi turun menurun oleh para ahli maksiat dari masa ke masa.

Perhatikan, para Pembaca, apakah yang menyebabkan terjadinya dosa pertama kali di langit dan di bumi.

Penyebab dosa pertama kali di langit dan di bumi:

Ibnul Jauzi dalam kitab Zaadul Masiir (9/276) rahimahullah berkata, “Hasad adalah (termasuk) tabiat yang terjelek dan penyebab maksiat kepada Allah yang pertama kali di langit adalah hasad iblis kepada Nabi Adam ‘alahis salam dan (dosa pertama kali) di bumi adalah hasad qobil kepada Habil”.

Jadi, iblis kafir kepada Allah karena hasad kepada Adam ‘alahis salam  dan sombong (sebagaimana yang terdapat dalam Al-A’raaf:12 dan Al-Baqarah:34), dan Qobil membunuh Habil pun karena hasad (sebagaimana yang terdapat dalam Al-Maaidah:27-30), dan hasad adalah penyakit hati.

Bahkan lebih dari itu ,dosa hati bisa sampai menjerumuskan seseorang ke dalam kekafiran. Perhatikanlah dua sebab kekafiran berikut ini :

Kekafiran yahudi :

Yahudi kafir karena penyakit hati yang dinamakan hasad  (dengki) sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 109, yang artinya, “Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran”.

Kekafiran fir’aun:

Penyebabnya adalah  penyakit hati yang dinamakan sombong, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah dalam surat An-Naml:14 -tentang fir’aun dan kaumnya yang  kufur, mengingkari kebenaran yang datang dari Allah- ,yang artinya, ”Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya…”

Intinya, jika hati seseorang itu rusak, maka akan bisa menyebabkan ia terjerumus kepada seluruh kemaksiatan.

3. Taubat dari dosa batin lebih sulit daripada taubat dari dosa zahir

Kemaksiatan zahir, seperti zina, minum khamr, mencuri biasanya oleh pelakunya dan oleh orang yang melihatnya mudah diketahui bahwa itu adalah kemaksiatan. Banyak pelaku kemaksiatan zahir yang sadar kalau dirinya bersalah, demikian juga orang yang melihatnya,biasanya tahu kalau orang itu bermaksiat. Sehingga pelakunya yang sadar bahwa dirinya bermaksiat itu akan lebih mudah diharapkan bertaubat dari kemaksiatannya tersebut.

Contohnya, Nabi Adam ‘alaihis salam, beliau pernah melakukan dosa yang jenisnya zahir, yaitu makan buah pohon yang terlarang, kemudian dengan taufik Allah Nabi Adam ‘alaihis salam bertekad kuat untuk bertaubat, maka Allah mudahkan taubat beliau.  Allah berfirman tentang penyesalan dan taubat beliau dan istrinya,

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Keduanya berkata, “Ya Tuhan Kami, Kami telah menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami termasuk orang-orang yang merugi” (Al-A’raf : 23).

Dan Allah terima taubatnya sebagaimana yang terdapat dalam surat Tha-ha: 122. Berbeda halnya dengan iblis, dosanya jenis dosa hati, sombong, maka berat baginya bertaubat.

Perhatikanlah sikap iblis dalam firman Allah berikut ini dan bandingkanlah dengan sikap bertaubatnya Nabi Adam ‘alaihis salam di atas,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah[1] kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (Al-Baqarah:34).

Dari sini marilah kita masing-masing memeriksa kemaksiatan batin maupun zahir yang kita lakukan dan marilah kita berusaha bertaubat darinya, maka barangsiapa yang Allah terima taubat dosa batinnya niscaya Allah akan membimbingnya untuk taubat dari kemaksiatan zahir.

4. Dosa besar (kabair) hati lebih besar daripada dosa besar zahir

Ketahuilah bahwa sesungguhnya ketaatan batin itu lebih utama daripada ketaatan zahir. Di dalam Madarijus-Salikin (1/121), setelah menyebutkan beberapa contoh amalan hati, Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskanbahwa,

“(Amalan) wajib hati lebih wajib daripada amalan wajib anggota tubuh zahir, adapun amalan sunnah hati lebih dicintai oleh Allah daripada amalan sunnah zahir”. Dari sini kita ambil pelajaran sebagaimana ketaatan batin lebih utama daripada ketaatan zahir, maka dosa besar hati lebih besar dari dosa besar zahir.

Ibnul Qoyyim rahimahullah juga menjelaskan : “Dosa-dosa besar, seperti riya’ (pamer keta’atan), ujub (bangga/takjub terhadap amal), kibr (sombong), fakhr (membanggakan amal), khuyala` (angkuh), putus asa, tidak mengharap rahmat Allah, merasa aman dari makar Allah, riang gembira atas penderitaan kaum Muslimin, senang atas musibah yang menimpa mereka, senang dengan tersebarnya fahisyah (maksiat) di tengah-tengah mereka, dengki terhadap anugerah Allah kepada mereka, berangan-angan anugerah tersebut hilang dari mereka, dan hal-hal yang mengikuti dosa-dosa ini yang statusnya lebih haram dari zina, meminum minuman keras, dan dosa-dosa besar yang zahir selain keduanya (Madarijus-Salikin,Ibnul Qoyyim rahimahullah 1/133).

Penutup

Buah pahit dari tidak memperhatikan atau tidak mengetahui masalah dosa hati menyebabkan:

  1. Bisa jadi hati seseorang berlumuran dosa namun ia tidak menyadari,walaupun ia termasuk orang yang –alhamdulillah- telah menjaga penampilan zahir dan perbuatan anggota tubuhnya, sehingga sesuai dengan sunnah, namun sayangnya ia lalai menjaga sesuatu yang lebih penting dari zahir ,yaitu hati.
  2. Bisa jadi orang yang mencela dan membuka aib saudaranya yang berdosa lebih besar dosanya daripada saudaranya yang dicela tersebut disebabkan kemaksiatan yang ada dalam hatinya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “…bahwa (dosa) engkau mencela saudaramu karena melakukan suatu dosa (bisa jadi) lebih besar dan lebih parah daripada dosa saudaramu itu karena dalam celaanmu itu terdapat perasaan takjub terhadap ketaatan(mu), mensucikan diri, membanggakan, menyebut-nyebutnya, dan mengklaim (dirimu) bersih dari dosa itu (dengan sombong), sementara (disisi lain, engkau merendahkan) saudaramu itu terjatuh kedalamnya” (Madarijus Salikin,Ibnul Qoyyim 1/195).

Ingatlah, wahai saudaraku, awalilah dengan membersihkan hati, jika hati Anda baik, Allah akan mudahkan Anda bersih dari berbagai macam kemaksiatan.

Peringatan!

Bukan maksud penulis menyepelekan dosa-dosa zahir, sama sekali tidak demikian. Namun maksud Penulis adalah sebatas hendak mendudukkan segala sesuatu pada tempatnya.

Wahai Saudaraku, camkanlah:

Selamat dari dosa zahir adalah kewajiban, namun selamat dari dosa hati adalah lebih wajib

Dengan berprinsip demikian, maka –insyaallah- kita tidak tertipu dengan kebaikan lahiriyah semata (baca artikel : Jangan Tertipu Dengan Penampilan Lahiriyah).

wallahu a’lam bish shawab.

Nikmat Berubah Jadi Musibah

Nikmat Berubah Jadi Musibah

Setiap nikmat yang Allah beri patut disyukuri, meskipun nikmat tersebut remeh. Syukur nikmat adalah dengan terus mendekatkan diri pada Allah dengan nikmat tersebut, juga menjauhi setiap maksiat. Jika malah dengan nikmat semakin membuat jauh dari Allah, itu bukanlah jadi nikmat melainkan musibah.

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,

كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ.

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”[1]

Al Hasan Al Bashri berkata,

إِنَّ اللهَ لَيُمَتِّعُ بِالنِّعْمَةِ مَا شَاءَ فَإِذَا لَمْ يُشْكَرْ عَلَيْهَا قَلَبَهَا عَذَابًا

“Sesungguhnya Allah memberikan nikmat pada siapa saja yang Dia kehendaki. Jika seseorang tidak bersyukur, nikmat tersebut malah berubah menjadi siksa.”[2]

Hakekat syukur nikmat adalah menjauhi maksiat.

Makhlad bin Al Husain mengatakan,

الشُكْرُ تَرْكُ المعَاصِي

“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”[3]

Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: (1)  mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), (2) membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan (3) menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhai Allah (dengan anggota badan).

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَأَنَّ الشُّكْرَ يَكُونُ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ

Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.”[4]

Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba Allah yang pandai bersyukur atas berbagai nikmat.[1] Jaami’ul Ulum wal Hikam, 2: 82 dan ‘Iddatush Shobirin, hal. 159.[2]’Uddatush Shobirin, hal. 148.[3] ‘Uddatush Shobirin, hal. 159.[4] Majmu’ Al Fatawa, 11: 135.

Larangan Mencela Seorang Muslim

Larangan Mencela Seorang Muslim 

Terkadang ada saudara kita yang melakukan dosa atau maksiat, kemudian menjadi bahan perbincangan atau ghibah. Padahal bisa jadi pelaku dosa tersebut sudah bertaubat dari dosa tersebut. Mengenai hal ini, mari kita perhatikan nasihat dari beberapa ulama, yaitu orang yang menjelek-jelekkan saudaranya yang sudah bertaubat dari dosa, bisa jadi dia akan melakukan dosa tersebut. [1]

Misalnya ada teman kita yang ketahuan selingkuh atau berzina, maka kita pun heboh membicarakannya bahkan mencela serta terlalu banyak berkomentar dengan menerka-nerka saja. Hal ini sebaiknya dihindari, sikap muslim adalah diam, menasehati dengan cara empat mata, dan berharap kebaikan pada saudaranya terlebih ia sudah menyesal dan mengaku salah.

Syaikh Al-Mubarakfuri menjelaskan, bisa jadi ia terjerumus dalam dosa yang sama karena ada faktor kagum terhadap dirinya sendiri, sombong dan mensucikan diri. Seolah dia berkata kamu kok bisa terjerumus dalam maksiat/dosa itu, lihatlah aku, sulit terjerumus dalam dosa itu. Tentu ini bentuk kesombongan yang nyata dan sangat merendahkan orang lain. Beliau berkata,

ﻳُﺠَﺎﺯَﻯ ﺑِﺴَﻠْﺐِ ﺍﻟﺘَّﻮْﻓِﻴﻖِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺮْﺗَﻜِﺐَ ﻣَﺎ ﻋَﻴَّﺮَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﺑِﻪِ ﻭَﺫَﺍﻙَ ﺇِﺫَﺍ ﺻَﺤِﺒَﻪُ ﺇِﻋْﺠَﺎﺑُﻪُ ﺑِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻟِﺴَﻼﻣَﺘِﻪِ ﻣِﻤَّﺎ ﻋَﻴَّﺮَ ﺑِﻪِ ﺃَﺧَﺎﻩُ

“Dibalas dengan memberikannya jalan hingga ia akan melakukan maksiat yang ia cela yang dilakukan oleh saudaranya. Hal tersebut karena ia sombong/kagum dengan dirinya sendiri karena ia merasa selamat dari dosa tersebut.” [2]

Demikian juga Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan saudaranya yang telah melakukan dosa, maka bisa jadi ia akan melakukan dosa tersebut.

ﻭَﻛُﻞُّ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻋُﻴِّﺮَﺕْ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﻓَﻬِﻲَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻳَﺤْﺘَﻤِﻞُ ﺃَﻥْ ﻳُﺮِﻳْﺪَ ﺑِﻪِ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺻَﺎﺋِﺮَﺓٌ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﻻَ ﺑُﺪَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﻤَﻠَﻬَﺎ

“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” [3]

Beliau melanjutkan penjelasan bahwa dosa mencela saudaranya yang telah melakukan dosa itu lebih besar dari dosa itu yang dilakukan oleh saudaranya. Beliau berkata,

ﺃﻥ ﺗﻌﻴﻴﺮﻙ ﻷﺧﻴﻚ ﺑﺬﻧﺒﻪ ﺃﻋﻈﻢ ﺇﺛﻤﺎ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ ﻭﺃﺷﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺼﻴﺘﻪ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺻﻮﻟﺔ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻭﺗﺰﻛﻴﺔ ﺍﻟﻨﻔﺲ

“Engkau mencela saudaramu yang melakukan dosa, ini lebih besar dosanya daripada dosa yang dilakukan  saudaramu dan maksiat yabg lebih besar, karena menghilangkan ketaatan dan merasa dirinya suci.” [4]

Para ulama sudah mengingatkan mengenai hal ini, terlebih mereka adalah orang yang sangat berhati-hati dan takut kepada Allah. Seorang ulama Ibrahim An-Nakha’i berkata,

” إني لأرى الشيء أكرهه، فما يمنعني أن أتكلّم فيه إلا مخافة أن أُبتلى بمثله”

“Aku melihat sesuatu yang aku tidak suka, tidak ada yang menahanku untuk berkomentar dan membicarakannya kecuali karena aku khawatir aku yang akan ditimpakan masalahnya dikemudian hari.” [5]

Hasan Al Basri berkata,

كانوا يقولون من رمي أخاه بذنب قد تاب إلى الله منه لم يمت حتى يبتليه الله به

“Para sahabat dan tabi’in memiliki konsep, barang siapa yang mencela saudaranya, karena dosa-dosanya, sedangkan saudaranya itu sudah bertaubat kepada Allāh, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali dia akan mengalami dosa saudaranya tersebut.” [6]

Semoga kita bisa menjaga lisan kita karena lisan sangat berbahaya jika tidak terkontrol.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﻟَﻴَﺘَﻜَﻠَّﻢُ ﺑِﺎﻟْﻜَﻠِﻤَﺔِ ﻟَﺎ ﻳَﺮَﻯ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﺄْﺳًﺎ ﻳَﻬْﻮِﻱ ﺑِﻬَﺎ ﺳَﺒْﻌِﻴﻦَ ﺧَﺮِﻳﻔًﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ

“Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan satu kalimat, ia tidak menganggapnya berbahaya; dengan sebab satu kalimat itu ia terjungkal selama tujuh puluh tahun di dalam neraka.” [7]

Jika kita bisa menjaga lisan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjamin surga kepada kita. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻣَﻦْ ﻳَﻀْﻤَﻦْ ﻟِﻲ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﻟَﺤْﻴَﻴْﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺭِﺟْﻠَﻴْﻪِ ﺃَﺿْﻤَﻦْ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya.” [8]

Demikian semoga bermanfaat

@Yogyakarta Tercinta

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Catatan kaki:

[1] Terdapat hadits yang redaksinya mirip seperti pernyataan ini, akan tetapi hadits ini dinilai dhaif/lemah bahkan maudhu’/palsu oleh beberapa ulama
Yaitu hadits,


ﻣَﻦْ ﻋَﻴَّﺮَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﺑِﺬَﻧْﺐٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻤُﺖْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻌْﻤَﻠَﻪُ


“ Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut. ” (HR. Tirmidzi no. 2505. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’)

[2] Tuhfaful Ahwadzi 7/173
[3] Madarijus Salikin 1: 176
[4] Madarijus Salikin 1:177/178
[5] HR. Ibnu Abid Dunya dalam kitab Ash-Shamt
[6] Idem
[7] HR. At-Tirmidzi, Hasan Shahih
[8] HR. Bukhari