Pengaruh Buruk Perbuatan Dosa

Pengaruh Buruk Perbuatan Dosa 

Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman. Nikmat kesehatan, keamanan, ketenangan, rizki berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Belum lagi nikmat iman bagi ahlul iman. Sungguh, dalam setiap tarikan napas, ada nikmat yang tak terhingga. Dari mulai tidur, bangun dari tidur hingga tidur kembali, ada nikmat yang tiada terkira. Maka Maha Benar Allah l ketika berulang-ulang menegaskan dalam surat Ar-Rahman:

فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

“Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian berdua (bangsa jin dan manusia) dustakan?”

Nikmat Allah l yang berlimpah ini semestinya dihadapi dengan penuh rasa syukur. Namun sangat disesali, hanya sedikit dari para hamba yang mau bersyukur:

وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba’: 13)

Kebanyakan dari mereka mengkufuri nikmat Allah l. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah l memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan.

Demikianlah keadaan anak manusia, setiap harinya selalu berbuat dosa. Kita pun tak luput dari berbuat dosa, baik karena tergelincir ataupun sengaja memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan yang selalu menggoda. Amat buruklah keadaan kita bila tidak segera bertaubat dari dosa-dosa yang ada dan menutupinya dengan berbuat kebaikan. Karena perbuatan dosa itu memiliki pengaruh yang sangat jelek bagi hati dan tubuh seseorang, di dunianya ini maupun di akhiratnya kelak.

Al-Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah v menyebutkan secara panjang lebar dampak negatif dari dosa. Beberapa di antaranya bisa kita sebutkan di sini sebagai peringatan:

1. Terhalang dari ilmu yang haq. Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya.

Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i v belajar kepada Al-Imam Malik v, Al-Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i. Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini, “Aku memandang Allah l telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”

Al-Imam Asy-Syafi’i v pernah bersajak:

شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي

فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ

وَ فَضْلُ اللهِ لاَ يُؤْتاَهُ عَاصِ

“Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada Waki’

Maka ia memberi bimbingan kepadaku agar meninggalkan maksiat

Ia berkata, “Ketahuilah ilmu itu merupakan keutamaan

dan keutamaan Allah l tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.” 1

2. Terhalang dari beroleh rizki dan urusannya dipersulit.

Takwa kepada Allah l akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana firman-Nya:

وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)

وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)

Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.

3. Hati terasa jauh dari Allah l dan merasa asing dengan-Nya, sebagaimana jauhnya pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan setan.

4. Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Karena ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.

Bila kegelapan itu semakin pekat akan tampaklah tandanya di mata si hamba. Terus demikian, hingga tampak di wajahnya yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.

5. Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah manusia.

6. Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkahannya, sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya. Mengapa demikian? Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hatinya hidup. Sementara, orang yang hatinya mati walaupun masih berjalan di muka bumi, hakikatnya ia telah mati. Oleh karenanya Allah l menyatakan orang kafir adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:

أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ

“Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.” (An-Nahl: 21)

Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu kehidupannya yang dijalani karena Allah l, menghadap kepada-Nya, mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu, tidaklah terhitung sebagai umurnya.

Bila seorang hamba berpaling dari Allah l dan menyibukkan diri dengan maksiat, berarti hilanglah hari-hari kehidupannya yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan baginya:

يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Aduhai kiranya dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 24)

7. Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf: “Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain. Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata, ‘Lakukan pula aku.’ Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan….”

8. Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat, hingga pada akhirnya keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.

9. Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak lagi merasakan jeleknya perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.

Bila sudah seperti ini model seorang hamba, ia tidak akan dimaafkan, sebagaimana berita dari Rasulullah n:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْـمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَََّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فيَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَة كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut2 namun di pagi harinya ia berkata pada orang lain, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Tuhannya menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Allah yang menutupi dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 7410)

10. Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah l.

Perbuatan homoseksual adalah warisan kaum Luth.

Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib.

Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.

Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.

11. Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya.

Bila Allah l telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.

وَمَنْ يُهِنِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ

“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” (Al-Hajj: 18)

Walaupun mungkin secara zhahir manusia menghormatinya karena kebutuhan mereka terhadapnya atau mereka takut dari kejelekannya, namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.

12. Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah l.

Al-Imam Al-Bukhari v dalam Shahih-nya (no. 6308) menyebutkan ucapan sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud z:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا

“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”

13. Maksiat akan merusak akal. Karena akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan kurang.

Sebagian salaf berkata: “Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah l hingga hilang akalnya.”

Hal ini jelas sekali, karena orang yang hadir akalnya tentunya akan menghalangi dirinya dari berbuat maksiat. Ia sadar sedang berada dalam pengawasan-Nya, di bawah kekuasaan-Nya, ia berada di bumi Allah l, di bawah langit-Nya dan para malaikat Allah l menyaksikan perbuatannya.

14. Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia termasuk orang-orang yang lalai. Allah l berfirman:

كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)

Al-Hasan Al-Bashri v berkata menafsirkan ayat di atas: “Itu adalah dosa di atas dosa (bertumpuk-tumpuk) hingga mati hatinya.”3

15. Bila si pelaku dosa enggan untuk bertaubat dari dosanya, ia akan terhalang dari mendapatkan doa para malaikat. Karena malaikat hanya mendoakan orang-orang yang beriman, yang suka bertaubat, yang selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah n. Allah l berfirman:

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ. رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ. وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, seraya berucap, ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semuanya. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha memiliki hikmah. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan pada hari itu maka sungguh telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar’.” (Ghafir: 7-9)

Demikian beberapa pengaruh negatif dari perbuatan dosa dan maksiat yang kami ringkaskan dari kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnul Qayyim v hal. 85-99. Semoga dapat menjadi peringatan.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Meraih Kebahagiaan Dengan Meninggalkan Maksiat

Meraih Kebahagiaan Dengan Meninggalkan Maksiat 

Manusia tidak terlepas dari perbuatan dosa, terlebih seorang wanita yang kurang akal dan agamanya, akan tetapi sebaik-baik seorang hamba yang berbuat dosa adalah yang segera bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla ketika terjerumus kedalamnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya) : “Semua anak Adam banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat.”

Saudari muslimah…

Ketahuilah bahwasanya dosa dan maksiat sangat berbahaya  bagi hati, seperti bahayanya racun apabila masuk kedalam tubuh. Seluruh keburukan dan bencana yang menimpa tidak lain dikarenakan dosa dan maksiat, AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu”  (QS. Asy Syuara : 30)

Dampak Buruk Maksiat

Semua manusia mengharapkan kebahagiaan, berbagai cara akan ditempuh, sebagian dari mereka mencari harta dengan susah payah, jabatan dan kedudukan yang tinggi, ketika mereka di tanya apa tujuan mereka, kebanyakan dari mereka akan menjawab untuk mencari kebahagiaan. namun justru yang didapatkan adalah kebalikan dari tujuannya yaitu kesengsaraan yang berkepanjangan. Tiada kebahagiaan hakiki bagi hati seorang yang bermaksiat kepada Allah, kalaupun ia rasakan itu hanya semu dan sesaat. Adapun adzab yang pedih akan ia rasakan baik di dunia terlebih kelak di akhirat.

Perbuatan maksiat memiliki banyak sekali dampak buruk diantaranya yaitu :

  1. Terhalang dari mendapatkan ilmu padahal ilmu adalah cahaya yang diberikan oleh Allah kepada hati seorang hamba.
  2. Terhalang dari melakukan ibadah kepada Allah
  3. Hatinya akan suram dan merasa terasing
  4. Hatinya sempit dan lemah

Dan masih banyak lagi dampak buruk lain yang akan menimpanya. Terkadang dampak buruk dari dosa tidak langsung ia rasakan, namun akan ia rasakan beberapa waktu kemudian.

Sebab Kebahagiaan

Bagi seorang hamba yang hidup hatinya maksiat merupakan perkara yang akan menyesakan hatinya, membuatnya gelisah dan gundah.

Sebaliknya, dengan meninggalkan maksiat, engkau akan meraih kebahagiaan yang sesungguhnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِى الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ

“Kebajikan itu adalah apa saja yang jiwa merasa tenang dengannya dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah apa saja yang mengganjal dihatimu dan membuatmu ragu meskipun manusia memberi penjelasan kepadamu “ (HR. ad-Darimi 2588)

Buah meninggalkan dosa:

  1. Membahagiakan hati, melapangkan dada dan membersihkan jiwa. Orang yang meninggalkan dosa dadanya akan lapang dan hatinya bahagia, adapun pelaku maksiat maka hatinya akan terasa sempit  disebabkan dosa yang ia lakukan, karena kemaksiatan akan menghilangkan berbagai kenikmatan.
  2. Mendapatkan jalan keluar dalam setiap permasalahan dimana permasalahan inilah yang menyesakan hati orang-orang fasik dan pelaku maksiat.

Allah Ta’ala berfirman,

          وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar baginya.” (QS. At-Thalaq:2)

  1. Dimudahkan dalam melaksanakan ketaatan. Maksiat dapat membutakan pandangan hati, memadamkan cahaya, dan menghalanginya dari ketaatan.
  2. Merasakan manisnya iman dan manisnya ketaatan kepada Allah. Bersyukurlah bagi seorang hamba yang di berikan taufiq oleh Allah untuk benar-benar dapat mengenal agama ini, tidak ada kenikmatan yang lebih indah dari pada seorang yang telah dapat merasakan manisnya iman, lezatnya melaksanakan ketaatan kepada Allah   Azza wa Jalla. Seorang ulama mengatakan: “Sesungguhnya di dunia ini terdapat surga, barang siapa yang tidak memasukinya maka ia tidak akan masuk surga akhirat”. Dikatakan bahwa surga  tersebut adalah ma’rifatullah (mengenal Allah dengan sebaik-baiknya).
  1. Mudah memperoleh rizki melalui jalan yang tidak di sangka-sangka.
  2. Memelihara cahaya hati agar tidak ter padamkan oleh kegelapan maksiat. Maksiat adalah kegelapan adapun ketaatan adalah cahaya.
  1. Doanya cepat dikabulkan.
  2. Diberi kemudahan dalam memperoleh ilmu
  3. Meraih cinta Allah Azza wa Jalla.

Saudari muslimah…

Demikianlah beberapa buah dari meninggalkan maksiat. Siapa yang tidak bahagia ketika seorang hamba mendapatkan kecintaan Allah, ketika ia berdoa, doanya cepat dikabulkan oleh Allah, hatinya tentram, tidak gelisah, yang demikian dikarnakan kedekatanya kepada Rabbnya. Namun banyak manusia justru keliru, ia mencari kebahagiaan melalui hal-hal yang diharamkan Allah, yang hal tersebut justru menjerumuskanya dalam kesengsaraan.

Berikut adalah sebab lain dari sebab-sebab kebahagiaan:

Bersyukur atas segala nikmat yang Allah Azza wa Jalla berikan, bersabar atas musibah yang menimpa dan zuhud terhadap dunia yang hakikatnya menipu. Seorang hamba     yang telah merasakan manisnya iman dan lezatnya taat kepada Allah ia akan menganggap dunia ini kecil di hatinya , dunia adalah sesuatu yang hina, tempat yang menyusahkan, sehingga hatinya tidak disibukan denganya.

Hatinya dipenuhi dengan kerinduan terhadap akhirat,karna ia mngetahui bahwa kebahagiaan akhiraat   begitu mulia, sehingga iapun dengan mudah melaksanakan ketaatan kepada Allah. Adapun pelaku maksiat ia akan terus terjerumus pada kemaksiatanya karna kemaksiatan akan melahirkan kemaksiatan yang berikutnya, dan kemaksiatan akan melemahkan keinginan untuk melakukan kebaikan dan melemahkan pengagungan terhadap Rabbnya. Nas’alullaha assalamah wal ‘afiyah.

Semoga Allah memberikan kita taufiq agar dapat memanfaatkan semua waktu kita untuk melakukan hal-hal yang Allah cintai, sehingga kita termasuk orang-orang yang beruntung dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat.

Wa shallallahu ‘ala Nabiyina muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam wa ashhabihi wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumiddin.

*****

Sumber:

  1. Fawaidul fawaid karya al imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah
  2. Madarijussalikin karya Al-imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah
  3. Matan Hadits ‘Arbain karya Al-imam An-Nawawi
  4. al-jawabul kafi karya al-imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah

Shalat Terberat Bagi Orang Munafik

Shalat Terberat Bagi Orang Munafik 

Dua shalat yang memiliki keutamaan yang besar adalah shalat Shubuh dan Shalat Isya.Dua shalat inilah yang terasa berat bagi orang-orang munafik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا في العَتَمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوَاً

Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada pada shala Isya’ dan shalat Shubuh, tentu mereka akan mendatanginya sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 615 dan Muslim no. 437)

Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ صَلاَةٌ أثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً

Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657).

Ibnu Hajar mengatakan bahwa semua shalat itu berat bagi orang munafik sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,

وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى

Dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas” (QS. At Taubah: 54). Akan tetapi, shalat ‘Isya dan shalat Shubuh lebih berat bagi orang munafik karena rasa malas yang menyebabkan enggan melakukannya. Karena shalat ‘Isya adalah waktu di mana orang-orang bersitirahat, sedangkan waktu Shubuh adalah waktu nikmatnya tidur. (Fathul Bari, 2: 141).

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Orang munafik itu shalat dalam keadaan riya’ dan sum’ah (ingin dilihat dan didengar orang lain). Di masa silam shala Shubuh dan shalat ‘Isya’ tersebut dilakukan dalam keadaan gelap sehingga mereka -orang munafik- tidak menghadirinya. Mereka enggan menghadiri kedua shalat tersebut. Namun untuk shalat lainnya, yaitu shalat Zhuhur, ‘Ashar dan Maghrib, mereka tetap hadir karena jama’ah yang lain melihat mereka. Dan mereka kala itu cari muka dengan amalan shalat mereka tersebut. Mereka hanyalah sedikit berdzikir kepada Allah. Di masa silam belum ada lampu listrik seperti saat ini. Sehingga menghadiri dua shalat itu terasa berat karena mereka tidak bisa memamerkan amalan mereka. Alasan lainnya karena shalat ‘Isya itu waktu istirahat, sedangkan shalat Shubuh waktu lelapnya tidur.” (Syarh Riyadhis Sholihin, 5: 82).

Hanya Allah yang memberi hidayah untuk beramal shalih.

Sunnah Membantu Istri Di Rumah

Sunnah Membantu Istri Di Rumah 

Salah satu sunnah yang mungkin mulai ditinggalkan para suami adalah membantu istri dan pekerjaannya di rumah, semoga para suami bisa menerapkan sunnah ini walaupun hanya sedikit saja. Beberapa suami bisa jadi cuek terhadap pekerjaan istri di rumahnya apalagi istri pekerjaannya sangat banyak dan anak-anak juga banyak yang harus diurus dan dididik.

Merupakan kebiasaan dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membantu pekerjaan istrinya di rumah.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat” (HR Bukhari).

Hal ini merupakan sifat tawaadhu’ (rendah hati) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencontohkannya pada manusia, padahal beliau adalah seorang pimpinan dan qadhi tertinggi kaum muslimin. Bisa jadi ada suami yang merasa diri menjadi rendah jika melakukan perbuatan dan pekerjaan rumah tangga karena ia adalah orang besar dan berkedudukan bahkan bos di tempat kerjanya.

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata menjelaskan hadits ini,

من أخلاق الأنبياء التواضع ، والبعد عن التنعم ، وامتهان النفس ليستن بهم ولئلا يخلدوا إلى الرفاهية المذمومة

Di antara akhlak mulia para nabi adalah tawaadhu’ dan sangat jauh dari suka bersenang-senang (bermewah-mewah) dan melatih diri untuk hal ini, agar mereka tidak terus-menerus berada pada kemewahan yang tercela (mewah tidak tercela secara mutlak).” (Fathul Bari kitab adab hal. 472)

Membantu istri bisa dilakukan dengan pekerjaan sederhana, terkadang membantu hal yang sederhana saja sudah membuat senang dan bahagia para istri, semisal menyapu emperan saja, mencuci piring dan lain-lainnya.

Dalam hadits lainnya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan hal-hal sederhana untuk membantu istri-istri beliau semisal mengangkat ember dan menjahit bajunya.

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember” (HR Ibnu Hibban).

Ini adalah bentuk muamalah yang baik kepada istri dan diperintahkan dalam AL-Quran.

Allah berfirman,

وعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْف

Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang ma’ruf” (QS An Nisaa’:19)

Dan firman Allah Ta’ala,

وَلَهٌنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْف

Dan hak mereka semisal kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf” (QS Al Baqarah: 228)

Berbuat baik pada istri merupakan bentuk akhlak sebenarnya (akhlak asli) seorang suami. Istri merupakan “bawahan suami” dan seseorang akan mudah melampiaskan akhlak buruknya ketika menghadapi orang yang derajat/jabatannya di bawahnya. Oleh karena itu, sebaik-baik akhlak seseorang adalah yang paling baik terhadap istrinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

‘Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya (HR At-Tirmidzi As-Shahihah no 284).

Seorang suami di rumah bersama istri dan keluarganya tidak boleh gengsinya tinggi dan kasar, tetapi harus ramah dan berlapang-lapang dengan keluarga dan istrinya.

Dari Tsabit bin Ubaid radhiallahu ‘anhu berkata,

عن ثابت بن عبيد رحمه الله قال : مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَجَلَّ إِذَا جَلَسَ مَعَ الْقَوْمِ ، وَلاَ أَفْكَهَ فِي بَيْتِهِ ، مِنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِت

Aku belum pernah melihat seorang yang demikian berwibawa saat duduk bersama kawan-kawan namun demikian akrab dan kocak saat berada di rumah melebihi Zaid bin Tsabit” (Al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari no 286).

Demikian semoga bermanfaat.

Dibalik Sholat Malam

Dibalik Sholat Malam 

Akhi inilah keutamaan di balik shalat malam …

Akhi … yang semoga engkau selalu mendapatkan taufik Allah. Suatu hal yang sudah kita ketahui bersama bahwa shalat malam adalah kebiasaan orang sholeh dan orang bertakwa. Marilah kita perhatikan firman Allah Taala berikut (yang artinya),

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18)

Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz Dzariyat: 17-18)

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا (4)

Hai orang yang berselimut, bangunlah pada sebagian malam (untuk sholat), separuhnya atau kurangi atau lebihi sedikit dari itu. Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil.” (QS. AlMuzammil: 1-4)

Inilah beberapa ayat yang mendorong kita untuk melaksanakan shalat malam. Namun, yang kami sayangkan, sebagian orang lebih memilih tidur diselimuti selimut daripada bangun mengambil air wudhu dan bermunajat kepada Allah dengan penuh rasa harap-takut pada-Nya. Ya Allah, berilah petunjuk kepada kami untuk senantiasa melakukan ketaatan padamu dan jauhkanlah sifat malas dalam diri kami ini. Semoga kita terdorong untuk melaksanakan shalat yang utama ini dengan mengetahui keutamaan-keutamaannya. Ya Allah, berilah taufik kepada kami untuk melakukan amalan ini. Shalat malam adalah sebaik-baik shalat setelah shalat wajib

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Akhi … Imam Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan mengenai hadits ini. Beliau rahimahullah mengatakan, Ini adalah dalil dari kesepakatan ulama bahwa shalat malam lebih baik dari shalat sunnah di siang hari. Beliau juga mengatakan bahwa shalat malam lebih baik dari shalat sunnah rawatib. Orang yang melakukan shalat malam dijamin masuk surga dan selamat dari adzab neraka

Dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا اَلنَّاسُ! أَفْشُوا اَلسَّلَام, وَصِلُوا اَلْأَرْحَامَ, وَأَطْعِمُوا اَلطَّعَامَ, وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ, تَدْخُلُوا اَلْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

Wahai manusia! Sebarkanlah salam, jalinlah tali silturahmi (dengan kerabat), berilah makan (kepada istri dan kepada orang miskin), shalatlah di waktu malam sedangkan manusia yang lain sedang tidur, tentu kalian akan masuk ke dalam surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi no. 2485 dan Ibnu Majah no. 1334. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 569 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Orang yang melakukan shalat malam akan dicatat sebagai orang yang berdzikir kepada Allah

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

Apabila seseorang bangun di waktu malam, lalu dia membangunkan istrinya, kemudian keduanya mengerjakan shalat dua raka’at, maka keduanya akan dicatat sebagai pria dan wanita yang banyak berdzikir pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 1335. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah bahwa hadits ini shohih).

Hadits ini menunjukkan bahwa suami istri dianjurkan untuk shalat malam berjama’ah. Berbeda dengan orang yang tidak shalat malam, orang yang bangun di malam hari kemudian berwudhu dan melakukan shalat malam, dia akan bersemangat di pagi harinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)

Inilah perkataan Nabi kita yang jujur lagi benar ucapannya. Kita sering memperhatikan saudara kita yang belum sadar untuk shalat malam akan terlihat malas-malasan di pagi hari, berbeda dengan orang yang rajin shalat malam. Bahkan mungkin kita perhatikan mereka akan lebih senang mengisi waktu paginya dengan tidur daripada melakukan amal sholeh.

Benarlah ucapan Syarik, “Barangsiapa banyak mengerjakan shalat di malam hari, maka wajahnya akan berseri di pagi harinya.” (Laysa min qoulin Nabi, hal. 89)

Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari kebiasaan buruk di pagi hari. Lihatlah pula akhi, Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai mencela orang yang dulu rajin shalat malam, namun sekarang shalat tersebut ditinggalkan begitu saja.

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata padaku, Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si A. Dulu dia rajin mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi. (HR. Bukhari no. 1152)

Akhi, mengaku mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat (baca : salafush sholeh) bukanlah hanya kleim semata, namun haruslah dengan bukti. Kalau memang kita mengaku mengikuti mereka (salafush sholeh), maka sudah sepatutnya kita melaksanakan amalan yang mulia ini.

Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk melakukan amalan yang mulia ini. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita untuk meninggalkan tempat tidur dan beranjak mengambil wudhu, lalu melaksanakan shalat malam ini dengan senatiasa mengharapkan ampunan-Nya dan berharap mendapatkan rahmat-Nya. Ya Allah, Hanyalah Engkaulah tempat kami memohon dan Engkaulah yang memberi taufik pada hamba-Mu yang hina ini.

Akhi … Marilah kita menghidupkan amalan yang mulia ini. Semoga kita dapat bertemu dengan 1/3 malam terakhir, lalu memanjatkan segala hajat kita kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan Setiap Permintaan Hamba-Nya. Semoga doa kita ini diijabahi.

Tidak Boleh Mencela Waktu

Tidak Boleh Mencela Waktu 

Apapun kesulitan dan kesusahan yang kita hadapi, jangan sekali-kali kita menyalahkan waktu dan mencelanya. Kita yakini bahwa itu semua merupakan ketetapan Allah, dan kita hadapi dengan sabar.

Larangan mencela waktu

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فإنَّ اللَّهَ هو الدَّهْرُ

“Jangan mencela ad dahr (waktu), karena Allah adalah ad dahr” (HR. Muslim no. 2246).

Dalam riwayat lain:

لا يَقُولَنَّ أحَدُكُمْ يا خَيْبَةَ الدَّهْرِ، فإنَّ اللَّهَ هو الدَّهْرُ

“Janganlah kalian mengatakan: duh ini waktu yang sial! Karena Allah adalah ad dahr” (HR. Muslim no.2246).

Maksud dari “Allah adalah ad dahr” dijelaskan dalam riwayat lain. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قالَ اللَّهُ عزَّ وجلَّ: يُؤْذِينِي ابنُ آدَمَ يقولُ: يا خَيْبَةَ الدَّهْرِ فلا يَقُولَنَّ أحَدُكُمْ: يا خَيْبَةَ الدَّهْرِ فإنِّي أنا الدَّهْرُ، أُقَلِّبُ لَيْلَهُ ونَهارَهُ، فإذا شِئْتُ قَبَضْتُهُما

“Allah ‘azza wa jalla berfirman: manusia telah mencelaku ketika mereka mengatakan: duh ini waktu yang sial! Maka janganlah kalian mengatakan: duh ini waktu yang sial! Karena Aku adalah ad dahr. Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang. Jika Aku ingin, maka Aku akan tahan keduanya” (HR. Muslim no.2246).

Dalam riwayat lain:

لا تسبوا الدهر، فإن الله عز وجل قال: أنا الدهر: الأيام والليالي لي أجددها وأبليها وآتي بملوك بعد ملوك

“Jangan mencela ad dahr (waktu), karena Allah ‘azza wa jalla berfirman: Aku adalah ad dahr, siang dan malam adalah kepunyaan-Ku, Aku yang memperbaharuinya dan membuatnya usang. Dan Aku pula yang mendatangkan para raja yang saling bergantian berkuasa” (HR. Ahmad no.22605, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 532).

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits di atas:

ومعنى ” فإن الله هو الدهر ” أي : فاعل النوازل والحوادث وخالق الكائنات  والله أعلم

“Makna dari [karena Allah adalah ad dahr] adalah: Allah yang menakdirkan terjadinya peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian dan Allah adalah pencipta seluruh yang ada dan terjadi. Wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim, 3/15).

Faedah dari hadits ini adalah terlarangnya mencela waktu. Seperti mengatakan “hari ini hari apes”, “malam yang terlaknat”, “bulan depan bulan sial”, “bulan Safar bulan sial”, “sialan tau-tau udah sore”, dan semisalnya.

Karena yang membolak-balik waktu dan yang menguasainya adalah Allah. Mencela waktu berarti mencela Allah secara tidak langsung.

Keyakinan orang Jahiliyyah

Sababul wurud hadits ini adalah untuk mengoreksi perbuatan orang-orang Jahiliyyah yang mereka ketika mendapatkan musibah atau kesialan, kemudian mereka mencela waktu. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

قال الشافعي وأبو عبيدة وغيرهما في تفسير قوله صلى الله عليه وسلم : ” لا تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر ” كانت العرب في جاهليتها إذا أصابهم شدة أو بلاء أو نكبة قالوا : ” يا خيبة الدهر ” فيسندون تلك الأفعال إلى الدهر ويسبونه وإنما فاعلها هو الله تعالى فكأنهم إنما سبوا الله عز وجل لأنه فاعل ذلك في الحقيقة فلهذا نهى عن سب الدهر بهذا الاعتبار لأن الله تعالى هو الدهر الذي يصونه ويسندون إليه تلك الأفعال .وهذا أحسن ما قيل في تفسيره ، وهو المراد . والله أعلم

“Asy Syafi’i, Abu Ubaidah dan yang lainnya menafsirkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam [Jangan mencela ad dahr (waktu), karena Allah adalah ad dahr] yaitu bahwa orang Arab di masa Jahiliyyah dahulu ketika mendapatkan kesusahan atau musibah, mereka mengatakan: duhai waktu yang sial! Mereka menyandarkan kesialan kepada waktu dan mencelanya. Padahal yang menciptakan adanya musibah adalah Allah ta’ala. Maka seakan-akan mereka mencela Allah ‘azza wa jalla, karena pada hakekatnya musibah tersebut dari Allah. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mencela waktu dari sisi ini. Karena Allah ta’ala lah ad dahr yaitu yang menciptakan waktu dan semua kejadian disandarkan kepada Allah. Inilah penafsiran yang paling bagus, dan memang ini yang dimaksud oleh Nabi. Wallahu a’lam” (Tafsir Ibnu Katsir, 12/364).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga menjelaskan:

الدهر هو الزمان، ومعنى لا تسبُّوا الدهر؛ لأنَّ الدهر ليس عنده تصرُّفٌ، المتصرف في الدهر هو الله وحده، ولهذا قال ﷺ: لا تسبُّوا الدهر، فإنَّ الله هو الدهر، يُقلِّب ليلَه ونهارَه يعني: هو المتصرف فيه سبحانه وتعالى. والدهر هو الزمان، كانوا في الجاهلية يقولون: ما يُهلكنا إلا الدهر، فأنكر الله عليهم ذلك، فالدهر هو الزمان، لا يُسبُّ؛ لأن سبَّه سبٌّ لما لا يستحق السبَّ، ليس في يده تصرُّفٌ، المتصرف هو الله وحده، هو الذي يُقلِّب الليلَ والنَّهار، وينزل ما ينزل، ويقدر ما يقدر 

Ad dahr artinya waktu. Makna dari sabda Nabi [jangan mencela waktu] adalah karena waktu itu tidak bisa melakukan apa-apa. Yang menciptakan semua kejadian adalah Allah semata. Oleh karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda [jangan mencela waktu, karena Allah adalah ad dahr, Dialah yang membolak-balikkan malam dan siang]. Maksudnya, Allah yang mengatur semuanya. Dan ad dahr artinya waktu. Dahulu orang-orang Jahiliyyah biasa mengatakan: tidak ada yang membinasakan kami kecuali ad dahr (waktu). Maka Allah pun mengingkari mereka. Maka ad dahr itu waktu, tidak boleh dicela. Karena mencela waktu berarti mencela sesuatu yang tidak layak dicela. Karena waktu tidak bisa mengatur apa-apa. Yang mengatur semuanya adalah Allah semata. Dia lah yang membolak-balikkan malam dan siang, menurunkan apa yang ingin diturunkan dan menakdirkan apa yang ditakdirkan” (Sumber: binbaz.org.sa).

Rincian hukum menyebutkan keburukan waktu

Mungkin muncul suatu pertanyaan dalam benak kita, jika kita mengatakan “cuaca saat ini sedang buruk”, atau “suasana siang hari ini sedang tidak bersahabat”, atau semisalnya, apakah termasuk mencela waktu yang terlarang?

Perlu diketahui, menyebutkan waktu dengan sifat keburukan ada tiga macam. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

سب الدهر ينقسم إلى ثلاثة أقسام .

القسم الأول : أن يقصد الخبر المحض دون اللوم : فهذا جائز مثل أن يقول ” تعبنا من شدة حر هذا اليوم أو برده ” وما أشبه ذلك لأن الأعمال بالنيات واللفظ صالح لمجرد الخبر .

القسم الثاني : أن يسب الدهر على أنه هو الفاعل كأن يقصد بسبه الدهر أن الدهر هو الذي يقلِّب الأمور إلى الخير أو الشر : فهذا شرك أكبر لأنه اعتقد أن مع الله خالقا حيث نسب الحوادث إلى غير الله .

القسم الثالث : أن يسب الدهر ويعتقد أن الفاعل هو الله ولكن يسبه لأجل هذه الأمور المكروهة : فهذا محرم لأنه مناف للصبر الواجب وليس بكفر ؛ لأنه ما سب الله مباشرة ، ولو سب الله مباشرة لكان كافراً .

“Menyebutkan waktu dengan keburukan ada 3 macam:

Pertama, dalam rangka murni memberi informasi, bukan untuk mencela. Maka ini hukumnya boleh. Seperti mengatakan: “panas hari ini membuat kita kelelahan” atau “udara dingin hari ini membuat kita kesulitan”, atau semisalnya. Karena amalan itu tergantung niatnya. Dan kalimat seperti itu dibenarkan karena sekedar memberikan informasi.

Kedua, mencela waktu dengan keyakinan bahwa waktu lah yang mengatur kejadian-kejadian. Seperti meyakini bahwa waktu lah yang mengatur kejadian buruk atau kejadian baik. Maka ini termasuk syirik akbar. Karena meyakini ada pihak lain selain Allah yang bisa mencipta, yaitu ketika kejadian-kejadian dinisbatkan kepada selain Allah.

Ketiga, mencela waktu namun masih meyakini bahwa yang mengatur adalah Allah namun waktu dicela karena adanya perkara yang tidak ia sukai. Ini hukumnya haram karena menunjukkan tidak adanya kesabaran yang hukumnya wajib, namun ini bukan kekufuran. Karena ia tidak mencela Allah secara langsung. Andaikan ia mencela Allah secara langsung, maka barulah itu termasuk kekufuran” (Fatawa Al Aqidah, 1/197).

Maka hendaknya seorang Muslim tidak mencela waktu apapun kesulitan dan kesusahan yang ia hadapi. Seorang Muslim harus yakin bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah, sudah semestinya dihadapi dengan penuh kesabaran dan berusaha tidak menerjang syariat-Nya.

Wallahu a’lam.

Hiduplah Di dunia Sebagai Orang Yang Asing

Hiduplah Di dunia Sebagai Orang Yang Asing 

Khutbah Pertama:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدَ الشَّاكِرِيْنَ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى نِعَمِهِ المُتَوَالِيَةِ وَعَطَايَاهُ المُتَتَالِيَةِ وَنِعَمِهِ اَلَّتِي لَا تَعُدَّ وَلَا تُحْصَى, أَحْمَدُهُ جَلَّا وَعَلَا وَأُثْنِي عَلَيْهِ

الخَيْرَ كُلَّهُ لَا نُحْصِي ثَنَاءَ عَلَيْهِ هُوَ سُبْحَانَهُ كَمَا أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا .

أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى،

Ibadallah,

Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Taati perintah Allah dan jauhilah segala larangannya. Karena ketakwaan adalah sebaik-baik bekal untuk kehidupan yang abadi.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita bagaimana hendaknya seorang muslim hidup di dunia ini. Beliau bersabda,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ (وَعُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ) وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku, lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir’ (dan persiapkan dirimu termasuk orang yang akan menjadi penghuni kubur (pasti akan mati)).”

Dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan, “Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi hari. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. al-Bukhari dan selainnya).

Ibadallah,

Hadits ini merupakan landasan agar manusia tidak memiliki angan-angan yang panjang di dunia. Orang yang beriman tidak sepantasnya menganggap dunia ini sebagai tempat tinggalnya yang abadi. Namun, Seyogyanya ia menganggap hidup di dunia ini seperti musafir yang sedang menyiapkan bekal bepergian menempuh perjalanan yang teramat panjang.

Ini sesuai dengan wasiat para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salam dan para pengikut mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceirtakan tentang keluarga Fir’aun yang beriman yang mengatakan :

يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ

Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. (QS. Ghafir/al-Mukmin/40:39)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Apalah artinya dunia ini bagiku?! Apa urusanku dengan dunia?! Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya. (HR. Ahmad dan selainnya).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata :

اِرْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُوْنٌ، فَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الْآخِرَةِ، وَلَا تَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلَا حِسَابٌ وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَلٌ

Sesungguhnya dunia akan pergi meninggalkan kita, sedangkan akhirat pasti akan datang. Masing-masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anak, karenanya, hendaklah kalian menjadi anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia, karena hari ini adalah hari amal bukan hisab, sedang kelak adalah hari hisab bukan amal. (HR. al-Bukhari).

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah  berkata dalam khutbahnya, “Sesungguhnya dunia bukan negeri yang kekal bagi kalian karena Allah telah menetapkan kehancuran bagi dunia dan memutuskan bahwa penghuninya akan pergi. Betapa banyak bangunan yang kokoh tidak lama kemudian hancur atau roboh dan betapa banyak orang mukim yang sedang bergembira tidak lama kemudian dia meninggalkan dunia. Karena itu, hendaklah kalian —semoga Allah merahmati kalian— memperbaiki kepergian kalian darinya dengan kendaraan paling baik yang ada pada kalian dan berbekallah, sesungguhnya bekal paling baik ialah takwa.”

Sabda Nabi :

كُنْ فِـي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir.

Jika dunia bukan negeri domisili dan tempat yang abadi bagi orang Mukmin, maka orang Mukmin harus bersikap dengan salah satu dari dua sikap: Pertama, seperti orang asing yang menetap di negeri asing dan obsesinya (tujuan dan cita-citanya) ialah mencari bekal untuk pulang ke tanah airnya. Kedua, seperti orang musafir yang tidak menetap sama sekali, dia terus melanjutkan perjalanannya siang dan malam menuju negeri abadi.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma agar ia di dunia ini berada di antara salah satu dari kedua sikap berikut:

Pertama, orang Mukmin menempatkan dirinya di dunia ini seperti

orang asing dan ia membayangkan bisa menetap, namun di negeri asing. Hatinya tidak terpikat dengan negeri asing tersebut. Hatinya tetap bergantung dengan tanah airnya, tempat ia akan kembali kepadanya. Ia bermukim di dunia untuk menyelesaikan tujuan persiapannya untuk pulang ke tanah airnya (yaitu Surga).

Kedua, orang Mukmin menempatkan dirinya di dunia seperti musafir yang tidak pernah mukim di satu tempat, namun tetap berjalan melintasi tempat-tempat perjalanan hingga perjalanannya terhenti di tempat tujuan, yaitu kematian. Barangsiapa sikapnya seperti ini di dunia, berarti dia menyadari tujuannya yaitu mencari bekal untuk perjalanan dan tidak disibukkan dengan memperkaya diri dengan perhiasan dunia. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada sejumlah Sahabatnya agar bekal mereka dari dunia seperti bekal pengendara atau musafir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا يَكْفِي أَحَدَكُمْمِنَ الدُّنْيَا كَزَادِ الرَّاكِبِ

Sesungguhnya cukup bagi kalian di dunia ini seperti bekal orang yang dalam perjalanan (HR. Abu Ya’la).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَعُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْر

Dan persiapkan dirimu termasuk orang yang akan menjadi penghuni kubur (pasti akan mati))

Kematian adalah akhir yang pasti akan dialami oleh seluruh makhluk. Kematian adalah pemisah antara kehidupan dunia dan alam barzakh. Jika seseorang di dalam hatinya sering mengingat kematian dan bersemangat dalam urusan akhirat, maka dia akan masuk ke dalamorang-orang yang berlomba dalam kebaikan dan amalan shalih. Sebaliknya, jika hati seseorang lalai dari mengingat kematian dan lupa kalau dirinya pasti akan meninggalkan dunia ini, maka dia akan menjadi keras hatinya dan malas melakukan ketaatan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ (يَعْنِيْ الْمَوْتَ)

Perbanyaklah oleh kalian mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian) (HR. Ahmad).

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ,“Aku sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian datang seorang laki-laki dari kalangan Anshar, lalu ia mengucapkansalam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيُّ الْمُؤْمِنِيْنَ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ:(أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا). قَالَ: فَأَيُّ الْمُؤْمِنِيْنَ أَكْيَسُ؟ قَالَ:(أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُوْلَئِكَ الْأَكْيَاسُ)

Wahai Rasulullah! Siapa orang Mukmin yang paling utama?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang paling baik akhlaknya.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Lalu siapa orang Mukmin yang paling cerdas?’Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya untuk menghadapi apa yang terjadi setelahnya. Mereka itulah orang yang paling cerdas.’” (HR. Ibnu Majah dan ath-Thabrani).

Orang mukmin yang pintar adalah orang yangselalu ingat kepada kematian dan paling baik mempersiapkan diri untuk akhirat, karena seorang Mukmin itu yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa dia pasti akan mati dan pasti akan kembali kepada Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itu, dia selalu mempersiapkan bekal dengan takwa kepada Allah dan melakukan amal shalih sebaik-baiknya dengan ikhlas dan mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Dia bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu untuk berbuat kebaikan dan ketaatan kepada Allah sebanyak-banyaknya.

Salah seorang ulama Salaf menulis surat kepada saudaranya. Di suratnya ia berkata, “Saudaraku, bayanganmu adalah engkau bermukim padahal engkau terus-menerus berjalan. Engkau dituntun dengan penuntunan yang cepat, kematian diarahkan kepadamu, dan dunia dilipat dari belakangmu. Usiamu yang telah berlalu tidak akan kembali lagi kepadamu hingga hari ditampakkannya seluruh kesalahan (hari Kiamat) dikembalikan kepadamu.”

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata kepada seseorang, “Berapa usiamu?” ia menjawab, “Enam puluh tahun.” Al-Fudhail bin Iyadh  rahimahullah berkata, “Kalau begitu, sejak enam puluh tahun silam, engkau berjalan kepada Rabbmu dan tidak lama lagi engkau tiba kepada-Nya.” Ia berkata, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” Al-Fudhail berkata, “Tahukah engkau penafsiran ucapanmu tadi? Penafsirannya, aku adalah hamba Allah dan aku kembali kepada-Nya. Barangsiapa mengetahui bahwa ia hamba Allah dan ia akan kembali kepada-Nya, hendaklah ia mengetahui bahwa dirinya akan dihisab (pada hari kiamat). Barangsiapa mengetahui bahwa dirinya akan dihisab (pada hari kiamat), hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan ditanya. Barangsiapa mengetahui bahwa dirinya akan ditanya, hendaklah ia menyiapkan jawaban pertanyaannya.” Ia berkata, “Bagaimana caranya?” Al-Fudhail berkata, “Sederhana sekali.” Ia berkata, “Apa itu?” Al-Fudhail berkata, “Engkau memperbaiki umur yang masih ada, niscaya dosa-dosamu yang telah lalu diampuni, karena jika engkau berbuat salah di sisa usia maka engkau disiksa karena dosa-dosa yang lalu dan dosa-dosa sekarang.”

Perkataan Ibnu ‘Umar:

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ

Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi hari. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore hari

Wasiat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam hadits ini berisi tentang pendeknya angan-angan dan jika seseorang berada di sore hari maka tidak perlu menunggu pagi hari serta jika ia berada di pagi hari maka tidak perlu menunggu sore hari.  Ia membayangkan ajal kematian menjemputnya sebelum itu.

Jika seseorang mampu melakukan ketaatan, atau melakukan suatu amal kebaikan, maka hendaklah ia bersegera melakukannya. Jangan ditunda atau diakhirkan, misalnya dengan mengatakan, “Saya akan melakukannya di waktu lain.” Atau mengatakan, “Saya akan melakukan itu nanti saja.” Atau “Saya akan melakukannya besok.” Atau “Saya akan sedekah besok.” Atau “Saya akan ngaji pekan depan.” Atau “Saya akan umrah tahun depan.” Kalau ada waktu dan harta kenapa ditunda?! Dan semua perkataan-perkataan di atas merupakan pintu masuk setan untuk memalingkan manusia dari berbuat kebaikan. Sehingga waktunya terbuang sia-sia tanpa ada manfaatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman dalam menerangkan sifat orang-orang Mukmin:

أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya. (Al-Mu’minun/23:61)

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Umar radhiyallahu ‘anhu menulis kepada Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu : Amma ba’du. Sesungguhnya kekuatan dalam amal yaitu engkau tidak menunda pekerjaan hari ini ke hari esok. Karena jika engkau berbuat demikian, maka pekerjaan-pekerjaan itu akan banyak dan menumpuk, lalu engkau tidak tahu mana yang harus dikerjakan lebih dahulu, dan akhirnya hilanglah waktumu.”

Jangan sekali-kali menunda amal shalih yang dapat kita lakukan hari ini. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari.

Perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma :

وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

Gunakan waktu sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu

Maksudnya, kerjakan amal-amal shalih dalam kehidupan ini sebelum engkau terhalangi oleh sakit dan kerjakan amal-amal shalih dalam kehidupan ini sebelum engkau dipisahkan oleh kematian.

Dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah :

فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي يَا عَبْدَ اللهِ مَاسْمُكَ غَدًا

Karena engkau, wahai Abdullah, tidak tahu apa namamu besok (HR. at-Turmudzi dan al-Baghawi).

Maksudnya, barangkali besok engkau termasuk orang-orang yang meninggal dunia, bukan orang-orang yang hidup. Engkau juga tidak tahu apakah termasuk orang yang celaka, atau orang yang bahagia.

Wasiat yang sama diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma , dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dua nikmat yang banyak sekali manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang. (HR. al-Bukhari dan selainnya).

Ibnu Baththal berkata, “Makna hadits tersebut yaitu seseorang tidak disebut luang sampai ia berkecukupan dan sehat badannya. Siapa yang memperoleh itu, maka hendaklah ia bersemangat agar tidak tertipu dengan meninggalkan syukur kepada Allah atas nikmat yang Allah berikan kepadanya. Dan mensyukurinya yaitu dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya danmenjauhkan larangan-larangan-Nya. Siapa yang tidak berbuat demikian, maka dialah orang yang tertipu. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “banyak manusia tertipu” menunjukkan bahwa yang diberi taufik (untuk tidak tertipu dengan kedua nikmat tersebut-pent) jumlah sedikit.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Seseorang bisa saja sehat tapi ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan pekerjaannya. Atau ia memiliki waktu luang tapi tidak sehat. Jika keduanya berkumpul, lalu ia bermalas-malasan untuk melakukan ketaatan, maka dialah orang yang tertipu. Dunia adalah ladang akhirat, di dalamnya ada perniagaan yang sangat jelas keuntungannya di akhirat, siapa yang menggunakan waktu luang dan sehatnya untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla , maka ia adalah orang yang sukses. Tapi, siapa yang menggunakannya dalam maksiat kepada Allah Azza wa Jalla , maka ia adalah orang yang tertipu. Karena setelah waktu luang akan datang kesibukan dan setelah sehat akan datang sakit.”

Ath-Thibi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan seorang pedagang yang memiliki modal, ia mengharapkan keuntungan dengan modal yang tetap terjaga. Caranya yaitu dengan memilih orang yang bermu’amalah dengannya dan selalu jujur serta pandai agar ia tidak tertipu. Kesehatan dan waktu luang adalah modal, dan sepatutnya seseorang bermu’amalah dengan Allah Azza wa Jalla dengan iman, berjuang melawan hawa nafsu dan musuh agama, agar ia beruntung di dunia dan akhirat.”

Ibadallah,

Seorang Muslim wajib segera bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan segera mengerjakan amal-amal shalih sebelum ia tidak sanggup mengerjakannya atau ia terhalangi oleh sakit, musibah, atau kematian, atau ia melihat salah satu tanda hari Kiamat, yang ketika itu taubat tidak lagi diterima.

Jika seseorang telah dipisahkan dari amalnya, maka yang tersisa adalah kerugian dan ingin kembali kepada kondisi yang memungkinkannya untuk beramal, tapi angan-angan ini tidak bermanfaat baginya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ ﴿٥٤﴾ وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ﴿٥٥﴾ أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَىٰ مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ ﴿٥٦﴾ أَوْ تَقُولَ لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ ﴿٥٧﴾ أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik yang diturunkan kepadamu (al-Qur-an) dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu secara mendadak, sedang kamu tidak menyadarinya, agar jangan ada orang yang mengatakan, ‘Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memperolok-olok (agama Allah),’ atau (agar jangan) ada yang berkata ketika melihat adzab: ‘Sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa,’ atau (agar jangan) ada yang berkata: ‘Sekiranya aku dapat kembali (ke dunia) tentu aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.’”(Az-Zumar/39:54-58)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ ﴿٩٩﴾ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Wahai Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak! Sungguh, itu adalah dalih yang diucapkannya saja.Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan. (Al-Mu’minun/23: 99-100)

Ibadallah,

Muhammad bin ‘Abdul Baqi rahimahullah (wafat th. 535 H) t mengatakan, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku yang pernah berlalu untuk bermain-main dan berbuat yang sia-sia.”

Ketahuilah, waktu itu terbagi menjadi beberapa bagian. al-Khalîl bin Ahmad (wafat tahun 160 H) t mengatakan, “Waktu itu ada tiga bagian : waktu yang telah berlalu darimu dan takkan kembali, waktu yang sedang kau alami, dan lihatlah bagaimana ia akan berlalu darimu, dan waktu yang engkau tunggu, bisa jadi engkau tidak akan mendapatkannya.”

Ada riwayat yang sangat mengagumkan, yang menunjukkan kesungguhan para Ulama salaf dalam menggunakan waktu. Yaitu riwayat yang disebutkan Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lamin Nubala‘ tentang Dawud bin Abi Hindun (wafat th. 139 H) rahimahullah. Dawud berkata, “Ketika kecil aku berkeliling pasar. Ketika pulang, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla hingga tempat tertentu. Jika telah sampai tempat itu, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga tempat selanjutnya… hingga sampai di rumah.” Tujuannya adalah menggunakan waktu dari umurnya.

Berusahalah dengan sungguh-sungguh, setelah mengikhlaskan niat karena Allah Azza wa Jalla , untuk menggunakan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat seperti beribadah kepada Allah, berdzikir, mengaji, membaca al-Qur`an dan tafsirnya, membaca buku-buku yang bermanfaat, menuntut ilmu syar’i, berbuat baik kepada kedua orang tua, membantu orang yang susah, fakir miskin, dan banyak lagi hal bermanfaat lainnya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْـمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ.

Diantara indikasi baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya. (HR. at-Turmudzi dan selainnya).

أَقُوْلُ هَذَا القَوْلَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ .

Khutbah Kedua:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَظِيْمِ الإِحْسَانِ وَاسِعِ الفَضْلِ وَالجُوْدِ وَالاِمْتِنَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ؛ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا .

أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ عِبَادَ اللهِ:

أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ، فَإِنَّ مَنِ اتَّقَى اللهَ وَقَاهُ وَأَرْشَدَهُ إِلَى خَيْرٍ أُمُوْرٍ دِيْنِهِ وَدُنْيَاهُ، وَتَقْوَى اللهِ – عَبِادَ اللهِ – أَنْ يَعْمَلَ العَبْدُ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ يَرْجُوْ ثَوَابَ اللهِ، وَأَنْ يَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ يَخَافُ عِقَابَ اللهِ .

Ibadallah,

Janganlah menyia-nyiakan waktu pada sesuatu yang membahayakan atau hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebab, hari-hari itu adalah  kehidupan kita. Apabila satu hari berlalu, hilanglah sebagian dari kehidupan kita. Bersungguh-sungguhlah dalam mengatur waktu dan menggunakannya pada yang bermanfaat. Di antara bentuk pemanfaatan waktu adalah :

Bergegas menuntut ilmu di masa muda. Karena masa ini adalah masa yang penuh kekuatan, semangat dan tekad yang kuat. Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah mengatakan, “Hendaknya seorang penuntut ilmu bersegera memanfaatkan masa mudanya dan seluruh umurnya untuk memperoleh ilmu. Janganlah ia tertipu dengan angan-angan hampa dan menunda-nunda, karena setiap jam dari umurnya akan berlalu, tidak akan pernah kembali dan tidak dapat diganti.”

Mengatur waktu dalam menuntut berbagai ilmu, dan mengaturnya untuk mendapatkan apa yang bermanfaat baginya. Imam Ibnu Jama’ah t mengatakan tentang adab penuntut ilmu yang kelima terhadap dirinya, “Hendaklah ia membagi waktu malam dan siangnya, dan memanfaatkan sisa umurnya karena umur yang tersisa tidak ada bandingannya.”

Tidak berlebihan dalam bergaul atau jalan-jalan ke pasar atau tempat lainnya untuk sesuatu yang tidak penting dan tidak bermanfaat. Karena perbuatan seperti ini resiko buruknya lebih besar daripada manfaatnya. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati. Resiko yang paling kecil adalah menyia-nyiakan waktu dengan teman gaulnya dan tidak ada manfaat yang mereka raih dari pergaulan itu karena banyak canda, basa-basi dan membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaatnya.

Tidak terlalu banyak tidur. Tidurlah sesuai dengan kebutuhan. Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah mengatakan, “Hendaklah menyedikitkan tidur selama tidak mendatangkan bahaya pada badan dan otaknya. Janganlah menambah waktu tidur melebihi delapan jam, yaitu sepertiga waktunya (dari 24 jam). Jika memungkinkan untuk tidur kurang dari waktu tersebut, maka lakukanlah !”

Tidak terlalu banyak makan, minum dan jima’ (bersetubuh). Karena itu menghabiskan waktu, baik dalam memperolehnya maupun mempersiapkan berbagai sarananya.

Seorang Mukmin wajib menggunakan waktunya pada berbagai perkara yang bermanfaat, karena umur (waktu) akan dimintakan pertanggung-jawabannya oleh Allah Azza wa Jalla , digunakan untuk apa? Begitu pula ilmu, apa yang telah diamalkan darinya, dan selainnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَاتَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَ أَبْلَاهُ

Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia habiskan, dan tentang tubuhnya—capek dan letihnya—untuk apa ia gunakan. (HR. at-Turmudzi).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالْعَصْر ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍِ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa.Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. (Al-‘Ashr/103:1-3).

وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَحِمَكُمُ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ المُصْطَفَى مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا)). اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ .

وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنِ اتَّبِعُهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.

اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ, اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ دِيْنَكَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا فِي كُلِّ مَكَانٍ اَللَّهُمَّ انْصُرْهُمْ فِي فِلَسْطِيْنَ وَفِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ أَيِّدْهُمْ بِتَأْيِيْدِكَ وَاحْفَظْهُمْ بِحِفْظِكَ يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ، اَللَّهُمَّ وَعَلْيَكَ بِاليَهُوْدِ المُعْتَدِيْنَ الغَاصِبِيْنَ فَإِنَّهُمْ لَا يُعْجِزُوْنَكَ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَجْعَلُكَ فِي نُحُوْرِهِمْ وَنَعُوْذُ بِكَ اللَّهُمَّ مِنْ شُرُوْرِهِمْ، اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى وَأَعِنْهُ عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى وَسَدِدْهُ فِي أَقْوَالِهِ وَأَعْمَالِهِ وَأَلْبِسْهُ ثَوْبَ الصِحَّةَ العَافِيَةَ وَارْزُقْهُ البِطَانَةَ الصَالِحَةَ النَاصِحَةَ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أُمُوْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَاجْعَلْهُمْ رَحْمَةً وَرَأْفَةً عَلَى عِبَادَكَ المُؤْمِنِيْنَ.

اَللَّهُمَ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَهَا، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى وَالسَّدَادَ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الخَيْرِ كُلِّهُ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ إِنَّكَ أَنْتَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ