Mengikat Nikmat Dengan Syukur

Mengikat Nikmat Dengan Syukur 

Mampukah kita menghitung nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang telah kita dapat hingga saat ini? Tentulah, TIDAK! Menghitung jumlah nikmat dalam sedetik saja kita tidak mampu, terlebih sehari bahkan selama hidup kita di dunia ini. Tidur, bernafas, makan, minum, bisa berjalan, melihat, mendengar, dan berbicara, semua itu adalah nikmat dari Allah Ta’ala, bahkan bersin pun adalah sebuah nikmat. Jika dirupiahkan sudah berapa rupiah nikmat Allah itu? Mampukah kalkulator menghitungnya? Tentulah, TIDAK! Sudah berapa oksigen yang kita hirup? Berapa kali mata kita bisa melihat atau sekedar berkedip? Sampai kapan pun kita tidak akan bisa menghitungnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An Nahl: 18)

Lalu, apakah yang harus kita lakukan setelah kita mendapatkan semua nikmat itu? Bersyukur atau kufur? Jika memang bersyukur, apakah diri ini sudah tergolong hamba yang mensyukuri nikmat-nikmat itu?

Cara mensyukuri nikmat

Karena itu, kita Perlu mengetahui bagaimana cara bersyukur kepada Allah Ta’ala dan bagaimana tata cara merealisasikan syukur itu sendiri. Ketahuilah bahwasanya Allah mencintai orang-orang yang bersyukur. Hamba yang bersyukur merupakan hamba yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Seorang hamba dapat dikatakan bersyukur apabila memenuhi tiga hal:

Pertama,

Hatinya mengakui dan meyakini bahwa segala nikmat yang diperoleh itu berasal dari Allah Ta’ala semata, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. (Qs. An Nahl: 53)

Orang yang menisbatkan bahwa nikmat yang ia peroleh berasal dari Allah Ta’ala, ia adalah hamba yang bersyukur. Selain mengakui dan meyakini bahwa nikmat-nikmat itu berasal dari Allah Ta’ala hendaklah ia mencintai nikmat-nikmat yang ia peroleh.

Kedua,

Lisannya senantiasa mengucapkan kalimat Thayyibbah sebagai bentuk pujian terhadap Allah Ta’ala

Hamba yang bersyukur kepada Allah Ta’ala ialah hamba yang bersyukur dengan lisannya. Allah sangat senang apabila dipuji oleh hamba-Nya. Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa memuji Allah Ta’ala.

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”. (Qs. Adh Dhuha: 11)

Seorang hamba yang setelah makan mengucapkan rasa syukurnya dengan berdoa, maka ia telah bersyukur. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ . غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan memberi rezeki kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi no. 3458. Tirmidzi berkata, hadits ini adalah hadits hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Terdapat pula dalam hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا

Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum” (HR. Muslim no. 2734).

Bahkan ketika tertimpa musibah atau melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka sebaiknya tetaplah kita memuji Allah.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ

قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ ». وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ ».

Dari Aisyah, kebiasaan Rasulullah jika menyaksikan hal-hal yang beliau sukai adalah mengucapkan “Alhamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihat”. Sedangkan jika beliau menyaksikan hal-hal yang tidak menyenangkan beliau mengucapkan “Alhamdulillah ‘ala kulli hal.” (HR Ibnu Majah no 3803 dinilai hasan oleh al Albani).

Ketiga,

Menggunakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala untuk beramal shalih

Sesungguhnya orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala akan menggunakan nikmat Allah untuk beramal shalih, tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Ia gunakan matanya untuk melihat hal yang baik, lisannya tidak untuk berkata kecuali yang baik, dan anggota badannya ia gunakan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.

Ketiga hal tersebut adalah kategori seorang hamba yang bersyukur yakni bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul Qasidin, hal. 305). Syukur dari hati dalam bentuk rasa cinta dan taubat yang disertai ketaatan. Adapun di lisan, syukur itu akan tampak dalam bentuk pujian dan sanjungan. Dan syukur juga akan muncul dalam bentuk ketaatan dan pengabdian oleh segenap anggota badan.” (Al Fawa’id, hal. 124-125)

Dua Nikmat Yang Sering Terlupakan; Nikmat Sehat Dan Waktu Luang

Hendaklah kita selalu mengingat-ingat kenikmatan Allah yang berupa kesehatan, kemudian bersyukur kepada-Nya, dengan memanfaatkannya untuk ketaatan kepada-Nya. Jangan sampai menjadi orang yang rugi, sebagaimana hadits berikut,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. (HR Bukhari, no. 5933)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan: “Kenikmatan adalah keadaan yang baik. Ada yang mengatakan, kenikmatan adalah manfaat yang dilakukan dengan bentuk melakukan kebaikan untuk orang lain”. (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, penjelasan hadits no. 5933)

Ibnu Bathal rahimahullah mengatakan: “Makna hadits ini, bahwa seseorang tidaklah menjadi orang yang longgar (punya waktu luang) sehingga dia tercukupi (kebutuhannya) dan sehat badannya. Barangsiapa dua perkara itu ada padanya, maka hendaklah dia berusaha agar tidak tertipu, yaitu meninggalkan syukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Dan termasuk syukur kepada Allah adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Barangsiapa melalaikan hal itu, maka dia adalah orang yang tertipu”. (Fathul Bari)

Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas “kebanyakan manusia tertipu pada keduanya” ini mengisyaratkan, bahwa orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) untuk itu, hanyalah sedikit.

Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan: “Kadang-kadang manusia itu sehat, tetapi dia tidak longgar, karena kesibukannya dengan mencari penghidupan. Dan kadang-kadang manusia itu cukup (kebutuhannya), tetapi dia tidak sehat. Maka jika keduanya terkumpul, lalu dia dikalahkan oleh kemalasan melakukan ketaatan, maka dia adalah orang yang tertipu. Kesempurnaan itu adalah bahwa dunia merupakan ladang akhirat, di dunia ini terdapat perdagangan yang keuntungannya akan nampak di akhirat. Barangsiapa menggunakan waktu luangnya dan kesehatannya untuk ketaatan kepada Allah, maka dia adalah orang yang pantas iri kepadanya. Dan barangsiapa menggunakan keduanya di dalam maksiat kepada Allah, maka dia adalah orang yang tertipu. Karena waktu luang akan diikuti oleh kesibukan, dan kesehatan akan diikuti oleh sakit, jika tidak terjadi, maka itu (berarti) masa tua (pikun).

Maka sepantasnya hamba yang berakal bersegera beramal shalih sebelum kedatangan perkara-perkara yang menghalanginya. Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menasihati seorang laki-laki:

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ , شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ , وَصِحَّتِكَ قَبْلَ سَقْمِكَ , وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ , وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ , وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

”Ambillah kesempatan lima (keadaan) sebelum lima (keadaan). (Yaitu) mudamu sebelum pikunmu, kesehatanmu sebelum sakitmu, cukupmu sebelum fakirmu, longgarmu sebelum sibukmu, kehidupanmu sebelum matimu.” (HR. Al Hakim)

Mengapa Kita Harus Bersyukur?

Karena semua nikmat itu berasal dari Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. (Qs. An Nahl: 53)

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”  (Qs. An Nahl: 114).

Bersyukur merupakan perintah Allah Ta’ala

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (Qs. Al Baqarah: 152)

Pada ayat tersebut Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian sesudahnya Allah memerintahkan untuk bersyukur secara umum. Allah berfirman yang artinya, “Maka bersyukurlah kepada-Ku.”

Yaitu bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku karuniakan kepada kalian dan atas berbagai macam bencana yang telah Aku singkirkan sehingga tidak menimpa kalian.

Disebutkannya perintah untuk bersyukur setelah penyebutan berbagai macam nikmat diniyah yang berupa ilmu, penyucian akhlak, dan taufik untuk beramal, maka itu menjelaskan bahwa sesungguhnya nikmat diniyah adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah nikmat yang sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut masih tetap ada.

Hendaknya setiap orang yang telah mendapatkan taufik (dari Allah) untuk berilmu atau beramal senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Hal itu supaya Allah menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri) dari diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan bersyukur.

Jika tidak bersyukur, berarti ia telah kufur

“Karena lawan dari syukur adalah ingkar/kufur, Allah pun melarang melakukannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian kufur”. Yang dimaksud dengan kata ‘kufur’ di sini adalah yang menjadi lawan dari kata syukur. Maka, itu berarti kufur di sini bermakna tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya, tidak menggunakannya dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada itu, sehingga ia mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling besar adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai macam perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang berupa kemusyrikan sampai yang ada di bawah-bawahnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 74)

Penopang Tegaknya Agama

Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam sebuah kitabnya yaitu Al Fawa’id,  “Bangunan agama ini ditopang oleh dua kaidah: Dzikir dan syukur. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (Qs. Al Baqarah: 152).”

Ketika bersyukur kepada Allah, maka Allah akan tambahkan nikmat itu menjadi semakin banyak

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Qs. Ibrahim: 7).

Semua nikmat yang diperoleh, kelak akan dimintai pertanggungjawaban

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (Qs. At Takatsur: 8).

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan, nikmat yang telah kalian peroleh di dunia, apakah benar telah kalian syukuri, disalurkan untuk melakukan hak Allah dan tidak disalurkan untuk perbuatan maksiat? Jika kalian benar-benar bersyukur, maka kalian kelak akan mendapatkan nikmat yang lebih mulia dan lebih utama.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawi (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan” (Qs. Al Ahqaf: 20).

Allah akan memberikan balasan kepada orang yang bersyukur

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (Qs. Ali Imran:145)

Semoga kita termasuk dalam orang-orang yang mengingat nikmat Allah Ta’ala dengan bersyukur.

اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ .

“Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk menyebut namaMu, syukur kepadaMu dan ibadah yang baik untukMu.”

Wallahu waliyyut taufiq

***

Sumber:

  • Fat-hul Bāri Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Hajar Aṡqolani
  • Al- Fawāid, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Penerbit Dār at-Taqwā liturāṡ
  • Shahih At Targhib wat Targhib 3/311, no. 3355, Penerbit Maktabul Ma’arif
  • Taisir Karimir Rahman, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
  • Al-Qurān al-Karīm 

Makan Berlebihan Sumber Utama Penyakit

Makan Berlebihan Sumber Utama Penyakit 

Di zaman modern ini, pola makan bisa jadi tidak terkendali. Banyaknya makanan dan minuman siap saji dengan kalori dan gula yang tinggi menyebabkan munculnya penyakit. Kemudahan mendapatkan makanan dan minuman siap saji, jajan dan kue sebagai cemilan setiap saat juga menjadi pola hidup zaman modern. Tentunya manusia yang sangat minim bergerak karena dimanjakan oleh teknologi juga mendukung berbagai penyakit muncul dengan mudah.

Dalam ajaran Islam yang mulia, manusia diperintahkan oleh Allah agar makan secukupnya saja dan tidak berlebihan.

Allah berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوٓا

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat ini,

قال بعض السلف : جمع الله الطب كله في نصف آية : ( وكلوا واشربوا ولا تسرفوا )

“Sebagian salaf berkata bahwa Allah telah mengumpulkan semua ilmu kedokteran pada setengah ayat ini.” [1]

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa perut manusia adalah wadah yang paling buruk yang selalu diisi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه

“Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihkannya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga lagi untuk bernafas” [2]

Maksudnya, perut yang penuh dengan makanan bisa merusak tubuh. Syaikh Muhammad Al-Mubarakfury menjelaskan,

ﻭﺍﻣﺘﻼﺅﻩ ﻳﻔﻀﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺍﻟﺪﻧﻴا

“Penuhnya perut (dengan makanan) bisa menyebabkan kerusakan agama dan dunia (tubuhnya)” [3]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahaya kekenyangan karena penuhnya perut dengan makanan, beliau berkata,

لان الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم، ويضعف عن العبادة

“Kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah.” [4]

Jika sampai full kekenyangan yang membuat tubuh malas dan terlalu sering kekenyangan, maka hukumnya bisa menjadi haram. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,

وما جاء من النهي عنه محمول على الشبع الذي يثقل المعدة ويثبط صاحبه عن القيام للعبادة ويفضي إلى البطر والأشر والنوم والكسل وقد تنتهي كراهته إلى التحريم بحسب ما يترتب عليه من المفسدة

“Larangan kekenyangan dimaksudkan pada kekenyangan yang membuat perut penuh dan membuat orangnya berat untuk melaksanakan ibadah dan membuat angkuh, bernafsu, banyak tidur dan malas. Hukumnya dapat berubah dari makruh menjadi haram sesuai dengan dampak buruk yang ditimbulkan (misalnya membahayakan kesehatan, pent).” [5]

Demikian semoga Bermanfaat.

Catatan kaki:

[1] Tafsir Ibnu Katsir 3/384, Dar Thaybah

[2] HR At-Tirmidzi (2380), Ibnu Majah (3349), Ahmad (4/132), dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahiholeh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2265)

[3] Tuhfatul Ahwadzi, Cet Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah

[4] Siyar A’lam An-Nubala 8/248, Darul Hadits, Koiro, 1427 H, Asy-Syamilah

[5] Fathul Bari 9/528, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah

Sungai Eufrat Dan Tanda-tanda Hari Kiamat

Sungai Eufrat Dan Tanda-tanda Hari Kiamat 

Allah ‘Azza Wajalla dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama telah mengabarkan tentang hari Kiamat dalam banyak dalil, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis-hadis yang sahih tentangnya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah ‘Azza Wajalla,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْۚ اِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيْمٌ يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّآ اَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكٰرٰى وَمَا هُمْ بِسُكٰرٰى وَلٰكِنَّ عَذَابَ اللّٰهِ شَدِيْدٌ

Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya guncangan hari Kiamat itu adalah sesuatu yang sangat besar. Pada hari kamu melihatnya (guncangan itu), semua perempuan yang menyusui melupakan anak yang disusuinya, setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi, azab Allah itu sangat keras.” (QS. Al-Hajj: 1-2)

Syekh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,

(يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ)

 مع أنها مجبولة على شدة محبتها لولدها، خصوصا في هذه الحال، التي لا يعيش إلا بها.

( وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا)

 من شدة الفزع والهول، 

( وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى )

 أي: تحسبهم -أيها الرائي لهم- سكارى من الخمر، وليسوا سكارى.

“(Pada hari kamu melihatnya (guncangan itu), semua perempuan yang menyusui melupakan anak yang disusuinya.)

Padahal, di kondisi normal, seorang ibu akan sangat mencintai anaknya, terlebih di kondisi yang demikian, yang seorang anak tidaklah mampu hidup, kecuali dengan pertolongan ibunya. (Tetapi di hari Kiamat, seorang ibu sampai lupa dengan anak yang disusuinya -pent).

(Setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya)

karena betapa ngerinya kondisi di hari itu.

(Dan kamu melihat manusia mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk.)

Kamu mengira mereka mabuk karena khamar, padahal mereka tidaklah mabuk (karena khamar).”

Kita bisa membayangkan betapa kejadian di hari Kiamat sangat mengerikan. Sampai-sampai ada orang yang sebelumnya begitu besar rasa sayangnya dan tidak akan terbayang menelantarkan kesayangannya, tiba-tiba mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri, bukan memikirkan orang lain pada hari Kiamat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

Kelak manusia akan dikumpulkan di hari Kiamat dalam kondisi tak berbusana dan tak beralas kaki.” (Aisyah radhiyallahu ‘anha) mengatakan, “Tidakkah laki-laki dan wanita bisa saling melihat satu sama lain ya Rasulullah?!” (Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama) menjawab, “Wahai Aisyah, sungguh kondisi di hari itu jauh lebih dahsyat dibandingkan urusan tersebut.” (HR. Muslim no. 2859)

Dan yang menjadi fokus kita di dunia bukanlah memikirkan kapan akan terjadi hari Kiamat atau menebak-nebak apakah benar tanda ini dan tanda itu merupakan tanda hari kiamat ataukah bukan. Akan tetapi, yang perlu kita lakukan adalah mempersiapkan diri dengan baik agar siap ketika hari tersebut datang. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama pernah ditanya tentang kapan terjadinya hati Kiamat, beliau menjawab,

ما أعْدَدْتَ لَهَا

Apa yang sudah kamu persiapkan untuk menghadapinya?!” (HR. Bukhari no. 6171)

Meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama dalam banyak hadis sudah menjelaskan tanda-tanda hari Kiamat, baik tanda besar maupun kecil.

Syekh Sulaiman Al-Asyqar menjelaskan [1],

“Ada tanda kiamat kecil yang sudah terjadi dan ada yang belum terjadi. Dan yang sudah terjadi pun ada yang usai dan ada yang masih berulang. Atau muncul perlahan demi perlahan. Atau nanti di masa akan datang lebih banyak daripada yang pernah terjadi.

Tanda yang pernah terjadi dan akan berpotensi muncul berulang kali di antaranya adalah pembebasan Persia, Romawi, Konstantinopel, disandarkannya urusan kepada yang bukan ahlinya, kerusakan kaum muslimin, dll.

Tanda yang belum pernah terjadi seperti kembalinya tanah Arab penuh dengan kebun dan sungai sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,

Kiamat tidak akan terjadi sampai harta kekayaan ditumpuk dan melimpah ruah, hingga seseorang pergi keluar membawa zakat dan kesulitan untuk mendapatkan orang yang berhak menerimanya. Dan juga (kiamat tidak akan terjadi) sebelum tanah Arab menjadi subur dengan padang rumput dan sungai-sungai.’ (HR. Muslim no. 157).”

Dan di antara tanda-tanda kiamat kecil yang belum pernah terjadi dari 9 tanda yang disebutkan oleh dalil adalah mengeringnya sungai Eufrat.

Mengeringnya sungai Eufrat

Sungai Eufrat adalah sungai terpanjang di Asia barat daya dengan panjang sekitar 1.740 mil, berlokasi di negara Turki, mengalir ke tenggara melewati Suriah dan Irak. Fenomena akan mengeringnya sungai Eufrat ini merupakan salah satu tanda dekatnya hari Kiamat yang disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dalam sabda beliau,

لا تَقُومُ السَّاعَةُ حتَّى يَحْسِرَ الفُراتُ عن جَبَلٍ مِن ذَهَبٍ، يَقْتَتِلُ النَّاسُ عليه، فيُقْتَلُ مِن كُلِّ مِائَةٍ تِسْعَةٌ وتِسْعُونَ، ويقولُ كُلُّ رَجُلٍ منهمْ: لَعَلِّي أكُونُ أنا الذي أنْجُو

Kiamat tidak akan terjadi sampai Eufrat mengering sehingga muncullah gunung emas. Manusia pun saling bunuh untuk memperebutkannya. Dari setiap seratus orang (yang memperebutkannya), terbunuhlah sembilan puluh sembilan orang. Setiap orang dari mereka mengatakan, ‘Mudah-mudahan akulah orang yang selamat.‘” (HR. Muslim no. 2894)

Yang dimaksud dari kata (انحسار) adakah tersingkapnya apa yang ada di dalam sungai tersebut karena airnya hilang. Sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Sulaiman Al-Asyqar hafidzahullahu,

ومعنى انحساره: انكشافه لذهاب مائه، كما يقول النووي، وقد يكون ذلك بسبب تحول مجراه، فإن هذا الكنز أو هذا الجبل مطمور بالتراب وهو غير معروف، فإذا ما تحول مجرى النهر لسبب من الأسباب ومرّ قريباً من هذا الجبل كشفه، والله أعلم بالصواب

Maksudnya adalah tersingkap karena airnya mengering. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi rahimahullahu. Boleh jadi disebabkan karena alirannya terhambat sehingga gunung emas yang dimaksud yang tertutup tanah akan tersingkap. Dan dengan mengeringnya aliran air sungai Eufrat, maka akan semakin dekat pula tersingkapnya posisi gunung tersebut. Wallahu a’lam.” (Al-Qiyamah Al-Shughra, hal. 199-200)

Beberapa ulama berupaya untuk mengurai kapan hal ini akan terjadi atau sudah terjadi. Sebagian menyebutkan bahwa tanda ini akan muncul ketika kemunculan hewan melata, atau ketika keluarnya Imam Mahdi, sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari (13: 81).

Sebagian ulama lain menyatakan pandangan bahwa peristiwa ini akan terjadi ketika Nabi Isa ‘alaihissalam turun ke bumi. Karena di zaman itulah manusia bergelimang harta. Mungkin tersingkapnya emas di sungai Eufrat adalah salah satu sebabnya.

Akan tetapi, yang jelas tidak ada dalil pasti yang menunjukkan secara jelas bagaimanakah mengeringnya sungai Eufrat akan terjadi? Akan seperti apa saat itu? Dan kapan saat itu terjadi? Yang perlu kita persiapkan adalah bagaimana amalan kebaikan kita saat ini. Tidaklah seorang muslim menyibukkan diri untuk mencari informasi waktu terjadinya, melainkan untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin jika fitnah harta tersebut terjadi. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Ukhuwah Antar Sesama Muslim Dan Hak-hak Mereka

Ukhuwah Antar Sesama Muslim Dan Hak-hak Mereka 

Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla , yang telah menjadikan kaum Muslimin bersaudara dan saling menyayangi, yang memerintahkan mereka agar saling tolong-menolong dalam kemaslahatan dunia dan agama. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang haq diibadahi kecuali Allah Azza wa Jalla , tiada sekutu bagi-Nya’ Dan aku bersaksi bahwa Muhammad n adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga keselamatan tercurahkan kepadanya, keluarganya, para shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.

Wahai manusia, bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla , ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla mewajibkan ukhuwah dan tolong menolong kepada sesama muslim dalam kemaslahatan dunia dan agama. Allah Azza wa Jalla:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah Azza wa Jalla , supaya kamu mendapat rahmat. ”  [al-Hujurât/ 49:10]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَدِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلَ الْجَسَدِالْوَاحِدِ ,إِذَااشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِوَالْحُمَّى

Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur. [HR Muslim no. 4658]

Apabila ini yang menjadi kewajiban kaum Muslimin, maka ukhuwah ini mewajibkan mereka saling memenuhi hak satu dengan lainnya. Di antara hak tersebut adalah :

  1. Mencintai karena Allah Azza wa Jalla.
    Yaitu tanpa membedakan nasab di antara mereka, juga tanpa egoisme yang membawa mereka kepada sifat tidak baik, akan tetapi karena Allah Azza wa Jalla semata-mata. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda:

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِى

Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.[HR Bukhari no. 12]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam juga bersabda yang artinya:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ  أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.

“Ada 3 hal, barang siapa yang berada padanya ia akan merasakan manisnya iman, pertama:  hendaklah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dia cintai dari pada selainnya; kedua: dia mencintai seseorang semata-mata karena Allah Azza wa Jalla ; ketiga: dia enggan untuk kembali kepada kekafiran  setelah diselamatkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagimana dia juga enggan untuk dilemparkan ke dalam api Neraka.”. [HR Bukhari no. 15]

  1. Mendamaikan mereka.
    Apabila ada perselisihan dan perpecahan di antara mereka, maka kewajiban seorang muslim adalah mendamaikannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاَصْلِحُوْا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖوَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗٓ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Oleh sebab itu, bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla dan perbaikilah hubungan antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.“[Al-Anfal/8 : 1]

Islâh maknanya adalah meluruskan masalah yang diperselisihkan dan mengembalikannya kepada kaum Muslimin serta memperbaiki kedua pihak yang berselisih.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam menganggap perbuatan mendamaikan kaum Muslimin sebagai sedekah, maka kewajiban mereka yaitu jika ada perselisihan atau perpecahan di antara mereka, hendaknya mereka damaikan dan luruskan perselisihan tersebut dengan adil, sehingga ukhuwah kembali terjalin di antara mereka.  

  1. Jujur dalam bermuamalah.
    Hendaknya mereka bermuamalah dengan jujur, tidak berdusta, tidak berkhianat dan tidak  menipu dalam jual beli. Hendaknya muamalah jual beli tersebut dilakukan atas dasar niat yang baik, tanpa menutupi aib yang ada pada barang yang dijual dan tanpa berbohong dalam harganya. Kejujuran adalah keselamatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ بَيْعِهِمَا – رواه أبو داود

“Apabila dua orang muslim bermuamalah jual beli, maka ada khiyar (hak memilih) bagi keduanya. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan mendapat barakah dari jual belinya, dan jika keduanya berdusta dan menyembunyikan, maka barakah akan dihilangkan dari jual belinya.”

  1. Mendoakan kebaikan kepadanya, mendoakannya dengan maghfirah, agar diberi kemaslahatan dunia dan agama. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ

Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. [Muhammad/ 47:19]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda:

حَقُّ اَلْمُسْلِمِ عَلَى اَلْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ, وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ, وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ, وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“ Hak muslim satu dengan lainnya ada enam, yaitu apabila engkau bertemu dengannya, berilah salam kepadanya; apabila dia mengundangmu, penuhilah udangannya; apabila dia meminta nasehat kepadamu, maka nasehatilah; apabila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillâh, maka doakanlah; apabila dia sakit, maka jenguklah; dan apabila dia meninggal, maka iringilah jenazahnya.”

Pertama: apabila seorang muslim bertemu dengan saudaranya, hendaknya dia mendahuluinya dengan salam. Memulai salam hukumnya sunah, sedangkan menjawab salam hukumnya wajib, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) [an-Nisâ`/ 4:86]

Hendaknya kaum Muslimin menyebarkan salam di antara mereka. Abdullah bin Salam mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، أَفْشُوْا السَّلَامَ ، وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ ، وَصِلُوْا الْأَرْحَامَ ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“ Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan (orang miskin-red), sambunglah silaturahmi dan shalatlah pada malam hari ketika manusia dalam sedang tidur, engkau akan masuk surga dengan keselamatan.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam menggabungkan perintah mengucap salam dan memberi makan (fakir miskin) karena hal itu akan menumbuhkan rasa kecintaan antar kaum Muslimin dan menghilangkan kegelisahan.

Kedua: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam : (وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ )“ Apabila dia mengundangmu , maka penuhilah.” Maksudnya, apabila dia mengundangmu untuk walimah atau hadir dalam suatu resepsi, hendaknya engkau datang, kecuali apabila ada udzur syar`i yang menyebabkan berhalangan hadir atau memberatkanmu.  . Akan tetapi jika pada walimah atau resepsi tersebut ada kemungkaran dan engkau mampu mengubah kemungkaran tersebut, maka engkau wajib datang dan mengubahnya. Akan tetapi jika tidak mampu mengubahnya, janganlah engkau menghadirinya. Kehadiranmu yang tidak bisa mengubah kemungkaran itu, merupakan tanda engkau setuju dengan hal tersebut.

Ketiga: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam : (وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ )“ Apabila dia minta nasehat, maka nasehatilah.” Maksudnya, apabila dia meminta nasehat kepadamu dalam suatu perkara dan meminta pendapat kamu yang baik, maka hendaknya kamu bersungguh-sungguh menasehatinya, baik dalam hal yang dia sukai maupun tidak.

Keempat : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam : (وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُ )“ Apabila dia bersin dan memuji Allah Azza wa Jalla, doakanlah dia.” Bersin merupakan nikmat dari Allah Azza wa Jalla karena mengosongkan udara buruk yang ada di tubuh. Apabila dia bersin, ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla yang perlu disyukuri. Sehingga apabila dia memuji Allah Azza wa Jalla , wajib bagi orang yang berada di sisinya untuk mendoakanya dengan mengucapkan: “ Yarhamukallâh”. Kemudian orang yang bersin mengucapkan: “ Yahdîkumullâh wa yushlih bâlakum.” Ini merupakan perilaku Muslimin yang baik, maka hukumnya wajib untuk menjawab orang yang bersin apabila dia memuji Allah Azza wa Jalla.


Kelima : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam 😦 وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ ) “ Apabila dia sakit, maka jenguklah.” Menjenguk orang sakit mengandung kebaikan yang banyak, di antaranya bisa mengurangi beban orang yang sakit dan  keluarganya. Mengunjunginya, duduk di sampingnya dan mendoakannya, maka akan membuat dia bahagia dan menguatkan rajâ`nya kepada Allah Azza wa Jalla . Di antara adab menjenguk orang sakit, pertama: hendaknya secara berkala; jangan setiap hari karena hal itu akan memberatkannya, kecuali dia suka yang demikian. Kedua: mendoakan kesembuhan baginya, memberi motivasi kepadanya agar segera sembuh, melapangkan bebannya, dan menghiburnya. Ketiga:  hendaknya jangan berlama-lama duduk di sampingnya agar tidak membebaninya, kecuali dia menginginkannya.

Keenam : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam 😦 وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ )“ Apabila dia meninggal dunia, maka iringilah jenazahnya.” Hal itu karena ada doa, permohonan ampun kepadanya, menyenangkan wali dan kerabatnya dan ada unsur memuliakan kedudukan orang yang meninggal. Barang siapa yang menghadiri jenazah, menyalatkan dan mendoakannya, maka dia akan memperoleh pahala satu  qirâth. Barang siapa menyalatkan dan mengiringinya sampai pemakaman, dia akan memperolah 2 qirâth. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa itu dua qirâth?” Beliau menjawab “Seperti dua gunung yang besar.”

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla , bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla  dan jagalah hak-hak saudara kalian. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla , Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla amat berat siksa-Nya.”  [al-Mâidah/ 5:2]

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla, bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla, ketahuilah bahwa di antara hak-hak kaum Muslimin  satu dengan lainnya adalah amar ma`ruf dan nahi munkar. Maka, apabila engkau melihat saudaramu berada dalam kemaksiatan dan penyelisihan kepada syariat atau lainnya engkau tidak boleh mendiamkannya. Akan tetapi engkau harus menasehatinya secara sembunyi-sembunyi antara engkau dan dia. Dan hendaknya engkau menunjukkannya pada kebaikan dan memperingatkannnya dari keburukan.. Hendaknya engkau perbaiki dengan cara yang baik, hingga dia bisa mengetahui bahwa kamu adalah saudaranya dan engkau sangat memperhatikannya.

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla , bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla  dan bersemangatlah dalam menunaikan hak-haknya sebagaimana engkau juga meminta agar hak engkau dipenuhi oleh saudaramu.

Maraji’:
Al-Khuthab al-Mimbariyah cet.Dar Ashimah hl, 191-198 oleh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan

Temanmu Cerminan Dirimu

Temanmu Cerminan Dirimu 

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas seluruh nikmat yang telah Dia berikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya yang senantiasa istiqamah mengikuti sunnah-sunnah Nabi hingga akhir zaman.

Saudariku yang dikasihi Allah, manusia adalah makhluk sosial yang sudah fitrahnya membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Setiap manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa berinteraksi dengan manusia lain disekitar dirinya. Bahkan ketika wafat pun kita tetap membutuhkan orang lain untuk menutup mata kita. Kita butuh keluarga, saudara, dan tetangga. Selain itu, kita juga membutuhkan seorang teman yang bisa saling membantu dan membawa kita menuju arah yang lebih baik.

Dalam islam, faktor memilih teman sangat dititik-beratkan. Kita tentu tidak ingin salah dalam memilih teman karena seorang teman memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan kita baik di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, sangatlah penting bersikap selektif dalam mencari teman. Allah subhanahu wa ta’alaa telah mengisyaratkan mengenai pengaruh dan peranan teman dalam hidup kita. Allah ta’alaa berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS.At Taubah:119).

4 Jenis Teman dalam Kehidupan
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupannya tentu membutuhkan orang lain, termasuk memiliki seorang teman. Berteman merupakan hal yang lumrah dilakukan manusia selaku makhluk sosial. Ibnul Qoyyim rahimahullah membagi teman dalam 4 jenis yaitu:

1. Teman bergaul bagaikan makanan yang tidak dapat ditinggalkan walaupun sehari Mereka adalah para ulama dan teman-teman yang shalih. Bergaul dengan kelompok seperti ini akan membawa keuntungan yang besar baik di dunia maupun akhirat. Mereka akan mengajarkan tentang hal-hal yang bermanfaat dalam perkara dunia dan agama, memberikan nasihat-nasihat, mengingatkan tentang perkara yang haram dilakukan, senantiasa memotivasi untuk terus giat beribadah kepada Allah, berbakti kepada orangtua dan melakukan kebaikan-kebaikan lainnya. Tentu saja mereka tidak lupa untuk mendoakan kebaikan-kebaikan atas dirimu. Teman seperti ini lah yang harus dijadikan sebagai seorang teman.

2. Teman bergaul bagaikan obat yang dibutuhkan saat sakit
Maksudnya mereka adalah teman yang kita butuhkan dalam memenuhi keperluan hidup kita dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari seperti teman sekolah, teman kampus, rekan kerja, kerabat dan tetangga. Contohnya ketika diperkuliahan tentu kita membutuhkan teman dalam kerja kelompok untuk berdiskusi agar terpecahnya permasalahan dalam tugas yang diberikan.

3. Teman bergaul bagaikan penyakit dengan berbagai tingkatan dan macamnya
Berteman dengan teman seperti ini tentu tidak mendatangkan kebaikan bagi diri kita di dunia, terlebih lagi di akhirat. Mereka akan mengajak kita dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, penuh kebathilan dan berakhlak buruk seperti malas belajar, suka membicarakan keburukan orang lain (ghibah), iri dengki, suka mengadu domba, mengumbar permusuhan dan lain-lain.

4. Teman bergaul bagaikan racun yang membawa kebinasaan
Teman seperti ini yaitu mereka yang membawa kita tergelincir di jalan Allah, orang yang menyeru kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah, gemar melakukan perbuatan dosa dan maksiat, tidak takut untuk melakukan dosa besar, menggoda kita untuk lalai menjalankan segala perintah Allah hingga menjerumuskan kita dalam perbuatan buruk dan tercela. Teman seperti inilah yang harus dijauhi agar kita terkena racun yang akan membawa kebinasaan pada diri kita (Bada’iul Fawaid,340-341)

Apa sih beda teman kenal dan teman dekat?
Dalam kehidupan sehari-hari tentu kita melakukan interaksi dengan orang lain baik itu dengan keluarga, sanak saudara, rekan kerja, teman-teman di sekolah atau kampus, tetangga maupun lingkungan sekitar kita berada. Dari sana kita memiliki relasi pertemanan yang begitu banyak sehingga mereka kenal dan dekat dengan diri kita. Tetapi ketahuilah teman kenal dan teman dekat itu ternyata berbeda, Saudariku. Teman kenal adalah seseorang yang bertemu dan berkenalan dengan kita dalam beberapa waktu sebentar saja atau karena pernah melakukan pekerjaan yang sama dalam suatu urusan tertentu. Misalnya kita mengenal seorang fulanah yang selalu mengajarkan tentang ilmu agama dalam suatu majelis ilmu.

Sedangkan teman dekat adalah teman yang senantiasa bersamamu dalam suka dan duka. Mereka yang mengetahui segala sifatmu dan tidak pernah meninggalkanmu dalam segala kekuranganmu, mereka yang menegur dan menasihatimu dengan lemah lembut ketika bersalah, mereka yang selalu mengingatkanmu tidak hanya tentang perkara dunia tetapi juga akhirat, mereka yang membantumu dalam menghadapi kesulitan dan musibah yang menghampiri dirimu dan mereka yang mendoakan kebaikan untuk dirimu secara diam-diam.

Seorang teman dekat juga bisa menjadi cerminan terhadap baik dan buruknya agama seseorang. Terkadang untuk melihat baik dan buruknya agama seseorang dengan cara melihat temannya, bila temannya baik, maka insyaa Allah baik pula diri kita, begitupun sebaliknya. Sebagaimana dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927).

Dalam sebuah hadits lain, Rasululah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau:
Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap” (HR. Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan seorang teman yang baik dengan penjual minyak kasturi dan teman yang buruk dengan tukang pandai besi. Dalam hadits ini juga terdapat keutamaan berteman dengan orang-orang yang shalih, pelaku kebaikan, orang-orang yang memiliki wibawa, akhlak yang mulia, sifat wara’, ilmu serta adab. Sekaligus juga terdapat larangan untuk bergaul dengan para pelaku kejelekan dan kebid’ahan serta siapa saja yang suka mengghibah (membicarakan kejelekan orang lain tanpa sepengetahuannya), banyak melakukan keburukan, kebathilan, serta sifat-sifat tercela lainnya” (Syarah Shahih Muslim, 4/227)

Tips Memilih Teman Dekat
Saudariku, ketahuilah bahwa tidak semua orang layak dijadikan sebagai teman dekat. Karena itu orang yang dijadikan teman harus memiliki sifat-sifat yang menunjang pertemanan tersebut. Kita tentu ingin memiliki pertemanan yang tidak hanya berorientasi pada dunia, tetapi juga untuk mencari manfaat untuk kepentingan akhirat kita, sebagaimana yang dikatakan sebagian salaf, “Perbanyaklah teman, karena setiap orang Mukmin itu mempunyai syafaat”.

Ibnu Qudamah dalam Mukhtasar Minhajul Qashidin (halaman 121-122) memberikan sifat orang yang baik kita pilih menjadi teman dekat harus memiliki lima sifat sebagai berikut:

1. Orang yang berakal. Karena akal (kepandaian) merupakan modal yang utama. Maksudnya mereka mengetahui segala sesuatu urusan tertentu sesuai dengan proporsinya sehingga mereka dapat memberikan pemahaman kepada kita atau kita bisa mengambil manfaat dari dirinya. Sedangkan berteman dengan orang yang jahil, tidak ada kebaikan yang diberikan dari dirinya. Bisa jadi ia hendak memberimu manfaat tapi justru memberimu mudharat.

2. Memiliki akhlak yang baik. Memiliki teman yang baik akhlaknya merupakan keharusan. Sebagaimana hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mukmin yang paling baik akhlaknya” (HR. Abu Dawud no. 4682 dan at-Tirmidzi no. 1163, at Tirmidzi mengatakan: “hadits hasan shahih”).

Sebab berapa banyak orang berakal yang dirinya lebih banyak dikuasai amarah dan nafsu, lalu dia tunduk kepada nafsunya, sehingga tidak ada manfaatnya bergaul dengannya.

3. Bukan orang yang fasik. Sebab orang fasik tidak pernah merasa takut kepada Allah. Orang yang tidak takut kepada Allah tentu akan melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah sehingga sewaktu-waktu orang lain tidak aman dari tipu dayanya.

4. Bukan ahli bid’ah. Pertemanan yang harus dihindari karena bid’ah yang dilakukannya. Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Hendaklah engkau mencari rekan-rekan yang jujur, niscaya engkau akan hidup aman dalam lindungannya. Mereka merupakan hiasan pada saat gembira dan hiburan pada saat berduka. Letakan urusan saudaramu pada tempat yang paling baik, hingga dia datang kepadamu untuk mengambil apa yang dititipkan kepadamu. Hindarilah musuhmu dan waspadailah temanmu kecuali orang yang bisa dipercaya. Tidak ada orang yang bisa dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Janganlah engkau berteman dengan orang keji, karena engkau bisa belajar dari kefasikannya. Jangan engkau bocorkan rahasiamu kepadanya dan mintalah pendapat dalam menghadapi masalahmu kepada orang-orang yang takut kepada Allah”.

5. Zuhud terhadap dunia. Teman yang baik yaitu mereka tidak akan menyibukkan diri dan mengajakmu dengan hal-hal yang bersifat duniawi serta tidak berambisi untuk mengejar kedudukan, pangkat, dan golongan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersikap zuhud terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan bersikaplah tidak membutuhkan terhadap apa-apa yang dimiliki manusia, maka manusia akan mencintaimu” (HR. Ibnu Majah no.4102, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 944)

Saudariku yang dirahmati Allah, tentunya nikmat yang harus disyukuri yaitu memiliki teman-teman sholih yang mengingatkanmu akan akhirat di saat engkau lalai akibat hiruk-pikuk dunia. Semoga Allah menganugerahkan kita seorang teman yang tidak hanya mengingatkan tentang perkara dunia tetapi juga akhirat hingga reuni kembali di surga-Nya kelak dan Allah jauhkan kita dari teman yang membawa kita terjerumus dalam lembah hitam yang penuh kemaksiatan dan dosa.

***

Referensi:

  • Al Qur’anul Kariim dan terjemahannya
  • Bada’iul Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Dar al-Fikr, Beirut.
  • Mukhtasar Minhajul Qashidin (terjemahan), Ibnu Qudamah Al Maqdisy, Pustaka Al Kautsar, Jakarta.
  • Syarah Shahih Muslim (terjemahan), Imam an-Nawawi, Darus Sunnah, Jakarta.
  • Lihatlah Siapa Temanmu, Latifah Ummu Zaid, 2012, https://muslimah.or.id/2755-lihatlah-siapa-temanmu.html


Teman Duduk Yang Baik

Teman Duduk Yang Baik 

Impian besar sosok wanita salihah adalah memiliki sahabat atau teman duduk yang salihah agamanya dan bagus akhlaknya. Karena teman adalah cerminan baginya, ketika ia figur yang taat pada Allah ta’alainsyaallah aura ketaatannya akan menyebar dan menginspirasinya untuk menjadi lebih bertakwa. Dan sebaik-baik sahabat terdekat bagi wanita ialah suaminya yang salih dan peduli pada istrinya dengan kecintaan karena mengharap wajah Allah ta’ala. Inilah sahabat sejati bagi seorang wanita dalam segala kondisi dan suasana.

Selain itu wanita agar terjaga agama dan lurus akhlaknya maka ia butuh sahabat-sahabat salihah yang akan menemaninya dengan nasehat-nasehat berharga, mengingatkannya saat tergelincir dalam kesalahan, memotivasinya untuk giat beramal salih, dan teman yang mengajaknya pada kehidupan akhirat dan zuhud pada kehidupan dunia.
Ibnu Bathal rahimahullah berkata:
“Hendaklah teman dudukmu adalah orang yang membuatmu zuhud terhadap dunia dan membuatmu cinta kepada akhirat dan jauhilah engkau berteman dengan pencari dunia yang sibuk dengan obrolan karena mereka dapat merusak agama dan hatimu” (Hilyatul Auliya7/82).

Manfaat Bergaul dengan Wanita Salihah

Syaikh Muqbil rahimahullah menasehati kaum muslimah agar,

أن تحرص على مجالسة النساء الصالحات فإنها بهذا تزداد إيمانا وتزداد علما وتزداد بصيرة

“Bersemangat untuk bergaul dengan para wanita yang salihah karena mereka akan menambah keimanan, ilmu, dan ketajaman pandangan.” (Gharatul Asyrithah 2/474) (Sumber Telegram Shahih Sunnah).

Wanita salihah hendaknya pandai dalam memilih teman, selektif dalam berbincang dan tidak bermudah-mudah menjadikan orang yang dikenalnya sebagai sahabat dekat. Betapa banyak realita wanita yang tadinya sangat baik agamanya, santun tutur kata dan perbuatannya lambat laun berubah dan kendor semangat beragamanya. Karena itu memilih teman salihah adalah kebutuhan darurat saat ini yang harus diprioritaskan agar wanita tidak salah pergaulan.
Hasan Al Bashri rahimahullah berkata:

استكثروا من الأصدقاء المؤمنين فإن لهم شفاعة يوم القيامة

“Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat.” (Ma’alimut Tanzil 4/268)

Begitu berharganya sahabat yang salihah karena mereka bisa memberimu manfaat di dunia sekaligus di akhirat, maka cari, dan peganglah erat-erat.

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata:
“Sesama sahabat itu punya hak tambahan yang mesti ditunaikan, bukan hanya sekadar karena sama-sama berislam.
1. Hendaklah sesama sahabat itu saling menolong dan menasihati.
2. Sesama sahabat juga seharusnya saling loyal ketika mendapat kemudahan maupun kesusahan, ketika semangat dan susah.
3. Hendaklah sesama sahabat itu menyukai kebaikan yang didapatkan saudaranya sebagaimana ia menyukai jika dirinya sendiri mendapatkannya. Sebaliknya, ia tidak suka jika saudaranya tertimpa hal jelek sebagaimana ia tidak suka hal itu tertimpa pada dirinya sendiri.”
(Tafsir As-Sa’di, halaman 174, dikutip dari Rumaysho.com, 19 Mei 2022).

Demikian indahnya jalinan tali persahabatan yang dibangun di atas keimanan kepada Allah ta’ala, sahabat yang mampu mengantarkannya ke surga. Dan masihkah anda wahai muslimah sejati menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk memilih sahabat terbaik dan meninggalkan teman-teman duduk yang tak memberinya manfaat akhirat. Biarlah orang menilai kita kuper (kurang pergaulan) karena menjaga diri dari dosa daripada menjadi koper (korban pergaulan) yang buruk.

Hati-hati Berteman di Dunia Maya

Dampak globalisasi dan canggihnya media komunikasi dan informasi seringkali menarik kaum muslimah untuk berselancar di dunia maya. Ini fenomena luar biasa yang sangat baik ketika internet dimanfaatkan secara bijak untuk mengakses ilmu agama dari para ulama sunnah yang mendakwahkan al-Qur’an dan sunnah sesuai pemahaman salafus salih.
Dan ketika muslimah bersungguh-sungguh memanfaatkan media terkini ini untuk mencari teman-teman duduk yang salihah maka akan Allah ta’ala mudahkan biidznillah. Tentu kaum muslimah harus ikhlas dan berilmu sehingga bisa membedakan antara teman yang baik dan buruk, bisa memilah kajian ustadz yang sesuai pemahaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dan sahabat. Jangan mudah tergoda casing seseorang yang sepertinya menyeru pada kebaikan Islam padahal sejatinya menjerumuskan pada kesesatan.
Karena itu ketika telah mendapatkan sahabat yang salihah maka bersabarlah dengannya dalam ketaatan pada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:

وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ

Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 28)
(Rumaysho.com 16 April 2016)

Semoga kita diberi taufik Allah ta’ala bisa berkumpul dengan kawan-kawan salihah. Karena hati ini butuh nutrisi iman dan teman yang saling menguatkan langkah menuju surga.
Dan mulailah memperbaiki niat, karena dengan niat mulia Allah ta’ala  akan memberi kemudahan dalam setiap impian dan jalan yang kita lalui.

Keutamaan sifat malu

Keutamaan sifat malu

Banyak dalil yang memotivasi untuk memiliki sifat malu serta menjelaskan agung dan mulianya sifat ini. Begitu pula, terdapat banyak penjelasan tentang buah manis dari sifat malu ini yang akan dirasakan pemiliknya di dunia dan akhirat. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau pernah melewati seseorang yang menasihati saudaranya berkenaan dengan sifat malu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada orang tersebut,

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ

“Biarkanlah dia, karena rasa malu itu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis yang lain, diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

“Malu adalah bagian dari cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis lainnya, diriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Rasa malu itu hanya akan mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ ، أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ

“Rasa malu itu adalah kebaikan seluruhnya.” Atau beliau bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.” (HR. Muslim)

Hadis yang semakna dengan ini sangatlah banyak. Terdapat pula penjelasan lainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwasanya rasa malu itu adalah akhlak yang mulia dan dicintai oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala sebagaimana dalam hadis Asyaj bin ‘Abdil Qais bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ ؛ الْحِلْمَ وَالْحَيَاءَ

“Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang Allah cintai, yaitu ketenangan dan rasa malu.” (HR. Bukhari)

Malu yang paling utama

Sifat malu yang paling tinggi dan mulia kedudukannya, serta yang paling utama untuk kita perhatikan adalah sifat malu kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, sifat malu kepada Sang Pencipta alam semesta, sifat malu kepada Zat yang melihat kita di mana pun kita berada dan tidak ada yang tersembunyi dari-Nya segala yang kita lakukan. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى

“Bukankah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-Alaq: 14)

إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Sesungguhnya Allah mengawasi kalian.” (QS. An-Nisa: 1)

وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dan Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 265)

Malulah kepada Allah yang mengetahui baik ketika seseorang bersama dengan banyak orang ataupun sendirian. Malulah kepada-Nya, baik ketika dilihat orang ataupun tersembunyi, karena tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya.

Kiat menumbuhkan sifat malu kepada Allah

Rasa malu kepada Allah Ta’ala  adalah akhak mulia dan sifat luhur yang bisa diperoleh dengan tiga cara berikut:

Pertama: Memperhatikan betapa banyak nikmat dan karunia Allah yang telah diberikan kepada kita.

Kedua: Melihat kekurangan yang ada pada kita dalam memenuhi hak-Nya dan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan-Nya kepada kita, baik berupa pelaksanaan perintah-Nya ataupun menjauhi larangan-Nya.

Ketiga: Kita mengetahui dan berusaha memunculkan kesadaran bahwa Allah melihat setiap keadaan kita, setiap saat dan di mana pun berada. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.

Apabila ketiga hal ini telah terkumpul dalam hati seorang hamba, ia akan merasakan rasa malu yang begitu besar kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Dari sifat malu inilah, akan muncul banyak kebaikan dan keutamaan lainnya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Rasa malu itu hanya akan mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila di dalam hati terdapat rasa malu kepada Allah Jalla wa ‘Ala, niscaya diri kita akan terhindar dari akhlak yang rendah, muamalah yang  buruk, dan perbuatan yang haram. Jiwa akan termotivasi dalam melakukan kewajiban, perhatian terhadap akhlak yang mulia dan adab yang  baik.

Bukti malu kepada Allah

Rasa malu kepada Allah bukan hanya keluar dari lisan seorang hamba. Akan tetapi, hakikatnya adalah berada di hati hamba, yang diikuti melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan yang jelek dalam setiap keadaan dan dalam waktu kapan pun juga. Renungkanlah sebuah hadis yang mulia yang menjelaskan kepada kita hakikat dan maksud dari rasa malu kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ ، قَالَ قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى ، وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى ، وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Hendaklah kalian malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sifat malu yang sebenarnya.” Perawi mengatakan, “Kami menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami malu (walhamdulillah).’” Rasulullah bersabda, “Bukan seperti itu. Tetapi malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah hendaklah dia menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, hendaklah dia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah dia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, hendaklah dia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh dia telah malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sifat malu yang sebenarnya.” (HR. Tirmidzi, hasan)

Dalam sabda Nabi (أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى), maksudnya dalam kepala terdapat pendengaran, penglihatan, penciuman, dan lisan. Di dalam kepala juga terdapat ambisi dan keinginan. Apabila seseorang malu kepada Allah, maka dia akan menjaga hasrat dan keinginan apa yang ada di dalam kepalanya. Dia akan menjaga pendengarannya sehingga dia tidak akan mendengar apa yang Allah murkai karena malu kepada-Nya. Dia akan menjaga penglihatannya sehingga dia tidak akan memandang perkara yang membuat Allah marah karena malu kepada-Nya. Dia juga akan menjaga lisannya sehingga tidak akan berbicara yang dibenci Allah karena malu kepada-Nya.

Dalam sabda Nabi (وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى), maksudnya termasuk hakikat rasa malu adalah menjaga perut dan apa yang dikandungnya. Yang paling penting berada di dalam perut adalah hati, yang harus dijaga agar senantiasa memiliki rasa malu kepada Allah. Bahkan, hati merupakan tempat asal muasal rasa malu. Apabila telah terwujud rasa malu kepada Allah di dalam hati, maka niscaya anggota badan yang lain akan menjadi baik sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging. Apabila dia baik, maka baiklah anggota badan yang lain. Apabila dia rusak, maka rusaklah anggota badan yang lain. Segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di antara perwujudan realisasi rasa malu seorang hamba kepada Allah adalah hendaknya dia tidak disibukkan dengan fitnah dunia. Bahkan, dia harus ingat bahwa dia akan kembali kepada Allah dan meninggalkan kehidupan dunia ini dan dimasukkan di hari-hari kesendirian di dalam kubur. Tidak ada yang menemaninya, kecuali amal salehnya. Nabi bersabda (وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى). Jika engkau sadar bahwa akan mati dan berdiri menghadap Allah, dan kemudian Allah akan bertanya tentang apa yang telah kita perbuat di kehidupan dunia, niscaya hal ini akan membantu dan memotivasi untuk mewujudkan rasa malu kepada Allah.

Di antara perkara yang membantu untuk mewujudkan rasa takut kepada Allah adalah senantiasa menjadikan pandangan kita ke negeri akhirat dan apa yang Allah sediakan di sana berupa nikmat dan azab. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, (وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا), maksudnya hendaknya engkau menginginkan dengan amalmu berharap wajah Allah dan negeri akhirat. Dengan demikian, maka segala aktifitas amal saleh dan ketaatan serta akhlak yang baik akan senantiasa mengisi kehidupan dunia ini. Allah Ta’ala befirman,

وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا

“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 19)

Apabila rasa malu telah hilang

Ketika rasa malu telah dicabut dari diri hamba, maka jangan tanya tentang kebinasaan dan berbagai keburukan yang akan terjadi pada orang tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa di antara wasiat yang diwarisi sejak zaman dahulu, yang disampaikan oleh para Nabi adalah tentang sifat malu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’” (HR. Tirmidzi)

Hadis yang agung ini menunjukkan secara jelas bahwa barangsiapa yang dicabut darinya rasa malu, maka dia tidak lagi peduli dengan kejelekan dan dosa serta maksiat yang terjadi. Hal ini karena telah hilang rasa malu kepada Allah dari dalam hatinya. Dia tidak lagi malu kepada Allah dan tidak peduli dengan dosa dan maksiat. Maka, jiwanya menjadi rendah dan hatinya sakit karena tidak ada lagi rasa malu kepada Allah. Hingga akhirnya, dia pun bertemu Allah dan berdiri di hadapan-Nya dengan dosa dan kejelekan yang membinasakannya.

Maka, wajib bagi kita untuk introspeksi selama kita masih hidup dan berada di dunia tempat kita beramal. Kita lihat diri kita tentang rasa malu kita kepada Allah yang telah menciptakan kita dan mengaruniakan kepada kita banyak nikmat, sementara kita senantiasa kurang dalam menunaikan kewajiban. Padahal kita tahu bahwa Allah melihat kita dan mengawasi kita dan tidak ada yang tersembunyi dari-Nya.

***

Referensi :

Khotbah Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafidzahullah dengan judul (الحياء من الله تعالى) dalam buku beliau Al-Jami’ lil Muallifat wa Ar-Rasail Jilid 19 hal 61-64