Judi Online

Judi Online 

Menangnya, dapat dosa dan uang haram.
Kalahnya, dapat dosa dan kerugian.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al Maidah: 90 – 91).

Dalam ayat ini ada 10 kehinaan dari judi :

  1. Digandengkan dengan khamr, berkurban untuk berhala dan mengundi nasib
  2. Disebut dengan rijs (najis)
  3. Disebut dengan amalan setan
  4. Diperintahkan oleh Allah untuk dijauhi
  5. Keberuntungan didapatkan jika menjauhi
  6. Menimbulkan permusuhan
  7. Menimbulkan kebencian di antara manusia
  8. Memalingkan orang dari dzikrullah
  9. Melalaikan orang dari shalat
  10. Allah perintahkan pelakunya untuk berhenti.

Beruntunglah Orang Yang Dijauhkan Dari Fitnah

Beruntunglah Orang Yang Dijauhkan Dari Fitnah 


عَنْ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ايْمُ اللَّهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنِ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنُ وَلَمَنْ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا

“Dari al Miqdad bin al Aswad Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Demi Allah! Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah. Dan barangsiapa yang mendapat ujian lalu bersabar, maka alangkah bagusnya”.

TAKHRIJ HADITS                         
Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab al Fitan wal Malahim, Bab Fi an-Nahyi ‘an as-Sa’yi fil Fitnah, no. 4263 (4/460). Hadits ini dishahihkan al Albani dalam al Misykah al Mashabih no. 5405, juga dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah no. 975 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 4263.

Syaikh al Albani berkata: “Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud (4263) dari al Laits bin Sa’ad dan Abul-Qasim al Hana’i dalam ats-Tsalits minal-Fawaa’id (1/82) dari ‘Abdullah bin Shalih. Kemudian Syaikh menyatakan: “Ini sanad yang shahih sesuai syarat Muslim”[1]

PERAWI HADITS
Al Miqdad bin al Aswad adalah al Miqdad bin Amru bin Tsa’labah al Kindi. Beliau dinasabkan kepada al Aswad bin Abduyaghuts az-Zuhri karena menjadi anak angkatnya. Beliau masuk Islam dan telah melakukan dua kali hijrah dan menikahi sepupu Rasulullah yang bernama Dhuba’ah bin az-Zubeir bin Abdul Muthalib.

Al Miqdad juga ikut dalam perang Badar dan perang-perang setelahnya, serta ikut dalam perang menaklukan Mesir. Beliau meninggal tahun 33 H dan dikuburkan di pemakaman al Baqiq, Madinah.[2]

SYARAH KOSA KATA
– الْفِتَنَ, maknanya fitnah.
– فَوَاهًا , merupakan ungkapan ta’ajjub (kagum). Maknanya, alangkah bagusnya kesabaran orang yang sabar ketika tertimpa fitnah[3]

PENJELASAN DAN FAIDAH HADITS
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan menjelaskan kriteria orang yang berbahagia. Yaitu orang yang dijauhkan dari fitnah. Begitu pula seseorang yang mendapat ujian, namun ia tetap bersabar, maka ia akan mendapat kebahagiaan.

Bagaimana cara mendapatkan kebahagian tersebut? Bagaimana pula agar dapat dijauhkan dan selamat dari fitnah?

  1. Bertakwa dan selalu menjaga ketakwaan kepada Allah, dalam segala keadaan dan kondisi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. [ath-Thalaq/65:2-3].

Maknanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan jalan keluar dari seluruh fitnah, bencana, kejelekan di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. [ath-Thalaq/65:4].

Ketika terjadi fitnah pada zaman tabi’in, sebagian orang mendatangi Thalq bin Habib dan mengatakan, bahwasanya telah terjadi fitnah, lantas bagaimana menyelesaikannya?
Beliau menjawab: “Berlindunglah darinya dengan takwa!”
Mereka bertanya: “Jelaskan kepada kami, apa yang engkau maksud dengan takwa?”
Beliau menjawab,”Takwa kepada Allah, yaitu mengamalkan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dan mengharap rahmat-Nya, dan meninggalkan kemaksiatan di atas cahaya dari Allah dan takut dari adzab-Nya”[Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abi Dunya][4]

Syaikh Abdurrazaq al Abad berkata,”Dengan demikian menjadi jelas, bahwa takwa tidak semata kata-kata yang diucapkan seseorang dengan lisannya, atau (sekadar) pengakuan yang disampaikan seseorang. Sebenarnya takwa merupakan kesungguhan dan ijtihad, serta membimbing jiwa untuk taat dan mendekatkan diri kepada Alla, (yaitu) dengan amalan yang diridhai oleh-Nya. (Takwa), juga (dengan) menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran. Barangsiapa yang memilikinya, maka ia –insya Allah– mendapatkan balasan dan akhir yang baik”[5]

  1. Komitmen, konsisten dan berpegang teguh kepada al Qur`an dan as-Sunnah, serta berjalan di atas manhaj Salafush-Shalih[6]. Karena berpegang teguh kepada al Kitab dan as-Sunnah merupakan jalan mencapai kejayaan, keselamatan dan kemenangan di dunia maupun akhirat.

Imam Malik telah berkata: “Sunnah Nabi adalah perahu Nabi Nuh. Barangsiapa yang menaikinya, maka selamat. Dan (sebaliknya), barangsiapa yang meninggalkannya, maka (ia akan) binasa dan tenggelam”.[7]

Telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits al ‘Irbadh bin Sariyah, yang berbunyi:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Karena sesungguhnya, barangsiapa yang hidup setelahku dari kalian, maka (ia) akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk konsisten dengan sunnahku dan Sunnah para penggantiku yang berilmu dan beramal (Khulafa’ al Mahdiyyin al Rasyidin). Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan selainnya]

Syaikh Abdurrazaq al ‘Abad berkata,”‘Keselamatan ketika terjadi perselisihan dan selamat dari fitnah hanya bisa didapatkan dengan berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, menjauhi hawa nafsu, perbuatan bi’dah, dan berhukum dengan Sunnah pada dirinya dalam perkara yang ia lakukan dan yang ia tinggalkan, baik berupa gerakan, diam, tegak, duduk dan (dalam) seluruh sisi kehidupannya. Barangsiapa yang dalam keadaaan demikian, maka insya Allah akan terlindungi dan terjaga dari seluruh kejelekan, bencana dan fitnah. Sedangkan seseorang yang membiarkan dirinya bebas dan membiarkan hawa nafsunya menjadi pengendali dirinya, maka ia telah menjerumuskan dirinya dan orang lain dari kalangan hamba Allah ke dalam kejelekan”[8]

  1. Lemah-lembut, tenang, tidak tergesa-gesa dan memikirkan akibat yang bakal muncul dari semua yang dilakukannya. Karena perbuatan yang tergesa-gesa tidak membawa kebaikan. Adapun pada sikap perlahan terdapat kebaikan dan barakah. Barangsiapa yang tergesa-gesa dalam urusannya dan sembarangan dalam perilakunya, maka tidak mustahil dia dapat tergelinciran dan terjerumus dalam penyimpangan. Sedangkan orang yang lemah-lembut, sabar dan menjauhkan dari sikap tergesa-gesa, ngawur dan nekad serta selalu memperhitungkan akibat perbuatannya, maka ia insya Allah akan mengantarkannya kepada hasil yang membuatnya bahagia di dunia dan akhirat.


Sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Akan muncul perkara musytabihat (samar-samar), maka kalian harus berlaku pelan-pelan. Karena, kamu menjadi pengikut dalam kebaikan, (itu) lebih baik dari pada menjadi pemimpin dalam kejelekan”[9]

Sesungguhnya, seseorang yang mengatasi permasalahan secara tergesa-gesa dan sama sekali tidak mengambil cara perlahan, (berarti ia telah) membuka pintu kelejelekan untuk dirinya dan orang lain, dan (ia) bertanggung jawab atas dosanya dan menuai hasil buruk. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ

“Sesungguhnya ada di antara manusia yang menjadi kunci kebaikan dan penutup kejelekan. Dan sesungguhnya, ada di antara manusia yang menjadi kunci pembuka kejelekan dan penutup kebaikan. Maka beruntunglah seseorang yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kebaikan melalui tangannya, dan celakalah seseorang yang Allah jadikan kunci pembuka kejelekan melalui tangannya”.[HR Ibnu Majah]

Seorang yang berakal, ia akan senantiasa berhati-hati, melihat jauh (akibat) ke depan, sabar, lembut dan perlahan, serta menjauhi dari berbuat sembrono, tergesa-gesa dan nekad. Karena ketergesaan, nekad dan sikap sembrono, hanya akan mengakibatkan keburukan dan bahaya, serta hasil yang jelek.[10]

  1. Bersatu dan konsisten bersama jama’ah muslimin dan imam mereka, serta menjauhi perpecahan dan perselisihan. Karena, perpecahan adalah jelek, adapun berjama’ah merupakan rahmat. Dengan berjama’ah, ia menghasilkan kekuatan yang besar pada kaum Muslimin, kuat ikatan persaudaraan, kuat kewibawaan dan terwujudnya persatuan di kalangan kaum Muslimin. Juga dengan berjama’ah, akan terwujud sikap saling kerjasama di antara kaum Muslimin dalam kebaikan dan takwa, serta perkara-perkara lainnya yang dapat mewujudkan kebahagian di dunia maupun akhirat. Sedangkan perselisihan, mengantarkan kaum Muslimin kepada banyak kejelekan, bahaya yang banyak dan bencana yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat, agar kaum Muslimin konsisten bersama jama’ah dan memperingatkannya dari perpecahan. Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ

“Jama’ah itu rahmat, dan perpecahan itu adzab”[11].

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا

“Janganlah berselisih, karena orang-orang sebelum kalian berselisih, lalu binasa” [HR al-Bukhari]

Demikian juga, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada kaum Muslimin untuk bersatu dan konsisten dengan jama’ah kaum muslimin dan imam (pemimpin) mereka, sebagaimana dijelaskan dalam hadits al Irbadh bin Sariyah, yang berbunyi:

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا

“Rasulullah mengimami kami shalat pada suatu hari, kemudian beliau menghadap kami dan memberikan nasihat yang menyentuh; membuat mata meneteskan air mata dan hati bergetar. Maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah! Seakan-akan nasihat ini merupakan nasihat perpisahan. Maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan mendengar dan patuh, walaupun (yang memimpin kalian) adalah budak habasyi”. [HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan selainnya].

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan sebab-sebab kebahagian dunia dan akhirat dalam dua perkara, yang tidak ada ketiganya, yaitu:

Pertama, konsisten dalam ketakwaan.
Kedua, konsisten berpegang teguh kepada jama’ah kaum Muslimin dan mentaati imam kaum Muslimin.

Dua ketentuan pokok ini merupakan prinsip Salafush-Shalih yang harus dilaksanakan. Dua prinsip ini menjadi sebagian pelindung kita dari fitnah –dengan idzin Allah– dan inilah jalan mewujudkan persatuan, ketika terjadi perpecahan.[12]

  1. Mengambil ilmu dan fatwa dari ulama besar dan tidak mengambil dari orang-orang kerdil yang baru menimba ilmu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

البِرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِهِمْ

“Barakah ada bersama tokoh-tokoh besar mereka”.[13]

Barakah ada bersama tokoh-tokoh besar mereka yang telah menguasai ilmu dan telah lama menuntutnya. Mereka memiliki kedudukan di tengah-tengah umat disebabkan oleh ilmu, hikmah yang luhur, sikap perlahan dan pandangan jauh mereka ke depan yang Allah karuniakan kepada mereka. Kita diperintahkan mengambil ilmu dan fatwa dari mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”.[an-Nisaa`/4:83].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, dalam menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan: “Ini merupakan pelajaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambaNya atas perbuatan mereka yang tidak pantas. Seharusnya, bila mereka mendapatkan perkara penting atau kemaslahatan umum yang berhubungan dengan keamanan dan kebahagian kaum Mukminin atau kekhawatiran yang menjadi musibah bagi mereka, hendaknya melakukan klarifikasi dan tidak tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut. Seharusnya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ulil Amri mereka, yaitu para ulama yang mengetahui permasalahan dan mengetahui kemaslahatan serta madharatnya (bagi masyarakat)”[14]

Imam al Ashbahani menegaskan pentingnya hal ini, sebagaimana pernyataan beliau: “Barangsiapa yang melihatnya secara adil, niscaya (akan) mengetahui tidak ada seorang pun yang paling jelek madzhabnya dari orang yang meninggalkan firman Allah, sabda Rasulullah, pendapat para sahabat dan pendapat para ulama dan ahli fiqih setelah mereka (sahabat) dari mereka yang membangun madzhab dan agamanya di atas Kitabullah (al Quran) dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengikuti orang yang tidak ‘alim terdahap al Quran dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana ia merasa aman tidak menjadi pengikut setan”[15]


Barangsiapa yang merujuk dan menyerahkan kepada mereka, maka ia aman dari fitnah dan akan mendapatkan kebaikan.

  1. Memperbaiki hubungan dengan Allah dan berdoa kepada-Nya, karena doa merupakan kunci semua kebaikan di dunia maupun akhirat. Begitu halnya dengan meminta kepada Allah untuk menjauhkan kaum Muslimin dari fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Juga meminta perlindungan kepadaNya dari fitnah yang besar. Karena, siapa pun yang memohon perlindungan kepada Allah, niscaya Dia melindunginya. Dan siapa pun yang memohon kepada Allah, niscaya Dia memberinya. Allah tidak akan membiarkan seorang hamba berdo’a tanpa hasil. Allah tidak akan menolak seorang hamba yang memanggilNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. [al Baqarah/2:186]

Di antara yang menjadi penyebab fitnah, yaitu munculnya kesyirikan dan kemaksiatan. Sehingga, ketika muncul fitnah, semestinya kita kembali bertaubat dan memanjatkan doa kepada Allah untuk menghilangkannya.

Imam al Hasan al Bashri pernah menyatakan, sesungguhnya al Hajjaj adalah adzab Allah. Maka janganlah menolak adzab Allah dengan tangan-tangan kalian, namun hendaklah kalian beribadah dan memanjatkan doa dengan kerendahan diri, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri”. [al Mu’minun/23:76].[16]

Hendaknya memperbanyak do’a kepada Allah agar dihilangkan fitnah yang ada sebagaimana dilakukan kaum nabi Yunus yang Allah ceritakan dalam firmanNya:

إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ﴿٩٦﴾وَلَوْ جَاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ﴿٩٧﴾فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُوا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَىٰ حِينٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabbmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan adzab yang pedih. Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka adzab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu”. [Yunus/10: 96-98].

Dalam penafsirannya terhadap ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Yang dimaksud, tidak ada satu (penduduk) satu kota yang beriman seluruhnya kepada nabi mereka dari (penduduk ) satu kota terdahulu kecuali kaum Nabi Yunus, iman mereka hanya karena takut datangnya adzab yang telah diperingatkan oleh rasul mereka, setelah mereka mengerjakan sebab-sebabnya (adzab), dan rasul mereka (Yunus) pergi meninggalkan mereka. Lalu ketika itu mereka berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah, memohon pertolongan, merendahkan diri dan tunduk, serta mengeluarkan anak-anak, binatang ternak dan gembalaan mereka, dan memohon kepada Allah untuk menolak adzab yang telah diperingatkan nabi mereka. Seketika itu, Allah merahmati mereka dan menghilangkan adzab atas mereka, dan mengakhirkan mereka”[17].

Demikianlah di antara perkara yang harus diperhatikan seseorang, agar terhindar dari fitnah. Semoga Allah menjauhkan kita dari fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.

Wallahu a’lam.

MARAJI:

  1. Tafsir Ibnu Katsir, Cetakan Pertama, Tahun 1413H, Maktabah al ‘Ulum wal-Hikaam, Madinah.
  2. Silsilah al Ahadits ash-Shahihah.
  3. Asbab al Wiqayah minal-Fitan, Syaikh Abdullah al ‘Ubailan dalam Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 16, Desember 2005-Dzul Qa’dah 1426H.
  4. Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabi’ul Awwal 1426H.
  5. Al Fitnah wa Mauqif al Muslim Minha, Dr. Muhammad bin Abdulwahab al ‘Aqil.
  6. Taisir al Karimirrahman.
  7. Al Hujjah fi Bayan al Mahajjah, Ismail bin Muhammad al Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi’ al Madkhali, Cetakan Pertama, Tahun 1411H, Dar ar-Rayah, Riyadh.
  8. Sunan Abu Dawud.
  9. A’unul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1] Silsilah al Ahadits ash-Shahihah (2/703)
[2] Tambih al Afham bi Syarhi Umdatul-Ahkam, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (1/66).
[3] Lihat ‘Aunul-Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud
[4] Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18.
[5] Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18.
[6] Makalah Asbab al Wiqayah minal Fitan, Syaikh Abdullah al ‘Ubailan dalam Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 16, Desember 2005-Dzul Qa’dah 1426H, hlm.6
[7] Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18
[8] Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18
[9] Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18
10] Syaikh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin al ‘Abad dalam Majalah Ummati, Kuwait, Edisi 10, Mei 2005-Rabiul Awwal 1426H, hlm.18.
[11] HR Ahmad, dan Syaikh al Albani dalam Shahihul-Jaami’, no. 3109 mengatakan, hadits ini hasan.
[12] Al Fitnah wa Mauqif al Muslim Minha, Dr. Muhammad bin Abdul Wahab al ‘Aqil, hlm. 100-101
[13] HR. Ibnu Hiban, al Hakim, Abu Nu’aim, dan al Baihaqi dalam Syu’abul-Iman. Syaikh al Albani menyatakan hadits ini shahih dalam Shahihul-Jami’ no. 2884, Silsilah al Ahadits ash-Shahihah no.1778 (4/380)
[14] Taisiril-Karimir-Rahman.
[15] Al Hujjah fi Bayan al Mahajjah (1/311).
[16] Lihat makalah Asbab al Wiqayah minal Fitan, Syaikh Abdullah al ‘Ubailan menukil dari perkataan Ibnu Taimiyyah.
[17] Tafsir Ibnu Katsir (2/414)

Bahaya Kebiasaan Berhutang

Bahaya Kebiasaan Berhutang 

Islam adalah agama yang mulia. Islam telah mengatur seluruh permasalahan di dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya adalah permasalahan hutang-piutang. Islam tidak hanya membolehkan seseorang berhutang kepada orang lain, tetapi Islam juga mengatur adab-adab dan aturan-aturan dalam berhutang.

Hukum Berhutang

Hukum asal dari berhutang adalah boleh (jaa-iz). Allah subhaanahu wa ta’aala menyebutkan sebagian adab berhutang di dalam Al-Qur’an. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ }

Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian ber-mu’aamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah: 282)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berhutang. Di akhir hayat beliau, beliau masih memiliki hutang kepada seorang Yahudi, dan hutang beliau dibayarkan dengan baju besi yang digadaikan kepada orang tersebut.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu’anhaa, bahwasanya dia berkata:

( أَنَّ النَّبِيَّ –صلى الله عليه وسلم– اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ )

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya” (HR Al-Bukhari no. 2200)

Kebiasaan Sering Berhutang

Akan tetapi, banyak kaum muslimin yang menganggap remeh hal ini. Mereka merasa nyaman dengan adanya hutang yang “melilit’ dirinya. Bahkan, sebagian dari mereka di dalam hidupnya tidak pernah sedetik pun ingin lepas dari hutang. Sebelum lunas pinjaman yang pertama, maka dia ingin meminjam lagi untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya.

Jika hal ini dibiarkan, maka ini akan berlarut-larut dan akan “menular” kepada orang lain di sekitarnya. Terlebih lagi, dengan banyaknya fasilitas untuk berhutang yang disediakan oleh lembaga-lembaga, badan-badan atau perusahaan-perusahaan yang menganut sistem ribawi. Dan parahnya, tidak hanya orang-orang awam yang terlibat dengan hal-hal seperti ini, orang yang sudah lama mengaji, orang berilmu dan orang-orang kaya pun turut berpartisipasi dalam “meramaikannya”. Na’uudzu billaahi min dzaalika.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat takut berhutang dan sangat takut jika hal tersebut menjadi kebiasaannya. Mengapa demikian?

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu ‘anhaa, bahwasanya dia mengabarkan, “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa di shalatnya:

( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ)

Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang

Berkatalah seseorang kepada beliau:

( مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ )

Betapa sering engkau berlindung dari hutang?

Beliau pun menjawab:

( إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ, حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. )

Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berhutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya” (HR Al-Bukhaari no. 832 dan Muslim no. 1325/589)

Perlu dipahami bahwa berhutang bukanlah suatu perbuatan dosa sebagaimana telah disebutkan. Tetapi, seseorang yang terbiasa berhutang bisa saja mengantarkannya kepada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala. Pada hadits di atas disebutkan dua dosa akibat dari kebiasaan berhutang, yaitu: berdusta dan menyelisihi janji. Keduanya adalah dosa besar bukan?

Mungkin kita pernah menemukan orang-orang yang sering berhutang dan dililit oleh hutangnya. Apa yang menjadi kebiasaannya? Bukankan orang tersebut suka berdusta, menipu dan mengingkari janjinya? Allaahumma innaa na’udzu bika min dzaalika.

Memberi Jaminan Ketika Berhutang

Mungkin di antara pembaca ada yang mengatakan, “Bukankan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri berhutang?”

Ya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhutang karena sangat membutuhkan hal tersebut pada saat itu. Coba kita perhatikan dengan seksama hadiits yang telah disebutkan. Bukankan yang dihutangi oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makanan? Jika benar-benar memiliki kebutuhan, maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang tercela.

Tetapi perlu diingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hal yang mulia ketika beliau berhutang. Apakah hal yang mulia tersebut? Beliau menggadaikan baju besinya sebagai jaminan. Apabila beliau tidak mampu membayarnya, maka baju besi itulah yang menjadi pembayarannya.

Begitulah seharusnya yang kita lakukan ketika berhutang. Kita harus memiliki jaminan dalam berhutang. Jaminan-jaminan tersebut bisa berupa:

  1. Harta yang dimiliki
    Misalkan seseorang ingin membeli motor, dia memiliki uang di simpanannya sebanyak Rp 15 juta. Uang tersebut tidak berani dia keluarkan, karena menjadi simpanan usahanya yang harus di sisakan di simpanan bisnisnya, untuk berjaga-jaga dalam permodalan atau karena hal-hal lain. Kemudian orang tersebut membeli motor dengan kredit seharga Rp 15 juta kepada seseorang dengan batas waktu yang telah ditentukan.Hal seperti ini tidak tercela, karena seandainya dia meninggal, maka dia memiliki jaminan harta yang ada di simpanannya.
  2. Menggadaikan barang (Ar-Rahn)
    Hal ini telah dijelaskan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
  3. Mengalihkan hutang kepada piutang yang dimiliki (Al-Hawaalah/Al-Hiwaalah)
    Misalkan si A memiliki piutang (orang lain [si B] berhutang kepadanya) sebesar Rp 5 juta, kemudian orang tersebut ingin berhutang kepada si C sebesar Rp 5 juta. Si A mengatakan kepada si C, “Bagaimana menurutmu jika piutangku pada si B menjadi jaminan hutang ini.” Kemudian si C pun menyetujuinya. Maka hal tersebut juga tidak tercela dan pengalihan seperti ini diperbolehkan di dalam Islam. Seandainya si A meninggal, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab si B untuk membayarkannya kepada si C.
  4. Mencari penanggung jawab atas hutang yang dimiliki (Al-Kafaalah)
    Misalkan seseorang membutuhkan biaya yang sangat besar secara mendadak, seperti: biaya operasi yang diakibatkan oleh kecelakaan. Orang tersebut tidak memiliki uang atau harta sebagai jaminannya. Pihak rumah sakit meminta orang tersebut mencari seorang penanggung jawab (kafil) atas hutangnya tersebut. Seandainya orang tersebut kabur atau meninggal dunia, maka penanggung jawabnyalah yang membayarkan hutangnya kepada rumah sakit. Hal ini diperbolehkan dengan syarat penanggung jawab tersebut mampu untuk membayarkan hutangnya atau mampu mendatangkan orang yang berhutang tersebut apabila dia kabur.

Keburukan Jika Hutang Tidak Sempat Dilunasi

Jika tidak memiliki jaminan-jaminan yang telah disebutkan di atas, sebaiknya jangan membiasakan diri untuk berhutang. Karena orang yang meninggal sedangkan dia memiliki tanggungan hutang, maka dia akan mendapatkan banyak keburukan. Setidaknya penulis sebutkan tiga keburukan pada tulisan ini.

Keburukan pertama: Tidak dishalati oleh tokoh-tokoh agama dan masyarakat

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menshalati jenazah yang memiliki hutang.

( عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ –رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ– قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ –صلى الله عليه وسلم– إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا ، فَقَالَ : (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )), قَالُوا: لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا ؟ )), قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قِيلَ : نَعَمْ ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟ )) قَالُوا : ثَلاَثَةَ دَنَانِيرَ، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ تَرَك شَيْئًا؟ )) قَالُوا : لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قَالُوا: ثَلاَثَةُ دَنَانِيرَ ، قَالَ: (( صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ))، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.)

Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallaahu ‘anhu, dia berkata, “Dulu kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian didatangkanlah seorang jenazah. Orang-orang yang membawa jenazah itu pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkan lagi jenazah yang lain. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ya.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Kemudian beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkanlah jenazah yang ketiga. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Beliau pun berkata, ‘Shalatlah kalian kepada sahabat kalian! Kemudian Abu Qatadah pun berkata, ‘Shalatilah dia! Ya Rasulullah! Hutangnya menjadi tanggung jawabku.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2289)

Hadits di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalati orang yang punya hutang. Hal ini sebagai bentuk pengajaran beliau bahwa membiasakan diri untuk berhutang sedangkan dia tidak memiliki jaminan adalah sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang-orang terpandang, tokoh masyarakat dan agama melakukan hal seperti ini ketika ada orang yang meninggal dan dia memiliki tanggungan hutang.

Keburukan kedua: Dosa-dosanya tidak akan diampuni sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya

Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiallaahu ‘anhu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

( أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ ؟)

Bagaimana menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan diampuni?

Beliau pun menjawab:

( نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ )

Ya, dengan syarat engkau sabar, mengharapkan ganjarannya, maju berperang dan tidak melarikan diri, kecuali hutang. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam baru memberitahuku hal tersebut” (HR Muslim no. 4880/1885)

Hadits di atas menjelaskan bahwa ibadah apapun, bahkan yang paling afdhal sekalipun yang merupakan hak Allah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.

Keburukan ketiga: Ditahan untuk tidak masuk surga, meskipun dia memiliki banyak amalan sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya

Diriwayatkan dari Tsauban, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ: الْكِبْرِ, وَالْغُلُولِ, وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ )

Barang siapa yang mati sedangkan dia berlepas diri dari tiga hal, yaitu: kesombongan, ghuluul (mencuri harta rampasan perang sebelum dibagikan) dan hutang, maka dia akan masuk surga. (HR At-Tirmidzi no. 1572, Ibnu Majah no. 2412 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Shahih” di Shahih Sunan Ibni Majah)

Nasehat Seputar Hutang

Oleh karena, sebelum mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang ingin penulis nasihatkan untuk diri penulis dan pembaca sekalian:

  1. Janganlah membiasakan diri untuk berhutang. Terutama berhutang yang tidak memiliki jaminan.
  2. Fasilitas untuk berkecimpung di dalam riba sangatlah banyak sekali di zaman ini. Oleh karena itu, janganlah kita biarkan diri kita berkecimpung di dalamnya! Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:( لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَشَاهِدَهُ ، وَكَاتِبَهُ.)“Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makan, saksi dan juru tulisnya” (HR Ahmad no. 3725. Syaikh Syu’aib mengatakan, “Shahih li ghairih.”)
  3. Apabila ingin berhutang, maka niatkanlah dengan hati yang jujur untuk segera melunasi hutang tersebut pada waktu yang telah dijanjikan. Insya Allah, Allah akan membantu pelunasannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:( مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ.)“Barang siapa meminjam harta manusia dan dia ingin membayarnya, maka Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang meminjamnya dan dia tidak ingin membayarnya, maka Allah akan menghilangkan harta tersebut darinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2387)
  4. Apabila telah sampai batas waktu yang telah ditentukan, maka segeralah membayar hutang tersebut dan jangan menunda-nundanya, terkecuali pada saat itu kita tidak memiliki harta untuk membayarnya. Orang yang memiliki harta untuk membayar hutangnya, tetapi dia sengaja memperlambat pembayarannya, maka dianggap sebagai suatu kezoliman/dosa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam 😦 مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ )“Memperlambat pembayaran hutang untuk orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman.” (HR Al-Bukhaari no. 2288 dan Muslim no. 4002/1564)
  5. Jika benar-benar tidak mampu membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan, maka bersegeralah meminta maaf kepada orang yang menghutangi dan minta tenggang waktu untuk membayarnya.

Demikian tulisan yang singkat ini. Mudahan bermanfaat untuk kita semua dan mohon perkenannya untuk menyampaikan kepada yang lain.

( اللَّهُمَّ إِنِّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ )

Di Antara Tanda Keberkahan Ilmu

Di Antara Tanda Keberkahan Ilmu

Sebagian orang begitu bersemangat belajar ilmu agama, namun dia tidak menyadari bahwa dia telah kehilangan keberkahan dari ilmu agama yang dia pelajari. Ketika dia telah belajar banyak cabang dalam ilmu agama, dia pun mulai menyanjung dan memuji dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya memiliki lautan ilmu, seakan-akan dia seorang Rasul yang mendapatkan wahyu.

Mereka inilah orang-orang yang tidak mendapatkan keberkahan ilmu. Keberkahan ilmu tidaklah ditandai dengan ilmu yang luas dan banyak, mengetahui segalanya, bahkan setiap detil perselisihan ulama dalam cabang ilmu tertentu. Bisa jadi ilmu seseorang itu banyak dan luas, namun dia tidak mendapatkan keberkahannya.

Lalu, apakah tanda keberkahan ilmu tersebut?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

… من خشية الإنسان لربه عز وجل وإنابته إليه، والحقيقة أن العلم إذا لم يثمر خشية الله عز وجل، والإنابة إليه، والتعلق به سبحانه وتعالى، واحترام المسلمين، فإنه علم فاقد البركة، بل قد يختم لمن سلك هذا المسلك بخاتمة سيئة …

“(Tanda keberkahan ilmu adalah) takutnya seseorang kepada Allah Ta’ala dan bertaubat (kembali) kepada-Nya. Pada hakikatnya, jika ilmu tidak menumbuhkan (membuahkan) rasa takut kepada Allah Ta’ala, bertaubat kepada-Nya, bersandarnya hati kepada-Nya, dan memuliakan kaum muslimin, maka ilmu tersebut telah kehilangan berkahnya. Bahkan, bisa jadi orang tersebut akan menutup amalnya dengan kejelekan.”

Demikian juga, hendaknya mereka (para penuntut ilmu) senantiasa memuliakan para ulama terdahulu (salafus shalih), meskipun kita meyakini bahwa mereka tidaklah selamat dari kesalahan dan kekeliruan. Kita meyakini bahwa para ulama adalah manusia biasa yang mungkin saja melakukan kesalahan. Sebagaimana halnya kita pun sangat-sangat mungkin melakukan kesalahan. Akan tetapi, jika kita telah melihat kesalahan nyata yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kita tidak boleh menerima dan mengambil pendapat yang keliru tersebut. Namun, kita wajib memaklumi dan memberikan ‘udzur kepada mereka rahimahumullah, karena kita tahu bahwa maksud mereka adalah maksud yang baik, yaitu untuk mencari kebenaran. Kita tidak boleh mencela mereka atau mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak pantas kepada mereka. Hendaknya setiap kita bisa membaca kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala yang berjudul Raf’ul Malaam ‘an Aimmatil A’laam agar kita memahami bagaimanakah bersikap yang benar terhadap para ulama rahimahumullahu Ta’ala.

Belajarlah adab kepada para ulama dan orang-orang awam, barulah kemudian belajar ilmu …

***