Hukum Makan Dengan Tangan Kiri

Hukum Makan Dengan Tangan Kiri 

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Beberapa kesempatan yang lalu, kami sempat membahas di antara adab makan. Tema yang telah diangkat adalah adab membaca “bismillah” sebelum makan. Saat ini kami akan membahas adab makan yang lain yaitu adab makan dengan tangan kanan.

Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih,

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

Wahai anak, sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah yang ada di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376, Bab Membaca Basmalah ketika Makan dan Makan dengan Tangan Kanan; Muslim no. 2022, Bab Adab Makan-Minum dan Hukumnya)

Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat,

« إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ ».

Jika seseorang di antara kalian makan, maka hendaknya dia makan dengan tangan kanannya. Jika minum maka hendaknya juga minum dengan tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula.” (HR. Muslim no. 2020, Bab Adab Makan-Minum dan Hukumnya)

Dalam kitab yang sama disebutkan riwayat lainnya,

أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.

Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Dia malah menjawab, ‘Aku tidak bisa.’ Beliau bersabda, ‘Benarkah kamu tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.” (HR. Muslim no. 2021)

Dari beberapa hadits di atas, kita dapat menarik pelajaran bahwa terlarangnya makan dengan tangan kiri.

Kebanyakan ulama Syafi’iyah berpandangan bahwa hukum makan dengan tangan kanan hanyalah sunnah (dianjurkan). Demikianlah yang dipilih oleh Al Ghozali kemudian An Nawawi. Akan tetapi, ada pendapat tegas dari Imam Asy Syafi’i dalam kitab “Ar Risalah” dan di tempat lain dalam “Al Umm” yang menyatakan bahwa hukum makan dengan tangan kanan adalah wajib.[1]

Pendapat yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i, itulah yang dinilai lebih kuat.

Penulis ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadi memberikan penjelasan, “Pada hadits (urutan kedua seperti di atas, pen) secara tekstual menunjukkan perintah untuk makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib. Demikianlah pendapat sebagian ulama. Bahkan hal ini dikuatkan oleh riwayat Muslim, “Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Dia malah menjawab, ‘Aku tidak bisa.’ Beliau bersabda, ‘Benarkah kamu tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.”[2]

Artinya jika dikatakan wajib, maka yang makan atau minum dengan tangan kiri dengan kesengajaan, berarti melakukan keharaman. Demikianlah yang lebih tepat karena ada penguat dalam riwayat Muslim yang menyatakan bahwa makan dengan tangan kiri menyerupai perbuatan setan. Inilah yang menjadi alasan wajibnya sebagaimana telah jelas dalam kaedah fiqhiyah. Wallahu a’lam.

Namun jika ada udzur (halangan) menggunakan tangan kanan kala itu, maka dimaafkan jika harus menggunakan tangan kiri. Ibnu Baththol menukil perkataan Ath Thobari, di mana beliau berkata, “Tidak boleh makan dan minum dengan tangan kiri kecuali bagi orang yang tangan kanannya dalam kesulitan untuk digunakan karena mesti melakukan hal lainnya seperti digunakan untuk mengambil, memberi, mengangkat, meletakkan atau membentangkan sesuatu.” Lalu Ath Thobari menyebutkan riwayat ‘Ali yang mendukung hal ini.[3] Ingat sekali lagi, dibolehkan dengan tangan kiri di sini ketika memang darurat, bukan karena malas.


[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 9/522

[2] ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadi, Abuth Thoyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415 H, 10/179

[3] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 18/27.

Tujuan Pernikahan Dalam Islam

Tujuan Pernikahan Dalam Islam 

  1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
    Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
  2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
    Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”[1]

  1. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
    Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah/2 : 229]

Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah/2 : 230]

Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.

A. Kafa-ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja dalam memilih calon jodoh putera-puterinya. Masalah kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.

Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam hal per-nikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami -insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah ‘Azza wa Jalla memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya melainkan derajat taqwanya.


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. [Al-Hujuraat/49 :13]

Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan mempertahankan adat istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur-an dan Sunnah Nabi yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍِ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung.”[2]

Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita karena empat hal ini. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang shalihah karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar selamat dunia dan akhirat.

Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau memiliki harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi kurang agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para ulama membolehkannya dan pernikahannya tetap sah.

Allah menjelaskan dalam firman-Nya:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…” [An-Nuur/24 : 26]

B. Memilih Calon Isteri Yang Shalihah
Seorang laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-laki yang shalih.

Menurut Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“…Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)…” [An-Nisaa’/4 : 34]

Lafazh قَانِتَاتٌ dijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya.[3]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”[4]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.”[5]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ، وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ: اَلْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ

“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri yang buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.”[6]

Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah :

Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya,
Taat kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta menjaga harta suaminya,
Menjaga shalat yang lima waktu,
Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan,
Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah.[7]
Berakhlak mulia,
Selalu menjaga lisannya,
Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya karena yang ke-tiganya adalah syaitan,
Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya,
Taat kepada kedua orang tua dalam kebaikan,
Berbuat baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.
Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud.

Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus ummat.

  1. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
    Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah (sedekah).


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

…وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

“… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.”[8]

  1. Untuk Memperoleh Keturunan yang Shalih
    Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl/16 : 72]

Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

“…Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [Al-Baqarah/2 : 187]

Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak.[9]

Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk memperoleh anak dengan cara ber-hubungan suami isteri dari apa yang telah Allah tetapkan untuk kita. Setiap orang selalu berdo’a agar diberikan keturunan yang shalih. Maka, jika ia telah dikarunai anak, sudah seharusnya jika ia mendidiknya dengan benar.

Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Hal ini mengingat banyaknya lembaga pendidikan yang berlabel Islam, tetapi isi dan caranya sangat jauh bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islami yang luhur. Sehingga banyak kita temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak memiliki akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena pendidikan dan pembinaan yang salah. Oleh karena itu, suami maupun isteri bertanggung jawab untuk mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar, sesuai dengan agama Islam.

Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]


Footnote
[1] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/424, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi (VII/ 77), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[2] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5090), Muslim (no. 1466), Abu Dawud (no. 2047), an-Nasa-i (VI/68), Ibnu Majah (no. 1858), Ahmad (II/428), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3] Tafsiir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/62, no. 9320).
[4] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1467), an-Nasa-i (VI/69), Ahmad (II/168), Ibnu Hibban (no. 4020 -at-Ta’liqaatul Hisaan) dan al-Baihaqi (VII/80) dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma.
[5] Hadits hasan: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/68), al-Hakim (II/161) dan Ahmad (II/251, 432, 438), dari Shahabat Abu Hurairah radhi-yallaahu ‘anhu. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 1838).
[6] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 4021 -at-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban) dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqash secara marfu’. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 282).
[7] Lihat surat Al-Ahzaab (33) ayat 33.
[8] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006), al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad (no. 227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban (no. 4155 -at-Ta’liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi (IV/188), dari Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu.
[9] Tafsiir Ibnu Katsir (I/236), cet. Darus Salam.

Ajaibnya keadaan seorang mukmin

Ajaibnya keadaan seorang mukmin

Ajaibnya keadaan seorang mukmin? Bagaimana bisa?

Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Imam Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir, “Keadaan seorang mukmin semuanya itu baik. Hanya didapati hal ini pada seorang mukmin. Seperti itu tidak ditemukan pada orang kafir maupun munafik. Keajaibannya adalah ketika ia diberi kesenangan berupa sehat, keselamatan, harta dan kedudukan, maka ia bersyukur pada Allah atas karunia tersebut. Ia akan dicatat termasuk orang yang bersyukur. Ketika ia ditimpa musibah, ia bersabar. Ia akan dicatat termasuk orang yang bersabar.

Oleh karenanya, selama seseorang itu dibebani syari’at, maka jalan kebaikan selalu terbuka untuknya. Sehingga seorang hamba yang beriman itu berada di antara mendapatkan nikmat yang ia diperintahkan untuk mensyukurinya dan musibah yang ia diperintahkan untuk bersabar.

Semoga keadaan kita semuanya baik.

Kejar Takbir Pertama Selama 40 Hari

Kejar Takbir Pertama Selama 40 Hari 


عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ   النِّفَاقِ

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah dengan mendapatkan Takbir pertama (takbiratul ihramnya imam), maka ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani di kitab Shahih Al Jami’ II/1089, Al-Silsilah al-Shahihah: IV/629 dan VI/314).

BEBERAPA PELAJARAN PENTING DAN FAEDAH ILMIYAH YANG TERKANDUNG DI DALAM HADITS INI:

1. Hadits ini menerangkan tentang dua keutamaan besar bagi orang yang melaksanakan sholat berjama’ah selama 40 (empat puluh) hari tanpa terlambat dari takbirotul ihrom bersama imam. Dua keutamaan besar tersebut ialah: Selamat dari siksa Api Neraka di akhirat, dan selamat dari kemunafikan di dunia.

2. Yang dimaksud dengan selamat dari kemunafikan ialah sebagaiman dijelaskan oleh Al-‘Allamah al-Thiibi rahimahullah, ia berkata: ”Ia dilindungi (oleh Allah) di dunia ini dari melakukan perbuatan kemunafikan dan diberi taufiq untuk melakukan amalan orang-orang yang ikhlas. Sedangkan di akhirat, ia dilindungi dari adzab yang ditimpakan kepada orang munafik dan diberi kesaksian bahwa ia bukan seorang munafik. Yakni jika kaum munafik melakukan sholat, maka mereka sholat dengan bermalas-malasan. Dan keadaannya ini berbeda dengan keadaan mereka.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi I/201).

3. Dua keutamaan besar dari sholat berjamaah tersebut akan didapatkan oleh setiap muslim dan muslimah yang memenuhi beberapa syarat berikut ini:

  • Melaksanakan sholat dengan niat ikhlash karena mengharap ridho Allah semata.
  • Melaksanakan sholat sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
  • Melaksanakan sholat dengan berjama’ah, baik di masjid maupun musholla.
  • Menjaga sholat berjama’ah selama 40 hari (siang dan malamnya).
  • Mendapatkan takbiratul ihromnya imam secara berturut-turut, tanpa tertinggal atau terlambat (masbuq) sama sekali. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dari Anas bin Malik radliyallah ‘anhu:مَنْ وَاظَبَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَةِ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً لا تَفُوْتُهُ رَكْعَةٌ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهَا بَرَاءَتَيْنِ، بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ”Siapa yang menekuni (menjaga dengan teratur) shalat-shalat wajib selama 40 malam, tidak pernah tertinggal satu raka’atpun maka Allah akan mencatat untuknya dua kebebasan; yaitu terbebas dari neraka dan terbebas dari kenifakan.” (HR. Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’abul Iman, no. 2746).

4. Seorang muslim yang pernah terlambat dari takbirotul ihrom bersama imam karena adanya udzur (halangan) syar’i, dan bukan merupakan kebiasaannya terlambat dari sholat berjamaah, maka ia bukanlah termasuk orang munafik.

5. Bagi siapa saja yang ingin meraih 2 keutamaan besar tersebut namun ia pernah terlambat dari takbirotul ihrom bersama imam, maka hendaknya ia memulai lagi dengan hitungan baru, dengan memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi, orang-orang yang pernah terlambat dari takbirotul ihrom bersama imam karena adanya udzur (halangan) syar’i seperti sakit, berada di negeri kafir atau di daerah yang penduduknya tidak ada yang sholat, maka diharapkan baginya meraih 2 keutamaan besar tersebut, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى 

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhori 1, Muslim 1907)

Demikian beberapa pelajaran penting dan faedah ilmiyah yang dapat dipetik dari hadits ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Dan semoga Allah Ta’ala memberikan Taufiq dan bimbingan-Nya kpd kita semua agar dapat menjalankan setiap amal ibadah yang mendatangkan pahala besar dan keridhaan-Nya, serta menyelamatkan kita dari segala keburukan dan kebinasaan di dunia dan akhirat. Amiin. 

Cinta Dan Benci Secukupnya

Cinta Dan Benci Secukupnya 

Wanita dianugrahi perasaan yang mendalam, karena memang disiapkan menjadi seorang ibu yang harus memiliki kasih sayang dan perhatian yang mendalam juga. Untuk menghadapi anak-anak, maka perlu perhatian dan kasih sayang untuk menemani kesabaran menghadapi dan mendidik anak-anak. Akan tetapi kelebihan ini tentu ada kelemahannya. Kelemahannya adalah terkadang perasaan menutupi akal sehatnya, perasaan membuat pertimbangan mengambil keputusan bisa mengalahkan keputusan akal sehat. Dan ini memang harus dipahami karena wanita memang ingin lebih dimengerti.

Ketika  wanita jika sudah cinta, maka ia sangat cinta sekali dan jika sudah benci maka ia benci sama sekali. Ini adalah mayoritas sifat wanita. Karenanya beberapa ahli psikologi dan beberapa ulama yang ahli mengenai hal ini mengatakan bahwa wanita memang tidak bisa membagi cinta, karena begitulah tipe cinta wanita.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Jika engkau berbuat baik kepada salah seorang diantara mereka (wanita) sepanjang setahun, kemudian melihat sesuat yang mengecewakan, dia akan berkata,

’Saya tidak pernah melihat kebaikanmu sedikitpun’.[1]
Cinta yang sewajarnya saja

perilaku seperti tidak bagus yaitu terlalu berlebihn menyikapi cinta dan benci. Hal ini sudah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambeliau bersabda,

أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيْضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيْضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا

“Cintailah orang yang kau cintai sekadarnya, bisa jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekadarnya bis jadi suatu hari ia menjadi orang yang kau sayangi”[2]

Dari Aslam bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu anhu berkata,

لاَ يَكُنْ حُبُّكَ كَلَفًا وَلاَ بَغُضُكَ تَلَفًا فَقُلْتُ كَيْفَ ذَاكَ ؟ قَالَ إِذَا أَحْبَبْتَ كَلِفْتَ كَلَفَ الصَّبِيِّ وَإِذَا أَبْغَضْتَ أَحْبَبْتَ لِصَاحِبِكَ التَّلَف

“Janganlah cintamu menjadikan keterlenaan bagimu, dan jangan pula kebencianmu menjadikan kehancuran bagimu.

Aku (Aslam) berkata, “Bagaimanakah itu?”

Umar berkata, “Bila engkau mencitainya, maka engkau mencintainya sampai engkau terlena seperti layaknya seorang anak kecil, dan bila engkau membenci, engkau menginginkan kehancuran baginya.”[3]
Penjelasan hadits dijelaskan dalam Fatwa Al-Islamiyah,

لكن المقصود من الحديث النهي عن المبالغة والإفراط الشديد في الحب،

“Akan tetapi maksud hadits adalah agar tidak berlebihan dan melampui batas dalam hal cinta.”[4]

Demikianlah, kita diperintahkan agar bersikap pertengahan dalam sesuatu hal. Tidak terlalu ekstrim dan tidak terlalu meremehkan juga.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….” (QS. Al Baqarah: 143)

Demikian semoga bermanfaat.