Jangan Suka Menunda Sedekah

Jangan Suka Menunda Sedekah 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: « أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيْحٌ شَحِيْحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلُقُومَ قُلْتَ: لِفُلاَنٍ كَذَا وَلِفُلاَنٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu bersedekah pada saat dirimu sehat, kikir, takut fakir, sedangkan kamu berangan-angan menjadi orang kaya. Oleh karena itu, janganlah kamu menunda-nunda untuk bersedekah sehingga ruh sampai di tenggorokan. Maka, kamu baru berkata, “Ini untuk si fulan dan ini untuk si fulan sekalian.” Padahal harta itu memang sudah ditetapkan menjadi milik si fulan.” (HR. Al-Bukhari, no. 1419 & Muslim, no. 1032).

Faedah Hadist

Hadist ini memberikan faedah-faedah berharga, di antaranya;

1. Tatkala seorang itu sehat, maka ia cenderung untuk pelit, karena ingin mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dalam mengembangkan usaha dan mengeruk keuntungan semaksimal mungkin. Sehingga dalam keadaan sehat dan pelit tersebut, sulit sekali untuk sedekah. Padahal sedekah ketika pelit dan sehat adalah sebaik-baik keadaan untuk bersedekah dan berpahala lebih besar.

2. Bersedekah dalam keadaan sehat dan takut kurang harta adalah di antara bukti akan kejujuran keimanan, benarnya niat si dermawan dan besarnya pahala yang diperoleh. Hal ini berbeda dengan orang yang bersedekah saat menjelang akhir hayat atau sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka sedekah ketika itu masih berbeda sekali halnya ketika sehat.

3. Dorongan dan semangat motivasi agar setiap orang berjuang melawan hawa nafsunya untuk mengeluarkan harta dalam jalan-jalan kebaikan, padahal ada sifat pelit dan tamak yang menghalangi. Hal Inilah yang menunjukkan bahwa sedekahnya benar-benar jujur dan kuatnya semangat orang yang melakukannya.

4. Jangan suka menunda-nunda amalan kebaikan, jangan hanya mau bersedekah ketika sakit saja atau bila kematian telah di depan mata, karena amalan kebaikan itu secara umum dengan berkat karunia dan pahala dari Allah Ta’ala Yang Maha Luas adalah berlaku sepanjang hayat, bukan ketika karena takut mati atau karena ajal semakin dekat saja.

5. Semangatnya para sahabat dalam bertanya tentang amalan-amalan terbaik seorang insan.

Wallahu Ta’ala A’lam

Silahkan Kaya Jika Anda Bertakwa

Silahkan Kaya Jika Anda Bertakwa 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dari Abdullah bin Hubaib, dari pamannya yang merupakan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menceritakan,

Kami pernah duduk bersama, tiba-tiba muncul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wajah berseri-seri.

’Ya Rasulullah, kami lihat anda sangat ceria hari ini.’ tanya kami.

”Benar, alhamdulillah.” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu beliau bersabda,

لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى اللهَ، وَالصِّحَّةُ لِمَنْ اتَّقَى اللهَ خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى، وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ

Tidak masalah memiliki kekayaan bagi orang yang bertaqwa kepada Allah. Sementara kesehatan bagi orang yang bertaqwa kepada Allah, lebih baik dari pada kekayaan. Dan jiwa yang tenang termasuk kenikmatan. (HR. Ahmad 23158, Ibnu Majah 2141, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Semua yang ada di sekitar kita, berpotensi untuk menjadi sumber kebaikan, sebaliknya juga berpotensi menjadi sumber fitnah, ujian, dan kebinasaan. Ini semua kembali kepada siapa yang mengendalikannya. Ketika harta ini berada di tangan orang yang bertaqwa, dia tidak akan menjadi sumber bencana.

Dalam Nawadir al-Ushul, As-Suyuthi menjelaskan hadis ini,

الغنى بغير تقوى هلكة يجمعه من غير حقه ويمنعه من حقه ويضعه في غير حقه فإذا كان هناك مع صاحبه تقوى ذهب البأس وجاء الخير

Orang yang kaya tanpa bertaqwa, akan menjadi sumber kebinasaan. Dia mengumpulkan harta dari yang tidak berhak, menghalangi apa yang menjadi haknya, digunakan untuk sesuatu yang tidak benar. Berbeda ketika harta bersama orang yang bertaqwa, bahaya ini akan hilang dan mendatangkan kebaikan. (Hasyiyah as-Sindi untuk Sunan Ibn Majah, 4/370).

Di saat itu, kekayaan bagi orang yang bertaqwa, akan menjadi sumber pahala. Karena dia bisa bersabar dengan ujian kekayaannya, dan bisa menunaikannya dengan benar.

Al-Munawi menukil keterangan Muhammad bin Ka’ab,

الغني إذا اتقى آتاه الله أجره مرتين لأنه امتحنه فوجده صادقا وليس من امتحن كمن لا يمتحن

Orang yang kaya, jika dia bertaqwa, Allah akan memberikan pahala dua kali. Karena Allah mengujinya dan dia berhasil dalam ujian itu. Sementara orang yang diuji tidak seperti orang yang tidak diuji. (Faidhul Qadir, 6/496).

Hiasi Dengan Ilmu Agama

Tidak salah jika ilmu merupakan modal utama untuk menjadi bertaqwa. Karena ilmu merupakan pengendali dan menjaga setiap aktivitas pemiliknya. Sehingga, keluar masuknya harta di tangan orang paham agama, akan dikendalikan oleh syariat yang diketahuinya.

Ali bin Abi Thalib berpesan,

العلم خير من المال , العلم يحرسك وأنت حرس المال ، والعلم حاكم والمال محكوم عليه

Ilmu lebih baik dari pada harta. Ilmu menjagamu, sementara harta kamu yang jaga. Ilmu yang mengendalikan, sementara harta yang dikendalikan.

Untuk itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hubungan ilmu dengan harta dalam 4 tipe manusia. Beliau bersabda,

إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ، عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ المَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ المَنَازِلِ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Dunia menjadi milik 4 jenis manusia

  1. Hamba yang Allah berikan rizqi dan ilmu. Dia gunakan hartanya untuk bertaqwa kepada Allah, untuk menyambung silaturahim, dan menunaikan hak Allah dengannya. Dia berada di tingkatan paling tinggi
  2. Hamba yang Allah beri ilmu, namun tidak diberi harta. Dia memiliki niat yang jujur, hingga dia mengatakan, ’Andai aku punya, saya akan beramal seperti yang dilakukan oleh si A.’ Dia niatnya ini, mendapatkan pahala niat yang sama dengan orang pertama.
  3. Hamba yang Allah berikan harta, namun tidak Allah beri ilmu. Dia habiskan hartanya tanpa aturan, sama sekali tidak untuk mendukung taqwa kepada Allah, tidak untuk menyambung silaturahim, dan tidak pula memperhatikan hak Allah di dalamnya. Ini kedudukan paling hina.
  4. Hamba yang tidak Allah beri harta maupun ilmu. Dia hanya bisa berangan-angan, ”Andai aku punya harta, saya akan melakukan seperti yang dilakukan si B.”  Dia niatnya ini, mendapatkan dosa niat yang sama dengan orang ketiga.

(HR. Ahmad 18031, Turmudzi 2325, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Pelajarilah syariat, wahai para pemilik harta, semoga anda menjadi orang kaya yang bertaqwa…

Islam Menjaga Dan Memuliakan Wanita

Islam Menjaga Dan Memuliakan Wanita 

Di antara stigma negatif yang dialamatkan oleh Barat terhadap ajaran Islam adalah, bahwa Islam tidak menghargai kedudukan wanita, memasung kebebasannya, tidak adil dan menjadikannya sebagai manusia kelas dua yang terkungkung dalam penguasaan kaum laki-laki serta hidup dalam kehinaan. Wanita Islam pun dicitrakan sebagai wanita terbelakang dan tersisihkan dari dinamika kehidupan tanpa peran nyata di masyarakat. Oleh karena itu, mereka menganggap, bahwa Islam adalah hambatan utama bagi perjuangan kesetaraan gender.

Anehnya, sebagian kaum muslimin yang telah kehilangan jati dirinya malah terpengaruh dengan pandangan-pandangan itu. Alih-alih membantah, mereka malah menjadi bagian dari penyebar pemikiran mereka. Dibawah kampanye emansipasi wanita dan kesetaraan gender, mereka ingin agar kaum muslimah melepaskan nilai-nilai harga diri mereka yang selama ini dijaga oleh Islam. Padahal sejatinya islam memuliakan wanita dan menjaganya agar tetap terhormat.

Wanita pra-Islam

Sebelum datang Islam, seluruh umat manusia memandang hina kaum wanita. Jangankan memuliakannya, menganggapnya sebagai manusia saja tidak. Orang-orang Yunani menganggap wanita sebagai sarana kesenangan saja. Orang-orang Romawi memberikan hak atas seorang ayah atau suami menjual anak perempuan atau istrinya. Orang Arab memberikan hak atas seorang anak untuk mewarisi istri ayahnya. Mereka tidak mendapat hak waris dan tidak berhak memiliki harta benda. Hal itu juga terjadi di Persia, Hidia dan negeri-negeri lainnya. (Lihat al Mar`ah, Qabla wa Ba’da al Islâm, Maktabah Syamilah, Huqûq al Mar`ah fi al Islâm: 9-14)

Orang-orang Arab ketika itu pun biasa mengubur anak-anak perempuan mereka hidup-hidup tanpa dosa dan kesalahan, hanya karena ia seorang wanita! Allah berfirman tentang mereka,

 وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ . يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

 “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58)

Muhammad al Thâhir bin Asyûr mengatakan, “Mereka mengubur anak-anak perempuan mereka, sebagian mereka langsung menguburnya setelah hari kelahirannya, sebagian mereka menguburnya setelah ia mampu berjalan dan berbicara. Yaitu ketika anak-anak perempuan mereka sudah tidak bisa lagi disembunyikan. Ini adalah diantara perbuatan terburuk orang-orang jahiliyyah. Mereka terbiasa dengan perbuatan ini dan menganggap hal ini sebagai hak seorang ayah, maka seluruh masyarakat tidak ada yang mengingkarinya.” (al Tahrîr wa al Tanwîr: 14/185)

Wanita Pasca Islam

Kemudian cahaya Islam pun terbit menerangi kegelapan itu dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, memerangi segala bentuk kezaliman dan menjamin setiap hak manusia tanpa terkecuali. Islam memuliakan wanita dan menjaganya. Perhatikan Allah berfirman tentang bagaimana seharusnya memperlakukan kaum wanita dalam ayat berikut:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

 “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa [4]: 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sering mengingatkan dengan sabda-sabdanya agar umat Islam menghargai dan memuliakan kaum wanita. Di antara sabdanya:

 اِسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

 “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729)

 خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku.” (HR Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam “ash-shahihah”: 285)

Dr. Abdul Qadir Syaibah berkata, “Begitulah kemudian dalam undang-undang Islam, wanita dihormati, tidak boleh diwariskan, tidak halal ditahan dengan paksa, kaum laki-laki diperintah untuk berbuat baik kepada mereka, para suami dituntut untuk memperlakukan mereka dengan makruf serta sabar dengan akhlak mereka.” (Huqûq al Mar`ah fi al Islâm: 10-11)

Wanita adalah Karunia, Bukan Musibah

Setelah sebelumnya orang-orang jahiliyah memandang wanita sebagai musibah, Islam memandang bahwa wanita adalah karunia Allah. Bersamanya kaum laki-laki akan mendapat ketenangan, lahir maupun batinnya. Darinya akan muncul energi positif yang sangat bermanfaat berupa rasa cinta, kasih sayang dan motivasi hidup. Laki-laki dan wanita menjadi satu entitas dalam bingkai rumah tangga. Kedunya saling membantu dalam mewujudkan hidup yang nyaman dan penuh kebahagian, mendidik dan membimbing generasi manusia yang akan datang. Islam memuliakan wanita dan menjadikannya karunia, bukan musibah.

Allah berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al Rûm [30]: 21)

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?.” (QS. An Nahl [16]:72)

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

“Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al Baqarah [2]: 187)

Hak dan Kedudukan Wanita

Sebagaimana laki-laki, hak-hak wanita juga terjamin dalam Islam. Pada dasarnya, segala yang menjadi hak laki-laki, ia pun menjadi hak wanita. Agamanya, hartanya, kehormatannya, akalnya dan jiwanya terjamin dan dilindungi oleh syariat Islam sebagaimana kaum laki-laki. Inilah bukti bahwa islam memuliakan wanita.

Diantara contoh yang terdapat dalam al Qur`an adalah: wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam beribadah dan mendapat pahala:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisâ [4]: 124)

Wanita juga memiliki hak untuk dilibatkan dalam bermusyawarah dalam soal penyusuan:

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا

“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. Al Baqarah [2]: 233)

Wanita berhak mengadukan permasalahannya kepada hakim:

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Mujâdilah [58]: 1)

Dan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diriwayatkan beberapa kasus pengaduan wanita kepadanya.

Wanita adalah partner laki-laki dalam peran beramar makruf nahi munkar dan ibadat yang lainnya:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Taubah [9]: 71)

Allah juga berfirman tentang hak wanita:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi laki-laki, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah [2]: 228)

Ibnu Katsir berkata, “Maksud ayat ini adalah bahwa wanita memiliki hak atas laki-laki, sebagaimana laki-laki atas mereka. Maka, hendaknya masing-masing dari keduanya menunaikan hak yang lainnya dengan cara yang makruf.” (Tafsîr al Qur`ân al Adzîm: 1/609)

Muhammad al Thâhir bin ‘Asyûr berkata, “Ayat ini adalah deklarasi dan sanjungan atas hak-hak wanita.” (al Tahrîr wa al Tanwîr: 2/399)

Mutiara Yang Harus Dijaga

Selain menjamin hak-hak wanita, Islam pun menjaga kaum wanita dari segala hal yang dapat menodai kehormatannya, menjatuhkan wibawa dan merendahkan martabatnya. Bagai mutiara yang mahal harganya, Islam menempatkannya sebagai makhluk yang mulia yang harus dijaga. Atas dasar inilah kemudian sejumlah aturan ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dan agar berikutnya, kaum wanita dapat menjalankan peran strategisnya sebagai pendidik umat generasi mendatang.

Muhammad Thâhir ‘Asyûr rahimahullah berkata, “Agama Islam sangat memperhatikan kebaikan urusan wanita. Bagaimana tidak, karena wanita adalah setengah dari jenis manusia, pendidik pertama dalam pendidikan jiwa sebelum yang lainnya, pendidikan yang berorientasi pada akal agar ia tidak terpengaruh dengan segala pengaruh buruk, dan juga hati agar ia tidak dimasuki pengaruh setan…

Islam adalah agama syariat dan aturan. Oleh karena itu ia datang untuk memperbaiki kondisi kaum wanita, mengangkat derajatnya, agar umat Islam (dengan perannya) memiliki kesiapan untuk mencapai kemajuan dan memimpin dunia.” (al Tahrîr wa al Tanwîr: 2/400-401)

Di antara aturan yang khusus bagi wanita adalah aturan dalam pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita. Aturan ini berbeda dengan kaum laki-laki. Allah memerintahkan demikian agar mereka dapat selamat dari mata-mata khianat kaum laki-laki dan tidak menjadi fitnah bagi mereka.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnyake seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzâb [33]: 59)

Wanita pun diperintah oleh Allah untuk menjaga kehormatan mereka di hadapan laki-laki yang bukan suaminya dengan cara tidak bercampur baur dengan mereka, lebih banyak tinggal di rumah, menjaga pandangan, tidak memakai wangi-wangian saat keluar rumah, tidak merendahkan suara dan lain-lain.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al Ahzâb [33]: 33)

Semua syariat ini ditetapkan oleh Allah dalam rangka menjaga dan memuliakan kaum wanita, sekaligus menjamin tatanan kehidupan yang baik dan bersih dari prilaku menyimpang yang muncul akibat hancurnya sekat-sekat pergaulan antara kaum laki-laki dan wanita. Merebaknya perzinahan dan terjadinya pelecehan seksual adalah diantara fenomena yang diakibatkan karena kaum wanita tidak menjaga aturan Allah diatas dan kaum laki-laki sebagai pemimpin dan penanggungjawab mereka lalai dalam menerapkan hukum-hukum Allah atas kaum wanita.

Penutup

Akhirnya, dengan keterbatasan ilmu dan kata, penulis merasa bahwa apa yang dipaparkan dalam tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun mudah-mudahan paling tidak dapat sedikit menjawab keragu-raguan yang mungkin hinggap pada benak sebagian kaum muslimin tentang pandangan Islam terhadap wanita, disebabkan karena merebaknya opini keliru yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak menginginkan syariat Islam tegak menopang sendi-sendi kehidupan umat manusia. Yakinilah bahwa islam memuliakan wanita dan menjaganya agar tetap terhormat.

***

Tidak Boleh Membahayakan Orang Lain

Tidak Boleh Membahayakan Orang Lain 

عَنْ  أَبِـيْ  سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ  رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.”[1]

TAKHRIJ HADITTS
Hadits  ini diriwayatkan oleh:

Mâlik dalam al-Muwaththa’ (II/571, no. 31).
Ad-Dâraquthni (III/470, no. 4461).
Al-Baihaqi (VI/69).
Al-Hâkim (II/57-58).
Dalam riwayat al-Hâkim dan al-Baihaqi ada tambahan,

َمَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه

Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allâh akan menyulitkannya.”

Hadits Abû Sa’îd  di atas memiliki beberapa penguat dari sejumlah Sahabat lain, diantaranya ‘Ubâdah bin ash-Shâmit (Ibnu Mâjah, no. 2340), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (Ibnu Mâjah, no. 2341), Abu Hurairah, Jâbir bin ‘Abdillâh, Tsa’labah bin Abi Mâlik al-Qurazhi, Abu Lubâbah, dan ‘Aisyah Radhyallahu anhum. Hadits ini dinilai hasan oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Arba’în, Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, dan Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (no. 250), Irwâ-ul Ghalîl (no. 896), dan Shahîh Kitâbil Adzkâr wa Dha’îfuhu (II/985, no. 981/1247).

SYARAH HADITS

  1. Pengertian ad-Dharar dan ad-Dhirâr
    Para Ulama berbeda pendapat tentang adakah perbedaan makna antara kata adh-dharar dan adh-dhirâr? Diantara mereka ada yang mengatakan, makna kedua kata tersebut sama, (diucapkan dua kali) untuk menguatkan. Namun pendapat yang terkenal yaitu antara kedua kata tersebut terdapat perbedaan makna.

 Dharar (bahaya) adalah lawan dari manfaat. Makna hadits tersebut tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh menimbulkan madharat  (bahaya) tanpa alasan yang dibenarkan dalam syariat. Ada juga yang mengatakan, dharar ialah memudharatkan orang lain yang tidak pernah melakukan hal yang sama padanya, sedang dhirâr ialah  membuat kemudharatan terhadap orang lain yang pernah melakukan hal yang sama padanya (membalas-red) dengan cara yang tidak diperbolehkan.

Hadits ini menjelaskan kaidah «لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَار» yang telah dibakukan Ulama. Para ahli fiqih meng-qiyas-kan semua perkara-perkara yang berbahaya dengan kaidah ini, terutama masalah-masalah kontemporer yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya, narkoba dan rokok. Keduanya dihukumi haram karena masuk dalam kaidah ini. Sebab  hal tersebut berbahaya dan membahayakan orang lain. Dan masih banyak contoh lain yang dapat diambil dari kaidah ini. Karena itu, Imam Abu Dâwud rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini termasuk salah satu hadits yang menjadi poros hukum-hukum fiqih.

Kesimpulannya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak dharar (mudharat/bahaya) dan dhirâr (menimbulkan bahaya) tanpa alasan yang benar.  Adapun menimpakan madharat  kepada seseorang dengan cara yang benar, maka itu tidak termasuk yang dilarang dalam hadits di atas. Misalnya, seseorang yang melanggar hukum-hukum Allâh Azza wa Jalla , lalu dihukum sesuai dengan kejahatannya; atau seseorang menzhalimi orang lain, lalu orang yang dizhalimi menuntut balas dengan adil. Karena yang dimaksud dalam hadits di atas ialah menimbulkan madharat  dengan cara yang tidak benar.[2]

Contoh  لاَ ضَرَرَ yaitu, seseorang merokok atau mengkonsumsi narkoba. Orang ini berarti telah berbuat dharar (bahaya/kerugian) terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia wajib dicegah dan dia wajib berhenti dari tindakannya itu, karena ia telah menzhalimi dirinya sendiri dan membahayakan orang lain.

Contoh “وَلاَ ضِرَارَ”, seseorang mengkhianati atau menipu kita, maka untuk mengamalkan potongan hadits itu, kita tidak boleh membalasnya dengan menipu atau mengkhianatinya. Contoh lain, si A menzinai wanita B, maka keluarga wanita yang dizinai tidak boleh membalas A dengan menzinai keluarga si A. Akan tetapi, hendaknya dilaporkan ke penguasa agar pelakunya dihukum.

  1. Haram, Menimbulkan Madharat Kepada Seorang Muslim
    Hadits ini menunjukkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memudharatkan (membahayakan) orang lain tanpa alasan yang benar. Seorang Muslim tidak boleh memudharatkan orang yang memudharatkannya, tidak boleh mencaci orang yang mencacinya dan tidak boleh memukul orang yang memukulnya. Untuk meminta haknya, ia bisa memintanya melalui hakim tanpa harus mencaci-maki. Dalam banyak hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang segala yang mendatangkan bahaya atas kaum Muslimin. Diantaranya, sabda  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  :

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ…

Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian haram atas kalian….[3]

Melakukan sesuatu yang membahayakan atau merusak kehormatan, harta atau jiwa kaum Muslimin adalah tindakan kezhaliman yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang beliau riwayatkan dari Rabbnya,

يَا عِبَادِيْ ! إِنِّـيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَـى نَفْسِيْ ، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا ؛ فَلَا تَظَالَـمُوْ…

Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram diantara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi…[4]

  1. Macam-Macam Tindakan Memberikan Mudharat
    Pertama : Tindakan yang murni tujuannya untuk menimbulkan madharat  kepada orang lain. Tindakan ini jelas buruk dan diharamkan. Larangan menimbulkan madharat  disebutkan di beberapa tempat dalam al-Qur’ân, diantaranya :

Dalam wasiat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,


مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ

 “…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (setelah dibayarkan) utangnya dengan tidak menyusahkan (ahli waris)…” [an-Nisâ’/4:12]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Menimbulkan madharat  dalam wasiat termasuk dosa besar.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhuma  membaca ayat di atas.[5]

Menimbulkan madharat  dalam wasiat itu terkadang dalam bentuk:

− Melebihkan bagian ahli waris tertentu dari bagian yang telah ditentukan oleh Allâh Azza wa Jalla . Akibatnya, pasti akan merugikan ahli waris lainnya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Sesungguhnya Allâh telah memberi hak kepada para pemiliknya. Oleh karena itu, tidak ada wasiat bagi ahli waris.[6]

− Berwasiat kepada orang lain dengan harta yang lebih dari sepertiga hartanya. Akibatnya, jatah ahli waris berkurang. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلثُّلُثُ ، وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ

Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.[7]

Jika seseorang berwasiat untuk salah seorang ahli waris atau orang lain dengan harta yang melebihi sepertiga hartanya, maka wasiat itu tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan izin semua ahli waris; baik orang yang berwasiat tersebut sengaja dan berniat menimbulkan madharat  atau tidak.

Jika ia sengaja dan berniat menimbulkan madharat  dengan cara mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya, maka ia berdosa karena niatnya ini. Pertanyaannya apakah wasiat itu ditolak jika pelakunya memberikan pengakuan ataukah tidak ? Ibnu ‘Athiyah meriwayatkan sebuah riwayat dari Imam Mâlik bahwa wasiat tersebut harus ditolak. Ada yang mengatakan bahwa itu analogi pendapat Imam Ahmad.[8]

Dalam masalah rujuk nikah. Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barang siapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri… [al-Baqarah/2:231]

Barangsiapa bermaksud menimbulkan madharat  ketika merujuk  istrinya, ia berdosa. Ini seperti  kejadian yang terjadi pada masa permulaan Islam sebelum talak dibatasi dengan tiga talak. Ketika itu, seseorang bisa mentalak istrinya kemudian meninggalkannya. Ketika iddah istrinya hampir habis, ia rujuk dengan istrinya kemudian mentalaknya lagi. Ia berbuat seperti itu tanpa batas akhir. Ia membiarkan istrinya dalam status yang tidak jelas, antara berstatus ditalak atau dirujuk. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla membatalkan perbuatan seperti itu dan membatasi talak hingga tiga kali saja.[9] Wallâhu a’lam.

Dalam îlâ’ (bersumpah tidak menggauli istri).
Orang-orang jahiliyah jaman dahulu ada yang melakukan tindakan îlâ’ (bersumpah untuk tidak menggauli istrinya) selama setahun atau dua tahun. Tujuannya ialah menyengsarakan istrinya. Akibatnya, sang istri menjadi wanita yang terkatung-katung dan tidak merasa sebagai istri. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menentukan masa îlâ‘ sampai batas empat bulan. Jika seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (îlâ‘), maka masa berlaku îlâ‘ tersebut adalah empat bulan. Jika suami menarik kembali îlâ‘nya dan menggauli istrinya, itulah bentuk taubatnya. Namun jika ia bersikeras tidak menggauli istrinya lebih dari empat bulan, maka ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Menurut generasi Salaf dan Khalaf, dalam masalah ini ada dua pendapat :


Pertama: Istrinya ditalak dengan berakhirnya masa îlâ‘.

Kedua: Dibiarkan. Jika suami menarik kembali îlâ‘nya dalam waktu empat bulan, maka tidak ada tindakan apa-apa, namun jika tidak, maka ia harus disuruh untuk mentalak istrinya.[10]

Dalam masalah menyusui. Allâh Azza wa Jalla berfirman,


لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ

Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya [al-Baqarah/2:233]

Tentang firman Allâh Azza wa Jalla di atas, Mujâhid rahimahulah menjelaskan, “Seorang ayah tidak boleh melarang wanita yang telah melahirkan (ibu-red) bayinya menyusui anaknya dengan tujuan membuat si wanita itu bersedih hati.”

‘Athâ’, Qatâdah, az-Zuhri, Sufyân, as-Suddi, dan lain-lain berkata, “Jika seorang ibu (wanita yang telah melahirkan anaknya lalu dicerai oleh suaminya-red) ridha dengan upah yang sama dengan wanita lain, maka ia lebih berhak menyusui anaknya (daripada wanita lainnya-red).”

Dan firman Allâh Azza wa Jalla ,  وَلَا مَوْلُوْدٌ لَهُ بِوَلَدِهِ “Dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya,” termasuk dalam hal ini ialah jika wanita yang ditalak meminta untuk menyusui bayinya dengan upah standar, maka ayah si bayi tersebut harus mengabulkan permintaan wanita tersebut; baik ada wanita lain atau tidak. Ini pendapat Imam Ahmad. Namun jika wanita itu meminta upah lebih tinggi dari upah standar dan ayah si bayi mendapati wanita lain yang bisa menyusui bayinya, maka sang ayah tidak wajib memenuhi tuntutan wanita yang telah dicerainya itu, karena wanita tersebut bermaksud menimbulkan mudharat. Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu.[11]

Dharar dalam jual-beli.
Islam melarang seluruh bentuk jual-beli yang mengandung dharar (bahaya) dan membahayakan kaum Muslimin. Islam melarang jual-beli inah[12] , jual beli dengan lemparan batu, jual beli gharar (yang tidak jelas), jual beli dengan riba, dan lainnya.

Kedua : Tindakan yang tidak murni untuk memudharatkan, dia mempunyai tujuan lain yang benar., Misalnya, seseorang menggunakan barang miliknya untuk kebaikan dirinya, namun tindakannya menimbulkan madharat  pada orang lain atau melarang orang lain memanfaatkan barang miliknya sehingga orang yang ia larang mendapatkan madharat  karena larangannya.

Masalah pertama; Seseorang menggunakan barang miliknya untuk kebaikan dirinya, namun tindakannya menimbulkan madharat  pada orang lain. Jika itu terjadi secara tidak wajar, misalnya seseorang menyalakan api di lahannya di hari yang panas kemudian api membakar apa saja yang ada di lahan itu dan di lahan sekitarnya. Pelaku tindakan ini berarti telah berbuat zhalim dan harus mengganti kerusakan yang diakibatkan oleh tindakannya. Namun, jika hal tersebut terjadi secara wajar, maka ada dua pendapat menurut ulama dalam masalah ini :

Ia tidak dilarang berbuat seperti itu. Ini pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah, Abu Hanîfah rahimahullah dan lain-lain.
Ia dilarang berbuat seperti itu. Ini pendapat Imam Ahmad rahimahullah, sejalan dengan pendapat  Imam Mâlik rahimahullah pada sebagian bentuk (kasus).
Diantara contohnya ialah seseorang membuka lubang dinding di rumahnya yang tinggi atau membangun rumah tinggi, sehingga ia bisa melihat tetangganya dan ia tidak menutupnya. Akibatnya, tetangga merasa terganggu. Oleh karena itu, ia wajib menutupnya. Wallâhu a’lam.

Contoh lain ialah menggali sumur di dekat sumur tetangga hingga menghabiskan air sumur tetangga. Menurut pendapat Imam Mâlik dan Ahmad, sumur tetangganya harus diisi.

Contoh lain, melakukan sesuatu pada barang miliknya, namun aktifitas ini menimbulkan madharat  pada milik tetangga, misalnya mengguncang, menumbuk, dan lain sebagainya. Itu dilarang menurut Imam Mâlik dan Ahmad. Itu juga salah satu pendapat sahabat-sahabat Imam Syâfi’i.

Contoh lain, menimbulkan madharat kepada sesama penghuni rumah. Misalnya, seseorang yang mempunyai bau badan yang tidak enak dan lain sebagainya. Orang ini harus menghilangkan bau badannya.

Masalah kedua; Melarang orang lain memanfaatkan barang miliknya, seperti melarang orang lain menyandarkan kayu pada tembok rumahnya. Ini tidak boleh kecuali kalau menimbulkan bahaya bagi pemilik tembok, misalnya temboknya kurang kuat sehingga dikhawatirkan roboh. Namun, pada asalnya tidak boleh melarang, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا يَمْنَعْ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِيْ جِدَارِهِ

Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian melarang tetangganya meletakkan kayu di temboknya.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Kenapa aku lihat kalian berpaling dari sunnah ini. Demi Allâh, aku pasti melemparkannya ke tengah-tengah kalian.”[13]

‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu menjatuhkan vonis kepada Muhammad bin Maslamah Radhiyallahu anhu agar ia membiarkan air dari tetangganya mengalir ke lahannya. Beliau berkata, “Engkau harus mengalirkan airnya meskipun melewati perutmu.”[14]

Di antara hal yang dilarang pada seseorang karena akan menimbulkan madharat yaitu melarang orang memanfaatkan sisa air. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَـمْنَعُوْا فَضْلَ الْـمَـاءِ لِتَمْنَعُوْا بِهِ الْكَلَأَ

Jangan kalian melarang (pemanfaatan-red) sisa air (dengan tujuan-red) untuk melarang (pemanfaatan-red) rumput (di sekitarnya-red).[15]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْـمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِـيْ ثَلَاثٍ : فِـي الْـمَـاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

Kaum Muslimin itu bersekutu dalam tiga hal yaitu air, rumput dan api[16]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ ا لْـمَـاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tidak boleh dilarang (pemanfaatannya-red) yaitu air, rumput dan api [17]

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa tidak boleh melarang orang lain secara mutlak untuk memanfaatkan sisa air yang mengalir dan memancar, baik air ini disebut sebagai milik dari pemilik lahan tempat air berada atau tidak. Ini pendapat Abu Hanîfah, asy-Syâfi’i, Ahmad, Ishâq, Abu ‘Ubaid dan lain-lain.

Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa sisa air wajib diberikan secara gratis tanpa kompensasi apa pun untuk minum manusia, minum binatang dan mengairi tanaman. Abu Hanîfah rahimahullah dan asy-Syâfi’i rahimahullah berpendapat bahwa kelebihan air tidak wajib diberikan untuk tanaman.[18]

Termasuk dalam cakupan kandungan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Tidak boleh memudharatkan” yaitu Allâh Azza wa Jalla tidak membebani para hamba-Nya untuk mengerjakan hal-hal yang mendatangkan madharat  kepada mereka, karena apa saja yang Dia Azza wa Jalla perintahkan kepada mereka adalah intisari kebaikan agama dan dunia mereka, serta apa saja yang Dia k larang dari mereka adalah intisari kerusakan agama dan dunia mereka. Allâh Azza wa Jalla juga tidak memerintahkan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang akan membahayakan fisik mereka. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menggugurkan kewajiban bersuci dengan air bagi orang sakit. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

…Allâh tidak ingin menyulitkan kamu… [al-Mâidah/5: 6]

Allâh Azza wa Jalla menghapus kewajiban puasa dari orang sakit dan musafir.  Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

…Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” [al-Baqarah/2:185]

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Agama apakah yang paling dicintai Allâh?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلْـحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ

Agama lurus yang toleran.[19]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنِّيْ أُرْسِلْتُ بِحَنِيْفِيَّةٍ سَمْحَةٍ

Sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.[20]

Tentang makna ini, diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang berjalan dan dikatakan bahwa orang itu bernazar untuk berangkat haji dengan berjalan kaki kemudian beliau  bersabda :

إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنْ مَشْيِهِ ، فَلْيَرْكَبْ. (وَفِـيْ رِوَايَةٍ)  إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنْ تَعْذِيْبِ هَذَا نَفْسَهُ

Sesungguhnya Allâh tidak membutuhkan jalan orang itu, karenanya hendaklah ia naik kendaraan. (Dalam riwayat lain), “Sesungguhnya Allâh tidak butuh kepada penyiksaan diri yang dilakukan orang ini.”[21]

KAIDAH USHUL (FIQH)
Hadits ini  لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَار  (tidak boleh membuat kemudharatan dan tidak boleh membalas kemudharatan) adalah kaidah ushûl. Contohnya: seseorang yang hartanya dirusak orang lain, maka ia tidak boleh membalas dengan merusak harta orang tersebut. Karena, tindakan ini tidak mendatangkan manfaat, justru memperluas kemudharatan. Ia hanya boleh menuntut agar orang yang merusak hartanya mengganti senilai kerusakan itu.

Kaidah-kaidah cabang yang muncul dari kaidah inti di atas ialah :

الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ


Kemadharatan itu harus dicegah semampunya.

Maksudnya, menghilangkan kemadharatan yang telah terjadi adalah suatu kewajiban, juga diwajibkan untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan.

Contoh, jika ada seseorang yang membuat saluran air di jalan kemudian saluran air tersebut mengganggu orang yang lewat, maka ia wajib membuang saluran air itu dan juga mengganti atau memperbaiki kerusakan akibat saluran airnya.

الضَّرَرُ يُزَالُ

Kemadharatan harus dihilangkan.

Artinya, kemadharatan harus dicegah sebelum terjadi. Karena, mencegah sesuatu lebih ringan dan lebih mudah daripada menghilangkan kemudharatan yang sudah terjadi. Bagaimananapun pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Namun demikian, usaha untuk mencegah madharat ini tentu dilakukan semampunya.

Contoh, khamr, narkoba, merokok mengganggu dan membahayakan diri dan orang lain, maka wajib dihilangkan. Karena itu, Pemerintah dan Majelis Ulama wajib melarang mengkonsumsi barang-barang yang haram.

الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ
Kemadharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding.

Contohnya, seorang anggota serikat tidak boleh memaksa anggota yang lain untuk membagi harta yang tidak bisa dibagi karena akan merugikan serikat.

الضَّرَرُ الْأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الْأَخَفِّ
Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan.

Contohnya, seorang hakim boleh mengambil bagian harta lebih banyak dari zakat yang seharusnya dikeluarkan oleh orang kaya, jika zakat yang telah dikumpulkan belum bisa memenuhi keperluan orang-orang fakir. Karena kemudharatan akibat pengambilan harta dari si kaya lebih ringan dibandingkan kemudharatan yang ditimbulkan apabila kebutuhan orang-orang fakir tidak terpenuhi.

وَيَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُ لِدَفْعِ ضَرَرٍ عَامٍ
Membiarkan kemadharatan yang sifatnya khusus untuk menghilangkan kemudharatan yang sifatnya umum.

Artinya, jika ada dua kemadharatan, maka kemadharatan yang sifatnya umum harus lebih diutamakan untuk dihindari atau dihilangkan, meski akan menimbulkan kemadharatan bagi sekelompok kecil.

Contoh: seorang hakim boleh memaksa seseorang yang menimbun barang agar menjual sesuai dengan harga pasar. Keputusan hakim tersebut pada dasarnya memang merugikan orang yang menimbun barang, namun jika hakim membiarkannya justru akan terjadi kemadharatan terhadap masyarakat luas.

دَرْءُ الْـمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْـمَصَالِحِ
Menghindarkan kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemashlahatan.

Maksudnya, jika dalam satu perkara terdapat sisi kerusakan dan sisi kemaslahatan, maka yang lebih diutamakan adalah menghindarkan kerusakan. Meskipun dengan begitu, mengabaikan sisi kemaslahatannya.

Contoh, larangan menjual narkoba. Meskipun dengan menjualnya akan mendapatkan keuntungan materi. Karena, narkoba akan merusak akal, hati, fisik dan moral masyarakat.

Larangan menjual khamr (minuman keras), narkoba, dan menjual rokok karena akan menimbulkan kerusakan terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Maka wajib dicegah meskipun ada keuntungan materi, pajak, dan lainnya.

إِذَا تَعَارَضَ الْـمَانِعُ وَالْـمُقْتَضِي يُقَدَّمُ الْـمَـانِعُ
Apabila penghalang dan pendukung bertentangan, maka penghalang didahulukan.

Contohnya, larangan untuk membelanjakan harta milik bersama. Meskipun ia memiliki hak untuk membelanjakannya, namun jika ia membelanjakan dapat memadharatkan anggota lainya yang juga memilikinya. Kepemilikannya merupakan pendukung, sedangkan kepemilikan orang lain adalah penghalang.

الضَّرَرُ لَا يَكُوْنُ قَدِيْمًـا
Kemadharatan yang ada tidak dapat dibiarkan karena lebih dulu ada

Hal ini dikarenakan semua jenis madharat  harus dihilangkan, tidak peduli apakah kemudharatan tersebut lebih dulu ada atau tidak.

Contoh, seseorang yang memiliki jendela berhadapan dengan tanah kosong milik orang lain. Kemudian di atas tanah kosong itu didirikan bangunan sehingga jendela yang lebih dulu dibangun tepat menghadap rumah yang baru dibangun, sehingga mengganggu wanita yang menghuni rumah baru. Maka jendela tersebut harus dipindah, meskipun keberadaannya lebih dulu.

Kaidah ini merupakan kaidah yang membatasi kaidah lain, yaitu, “yang telah lama dibiarkan sebagaimana adanya.” Kaidah ini sifatnya umum, mencakup segala sesuatu yang sifatnya telah ada terlebih dahulu.

Contoh, seseorang yang mendapati kayu berada di atas dinding tetangganya, maka ia tidak boleh memindahkan kayu tersebut, karena kayu itu sudah di dinding itu sebelumnya dan diletakkan dengan benar[22]

FAWAA-ID HADITS

Hadits ini merupakan kaidah ushûl yang besar. Hadits ini dapat dijadikan landasaran untuk menghukumi perkara-perkara baru yang tidak ada nash (dalil) yang tegas melarangnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan oleh Allâh jawâmi’ul kalim (perkataan yang ringkas namun maknanya padat). Hadits ini termasuk jawâmi’ul kalim.
Menimbulkan bahaya/kerugian itu haram, baik dengan perkataan, perbuatan atau yang lainnya.
Menghilangkan madharat (bahaya/kerugian) itu hukumnya wajib.
Haram bagi seseorang untuk membahayakan dirinya, hartanya atau kehormatannya. Misalnya, dengan melakukan perbuatan yang membahayakan atau mengkonsumsi makanan dan minuman yang membahayakan.
Agama Islam adalah agama yang selamat yang menuntun manusia kepada kebaikan dunia dan akhirat, dan memerintahkan untuk meninggalkan perbuatan yang berbahaya dan tidak bermanfaat.
Semua perintah dalam Islam akan mendatangkan maslahat dan semua larangan dalam Islam wajib dijauhkan karena mengandung madharat (bahaya).
Madharat (bahaya) tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan (bahaya) semisalnya apalagi kemadharatan yang lebih besar.
Apabila mafsadah (kerusakan) dan maslahat (kebaikan) berbenturan maka menolak kerusakan harus didahulukan daripada meraih kebaikan.


Footnote
[1] Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh Mâlik dalam al-Muwaththa’ dari ‘Amr bin Yahya, dari ayahnya, dari Nabi n secara mursal.  Imam Mâlik rahimahullah tidak menyebutkan Abu Sa’îd dalam sanadnya. Hadits ini mempunyai banyak jalan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah, ad-Dâraquthni, dan selain keduanya dengan musnad
[2] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/212)
[3] HR. Muslim (no. 1218)
[4] HR. Muslim (no. 2577), Ahmad (V/154, 160, 177), at-Tirmidzi (no. 2495), Ibnu Mâjah (no. 4257), ‘Abdurrazzâq (no. 20272), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ (V/125-126), al-Baihaqi dalam al-Asmâ‘ wash Shifât (hlm. 65, 159, 213-214, 227, 285)
[5] Atsar mauqûf diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzâq dalam al-Mushannaf (no. 16456), Ibnu Abi Syaibah (no. 31454), Sa’îd bin Manshûr dalam Sunan-nya (no. 258-260)
[6] Hadits mutawatir riwayat Abu Dâwud (no. 2870), at-Tirmidzi (no. 2120), Ibnu Mâjah (no. 2713), Ahmad (V/267), al-Baihaqi (VI/264), dan lainnya dari Sahabat Abu Umâmah Radhiyallahu anhu. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Sahabat lainnya. Lihat Irwâul Ghalîl (no. 1655)
[7] Muttafaq ‘alaih,  riwayat Bukhâri (no. 1295) dan Muslim (no. 1628)
[8] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/212-213)
[9] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/213)
[10] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/214)
[11] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/214-215)
[12] Bai’ul ‘înah (jual beli ‘înah) yaitu menjual suatu barang kepada seseorang dengan cara menghutangkannya untuk jangka waktu tertentu dan barang tersebut diserahkan kepadanya, kemudian si penjual membelinya kembali dari pembeli secara kontan dengan harga yang lebih murah, sebelum menerima pembayaran dari si pembeli tersebut. 

Lihat ‘Aunul Ma’bûd (IX/263, cet. Dârul Fikr) dan Silsilah al-Ahâdîtsish Shahîhah (I/42)
[13] HR. al-Bukhâri (no. 2463, 5627), Muslim (no. 1609), Ahmad (II/396), Abu Dâwud (no. 3634), at-Tirmidzi (no. 1353), Ibnu Mâjah (no. 2335) dan Ibnu Hibbân (no. 516,  at-Ta’lîqâtul Hisân)
[14] Diriwayatkan oleh Mâlik dalam al-Muwaththa’ (II/572, no. 33), asy-Syâfi’i dalam Musnadnya(III/2494, no. 1493), dan al-Baihaqi (VI/157)
[15] HR. al-Bukhâri (no. 2353, 6962), Muslim (no. 1566), Abu Dâwud (no. 3473), at-Tirmidzi (no. 1272) dan Ibnu Hibbân (no. 4935 at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[16] Hadits shahîh. HR. Ibnu Majah (no. 2472) dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma .
[17] Hadits shahîh. HR. Ibnu Mâjah (no. 2473) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[18] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/217-223).
[19] Hadits hasan lighairihi. HR. Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 287), Ahmad (I/236), dan lainnya. Lihat Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (no. 881)
[20] Hasan: HR. Ahmad (VI/116, 233).
[21] Hadits shahîh.  HR. al-Bukhâri (no. 1865, 6701), Muslim (no. 1642), at-Tirmidzi (no. 1537), Abu Dâwud (no. 3301), an-Nasâi (VII/30), dan Ibnu Hibbân (no. 4367, 4368 at-Ta’lîqâtul Hisân).
[22] Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 275-277), al-Wâfi Syarh al-Arba’în (hlm. 252-254) dengan beberapa tambahan.


Akibat Seorang Muslim memelihara Anjing

Akibat Seorang Muslim memelihara Anjing 

Saat ini, begitu seringnya kita melihat orang yang memelihara anjing. Bahkan bukan hanya non muslim saja, sebagian kaum muslimin pun memelihara hewan yang jelas-jelas haram dan najis. Pada posting kali ini, kita akan melihat beberapa hadits yang berkenaan dengan memelihara anjing. Setelah membaca tulisan ini, silakan pembaca lihat, bagaimanakah hukum memelihara anjing untuk sekedar menjaga rumah? Apakah diperbolehkan?

Hadits Pertama

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أمسك كلبا فإنه ينقص كل يوم من عمله قيراط إلا كلب حرث أو ماشية

Barangsiapa memelihara anjing, maka amalan sholehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud), selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak.”

Ibnu Sirin dan Abu Sholeh mengatakan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إلا كلب غنم أو حرث أو صيد

Selain anjing untuk menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu.”

Abu Hazim mengatakan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كلب صيد أو ماشية

Selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.” (HR. Bukhari)

[Bukhari: 46-Kitab Al Muzaro’ah, 3-Bab Memelihara Anjing untuk Menjaga Tanaman]

Hadits Kedua

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِى نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ

Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim: 23 Kitab Al Masaqoh).

An Nawawi membawakan hadits di atas dalam Bab “Perintah membunuh anjing dan penjelasan naskhnya, juga penjelasan haramnya memelihara anjing selain untuk berburu, untuk menjaga tanaman, hewan ternak dan semacamnya.”

Hadits Ketiga

Dari Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya –‘Abdullah-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim: 23 Kitab Al Masaqoh). ‘Abdullah mengatakan bahwa Abu Hurairah juga mengatakan, “Atau anjing untuk menjaga tanaman.

An Nawawi membawakan hadits ini dalam bab yang sama dengan hadits sebelumnya.

Hadits Keempat

Dari Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya –‘Abdullah-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا أَهْلِ دَارٍ اتَّخَذُوا كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَائِدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِمْ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ

Rumah mana saja yang memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim: 23 Kitab Al Masaqoh). An Nawawi membawakan hadits ini dalam bab yang sama dengan hadits pertama.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, “Adapun memelihara anjing dihukumi haram bahkan perbuatan semacam ini termasuk dosa besar –Wal ‘iyadzu billah–. Karena seseorang yang memelihara anjing selain anjing yang dikecualikan (sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas, pen), maka akan berkurang pahalanya dalam setiap harinya sebanyak 2 qiroth (satu qiroth = sebesar gunung Uhud).” (Syarh Riyadhus Shalihin, pada Bab “Haramnya Memelihara Anjing Selain Untuk Berburu, Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman”)

Kesimpulan:

Hukum memelihara anjing adalah haram dan termasuk dosa besar kecuali anjing yang digunakan untuk berburu, untuk menjaga tanaman dan hewan ternak.

Semoga Allah menjauhkan kita dari setiap perkara yang Dia larang. Hanya Allah yang beri taufik.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***

Berkata Benar Dan Jangan Dusta

Berkata Benar Dan Jangan Dusta 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).’”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (I/384); al-Bukhâri (no. 6094) dan dalam kitab al-Adabul Mufrad (no. 386);  Muslim (no. 2607 (105)); Abu Dawud (no. 4989); At-Tirmidzi (no. 1971); Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (VIII/424-425, no. 25991); Ibnu Hibban (no. 272-273-at-Ta’lîqâtul Hisân); Al-Baihaqi (X/196); Al-Baghawi (no. 3574); At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”

MUFRADAT HADITS

اَلصِّدْقُ : Sesuai antara perkataan dan amalan (perbuatan), lahir dan batin.
يَهْدِيْ : Membawa, maksudnya membimbing dan mengantarkan.
اَلْبِرُّ : Kebaikan, maknanya mencakup semua kebaikan.
يَتَحَرَّى : Menuju, mencari. Maksudnya bersungguh-sungguh mencari dan memilih.
اَلْكَذِبُ : Dusta, bohong, tidak benar.
صِدِّيْقًا : Selalu berbuat jujur, sehingga jujur menjadi akhlak dan perangainya.
اَلْفُجُوْرُ: Keburukan atau kejelekan. Maksudnya perbuatan-perbuatan yang buruk atau jelek.
كَذَّابًا : Selalu berbuat dusta, sehingga dusta menjadi akhlak dan perangainya.
يُكْتَبُ عِنْدَ الله صِدِّيْقًا : Dia berhak memperoleh gelar jujur dan ganjaran orang-orang jujur.
يُكْتَبُ عِنْدَ الله كَذَّابًا : Dia berhak memperoleh gelar dusta dan ganjaran orang-orang dusta, yaitu ia dijuluki dengan tukang dusta atau tukang bohong.
SYARAH HADITS

  1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ

Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya berlaku jujur dalam perkataan, perbuatan, ibadah dan dalam semua perkara. Jujur itu berarti selaras antara lahir dan batin, ucapan dan perbuatan, serta antara berita dan fakta.

Maksudnya, hendaklah kalian terus berlaku jujur. Karena jika engkau senantiasa jujur, maka itu akan membawamu kepada al-birr (yakni melakukan segala kebaikan), dan kebaikan itu akan membawamu ke Surga yang merupakan puncak keinginan, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ

Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan.” [Al-Infithâr/82:13]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. [At-Taubah/9:119]

Allâh Azza wa Jalla meminta para hamba-Nya yang beriman agar jujur dan berpegang teguh dengan kebenaran. Tujuannya agar mereka istiqâmah di jalan kebenaran (orang-orang yang jujur).

Jujur merupakan sifat terpuji yang dituntut keberadaannya dari kaum Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ

 “…Laki-laki dan perempuan yang benar (jujur)…” [Al-Ahzâb/33:35]

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ

“…Tetapi jikalau mereka benar (imannya) tehadap Allâh, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. [Muhammad/47: 21]

Allâh Azza wa Jalla memberitahukan nilai kejujuran, bahwa kejujuran itu merupakan kebaikan sekaligus penyelamat. Sifat itulah yang menentukan nilai amal perbuatan, karena kejujuran merupakan ruhnya. Seandainya orang-orang itu benar-benar ikhlas dalam beriman dan berbuat taat, niscaya kejujuran adalah yang terbaik bagi mereka.

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (wafat th. 751 H) menerangkan sifat as-shidq (kejujuran), dengan perkataanya, “Yaitu maqam (kedudukan) kaum yang paling agung, yang darinya bersumber kedudukan-kedudukan para sâlikîn  (orang-orang yang berjalan menuju kepada Allâh), sekaligus sebagai jalan terlurus, yang barang siapa tidak berjalan di atasnya, maka mereka itulah orang-orang yang akan binasa. Dengannya pula dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang beriman, para penghuni Surga dan para penghuni Neraka. Kejujuran ibarat pedang Allâh di muka bumi, tidak ada sesuatu pun yang diletakkan di atasnya melainkan akan terpotong olehnya. Dan tidaklah kejujuran menghadapi kebathilan melainkan ia akan melawan dan mengalahkannya serta tidaklah ia menyerang lawannya melainkan ia akan menang. Barangsiapa menyuarakannya, niscaya kalimatnya akan terdengar keras mengalahkan suara musuh-musuhnya. Kejujuran merupakan ruh amal, penjernih keadaan, penghilang rasa takut dan pintu masuk bagi orang-orang yang akan menghadap Rabb Yang Mahamulia. Kejujuran merupakan pondasi bangunan agama (Islam) dan tiang penyangga keyakinan. Tingkatannya berada tepat di bawah derajat kenabian yang merupakan derajat paling tinggi di alam semesta, dari tempat tinggal para Nabi di Surga mengalir mata air dan sungai-sungai menuju ke tempat tinggal orang-orang yang benar dan jujur. Sebagaimana dari hati para Nabi ke hati-hati mereka di dunia ini terdapat penghubung dan penolong.”[1]

Kemudian beliau melanjutkan, “Allâh Azza wa Jalla telah membagi manusia ke dalam dua bagian: orang yang jujur dan munafik. Allâh Azza wa Jalla  berfirman :

لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Agar Allâh memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan mengadzab orang munafik jika Dia kehendaki, atau menerima taubat mereka. Sungguh, Allâh Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [Al-Ahzâb/33:24]

Iman merupakan pondasi kejujuran, dan kemunafikan merupakan pondasi kedustaan. Iman dan dusta tidak akan berkumpul, karena salah satu dari keduanya pasti memerangi yang lainnya. Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan bahwa tidak ada yang dapat memberi manfaat dan menyelamatkan seorang hamba dari adzab hari kiamat selain kejujurannya. Allâh Azza wa Jalla  berfirman :


قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allâh ridha kepada kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung  [Al-Mâidah/5:119]

Dan firman-Nya :

وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa.” [Az-Zumar/39:33]

Yang dimaksud orang yang membawa kebenaran adalah orang yang selalu jujur di setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya.

Jujur dalam perkataan adalah lurusnya lisan ketika berbicara seperti lurusnya tangkai dengan batangnya. Jujur dalam perbuatan adalah lurusnya perbuatan di atas perintah dan ittibâ’ seperti lurusnya kepala dan badan. Dan jujur dalam keadaan adalah lurusnya amalan hati dan anggota tubuh dalam keikhlasan, selalu berusaha dan mencurahkan segala kemampuannya dalam menggapai hal tersebut. Kalau sudah demikian, jadilah seorang hamba termasuk orang-orang yang membawa kebenaran. Seorang akan mencapai tingkatan shiddiqiyyah tergantung intensitas dia dalam menjalankan tiga perkara di atas. Karenanya, Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu menempati puncak shiddiqiyyah, dan dijuluki as-shiddiq secara mutlak. Shiddiq lebih tinggi dari shadûq (selalu jujur), dan shadûq lebih tinggi dari shâdiq (yang jujur).

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa derajat kejujuran yang paling tinggi adalah as-shiddiqiyyah, yaitu ketundukan yang sempurna kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keikhlasan yang sempurna kepada Allâh Azza wa Jalla .

Di antara tanda kejujuran itu adalah tenangnya hati, sebaliknya di antara tanda kedustaan adalah kebimbangan hati, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi secara marfu’ dari hadits al-Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

…إِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَة، وَالْكَذِبَ رِيْبَة…

“… Kejujuran itu ketentraman, dan dusta itu keragu-raguan …” [HR. At-Tirmidzi, no. 2518][2]

Ketahuilah, bahwa kata “اَلصِّدْقُ” (jujur) bisa digunakan untuk beberapa makna :

Pertama, jujur dalam perkataan. Setiap hamba harus menjaga kata-katanya, tidak berbicara kecuali dengan jujur. Jujur ini adalah bentuk kejujuran yang paling jelas dan paling dikenal. Seorang hamba hendaknya menjauhi kata-kata bermakna ganda, karena ia saudara tiri dari dusta kecuali dalam keadaan darurat dan dituntut demi kemaslahatan.

Kedua: Jujur dalam niat dan keinginan. Ini kembali kepada ikhlas. Apabila amalnya tercampuri oleh sebagian ambisi jiwa (terhadap dunia), maka kejujuran niatnya batal, bisa jadi dia dusta sebagaimana dalam hadits tentang tiga orang, yaitu orang berilmu, qâri’, dan mujâhid, manakala qâri’ berkata, “Aku membaca al-Qur’ân karena-Mu.” Allâh Azza wa Jalla menolaknya dan mengatakan bahwa dia dusta dalam niat dan keinginannya bukan dalam bacaannya, demikian juga kedua temannya yaitu orang yang berilmu dan mujâhid.

Ketiga: Jujur dalam tekad dan jujur memenuhinya.

Untuk yang pertama, misalnya seseorang mengatakan, “Bila Allâh memberiku harta, maka aku akan menyedekahkannya seluruhnya.” Ini adalah tekad yang bisa jadi jujur dan bisa tidak.

Untuk yang kedua seperti jujur dalam tekad. Jiwa mudah berjanji, karena ia memang tidak sulit  bila hakikat-hakikat terwujud, tekad terbuka dan hawa nafsu menguasai, karena itu Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ 

Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allâh … [Al-Ahzâb/33:23]

Keempat: Jujur dalam amal perbuatan, yaitu antara batin dan lahirnya sama, sehingga amal-amal lahirnya misalnya khusyu’ tidak menunjukkan sesuatu padahal batinnya berbeda.

Kelima: Jujur dalam kedudukan-kedudukan agama. Ini adalah derajat tertinggi, seperti jujur dalam takut dan berharap, zuhûd dan ridha, cinta dan tawakkal (kepada Allâh Azza wa Jalla ). Karena perkara-perkara ini memiliki dasar pijakan, memiliki tujuan-tujuan juga hakikat. Orang yang jujur yang sebenarnya adalah orang yang meraih hakikatnya.[3]

Jika seseorang berlaku jujur, dan membiasakan lisannya untuk selalu jujur, maka itu akan membawanya kepada kebaikan. Dan kebaikan akan mengantarkannya ke Surga.

  1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

, وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا  

Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur

Yaitu orang yang selalu berlaku jujur dalam perbuatan dan perkataannya, membiasakannya dan bersungguh-sungguh untuk berlaku jujur, maka Allâh Azza wa Jalla akan mencatat bahwa dia orang jujur.

Orang-orang yang jujur itu memiliki kedudukan tinggi. Dia berada setelah kedudukan para Nabi, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla  berfirman :

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa menaati Allâh dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allâh, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An-Nisâ’/4:69]

Maka orang yang selalu berlaku jujur akan dicatat di sisi Allâh sebagai shiddiq (suka jujur). Dan telah diketahui, bahwa kejujuran itu derajat yang tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh segelintir manusia.

  1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ  

Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang dari perbuatan dusta. Ini mencakup dusta dalam segala sesuatu, jadi tidak benar orang yang mengatakan, “Berdusta itu jika tidak menimbulkan bahaya untuk orang lain maka tidak mengapa.” Ini adalah perkataan yang bathil, karena tidak ada nash yang menunjukkan perkataan tersebut. Tetapi yang ada adalah nash yang mengharamkan perbuatan dusta secara mutlak.[4]


Berdusta juga akan merusak pengetahuanmu dan orang lain tentang sesuatu. Karena seorang pendusta itu menjadikan yang tidak ada menjadi ada, yang ada menjadi tidak ada, yang benar menjadi bathil, yang bathil menjadi benar, kebaikan jadi kejahatan, kejahatan jadi kebaikan.

Seorang yang berdusta itu telah berpaling dari kebenaran yang ada, menjadi ketiadaan, dan berpengaruh kepada kebathilan. Jika perbuatan-perbuatan itu telah merusaknya dan kebohongan telah mempengaruhinya, maka hatinya menjadi hati yang dusta dari lisannya. Dia tidak bisa mengambil manfaat dengan lisannya dan juga amalan-amalannya.

Karena itulah berdusta adalah pokoknya kejahatan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ

Sesungguhnya dusta membawa  seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka

Yang pertama kali terpengaruh oleh perbuatan dusta dalam jiwa adalah lisan, dan itu akan merusaknya. Kemudian berpengaruh kepada anggota badan dan merusak amalan-amalannya sebagaimana dusta itu merusak lisan dalam perkataan-perkataannya. Sehingga ia berdusta dalam perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Akibatnya, dia rusak, penyakitnya terus berlanjut sampai binasa. Jika Allâh Azza wa Jalla tidak memperbaikinya dengan obat kejujuran, Dia akan mencabut kejujuran tersebut dari hatinya.[5]

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa berdusta itu membawa kepada kejahatan. Yaitu, jika seseorang berdusta dalam perkataannya, maka dia akan terus dalam keadaan seperti itu sampai akhirnya berbuat jahat. Wal ‘iyâdzu billâh. Dan itu telah keluar dari ketaatan, termasuk kedurhakaan dan maksiat. Berbuat jahat menyeret seseorang ke Neraka, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ ﴿٧﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّينٌ ﴿٨﴾ كِتَابٌ مَرْقُومٌ ﴿٩﴾ وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ ﴿١٠﴾الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ

Sekali-kali jangan begitu! Sesungguhnya catatan orang yang durhaka benar-benar tersimpan dalam Sijjin. Dan tahukah engkau apakah Sijjin itu? (Yaitu) kitab yang berisi catatan (amal). Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan! (yaitu) orang-orang yang mendustakannya (hari pembalasan).” [Al-Muthaffifiin/83:7-11]

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا  

Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta

Kita berlindung kepada Allâh dari termasuk orang-orang yang suka berdusta. Karena berdusta itu jika seseorang terbiasa melakukannya, maka dia akan berdusta dalam segala hal. Dan dia akan dicatat di sisi Allâh sebagai kadzdzâb (orang yang banyak berdusta).[6]

Karena inilah, asal amalan hati semuanya adalah dari kejujuran, dan lawannya seperti riya’, ujub, sombong, berbangga diri, lemah, malas, penakut, dan lainnya asalnya adalah dari perbuatan dusta.

Maka semua amalan shalih yang tampak maupun yang tersembunyi asalnya dari kejujuran. Dan semua amalan jelek yang tampak maupun yang tersembunyi asalnya dari perbuatan dusta.

Allâh Azza wa Jalla akan menghukum orang yang suka berdusta dengan menahan dan menghalanginya dari maslahat dan manfaat. Allâh Azza wa Jalla akan membalas orang yang jujur dengan memberinya taufiq dalam melakukan amal shalih di dunia dan akhirat.[7]

FAWAA-ID HADITS

Perintah dan anjuran untuk berkata dan berbuat jujur.
Perintah untuk senantiasa membiasakan berkata dan berbuat jujur dan berpegang pada kebenaran.
Berkata dan bersikap jujur akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke Surga.
Orang yang membiasakan diri jujur, maka sikap itu akan menjadi akhlak dan
Orang yang terbiasa dengan akhlak dan perangai yang baik dan jujur, maka ia akan diberi julukan yang dikenal yaitu shiddiq (jujur).
Akhlak yang mulia diperoleh dengan karunia Allâh Azza wa Jalla dan usaha yang sungguh-sungguh untuk belajar dan mengamalkannya.
Larangan berkata dan berbuat dusta atau bohong
Kedustaan merupakan sarana yang membawa kepada kejahatan, dan kejahatan akan membawa ke Neraka.
Akhlak yang buruk yang paling dibenci oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dusta atau bohong.
Dusta adalah sifat munafik dan kemunafikan dibangun di atas kedustaan.
Dusta atau bohong hukumnya haram.
Dosa berdusta atau bohong bertingkat-tingkat. Orang yang berdusta dalam mu’amalah (misalnya dalam jual beli) lebih besar dosanya dari orang yang sekedar menyampaikan berita.
Berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dosanya lebih besar dibanding berdusta atas nama orang lain dan diancam masuk neraka.
Jujur akan membawa kepada ketenangan dan ketentraman, sedangkan dusta membawa kepada keragu-raguan dan kegelisahan.
Orang yang terbiasa berbohong dan terus menerus melakukan kebohongan maka ia akan dijuluki tukang dusta/bohong.


Footnote
[1] Madârijus Sâlikîn (II/279), cet. Daarul Hadits-Kairo.
[2] Madârijus Sâlikîn (280-284) dengan ringkas.
[3] Mukhtashar Minhâjil Qâshidîn (hlm. 464-466) dengan ringkas.
[4] Syarh Riyâdhis Shâlihîn (VI/160-161) karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
[5] Fawâ’idul Fawâ’id (hlm. 299).
[6] Syarah Riyâdhis Shâlihîn (hlm. 160-161) karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
[7] Fawâ’idul Fawâ’id (hlm. 300).