Bumi Jadi Saksi Atas Amalan Kita

Bumi Jadi Saksi Atas Amalan Kita 

Bumi akan jadi saksi atas amalan kita. Bumi akan berbicara dan mengabarkan mengenai amalan setiap manusia di muka bumi, semua itu atas izin Allah.

Hadits Tentang Bumi Bersaksi

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat,

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al Zalzalah : 4)

Rasul lalu bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?”

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا

Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi jadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, “Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.” Inilah yang diberitakan oleh bumi. (HR. Tirmidzi no. 2429. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Namun hadits ini punya penguat dalam Al Kabir karya Ath Thobroni 4596, sehingga hadits ini dapat dikatakan hasan sebagaimana kesimpulan dari Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaliy dalam Bahjatun Nazhirin, 1: 439).

Adapun faedah dari hadits yang bisa kita simpulkan:

  • Al Qur’an sangat bagus jika ditafsirkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Hendaklah manusia memperbanyak melakukan amalan ketaatan dan benar-benar menjauhi perbuatan maksiat karena bumi akan menjadi saksi untuk berbicara pada hari kiamat, mengungkap segala yang diperbuat oleh manusia.
  • Allah mampu membuat makluk berbicara, bahkan tanah atau bumi yang kita pijak bisa berbicara. Bumi akan bersaksi terhadap amalan kebaikan dan keburukan yang kita perbuat.
  • Yang menjadi saksi bagi manusia pada hari kiamat adalah kitab catatan amalnya, pendengarannya, penglihatannya, kulit dan tangannya serta bumi yang dipijak. Sehingga setiap manusia tak mungkin mengelak dengan kesaksian yang ada.

Adapun dalil yang menyatakan bahwa anggota tubuh juga menjadi saksi adalah firman Allah,

حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (20) وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (21)

Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS. Fushilat: 20-21)

Begitu pula bumi berbicara atas perintah dari Allah,

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا

Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Al Zalzalah: 4-5).

Keterangan Ulama: Bumi Menjadi Saksi

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فَإِنَّهَا أُمُوْرٌ مَشْهُوْدَةٌ يَعْرِفُهَا النَّاسُ لَكِنْ العَجَبُ كَوْنُ الأَرْضِ تُخْبِرُ بِذَلِكَ فَالعَجَبُ فِي المخْبِرُ لاَ فِي الَخبَرِ كَشَهَادَةِ الأَعْضَاءِ

“Itulah perkara yang disaksikan. Manusia saat itu mengetahui hal itu. Namun yang mengherankan bukanlah berita yang dibicarakan oleh bumi. Yang mengherankan adalah yang mengabarkan berita tersebut yaitu bumi (yang hanya benda mati), bukan pada beritanya yang menimbulkan decak kagum. Sebagaimana juga nantinya anggota tubuh manusia akan menjadi saksi bagi dirinya pada hari kiamat.” (An Nubuwaat karya Ibnu Taimiyah, hal. 222).

Anjuran Perbanyak Dzikir dan Shalat Sunnah

Ayat di atas menunjukkan untuk memperbanyak dzikir kapan pun dan di mana pun. Faedahnya disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, di mana ia berkata,

إِنَّ فِي دَوَامِ الذِّكْرِ فِي الطَّرِيْقِ وَالبَيْتِ وَالحَضَرِ وَالسَّفَرِ وَالبَقَاعِ تَكْثِيْرًا لِشُهُوْدِ العَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَإِنَّ البُقْعَةِ وَالدَّارِ وَالجَبَلِ واَلأَرْضِ تَشْهَدُ لِلذَّاكِرِ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Sungguh orang yang senantiasa berdzikir ketika berada di jalan, di rumah, di saat mukim, di saat safar, atau di berbagai tempat, itu akan membuatnya mendapatkan banyak saksi di hari kiamat. Karena tempat-tempat tadi, rumah, gunung dan tanah, akan menjadi saksi bagi seseorang di hari kiamat.” (Al Wabilush Shoyyib, hal. 197).

Begitu pula berpindah tempat saat shalat sunnah, termasuk pula keutamaan mengerjakan shalat sunnah di rumah adalah supaya mendapat banyak saksi pada hari kiamat. Sebagaimana keutamaan ini disebutkan oleh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho dalam Al Fiqhu Al Manhaji (hal. 159) ketika menjelaskan amalan sunnah sesudah shalat.

Dalil yang menunjukkan anjuran melaksanakan shalat sunnah di rumah. Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ

Shalatlah kalian wahai manusia di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat kalian adalah shalat di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731).

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ فِى مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيبًا مِنْ صَلاَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِى بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ خَيْرًا

Jika salah seorang di antara kalian menunaikan shalat di masjid, jadikanlah shalatnya (shalat sunnah) pula sebagiannya di rumah. Karena Allah akan menjadikan shalat tersebut kebaikan bagi rumah tersebut.” (HR. Muslim no. 778)

Disunnahkan berpindah tempat tersebut untuk memisahkan shalat sunnah dan shalat wajib adalah berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya, “Apabila engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ

Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat.” (HR. Muslim no. 883).

Semoga Allah memudahkan kita kemudahan untuk menghadapi hari akhir, dan moga kita mudahkan pula dalam mempersiapakan amalan.

Referensi:

Al Fiqh Al Manhajiy ‘ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa Al Bugho, ‘Ali Asy Syarbajiy, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, tahun 1430 H.

Al Wabil Ash Shoyyib wa Rofi’ Al Kalim Ath Thoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Dar ‘Alam Al Fawaid, cetakan ketiga, tahun 1433 H.

Bahjah An Nazhirin Syarh Riyadh Ash Sholihin, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhis Sholihin, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H.

Tafsir Syaik Al Islam Ibnu Taimiyah, Iyad bin ‘Abdul Lathif bin Ibrahim Al Qoisi, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1432 H.

Bisa Jadi Ajalmu Sudah Dekat

Bisa Jadi Ajalmu Sudah Dekat 

Maut tidak ada yang mengetahui kapan datangnya melainkan Allah Ta’ala semata, tetapi dia pasti mendatangi setiap yang bernyawa, maka jauhilah hal-hal yang tidak bermanfaat selama hidup.

( كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ) [آل عمران : 185]

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari. kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185).

(إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ) [لقمان: 34 ]

Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Lukman: 34).

Bersabar Terhadap Pemerintah

Bersabar Terhadap Pemerintah 

Adalah gambaran dari kesempurnaan Islam dan keindahan syariatnya, ketika ada perintah untuk bersabar dalam menghadapi kejahatan dan kezaliman pemerintah. Sudah tentu tujuan utamanya adalah menggapai kemaslahatan dan menghindari kerusakan, sehingga terciptalah kebaikan rakyat dan negara.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengemukakan, “Bersabar menghadapi kejahatan para pemimpin adalah salah satu pokok dari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Majmu’ul Fatawa)

Bersabar Jika Diperlakukan Sewenang-Wenang

Jauh sebelumnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengabarkan bahwa akan terjadi sepeninggalnya tindak kesewenangwenangan dari pemerintah. Namun, beliau sama sekali tidak memerintahkan kepada kita untuk memberontak atau untuk melanggar perintahnya, justru kita diperintahkan agar menunaikan kewajiban kita terhadapnya.

Al Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan hadits dalam Shahihnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا. قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَدُّو إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللهَ حَقَّكُمْ

“Sesungguhnya sepeninggalku, kalian akan melihat sikap mementingkan diri sendiri (yang dilakukan oleh penguasa) dan banyak hal yang kalian pasti mengingkarinya (menolaknya).” Para sahabat bertanya, “Apa yang akan engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikan hak mereka dengan baik dan mohonlah hak kalian kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (Shahih al-Bukhari)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada anjuran untuk mendengar dan taat, meskipun yang menjadi pemimpin itu zalim dan berbuat aniaya. Ketaatan yang menjadi haknya tetap harus ditunaikan, tidak boleh memberontak kepadanya dan melepaskan ketaatan kepadanya. Akan tetapi, hendaknya kembali kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam menyingkirkan gangguannya dan menolak kejelekannya, serta memohon kebaikannya.”(Syarh Shahih Muslim)

Kezaliman dan kejahatan yang dilakukan pemerintah, baik dengan alasan yang dibenarkan maupun tidak, tidak menjadi alasan bolehnya menggulingkan pemerintah, seperti keinginan banyak pihak. Sebab, hal itu berarti upaya menghilangkan kejelekan dengan yang lebih jelek dan upaya meredam tindakan zalim dengan tindakan yang lebih zalim.

Pemberontakan hanya akan menimbulkan kezaliman dan kerusakan yang lebih besar dibandingkan kezaliman yang dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, hendaknya mereka bersabar seperti kesabaran yang dituntut ketika beramar ma’ruf dan bernahi munkar dari kezaliman yang dilakukan oleh objek yang menjadi sasarannya. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah dari apa yang menimpamu.” (Luqman: 17)

Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ

Maka bersabarlah engkau (Muhammad), sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati (Ulul Azmi).” (al-Ahqaf: 35)

Kemudian, firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا ۖ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ

Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami.” (ath-Thur: 48)

Al-Imam al-Ajurri rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang menjadi pemimpinmu, dari bangsa Arab atau bukan, berkulit hitam atau putih atau berasal dari bangsa non-Arab sekalipun, maka taatilah dalam perkara yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, walaupun hakmu dizalimi, punggungmu dipukul, kehormatanmu dilanggar, dan hartamu dirampas. Semua itu jangan sampai mendorongmu untuk melakukan pemberontakan terhadapnya dengan pedangmu (senjatamu) sampai membunuhnya. Dan jangan sekali-kali kamu bekerjasama dengan kelompok Khawarij untuk memberontaknya. Jangan pula mendorong orang-orang selainmu (menggerakkan massa) untuk memberontaknya. Akan tetapi, bersabarlah!”(asy-Syari’ah lil Imam al-Ajurri)

Kemudian, beliau (al-Imam al-Ajurri) menukil sebuah riwayat dari Suwaid bin Ghafalah. Suwaid berkata, “Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku, “Hai, Aba Umayyah. Aku tidak tahu, mungkin setelah tahun ini aku tidak lagi bertemu denganmu. Maka, jika kamu dipimpin oleh seorang hamba sahaya dari Habasyah dan keadaannya cacat, tetaplah bersikap mendengar dan taat kepadanya. Kalau punggungmu dipukul, bersabarlah. Kalau hakmu ditahan, tetaplah bersabar.” (asy-Syari’ah)

Bersabar dan Tidak Melepaskan Ketaatan

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk tetap bersabar, walaupun melihat pemerintah melakukan kemaksiatan. Al-Imam Muslim rahimahullah mengeluarkan hadits dalam Shahihnya dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin kemudian melihat pemimpinn yaitu melakukan suatu kemaksiatan, maka hendaknya ia ingkari kemaksiatan yang dilakukannya itu dan tidak melepaskan ketaatan kepadanya.”  (Shahih Muslim)

Dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaknya bersabar karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang keluar dari (ketaatan) kepada pemerintah walaupun sejengkal kemudian mati melainkan mati dalam keadaan mati jahiliah.” (Shahih Muslim)

Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahihnya dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Akan muncul sepeninggalku para pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dengan petunjukku dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Dan akan adapula ditengah-tengah mereka orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apa yang harus aku lakukan, wahai Rasulullah, jikaaku menjumpai hal itu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,“Engkau tetap mendengar  dan taat kepada pemimpin. Walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan taat.” (Shahih Muslim)

Al Imam al Qurtubi rahimahullah menerangkan, “Yang menjadi pegangan mayoritas ulama ialah bahwa bersabar untuk tetap taat kepada pemimpin yang jahat itu lebih utama daripada memberontaknya, karena melepaskan ketaatan dan melakukan pemberontakan terhadapnya berarti mengubah keamanan dengan ketakutan, menumpahkan darah, dan memberi peluang kepada orangorang yang jahat, menebar bahaya bagi kaum muslimin, dan menciptakan kerusakan di muka bumi.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)

Tidak Ada Hujah pada Hari Kiamat bagi Yang Melepaskan Ketaatan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ نَزَعَ يَدَهُ مِنَ الطَّاعَةِ فَلاَ حُجَّةَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،  وَمَنْ مَاتَ مُفَارِقًا لِلْجَمَاعَةِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa melepaskan ketaatan (kepada pemimpin), tidak ada hujah baginya pada hari kiamat. Siapa saja yang mati dalam keadaan memisahkan diri dari jamaah, matinya sebagai mati jahiliah.” (HR. Ahmad dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Siapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya sebagai mati jahiliah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Inilah sikap yang harus diambil dalam menghadapi kejahatan/kejelekan pemerintah dan seperti ini pula sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kemudian, sebagai upaya untuk menghilangkan kejelekan itu, hendaknya mereka mengingat kembali kesalahan dan kejelekan yang mereka lakukan sendiri.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)

Atas dasar itu, mereka bersegera melakukan tobat dan istighfar, memohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar melenyapkan kemudaratan yang menimpanya, lalu menempuh cara-cara yang syar’i untuk menghilangkan kezaliman dengan penuh kelembutan dan hikmah.

Al-Imam al-Hasan Bashri rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa kejahatan pemimpin adalah bagian/ akibat dari kemurkaan Allah l dan kemurkaan Allah Subhanahu wata’ala tidak boleh dihadapi dengan pedang/senjata. Akan tetapi, harus dijaga dan dihindari dengan doa, tobat, dan kembali kepada-Nya, serta melepaskan diri dari semua dosa. Jika murka Allah Subhanahu wata’ala dihadapi dengan pedang, murka Allah Subhanahu wata’ala itu akan lebih cepat membinasakan.”(Mu’amalatul Hukkam)

Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah menjelaskan, “Pemerintah terkadang menyuruh kepada yang bukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala (maksiat) maka tidak boleh ditaati selain dalam perkara yang mengandung ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Adapun keharusan taat yang tetap diberikan kepada mereka meskipun jahat, karena keluar dari ketaatannya akan melahirkan kerusakan yang lebih besar daripada kejahatan yang dilakukannya.

Bahkan, kesabaran menghadapi kejahatannya menjadi penggugur kesalahan-kesalahan (dosa) dan akan melipatgandakan pahala, karena Allah Subhanahu wata’ala tidaklah membebankannya kepada kita melainkan lantaran jeleknya amalanamalan kita. Balasan yang didapat itu biasanya sesuai dengan jenis amalan yang dilakukan. Karena itu, hendaknya kita bersungguh-sungguh dalam beristighfar, bertobat, dan memperbaiki amalan.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ

“Dan mengapa kalian (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kalian telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang Badr) kalian berkata, dari mana datangnya musibah (kekalahan) ini? Katakanlah, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.’ (Ali ‘Imran: 165)

Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim berteman dengan sesame, sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.’ (al-An’am: 129)

Maka dari itu, jika seluruh rakyat ingin terbebas dari kezaliman pemimpin, hendaknya mereka meninggalkan kezaliman.” (Syarh Aqidah ath-Thahawiyah).

Wahai Manusia Lihatlah Hatimu!

Wahai Manusia Lihatlah Hatimu!

Rosulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang artinya: “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah. jika segumpal darah tersebut baik maka akan baik pulalah seluruh tubuhnya, adapun jika segumpal darah tersebut rusak maka akan rusak pulalah seluruh tubuhnya, ketahuilah segumpal darah tersebut adalah hati.” (Yang lebih benar untuk penyebutan segumpal darah (القلب ) tersebut adalah jantung, akan tetapi di dalam bahasa Indonesia sudah terlanjur biasa untuk menerjemahkan القلب dengan “hati”).

Maka hati bagaikan raja yang menggerakkan tubuh untuk melakukan perbuatan-perbuatannya, jika hati tersebut adalah hati yang baik maka seluruh tubuhnya akan tergerak untuk mengerjakan hal-hal yang baik, adapun jika hatinya adalah hati yang buruk maka tentunya juga akan membawa tubuh melakukan hal-hal yang buruk. Hati adalah perkara utama untuk memperbaiki manusia, Jika seseorang ingin memperbaiki dirinya maka hendaklah ia memperbaiki dahulu hatinya!!!

Ketahuilah, hati ini merupakan penggerak bagi seluruh tubuh, ia merupakan poros untuk tercapainya segala sarana dalam terwujudnya perbuatan. Hati laksana panglima yang memompa pasukannya untuk melawan musuh atau melemahkan mereka sehingga mundur dari medan peperangan. Karena hati disifatkan dengan sifat kehidupan dan kematian, maka hati ini juga dibagi dalam tiga kriteria yakni hati yang mati, hati yang sakit dan hati yang sehat.

1. Hati yang Sehat

Yaitu hati yang selamat, hati yang bertauhid (mengesakan Alloh dalam setiap peribadatannya), di mana seseorang tidak akan selamat di hari akhirat nanti kecuali ia datang dengan membawa hati ini. Alloh berfirman dalam surat as-Syu’ara ayat 88-89:

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(Yaitu) hari di mana tidak berguna lagi harta dan anak-anak kecuali mereka yang datang menemui Alloh dengan hati yang selamat (selamat dari kesyirikan dan kotoran-kotorannya).” (QS. Asy Syu’ara: 88,89)

Hati yang sehat ini didefinisikan dengan hati yang terbebas dari setiap syahwat, selamat dari setiap keinginan yang bertentangan dari perintah Alloh, selamat dari setiap syubhat (kerancuan-kerancuan dalam pemikiran), selamat dari menyimpang pada kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Alloh dan berhukum kepada hukum selain hukum Rosul-Nya. Hati ini mengikhlaskan peribadatannya hanya kepada Alloh dalam keinginannya, dalam tawakalnya, dalam pengharapannya dalam kecintaannya Jika ia mencintai ia mencintai karena Alloh, jika ia membenci ia membenci karena Alloh, jika ia memberi ia memberi karena Alloh, jika ia menolak ia menolak karena Alloh. Hati ini terbebas dari berhukum kepada hukum selain Alloh dan Rosul-Nya. Hati ini telah terikat kepada suatu ikatan yang kuat, yakni syariat agama yang Alloh turunkan. Sehingga hati ini menjadikan syariat sebagai panutan dalam setiap perkataan dan perbuatannya.

Alloh berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian bersikap mendahului Alloh dan Rosul-Nya, bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujurot: 1)

Pemilik hati yang sehat ini akan senantiasa dekat dengan Al Quran, ia senantiasa berinteraksi dengan Al Quran, ia senantiasa tenang, permasalahan apapun yang dihadapinya akan dihadapi dengan tegar, ia senantiasa bertawakal kepada-Nya karena ia mengetahui semua hal berasal dari Alloh dan semuanya akan kembali kepada-Nya. Di manapun ia berada zikir kepada Alloh senantiasa terucap dari lisannya, jika disebut nama Alloh bergetarlah hatinya, jika dibacakan ayat-ayatNya maka bertambahlah imannya. Pemilik hati inilah seorang mukmin sejati, orang yang Alloh puji dalam Firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman (sempurna imannya) ialah mereka yang bila disebut nama Alloh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Allohlah mereka bertawakkal (berserah diri).” (QS. Al-Anfaal: 2)

2. Hati yang Mati

Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Robbnya, ia tidak menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya, ia tidak menghadirkan setiap perbuatannya berdasarkan sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Hati ini senantiasa berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan dunia walaupun di dalamnya ada murka Alloh, akan tetapi hati ini tidak memperdulikan hal-hal tersebut, baginya yang terpenting adalah bagaimana ia bisa melimpahkan hawa nafsunya. Ia menghamba kepada selain Alloh, jika ia mencinta maka mencinta karena hawa nafsu, jika ia membenci maka ia membenci karena hawa nafsu.

Alloh berfirman:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Alloh membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Alloh mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Alloh (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al Jaatsiyah: 23)

Pemilik hati ini jika dibacakan kepadanya ayat-ayat Al Quran maka dirinya tidak tergetar, ia senantiasa ingin menjauh dari Al Quran, ia lebih senang mendengar suara-suara yang membuatnya lalai, ia lebih senang mendengar nyanyian, mendengar musik, mendengar suara-suara yang menggejolakkan hawa nafsunya. Pemilik hati ini senantiasa gelisah, ia tidak tahu harus kepada siapa ia menyandarkan dirinya, ia tidak tahu kepada siapa ia berharap, ia tidak tahu kepada siapa ia meminta, kehidupannya terombang-ambing, ke mana saja angin bertiup ia akan mengikutinya, ke mana saja syahwat mengajaknya ia akan mengikutinya, wahai betapa menderitanya pemilik hati ini!

3. Hati yang Sakit

Hati ini adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Hati ini akan mengikuti unsur kuat yang mempengaruhinya, terkadang hati ini cenderung kepada “kehidupan” dan terkadang cenderung kepada “penyakit”. Pada hati ini ada kecintaan kepada Alloh, keimanan, keikhlasan dan tawakal kepada-Nya. Akan tetapi pada hati ini juga terdapat kecintaan kepada syahwat, ketamakan, hawa nafsu, dengki, kesombongan dan sikap bangga diri.

Ia ada di antara dua penyeru, penyeru kepada Alloh, Rosul dan hari akhir dan penyeru kepada kehidupan duniawi. Seruan yang akan disambutnya adalah seruan yang paling dekat dan paling akrab kepadanya.

Pemilik hati ini akan senantiasa berubah-ubah, terkadang ia berada dalam ketaatan dan kebaikan, terkadang ia berada dalam maksiat dan dosa. Amalannya senantiasa berubah sesuai dengan lingkungannya, jika lingkungannya baik maka ia berubah menjadi baik adapun jika lingkungannya buruk maka ia akan terseret pula kepada keburukan.

Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu’tawadhu’, lembut dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati. Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan.

Maka wahai kaum muslimin! hendaknya kita menginterospeksi diri kita sendiri, termasuk dalam golongan yang manakah hati kita? apakah hati kita termasuk dalam hati yang sehat, hati yang sakit atau malah hati kita telah mati? Maka renungkanlah Firman Alloh dalam surat Al-Kahfi ayat 49:

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِراً وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَداً

“Dan diletakkanlah kitab (kitab amalan perbuatan), lalu kamu akan melihat orang-orang berdosa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan hadir (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.” (QS. Al Kahfy: 49)

Dan sebaliknya Firman-Nya dalam Surat Al-Kahfi ayat 30-31:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلاً أُوْلَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَاباً خُضْراً مِّن سُندُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقاً

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.” (QS. Al Kahfy: 30-31)

Wahai zat yang membolak-bolakkan hati, teguhkanlah hati kami diatas agamamu, wahai zat yang membolak-balikkan hati tuntunlah hati kami teguh di atas ketaatan kepada-Mu…

***

Suka Sesama Jenis Itu Bukan Fitrah

Suka Sesama Jenis Itu Bukan Fitrah 

Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan, maka yang dilahirkan dengan jenis kelamin tertentu maka itulah dirinya, laki-laki atau perempuan, tidak ada ciptaan yang salah seperti anggapan adanya  jiwa yang tertukar, jiwa wanita di tubuh lelaki atau sebaliknya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ ۖ

“…dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan” (QS Ali Imran: 36)

Dan firman-Nya:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. )QS Attin:4)

Kemudian, setiap manusia memiliki kebutuhan biologis, dan dengan pasangannya  lah hal itu tersalurkan secara halal.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. )QS Aruum: 21)

Adapun jika menyalurkan kebutuhan itu kepada selain pasangan halal, apalagi kepada sesama jenis, maka hal itu adalah sebuah hal yang melampaui batas.

Allah Ta’ala berfirman pada surat Al Ma’arij ayat 29-31:

وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَٰفِظُونَ

  1. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya

إِلَّا عَلَىٰٓ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

  1. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ

  1. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

ayat ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir sebagai berikut:

أي والذين قد حفظوا فروجهم من الحرام فلا يقعون فيما نهاهم اللّه عنه من زنا ولواط، لا يقربون سوى أزواجهم التي أحلها اللّه لهم، أو ما ملكت أيمانهم من السراري، ومن تعاطى ما أحله اللّه له فلا لوم عليه ولا حرج

Artinya, “Orang-orang yang senantiasa menjaga kemaluannya (farjinya) dari perkara yang diharamkan sehingga tidak melakukan hal yang dilarang oleh Allah atas mereka, berupa zina dan sodomi (liwath), serta tidak berusaha mendekati perbuatan-perbuatan itu (zina dan sejenisnya) selain kepada istri-istri mereka yang telah dihalalkan oleh Allah untuk mereka, atau terhadap sesuatu yang dimiliki oleh tangan kanan mereka, seperti terhadap perempuan budak tawanan (sarary), dan orang yang nekat melakukan apa yang dihalalkan oleh Allah terhadapnya, maka tiada cela atas diri mereka dan tiada dosa,” (Tafsir Ibnu Katsir)

Maka, dari dalil-dalil di atas jelas lah bahwa suka sesama jenis bukan fitrah, namun itu adalah penyimpangan yang seharusnya dilawan dan diobati, bukan ditoleransi dan diberikan kesempatan.

Karena, jika logika yang sama diterapkan, maka tidak ada lagi kejahatan yang boleh dihukum dan dibina pelakunya hanya karena si pelaku merasa perbuatan benar dan dirinya ingin melakukan hal tersebut.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan seluruh kaum muslimin.

Ketika Wanita Menggoda

Ketika Wanita Menggoda 

Allah ta’ala telah menganugerahkan kepada kaum wanita keindahan yang membuat kaum lelaki tertarik kepada mereka. Namun syariat yang suci ini tidak memperkenankan keindahan itu diobral seperti layaknya barang dagangan di etalase atau di emperan toko. Tapi kenyataan yang kita jumpai sekarang ini wanita justru menjadi sumber fitnah bagi laki-laki. Di jalan-jalan, di acara TV atau di VCD para wanita mengumbar aurat seenaknya bak kontes kecantikan yang melombakan keindahan tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada siksa dan tidak kenal apa itu dosa. Benarlah sabda Rasulullah yang mulia dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, di mana beliau bersabda, “Tidak pernah kutinggalkan sepeninggalku godaan yang lebih besar bagi kaum lelaki daripada wanita.” (HR. Bukhari Muslim)

Ya, begitulah realitasnya, wanita menjadi sumber godaan yang telah banyak membuat lelaki bertekuk lutut dan terbenam dalam lumpur yang dibuat oleh syaitan untuk menenggelamkannya. Usaha-usaha untuk menggoda bisa secara halus, baik disadari maupun tidak, secara terang-terangan maupun berkedok seni. Tengoklah kisah Nabi Allah Yusuf ‘alaihis salam tatkala istri pembesar Mesir secara terang-terangan menggoda Beliau untuk diajak melakukan tindakan tidak pantas. Nabi Yusuf pun menolak dan berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik.” (QS. Yusuf: 23)

Muhammad bin Ishaq menceritakan, As-Sirri pernah lewat di sebuah jalan di kota Mesir. Karena tahu dirinya menarik, wanita ini berkata, “Aku akan menggoda lelaki ini.” Maka wanita itu membuka wajahnya dan memperlihatkan dirinya di hadapan As-Sirri. Beliau lantas bertanya, “Ada apa denganmu?” Wanita itu berkata, “Maukah anda merasakan kasur yang empuk dan kehidupan yang nikmat?” Beliau malah kemudian melantunkan syair,”Berapa banyak pencandu kemaksiatan yang mereguk kenikmatan dari wanita-wanita itu, namun akhirnya ia mati meninggalkan mereka untuk merasakan siksa yang nyata. Mereka menikmati kemaksiatan yang hanya sesaat, untuk merasakan bekas-bekasnya yang tak kunjung sirna. Wahai kejahatan, sesungguhnya Allah melihat dan mendengar hamba-Nya, dengan kehendak Dia pulalah kemaksiatan itu tertutupi jua.” (Roudhotul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, karya Ibnul Qayyim)

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah telah mewanti-wanti kepada kita sekalian lewat sabda beliau, “Hati-hatilah pada dunia dan hati-hatilah pada wanita karena fitnah pertama bagi Bani Isroil adalah karena wanita.” (HR. Muslim) Kini, di era globalisasi, ketika arus informasi begitu deras mengalir, godaan begitu gampang masuk ke rumah-rumah kita. Cukup dengan membuka surat kabar dan majalah, atau dengan mengklik tombol remote control, godaan pun hadir di tengah-tengah kita tanpa permisi, menampilkan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok memamerkan aurat yang semestinya dijaga.

Lalu, sebagian muslimah ikut-ikutan terbawa oleh propaganda gaya hidup seperti ini. Pakaian kehormatan dilepas, diganti dengan pakaian-pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh, tanpa merasa risih. Godaan pun semakin kencang menerpa, dan pergaulan bebas menjadi hal biasa. Maka, kita perlu merenungkan dua bait syair yang diucapkan oleh Sufyan Ats-Tsauri: “Kelezatan-kelezatan yang didapati seseorang dari yang haram, toh akan hilang juga, yang tinggal hanyalah aib dan kehinaan, segala kejahatan akan meninggalkan bekas-bekas buruk, sungguh tak ada kebaikan dalam kelezatan yang berakhir dengan siksaan dalam neraka.”

Seorang ulama yang masyhur, Ibnul Qayyim pun memberikan nasihat yang sangat berharga: “Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan mata itu sebagai cerminan hati. Apabila seorang hamba telah mampu meredam pandangan matanya, berarti hatinya telah mampu meredam gejolak syahwat dan ambisinya. Apabila matanya jelalatan, hatinya juga akan liar mengumbar syahwat…”

Wallahul Musta’an.

***

Makan Dari Sumber Yang Halal Saja

Makan Dari Sumber Yang Halal Saja 

Allah telah menjamin rejeki bagi semua hambanya. Manusia, jin, hewan bahkan tumbuhan semuanya sudah dijamin rezekinya oleh Allah subahanhu wa ta’ala selama masih bernyawa, Allah berfirman:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya…” (QS. Hud: 6).

Allah telah menjamin rezeki seluruh hambanya yang bernyawa, namun Allah subahanhu wa ta’ala memberikan jalan bagi hambanya untuk mencapai rezeki yang telah ditakdirkan untuknya. Dalam mencari rezeki manusia bisa memilih antara dua cara; halal atau haram. Baik dengan cara halal ataupun haram manusia bisa mendapatkan harta, namun kedua cara tersebut memiliki konsekuensi dan dampak di dunia dan akhirat.

Harta yang diperoleh dengan cara yang halal dan digunakan kepada hal-hal yang halal akan menjadi keberkahan bagi seseorang, jika Allah subahanhu wa ta’ala sudah memberkahi maka harta tersebut akan mencukupinya bahkan berkembang. Sedangkan harta yang didapatkan dengan cara yang haram akan menjadi bumerang yang suatu saat akan mencelakakan pemiliknya cepat ataupun lambat, di dunia ataupun di akhirat.

Orang yang mendapatkan hartanya dengan cara yang haram, dalam  hidupnya tidak akan merasakan ketenangan walau memiliki harta berlimpah, ia akan selalu dihantui oleh kekhawatiran dan rasa bersalah, dan itu adalah hukuman paling minimal baginya didunia, dan di akhirat tentu hukumannya jauh lebih berat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

كل لحم نبت من سحت فالنار أولى به

 Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya. (HR. Thabrani).

Harta yang haram akan menjadi penghalang antara seorang hamba dengan Allah subhanahu wa ta’ala, harta tersebut akan menjadi penghalang dikabulkannya doa, Rasulullah shalllallahu alaihi wasallam besabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ تَعَالَى : ,يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً – وَقاَلَ تَعَالَى : , يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ – ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ

Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk (melakukan) perintah yang disampaikan kepada para nabi. Kemudian beliau membaca firman Allah, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amalan yang shaleh.” Dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu.” Kemudian beliau menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh (lama), tubuhnya diliputi debu lagi kusut, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa, ‘wahai tuhanku wahai tuhanku.’ Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan.” (HR. Muslim).

Mencari harta dengan cara yang haram banyak bentuknya, misal; mencuri, merampok, korupsi, menipu dalam jual-beli, makan uang riba, sogok-menyogok dan lain-lain. Dan semuanya tidak akan luput dari pengadilan Allah subhanahuwa ta’ala di akhirat kelak, andai orang yang mencari harta dengan cara haram luput dari pengadilan dunia, ia tidak akan luput dari pengadilan Allah subhanahu wa ta’ala di Akhirat.

Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ : عَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَعَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْ أَيْ شَيْءٍ أَنْفَقَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ كَيْفَ عَمِلَ فِيْهِ

“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang empat perkara; Tentang badannya, untuk apa ia gunakan, tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan, dan tentang ilmunya bagaimana ia beramal dengannya.” (HR. Tirmidzi).

Alangkah baiknya kita mencari rezeki yang Allah hamparkan bagi kita didunia dengan cara yg halal walau harus dengan berkerja keras dan hasil yang pas-pasan. Itu jauh lebih baik daripada menikmati harta haram di dunia lalu diakhirat menjadi bumerang yang melemparkan pemiliknya ke dalam api neraka.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.

Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya”. [HR. Ibnu Hibban]

Semoga bermanfaat!

Agungnya Nikmat Keamanan

Agungnya Nikmat Keamanan 

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. 

أَمَّا بَعْدُ: 

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menaati seluruh perintah-Nya dan dengan meninggalkan seluruh kemaksiatan kepada-Nya. Karena dengan ketakwaan inilah, Allah Ta’ala menghapus kesalahan-kesalahan kita. Dengannya pula, pahala kebaikan kita akan dilipatgandakan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّاٰتِهٖ وَيُعْظِمْ لَهٗٓ اَجْرًا

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (QS. At-Talaq: 5)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Pada kesempatan kali ini, marilah kita mengingat kembali salah satu nikmat terbesar dan paling agung yang telah Allah Ta’ala berikan kepada kita semua. Nikmat yang menjadi dambaan setiap bangsa dan negara. Demi menggapainya, semua tentara dikerahkan. Harta benda dikeluarkan dan peperangan-peperangan datang silih berganti.

Jemaah Jumat yang berbahagia.

Ketahuilah, nikmat tersebut adalah nikmat rasa aman. Begitu agungnya nikmat ini, sampai-sampai Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berdoa memintakan nikmat ini untuk penduduk Makkah. Beliau ‘alaihis salam berdoa,

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini sebagai negeri yang aman sentosa. Dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara mereka.” (QS. Al-Baqarah: 126)

Beliau dahulukan doa meminta keamanan tersebut sebelum meminta rezeki lainnya. Karena rasa aman sejatinya merupakan kebutuhan mutlak. Seluruh manusia yang hidup di dunia ini tidak dapat menikmati rezeki yang ada di hadapannya jika rasa takut masih menyelimuti hatinya. Selezat apapun makanan yang kita makan, seenak apapun buah yang kita makan, tidak akan bisa kita nikmati dengan maksimal, kecuali dengan adanya rasa aman dan ketenangan di dalam jiwanya.

Wahai kaum muslimin sekalian.

Nikmat aman adalah karunia dan pemberian dari Allah Ta’ala. Dengannya seorang hamba akan diuji. Akankah ia termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur ketika mendapatkan nikmat rasa aman ini, serta bersabar ketika kehilangannya, ataukah ia termasuk orang-orang yang mengingkari nikmat aman ini dan tidak bisa bersabar ketika dicabut dari dirinya. Allah Ta’ala di dalam banyak ayat Al-Qur’an mengingatkan para manusia akan agungnya nikmat aman ini. Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman,

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu, Allah membuat mereka merasakan pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl: 112)

Tatkala menceritakan kaum Saba’, Allah Ta’ala mengingatkan mereka tentang nikmat aman yang membuat mereka dapat berjalan dengan bebas dan aman baik di siang hari maupun di malam hari. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ٱلْقُرَى ٱلَّتِى بَٰرَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَٰهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا ٱلسَّيْرَ ۖ سِيرُوا۟ فِيهَا لَيَالِىَ وَأَيَّامًا ءَامِنِينَ

”Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan dengan aman.” (QS. Saba’: 18)

Allah Ta’ala juga mengingatkan kaum Quraisy perihal nikmat rasa aman ini. Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۭ

“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy: 4)

Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala.

Agungnya nikmat rasa aman ini sampai-sampai Allah jadikan rasa aman sebagai salah satu keutamaan dan kekhususan kota Madinah di kala Dajjal mendatangkan kepanikan dan rasa takut di kota-kota lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يَدْخُلُ المَدِينَةَ رُعْبُ المَسِيحِ الدَّجَّالِ، لَهَا يَوْمَئِذٍ سَبْعَةُ أَبْوَابٍ، عَلَى كُلِّ بَابٍ مَلَكَانِ

“Al-Masih Ad-Dajjal yang ditakuti tidak akan dapat memasuki kota Madinah. Pada hari itu, Madinah memiliki tujuh pintu yang setiap pintunya akan ada dua malaikat (yang menjaganya).” (HR. Bukhari no. 1879)

Lihatlah juga bagaimana luasnya hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala memberikan dan menawarkan rasa aman kepada penduduk Makkah tatkala beliau menaklukkannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ أَلْقَى السِّلَاحَ فَهُوَ آمِنٌ

“Barangsiapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Barangsiapa meletakkan senjatanya, maka dia aman.” (HR. Muslim no. 1780)

Ma’asyiral mukminin, saudaraku yang dirahmati Allah Ta’ala.

Begitu pentingnya rasa aman ini, sampai-sampai Allah Ta’ala janjikan kepada kaum mukminin rasa aman dan ketenangan sebagai ganti dari rasa takut jika mereka mau menyembah Allah Ta’ala satu-satu-Nya serta beristikamah di dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55)

Nikmat keamanan juga merupakan salah satu nikmat yang Allah janjikan kepada penghuni surga. Tidak ada rasa takut, panik, dan rasa kehilangan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman,

اُدْخُلُوْهَا بِسَلٰمٍ اٰمِنِيْنَ

“Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman.” (QS. Al-Hijr: 46)

Di ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

وَهُمْ فِى ٱلْغُرُفَٰتِ ءَامِنُونَ

“Dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba’: 37)

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Ma’asyiral mukminin yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Seorang mukmin dituntut untuk mencari dan mewujudkan keamanan bagi dirinya, keluarganya, dan negaranya. Berikut ini adalah sebab-sebab yang akan membantu kita mewujudkannya:

Yang pertama: Beriman dan mengesakan Allah Ta’ala serta menegakkan syiar-syiar ajaran Islam yang mulia ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55)

Kedua: Mensyukuri semua nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan, tak terkecuali nikmat keamanan yang sudah kita peroleh ini. Dengan rasa syukurlah sebuah nikmat akan bertahan dan bertambah. Allah Ta’ala berfirman,

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

Sebaliknya, mengingkari sebuah kenikmatan, maka akan memusnahkan kenikmatan tersebut dan menggantinya dengan hukuman berupa rasa takut dan azab. Di ayat yang selanjutnya Allah Ta’ala mengingatkan,

وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

“Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 6)

Ketiga: Mengamalkan kebaikan dan menjauhkan diri dari keburukan. Karena dosa dan maksiat menandakan kesialan dan mendatangkan keburukan, menghilangkan rasa aman, dan menggantinya dengan rasa takut. Adapun beramal saleh dan beribadah, maka akan menimbulkan rasa aman dari segala ketakutan dan kekhawatiran di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ خَيْرٌ مِّنْهَاۚ وَهُمْ مِّنْ فَزَعٍ يَّوْمَىِٕذٍ اٰمِنُوْنَ

“Barangsiapa membawa kebaikan, maka dia memperoleh (balasan) yang lebih baik daripadanya, sedang mereka merasa aman dari kejutan (yang dahsyat) pada hari itu.” (QS. An-Naml: 89)

Yang keempat dan yang terakhir: Senantiasa berdoa dan meminta kepada Allah Ta’ala agar diberikan stabilitas keamanan dan ketenangan. Di awal khotbah tadi sudah kita dengarkan bersama bagaimana doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa.” (QS. Al-Baqarah: 126)

Saudaraku, marilah kita berdoa bersama-sama untuk negeri kita, keluarga kita, rumah-rumah kita, hati kita, dan jiwa kita. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan ketenangan dan keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan. Karena sungguh hal-hal tersebut merupakan kunci untuk kebahagiaan-kebahagiaan lainnya.

Amin Ya Rabbal ‘alamin.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***